*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 21*
Basuki
mengangkat ponselnya.
"Hallo,
ibu Umi?"
"Ya
nak, saya."
"Ada
apa bu?"
"Ini
lho nak, ada orang bertanya tentang anaknya yang pernah ditinggalkan didepan
panti. Dulu dia meninggalkan baju dan sepatu sulam berwarna merah. Saya
teringat baju bayi dan sepatu yang saya berikan Mery beberapa hari yang lalu.
Tapi dia meninggalkan sepatu hanya satu itu, harusnya yang satunya dia bawa,
barangkali bisa dijadikan bukti, tapi katanya sepatu itu hilang."
"Maksud
bu Umi... dia itu orang tuanya Mery?"
"Saya
tidak tahu persis, dia tidak membawa bukti apapun kecuali hanya
kata-kata."
"Apakah
dia masih disitu sekarang? So'alnya saya ada di Ungaran, baru mau pulang, jadi
saya kan lewat Salatuga. Kalau saya bisa ketemu kan enak."
"Nak
Basuki bersama Mery?"
"Tidak
bu, tapi kalau perlu nanti bisa dipertemukan."
"Baiklah,
saya suruh saja wanita itu menunggu ya nak."
"Baik
bu, saya segera meluncur kesana."
"Siapa
mas, tampaknya serius banget."
"Dari
ibu Umi, Kepala Panti Asuhan dimana dulu Mery dibesarkan. Tampaknya ada wanita
datang dan diduga itu ibunya Mery."
"Wah,
sangat membahagiakan. Sayang mbak Mery nggak ikut."
"Kita
akan mampir kesana, dan melihat siapakah dia."
Tapi
begitu Basuki bersiap pulang, seorang stafnya memberi tahu bahwa ada tamu dari
Jakarta sedang menunggu.
"Sebentar
ya Gas, terpaksa tertunda nih kepulangan kita."
"Nggak
apa-apa mas, selesaikan dulu urusan mas."
"Tapi
kamu harus ikut Gas, siapa tau nanti ada kelanjutannya yang harus kamu
tangani."
***
"Bu,
sudah saya sampaikan ke pak Basuki, ibu diminta untuk menunggu." kata ibu
Umi kepada wanita yang menemuinya sejam yang lalu.
Ibu itu
bertanya tanya dalam hati. Dia ingat penolongnya kalau tidak salah
namanya juga Basuki.
"Basuki..
Basuki.. sepertinya dia, apakah orang yang sama ?"
"Bagaimana
bu?"
"Bukan
apa-apa, namanya Basuki, seperti nama orang yang pernah menolong saya."
"Banyak
orang yang memiliki nama sama."
"Iya
benar."
"Bolehkah
saya tau, mengapa ibu dulu membuang bayi ibu, lalu sekarang mencarinya?"
Wanita
yang memang ibu Sumini itu menundukkan wajahnya, tampak setitik air mata
menetes, lalu diusapnya dengan ujung bajunya. Ibu Umi mengambil selembar tissue
lalu diberikannya kepada ibu Sumini.
"Entahlah
mana yang lebih berdosa, membuang anak sendiri demi mengharapkan
perawatan yang lebih baik bagi anak itu, atau tetap membawanya dalam hidup
penuh sengsara," gumamnya seperti kepada dirinya sendiri.
Ketika
anak itu lahir, baru seminggu, suami saya meninggal karena sakit paru-paru.
Saya
melanjutkan hidup dengan buruh mencuci di tetangga-tetangga, sambil merawat
bayi kecil saya. Tapi itu ternyata sangat berat. Saya tidak setiap hari
mendapatkan uang, Bahkan pernah dua hari tidak makan karena tak punya uang
sepeserpun, akibatnya ASI saya tidak bisa keluar, anak saya rewel ta
habis-habisnya. Lalu saya putuskan untuk 'membuang' bayi saya dengan
meletakkannya didepan Panti ini."
"Sebenarnya
ibu bisa menitipkannya secara baik-baik."
"Kata
orang -orang kalau menitipkan anak itu harus membayar."
"Tidak
bu, disini untuk anak yatim piatu yang tidak mampu. kami tidak memungut
bayaran. Tapi semuanya sudah terjadi, ya sudah tidak usah disesali. Kalau benar
anak ibu itu adalah Mery, dia baik-baik saja, bahkan sebentar lagi akan menikah
dengan orang yang dulu memungutnya dari sini."
"Oh,
semoga benar itu anak saya. Baru mau menikah? Kalau tidak salah umurnya sudah
tigapuluh tahunan lebih."
"Saya
juga tidak tahu. Pak Basuki memintanya kira-kira duapuluhan tahun lalu, dan
baru mau menikahinya sekarang."
"Semoga
dia itu benar anak saya."
"Sayang
sekali ibu tidak lagi memiliki sebelah sepatu yang ibu bawakan bersama bayi
itu."
"Apakah
dengan begitu.. ibu, atau bahkan dia tidak mau mengakui saya sebagai
ibunya?" kata bu Sumini pilu.
"Bukan
begitu bu, barangkali supaya lebih tepatnya ada bukti sepatu itu. Tapi ibu
jangan berkecil hati, nak Basuki itu orang baik, dia pasti bisa
mempertimbangkannya. Ibu tunggu dulu disini ya, saya akan menyelesaikan
pekerjaan saya."
"Baiklah
ibu, silahkan."
Bu Sumini
duduk terpekur dikursi tamu. Bermacam perasaan mengaduk aduk hatinya. Benarkah
dia tidak akan dipercaya karena tidak membawa pasangan sepatu itu? Lalu bu
Sumini menyesali kejadian kira-kira sebulan lalu, ketika dia jatuh sakit dan
dibawa ke rumah sakit oleh seseorang bernama Basuki. Bungkusan itu tertinggal
ditempat dia terjatuh, yang entah sekarang ada dimana. Barangkali sudah
ditemukan orang karena ada uang sedikit disitu, selebihnya adalah baju-baju
kumal beberapa lembar, termasuk kaos bayi kecil yang dibawanya kemana-mana.
"Basuki...
Basuki..." digumamkannya nama itu berkali-kali. Benarkah dia Basuki yang
sama dengan Basuki yang telah memungut anaknya?
***
"Tiwi
duduk saja, anteng, nggak boleh jalan-jalan ya. Makan disuapi ibu Mery?"
tanya Mery sambil mendudukkan Tiwi dikursi.
"Iya..
mam..mam.. sama.. ayam.."
"Anak
pintar, sebentar biar diambilkan ya. Sri kamu mau makan apa?"
"Aku
timlo lah, kangen masakan warung ini.."
Mery
memesan makanan setelah pelayan mendekat.
"Iwi..inum
cucu..."
"Susu
soklat... mau?"
"Ho
oh, cucu cokat.."
"Beres,
untuk anakku yang cantik dan pinter ini.. semua siap." kata Mery lalu
beranjak kebelakang, membuat sendiri susu soklat untuk Tiwi.
"Ibu..
Iwi holeh ulun?"
"Nggak
boleh turun Tiwi, duduk saja yang manis, sambil menunggu ibu Mery, ya?"
"Nggak
holeh halan-halan?"
"Nggak
boleh, banyak orang lagi makan tuh, nanti Tiwi dimarahi."
"Dimalahi?"
"Iya,
tapi kalau Tiwi duduk manis disini, tidak akan dimarahi. Bukankan Tiwi anak
pintar?"
Tiwi
mengangguk-angguk.
"Ibu
Mely lama..."
"Hallo...
ibu Mery sudah datang..." kata Mery sambil membawa segelas soklat
susu."
"Ini,
boleh diminum sekarang."kata Mery sambil mendekatkan gelas kedepan mulut
Tiwi.
"Ake
cedotan ya?"
"Ya,
pake sedotan, nah, ibu pegangin nih, hati-hati, jangan sampai tumpah."
"Enak..
enak..." pekik Tiwi setelah menyedot beberapa tegukan.
"Minumnya
sudah dulu ya, Tiwi harus makan dulu baru boleh minum lagi."
"Ama
ayam .. ama ayam.."
"Iya,
tuh sudah datang nasi ayamnya..."
"mBak
Mery pinter, besok kalau punya anak sudah bisa momong tanpa harus belajar
lagi," kata Sri sambil tersenyum.
"Iya
Sri, Tiwi ini yang mengajari aku. Ya Wi?"
Tiwi
mengangguk-angguk tanpa tau apa maksudnya, sambil mengunyah nasi yang disuapkan
kemulutnya oleh Mery.
"Ayo
Sri, segera dimakan, keburu dingin, kurang enak."
"Hm,
harumnya .. pantesan banyak pelanggan ya mbak?"
"Saya
syukuri semuanya Sri, ini semua adalah berkah, atas jerih payahku selama ini,
dan semuanya tak lepas dari bantuan kamu juga."
"Sudahlah,
jangan lagi diulang-ulang menyertakan nama saya dalam keberhasilan itu. Saya
kan cuma sedikit membantu memberikan resep, dan tangan mulia mbak Mery yang
menghasilkannya."
"Terimakasih
atas semuanya ya Sri."
"Ayo
mbak, lha mbak Mery nyuapin Tiwi, kapan makannya?"
"Ya,
ini sudah sambil menyendok makananku. Yang penting Tiwi kenyang dulu."
Tapi
kegiatan menyuapi itu terhenti ketika ponsel Mery berdering.
"Dari
Basuki," katanya lalu membuka ponselnya.
"Ya
Bas?"
"Mer,
sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan, tapi ini mendadak ada tamu
dirumah. Aku sama Bagas sudah siap-siap pulang, tiba-tiba tamu datang."
"Ya
sudahlah Bas, selesaikan saja urusan kamu, kalau masih ada tamu masa harus
ditinggal pulang."
"Bukan
begitu, baru saja bu Umi telpon."
"Bu
Umi ? Ada apa?"
"Katanya
ada seorang wanita yang sedang mencari anaknya. Dia dulu meninggalkan bayinya
didepan Panti dan sepatu sulam hanya sebuah bersama bayinya."
"Ya
Tuhan, itu ibuku ?"
"Aku
belum yakin, ketika bu Umi menanyakan dimana pasangan sepatu itu, dia bilang
sudah hilang."
"Aduh,
tapi aku ingin ketemu, bagaimana ini, apa saya harus ke Salatiga
sekarang?"
"Jangan
dulu Mer, akulah yang akan kesana dulu, nanti bagaimana kelanjutannya aku akan
mengabari kamu. Sekarang aku selesaikan dulu urusan pekerjaanku ya."
"Baiklah,
aku menunggu ya Bas."
Sambil
menutup ponselnya, Mery menghela nafas panjang.
"Ada
apa mbak ?"
"Ada
seorang ibu mencari anaknya yang dulu ditinggalkan di panti. Apakah itu ibuku
ya?"
"Ciri-cirinya?"
"Basuki
yang akan kesana setelah urusannya selesai. Dia bercerita tentang sepatu
songket itu, tapi dia tidak punya pasangannya, katanya hilang."
"Jangan-jangan
orang yang mengada-ada."
"Entahlah
Sri, aduh.. aku kok jadi berdebar-debar ya."
"Ibu
Meliiii... haaaak..." Tiwi berteriak minta suap.
"Oh,
ya ampuun.. ibu Mery lupa.. ini sayang."
"Iya
mbak, aku juga ikut berdebar nih, mudah-mudahan bener. Tapi mbak harus
hati-hati.
Masalah
pasangan sepatu itu harus benar-benar dibuktikan. Bisa jadi dia pernah
mendengar cerita dari ibunya mbak Mery yang benar-benar ibunya, kemudian
mempergunakannya untuk mencari keuntungan."
"Iya,
makanya aku menunggu Basuki dulu, dia akan menemuinya setelah urusannya
selesai."
***
"mBak
Mery... ini anak siapa?"
Mery
terkejut, menoleh kebelakang, dilihatnya Kristin sedang makan bersama seorang
laki-laki yang dikenalnya sebagai ayahnya Kristin dan seorang wanita cantik
yang mungkin ibunya, entahlah. Mery kemudian berdiri untuk menghormati
langganannya.
"Selamat
siang, mbak Kristin, bapak, ibu.." sapanya ramah.
"Siang,"
jawab ketiganya bersamaan.
"Ini
mama saya mbak Mery, kalau papa kan sudah tau?"
"Iya,
selamat bertemu ibu, senang mendapatkan tamu kehormatan."
"Ma,
pemilik warung ini, bukan hanya cantik, tapi juga masakannya sangat enak,
bukankah begitu?" kata pak Suryo memuji Mery.
"Iya
benar pak, aku cocok masakannya."
"Terimakasih
bapak, ibu, mbak Kristin."
"Saya
tadi bertanya, itu anak siapa? Bukan anak mbak Mery kan?" tanya
Kristin.
"Oh,
bukan, ini anak sahabat saya itu, Sri, anak ini namanya Tiwi. Sini Tiwi, kasih
salam sama tante cantik, sama opa, sama oma..." kata Mery sambil
mengangkat Tiwi agar mendekat dan menyalami ketiga tamunya.
Tiwi
menyalami dan mencium tangan mereka.
"Anaknya
menggemaskan, jadi pengin segera punya cucu ya pa," kata bu Suryo.
Pak Suryo
mengangguk-angguk.
"Benar
ma, tanya tuh Kristin.. kapan mau memberikan cucu untuk papa sama mama ?"
"Papa,
carikan dulu suami buat Kristin," kata Kristin manja.
Mery ikut
tertawa. Dan tiba-tiba dia teringat Bagas.
"Bagaimana
dengan Bagas?"
Kristin
terkejut, bagaimana bisa Mery tiba-tiba menyebut nama Bagas.
"Dia
itu sangat baik. Semoga mbak Kristin bisa jadian sama dia."
"mBak
Mery bisa saja, apa Bagas suka membicarakan saya?" tanya Kristin
memancing.
"Suka,
sering."
"Tapi
dia mau resign dari perusahaan papa."
"Oh
iya, dia membantu .. mmm... saudaranya di Ungaran," kata Mery tanpa
menyebut nama Basuki.
"Ungaran?
Jauhnya.."
"Biar
jauh kalau dekat dihati ?" canda Mery,
Kristin
cuma tersenyum. Pak Suryo dan bu Suryo pura-pura tidak mendengarkan obrolan
itu. Tampaknya Mery tau kalau Kristin suka sama Bagas. Tapi bagaimana dengan
Bagas? Kata hati bu Suryo.
***
"Tampaknya
pemilik warung itu tahu benar tentang Bagas ya," tanya bu Suryo kepada
Kristin dalam perjalanan kembali ke kantor.
"Bagas
itu setiap hari makan disitu ma, Kristin tadinya nggak suka, tapi setelah
merasakan sekali, Kristin jadi suka. Kristin suka nasi gorengnya."
"Dari
dulu kamu cuma pesan nasi goreng aja, coba tadi makan timlo, enak lho, ya kan
ma?"
"Iya,
enak, mantap."
"Iya,
lain kali Kristin mau makan timlonya."
"Mama
nggak heran, mengetahui Kristin tiba-tiba suka makan di warung?" tanya pak
Suryo kepada isterinya.
"Iya
sih, mama heran, bagaimana bisa berubah sih pa. Biasanya sukanya makan
direstoran, sudah harganya mahal, masakannya belum tentu enak."
"Itu
karena Bagas ma. Cara Kristin berpakaian kan juga berubah, itu karena Bagas, ya
kan Kris?"
"Hm..
iya." jawab Kristin singkat. Setiap kali mengingat Bagas, hatinya bagai
teriris dengan sembilu. Perih pedih.
"Berarti
besar juga ya pengaruh Bagas pada Kristin ?"
"Tapi
kok nggak bisa bersatu ya ma?"
"Menurut
mama, Bagas itu juga punya perhatian sama Kristin."
"Mengapa
dia pergi?" keluh Kristin.
"Kan
kata papa, dia harus membantu saudaranya."
"Sebenarnya
bukan saudara beneran. Ayahnya Bagas itu, teman sekolah ayahnya si pemilik
perusahaan itu. Karena ayahnya sudah meninggal, si pengusaha itu menganggap
Darmono sebagai orang tuanya. Ya mungkin karena mendengar keluhan-keluhan dia
tentang beratnya pekerjaan, Darmono jadi mendukung anaknya membantu mereka."
"Bukan
karena kesal sama Kristin?"
"Coba
saja besok kalau dia masuk kamu tanyakan."
***
Hari sudah
agak sore ketika Basuki memasuki halaman Panti Asuhan itu.
Begitu ia
dan Bagas memasuki ruang tamu, dilihatnya ibu Umi sudah menunggu.
"Selamat
sore ibu," sapa Basuki.
"Selamat
sore nak, silahkan duduk."
"Perkenalkan,
ini sahabat saya, Bagas, dia akan membantu pekerjaan saya di Ungaran."
"Oh,
nak Bagas, selamat bertemu."
"Selamat
bertemu ibu, senang berkenalan dengan ibu."
"Terimakasih
nak, ayo silahkan duduk, silahkan duduk."
"Ma'af
ya bu, ibu terlalu lama menunggu, so'alnya begitu kami mau pulang, mendadak ada
tamu, dan berbincang cukup lama."
"Tidak
apa-apa, dia masih menunggu kok."
Basuki
tampak mencari-cari. Dimana orang yang sedang menunggunya?
"Sebentar
nak, tadi ibu suruh istirahat dibelakang, karena tampaknya dia lelah. Cuma
saja, ibu juga tidak begitu saja percaya, so'alnya dia bilang sepatu yang
dibawakan pada bayinya ketika itu, tapi pasangannya tidak dibawa, katanya
hilang."
"Oh,
begitu ya bu?"
"Kalau
dia bisa menunjukkan pasangannya kan gampang to nak, tapi coba saja nanti nak
Basuki berbicara lagi sama dia. Tapi seharusnya Mery ada ya nak?"
"Sayang
sekali tadi kebetulan saya sedang mengurus pekerjaan di Ungaran, jadi Mery tidak
ikut."
"Sebentar
saya panggil dia ya nak?" kata ibu Umi sambil beranjak.
Basuki
bedebar menunggu.
"Mas,
hati-hati dan jangan cepat percaya, jaman sekarang banyak orang mengada-ada.
Apalagi kalau dia tau bahwa mas Banyak duit," bisik Bagas.
"Iya,
aku tau."
Tak lama
kemudian ibu Umi keluar dengan seorang wanita setengah tua. Basuki terkejut
karena mengenalnya.
"Bu
Sumini ?"
***
besok lagi
ya.
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 22*
Bu Sumini tertegun, menatap Basuki tak berkedip. Ini Basuki
yang sama.
"Bu Sumini ?" sapa Basuki lagi.
"Sudah kenal nak ?" tanya ibu Umi heran.
"Ini.. ini... " bu Sumini gugup.. tak bisa
mengeluarkan kata-kata.."
"Bu Sumini
.." Basuki mendekat, dan menyalami bu Sumini. Ia merasa, tangan bu Sumini
bergetar.
"Duduklah bu." kata Basuki sambil menggandeng
lengan bu Sumini, diajaknya duduk.
"Kalian sudah
saling kenal?"
"Iya bu, kenal. Bu Sumini menjual gorengan di
Solo."
"Gimana bu, ini
setelah ketemu nak Basuki kok malah diam begitu, seperti orang bingung?"
tanya ibu Umi.
"Saya itu... saya itu.. sungguh tidak menyangka...
ini.. nak Basuki.. yang telah menyambung nyawa saya.. tidak membiarkan saya
mati kelelahan.." kata bu Sumini dengan terbata.
"Mengapa begitu
bu? Yang menentukan umur seseorang itu hanyalah Yang Maha Kuasa. Janganlah
menganggap saya orang hebat bu, siapapun orang yang melihat keadaan ibu ketika
itu, pasti akan melakukan hal yang sama. Dan sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa
ibu selamat dan sehat seperti sekarang ini."
Tiba-tiba ibu itu
menangis tersedu-sedu.
Basuki dan Bagas serta ibu Umi ikut larut dalam kesedihan
itu.
"Saya ini..
orang yang sangat rapuh dan lemah. Saya akan berterus terang bahwa umur saya
tidak akan lama lagi. Itulah sebabnya saya berusaha menemui anak saya yang
telah saya buang, sebelum hidup saya berakhir."
Semua yang mendengar
sangat terkejut.
"Bagaimana ibu bisa mengetahui bahwa umur ibu
akan berakhir? Apakah ibu bisa menentukan mati dan hidup ibu sendiri?"
"Saya menderita
kanker. Sudah stadium akhir, kata dokter."
"Apa ?"
"Itu benar.
Ketika saya sakit, ditemukan adanya penyakit itu. Tapi saya melarang dokter
untuk memberi tahu siapapun."
"Mengapa ibu melakukannya?"
"Saya tidak
ingin menyusahkan siapapun lagi. Pada sisa hidup saya ini, keinginan saya hanya
menemukan anak saya. Walau sebentar, saya ingin melihatnya."
Beberapa sa'at
lamanya suasana menjadi hening, hanya terkadang terdengar isak bu Sumini yang
tertahan.
"Saya ingin
melihat anak saya. Kata ibu Umi, bayi yang saya tinggalkan itu akan menikah
dengan nak Basuki ?"
"Ibu pernah tau
seorang gadis yang membeli gorengan pada hari Sabtu kemarin?"
"Yang bersama nak Basuki?"
"Dialah Mery, yang mungkin adalah puteri ibu."
"Dia ? Cantik
sekali gadis itu.. dia anak saya? Tapi saya tidak membawa bukti apa-apa.
Pasangan sepatu yang saya sertakan pada bayi itu telah hilang."
"Hilang bu?"
"Nak Basuki
ingat, ketika membawa saya kerumah sakit, saya berteriak-teriak mencari
bungkusan itu. Pasangan sepatu kecil itu ada dalam bungkusan itu. Hilang entah
kemana."
Basuki ingat, ketika
membawa bu Sumini kerumah sakit, dia tak memperdulikan bungkusan itu. Mana
Basuki tau bahwa disitu ada pasangan sepatu bayi yang dibawa Mery.
"Kalau kalian
percaya, sayalah ibu yang telah membuang bayiku. Kalau tidak percaya, ya
sudahlah, sekarang saya akan pergi. Ternyata saya sudah melihat anak saya, dan
cukuplah buat saya, semoga itu benar," kata bu Sumini dengan suara
bergetar. Ia kemudian berdiri, bersiap pergi.
"Bu.. tunggu
dulu bu," kata Basuki mencegah.
"Saya harus kembali, dua kali saya tidak berjualan,
saya memerlukan bekerja untuk makan dihari-hari terakhir saya. Kalau saya
mati, janganlah karena kelaparan, karena saya tidak akan diam dan terus memberi
kekuatan untuk tubuh tua saya, sampai saya dikalahkan oleh penyakit ini."
Basuki berdiri.
"Bu, mari ibu ikut bersama saya saja, supaya bisa
bertemu Mery. Bukan hanya sepatu yang bisa membuktikan kebenaran. Kalau ibu
belum yakin, darah ibu bisa dibuat untuk pembuktian."
"Apa maksudnya?"
"Ada pemeriksaan
yang namanya DNA, yang akan meyakinkan ibu tentang anak ibu yang
sebenarnya."
"Tt.. tapi.."
"Ikutlah bersama kami. Bukankah kita sejalan?"
"Oh..."
"Ibu Umi, saya
pamit dulu, semoga yang terjadi adalah yang terbaik bagi kita semua."
"Aamiin. Ya nak, hati-hati dijalan. Hati-hati bu
Sumini."
***
Sore itu Mery tampak
gelisah. Ia memikirkan kata Basuki bahwa ada seorang wanita yang kemungkinan
adalah ibunya. Tapi mengapa Basuki belum mengabarinya? Ia ingin lebih dulu
menelponnya, tapi kawatir kalau mengganggu. Tadi katanya ada tamu yang
tampaknya penting. Kalau tiba-tiba dia menelpon, pasti akan mengganggu dan
Basuki tidak akan senang pekerjaannya terganggu. Itulah sebabnya dia hanya
gelisah menunggu.
"mBak, ini
tehnya diminum, kok mondar mandir disitu ada apa?"
"Basuki kok belum telpon ya? Sudah ke Panti apa belum, apa masih berbicara
sama tamunya."
"Sabar mbak, pasti nanti dia akan mengabari kalau
memang sudah selesai. Duduklah dulu disini, sambil menunggu mas Timan pulang.
Mery duduk, tapi
tetap saja dia tak berhasil menghilangkan kegelisahannya.
"Minum dulu saja, sama ngemil kacang rebusnya.."
"Oh iya, dikasih garam nggak?"
"Dikasih dong mbak, kalau nggak dikasih ya kurang
gurihnya. Cobain deh.."
"Hm.. iya benar,
manis-manis asin.. enak."
"Makanya, habiskan supaya nggak gelisah terus."
"Aku berdebar-debar terus nih Sri, apa benar dia ibuku
ya? Kalau benar, aku senang sekali. Sa'at aku menikah aku ditungguin orang
tuaku."
"Aku juga berharap demikian mbak."
***
"Mengapa ibu tidak bilang kalau ibu menderita kanker
?"Tanya Basuki dalam perjalanan pulang.
"Tidak, untuk apa?"
"Kita kan bisa berusaha bu. Jangan menyerah pada penyakit."
"Dokter sudah
mengatakan bahwa aku tak bisa disembuhkan. Ada pengobatan yang namanya kemo
atau apa, ah,. susah namanya. Tapi itu belum menjanjikan kesembuhan. Dan
beayanya mahal. Ah, sudahlah.. Umurku tidak akan lama lagi. Itulah sebabnya aku
ingin bertemu anakku, sebelum ajal menjemputku," katanya pilu.
"Besok saya
antar ibu ke rumah sakit, saya harus tahu yang sebenarnya tentang penyakit
ibu."
"Ah, untuk apa... sudahlah.. aku hanya
berharap..semoga Mery benar anak ibu."
"Semoga ibu, nanti saya akan membantu membuktikannya
dengan DNA kalau ibu atau Mery masih belum percaya. Tapi menurut kronologi yang
ibu ceritakan, sepertinya memang benar Mery itu puteri ibu.
"Dia begitu
cantik. Iya, aku memperhatikannya. Tapi aku tidak secantik itu."
"Sekarang ibu sudah tua.. waktu mudanya siapa
tau?" Basuki mencoba bercanda.
"Tapi mas, kalau
aku melihatnya, bu Sumini ini ada miripnya dengan mbak Mery lho," kata
Bagas yang sejak tadi diam saja.
"Oh ya?"
"Dari tadi aku perhatikan, banyak miripnya kok.,"
"Nggak tau lah
nak.. tapi saya hanya berharap, bisa ketemu anak saya sebelum ajal menjemput
saya."
"Ibu jangan terlalu memikirkan ajal. Hidup dan mati
ibu kan ada ditangan Tuhan, ya kan bu? Biar ibu sakit stadium seratus, kalau
Tuhan menghendaki ibu masih berumur panjang, pasti itu akan terjadi."
Bu Sumini menghela
nafas, lalu menyandarkan kepalanya pada jok mobil.
"Ibu tadi dari Solo naik apa?"
"Naik bis nak, kan hari ini saya disuruh kontrol, ya
saya kontrol dulu kerumah sakit, ya cuma dikasih obat, nggak tahu obat apa,
terus saya mampir ke Panti Asuhannya ibu Umi. Pikiran saya hanya satu, kalau
saya mati saya harus melihat anak saya dulu."
"Jangan dulu bicara seperti itu bu, manusia wajib
berusaha, nanti kita akan berobat sampai ibu menjadi baik."
Bu Sumini menarik nafas
berat.
"Tetangga saya dulu, orang kaya, sakit seperti saya,
sampai berobat ke luar negri, akhirnya juga meninggal."
"Jangan putus asa bu, pokoknya ibu harus
semangat."
Bu Sumini terdiam.
"Mas, kamu tidak
mengabari mbak Mery tentang semua ini?"
"Tidak, biarkan saja, aku ingin membuat kejutan."
"Tadi mas janji mau mengabari..."
"Iya, biar saja dia berdebar-debar menunggu..."
"Wah, mas Basuki rupanya suka bikin kejutan ya."
Tapi tanpa diduga
tiba-tiba Mery menelpon.
"Hallo Mery."
"Bas, masih menemui tamu ?"
"Tidak, ini sudah dalam perjalanan pulang."
"Jadi mampir ke Panti ?"
"Jadi."
"Lalu ? Bertemu sama wanita itu ? Apa dia bohong
?"
"Tidak..." Basuki tertawa.
"Kok tertawa
sih, serius nih, aku berdebar-debar dari tadi, tahu!"
"Lha kenapa? Kangen sama aku?"
"Bas !!"
"Aku membawa
kejutan untuk kamu, jadi tungu saja dirumah, tidak lama lagi kami akan
sampai."?
"Sampai dimana sekarang ?"
"Boyolali."
"Yaaah, masih jauh tuh.."
"Sabar honey.."
"Ih, apa tuh honey.. honey.."
"Honey itu sesuatu yang sangat manis.. bukankah
kamu itu manis?"
"Jelek ah, bercandanya."
"Sudah, ini
sudah lewat Boyolali. Kamu mandi dulu, dandan yang cantik, supaya kalau kamu
menyambut kedatangan calon suami, kamu sudah wangi."
"Bas...!"
"Sudah ah, ada larangan yang tidak bisa dilanggar
lho."
"Apa?"
"Tidak boleh bicara dengan sopir !" kata Basuki
sambil terbahak.
"Bas !"
"Daag Mery !!"
Lalu Basuki menutup
ponselnya. Bagas tersenyum mendengar kemesraan dialog itu. Tiba-tiba dia
teringat Kristin. Lhah.. kok dia lagi sih. Bagas kesal sendiri. Lalu
dikibaskannya bayangan si cantik centil pintar tapi ceroboh itu dari benaknya.
Ditatapnya hamparan sawah yang daunnya menghijau, berombak manis karena terpaan
angin.
"Bu Sumini kok
nggak ada suaranya ya?"
Bagas menoleh.
"Tampaknya bu
Sumini tertidur."
"Biarkan saja, pasti dia lelah. nanti aku antar kamu
dulu ya Gas, kasihan ini sudah sore."
***
Sore itu pak Suryo mampir kerumah pak Darmono.
Tampaknya ingin bertemu Bagas, tapi Bagas tidak ada dirumah.
"Jadi Bagas
pergi ya Dar?"
"Iya mas, kan sudah ijin hari ini ?"
"Iya, sih sudah ijin. Tapi saya kira dia ada
dirumah."
"Tidak, dia pergi bersama Basuki."
"Siapa Basuki ?"
"Dia anak teman
saya yang saya ceritakan itu mas. Usahanya dimana-mana, makanya saya ijinkan
Bagas membantu dia. Ma'af ya mas, kalau saya mengecewakan mas Suryo."
"Tidak apa-apa Dar, namanya manusia pasti memilih yang
terbaik, bukan?"
"Sebetulnya ini
tidak memilih yang terbaik, tapi yang tepat. So'alnya Basuki menganggap saya
sebagai pengganti orang tuanya, saya kan sudah bilang sama mas Suryo."
"Ya, aku tahu. Dan aku juga tidak akan menghalangi.
Biarlah Kristin belajar melakukannya sendiri."
"Saya sangat
menyesal mas."
"Sudah, jangan difikirkan lagi. Kalau aku sore ini
kepengin ketemu Bagas, ya cuma sekedar ingin omong-omong saja. Bukan akan
menghalangi."
"Ya mas, sayang sekali dia belum kembali."
"Ke Ungaran ?"
"Lho, mas Suryo kok tahu? Dia bilang mau kesana
?"
"Tidak, aku dengar dari mbak Mery."
"Oh, pemilik
warung itu? Ya, mungkin saja dia tau, karena Mery itu kan calon isterinya
Basuki."
"Oh, begitu ya ? Ah, luar biasa anak-anak muda
ini. Satunya pengusaha besar, satunya pengusaha makanan yang hebat."
"Mas tampak
kecewa ya, tentang Bagas?"
"Kecewa itu ada, kan aku itu sebenarnya suka sama
Bagas, dan ingin mengambilnya sebagai menantu."
"Iya mas, aku
tahu, aku juga sangat bahagia lho kalau bisa besanan sama mas Suryo. Tapi jaman
sekarang itu bagaimana sih caranya memaksa anak? Apalagi masalah cinta. Tapi
biarpun begitu mas, saya kira masih banyak waktu bagi Bagas dan Kristin untuk
berfikir. Siapa tahu sebenarnya Bagas juga suka, cuma masih dipendam dalam
hati."
Pak Suryo
mengangguk-angguk. Sesungguhnya dia kasihan pada anak gadisnya, sekaligus dia
juga suka pada Bagas. Pintar, sangat sederhana, dan tidak mudah tergiur oleh
tingginya kedudukan. Barangkali susah mencari gantinya.
"Ya sudah, nanti
kalau Bagas pulang, sampaikan saja salam saya. Eh tapi besok pagi dia masuk
kerja kan?"
"Iya mas, mestinya begitu. Kan ijinnya cuma sehari.
Barangkali hari ini Basuki hanya ingin memperkenalkan tugas-tugasnya nanti
disana, sekaligus memperkenalkan juga staf-stafnya."
***
"Hiih.. hiih.. !
Kesel aku sama Basuki," omel Mery sambil mondar mandir karena gelisah.
"Ada apa to mbak? Dari tadi kok kesel melulu?"
Tanya Timan yang sudah sampai dirumah dan duduk santai bersama Mery dan Sri.
"Basuki itu,
cuma ditanya saja pakai rahasia-rahasia segala."
"Apanya yang dirahasiakan ?"
"Itu tadi,
katanya ada wanita setengah tua yang kemungkinan adalah ibuku, Basuki ke Panti
untuk menemuinya. Ee.. aku tanyakan bagaimana hasilnya, dia malah bilang mau
bikin kejutan buat aku. Lalu dia nggak mau jawab sampai detail. Cuma
cengengesan saja. Sebel !!"
Timan dan Sri terkekeh geli melihat ulah Mery.
"Berarti mas
Basuki itu membawa berita baik, makanya dia bisa cengengesan. Kalau berita
buruk mana bisa tertawa dia?" kata Timan.
"Iya mbak, pasti mas Basuki benar-benar ketemu ibunya
mbak Mery, lalu mau buat kejutan untuk mbak Mery."
"Benarkah
?"
"Semoga benar mbak," kata Timan.
"Tapi benci aku.. jawabannya membuat aku jengkel.
Ketika aku mendesak.. tahu nggak dia bilang apa?"
"Bilang apa ?" tanya Sri.
"Dilarang bicara sama sopir."
Lalu mereka tertawa riuh sekali.
"Ada
apa..apaak?" Tiwi yang bermain sendirian sampai bertanya dengan heran.
"Itu Tiwi, ibu Mery lucu, jadi semua tertawa
deh."
"Ibu Mely lucu ?"
"Iya sayang. Hmh.. gemes aku kalau melihat kamu
ngomong," kata Mery sambil menciumi Tiwi sepuasnya.
"Tuh, sudah hilang kesalnya sama mas Basuki."
kata Timan masih dengan tertawa.
"Eh, nggak, masih kesal aku kalau dia belum sampai
kerumah," kata Mery sambil melepaskan Tiwi dan kembali cemberut seperti
tadi.
Dan ketika mobil
Basuki masuk ke halaman, Timan dan Sri berdiri menyambut, tapi Mery tetap duduk
sambil mulutnya cemberut. Dia bahkan duduk menghadap kebelakang.
"Mana Mery
?"
"Itu mas, lagi marah sama mas Basuki. Lihat, dia masih
duduk sambil menghadap kebelakang," kata Timan.
Basuki melangkah
kedalam, dan melihat Mery benar-benar membelakanginya dengan mulut mengerucut.
"Mery.."
"Katanya kesalnya hilang kalau mas Basuki sudah sampai
rumah," sela Sri.
"Mery, ayo lihat siapa yang dimobil," kata Basuki
sambil menarik tangan Mery.
Mery berdiri.
"Ayolah jangan
cemberut, aku kembalikan saja dia kalau kamu cemberut," ancam Basuki.
"Kamu bawa ibuku ?" tanya Mery penuh harap.
"Ayolah, lihat saja sendiri."
Mery mengikuti Basuki
mendekati mobil, dibukanya mobil sebelah belakang, dilihatnya seorang wanita
sedang tertidur pulas.
"Mungkin terlalu lelah, aku biarkan dia tidur."
"Bukankah.. itu.. bu.. gorengan.. bu.. Sumini ?"
tanya Mery sambil tergagap.
"Iya.. bu
Sumini."
"Dia... ibuku ?"
"Tampaknya begitu.. coba bangunkan.."
"Ya Tuhan, bu Sumini ibuku?" pekik Mery penuh
perasaan.
Mery melongok
kedalam.
"Ibu.. bu.. bangun bu, sudah sampai."
Tapi bu Sumini terdiam. Mery menggoyang-goyangkan tubuhnya,
tapi bu Sumini tetap diam.
"Baaas... kenapa
dia?"
Basuki terkejut.
"Dia tidur
Mer.."
"Tidak Bas, dia diam saja..."
***
besok lagi ya
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^