Minggu, 26 Juli 2020

Dialog Mengharukan Nabi Ibrahim dan Ismail di Peristiwa Qurban

Perayaan Idul Adha yang disambut sukacita oleh umat Islam, ternyata menyimpan kisah yang sangat fenomenal, mengharukan, sekaligus menginspirasi.
Idul Adha adalah hari untuk mengenang ujian maha berat yang dialami oleh seorang hamba Allah, yaitu Nabi Ibrahim As. Demi mematuhi perintah Allah Swt beliau harus rela mengorbankan (menyembelih) anak kandung yang sangat dicintainya.
Dengan perintah itu sesungguhnya Allah hendak menguji, apakah kecintaan Ibrahim kepada anaknya telah melampoi kecintaannya kepada Allah Ta’ala.
Peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim itu merupakan asal mula dari ritual ibadah haji dan qurban bagi umat Islam.
Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Ismail
Nabi Ibrahim yang telah berusia 86 tahun belum juga memiliki keturunan setelah bertahun-tahun menikah dengan Siti Sarah. Sarah kemudian mempersilakan suaminya untuk menikah dengan Siti Hajar, yang merupakan pembantu di keluarga Ibrahim.
Dari pernikahannya dengan Siti Hajar, Nabi Ibrahim segera dikaruniai seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Kebahagiaan luar biasa dirasakan oleh Nabi Ibrahim dengan hadirnya Ismail sebagai seorang anak yang telah lama dinantikan di tengah-tengah kehidupan keluarganya. Maka wajarlah bila Nabi Ibrahim begitu sangat menyayangi Ismail, apalagi anaknya itu tumbuh dengan sehat, cerdas, dan tampan.
Ismailpun demikian, ia menikmati masa kanak-kanaknya dengan kasih sayang yang begitu besar dari ayahnya. Sehingga Ismail begitu menyita perhatian dan cinta dari Nabi Ibrahim.
Namun ketika Ismail telah mencapai usia baligh, sekitar berumur 11 tahun Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail, seorang anak yang sangat dicintainya itu.  Perintah itu merupakan ujian yang sangat berat bagi seorang manusia.
Perintah Menyembelih Ismail Melalui Mimpi
Bermula dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk melakukan perjalanan dari Mekah menuju Arafah dengan membawa serta keluarganya, Siti Hajar dan Ismail (putra tercintanya).
Di tengah perjalanan, tepatnya di Mina mereka istirahat untuk bermalam dengan membuka tenda.  Pada malam itu (8 Dzulhijah) Ibrahim bermimpi dengan sangat jelas, ia menyembelih Ismail, anaknya. Segera ia tergeragab bangun dari tidurnya, dan termenung memikirkan makna mimpi yang terlihat sangat jelas itu. Sampai pagi datang ia tidak mampu memejamkan kembali karena galau. Ia meragukan mimpi itu sebagai perintah Allah.
Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanannya menuju Arafah.  Ibrahim tidak bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah.
Mereka sampai di padang Arafah sore hari menjelang malam. Arafah adalah lokasi tujuan sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Ibrahim. Disanalah Ibrahim membuka tenda untuk bermalam guna melakukan tafakur, yaitu merenung dan berkomunikasi dengan Allah.
Pada malam itu pula (9 Dzulhijah) di padang Arafah, saat Ibrahim tidur ia kembali bermimpi.  Mimpi keduanya itu sama persis dengan mimpi pertama saat di Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail. 
Nabi Ibrahim tergeragab kembali, ia terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia kembali tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi. Mimpi itu membuat keraguannya akan perintah Allah mulai luntur.
Tak kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang. Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun menghentikan segala aktivitasnya. Ia bertafakur di dalam tenda untuk memohon petunjuk kepada Allah Swt.  Nabi Ibrahim berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga sore, menjelang matahari tenggelam.  Aktivitas ini kemudian dikenal dengan istilah wukuf, yaitu salah satu rukun pada ritual ibadah haji.
Pada malam itu (10 Dzulhijah) Ibrahim melanjutkan bermalam di Arafah. Namun lagi-lagi ia bermimpi seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya. Bahkan mimpi ketiga itu Nabi Ibrahim dengan sangat jelas menyembelih Ismail, putranya.  Ibrahim-pun menjadi yakin bahwa  mimpi itu adalah perintah Allah kepadanya untuk mengorbankan putranya.
Sebagai bukti ketaatan atas perintah Allah, akhirnya Nabi Ibrahim memutuskan untuk segera melaksanakan perintah Allah. Ia merencanakan menyembelih Ismail di Mina. Tanpa menunggu pagi hari, malam itu juga Ibrahim membangunkan keluarganya dan segera meninggalkan Arafah menuju ke Mina.
Di tengah perjalanan mereka berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail. Tapi, Ibrahim sudah mantab hati, dan teguh pada keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.
Siang hari Ibrahim sampai di Mina. Kemudian Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang kemudian dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah menyembelih Ismail.  Iapun minta ijin kepada Hajar untuk naik bukit bersama Ismail, sedangkan Hajar diminta untuk menunggu di bawah.
Dialog mengharukan sebelum penyembelihanan
Sesampainya di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpi yang datang berturut-turut selama tiga hari dalam tidurnya. Betapa beratnya pergulatan batin yang terjadi dalam menyikapi perintah yang sangat dahsyat itu.
Kemudian terjadi dialog yang sangat menyentuh hati. Dialog antara Ibrahim, seorang ayah yang teguh dan taqwa, dengan Ismail seorang anak yang saleh dan patuh.  
“Duhai anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih dirimu.  Maka aku ingin tahu bagaimanakah pendapatmu?”
“Ayah … aku ingin tahu, apakah itu perintah Allah?”
“Benar anakku. Aku bermimpi tiga malam berturut-turut,” Ibrahim meyakinkan anaknya.
“Jika demikian maka lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu”
“Apakah engkau tidak takut anakku?” tanya Ibrahim heran bercampur haru.
“Tidak ayah, engkau nanti akan mendapatiku sebagai hamba yang patuh dan sabar.”
“Duhai anakku …. Sungguh berat hati aku melaksanakannya. Tapi ini adalah perintah Allah”
“Lakukanlah ayah…. Lakukan”
“Adakah permintaanmu sebelum aku menyembelihmu… duhai anakku?”
Ismail kecil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian ia menyampaikan beberapa keinginan kepada ayahnya.
“Tajamkanlah pedangmu ayah, untuk meringankan penderitaanku”
“Baiklah …,” jawab Ibrahim dengan kepala tertunduk seraya membayangkan betapa sakitnya saat pedang mengiris leher anaknya nanti.
“Lalu tanggalkanlah pakaianku agar tidak terkena darah, dan ibu tidak terlalu terharu melihatnya nanti.”
“Baiklah … “ Nabi Ibrahim mengangguk pelan menahan kesedihan di dada.
“Dan … sampaikanlah hormatku kepada ibu, katakan padanya bahwa kita termasuk orang-orang yang taat dan berserah diri kepada Allah,” demikian kalimat Ismail melanjutkan permintaannya sebelum disembelih.
Dada Nabi Ibrahim bergemuruh hebat mendengar tiga permintaan anaknya. Kedua kelopak matanya meleleh. Ia tak mampu membendung air mata yang menetes deras hingga membasahi pipinya.

Nabi Ibrahim mendekat, membungkuk dan memeluk Ismail. Kemudian mereka berdua saling berpelukan. Nabi Ibrahim memeluk erat-erat tubuh Ismail dan menciumi pipi anaknya yang baru saja menginjak usia baligh. Dalam benaknya terbayangkan, anaknya yang cerdas, gagah, membanggakan dan membahagiakannya ini, sebentar lagi akan diminta oleh Allah untuk kembali ke sisi-Nya.
Belum puas Ibrahim memeluk anaknya, namun Ismail mengendorkan pelukannya dan memberi isyarat agar ia melepaskan pelukannya.  Dalam pelukan terakhir kalinya itu, dengan linangan air mata dan suara tersengal Ibrahim berbisik di telinga Ismail,  "Sungguh ayah bahagia mempunyai seorang putera yang beriman kepada Allah dan berbakti kepada orang tua."

Saat akan dimulai eksekusi penyembelihan, Ibrahim mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengasahkan ke batu cadas yang ada disana. Sungguh ia tak mampu membayangkan sebentar lagi darah akan tumpah dari leher anak yang sangat dicintainya.
Proses penyembelihan dimulai, nabi Ibrahim membaringkan Ismail. Anak yang baru beranjak baligh itupun mengikuti apa yang diperlakukan ayah kepadanya tanpa suara. Suasana begitu hening mencekam. 
Tangan kiri Ibrahim mengusap kening Ismail yang terbaring, sementara tangan kanannya mengangkat pedang. Dengan menyebut nama Allah, ia memejamkan mata karena tak kuasa memandang wajah anaknya. Sementara Ismail menatap wajah ayahnya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Sesaat Ibrahim menahan pedang di atas kepalanya. Sekali lagi ia menyebut nama Allah dan siap menurunkan pedang untuk mengiris leher anaknya. 
Pada saat bersamaan malaikat Jibril datang membisikkan pesan Allah ke telinganya, “Hai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu. Allah telah menerima keikhlasan dan kesabaran kalian berdua. Sesungguhnya ini adalah ujian yang nyata. Maka Allah memerintahkanmu untuk menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Ibrahim-pun terkejut mendengar bisikan Jibril ke telinganya. Lalu ia membuka matanya.  Saat itu juga ia mendengar suara sekawanan domba yang berada tak jauh dari tempatnya.
Sesuai bisikan malaikat Jibril maka Ibrahimpun memilih seekor domba yang besar untuk disembelih sebagai ganti Ismail dalam pengorbanannya.
Rangkaian kisah cinta dan pengorbanan Nabi Ibrahim kepada Ismail itu dibadikan oleh Allah dalam firman-firman-Nya pada QS. Ash Shafaat (37) ayat 100 sampai dengan 110. 

Qurban ujian bagi manusia
Perintah qurban kepada Nabi Ibrahim merupakan ujian terberat sepanjang sejarah manusia. Tiada satu ujianpun bagi manusia yang beratnya melebihi ujian Nabi Ibrahim, yang harus mengorbankan anak kandung tercintanya demi mematuhi perintah Allah.
Pada peristiwa qurban itu, sesungguhnya Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah dibanding kecintaannya pada Ismail anaknya. Dan Nabi Ibrahim telah membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah melebihi kecintaannya pada Ismail anaknya.
Makna qurban yang merupakan ibadah tahunan bagi umat Islam, sesungguhnya juga merupakan ujian bagi kita sebagai orang beriman, untuk menguji sejauh mana kecintaan kita pada dunia (harta) dibanding kecintaan pada Allah dengan mengikuti perintah-perintahnya.

Dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman, “Innaa a’thoinaakal kautsar; Fasolli lirobbika wanhar” artinya "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah." (QS. Al Kautsar 1-2)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar