*CINTAKU ADA DIANTARA
MEGA 11*
Bagas
terpaksa berhenti, manahan gemuruh didadanya. Melihat kenyataan ketika mereka
berduaan, pastilah bukan sekedar karena ada pesanan dari Basuki kepada
Mery. Ketika turun dari mobil, lalu Basuki menggandeng lengan Mery,
sangat menusuk perasaan Bagas. Ia lebih baik menghindar, dan suatu sa'at akan
bertanya langsung kepada Mery tentang hubungan mereka. Tapi panggilan itu
membuat langkahnya terhenti.
"Bagaas,"
Mery mengulangnya.
Bagas
menoleh dan kembali menatap pemandangan yang membuat hatinya semakin bergelora.
Bagai ombak dilautan menghempas padas ditepi laut. Terburai memercikkan
semburan air yang memenuhi dadanya. Tapi semburan itu terasa panas, menghentak.
Basuki dan
Mery melangkah mendekati.
"Sudah
mau pulang Gas?"
"Iya,
tadi siang belum sempat makan, lapar, lalu sebelum pulang mampir kemari,"
katanya berbohong.
"Bagas,
ayo masuk dulu, kita bisa omong-omong tentang banyak hal," ajak Basuki,
tapi tangannya tak juga lepas dari lengan Mery. Bagas semakin yakin ada sesuatu
diantara mereka.
"Tidak
mas, aku sangat letih, baru pulang kerja."
"Kamu
dua kali kemari dan tidak ketemu aku bukan?" tanya Mery.
"Iya,
kan sudah biasa kalau saya makan disini selalu ketemu mbak Mery. Sekarang saya
permisi dulu ya."
"Bagas,
benar nih nggak mau omong-omong dulu?" tegur Basuki
"Lain kali saja mas, aku benar-benar
capek."
"Baiklah, sampaikan salamku untuk bapak
ya, bilang aku akan kerumah dalam waktu dekat."
"Ya mas, akan saya sampaikan." kata
Bagas lalu bergegas masuk kedalam mobilnya.
Mery
menatapnya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tau Bagas pasti kecewa melihat
kebersamaannya dengan Basuki. Tapi ia tak sempat berfikir lama, karena Basuki
segera menariknya masuk kedalam warung.
***
Selesai berganti pakaian, Bagas segera
menghempaskan tubuhnya ke pembaringan. Ia memejamkan matanya, mencoba melupakan
semua yang pernah dialaminya bersama Mery. Seakan tak percaya melihat Mery
seperti sudah sangat akrab dengan Basuki. Kapankah mereka berkenalan? Mengapa
ia sama sekali tak mengetahuinya?
Asyik
meronce dari setiap pertemuan ke pertemuan-pertemuan selanjutnya bersama Mery,
membuat Bagas tak sanggup memejamkan matanya.
"Gas..."
panggilan itu membuatnya menatap kearah pintu. Dilihatnya ayahnya berdiri
termangu disana.
"Aku kira kamu tidur."
"Pengin tidur, tapi belum bisa
pak."
Pak
Damono mendekat.
"Kamu tampak lelah Gas... biar simbok
mijitin kamu ya.." kata pak Darmono sambil beranjak kebelakang. Bagas tak
menjawab apapun, sampai ketika simbok datang dan memegang kakinya.
"Mas
Bagas kecapekan. Apa dikantor kerjanya berat?" tanya simbok sambil
memijit-mijit kakinya.
"Aku lagi sedih mbok..." keluh
Bagas lirih.
"Lha kok sedih kenapa mas bagus..
tumben-tumbenan pakai sedih segala."
"Pacarku
diambil orang mbok..." kata Bagas sekenanya. Bagas sangat dekat sama
simbok, karena sejak masih bayi simbok itulah yang merawatnya. Kasih sayang
simbok sudah seperti kepada anak yang dikandungnya sendiri.
"Walaah...
cuma pacar diambil orang saja mengapa sedih mas, mas Bagas itu bagus..
ngguanteng.. cari yang lain apa susahnya mas."
"Aku cintanya sama dia mbok.."
"Cinta
itu makanan apa to mas? Oh ya, simbok jadi ingat, beberapa hari yang lalu, yang
saya juga sudah bilang sama mas Bagas, tentang gadis cantik yang mencari mas
Bagas itu.. apa dia yang mas Bagas maksudkan? Kalau dia, biar saja mas, simbok
kurang suka cara dia perpakaian. Masa sudah pakai baju kok masih kelihatan
semua anunya.."
Bagas tertawa.
"Anunya
itu apa mbok?"
"Itu.. maksud simbok.. barang yang
harusnya disembunyikan.. mengapa dibiarkan mintip-mintip begitu. Saru itu mas.
Nggak apa-apa kalau dia diambil orang mas, cari yang lain yang
bener-bener bisa menjaga kewanitaannya."
"Ah, bukan itu mbok.. gadis lain.."
"O..
bukan ya.. lha tapi siapapun dia.. jangan sampai dibawa sampai sedih begini..
kalau menurut simbok.. cari yang lain saja.. wong cah bagus kok cuma
ditinggal pacar saja sedih. Besok simbok kenalin, itu.. putranya bu Murni
sebelah rumah itu, itu cantik lho mas.. mau ndak?"
"Ih,
simbok ada-ada saja.. nggak usah.. terusin aja mijitnya sampai aku tertidur
ya."
"Ya. tapi nanti maghrib simbok
bangunin lho.."
Bagas memejamkan matanya, berbincang sama
simbok membuat bebannya sedikit berkurang.
***
"Kamu itu seperti anak kecil saja Kris,
kok berjalan saja bisa jatuh," tegur bu Suryo ketika Kristin ada dirumah
orang tuanya.
"Kristin berjalan tergesa-gesa ma,
sementara Kristin memakai sepatu dengan high heel.'
"Ya sudah, besok jangan ke kantor dulu,
ini agak bengkak, butuh sehari dua hari untuk memulihkannya."
"Ya mama.."
Tak
ada yang bisa Kristin lakukan selain mengikuti saran mamanya, karena memang
kakinya benar-benar sakit.
"Sudah berkurang sakitnya?"
"Sudah ma, lihat, sudah tidak bengkak
lagi kan?"
"Sini mama gosokin lagi..."
Hari
itu Kristin kembali bermanja bersama ibunya, setelah pak Suryo menyuruhnya
tinggal sendiri untuk memupuk kemandirian pada jiwa anak gadisnya. Banyak
hal memang membuat Kristin berubah, misalnya bisa menjalankan usaha ayahnya
dengan baik, tapi ia tetaplah gadis manja yang masih suka merengek-rengek pada
mamanya.
"Kris,
mama mendengar dari papa, katanya kamu jatuh cinta pada Bagas?"
"Salahkah itu ma?"
"Tidak, tapi sebagai seorang gadis, kamu
tak pantas terlalu menampakkan perasaan hati kamu, apalagi didepan pria itu.
"
"Bukankah lebih baik berterus terang
daripada sembunyi-sembunyi?"
"Ada
batasan dimana seorang wanita harus duduk pada kodratnya. Ia layak menunggu
bukan mendahului menyatakan cinta. Ada sih beberapa yang melakukannya, tapi
menurut mama, itu kurang pantas. Seringkali seorang laki-laki cenderung lebih
suka kabur menghadapi gadis yang berani seperti itu."
"Masa
sih ma?"
"Itu benar."
Lalu
Kristin teringat pada sikapnya terhadap Bagas yang tampak selalu mengejarnya.
Itukah yang menyebabkan Bagas justru menjauhinya? Barangkali dia muak melihat
tingkah seorang gadis yang terlalu mengejar-ngejarnya.
"Ingat itu Kristin."
Kristin
menatap mamanya. Tampak bersungguh-sungguh. Selama ini mamanya tak pernah
menganggap tindakannya salah. Tapi itu hanya dalam hal berpakaian, memilih
apapun agar dia tampak cantik. Tapi kali ini mamanya mencela cara dia bersikap.
Dan tampaknya itu benar. Kristin harus membenahi sikapnya.
"Ya,
mama.."
"Mama senang melihat cara kamu
berpakaian sekarang. Kamu tampak lebih dewasa."
"Ini karena Bagas ma.."
"Karena Bagas?"
"Bagas tidak suka melihat aku berpakaian
seperti sebelumnya."
"Oh, kalau dia mengingatkan kamu berarti
dia perhatian sama kamu."
"Kristin
nggak tau apa yang dirasakan Bagas."
"Papa kamu bilang, Bagas itu baik. Tampaknya
papa kamu juga suka sama dia."
"Iya, tampaknya begitu.Tapi Bagas
itu sombong ma. Sikapnya selalu acuh tak acuh."
"Mungkin dia terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. Suatu hari mama ingin datang kekantor kamu dan melihat seperti
apa dia."
***
Hari itu Bagas kekantor dengan tubuh lesu.
Hari sudah beranjak siang, namun meja atasan centhilnya masih terlihat kosong.
Kadang tergerak hatinya ingin menanyakan apa yang terjadi, tapi diurungkannya.
"Pasti kakinya masih sakit karena
terkilir kemarin."
Ada
sesal yang merayapi hatinya ketika diingatnya bahwa Kristin terjatuh karena
mengimbangi langkahnya yang terlalu cepat.
"Kasihan juga setelah melihat dia
kesakitan,"
Lalu
tiba-tiba Bagas merasa bahwa ruangannya terasa sepi..
"Bagaaaas.." suara itu sekarang
dirindukannya.
Bagas tersenyum sendiri.
"Cantik..
pintar.. manja.. kolokan.. ceroboh," gumamnya sambil tersenyum.
Sejenak kemudian Bagas sudah melupakannya,
menekuni semua tugasnya, dan kemudian terbayang lagi wajah Mery. Seketika
senyum lucu itu sirna. Bayangan Basuki dan Mery yang sedang berpegangan tangan
menari-nari dikepalanya.
"Aku sudah gila !!"
Bagas
merasa seperti mengejar bayang-bayang. Dia jatuh bangun sendiri dan Mery
hanya menanggapinya sambil tertawa-tawa, seperti mentertawakan anak kecil yang
berceloteh lucu.
Salahkah seandainya Mery menemukan laki-laki
yang dianggapnya pantas dicintai? Tapi alangkah susahnya menghilangkan bayangan
itu. Dan sepi yang melingkupinya terasa semakin menyentak. Lalu keinginan
untuk makan siang diwarung kecintaannya sirna bersamaan dengan kekosongan
jiwanya yang merasa kehilangan cinta.
Ia
tidak beranjak dari tempat duduknya walau waktu makan siang telah lewat. Tak
ada rasa lapar, tak ada hasrat untuk melakukan apapun juga.
Bagas duduk disofa, meluruskan kakinya dan
menyandarkan tubuhnya.
"Bagaaas.."
Bagas terkejut, itu bukan suara kemayu manja
yang sering didengarnya. Suara berat bariton yang membuatnya tergagap dan
segera menegakkan tubuhnya.
"Selamat
siang pak.." sapanya.
"Siang Bagas, aku kira kamu keluar makan
siang."
"Tidak pak Suryo."
"Tidak lapar ?"
"Belum.
"Mau
menemani aku makan siang? Hari ini Kristin istirahat dirumah, kakinya masih
sedikit bengkak."
"Iya, saya tahu pak."
"Ayo makan bersama aku."
"Sekarang?"
"Iya, kapan lagi?"
Bagas berdiri, mengikuti pak Suryo yang
berjalan keluar lebih dulu.
***
Siang itu Basuki makan di warung Mery. Anak
buah Mery sudah diberi tahu bahwa dia adalah calon suami Mery, sehingga tak ada
lagi kasak kusuk diantara mereka.
"Bas,
sejak kapan kamu mengenal Bagas?"
"Belum lama. Kami ketemu suatu pagi
ketika sedang makan cabuk rambak dipinggir jalan. Ayahnya Bagas, pak Darmono
menyapa aku terlebih dulu. Dia teman sekolah almarhum ayahku, dan ternyata
masih mengenali aku, padahal aku hampir lupa wajahnya." Kata Basuki sambil
tertawa.
"Rupanya
wajahku masih seperti ketika remaja."
Mery juga tertawa. Ditatapnya Basuki, memang
seperti tak ada yang berubah sejak dia mengenali dia puluhan tahun lalu, dan
membawanya dari panti asuhan.
"Ketika
itu dia bersama Bagas. Lalu kami berkenalan," lanjutnya.
"Oh.. gitu ya. Biasanya dia makan siang
disini. Kok ini enggak ya."
"Aku
juga nungguin nih... kalau mau akan aku suruh mengawasi usahaku yang di
Ungaran."
"Biasanya sama siapa?"
"Biasanya aku sendiri yang bolak balik
kesana kemari, tapi nanti ketika aku menikah, aku ingin menetap disini saja.
Nggak akan tahan lama-lama berpisah sama isteriku," katanya sambil menatap
Mery mesra. Mery tersipu, lalu menyibukkan dirinya mengaduk es jeruk
didepannya, sambil membayangkan hari bahagia yang hampir tiba.
"Aku
ingin sekali ketemu mas Timan."
"Kapan mau kesana ?"
"Mas Timan pulangnya sore. Tapi biasanya
pulangnya lebih dulu aku. Aku kan sering pulang sebelum tutup warung."
"Besok saja menunggu waktu yang tepat.
Mungkin hari Minggu. Apakah warung ini juga buka dihari Minggu?"
"Selalu buka, so'alnya kalau Minggu biasanya lebih rame lagi. Tapi aku
tidak ke warung. Santai dirumah bersama Sri dan Tiwi."
"Baiklah
Minggu saja, so'alnya nanti sore aku mau ke Ungaran."
"Aku ingin sekali mengunjungi Panti
Asuhan tempat dimana dia membesarkan aku."
"Aku juga berpikir begitu. Nanti kalau
sudah dekat sa'atnya kita menikah, aku ajak kamu kesana."
Mery
mengangguk. Ia merasa sangat keterlaluan karena belum pernah sekalipun menengok
kesana. Ia dibesarkan disana, ketika remaja dan bersekolah SMA Basuki
mengambilnya, memberikan segala kesenangan dan kemewahan, sekaligus dijadikan
kekasihnya, dan sejak sa'at itu Mery jatuh cinta pada Basuki. Tapi Basuki
tidak pernah mencintainya. Itu adalah masa gemerlapnya duniawi, tapi kelam
untuk hdupnya.
Semuanya
telah berlalu. Dunia yang benderang menyambutnya, menuntunnya mencapai segala
keinginannya, bahkan cinta yang semula dititipkannya dibalik mega.
"Sekarang
aku mau pulang dulu, mau langsung ke Ungaran.
"Baiklah, hati-hati dijalan, dan jangan
lupa bahwa aku menunggumu," bisik Mery lirih ketika mengantarnya sampai ke
mobil. Basuki menggenggam erat tangan Mery, lalu menciumnya lembut, sebelum
kemudian masuk kemobilnya dan dengan sebuah lambaian tangan, mobilnya
meninggalkan area parkir itu.
Namun
ketika Mery mau memasuki warung, dilihatnya sebuah mobil berhenti, ditempat
dimana tadi Basuki memarkir mobilnya.
Mery menoleh sejenak, tapi kemudian
menunggunya karena melihat Bagas ada didalamnya. Mery tersenyum lebar, senang
melihatnya setelah berhari-hari tidak ketemu.
Tapi
Bagas tidak sendiri. Ada pak Suryo yang turun bersamanya. Mery menganggukkan
kepalanya.
"Silahkan.. silahkan, sambutnya
ramah."
Pak Suryo tersenyum, lalu duduk disebuah
bangku.
"Apa
kabar Bagas? Berapa hari tidak ketemu, kamu agak kurusan? Kamu sakit?"
"Aku sakit hati mbak," jawab Bagas
pelan, agar jangan sampai pak Suryo mendengarnya.
Mery tersenyum, menepuk lembut pundak Bagas.
"Banyak yang ingin aku tanyakan pada
mbak Mery."
"Oh, ya.. apa tuh?"
"Nanti
sesampai dikantor aku akan menelpun, jangan sampai tidak diangkat seperti yang
sudah-sudah ya."
"Oh, waktu itu ponsel aku silent, aku
tidak mendengar. Ma'af ya. Ayo duduklah, kamu sudah ditunggu."
Bagas
meninggalkan Mery yang langsung bergegas kebelakang, lalu duduk didepan pak
Suryo.
"Pemilik warung itu sangat cantik,
cantik yang matang. Dia memiliki sifat keibuan."
Bagas tak menjawab, dalam hati dia tak
membantah kata-kata pak Suryo. Ia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan.
"Aku
nasi timlo, bukankah disini yang istimewa adalah timlonya?"
"Aku juga mas. Jadi nasi timlo dua, teh
panas satu.."
"Aku juga teh panas."
Lalu pelayan itu berlalu.
"Bagas,
apa bapak kamu pernah mengajak kamu bicara?"
Bagas berdebar-debar. Kalau pak Suryo yang
mengatakannya pasti akan susah menjawabnya.
"Tentang.. apa ya pak?"
"Kristin bosan mengelola usahaku. Aku
pernah bilang pada ayahmu, bagaimana kalau kamu yang melakukannya?"
Bagas
menundukkan kepalanya. Ia memainkan jari-jarinya yang terletak dipangkuannya.
"Apakah itu berat untuk kamu?"
"Sangat berat pak," jawab Bagas
hati-hati.
"Mengapa?"
"Saya tidak berpengalaman dalam
mengelola sebuah perusahaan. Dan itu sebuah tanggung jawab yang bukan
main-main."
"Kan kamu tidak akan aku lepas sendiri
Bagas."
"Berilah saya waktu untuk berfikir pak,
ini sungguh berat bagi saya."
Pak
Suryo mengangguk-angguk. Ia semakin kagum pada Bagas, karena tak mudah tergiur
oleh iming-iming kedudukan yang pasti akan sangat diinginkan oleh banyak orang.
Ketika pelayan menghidangkan pesanan,
keduanya menikmati tanpa mengeluarkan suara.
***
Tapi janji untuk menelpon Mery itu tak
kesampaian, karena pak Suryo ada dikantor sampai menjelang jam kerja selesai.
Ia meneliti semua hasil kerja Kristin,
terkadang mengangguk-angguk, terkadang menggeleng-gelengkan kepala. Namun ia
tak mengatakan apapun pada Bagas, yang tenggelam juga dalam pekerjaannya
sendiri.
"Tak
terasa, sudah jam setengah empat ya Gas," kata pak Suryo sambil
menggeliatkan tubuhnya perlahan.
"Iya pak."
"Lama
tidak duduk dikursi kerja, kok ya terasa capek," kata pak Suryo sambil
meneguk minumannya, lalu berdiri dan sekali lagi menggeliatkan tubuhnya.
"Pegel rasanya. Aku mau pulang dulu ya
Gas, apa kamu mau bersama-sama aku?"
"Tidak pak, saya membawa mobil
sendiri."
"Baiklah,
segera pulang saja Gas, sudah sore."
"Baik pak."
Dan
Bagas memang segera beranjak dari kursinya, membereskan semua lembar kerja yang
ada dimeja nya, lalu iapun bersiap-siap untuk pulang.
***
Mery
hampir sampai dipintu keluar ketika tiba-tiba Bagas muncul ditengah tengah
pintu.
"mBak Mery mau pulang?"
"Iya, kamu mau makan?"
"Enggak sih, sebenarnya ingin
omong-omong saja sama mbak Mery."
"Kalau begitu minum saja, ayo masuklah,
tutup masih kira-kira sejam lagi."
Bagas
duduk dihadapan Mery, lalu menjadi bingung untuk memulai percakapan. Haruskah
ia langsung menanyakan hubungan Mery dengan Basuki? Atau apa?
Ketika pelayan mengantarkan minuman atas
pesanan Mery, Bagas justru mengaduk-aduknya tanpa mengucapkan apapun.
"Bagas,
kamu tampak gelisah. Ada apa?"
"Bingung mau mengatakan apa. Aku kangen
sama mbak Mery."
"Sekarang sudah ketemu, jadi nggak
kangen lagi kan?"
"mBak, saya agak heran mbak Mery kenal
sama mas Basuki. "
"Mengapa heran?"
"Berapa lama mbak Mery kenal sama mas
Basuki? Baru beberapa hari ini kan?"
"Tidak, kami kenal sudah hampir
duapuluhan tahun yang lalu."
Bagas terbelalak.
"Duapuluhan
tahun? Aku masih kanak-kanak dong."
"Ketika itu umurku belum genap
tujuhbelas tahun."
Bagas mulai menghitung hitung. Berarti
dirinya sama Mery terpaut kira-kira duabelasan tahun. Bagas menatap Mery.
"Ada
apa? Nggak percaya ?"
"mBak Mery masih tampak sangat muda.
Mungkin lebih tua dari aku, tapi tak terbayang bahwa terpautnya lumayan
banyak."
"Sekarang kamu tau kan? Bahwa mbak
Merymu ini sudah tua ?"
Bagas
menatap Mery lekat-lekat. Tak ada rasa kecewa dihatinya walau Mery dan dirinya
terpaut sepuluh tahun lebih.
"Bagas.."
"Apa salahnya kalau mbak Mery jauh
diatas umur saya?"
"Apa maksudmu Bagas?"
"Aku tetap suka sama mbak Mery,"
Mery
terkejut, Ia harus berterus terang pada Bagas tentang hubungannya dengan
Basuki.
Mery belum sempat mengatakannya ketika
tiba-tiba Basuki kembali.
"Mery... ponselku tertinggal disini
?"
***
besok lagi ya.
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 12*
"Ponsel ketinggalan?" pekik Mery.
Seorang pelayan tiba-tiba berlari.
"Ini punya bapak?"
"Oh, iya benar.. terimakasih ya,"
katanya kepada pelayan itu, yang kemudian mengangguk dan berlalu.
"Ada Bagas disini?"
Bagas
mencoba tersenyum, senyum paling masam yang pernah dia berikan. Barangkali
lebih masam dari yang namanya asam.
"Iya mas.. ini sudah mau pulang."
"Sebenarnya ada yang aku ingin bilang
sama kamu, tapi aku sedang tergesa-gesa, jadi nanti lain kali saja kita
bicara."
"Oh, baiklah."
"Mery,
aku pergi dulu," kata Basuki kepada Mery, sambil menyentuh lengannya.
"Hati-hati, jangan sampai hidung kamu
ketinggalan juga," canda Mery.
Basuki tertawa sambil berlalu. Ia
tampak tergesa-gesa.
Bagas
berdiri.
"Lho, minumnya belum dihabiskan."
"Sudah, terimakasih."
Tak
ada yang perlu ditanyakan Bagas. Barangkali sikap mereka berdua sudah menjawab
semuanya. Mery juga belum sempat mengatakan seberapa jauh hubungannya dengan
Basuki karena Bagas bergegas pergi, membawa luka yang pedih perih..
meneteskan segenap duka yang terus menerus mengiris hatinya.
***
"Bagaas..." panggilan ayahnya tak
digubris.. ia langsung masuk kekamar.
"Bagaas..." panggilnya lagi. Bagas
menjenguk dari balik pintu.
"Ma'af
bapak, Bagas sedang tidak enak badan. Bagas mau tiduran dulu ya
pak," kata Bagas yang merasa bersalah telah mengacuhkan panggilan ayahnya.
Bagas
kemudian menutup pintunya.
"mBook," panggil pak Darmono kepada
mbok Sumi.
mBok Sumi mendekat.
"Ya pak..."
"Lihat itu Bagas, pulang kerja langsung
masuk kekamarnya, katanya nggak enak badan."
"Owalaah, dari kemarin itu pak."
"Coba kamu pijitin atau bawakan obat,
tapi tanyakan dulu sakitnya bagaimana. Bingung aku. Beberapa hari ini jarang
bicara."
"Mas
Bagas itu sakitnya sakit cinta kok pak."
"Apa?" tanya pak Darmono terkejut.
"Sakit cinta. Katanya begitu," kata
simbok yang langsung masuk kekamar Bagas, meninggalkan pak Darmono termangu
ditempatnya.
"Mas
Bagas.." kata simbok yang lalu memegang kaki momongannya.
Bagas menelungkupkan tubuhnya.
"Simbok pijit ya?"
"Hm..." hanya itu jawaban Bagas.
"Ini masih sakit yang kemarin? Sakit
karena pacarnya diambil orang?"
Bagas tak menjawab.
"Maas...
mas, cah gantenge kaya gini kok bisa patah hati. Ya cari lagi to mas, dunia
tidak hanya seluas daun kelor."
Simbok masih saja ngedumel sambil
memijit-mijit kakinya, tapi Bagas tak menjawab sepatahpun. Ia juga heran pada
dirinya, mengapa harus mencintai perempuan yang jauh lebih tua darinya. Dan
mengapa melihat kebersamaannya bersama lelaki lain maka hatinya menjadi
terluka?
"mBok,
patah hati itu sakit lho mbok..." keluh Bagas .
"Halaah.. sakit yang seperti apa to
mas.. kok seperti nggak ada yang lain saja. Simbok kan sudah bilang, dunia
tidak selebar daun kelor. Apalagi mas Bagas ini guanteng.. pinter.. jaan.. mana
ada gadis yang nggak suka sama mas Bagas?"
"Tapi
kan nggak ada yang sama mbok?"
"Lha ya ada saja.. sama-sama perempuan,
sama-sama cantik.. Lha kalau cari yang persis mana ada, kecuali kalau dia itu
dilahirkan kembar."
Bagas terbatuk-batuk menahan tawa.
"Kasihan
bapak lho mas, tadi bapak bilang mas Bagas sakit, wajahnya kelihatan
sedih."
"Masa mbok?"
"Iya. Namanya anak semata wayang. Bapak
itu punyanya cuma mas Bagas saja, jadi kalau mas Bagas sakit, bapak juga
merasakan sakitnya."
"Masa?"
"Dibilangi
kok mosa-masa terus. Simbok tadi bilang sama bapak, kalau mas Bagas itu
sakitnya sakit cinta."
"Apa? Kamu bilang begitu sama
bapak?"
"Iya
mas, kalau sakit cinta kan tidak menghawatirkan, beda kalau yang sakit raganya.
Kalau yang sakit raga, maka harus pergi ke dokter, minum obat. Kalau sakit
cinta.. ya harus dirinya sendiri yang mengobati.. Dengan begitu bapak tidak
usah terlalu khawatir."
Bagas tak menjawab. Mungkin sudah terlelap.
***
Basuki mengendarai mobilnya pelan, jalanan
agak macet karena bersamaan dengan lajunya bis-bis besar yang bertujuan kearah
Jakarta.
Ketika dalam keadaan setengah berhenti itu
Basuki melihat seorang perempuan setengah tua dikiri jalan, melangkah
sempoyongan seperti hendak terjatuh. Rasa iba menyentuh hatinya. Basuki mencari
jalan agar bisa berhenti dikeramaian itu.
Sudah
agak jauh dari perempuan itu ketika Basuki berhasil meminggirkan mobilnya dan
berhenti. Basuki turun dan setengah berlari mendekati. Ketika sampai,
dilihatnya perempuan itu sudah terduduk diatas batu.
Terengah
Basuki menatap perempuan setengah baya itu.
"Bu.. ibu sakit?"
Perempuan itu tak menjawab. Agak terkejut
melihat seseorang memperhatikannya. Diangkatnya wajahnya yang pucat, menatap Basuki
tanpa berkedip.
"Ibu sakit?
Perempuan
itu mengangguk lemas. Basuki ingin mengulurkan uang seperti biasa
dilakukannya setiap bertemu dengan orang yang tampaknya pantas dikasihani.
Ia sudah merogoh dompetnya tapi tiba-tiba
dilihatnya perempuan itu terkulai, dan menjatuhkan tubuhnya ketanah. Basuki
kebingungan. Dilihatnya lalu lalang kendaraan masih ramai, tapi tak seorangpun
berhenti untuk memberikan pertolongan. Ia menatap kearah mobilnya, berhenti
agak jauh dari perempuan yang terkulai itu.
Apa
boleh buat, tanpa berfikir panjang Basuki mengangkatnya, dan membawanya kearah
mobil. Tubuh kekarnya tampak tak begitu keberatan dengan beban perempuan itu.
Bergegas dibukanya mobil dengan jari tangannya. Agak susah karena dia berusaha
membuka pintu sambil menggendong perempuan itu, tapi akhirnya ia bisa
memasukkannya kedalam mobil, menidurkannya di jok belakang. Ia lega karena
perempuan itu masuh bernafas. Yang difikirkannya sekarang adalah, dimana rumah
sakit terdekat. Basuki memacu mobilnya, beberapa kilo didepannya adalah
Salatiga.
Basuki memukul-mukul kemudinya dengan
gelisah. Sesekali dilihatnya perempuan yang tergolek dibelakang. Masih diam
seperti tadi, atau malah sudah meninggal? Hati Basuki menciut. Bagaimanapun
nyawa perempuan itu harus diselamatkannya. Basuki sekarang bukanlah Basuki yang
dahulu, yang tak pernah peduli pada penderitaan orang lain. Sekarang hatinya
penuh welas asih. Hari-hari yang menggilasnya memupuk jiwanya menjadi jiwa yang
bersih dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang murni dan mulia. Rasa welas
asih itu mengalahkan segalanya, bahkan kepentingannya sendiri yang sa'at ini
ditunggu para anak buahnya untuk memberikan laporan. Yang penting adalah
menyelamatkan ibu setengah tua ini.
Setengah
jam lamanya ia baru bisa memasuki sebuah rumah sakit. Tergesa dia minta agar
pihak rumah sakit menyediakan brankar untuk menggotong perempuan yang tak
berdaya itu.
Langsung dimasukkannya dia ke UGD untuk
mendapatkan perawatan. Basuki lega perempuan itu masih bernyawa.
"Tolong,
selamatkan dia," pintanya.
Ketika harus mengisi daftar pasien, Basuki
kebingungan.
"Siapakah nama ibu itu?"
"Namanya? Saya... saya tidak tahu
suster.."
Perawat
itu menatap heran.
"Tidak
tahu? Lalu.. bapak ini siapanya?"
"Saya hanya menemukan dia pingsan ditepi
jalan lalu membawanya kemari."
Perawat itu mengangguk-angguk, tak bisa
menyembunyikan rasa kagumnya menyaksikan apa yang diperbuat Basuki.
"Kalau begitu nama Bapak saja."
"Basuki."
"Alamat ?"
Basuki mengulurkan kartu namanya, agar
perawat itu mencatatnya sendiri.
"Tolong rawat dia, saya yang akan
membayar semua biayanya." katanya kemudian.
Perawat
yang menerimanya mengangguk. Ia membuatkan tanda terima ketika Basuki
menyerahkan sejumlah uang. Basuki juga meninggalkan nomor kontaknya.
"Adakah penjual pakaian disekitar rumah
sakit ini?"
"Ada pak, didekat pintu keluar ada
sebuah toko yang menjual banyak perlengkapan untuk pasien menginap. Ada pakaian
juga."
"Kalau
begitu bisakah saya minta tolong suster agar membelikan pakaian untuk ibu itu?
Mungkin tiga atau empat setel pakaian untuk menggantikan pakaian dia yang
lusuh. Buang saja dan gantikan yang bagus dan bersih." katanya sambil
membuka dompetnya lagi untuk mengambil beberapa lembar uang ratusan yang lalu
diberikannya kepada perawat itu.
"Tolong ya sus, kasihan dia."
"Baiklah pak, saya akan bantu."
kata perawat yang merasa kasihan kepada Basuki karena harus memikirkan pakaian
untuk si ibu itu, yang belum juga diketahui namanya.
Basuki
kemudian duduk dikursi tunggu dengan gelisah.
Dilihatnya arloji ditangannya. Jam lima
kurang seperempat. Pasti dia sedang ditunggu. Apa boleh buat, Basuki segera
menelpon anak buahnya untuk mengundur pertemuan itu.
"Aku
sedang dirumah sakit, mengantarkan seorang kerabat. Mungkin malam baru
sampai, jadi pertemuan ditunda sampai besok."
Ketika dokter keluar dari ruang perawatan
itu, Basuki mengejarnya.
"Dokter, bagaimana keadaannya?"
"Tidak apa-apa, dia hanya dehidrasi,
tapi juga ada penyakit yang dideritanya, tidak parah, ada infeksi di saluran
pernafasan. Tapi saya belum yakin, tunggu hasil lab nya besok."
"Oh terimakasih dokter."
"Anda
... anaknya..?" tanya dokter itu ragu-ragu.
"Buk.. bukan.. saya menemukannya
dijalan..."
Dokter
itu menurunkan kacamatanya, menatap Basuki dengan seksama.
"Anda menemukannya dijalan, dan anda
kemudian membawanya kemari?"
"Ya dokter, terimakasih banyak."
Dokter
itu mengangguk-angguk. Lagi-lagi tatapan penuh kagum terpancar dari mata dokter
itu.
Basuki kembali duduk. Ia harus menunggu
sampai perempuan itu sadar dan benar-benar menjadi baik.
***
"Bagas, hampir maghrib. Kamu bisa
bangun?" tanya pak Darmono lembut, takut suaranya mengejutkan Bagas.
Bagas membuka matanya. Dilihatnya ayahnya
berdiri disamping pembaringannya, menatapnya khawatir. Benar kata simbok, kalau
anak sakit maka orang tua juga pasti akan merasa sakit.
"Bapak,
Bagas tak apa-apa."
Lalu Bagas bangkit dan duduk ditepi
pembaringan. Pak Darmono segera duduk disampingnya.
"Kamu benar-benar tidak sakit? Tadi kamu
bilang sedang tidak enak badan."
"Tidak bapak. Hanya kecapekan."
"Kata
simbok kamu sakit cinta?"
Bagas tersenyum.
"Simbok ada-ada saja."
"Kamu
memikirkan Mery?"
"Ah, bapak.."
"Tampaknya Mery tak menanggapi
perasaanmu .."
Tiba-tiba Bagas jadi ingat Basuki.
"Bapak,
mas Basuki menitipkan salam untuk bapak."
"Oh, wa'alaikum salam.. Kapan kamu
ketemu dia?"
"Kemarin."
"Dia akan menemui bapak dalam waktu
dekat."
"Oh, apa ada perlu?"
"Entahlah, Bagas tidak tau."
"Benarkah
kamu baik-baik saja? Sikapmu tak seperti biasanya."
"Bagas baik-baik saja."
"Ya sudah, sudah maghrib, ayo kita
shalat ke masjid."
Bagas mengangguk, ia menyambar handuk dan
bergegas ke kamar mandi. Pak Darmono menatap punggung anaknya dengan berbagai
pertanyaan di benaknya.
"Benarkah
kata simbok, bahwa Bagas sakit cinta? Tapi ini bukan sikap yang menyenangkan.
Ini adalah cinta yang kandas. Cinta yang tak bersambut. Dan pak Darmono merasa
bahwa dugaannya hampir benar.
***
Basuki
selesai menjalankan sholat maghrib di mushola rumah sakit itu, ketika perawat
mendekatinya.
"Bapak Basuki, ibu itu sudah
sadar."
"Apakah dia sudah menyebutkan
namanya?"
"Namanya Sumini. Dia tidak punya surat
atau keterangan apapun juga."
"Baiklah, saya akan menemuinya."
kata Basuki yang kemudian berjalan memasuki ruang dimana Sumini dirawat.
Basuki
senang, dilihatnya ibu itu sudah mengenakan pakaian yang bersih dan
bagus.
"Saya sudah membelikan lima setel
pakaian, ini sisa uangnya pak," kata perawat itu sambil mengembalikan sisa
uangnya.
"Sudah, untuk suster saja."
"Jangan pak, saya tidak bisa
menerimanya, nanti saya mendapat teguran dari atasan saya."
"Oh, baiklah, terimakasih banyak."
"Sama-sama bapak."
"Sebentar,
apakah bu Sumini memerlukan dirawat disini?"
"Kata dokter ya, mungkin dua atau tiga
hari, hasil pemeriksaan laborat akan keluar besok pagi."
"Baiklah, pilihkan kamar yang baik untuk
dia. Tidak usah yang VIP tapi jangan yang sekamar berisi beberapa orang."
"Klas satu?"
"Ya, tidak apa-apa, saya akan menemuinya
terlebih dulu sebelum saya pulang."
Perawat
mengangguk, Basuki kemudian beranjak mendekati dimana bu Sumini berbaring.
Wajah itu sudah tampak bersih, tapi masih pucat. Ia menatap Basuki lekat-lekat,
mencoba mengingat, apakah ia pernah bertemu laki-laki ganteng itu.
"Ibu..."
"Anak siapa?"
"Ibu lupa sama saya?"
"Lupa-lupa ingat, seperti penah
melihat.. tapi lupa."
"Ibu pingsan ditepi jalan."
"Oh,
anak yang mendekati saya waktu itu... oh.. sekarang saya dimana? Benarkah
dirumah sakit?"
"Benar, ibu harus dirawat disini,
mungkin beberapa hari."
"Tidak, biarkan saya pergi.."
Tiba-tiba bu Sumini bangkit, berusaha duduk.
"Jangan
bu, lihat, ibu masih diinfus. Tidak bisa bangun seenaknya."
"Tidak nak, bagaimana saya harus
membayar semua ini? Mana buntalan pakaianku, ada uang hanya sedikit, ya Tuhan,
cukupkah untuk membayarnya?"
Mata Sumini berkaca-kaca.
Basuki
tak tau ada buntalan pakaian yang tertinggal. Basuki tak perduli. Ia bisa
menggantikan semuanya.
"Aku.. ini baju siapa? Aku tidak
mau.."
"Bu, tenanglah bu, buntalan pakaian ibu
tidak usah ibu fikirkan, ada uang berapa disana, nanti aku gantikan."
"Apa maksudmu? Aku harus membayar
pengobatan.. apakah cukup.. hanya duapuluh ribu atau kurang.. cukupkah..
suster? Ini lepaskan pakaianku. Aku tidak mau, mana bajuku tadi?"
Perawat
yang menunggui didekat Sumini mendekat.
"Bu, ini pakaiaan ibu. Bapak ini
membelikan baju-baju untuk ibu. Itu, sudah saya simpan di almari. Bapak ini
juga sudah membayar semua biaya selama ibu dirawat. Jadi ibu tenang saja.
Sebentar lagi ibu akan dipindahkan ke ruang inap ya."
Sumini tampak binggung.
"Suster,
tenangkan hati ibu ini, besok saya akan kembali lagi kemari untuk melihat
keadaannya."
"Baiklah bapak."
"Bu, ibu tenang saja ya, ibu baru boleh
pulang setelah dokter menyatakan sembuh."
Sumini
masih tampak bingung. Ia tak menjawab sepatah katapun sampai Basuki benar-benar
meninggalkannya, dan perawat membawanya kesebuah kamar inap yang bersih."
***
Pagi
itu Bagas yakin bahwa Kristin belum akan masuk kekantor, karena biasanya dia
pasti datang beberapa menit setelahnya. Namun sudah jam sembilan pagi Kristin
belum tampak batang hidungnya.
Bagas
benar-benar merasa kesepian. Celoteh yang menyebalkan itu ternyata juga
dirindukannya. Aduhai, si centhil, pintar, cantik, tapi teledor. Itu selalu
gumamnya kalau mendengar tiba-tiba Kristin berteriak karena melupakan sesuatu.
Bagas
geleng-geleng kepala. Sejenak ia melupakan Mery yang hampir pasti akan terlepas
dari tangannya. Hanya sejenak, lalu ia merasa betapa batinnya sangat teriris.
Mery pacaran sama Basuki? Tapi Bagas belum yakin. Dia harus mendengar
sendiri dari Mery, sejauh mana hubungannya dengan Basuki. Tiba-tiba Bagas
merasa, bahwa sebelum ada janur melengkung maka kesempatan untuk merebutnya
masih terbuka lebar.
"Aku
akan tetap mendekati mbak Mery, apapun yang terjadi," gumamnya dengan
perasaan gelisah. Rasa cemburu itu hampir sama menghilangkan akal sehatnya.
Biar belum sa'atnya makan siang, ia akan tetap datang kesana. Ia harus bertemu
Mery sekarang juga.
Namun
tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendekat, Tidak hanya seorang. Bagas
menoleh kearah pintu.
***
besok
lagi ya
Mengapa anda berkali kali mengambil naskah saya tanpa ijin?
BalasHapusDan tanpa mencantumkan nama penulisnya juga?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJadilah orang terhormat dengan mempublikasikan karya sendiri. Bukan mengambil tulisan orang.
BalasHapusTulisan saya sudah dibukukan dan punya hak cipta.
Assalamualaikum. Bu Tien.. Saya pengagum cerbung Ibu.. Awalnya dpt kiriman dr group wa para pensiunan untuk mengisi waktu, terus sy coba lihat di google dan sy menyalinnya, sy mohon maaf tdk ijin sm Ibu..sy kirim ke group wa pensiunan.. Sy tdk.tahu kl itu salah..sekali lg sy mohon maaf.. Ya Bu..
BalasHapusIbu Tien.. Sy selalu salin seutuhnya, dengan waktunya dan nama Ibu sebagai pengarangnya, kami semua di group wa para pensiunan berterima kasih kepada Ibu Tien. Merasa terhibur dengan cerbung. Ibu.. Mohon ijin bolehkah kami menyalinnya untuk di pindah ke group wa kami Bu..?
BalasHapusCerita *Cinta Antara Mega* karya Bu Tien Kumalasari sangat bagus, dan semua karya Bu Tien Kumalasari yg sdh saya baca semuanya bagus. Terima kasih Bu Tien..
BalasHapus