Senin, 20 Juli 2020

Cinta Ada Diantara Mega 23-24


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  23*

Basuki pun panik, tanpa banyak berkata ia membawa bu Sumini langsung kerumah sakit, bersama Mery dan Timan yang juga langsung melompat kedalam mobil.

Sri menghela nafas resah.
"Ya Tuhan, tolonglah ibunya mbak Mery, selamatkanlah dia," bisiknya sambil berlinang air mata.

Melihat ibunya menangis, Tiwi mendekat sambil mewek-mewek.
"Ibu Ci.. ibu Ci...."
Sri memeluk anaknya lalu mengusap air matanya.
"Sayang, ibu Sri tidak apa-apa, mata ibu Sri sakit terkena debu nih."
"Ibu Ci ais ?"
"Tidak, ibu Sri tidak menangis. Anak cantik anak pintar juga tidak boleh menangis ya? Sana main lagi, ibu ambilkan maem ya."

"Apak ana?"
"Bapak lagi mengantarkan om Basuki, ibunya ibu Mery sakit."
"Akiit ?"
"Ya, ayo main lagi, ibu ambilkan maem ya."
"Pake lul.. pake lul.."
"O, pake telur ? Baiklah, ibu buatkan ya. Main dulu disitu, jangan kemana-mana."
Tiwi mengangguk, lalu kembali bermain dengan bonekanya.

Dalam menggoreng telur untuk Tiwi itu pikiran Sri lari kemana-mana. Ia merasa kasihan kepada Mery yang hampir ketemu ibunya, kemudian ternyata ibunya sakit. 

"Sakit apa ya ibunya mbak Mery? Kok tiba-tiba pingsan, sementara mas Basuki mengira dia tidur," gumam Sri.
"Semoga tidak terjadi apa-apa yang menghawatirkan."

"Ibu Ciiiii..." teriak Tiwi.
"Iya sayang, sudah selesai, sebentar ya..."

***

Basuki, Mery dan Timan menunggu di kursi tunggu. Perlahan Basuki menceritakan awal bu Sumini datang ke Panti. Ia merasa punya penyakit berat dan diduga umurnya tak akan lebih panjang lagi. Karena itulah ia ingin mencari anaknya. Tampaknya cerita itu masuk akal, dan bukti yang dikatakannya juga cocog dengan keadaan si bayi ketika ditemukan oleh pihak Panti.  Jadi Basuki yakin bahwa bu Sumini adalah ibunya Mery.

Mery terisak ditempatnya. Hatinya bagai teriris mendengar penuturan Basuki tentang ibunya.  Basuki merangkul pundaknya dan menepuknya pelan.

"Alangkah sengsara hidup ibuku, sementara aku bergelimang kesenangan dan kemewahan bersama kamu."
"Sudahlah Mery, tenangkan hati kamu."

"Jangan biarkan ibuku meninggal, aku baru melihatnya sekilas, aku ingin ditunggui lebih lama lagi."
"Iya, tenangkan hatimu. Dokter akan melakukan hal terbaik untuk ibumu."

"Mungkin jauh didasar hatiku aku merasa ada sesuatu pada bu Sumini ya Bas, mengapa aku sangat suka gorengannya, dan sebenarnya ingin membelinya lagi tadi, cuma dia tidak jualan. Rupanya dia sedang ingin bertemu aku."
"Iya, benar. Berdo'alah semoga semuanya baik-baik saja."

"Bas, tolonglah, seandainya benar ibuku sakit parah, bantu mengusahakan untuk kesembuhannya ya Bas?"
"Ya pasti lah Mer, dia kan calon ibu mertuaku."
"Terimakasih Bas."

Basuki masih memeluk pundak Mery. Ia ingin segera bertemu dokter. Ia juga sudah menyerahkan hasil pemeriksaan lab yang dibawa bu Sumini.

"Apa dia belum sadar ?" tanya Mery lagi.
"Sebentar mbak, saya mau bertanya ke perawat yang baru keluar itu," kata Timan yang kemudian bergegas menyusul perawat yang baru keluar dari ruang UGD.

"Suster.. suster.. "
"Ya?"
"Apa ibu Sumini belum sadar ?"
"Sudah  mas, tapi masih diperiksa."
"Apakah itu berbahaya?"
"Nanti saja menunggu hasil pemeriksaan. Tampaknya dokter ingin memeriksa lebih lanjut dengan membawa sample darah ke lab."

"Berbahayakah?"
"Saya belum bisa mengatakannya, mas tunggu saja dulu ya."

Perawat itu berlalu, dan Timan kembali mendekati Basuki.
"Bagaimana ?"
"Sudah  sadar, tapi masih diperiksa dan tampaknya akan dilakukan pemeriksaan laboratorium."
"Oh, sudah sadar? Bolehkah aku menemuinya?"
"Tunggu mbak, dokter belum selesai. Nanti pasti diberi tahu."

Mery mengangguk, sedikit lega karena bu Sumini sudah sadar. Ia ingin segera ketemu, bertatap muka dan berbicara. Alangkah rindunya Mery akan adanya seorang ibu.  

"Alangkah rindunya aku pada ibuku. Semoga dia sembuh ya Bas."
Basuki mengangguk sambil menepuk-nepuk tangan Mery.

***

Sri yang juga merasa gelisah, tak tahan untuk tidak menelpon suaminya. 
"Sri.. ?"
"Mas, bagaimana keadaannya ?"
"Baik, sudah sadar, tapi belum bisa ditemui. Dokter  masih memeriksa lebih lanjut."
"Jadi mbak Mery belum bisa ketemu ibunya?"
"Belum Sri, masih menunggu dokternya selesai."

"Tapi sudah sadar ya mas? Aku takut sekali karena tadi mbak Mery berteriak-teriak."
"Sudah sadar. Ya, tadi mbak Mery berteriak karena ibunya diam saja ketika disentuh. Kamu tidak apa-apa kan dirumah sendiri?"
"Tidak mas, aku hanya menghawatirkan keadaan ibunya mbak Mery."
"Namanya bu Sumini. Kata mbak Mery itu yang jualan gorengan, dan katanya tadi kamu diajak kesana."

"Iya, tadi ingin sekali mbak Mery beli gorengan. Jadi itu orangnya? Tadi tidak ketemu sih. Apakah karena ada ikatan batin ya, sehingga mbak Mery sangat suka gorengan itu. Kalau saja  tadi jualan, pasti aku bisa ketemu."
"Iya pastilah tidak ketemu, karena orangnya pergi ke Panti dimana dulu meletakkan anak bayinya."

"Mengapa baru sekarang dia mencari anaknya ya mas?"
"Nanti saja kalau aku pulang aku cerita. Sekarang lagi menunggu keterangan dari dokternya."
"Baiklah mas. Kalau ada apa-apa aku dikasih kabar ya."
"Iya, pasti."

Sri menarik nafas lega, karena bayangannya tadi, ibu itu meninggal, dan ternyata sekarang sudah sadar.

***

Mery langsung berlari masuk kedalam untuk menemui bu Sumini, sementara Basuki dan Timan menemui dokter diruangnya. Dilihatnya bu Sumini terbaring lemah, dengan selang infus dipergelangan tangannya.

"Ibu... ibuku..." bisik Mery dengan linangan air mata."
"Apa.. kamu.. anakku ?"

"Ibu, akulah yang ibu tinggalkan dengan sebelah sepatu songket berwarna merah. Sayang sepatu itu tidak Mery bawa karena tergesa mengantar ibu ke rumah sakit."
"Tapi sepatu yang ibu bawa sudah hilang nak.." bisik bu Sumini lemah.
"Itu tidak masalah, ibu sudah membuktikannya dengan cerita ibu tentang bayi itu. Apakah ibu tidak percaya bahwa Mery ini adalah anak ibu ?"
"Ya Tuhan, terimakasih.. "

Mery dan bu Sumini berpelukan dengan erat, sambil berurai air mata."
"Ma'afkan ibu kalau telah membuangmu waktu itu.. ibu terpaksa melakukannya nak, karena waktu itu hidup ibu sangat sengsara. Ma'af ya nak."
"Tidak ibu, ibu melakukan yang terbaik untuk Mery, ibu membiarkan diri ibu sendiri menderita dan memilih membahagiakan Mery. Terimakasih ibu."

"Anakku... anakku..." bisik bu Sumini berkali-kali.
"Aku bahagia sekali ketemu ibu, aku merindukan ibuku, ayahku.."
"Sayangnya ayahmu meninggal ketika kamu masih bayi. Karena hidup tanpa ayahmu itulah ibu merasa tidak kuat merawatmu dengan baik."
"Ya ibu, sudahlah, jangan disesali."

"Aku bersyukur, diakhir hidupku aku bisa bertemu anakku.. Terimakasih... ya Allah.." tangis bu Sumini pilu.,
"Ibu akan kembali sehat. Ibu harus kuat. Tahukah ibu bahwa Mery akan menikah dengan Basuki? Basuki yang telah menolong ibu berkali-kali?"
"Ya, ibu tahu nak.. nak Basuki sudah mengatakannya. Ibu bahagia kamu mendapatkan suami orang baik. Semoga kamu akan bahagia ya nduk."

"Ibu, kita akan bahagia bersama-sama."
"Hidup ibu tak akan lama."
"Tidak ibu, tidak.. ibu akan terus bersama Mery.. akan sehat dan kuat sampai memiliki banyak cucu. Dengar.. ibu harus melihat cucu-cucu ibu nanti.. "

"Anakku... alangkah bahagianya seandainya itu terjadi."
"Itu akan terjadi ibu, pasti akan terjadi. Sekarang biarlah ibu beristirahat dulu disini, sampai ibu sehat."
"Biaya rumah sakit itu mahal."
"Ibu jangan memikirkan apapun, pikirkan bahwa ibu harus sehat."
"Anakku.. anakku..." tangis itu tak henti-hentinya. Tangis penuh bahagia.

***

"Jadi dokter belum percaya akan hasil lab yang dibawa ibu Sumini dari rumah sakit sebelumnya?"
"Bukan belum percaya, saya hanya ingin melakukan cek ulang. Semuanya akan saya lihat. Kalau memang benar ada kanker, sejauh mana dia hinggap di tubuh ibu Sumini."

"Mungkinkah bisa disembuhkan dengan operasi ?"
"Tidak begitu, jangan berbicara tentang operasi. Saya harus melakukan pemeriksaan ulang. Nanti beberapa hari pasti sudah akan ada hasilnya. Bapak harus menunggu."

"Apakah bu Sumini harus rawat inap disini?"
"Ya, tentu saja, banyak yang harus diperiksa. Besok akan kita mulai."

"Apakah itu sebabnya maka dia tiba-tiba pingsan?"
"Dia mengalami demam tinggi. Ada radang  saluran nafas ditubuhnya yang belum sembuh tuntas. Rupanya dia tidak meminum obat yang diberikan dokter sebelumnya, sehingga infeksi itu tidak sembuh tuntas. Tadi dia mengatakannya begitu. Hanya kadang-kadang saja dia minum obatnya,"
"Oh, sayang sekali."

"Ia akan menginap disini untuk beberapa hari, sampai radang itu sembuh, sambil melihat bagaimana hasil labnya secara menyeluruh."
"Baiklah dokter, terimakasih banyak. Mm.. satu lagi dokter, bisakah kami sekalian melakukan tes DNA atas ibu Sumini?"

Dokter itu menatap heran.
"Tes DNA ? Ada yang meragukan ikatan darah antara bu Sumini dan...."
"Dan anaknya yang baru saja ditemukan."
"Oh... saya baru tahu."

"Sebenarnya kami hampir yakin, cuma untuk lebih meyakinkan saja dok, soalnya sudah tigapuluh lima tahun lebih baru ketemu."
"Oh, subhanallah... Iya bisa saja, nanti kita juga minta sample darah anaknya juga."

"Baik, terimakasih dokter, saya mohon, lakukan yang terbaik untuk ibu Sumini."
"Dokter akan selalu melakukan hal terbaik untuk pasiennya."
"Terimakasih banyak dokter."

***

"Mas Timan, terimakasih banyak telah menemani kami."
"Tidak apa-apa mas, sudah kewajiban kita untuk saling bantu. Sekarang kalau bu Sumini harus opname, bukankah harus ada baju ganti atau perlengkapan lainnya yang harus dikirim kemari?"

"Itulah yang ingin saya katakan mas, saya dan Mery mungkin akan menunggu disini sampai keadaan menjadi benar-benar baik, jadi saya akan minta mas Timan untuk mengambilkan baju2 untuk bu Sumini. Tapi, rasanya bu Sumini tidak membawa baju."

"Saya akan membelikannya saja mas, atau, bukankah bentuk tubuh bu Sumini tidak jauh berbeda dengan mbak Mery? Barangkali untuk sementara biar Sri nanti mengambilkan baju-baju mbak Mery untuk bu Sumini."

"Benar mas, lakukanlah bagaimana baiknya. Kami tidak bisa apa-apa tanpa bantuan mas Timan dan Sri."
"Ah, sudahlah mas. Kalau begitu saya akan pulang langsung ya mas?'
"Iya mas, lagi pula ini juga sudah malam. Nanti Sri bingung menunggu."
"Tidak apa-apa, Sri akan mengerti, tadi sudah telpon."

"Baiklah, mungkin malam ini bu Sumini sudah akan dipindahkan ke ruang inap. Nanti saya kabari tempatnya."
"Baik mas, sekarang saya permisi dulu. Nanti Sri pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan. Saya akan kembali setelah semuanya siap."
"Terimakasih banyak ya mas."

Ketika Timan pergi, Basuki semakin menyadari, alangkah indahnya sa'at bisa saling berbagi, saling bantu. Bahwa dia dulu sudah menyakiti Timan dan Sri, sangat disesalinya sampai sekarang. Tapi Basuki bersyukur, sekaligus terharu. Timan dan Sri sudah melupakan semuanya, dan sudi menerima dirinya sebagai sahabat. Basuki menghela nafas lalu memasuki ruang UGD, lalu melihat bu Sumini dan Mery saling bertangisan.

***

Sri mengambil beberapa baju Mery yang sekiranya bisa dipakai bu Sumini dirumah sakit, bersama segala perlengkapannya, sementara Timan disuruhnya makan terlebih dahulu.

"Mas harus makan sekalian, nanti aku juga akan membawakan makan untuk mbak Mery dan mas Basuki. Pasti mereka juga belum sempat makan.."
"Iya, bawakan saja."

"Aku tidak mengerti mas, mengapa kalau mereka sudah yakin bahwa bu Sumini itu ibunya, mas Basuki masih juga minta agar diadakan tes DNA ?"
"Barangkali hanya untuk lebih meyakinkan saja Sri, maklumlah, mereka berpisah sejak mbak Mery belum tahu apa-apa, dan bu Sumini juga pasti tidak mengenali anaknya yang sudah berpisah puluhan tahun."

"Pasti biayanya sangat mahal ya mas."
"Untunglah mbak Mery sudah ketemu mas Basuki yang duitnya banyak. Kalau belum, pasti mbak Mery juga repot, apalagi bu Sumini tampaknya sakit berat."

"Kasihan ya mas, lama tidak ketemu, sa'at ketemu keadaannya sakit seperti itu."
"Allah punya banyak cara untuk membuat sesuatu menjadi indah."
"Mungkinkah penyakit bu Sumini bisa disembuhkan?"
"Manusia mempunyai kewajiban untuk berusaha. Semoga semua terjadi seperti harapan kita."
"Aamiin."

***

"Jadi hari ini mbak Mery ketemu sama ibunya?" tanya pak Darmono ketika Bagas sudah santai dirumahnya malam itu.
"Iya pak, luar biasa sekali. Tigapuluh limaan tahun baru ketemu anak yang semula dibuangnya."

"Pastinya dia tidak bermaksud membuangnya. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya melakukan semua itu."
"Benar pak, karena keadaan ekonomi bu Sumini setelah ditinggalkan suaminya."
"Suaminya meninggal ?"
"Ya, ketika mbak Mery belum berumur sebulan."

"Semoga mereka bahagia, pada hari pernikahannya bisa ditunggui oleh ibu kandungnya."
"Aamiin. Malam ini mereka pasti sedang bersenang-senang. Aku ikut bersyukur atas kejadian itu."

Tentu saja Bagas tidak tahu apa yang terjadi pada bu Sumini, karena sebelum menemui Mery,  Bagas diantarkan kerumahnya terlebih dulu.

"Oh ya Gas, tadi pak Suryo mencari kamu."
"Pak Suryo? Apa dia akan menghalangi Bagas untuk  resign ?"
"Tidak, dia tak akan menghalangi kamu."
"Lalu untuk apa mencari Bagas?"
"Nggak apa-apa. Dia cuma bilang, bahwa sebenarnya suka sama kamu, dan ingin mengambil kamu sebagai menantu."
"Ah.. itu."

Bagas terdiam, terbayang olehnya wajah cantik manja pintar tapi ceroboh. Lalu terngiang bagaimana dia memanggilnya manja, yang membuatnya kesal. Bagaaaas... tapi kemudian dia menginginkan bisa mendengar suara itu lagi.

Bagas menghela nafas.
"Apakah tidak ada sedikitpun dihati kamu rasa tertarik pada Kristin ?"
"Entahlah bapak, yang Bagas tahu, akhir-akhir ini Kristin sangat angkuh. Bagas tidak ingin memikirkannya."

"Angkuh bagaimana ?"
"Pokoknya angkuh."
"Kadang-kadang seorang gadis suka jinak-jinak merpati."

Bagas tertawa. Merpati cantik itu akan selalu diingatnya, tapi tak mungkin dicintainya. Benarkah? Bagas menjadi bingung, lalu ia memilih berpamit pada ayahnya untuk berangkat tidur.

***

Seminggu kemudian hasil DNA itu keluar. Betapa bahagianya Mery, karena memang terbukti bahwa ibu Sumini adalah ibu kandungnya. Ia juga senang, bu Sumini sudah tampak lebih sehat, dan wajahnya tidak sepucat sebelumnya.

"Setelah ini, Mery yang akan meminumkan obat buat ibu, supaya ibu tidak lupa. Bukankah ibu kemarin-kemarin sering lupa meminum obatnya?"
"Ibu merasa sudah sehat, dan tidak perlu minum lagi."

"Ibu salah, ibu merasa sehat karena penyakit ibu sedang pingsan, lalu ketika sadar, dia bangkit lagi dan menyakiti ibu."
"Begitukah? Rupanya penyakit bisa pingsan ya?" kata bu Sumini sambil tersenyum.
"Bisa bu. Sekarang kita harus membuat supaya penyakit itu mati. Barulah ibu boleh berhenti minum obatnya."

"Senang rasanya ada yang mengingatkan. Selama ini ibu sendirian. Tapi ibu bahagia, kalau harus matipun ibu sudah puas, sudah bisa menatap wajah anakku, memeluknya, mendapatkan perhatiannya."

"Ibu tidak boleh bicara tentang kematian. Ibu akan sembuh dan bahagia bersama Mery dan Basuki. Dengar, bulan depan Mery menikah didesa. Ibu harus sudah sehat dan kuat supaya bisa mendampingi Mery nanti."

"Mengapa didesa?" 
"Itu tempat sahabat-sahabat Mery. Nanti ibu pasti akan mendengar kisah hidup Mery. Sejak Mery ada di Panti sampai bertemu Basuki, lalu bertemu ibu sekarang ini."
Bu Sumini mengangguk, matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba Basuki menggamit lengan Mery, diajaknya keluar.
"Ada apa?"
"Ini hasil lab untuk bu Sumini sudah keluar."
"Apa hasilnya? Burukkah ?"

***

besok lagi ya



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  24*

 

Berdebar Mery mengikuti langkah Basuki, keluar dari ruangan.

"Ada apa sih? Mengapa harus keluar. tidak bisa ngomong didalam saja?" protes Mery

"Mau bilang tentang hasil lab dan pembicaraan dengan dokter tadi."

"Ada apa? Kamu membuat aku ketakutan."

"Menurut dokter, memang benar ibu menyandang penyakit itu."

"Kanker rahim ?"

"Dan sudah menyebar."

 

"Ya Allah... tolonglah.. Tidak adakah cara menyembuhkan ?"

"Dokter menyarankan chemoterapi."

"Apakah itu buisa menyembuhkan ?"

"Dokter tidak mau berjanji. Ada faktor yang lebih bisa membantu menyembuhkan yaitu ketahanan tubuh seseorang."

 

"Apa yang harus kita lakukan Bas? Ibu tak akan mau," kata Mery terisak.

"Tenanglah, jangan kelihatan panik didepan ibumu, nanti dia khawatir. Jangan dulu bicara so'al penyakit itu. Yang penting buat ibu sehat, dengan makanan yang bergizi. Itu akan menguatkan."


"Ibu sudah kelihatan sehat, apakah akan terus disini sampai ada tindakan dengan adanya kanker itu?"

"Tidak, dokter bilang besok pagi sudah boleh pulang."

"Ya sudah, kita bawa dulu ibu pulang. Nanti kita pikirkan lagi apa yang sebaiknya dilakukan, sambil bicara sama ibu."

"Aku setuju. Sekarang aku akan ke bagian administrasi dulu."

 

"Bas, aku punya tabungan, ini, ambil di ATM, jangan semuanya kamu."

"Tidak apa-apa, pakai uangku saja. Aku sudah siap. Masih banyak yang akan kamu butuhkan, bukankah kita akan menikah?"

 

Mery mengulaskan senyum. Ingatan akan menikah itu membahagiakannya, apalagi sekarang ada ibu kandungnya.

"Bas, terimakasih banyak ya?"

"Mengapa harus berterimakasih, ini akan aku lakukan kepada siapa saja yang membutuhkan, apalagi untuk ibu mertuaku sendiri."

Mery mengangguk dan tersenyum.

"Baiklah, aku kembali ke ibu dulu."

 

Ketika Mery kembali kekamar, dilihatnya bu Sumini sudah duduk ditepi ranjang.

"Ibu kok duduk ?"

"Aku sudah merasa sehat, lebih baik aku pulang."

"Iya bu, dokter bilang besok ibu sudah boleh pulang."

 

"Syukurlah. Apa tadi yang dibicarakan nak Basuki, mengapa harus keluar dari kamar? Supaya aku tidak mendengar ?" 

"Tidak bu, hanya membicarakan administrasi. Basuki tidak mau kalau aku yang membayar."

 

"Ah, aku merepotkan ya.."

"Tidak, ibu tahu, aku sangat bahagia ketemu ibu. Ibu tidak usah kembali ke rumah sewa itu, ibu akan hidup bersama aku. Mas Basuki punya rumah, dan mas Timan juga mempersilahkan kita tinggal disana."

 

"Aku bertemu dengan orang-orang baik. Syukur alhamdulillah.."

"Ibu, ingin makan apa sekarang?"

"Tidak, aku sudah kenyang."

"Makan buah saja ya?"

 "Ya, bolehlah, aku mau jeruknya."

 

Mery mengupaskan jeruk untuk ibunya, menyuapkannya dengan kasih sayang. Seakan ingin ditebusnya waktu yang tigapuluh limaan tahun itu dengan terus membahagiakan ibunya.

 

***

 

Siang hari itu Kristin seperti biasa makan sendiri di warung Mery. Sementara Bagas sudah berhari-hari tidak makan disana. Ia lebih fokus kepada pekerjaan yang bulan depan sudah harus ditinggalkannya.

 

"Mas, kok saya setiap hari kesini, tapi tidak melihat mbak Mery ya?"

"Lho, mbak belum tahu ya, ibunya mbak Mery kan sakit?"

"Oh, sakit apa?"

"Nggak tahu mbak, katanya sudah seminggu lebih dirumah sakit."

"Oh... iya? "

 

"Iya. sekarang mbak mau pesan apa? Nasi goreng pake udang, minumnya es kopyor?" pelayan itu seperti sudah hafal pesanan Kristin.

 

Kristin tersenyum.

"Tidak, kali ini aku mau nasi timlo."

"Minumnya?"

"Es jeruk."

Pelayan itu mengangguk dan berlalu.

 

"Jadi ibunya mbak Mery sakit ya? Kok Bagas nggak pernah cerita. Tapi mana mau Bagas cerita sama aku, orangnya sekarang bertambah cuek, dan tak perduli sama aku," gumamnya lirih sambil membuka-buka ponselnya.

 

Tapi tanpa dinyana, tiba-tiba Kristin melihat Bagas, baru masuk ke warung, lalu duduk disebuah bangku. 

"Apa dia tak tahu aku duduk disini?" batin Kristin. Karena tak tahan Kristin memanggilnya.

"Bagaaaas,"

 

Bagas terkejut, tak menyangka Kristin ada disana. Ia ingin tetap duduk ditempat ia semula duduk, tapi Kristin melambaikan tangannya.  Bagas berdiri, dan terngiang kembali panggilan yang didengarnya. Sedikit mirip seperti suara yang sering membuatnya rindu, tapi sikapnya masih angkuh seperti biasa. Barangkali ia harus menegakkan kewibawaannya sebagai seorang pimpinan. Baiklah.  Lalu Bagas duduk dihadapannya.

 

"Aku sudah pesan. Kamu mau pesan apa?"

Bagas melambaikan tangannya, tapi sebelum pelayan mendekat Bagas sudah  bicara.

"Biasa mas !"

 

Kristin tersenyum tipis, menyembunyikan debaran jantungnya ketika melihat Bagas tersenyum, walau senyum itu bukan untuk dirinya tapi untuk pelayan itu.

 

"Sudah lama?" tanya Bagas.

"Baru saja. Setiap hari aku makan disini."

"Oh ya? Bukan main."

"Apa yang bukan main?"

"Biasanya nggak suka."

"Sekarang aku suka."

"Syukurlah."

 

Pembicaraan yang hanya sepotong-sepotong itu ternyata bisa mencairkan suasana. Kristin merasa seperti terlepas dari himpitan batu, mengira Bagas membencinya.

 

"Kamu sudah tau, kalau ibunya mbak Mery sakit?" tanya Kristin.

"Apa?" Bagas terkejut. Karena banyaknya urusan sehingga dia tidak mengabarkan apapun pada Basuki. Ia mengira semuanya baik-baik saja.

"Sakit apa?"

"Itu, pelayan mengatakan kalau sudah seminggu dirumah sakit."

 

Bagas mengangkat ponselnya.

"Hallo Gas." sapa Basuki dari seberang.

"Bu Sumini sakit ?"

"Iya Gas, sudah seminggu lebih dirumah sakit, tapi besok sudah bisa pulang."

 

"Sakit apa mas?"

"Waktu kita dari sana kemarin itu tampaknya kecapean, belum sembuh benar dari sakitnya semula."

 

"Oh, ma'af aku tidak tahu mas."

"Aku juga minta ma'af tidak mengabari kamu, tapi tidak apa-apa, besok sudah boleh pulang. Kamu lagi dimana ?"

"Di warungnya mbak Mery."

 

"Waah, pasti kamu tahunya karena nggak ada Mery disitu kan?"

"Sudah beberapa hari juga saya nggak makan disini mas, banyak yang harus aku selesaikan, supaya ketika pergi semuanya sudah selesai."

"Iya, baguslah. Oke Gas, ini lagi menyelesaikan administrasi dulu."

"Yuk mas.. semoga ibu Sumini sehat."

"Amiin, terimakasih Gas."

 

"Sakit apa ibunya mbak Mery?"

"Sepertinya ada radang ditubuhnya, entahlah nggak begitu jelas, tapi besok sudah bisa pulang."

"Syukurlah."

 

"Itu, pesanan mbak Kristin sudah datang, nanti keburu dingin. Tumben makan timlo."

"Katanya enak, pengin nyoba aja."

"Ya udah, cobain.."

"Tunggu pesananmu saja, biar enak."

 

Bagas tersenyum, dan lagi-lagi senyum itu membuat hati Kristin berdebar. Bagas menatap binar dimata Kristin, dan melihat sepasang bintang gemerlap menatapnya.

 

Ada percikan api ketika tatapan itu bertaut, tapi pelayan yang datang membuyarkan moment indah yang tak terduga sebelumnya.

"Silahkan mas.."

"Oh.. eh.. iya.."

"Mari mbak, pesananku sudah datang."

 

Kristin meneguk es jeruknya, lalu mereka mulai menyantap pesanan mereka. Tak ada suara terdengar dari mulut mereka, kecuali gemuruh dalam rasa yang tak mereka sadari penyebabnya.

 

***

 

"mBak Mery, besok ibu dibawa pulang kerumah kan? Saya akan menata kamar mbak Mery, supaya nyaman dipakai tidur bersama ibu," kata Sri ketika memerlukan membezoek bu Sumini dirumah sakit.

"Iya Sri, aku juga sedang berfikir. Basuki menyuruh aku membawa ibu kerumahnya, tapi kan kami belum menikah, rasanya kok kurang nyaman."

 

"Maka dari itu mbak, pulang kerumah kita saja, mas Timan juga pasti senang."

"Apa tidak merepotkan aku membawa ibuku yang sedang sakit Sri?"

"Tidak mbak, justru biar dirumah saya dulu, supaya kalau mbak Mery harus ke warung, ada yang melayani bu Sumini."

 

"Benar, mas Timan tidak apa-apa?"

"Justru mas Timan yang menyarankan itu mbak. Dengar, nanti ibu kita ajak jalan-jalan ke Sarangan, disana hawanya segar, pemandangannya bagus, pasti ibu akan senang dan terhibur. Dan hati senang itu kan membuat orang jadi sehat?"

 

"Iya Sri, bagus sekali. Baiklah, kalau tidak merepotkan. Lagi pula bulan depan aku sudah menikah, dan pasti aku harus mengikuti suami, ya kan?"

"Aku senang mendengarnya, tapi sedih kalau mbak Mery tidak ada lagi dirumah."

"Sri, aku kan tidak pergi jauh... seperti aku akan keluar negri saja..."

"Tapi kalau sore biasanya kita rame, bercanda.. makan camilan bersama.. berebut mencuci piring, berebut membersihkan rumah..."

 

Mery tertawa, senang membayangkan sa'at kebersamaan, tapi sedih ketika nanti semuanya akan berbeda. Tapi bukankah ada bu Sumini yang akan membuat Mery lebih merasa lengkap dalam hidupnya?

 

"Kita memang harus menjalani hidup kita masing-masing Sri, apa boleh buat. Tapi yang pasti kita akan sering bertemu dan bercanda seperti biasanya.

"Tapi aku bersyukur, mbak Mery sudah menemukan ibunya, dan nanti ketika pernikahan pasti akan lebih membahagiakan karena ibu bisa mendampingi."

 

"Iya Sri., sungguh aku berbahagia sekali. Do'akan ibu selalu sehat ya Sri."

"Pasti mbak, aku akan selalu mendo'akan untuk kesehatan bu Sumini. Janganlah mbak Mery putus asa, karena umur manusia itu bukan manusia yang menentukan."

 

Mery mengangguk terharu.

"Saya akan bilang simbah tentang penyakit bu Sumini, barangkali simbah tahu obat untuk menyembuhkannya."

"mBak Kliwon bisa mengobati ?"

"Simbah itu tidak pernah meminum obat, dia sangat percaya kepada daun-daun dan umbi-umbian yang diambilnya dari kebun, atau persawahan. Bukan karena simbah itu orang pintar, tapi  dia banyak pengalaman tentang daun-daun obat. Siapa tahu simbah tahu sesuatu tentang penyakit itu."

 

Mery mengangguk-angguk. Walau tak yakin tapi ia mencoba terus memperhatikan.

"Dulu waktu aku mau melahirkan, lama sekali si bayi tidak mau keluar, dokter sudah mau mengoperasinya, lalu simbah datang, memberi segelas kecil ramuan, dicampur kuning telur ayam kampung. Aduh, kalau dalam keadaan sehat pasti aku nggak mau meminumnya, rasanya pahit sekali. Tapi karena sedang merasakan sakit yang tak terhingga, aku minum saja jamu itu, dan  lima menit setelahnya, Tiwi lahir. Dokter yang datang untuk mengoperasi geleng-geleng kepala, Tiwi sudah lahir dengan selamat."

 

"Hebat ya simbah Kliwon.."

"Kapan-kapan kita ajak bu Sumini ke desa.. sambil diajak melihat pemandangan dan menghirup udara sejuk.. "

"Aku setuju. Pasti ibu senang diajak jalan-jalan."

 

***

 

"Aku sudah menyuruh simbok menata kamar buat ibu, kok nggak mau sih." kata Basuki ketika Mery menolak diajak pulang kerumahnya.

"Bas, kita belum menikah, masa aku sudah harus tinggal dirumahmu, bersama ibu pula."

"Justru bersama ibu itu, aku kira nggak apa-apa."

"Tidak Bas, bersabarlah, satu bulan lagi kita sudah bisa berkumpul di satu rumah, tapi ijinkanlah aku tinggal dirumah mas Timan dulu bersama ibu."

 

"Apa tidak merepotkan?"

"Tidak, justru mereka yang meminta."

"Ya sudah, terserah kalau begitu."

"Kita pulang sekarang?"

"Menunggu obat yang barusan diberikan dokter. Biar aku mengambilnya. "

 

"Bagaimana kalau aku pulang dirumahku sendiri saja?" kata bu Sumini yang mendengar pembicaraan itu.

"Tidak bu, bagaimana mungkin aku membiarkan ibu pulang kerumah sewa itu, lalu aku pulang kerumah yang lain? Kita sudah dipertemukan, jadi harus tetap menjadi satu. Dimana ada aku, disitu ada ibu."

 

"Bagaimana aku bisa menjual gorengan kalau tidak pulang kerumah sewaku?"

"Aduuh, ibu.. kenapa sih masih memikirkan gorengan?"

"Itu nafkahku.."

"Nanti Mery yang akan menafkahi ibu. Kalau ibu ingin juga membuat gorengan, buat saja untuk kami, pasti kami suka."

 

"Jadi ibu tidak usah bekerja?"

"Tidak, tidak.. dan tidak."

"Apa tidak merepotkan?"

"Tidak ada seorang anakpun yang repot merawat orang tuanya."

 

"Tapi ibu tidak pernah merawat kamu."

"Ibu melahirkan aku, dan bertaruh nyawa untuk aku, apa itu tidak cukup? Sudahlah bu, menurut saja ya, ibu pasti senang tinggal bersama sahabat-sahabat Mery. Mereka orang-orang baik."

 

"Kapan kamu menikah?"

"Rencananya bulan depan, kami sudah mempersiapkan semuanya."

"Alangkah bahagianya ibu kalau bisa menunggui kalian menikah."

"Justru ibu harus mendampingi sa'at Mery menikah."

"Semoga ya nduk."

 

"Oh ya bu, nanti kalau ibu sudah cukup beristirahat, ibu akan aku ajak jalan-jalan kedesa."

"Ke desa mana?"

"Daerah Sarangan, desanya sahabat-sahabat Mery, dimana nanti Mery akan menikah. Disana banyak pemandangan indah, udaranya segar, ibu pasti senang."

 

"Tampaknya menyenangkan."

"Iya dong bu."

"Ini obatnya sudah Mer, nanti kalau habis harus kontrol lagi," kata Basuki yang sudah membawa obatnya.

"Ayo ibu, kita pulang."

 

*** 

 

Bu Sumini senang karena dirumah Timan disambut dengan hangat dan layaknya seperti keluarga sendiri. Dikamar yang sudah dirapikan Sri bu Sumini juga merasa sangat nyaman.

 

"Ibu jadi merepotkan ya nak," kata bu Sumini yang sudah bisa duduk dan tampak sehat.

"Ibu, tidak ada yang repot disini, karena ini juga rumah mbak Mery, dan kami adalah saudara-saudaranya," kata Sri sambil menyajikan teh hangat dimeja.

 

"Jangan menganggap saya sebagai orang istimewa nak, saya bisa mengerjakan semuanya sendiri."

"Tidak bu, ibu adalah ibuku, jadi akulah yang akan melayani ibu."

 

"Dan saya juga bu. Jadilah ibu saya juga, karena saya juga sudah tidak punya ibu," kata Sri.

"Saya juga tidak punya ibu, jadikan juga saya anak ibu," Timan menyela.

 

"Tuh, alangkah banyaknya anak ibu.." kata Mery senang melihat ibunya mengangguk-angguk dan tampak tersenyum senang.

"Ibu, tehnya diminum dulu. Nanti keburu dingin," kata Sri.

"Baiklah, terimakasih."

 

***

 

Malam itu, ketika menjelang tidur Mery berbicara tentang penyakit ibunya.

"Ibu, maukah ibu di kemo?"

"Apa? Tidak, sudah lama dokter mengatakan itu, aku tidak mau."

 

"Siapa tahu dengan itu ibu bisa sembuh."

"Tidak Mery, tetanggaku ada yang di kemo, harusnya 29 kali, baru tujuh kali malah meninggal. Ngeri aku membayangkannya."

 

"Kan kasusnya berbeda bu, siapa tahu..."

"Tidak.." bu Sumini memotong kata-kata Mery.

"Ibu..."

 

"Kemo itu bayarnya mahal. Sudah mahal, belum tentu bisa menebus nyawa. Ibu bilang begitu karena pernah mendengar dari tetangga. Orang kaya, berapapun biaya yang dikeluarkan tak akan keberatan. Tapi nyatanya nyawanya tidak tertolong."

 

"Tapi bu...."

"Sekali ibu bilang tidak, ya tidak. Kemarin itu ibu membeli jamu gendong, ibu merasa sakit diperut ibu berkurang. Ibu mau minum jamu saja. "

 

"Apa itu juga menjamin kesembuhan?"

"Dua-duanya tidak menjamin, jadi lebih baik memilih yang murah."

Mery merasa tak ada gunanya merayu ibunya. Tiba-tiba dia ingat mbah Kliwon.

 

***

 

besok lagi ya

 



1 komentar:


  1. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.club ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    BalasHapus