Perayaan Idul Adha yang disambut sukacita oleh umat
Islam, ternyata menyimpan kisah yang sangat fenomenal, mengharukan, sekaligus
menginspirasi.
Idul Adha
adalah hari untuk mengenang ujian maha berat yang dialami oleh seorang hamba
Allah, yaitu Nabi Ibrahim As. Demi mematuhi perintah Allah Swt beliau harus
rela mengorbankan (menyembelih) anak kandung yang sangat dicintainya.
Dengan perintah
itu sesungguhnya Allah hendak menguji, apakah kecintaan Ibrahim kepada anaknya
telah melampoi kecintaannya kepada Allah Ta’ala.
Peristiwa
pengorbanan Nabi Ibrahim itu merupakan asal mula dari ritual ibadah haji dan
qurban bagi umat Islam.
Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Ismail
Nabi Ibrahim yang telah berusia 86
tahun belum juga memiliki keturunan setelah bertahun-tahun menikah dengan Siti
Sarah. Sarah kemudian mempersilakan suaminya untuk menikah dengan Siti Hajar,
yang merupakan pembantu di keluarga Ibrahim.
Dari pernikahannya dengan Siti
Hajar, Nabi Ibrahim segera
dikaruniai seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Kebahagiaan luar
biasa dirasakan oleh Nabi Ibrahim dengan hadirnya Ismail sebagai seorang anak
yang telah lama dinantikan di tengah-tengah kehidupan keluarganya. Maka
wajarlah bila Nabi Ibrahim begitu sangat menyayangi Ismail, apalagi anaknya itu
tumbuh dengan sehat, cerdas, dan tampan.
Ismailpun demikian, ia menikmati
masa kanak-kanaknya dengan kasih sayang yang begitu besar dari ayahnya. Sehingga Ismail
begitu menyita perhatian dan cinta dari Nabi Ibrahim.
Namun ketika Ismail telah mencapai
usia baligh, sekitar berumur 11 tahun Ibrahim mendapat perintah dari Allah
untuk menyembelih Ismail, seorang anak yang sangat dicintainya itu. Perintah itu merupakan ujian yang sangat
berat bagi seorang manusia.
Perintah Menyembelih Ismail Melalui Mimpi
Bermula
dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk melakukan perjalanan dari Mekah
menuju Arafah dengan membawa serta keluarganya, Siti Hajar dan Ismail (putra
tercintanya).
Di tengah perjalanan, tepatnya di Mina mereka istirahat untuk
bermalam dengan membuka tenda. Pada
malam itu (8 Dzulhijah) Ibrahim bermimpi dengan sangat jelas, ia menyembelih
Ismail, anaknya. Segera ia tergeragab bangun dari tidurnya, dan termenung
memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas itu. Sampai pagi datang ia
tidak mampu memejamkan kembali karena galau. Ia meragukan mimpi itu sebagai
perintah Allah.
Keesokan
harinya mereka meneruskan perjalanannya menuju Arafah. Ibrahim tidak
bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia
sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah
itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Mereka
sampai di padang Arafah sore hari menjelang malam. Arafah adalah lokasi tujuan
sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Ibrahim. Disanalah Ibrahim membuka tenda
untuk bermalam guna melakukan tafakur, yaitu merenung dan berkomunikasi dengan
Allah.
Pada
malam itu pula (9 Dzulhijah) di padang Arafah, saat Ibrahim tidur ia kembali
bermimpi. Mimpi keduanya itu sama persis dengan mimpi pertama saat di
Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail.
Nabi
Ibrahim tergeragab kembali, ia terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam
sebelumnya, ia kembali tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi. Mimpi itu
membuat keraguannya akan perintah Allah mulai luntur.
Tak
kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya
beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang.
Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada
mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun
menghentikan segala aktivitasnya. Ia bertafakur di dalam tenda untuk memohon
petunjuk kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim
berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga sore, menjelang
matahari tenggelam. Aktivitas ini
kemudian dikenal dengan istilah wukuf, yaitu salah satu rukun pada ritual ibadah
haji.
Pada
malam itu (10 Dzulhijah) Ibrahim melanjutkan bermalam di Arafah. Namun
lagi-lagi ia bermimpi seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya. Bahkan mimpi ketiga
itu Nabi Ibrahim dengan sangat jelas menyembelih Ismail, putranya.
Ibrahim-pun menjadi yakin bahwa mimpi itu adalah perintah Allah
kepadanya untuk mengorbankan putranya.
Sebagai
bukti ketaatan atas perintah Allah, akhirnya Nabi Ibrahim memutuskan untuk segera
melaksanakan perintah Allah. Ia merencanakan menyembelih Ismail di Mina. Tanpa
menunggu pagi hari, malam itu juga Ibrahim membangunkan keluarganya dan segera meninggalkan
Arafah menuju ke Mina.
Di
tengah perjalanan mereka berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai
diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan
Ismail. Tapi, Ibrahim sudah mantab hati, dan teguh pada keyakinannya untuk
melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim lantas mengambil
sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.
Siang
hari Ibrahim sampai di Mina. Kemudian Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah
bukit yang kemudian dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan
melaksanakan perintah Allah menyembelih Ismail. Iapun minta ijin kepada
Hajar untuk naik bukit bersama Ismail, sedangkan Hajar diminta untuk menunggu
di bawah.
Dialog mengharukan sebelum penyembelihanan
Sesampainya
di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpi yang
datang berturut-turut selama tiga hari dalam tidurnya. Betapa beratnya
pergulatan batin yang terjadi dalam menyikapi perintah yang sangat dahsyat itu.
Kemudian
terjadi dialog yang sangat menyentuh hati. Dialog antara Ibrahim, seorang ayah
yang teguh dan taqwa, dengan Ismail seorang anak yang saleh dan patuh.
“Duhai
anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih dirimu. Maka aku ingin tahu bagaimanakah pendapatmu?”
“Ayah
… aku ingin tahu, apakah itu perintah Allah?”
“Benar
anakku. Aku bermimpi tiga malam berturut-turut,” Ibrahim meyakinkan anaknya.
“Jika
demikian maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu”
“Apakah
engkau tidak takut anakku?” tanya Ibrahim heran bercampur haru.
“Tidak
ayah, engkau nanti akan mendapatiku sebagai hamba yang patuh dan sabar.”
“Duhai
anakku …. Sungguh berat hati aku melaksanakannya. Tapi ini adalah perintah
Allah”
“Lakukanlah
ayah…. Lakukan”
“Adakah
permintaanmu sebelum aku menyembelihmu… duhai anakku?”
Ismail
kecil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian ia menyampaikan
beberapa keinginan kepada ayahnya.
“Tajamkanlah
pedangmu ayah, untuk meringankan penderitaanku”
“Baiklah
…,” jawab Ibrahim dengan kepala tertunduk seraya membayangkan betapa sakitnya
saat pedang mengiris leher anaknya nanti.
“Lalu
tanggalkanlah pakaianku agar tidak terkena darah, dan ibu tidak terlalu terharu
melihatnya nanti.”
“Baiklah
… “ Nabi Ibrahim mengangguk pelan menahan kesedihan di dada.
“Dan
… sampaikanlah hormatku kepada ibu, katakan padanya bahwa kita termasuk orang-orang
yang taat dan berserah diri kepada Allah,” demikian kalimat Ismail melanjutkan
permintaannya sebelum disembelih.
Dada
Nabi Ibrahim bergemuruh hebat mendengar tiga permintaan anaknya. Kedua kelopak
matanya meleleh. Ia tak mampu membendung air mata yang menetes deras hingga membasahi
pipinya.
Nabi Ibrahim
mendekat, membungkuk dan memeluk Ismail. Kemudian mereka berdua saling
berpelukan. Nabi Ibrahim memeluk erat-erat tubuh Ismail dan menciumi pipi anaknya
yang baru saja menginjak usia baligh. Dalam benaknya terbayangkan, anaknya yang
cerdas, gagah, membanggakan dan membahagiakannya ini, sebentar lagi akan diminta
oleh Allah untuk kembali ke sisi-Nya.
Belum
puas Ibrahim memeluk anaknya, namun Ismail mengendorkan pelukannya dan memberi
isyarat agar ia melepaskan pelukannya. Dalam
pelukan terakhir kalinya itu, dengan linangan air mata dan suara tersengal Ibrahim
berbisik di telinga Ismail,
"Sungguh ayah bahagia mempunyai
seorang putera yang beriman kepada Allah dan berbakti kepada orang tua."
Saat akan
dimulai eksekusi penyembelihan, Ibrahim mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu
mengasahkan ke batu cadas yang ada disana. Sungguh ia tak mampu membayangkan
sebentar lagi darah akan tumpah dari leher anak yang sangat dicintainya.
Proses
penyembelihan dimulai, nabi Ibrahim membaringkan Ismail. Anak yang baru
beranjak baligh itupun mengikuti apa yang diperlakukan ayah kepadanya tanpa
suara. Suasana begitu hening mencekam.
Tangan kiri Ibrahim
mengusap kening Ismail yang terbaring, sementara tangan kanannya mengangkat
pedang. Dengan menyebut nama Allah, ia memejamkan mata karena tak kuasa memandang
wajah anaknya. Sementara Ismail menatap wajah ayahnya dengan penuh kesabaran
dan keikhlasan.
Sesaat Ibrahim
menahan pedang di atas kepalanya. Sekali lagi ia menyebut nama Allah dan siap menurunkan
pedang untuk mengiris leher anaknya.
Pada saat
bersamaan malaikat Jibril datang membisikkan pesan Allah ke telinganya, “Hai
Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Allah telah menerima
keikhlasan dan kesabaran kalian berdua. Sesungguhnya ini adalah ujian yang
nyata. Maka Allah memerintahkanmu untuk menebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar.”
Ibrahim-pun
terkejut mendengar bisikan Jibril ke telinganya. Lalu ia membuka matanya. Saat itu juga ia mendengar suara sekawanan
domba yang berada tak jauh dari tempatnya.
Sesuai bisikan
malaikat Jibril maka Ibrahimpun memilih seekor domba yang besar untuk
disembelih sebagai ganti Ismail dalam pengorbanannya.
Rangkaian
kisah cinta dan pengorbanan Nabi Ibrahim kepada Ismail itu dibadikan oleh Allah
dalam firman-firman-Nya pada QS. Ash Shafaat (37) ayat 100 sampai dengan
110.
Qurban ujian bagi manusia
Perintah
qurban kepada Nabi Ibrahim merupakan ujian terberat sepanjang sejarah manusia.
Tiada satu ujianpun bagi manusia yang beratnya melebihi ujian Nabi Ibrahim,
yang harus mengorbankan anak kandung tercintanya demi mematuhi perintah Allah.
Pada
peristiwa qurban itu, sesungguhnya Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan
Nabi Ibrahim kepada Allah dibanding kecintaannya pada Ismail anaknya. Dan Nabi
Ibrahim telah membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya
pada Ismail anaknya.
Makna
qurban yang merupakan ibadah tahunan bagi umat Islam, sesungguhnya juga
merupakan ujian bagi kita sebagai orang beriman, untuk menguji sejauh mana
kecintaan kita pada dunia (harta) dibanding kecintaan pada Allah dengan
mengikuti perintah-perintahnya.
Dalam Al-Qur’an Allah
Swt berfirman, “Innaa
a’thoinaakal kautsar; Fasolli lirobbika wanhar” artinya "Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu dan berqurbanlah." (QS. Al Kautsar 1-2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar