Senin, 13 Juli 2020

Cinta Ada Diantara Mega 11-12


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA   11*

Bagas terpaksa berhenti, manahan gemuruh didadanya. Melihat kenyataan ketika mereka berduaan, pastilah bukan sekedar karena ada pesanan dari Basuki kepada Mery.  Ketika turun dari mobil, lalu Basuki menggandeng lengan Mery, sangat menusuk perasaan Bagas. Ia lebih baik menghindar, dan suatu sa'at akan bertanya langsung kepada Mery tentang hubungan mereka. Tapi panggilan itu membuat langkahnya terhenti.

"Bagaas," Mery mengulangnya.
Bagas menoleh dan kembali menatap pemandangan yang membuat hatinya semakin bergelora. Bagai ombak dilautan menghempas padas ditepi laut. Terburai memercikkan semburan air yang memenuhi dadanya. Tapi semburan itu terasa panas, menghentak.

Basuki dan Mery melangkah mendekati.
"Sudah mau pulang Gas?"
"Iya, tadi siang belum sempat makan, lapar, lalu sebelum pulang mampir kemari," katanya berbohong.

"Bagas, ayo masuk dulu, kita bisa omong-omong tentang banyak hal," ajak Basuki, tapi tangannya tak juga lepas dari lengan Mery. Bagas semakin yakin ada sesuatu diantara mereka.
"Tidak mas, aku sangat letih, baru pulang kerja."

"Kamu dua kali kemari dan tidak ketemu aku bukan?" tanya Mery.
"Iya, kan sudah biasa kalau saya makan disini selalu ketemu mbak Mery. Sekarang saya permisi dulu ya."

 

"Bagas, benar nih nggak mau omong-omong dulu?" tegur Basuki 

"Lain kali saja mas, aku benar-benar capek."

"Baiklah, sampaikan salamku untuk bapak ya, bilang aku akan kerumah dalam waktu dekat."

"Ya mas, akan saya sampaikan." kata Bagas lalu bergegas masuk kedalam mobilnya.

 

Mery menatapnya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tau Bagas pasti kecewa melihat kebersamaannya dengan Basuki. Tapi ia tak sempat berfikir lama, karena Basuki segera menariknya masuk kedalam warung.

 

***

 

Selesai berganti pakaian, Bagas segera menghempaskan tubuhnya ke pembaringan. Ia memejamkan matanya, mencoba melupakan semua yang pernah dialaminya bersama Mery. Seakan tak percaya melihat Mery seperti sudah sangat akrab dengan Basuki. Kapankah mereka berkenalan? Mengapa ia sama sekali tak mengetahuinya?

 

Asyik meronce dari setiap pertemuan ke pertemuan-pertemuan selanjutnya bersama Mery, membuat Bagas tak sanggup memejamkan matanya. 

 

"Gas..." panggilan itu membuatnya menatap kearah pintu. Dilihatnya ayahnya berdiri termangu disana.

"Aku kira kamu tidur."

"Pengin tidur, tapi belum bisa pak."

 

Pak Damono mendekat.

"Kamu tampak lelah Gas... biar simbok mijitin kamu ya.." kata pak Darmono sambil beranjak kebelakang. Bagas tak menjawab apapun, sampai ketika simbok datang dan memegang kakinya.

 

"Mas Bagas kecapekan. Apa dikantor kerjanya berat?" tanya simbok sambil memijit-mijit kakinya.

"Aku lagi sedih mbok..." keluh Bagas lirih.

"Lha kok sedih kenapa mas bagus.. tumben-tumbenan pakai sedih segala."

 

"Pacarku diambil orang mbok..." kata Bagas sekenanya. Bagas sangat dekat sama simbok, karena sejak masih bayi simbok itulah yang merawatnya. Kasih sayang simbok sudah seperti kepada anak yang dikandungnya sendiri.

 


"Walaah... cuma pacar diambil orang saja mengapa sedih mas, mas Bagas itu bagus.. ngguanteng..  cari yang lain apa susahnya mas."

"Aku cintanya sama dia mbok.."

 

"Cinta itu makanan apa to mas? Oh ya, simbok jadi ingat, beberapa hari yang lalu, yang saya juga sudah bilang sama mas Bagas, tentang gadis cantik yang mencari mas Bagas itu.. apa dia yang mas Bagas maksudkan? Kalau dia, biar saja mas, simbok kurang suka cara dia perpakaian. Masa sudah pakai baju kok masih kelihatan semua anunya.."

Bagas tertawa.

 

"Anunya itu apa mbok?"

"Itu.. maksud simbok.. barang yang harusnya disembunyikan.. mengapa dibiarkan mintip-mintip begitu. Saru itu mas. Nggak apa-apa kalau dia diambil orang mas, cari yang lain yang  bener-bener bisa menjaga kewanitaannya."

"Ah, bukan itu mbok.. gadis lain.."

 

"O.. bukan ya.. lha tapi siapapun dia.. jangan sampai dibawa sampai sedih begini.. kalau menurut simbok.. cari yang lain saja..  wong cah bagus kok cuma ditinggal pacar saja sedih. Besok simbok kenalin, itu.. putranya bu Murni sebelah rumah itu, itu cantik lho mas.. mau ndak?"

 

"Ih, simbok ada-ada saja.. nggak usah.. terusin aja mijitnya sampai aku tertidur ya."

"Ya. tapi nanti maghrib simbok  bangunin lho.."

Bagas memejamkan matanya, berbincang sama simbok membuat bebannya sedikit berkurang.

 

*** 

 

"Kamu itu seperti anak kecil saja Kris, kok berjalan saja bisa jatuh," tegur bu Suryo ketika Kristin ada dirumah orang tuanya.

"Kristin berjalan tergesa-gesa ma, sementara Kristin memakai sepatu dengan high heel.'

"Ya sudah, besok jangan ke kantor dulu, ini agak bengkak, butuh sehari dua hari untuk memulihkannya."

"Ya mama.."

 

Tak ada yang bisa Kristin lakukan selain mengikuti saran mamanya, karena memang kakinya benar-benar sakit.

"Sudah berkurang sakitnya?"

"Sudah ma, lihat, sudah tidak bengkak lagi kan?"

"Sini mama gosokin lagi..."

 

Hari itu Kristin kembali bermanja bersama ibunya, setelah pak Suryo menyuruhnya tinggal sendiri untuk memupuk kemandirian pada jiwa anak gadisnya.  Banyak hal memang membuat Kristin berubah, misalnya bisa menjalankan usaha ayahnya dengan baik, tapi ia tetaplah gadis manja yang masih suka merengek-rengek pada mamanya.

 

"Kris, mama mendengar dari papa, katanya kamu jatuh cinta pada Bagas?"

"Salahkah itu ma?"

"Tidak, tapi sebagai seorang gadis, kamu tak pantas terlalu menampakkan perasaan hati kamu, apalagi didepan pria itu. "

"Bukankah lebih baik berterus terang daripada sembunyi-sembunyi?"

 

"Ada batasan dimana seorang wanita harus duduk pada kodratnya. Ia layak menunggu bukan mendahului menyatakan cinta. Ada sih beberapa yang melakukannya, tapi menurut mama, itu kurang pantas. Seringkali seorang laki-laki cenderung lebih suka kabur menghadapi gadis yang berani seperti itu."

 

"Masa sih ma?"

"Itu benar."

 

Lalu Kristin teringat pada sikapnya terhadap Bagas yang tampak selalu mengejarnya. Itukah yang menyebabkan Bagas justru menjauhinya? Barangkali dia muak melihat tingkah seorang gadis yang terlalu mengejar-ngejarnya.

"Ingat itu Kristin."

 

Kristin menatap mamanya.  Tampak bersungguh-sungguh. Selama ini mamanya tak pernah menganggap tindakannya salah. Tapi itu hanya dalam hal berpakaian, memilih apapun agar dia tampak cantik. Tapi kali ini mamanya mencela cara dia bersikap. Dan tampaknya itu benar. Kristin harus membenahi sikapnya.

 

"Ya, mama.."

"Mama senang melihat cara kamu berpakaian sekarang. Kamu tampak lebih dewasa."

"Ini karena Bagas ma.."

"Karena Bagas?"

"Bagas tidak suka melihat aku berpakaian seperti sebelumnya."

"Oh, kalau dia mengingatkan kamu berarti dia perhatian sama kamu."

 

"Kristin nggak tau apa yang dirasakan Bagas."

"Papa kamu bilang, Bagas itu baik. Tampaknya papa kamu juga suka sama dia."

"Iya, tampaknya begitu.Tapi  Bagas itu sombong ma. Sikapnya selalu acuh tak acuh."

"Mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Suatu hari mama ingin datang kekantor kamu dan melihat seperti apa dia."

 

*** 

 

Hari itu Bagas kekantor dengan tubuh lesu. Hari sudah beranjak siang, namun meja atasan centhilnya masih terlihat kosong. Kadang tergerak hatinya ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi diurungkannya.

"Pasti kakinya masih sakit karena terkilir kemarin."

 

Ada sesal yang merayapi hatinya ketika diingatnya bahwa Kristin terjatuh karena mengimbangi langkahnya yang terlalu cepat. 

"Kasihan juga setelah melihat dia kesakitan,"

 

Lalu tiba-tiba Bagas merasa bahwa ruangannya terasa sepi.. 

"Bagaaaas.." suara itu sekarang dirindukannya.

Bagas tersenyum sendiri. 

 

"Cantik.. pintar.. manja.. kolokan.. ceroboh," gumamnya sambil tersenyum.

Sejenak kemudian Bagas sudah melupakannya, menekuni semua tugasnya, dan kemudian terbayang lagi wajah Mery. Seketika senyum lucu itu sirna. Bayangan Basuki dan Mery yang sedang berpegangan tangan menari-nari dikepalanya.

"Aku sudah gila !!"

 

Bagas merasa  seperti mengejar bayang-bayang. Dia jatuh bangun sendiri dan Mery hanya menanggapinya sambil tertawa-tawa, seperti mentertawakan anak kecil yang berceloteh lucu.

Salahkah seandainya Mery menemukan laki-laki yang dianggapnya pantas dicintai? Tapi alangkah susahnya menghilangkan bayangan itu. Dan sepi yang melingkupinya terasa semakin  menyentak. Lalu keinginan untuk makan siang diwarung kecintaannya sirna bersamaan dengan kekosongan jiwanya yang merasa kehilangan cinta.

 

Ia tidak beranjak dari tempat duduknya walau waktu makan siang telah lewat. Tak ada rasa lapar, tak ada hasrat untuk melakukan apapun juga. 

Bagas duduk disofa, meluruskan kakinya dan menyandarkan tubuhnya.

 

"Bagaaas.." 

Bagas terkejut, itu bukan suara kemayu manja yang sering didengarnya. Suara berat bariton yang membuatnya tergagap dan segera menegakkan tubuhnya.

 

"Selamat siang pak.." sapanya.

"Siang Bagas, aku kira kamu keluar makan siang."

"Tidak pak Suryo."

"Tidak lapar ?"

"Belum.

 

"Mau menemani aku makan siang? Hari ini Kristin istirahat dirumah, kakinya masih sedikit bengkak."

"Iya, saya tahu pak."

"Ayo makan bersama aku."

"Sekarang?"

"Iya, kapan lagi?"

Bagas berdiri, mengikuti pak Suryo yang berjalan keluar lebih dulu.

 

***

 

Siang itu Basuki makan di warung Mery. Anak buah Mery sudah diberi tahu bahwa dia adalah calon suami Mery, sehingga tak ada lagi kasak kusuk diantara mereka.

 

"Bas, sejak kapan kamu mengenal Bagas?"

"Belum lama. Kami ketemu suatu pagi ketika sedang makan cabuk rambak dipinggir jalan. Ayahnya Bagas, pak Darmono menyapa aku terlebih dulu. Dia teman sekolah almarhum ayahku, dan ternyata masih mengenali aku, padahal aku hampir lupa wajahnya." Kata Basuki sambil tertawa.

 

"Rupanya wajahku masih seperti ketika remaja."

Mery juga tertawa. Ditatapnya Basuki, memang seperti tak ada yang berubah sejak dia mengenali dia puluhan tahun lalu, dan membawanya dari panti asuhan.

 

"Ketika itu dia bersama Bagas. Lalu kami berkenalan," lanjutnya.

"Oh.. gitu ya. Biasanya dia makan siang disini. Kok ini enggak ya."

 

"Aku juga nungguin nih...  kalau mau akan aku suruh mengawasi usahaku yang di Ungaran."

"Biasanya sama siapa?"

"Biasanya aku sendiri yang bolak balik kesana kemari, tapi nanti ketika aku menikah, aku ingin menetap disini saja. Nggak akan tahan lama-lama berpisah sama isteriku," katanya sambil menatap Mery mesra. Mery tersipu, lalu menyibukkan dirinya mengaduk es jeruk didepannya, sambil membayangkan hari bahagia yang hampir tiba.

 

"Aku ingin sekali ketemu mas Timan."

"Kapan mau kesana ?"

"Mas Timan pulangnya sore. Tapi biasanya pulangnya lebih dulu aku. Aku kan sering pulang sebelum tutup warung."

"Besok saja menunggu waktu yang tepat. Mungkin hari Minggu. Apakah warung ini juga buka dihari Minggu?"

"Selalu buka, so'alnya kalau Minggu biasanya lebih rame lagi. Tapi aku tidak ke warung. Santai dirumah bersama Sri dan Tiwi."

 

"Baiklah Minggu saja, so'alnya nanti sore aku mau ke Ungaran."

"Aku ingin sekali mengunjungi Panti Asuhan tempat dimana dia membesarkan aku."

"Aku juga berpikir begitu. Nanti kalau sudah dekat sa'atnya kita menikah, aku ajak kamu kesana."

 

Mery mengangguk. Ia merasa sangat keterlaluan karena belum pernah sekalipun menengok kesana. Ia dibesarkan disana, ketika remaja dan bersekolah SMA Basuki mengambilnya, memberikan segala kesenangan dan kemewahan, sekaligus dijadikan kekasihnya, dan sejak sa'at itu Mery jatuh cinta pada Basuki.  Tapi Basuki tidak pernah mencintainya. Itu adalah masa gemerlapnya duniawi, tapi kelam untuk hdupnya.  

 

Semuanya telah berlalu. Dunia yang benderang menyambutnya, menuntunnya mencapai segala keinginannya, bahkan cinta yang semula dititipkannya dibalik mega.

 

"Sekarang aku mau pulang dulu, mau langsung ke Ungaran.

"Baiklah, hati-hati dijalan, dan jangan lupa bahwa aku menunggumu," bisik Mery lirih ketika mengantarnya sampai ke mobil. Basuki menggenggam erat tangan Mery, lalu menciumnya lembut, sebelum kemudian masuk kemobilnya dan dengan sebuah lambaian tangan, mobilnya meninggalkan area parkir itu.

 

Namun ketika Mery mau memasuki warung, dilihatnya sebuah mobil berhenti, ditempat dimana tadi Basuki memarkir mobilnya.

Mery menoleh sejenak, tapi kemudian menunggunya karena melihat Bagas ada didalamnya. Mery tersenyum lebar, senang melihatnya setelah berhari-hari tidak ketemu.

 

Tapi Bagas tidak sendiri. Ada pak Suryo yang turun bersamanya. Mery menganggukkan kepalanya.

"Silahkan.. silahkan, sambutnya ramah."

Pak Suryo tersenyum, lalu duduk disebuah bangku.

 

"Apa kabar Bagas? Berapa hari tidak ketemu, kamu agak kurusan? Kamu sakit?"

"Aku sakit hati mbak," jawab Bagas pelan, agar jangan sampai pak Suryo mendengarnya.

Mery tersenyum, menepuk lembut pundak Bagas.

"Banyak yang ingin aku tanyakan pada mbak Mery."

"Oh, ya.. apa tuh?"

 

"Nanti sesampai dikantor aku akan menelpun, jangan sampai tidak diangkat seperti yang sudah-sudah ya."

"Oh, waktu itu ponsel aku silent, aku tidak mendengar. Ma'af ya. Ayo duduklah, kamu sudah ditunggu."

 

Bagas meninggalkan Mery yang langsung bergegas kebelakang, lalu duduk didepan pak Suryo.

"Pemilik warung itu sangat cantik, cantik yang matang. Dia memiliki sifat keibuan."

Bagas tak menjawab, dalam hati dia tak membantah kata-kata pak Suryo. Ia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan.

 

"Aku nasi timlo, bukankah disini yang istimewa adalah timlonya?"

"Aku juga mas. Jadi nasi timlo dua, teh panas satu.."

"Aku juga teh panas."

Lalu pelayan itu berlalu.

 

"Bagas, apa bapak kamu pernah mengajak kamu bicara?"

Bagas berdebar-debar. Kalau pak Suryo yang mengatakannya pasti akan susah menjawabnya. 

"Tentang.. apa ya pak?"

"Kristin bosan mengelola usahaku. Aku pernah bilang pada ayahmu, bagaimana kalau kamu yang melakukannya?"

 

Bagas menundukkan kepalanya. Ia memainkan jari-jarinya yang terletak dipangkuannya.

"Apakah itu berat untuk kamu?"

"Sangat berat pak," jawab Bagas hati-hati.

"Mengapa?"

"Saya tidak berpengalaman dalam mengelola sebuah perusahaan. Dan itu sebuah tanggung jawab yang bukan main-main."

"Kan kamu tidak akan aku lepas sendiri Bagas."

"Berilah saya waktu untuk berfikir pak, ini sungguh berat bagi saya."

 

Pak Suryo mengangguk-angguk. Ia semakin kagum pada Bagas, karena tak mudah tergiur oleh iming-iming kedudukan yang pasti akan sangat diinginkan oleh banyak orang.

Ketika pelayan menghidangkan pesanan, keduanya menikmati tanpa mengeluarkan suara. 

***

 

Tapi janji untuk menelpon Mery itu tak kesampaian, karena pak Suryo ada dikantor sampai menjelang jam kerja selesai.

Ia meneliti semua hasil kerja Kristin, terkadang mengangguk-angguk, terkadang menggeleng-gelengkan kepala. Namun ia tak mengatakan apapun pada Bagas, yang tenggelam juga dalam pekerjaannya sendiri.

 

"Tak terasa, sudah jam setengah empat ya Gas," kata pak Suryo sambil menggeliatkan tubuhnya perlahan.

"Iya  pak."

 

"Lama tidak duduk dikursi kerja, kok ya terasa capek," kata pak Suryo sambil meneguk minumannya, lalu berdiri dan sekali lagi menggeliatkan tubuhnya.

"Pegel rasanya. Aku mau pulang dulu ya Gas, apa kamu mau bersama-sama aku?"

"Tidak pak, saya membawa mobil sendiri."

 

"Baiklah, segera pulang saja Gas, sudah sore."

"Baik pak."

 

Dan Bagas memang segera beranjak dari kursinya, membereskan semua lembar kerja yang ada dimeja nya, lalu iapun bersiap-siap untuk pulang.

***

 

Mery hampir sampai dipintu keluar ketika tiba-tiba Bagas muncul ditengah tengah pintu.

"mBak Mery mau pulang?"

"Iya, kamu mau makan?"

"Enggak sih, sebenarnya ingin omong-omong saja sama mbak Mery."

"Kalau begitu minum saja, ayo masuklah, tutup masih kira-kira sejam lagi."

 

Bagas duduk dihadapan Mery, lalu menjadi bingung untuk memulai percakapan. Haruskah ia langsung menanyakan hubungan Mery dengan Basuki? Atau apa?

Ketika pelayan mengantarkan minuman atas pesanan Mery, Bagas justru mengaduk-aduknya tanpa mengucapkan apapun.

 

"Bagas, kamu tampak gelisah. Ada apa?"

"Bingung mau mengatakan apa. Aku kangen sama mbak Mery."

"Sekarang sudah ketemu, jadi nggak kangen lagi kan?"

"mBak, saya agak heran mbak Mery kenal sama mas Basuki. "

"Mengapa heran?"

"Berapa lama mbak Mery kenal sama mas Basuki? Baru beberapa hari ini kan?"

"Tidak, kami kenal sudah hampir duapuluhan  tahun yang lalu."

Bagas terbelalak. 

 

"Duapuluhan tahun? Aku masih kanak-kanak dong."

"Ketika itu umurku belum genap tujuhbelas tahun."

Bagas mulai menghitung hitung. Berarti dirinya sama Mery terpaut kira-kira duabelasan tahun. Bagas menatap Mery. 

 

"Ada apa? Nggak percaya ?"

"mBak Mery masih tampak sangat muda. Mungkin lebih tua dari aku, tapi tak terbayang bahwa terpautnya lumayan banyak."

"Sekarang kamu tau kan? Bahwa mbak Merymu ini sudah tua ?"   

 

Bagas menatap Mery lekat-lekat. Tak ada rasa kecewa dihatinya walau Mery dan dirinya terpaut sepuluh tahun lebih.

 

"Bagas.."

"Apa salahnya kalau mbak Mery jauh diatas umur saya?"

"Apa maksudmu Bagas?"

"Aku tetap suka sama mbak Mery,"

 

Mery terkejut, Ia harus berterus terang pada Bagas tentang hubungannya dengan Basuki.

Mery belum sempat mengatakannya ketika tiba-tiba Basuki kembali.

"Mery... ponselku tertinggal disini ?"

 

***

 

besok lagi ya.




*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  12*

 

"Ponsel ketinggalan?" pekik Mery.

Seorang pelayan tiba-tiba berlari.

"Ini punya bapak?"

"Oh, iya benar.. terimakasih ya," katanya kepada pelayan itu, yang kemudian mengangguk dan berlalu.

"Ada Bagas disini?"

 

Bagas mencoba tersenyum, senyum paling masam yang pernah dia berikan. Barangkali lebih masam dari yang namanya asam.

"Iya mas.. ini sudah mau pulang."

"Sebenarnya ada yang aku ingin bilang sama kamu, tapi aku sedang tergesa-gesa, jadi nanti lain kali saja kita bicara."

"Oh, baiklah."

 

"Mery, aku pergi dulu," kata Basuki kepada Mery, sambil menyentuh lengannya.

"Hati-hati, jangan sampai hidung kamu ketinggalan juga," canda Mery.

Basuki tertawa  sambil berlalu. Ia tampak tergesa-gesa.

 

Bagas berdiri.

"Lho, minumnya belum dihabiskan."

"Sudah, terimakasih."

 

Tak ada yang perlu ditanyakan Bagas. Barangkali sikap mereka berdua sudah menjawab semuanya. Mery juga belum sempat mengatakan seberapa jauh hubungannya dengan Basuki karena Bagas bergegas pergi, membawa luka yang pedih perih..  meneteskan segenap duka yang terus menerus mengiris  hatinya.

***

 

"Bagaas..." panggilan ayahnya tak digubris.. ia langsung masuk kekamar.

"Bagaas..." panggilnya lagi. Bagas menjenguk dari balik pintu.

 


"Ma'af bapak, Bagas sedang  tidak enak badan. Bagas mau tiduran dulu ya pak," kata Bagas yang merasa bersalah telah mengacuhkan panggilan ayahnya.

 

Bagas kemudian menutup pintunya.

"mBook," panggil pak Darmono kepada mbok Sumi.

mBok Sumi mendekat.

"Ya pak..."

"Lihat itu Bagas, pulang kerja langsung masuk kekamarnya, katanya nggak enak badan."

"Owalaah, dari kemarin itu pak."

"Coba kamu pijitin atau bawakan obat, tapi tanyakan dulu sakitnya bagaimana. Bingung aku. Beberapa hari ini jarang bicara."

 

"Mas Bagas itu sakitnya sakit cinta kok pak."

"Apa?" tanya pak Darmono terkejut.

"Sakit cinta. Katanya begitu," kata simbok yang langsung masuk kekamar Bagas, meninggalkan pak Darmono termangu ditempatnya.

 

"Mas Bagas.." kata simbok yang lalu memegang kaki momongannya.

Bagas menelungkupkan tubuhnya.

"Simbok pijit ya?"

"Hm..." hanya itu jawaban Bagas.

"Ini masih sakit yang kemarin? Sakit karena pacarnya diambil orang?" 

Bagas tak menjawab. 

 

"Maas... mas, cah gantenge kaya gini kok bisa patah hati. Ya cari lagi to mas, dunia tidak hanya seluas daun kelor."

Simbok masih saja ngedumel sambil memijit-mijit kakinya, tapi Bagas tak menjawab sepatahpun. Ia juga heran pada dirinya, mengapa harus mencintai perempuan yang jauh lebih tua darinya. Dan mengapa melihat kebersamaannya bersama lelaki lain maka hatinya menjadi terluka?

 

"mBok, patah hati itu sakit lho mbok..." keluh Bagas .

"Halaah.. sakit yang seperti apa to mas.. kok seperti nggak ada yang lain saja. Simbok kan sudah bilang, dunia tidak selebar daun kelor. Apalagi mas Bagas ini guanteng.. pinter.. jaan.. mana ada gadis yang nggak suka sama mas Bagas?"

 

"Tapi kan nggak ada yang sama mbok?"

"Lha ya ada saja.. sama-sama perempuan, sama-sama cantik.. Lha kalau cari yang persis mana ada, kecuali kalau dia itu dilahirkan kembar."

Bagas terbatuk-batuk menahan tawa.

 

"Kasihan  bapak lho mas, tadi bapak bilang mas Bagas sakit, wajahnya kelihatan sedih."

"Masa mbok?"

"Iya. Namanya anak semata wayang. Bapak itu punyanya cuma mas Bagas saja, jadi kalau mas Bagas sakit, bapak juga merasakan sakitnya."

"Masa?"

 

"Dibilangi kok mosa-masa terus. Simbok tadi bilang sama bapak, kalau mas Bagas itu sakitnya sakit cinta."

"Apa? Kamu bilang begitu sama bapak?"

 

"Iya mas, kalau sakit cinta kan tidak menghawatirkan, beda kalau yang sakit raganya. Kalau yang sakit raga, maka harus pergi ke dokter, minum obat. Kalau sakit cinta.. ya harus dirinya sendiri yang mengobati.. Dengan begitu bapak tidak usah terlalu khawatir."

Bagas tak menjawab. Mungkin sudah terlelap.

 

***

 

Basuki mengendarai mobilnya pelan, jalanan agak macet karena bersamaan dengan lajunya bis-bis besar yang bertujuan kearah Jakarta.

Ketika dalam keadaan setengah berhenti itu Basuki melihat seorang perempuan setengah tua dikiri jalan, melangkah sempoyongan seperti hendak terjatuh. Rasa iba menyentuh hatinya. Basuki mencari jalan agar bisa  berhenti dikeramaian itu. 

 


Sudah agak jauh dari perempuan itu ketika Basuki berhasil meminggirkan mobilnya dan berhenti. Basuki turun dan setengah berlari mendekati. Ketika sampai, dilihatnya perempuan itu sudah terduduk diatas batu.

 

Terengah Basuki menatap perempuan setengah baya itu. 

"Bu.. ibu sakit?"

Perempuan itu tak menjawab. Agak terkejut melihat seseorang memperhatikannya. Diangkatnya wajahnya yang pucat, menatap Basuki tanpa berkedip. 

"Ibu sakit?

 

Perempuan itu mengangguk lemas.  Basuki ingin mengulurkan uang seperti biasa dilakukannya setiap bertemu dengan orang yang tampaknya pantas dikasihani.

Ia sudah merogoh dompetnya tapi tiba-tiba dilihatnya perempuan itu terkulai, dan menjatuhkan tubuhnya ketanah. Basuki kebingungan. Dilihatnya lalu lalang kendaraan masih ramai, tapi tak seorangpun berhenti untuk memberikan pertolongan. Ia menatap kearah mobilnya, berhenti agak jauh dari perempuan yang terkulai itu.

 

Apa boleh buat, tanpa berfikir panjang Basuki mengangkatnya, dan membawanya kearah mobil. Tubuh kekarnya tampak tak begitu keberatan dengan beban perempuan itu. Bergegas dibukanya mobil dengan jari tangannya. Agak susah karena dia berusaha membuka pintu sambil menggendong perempuan itu, tapi akhirnya ia bisa memasukkannya kedalam mobil, menidurkannya di jok belakang. Ia lega karena perempuan itu masuh bernafas. Yang difikirkannya sekarang adalah, dimana rumah sakit terdekat. Basuki memacu mobilnya, beberapa kilo didepannya adalah Salatiga.

 

Basuki memukul-mukul kemudinya dengan gelisah. Sesekali dilihatnya perempuan yang tergolek dibelakang. Masih diam seperti tadi, atau malah sudah meninggal? Hati Basuki menciut. Bagaimanapun nyawa perempuan itu harus diselamatkannya. Basuki sekarang bukanlah Basuki yang dahulu, yang tak pernah peduli pada penderitaan orang lain. Sekarang hatinya penuh welas asih. Hari-hari yang menggilasnya memupuk jiwanya menjadi jiwa yang bersih dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang murni dan mulia. Rasa welas asih itu mengalahkan segalanya, bahkan kepentingannya sendiri yang sa'at ini ditunggu para anak buahnya untuk memberikan laporan. Yang penting adalah menyelamatkan ibu setengah tua ini.

 

Setengah jam lamanya ia baru bisa memasuki sebuah rumah sakit. Tergesa dia minta agar pihak rumah sakit menyediakan brankar untuk menggotong perempuan yang tak berdaya itu.

Langsung dimasukkannya dia ke UGD untuk mendapatkan perawatan. Basuki lega perempuan itu masih bernyawa.

 

"Tolong, selamatkan dia," pintanya.

Ketika harus mengisi daftar pasien, Basuki kebingungan.

"Siapakah nama ibu itu?"

"Namanya? Saya... saya tidak tahu suster.."

 

Perawat itu menatap heran.

"Tidak tahu? Lalu.. bapak ini siapanya?"

"Saya hanya menemukan dia pingsan ditepi jalan lalu membawanya kemari."

Perawat itu mengangguk-angguk, tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan apa yang diperbuat Basuki. 

 

"Kalau begitu nama Bapak saja."

"Basuki."

"Alamat ?"

Basuki mengulurkan kartu namanya, agar perawat itu mencatatnya sendiri.

"Tolong rawat dia, saya yang akan membayar semua biayanya." katanya kemudian.

 


Perawat yang menerimanya mengangguk. Ia membuatkan tanda terima ketika Basuki menyerahkan sejumlah uang. Basuki juga meninggalkan nomor kontaknya.

"Adakah penjual pakaian disekitar rumah sakit ini?"

"Ada pak, didekat pintu keluar ada sebuah toko yang menjual banyak perlengkapan untuk pasien menginap. Ada pakaian juga."

 

"Kalau begitu bisakah saya minta tolong suster agar membelikan pakaian untuk ibu itu? Mungkin tiga atau empat setel pakaian untuk menggantikan pakaian dia yang lusuh. Buang saja dan gantikan yang bagus dan bersih." katanya sambil membuka dompetnya lagi untuk mengambil beberapa lembar uang ratusan yang lalu diberikannya kepada perawat itu.

"Tolong ya sus, kasihan dia."

"Baiklah pak, saya akan bantu." kata perawat yang merasa kasihan kepada Basuki karena harus memikirkan pakaian untuk si ibu itu, yang belum juga diketahui namanya.

 

Basuki kemudian duduk dikursi tunggu dengan gelisah.

Dilihatnya arloji ditangannya. Jam lima kurang seperempat. Pasti dia sedang ditunggu. Apa boleh buat, Basuki segera menelpon anak buahnya untuk mengundur pertemuan itu.

 

"Aku sedang dirumah sakit, mengantarkan seorang kerabat. Mungkin  malam baru sampai, jadi pertemuan ditunda sampai besok."

Ketika dokter keluar dari ruang perawatan itu, Basuki mengejarnya.

"Dokter, bagaimana keadaannya?"

"Tidak apa-apa, dia hanya dehidrasi, tapi juga ada penyakit yang dideritanya, tidak parah, ada infeksi di saluran pernafasan. Tapi saya belum yakin, tunggu hasil lab nya besok."

"Oh terimakasih dokter."

 

"Anda ... anaknya..?" tanya dokter itu ragu-ragu.

"Buk.. bukan.. saya menemukannya dijalan..."

 

Dokter itu menurunkan kacamatanya, menatap Basuki dengan seksama.

"Anda menemukannya dijalan, dan anda kemudian membawanya kemari?"

"Ya dokter, terimakasih banyak."

 

Dokter itu mengangguk-angguk. Lagi-lagi tatapan penuh kagum terpancar dari mata dokter itu.

Basuki kembali duduk. Ia harus menunggu sampai perempuan itu sadar dan benar-benar menjadi baik.

***

 

"Bagas, hampir maghrib. Kamu bisa bangun?" tanya pak Darmono lembut, takut suaranya mengejutkan Bagas.

Bagas membuka matanya. Dilihatnya ayahnya berdiri disamping pembaringannya, menatapnya khawatir. Benar kata simbok, kalau anak sakit maka orang tua juga pasti akan merasa sakit.

 

"Bapak, Bagas tak apa-apa."

Lalu Bagas bangkit dan duduk ditepi pembaringan. Pak Darmono segera duduk disampingnya.

"Kamu benar-benar tidak sakit? Tadi kamu bilang sedang tidak enak badan."

"Tidak bapak. Hanya kecapekan."

 

"Kata simbok kamu sakit cinta?"

Bagas tersenyum.

"Simbok ada-ada saja."

 

"Kamu memikirkan Mery?"

"Ah, bapak.."

"Tampaknya Mery tak menanggapi perasaanmu .."

Tiba-tiba Bagas jadi ingat Basuki.

 

"Bapak, mas Basuki menitipkan salam untuk bapak."

"Oh, wa'alaikum salam.. Kapan kamu ketemu dia?"

"Kemarin."

"Dia akan menemui bapak dalam waktu dekat."

"Oh, apa ada perlu?"

"Entahlah, Bagas tidak tau."

 

"Benarkah kamu baik-baik saja? Sikapmu tak seperti biasanya."

"Bagas baik-baik saja."

"Ya sudah, sudah maghrib, ayo kita shalat ke masjid."

Bagas mengangguk, ia menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Pak Darmono menatap punggung anaknya dengan berbagai pertanyaan di benaknya. 

 

"Benarkah kata simbok, bahwa Bagas sakit cinta? Tapi ini bukan sikap yang menyenangkan. Ini adalah cinta yang kandas. Cinta yang tak bersambut. Dan pak Darmono merasa bahwa dugaannya hampir benar.

 

***

 

Basuki selesai menjalankan sholat maghrib di mushola rumah sakit itu, ketika perawat mendekatinya.

"Bapak Basuki, ibu itu sudah sadar."

"Apakah dia sudah menyebutkan namanya?"

"Namanya Sumini. Dia tidak punya surat atau keterangan apapun juga."

"Baiklah, saya akan menemuinya." kata Basuki yang kemudian berjalan memasuki ruang dimana Sumini dirawat.

 

Basuki senang, dilihatnya  ibu itu sudah mengenakan pakaian yang bersih dan bagus. 

"Saya sudah membelikan lima setel pakaian, ini sisa uangnya pak," kata perawat itu sambil mengembalikan sisa uangnya.

"Sudah,  untuk suster saja."

"Jangan pak, saya tidak bisa menerimanya, nanti saya mendapat teguran dari atasan saya."

"Oh, baiklah, terimakasih banyak."

"Sama-sama bapak."

 

"Sebentar, apakah bu Sumini memerlukan dirawat disini?"

"Kata dokter ya, mungkin dua atau tiga hari, hasil pemeriksaan laborat akan keluar besok pagi."

"Baiklah, pilihkan kamar yang baik untuk dia. Tidak usah yang VIP tapi jangan yang sekamar berisi beberapa orang."

"Klas satu?"

"Ya, tidak apa-apa, saya akan menemuinya terlebih dulu sebelum saya pulang."

 

Perawat mengangguk, Basuki kemudian beranjak mendekati dimana bu Sumini berbaring. Wajah itu sudah tampak bersih, tapi masih pucat. Ia menatap Basuki lekat-lekat, mencoba mengingat, apakah ia pernah bertemu laki-laki ganteng itu.

 

"Ibu..."

"Anak siapa?"

"Ibu lupa sama saya?"

"Lupa-lupa ingat, seperti penah melihat.. tapi lupa."

"Ibu pingsan ditepi jalan."

 

"Oh, anak yang mendekati saya waktu itu... oh.. sekarang saya dimana? Benarkah dirumah sakit?"

"Benar, ibu harus dirawat disini, mungkin beberapa hari."

"Tidak, biarkan saya pergi.."

Tiba-tiba bu Sumini bangkit, berusaha duduk.

 

"Jangan bu, lihat, ibu masih diinfus. Tidak bisa bangun seenaknya."

"Tidak nak, bagaimana saya harus membayar semua ini? Mana buntalan pakaianku, ada uang hanya sedikit, ya Tuhan, cukupkah untuk membayarnya?"

Mata Sumini berkaca-kaca. 

 

Basuki tak tau ada buntalan pakaian yang tertinggal. Basuki tak perduli. Ia bisa menggantikan semuanya.

"Aku.. ini baju siapa? Aku tidak mau.."

"Bu, tenanglah bu, buntalan pakaian ibu tidak usah ibu fikirkan, ada uang berapa disana, nanti aku gantikan."

"Apa maksudmu? Aku harus membayar pengobatan.. apakah cukup.. hanya duapuluh ribu atau kurang.. cukupkah.. suster? Ini lepaskan pakaianku. Aku tidak mau, mana bajuku tadi?"

 

Perawat yang menunggui didekat Sumini mendekat.

"Bu, ini pakaiaan ibu. Bapak ini membelikan baju-baju untuk ibu. Itu, sudah saya simpan di almari. Bapak ini juga sudah membayar semua biaya selama ibu dirawat. Jadi ibu tenang saja. Sebentar lagi ibu akan dipindahkan ke ruang inap ya."

Sumini tampak binggung.

 

"Suster, tenangkan hati ibu ini, besok saya akan kembali lagi kemari untuk melihat keadaannya."

"Baiklah bapak."

"Bu, ibu tenang saja ya, ibu baru boleh pulang setelah dokter menyatakan sembuh."

 

Sumini masih tampak bingung. Ia tak menjawab sepatah katapun sampai Basuki benar-benar meninggalkannya, dan perawat membawanya kesebuah kamar inap yang bersih."

 

***

 

Pagi itu Bagas yakin bahwa Kristin belum akan masuk kekantor, karena biasanya dia pasti datang beberapa menit setelahnya. Namun sudah jam sembilan pagi Kristin belum tampak batang hidungnya.

 

Bagas benar-benar merasa kesepian. Celoteh yang menyebalkan itu ternyata juga dirindukannya. Aduhai, si centhil, pintar, cantik, tapi teledor. Itu selalu gumamnya kalau mendengar tiba-tiba Kristin berteriak karena melupakan sesuatu.

 

Bagas geleng-geleng kepala. Sejenak ia melupakan Mery yang hampir pasti akan terlepas dari tangannya. Hanya sejenak, lalu ia merasa betapa batinnya sangat teriris. Mery pacaran sama Basuki?  Tapi Bagas belum yakin. Dia harus mendengar sendiri dari Mery, sejauh mana hubungannya dengan Basuki. Tiba-tiba Bagas merasa, bahwa sebelum ada janur melengkung maka kesempatan untuk merebutnya masih terbuka lebar.

 

"Aku akan tetap mendekati mbak Mery, apapun yang terjadi," gumamnya dengan perasaan gelisah. Rasa cemburu itu hampir sama menghilangkan akal sehatnya. Biar belum sa'atnya makan siang, ia akan tetap datang kesana. Ia harus bertemu Mery sekarang juga. 

 

Namun tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendekat, Tidak hanya seorang. Bagas menoleh kearah pintu.

 

***

 

besok lagi ya

 



6 komentar:

  1. Mengapa anda berkali kali mengambil naskah saya tanpa ijin?
    Dan tanpa mencantumkan nama penulisnya juga?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Jadilah orang terhormat dengan mempublikasikan karya sendiri. Bukan mengambil tulisan orang.
    Tulisan saya sudah dibukukan dan punya hak cipta.

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum. Bu Tien.. Saya pengagum cerbung Ibu.. Awalnya dpt kiriman dr group wa para pensiunan untuk mengisi waktu, terus sy coba lihat di google dan sy menyalinnya, sy mohon maaf tdk ijin sm Ibu..sy kirim ke group wa pensiunan.. Sy tdk.tahu kl itu salah..sekali lg sy mohon maaf.. Ya Bu..

    BalasHapus
  5. Ibu Tien.. Sy selalu salin seutuhnya, dengan waktunya dan nama Ibu sebagai pengarangnya, kami semua di group wa para pensiunan berterima kasih kepada Ibu Tien. Merasa terhibur dengan cerbung. Ibu.. Mohon ijin bolehkah kami menyalinnya untuk di pindah ke group wa kami Bu..?

    BalasHapus
  6. Cerita *Cinta Antara Mega* karya Bu Tien Kumalasari sangat bagus, dan semua karya Bu Tien Kumalasari yg sdh saya baca semuanya bagus. Terima kasih Bu Tien..

    BalasHapus