*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 13*
Bagas
meletakkan lagi kunci mobilnya diatas meja, tersenyum menatap gadis didepannya.
"mBak
Kristin, sudah sehat?"
"Sudah
lumayan. Ini mama, belum pernah ketemu ya?"
Bagas
menatap wanita cantik yang tampak anggun, yang berdiri disamping Kristin.
Ibunya cantik, pantesan anaknya juga cantik. Bisik batin Bagas.
"Oh,
ma'af," kata Bagas sambil menyalami bu Suryo dengan hidmat.
"Jadi
kamu yang namanya Bagas?"
"Iya
ibu."
Berdiri
tegak, dengan kaki kiri bagian tumit terbalut tensocrepe, Kristin masih tampak
cantik dan memukau. Ia hanya menatap Bagas, tidak meneriakinya seperti
biasanya. Bagas tiba-tiba merasa aneh. Sikap Kristin sangat lain. Tapi mungkin
Kristin sungkan pada ibunya sehingga bersikap biasa saja.
"Silahkan
duduk," kata Bagas mempersilahkan.
"Tidak,
kami hanya sebentar. Tadi dari rumah sakit, kontrol kaki Kristin yang masih
agak bengkak, lalu mampir karena lewat."
"Oh,
tapi sudah tidak apa-apa kan mbak?" tanya Bagas sambil menatap Kristin.
"Sudah
lumayan baik, bisa berjalan sendiri walau agak terpincang, dan memakai sandal
seperti ini, nggak bisa pakai high heels lagi," jawabnya sambil
tersenyum.
"Mulai
sekarang jangan memakai sepatu yang high heels, bahaya kalau kamu masih senang
berlarian," kata bu Suryo.
Bagas
hanya mengangguk membenarkan,
"Bagaimana
sekarang, langsung pulang atau masih ingin mengerjakan sesuatu ?"
"Tidak
ma, papa sudah mengerjakannya kemarin. Kita langsung pulang saja, kan ibu hanya
ingin melihat kantor Kristin?"
"Iya
benar, baiklah Bagas, kami pulang dulu."
"Silahkan
ibu," Bagas mengantar sampai ke pintu keluar, tak lupa membawa kunci
mobilnya, karena dia akan langsung keluar makan juga, tepatnya ingin bertemu
Mery.
***
Hari sudah
siang tapi Mery belum juga beranjak dari rumah. Ia asyik bermain bersama Tiwi,
sementara Sri memasak didapur.
Entah
mengapa, Mery enggan berangkat karena tak ada janji Basuki untuk datang. Dia
sedang ke rumahnya di Ungaran dan hari Minggu baru akan kembali.
"Ibu
Meliiii... ibu Meliiii..." teriak Tiwi dengan mulut cedalnya.
"Ya
sayang..."
"Kapan
kita mau halan..halan... ibu.."
"Oh,
iya.. boleh.. boleh.. bagaimana kalau besok Minggu?"
"Aciiiikkkk....
becok Inggu... becok Inggu..." Tiwi melonjak-lonjak kegirangan.
"Hayo..
besok Minggu janjian mau kemana nih?" kata Sri yang tiba-tiba sudah ada
diantara mereka.
"Becok
Inggu mau halan-halaaan.. ibu Ciii..."
"Ohh..
iya..?"
"Ibu
Ci mau itut ?"
"Iya
dong, ibu Sri ikut, nanti kalau ditinggal, ibu Sri nangis dong.."
Tiwi
terkekeh...
"Ibu
Meliii... ibu Ci boleh itut kan?"
"Iya
sayang, semua boleh ikut.."
"Sama
apak juga?"
"Iya..
sama bapak...."
Tiwi terus
berjingkrak-jingkrak.. lalu mendekati bonekanya.
"Becok
Inggu aku mau halan-halan..kamu mau itut?"
Sri dan
Mery tersenyum senang melihat ulah Tiwi yang lucu.
"mBak
Mery bener nih, nggak kewarung?"
"Sebentar
lagi, aku mau omong-omong nih sama kamu."
"Waah,
pasti berita gembira nih, kelihatan dari wajah mbak Mery yang selalu berseri
dihari-hari terakhir ini."
"Aku
sudah ketemu Basuki beberapa hari yang lalu."
"Haaaa,
sudah aku duga.. Lalu..lalu..?"
"Dia
bilang... dia mencintai aku..."
"Aduhaiiii....
Sri bersorak seperti anak kecil. Matanya berbinar karena merasa ikut berbahagia
mendengar penuturan Mery.
"Dia
ingin kami segera menikah...."
"Allah
hu akbar..." kata Sri sambil menadahkan kedua tangannya keatas.
"Sri...
aku baru cerita kali ini karena aku belum begitu yakin sebelumnya."
"Sekarang
sudah benar-benar yakin?"
"Dia
sudah berubah. Dia bukan Basuki yang ugal-ugalan setiap ketemu perempuan
cantik. Dia baik hati, dia dermawan, dia penuh welas asih.. pokoknya segala
kebaikan ada padanya."
"Aku
ikut bahagia mbak."
"Ini
semua karena kamu Sri.."
"Kok
karena aku sih mbak?"
"Perubahan
ini terjadi setelah kamu berhasil terlepas dari tangannya."
"Berarti
ini semua karena mbak Mery."
"Sri,
kamu mengajarkan padaku tentang banyak hal. Tentang semua perbuatan baik,
tentang Tuhan, tentang bagaimana berjuang.. tentang.... apa saja, bahkan aku
bisa memasak juga karena kamu."
"Ah,
itu berlebihan .. orang bisa berubah karena kesadarannya akan suatu langkah
keliru yang pernah dilakukan. Hatinya, nuraninya yang menyuruh, bukan aku atau
siapapun juga."
"Kamu
selalu merendahkan dirimu Sri."
"Tidak,
itu benar."
"Tuhan
telah memberikan padaku seorang sahabat, seorang saudara, dalam kesendirianku.
Dalam sa'at aku kehilangan pegangan, bahkan juga kehilangan harga diriku."
"Kita
saling membantu. Kalau tak ada mbak Mery, entah apa jadinya aku ini. Mungkin
aku sudah tak ada lagi didunia."
Mery
memeluk Sri erat-erat. Mereka saling terbantu satu sama lain. Mereka bagaikan
saudara dan bahkan lebih dari itu. Saling menyayangi, saling memikul semua
beban hingga menjadi ringan.
"Aku
sudah diajaknya kerumah dimana nanti aku akan tinggal bersamanya."
"Aduuh,
jadi nanti mbak Mery akan meninggalkan kami?" kata Sri yang mendadak
muram.
"Kita
kan tidak berjauhan. Bisa saling ketemu kapan saja kita memerlukannya."
"Yah,
akhirnya perpisahan ini terjadi juga. Tapi aku bahagia kalau mbak Mery juga
bahagia."
"Sekarang
aku mau ke warung sebentar ya, aku tidak bilang pada anak-anak kalau tidak akan
datang kewarung."
"Baiklah
mbak, nanti mas Timan pasti senang kalau aku bercerita tentang mbak Mery."
"Besok
Minggu Basuki mau kemari."
"Kemari?"
Sri tiba-tiba terkejut.
Mery
tertawa.
"Mengapa
kamu tiba-tiba seperti ketakutan begitu Sri? Percayalah dia tak akan memperkosa
kamu."
"Aah..
bukan itu.. hanya nggak enak saja."
"Bersikaplah
seperti tak pernah terjadi apa-apa, karena kita akan menjadi saudara."
***
Bagas
masih duduk terpekur dibangku warung Mery, sementara semangkuk timlo sudah
disantapnya habis. Sejak tadi ia menunggu, tapi Mery belum kelihatan batang
hidungnya. Ia tak perlu bertanya, sebab para pelayan selalu memberi tahu Mery
setiap kali dia datang. Dan karena Mery tidak muncul juga, maka Bagas tau bahwa
Mery tak ada diwarung itu.
"Ya
sudahlah, barangkali ini upayaku yang terakhir, aku sudah lelah," gumam
batinnya memelas. Diteguknya sekali lagi isi gelas minumannya, lalu melambai ke
pelayan untuk membayar makanannya. Ia tak ingin bertanya, tapi pelayan itu
mengatakannya sendiri.
"Bu
Mery belum datang mas, apakah mas tidak mau menunggu?" kata pelayan itu.
"Menunggu?
Berapa lama?" tanyanya dengan nada kesal.
Bagas
segera berdiri dan melangkah keluar, tapi sebelum mencapai pintu, seorang gadis
datang melenggang. Berdebar hati Bagas.
"Bagas
?" pekik Mery gembira.
Bagas
tersenyum. Senang melihat Mery datang sendiri, tidak bersama Basuki.
Mery
menariknya kembali kesebuah meja, dan duduk dihadapannya. Mereka bertatapan
dengan saling berdiam diri untuk beberapa sa'at lamanya.
"Bagas,
ada apa menatapku seperti itu?"
"mBak
Mery, apa mbak Mery sungguh-sungguh tidak tahu perasaanku ?"
"Apa
maksudmu Bagas?"
"Bahwa
aku selalu bilang suka sama mbak Mery, itu serius, keluar dari dasar hatiku
sepenuhnya."
Mery menghela
nafas. Digenggamnya tangan Bagas yang terletak diatas meja.
"Bagas,
apa kamu lupa ketika berkali-kali aku bilang bahwa aku sudah terlalu tua untuk
kamu?"
"Apa
itu halangan ?"
"Tidak
semua orang bisa melewati itu dengan baik Bagas. Kalau itu terjadi, aku semakin
lebih cepat tua dan kamu masih segar sesegar buah ranum yang tergantung
dipohon. Ketika aku sudah membutuhkan tongkat untuk menopang kakiku yang tak
lagi sanggup menyangga tubuh tuaku, maka kamu masih sanggup berlarian mengejar
kupu-kupu cantik yang berterbangan ditaman."
"Omong
kosong !"
"Itu
benar."
"Bagas,
bangunlah dari mimpi kamu. Mimpi tentang hidup bahagia bersama seorang wanita
tua sang seumur ibu kamu. Bahagia itu bukan atas tercapainya apa yang kita
inginkan. Bahagia itu berjalan perlahan dari kehidupan kamu, dan diciptakan
oleh hati nuranimu oleh rasa syukur atas apa yang kamu dapatkan."
Bagas
terdiam, mencoba mencerna apa yang dikatakan Mery.
"Bahagia
itu bukan atas tercapainya keinginanku..." gumamnya.
"Keinginan
yang tercapai, bernama kepuasan. Apakah kepuasan itu akan membahagiakan
hidupmu? Bertanyalah kepada sang waktu."
"Berarti
kalau mbak Mery menanggapi perasaanku, bukan berarti aku bahagia?"
"Bukan
Bagas, itu kepuasan. Bahagiamu entah ada dimana, hanya kamu sendiri yang mengetahuinya,
karena bahagia itu datangnya dihati, dan oleh rasa mensyukuri apapun."
"Tapi
mbak, alangkah susah melupakan mbak Mery."
"Aku
jangan kau lupakan Bagas, marilah tetap menjadi saudara, menjadi sahabat, dan
itu akan lebih manis daripada mengotori hati dengan perasaan yang bukan pada
tempatnya."
Mata Bagas
berkaca-kaca. Ia bisa menerima semua kata-kata Mery, tapi menjalankannya
pastilah tidak mudah.
"Kamu
masih muda, banyak gadis cantik yang bisa menjadi pasangan hidupmu, dan akan
membahagiakan kamu. Bukan aku Bagas."
"mBak
Mery berkata begitu karena ada mas Basuki?"
"Tidak
Bagas, ada dia atau tidak, aku akan tetap berkata seperti itu."
Bagas
menatap Mery, seperti anak kecil sedang dimarahi ibunya. Sementara Mery tetap
tersenyum, lembut dan menyejukkan.
"Jadilah
adikku, karena aku tidak punya saudara," kata Mery sambil kembali
menggenggam tangan Bagas.
"Sebentar
lagi aku akan menikah, Bagas."
Dan
kata-kata itu adalah sebuah senjata pamungkas yang diletuskan oleh Mery, agar
perang diantara hati segera diakhiri.
Bagas
terpuruk dalam keheningan yang menyelimuti hati. Seperti tak ada suara
apapun. Sunyi dan mencekam, lalu dia merasa melangkah seorang diri,
diantara padang gersang yang meniupkan panas membara dari dalam bumi. Peluhnya
bercucuran membasahi dahi dan lehernya, bahkan disekujur tubuhnya. Mery
mempererat genggamannya, menatap wajah tampan yang tiba-tiba menjadi pucat.
"Bangunlah
dari mimpimu Bagas. Masih jauh langkah yang harus kamu tempuh."
Bagas
merasa luluh dalam angan yang semula membubung.
"Kamu
adalah adikku. Aku menyayangi kamu Bagas."
***
Mery
menatap punggung Bagas yang melangkah dengan lunglai kearah mobilnya. Mery
merasa iba. Tampaknya anak muda itu terluka. Tapi tak apa, dia harus tau
keadaan yang sebenarnya, pikir Mery.
Mery sudah
masuk kedalam warungnya ketika sebuah teriakan mengejutkannya.
"mBak
Mery !!"
Mery
berhenti melangkah. Sebuah mobil berhenti tepat didepan warung. Beberapa
Penumpang turun dari mobil. Senyum Mery merekah. Mereka adalah
orang-orang yang amat dikenalnya.
"Lastri
? Bu Lurah? mBah Kliwon ? Ada mas Bayu dan pak lurah?" Mery seperti
anak kecil menemukan mainannya yang hilang. Berjingkrak kegirangan sambil
menyalami mereka satu persatu.
"Ayo
masuk.. masuk... ya ampuun.. kangen aku pada semuanya.. silahkan duduk.. ayo..
jangan sungkan lho.."
"Sri
mana ?" tanya Lastri.
"Oh,
Sri dirumah, dulu suka membantu disini, setelah melahirkan tidak lagi. Repot
mengurus anaknya. Nanti mampir kesana ya."
"Ya,
rencananya memang demikian."
"Mengapa
anak-anak tidak dibawa?"
"Kami
tadi menjenguk salah seorang pegawai kelurahan yang dirawat disini, lalu mampir
kerumah Lastri. Ee.. jadi ingat ke warungnya mbak Mery," kata pak lurah.
"Syukurlah
pada sehat semuanya. mBah Kliwon apa kabar? Mana pak Darmin ?"
"Saya
baik-baik saja nak Mery. Darmin sedang menunggui pedagang sayur yang datang
sore ini, jadi tidak ikut serta. Tapi dia bilang kangen juga sama anak dan
cucunya."
"Oh,
iya, pasti ada kali lain yang lebih baik ya mbah?"
Mery
melambai kearah pelayan yang kemudian mendekat.
Ini tamu-tamuku,
siapkan makan dan minum untuk mereka. Ayo mbah mau minum dan makan apa?
Pak lurah, mas Bayu, Lastri.. bu lurah..semuanya.."
"Kebetulan
nih.. pada lapar semua." kata bu lurah.
Tamu-tamu
dari Sarangan itu disambut dengan suka cita oleh Mery. Sudah lama mereka tidak
bertemu.
"mBak
Mery, kapan menikah? Kok masih santai saja sih?" tanya bu lurah.
Mery
tersenyum, menatap bu lurah malu-malu.
"Sebentar
lagi bu lurah, mohon do'anya ya.
"Oh,
sudah mau nikah ya?" kata mereka hampir bersamaan.
"Tunggu
saja undangannya."
"mBak
Mery, pria mana yang sangat beruntung itu?" tanya Lastri.
"Kalian
pasti sudah mengenalnya."
"Siapa?
hampir bersamaan juga mereka bertanya.
"Basuki...."
"Haaa...
Basuki yang dulu itu?" kali ini yang berteriak adalah Lastri, sedangkan yang
lainnya terbengong seperti sapi ompong.
"Iya,
Basuki yang dulu, sekarang dia berubah. Sangat berubah. Dia sangat santun,
murah hati, dermawan."
"Syukurlah
.. kami ikut senang mbak."
"Jangan
lupa kami diundang ya, mentang-mentang orang desa lalu dilupakan," celetuk
mbah Kliwon.
"Oh
iya, semua sahabat lama saya pasti diundang. Mohon do'a untuk semuanya
ya."
Semuanya
mengangguk mengiyakan. Hari itu Mery sangat sibuk melayani tamunya.
"Suatu
hari nanti saya akan mengajaknya ke Sarangan."
"Waah,
senengnya, nanti ajak Sri ya mbak, sama anaknya juga."
"Iya
Tri, nanti saja bilang sendiri sama Sri kalau ketemu. Habis ini mau kesana kan?
Pasti dia senang sekali. Aku mau menelpon mas Timan supaya pulang lebih
awal."
***
Sore itu
Basuki sudah menyelesaikan semua urusan. Ia bermaksud pulang ke Solo besok
pagi. Tapi dia harus mengetahui keadaan bu Sumini terlebih dulu, so'alnya
dialah yang membawanya kerumah sakit.
"Hallo,
saya pak Basuki," sapa Basuki ketika menelpon suster jaga diruang dimana
Sumini dirawat.
"Oh, atas
nama pasien Sumini?"
"Ya,
bagaimana keadaannya?"
"Baik
pak, mungkin besok Senin sudah boleh pulang, badannya sudah tidak panas lagi,
tapi ada kekurangan pembayaran."
"Katakan
berapa, saya akan transfer sekarang juga."
"Nanti
saya tanyakan ke bagian administrasi ya pak, saya fotokan rinciannya."
"Hitung
sampai dia pulang, jangan sampai ada kekurangan yang membebani dia."
"Baik
pak, saya kabari secepatnya."
"Nanti
saya kirimkan uang lebih. Kelebihan itu berikan saja padanya."
"Baik
pak."
Basuki
merasa lega bisa mengentaskan seseorang yang sedang sakit. Dia tak perlu
menemuinya lagi kalau semua kebutuhannya sudah terpenuhi.
Ketika
Basuki mau masuk kerumah, dilihatnya seseorang turun dari taksi. Seorang
perempuan, mendekati rumahnya dengan langkah tergesa.
Basuki
terkejut begitu perempuan itu berada dihadapannya. Tanpa permisi perempuan itu
menubruknya lalu merangkulnya erat sekali.
"Basuki,
akhirnya aku bisa menemui kamu. Aku sangat merindukan kamu Bas."
Basuki
sampai terdorong kebelakang karena pelukan itu. Bau harum menyeruak, menyentuh
hidungnya.
***
besok lagi
ya
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q