Senin, 13 Juli 2020

Cintaku Ada Diantara Mega 09-10


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  09*

Bagas menatap ayahnya tak berkedip. Ada kesungguhan diwajah ayahnya, yang seakan mencengkeram jiwanya. Sangatlah sedih apabila orang tua tak menyetujui pilihannya.

"Camkan baik-baik. Kamu tidak serasi berdampingan dengan gadis itu Bagas. Kamu muda dan tampan. Dia cantik sih, tapi sudah terlalu tua untuk kamu. Bapak sudah tau, pasti umurnya sudah diatas tigapuluh tahun, atau mungkin hampir empatpuluhan tahun."

"Bapak, apa salahnya kalau dia lebih tua dari Bagas?"
"Bukan salah, kalau penempatan itu kamu anggap benar."
"Apa maksud bapak?"
"Kalau menurut kamu benar.. ya tidak salah. Tapi menurut bapak.. itu tidak benar. Atau kurang benar. "
"Dimana kurang benarnya, bapak?"
"Dipandang dari keserasian saja.. " 
"Bukankah dalam berumah tangga yang diperlukan adalah hati?"
"Dalam cinta... ya, dalam berumah tangga belum tentu. Mengapa kamu tertarik sama dia?"

"Dia itu baik, keibuan, dan memiliki semangat yang tinggi. Buktinya seumur Mery sudah bisa mendirikan usaha warung yang semakin hari semakin maju dengan pesat."

"Menurut pengamatan bapak, dia tidak akan bisa membahagiakan kamu."

 

Bagas terdiam. Intinya adalah bahwa ayahnya tidak suka mempunyai menantu lebih tua dari anaknya. Pak Darmono tidak tau bahwa sesungguhnya Bagas mencari sosok seorang ibu.

 

"Bagas, apakah gadis itu juga cinta sama kamu?"

Nah, yang ini Bagas belum bisa menjawabnya. Apakah Mery pernah menanggapi perasaannya? Setiap kali Bagas memberikan umpan atas perasaannya, Mery hanya tertawa, dan selalu merasa bahwa dia sudah tua. Atau selalu bilang bahwa nanti Bagas akan kecewa. Tapi Bagas ingin mengejarnya. Ia yakin Mery akan mengimbangi perasaannya pada suatu hari nanti.

 

Tapi tiba-tiba terbayang olehnya ketika Mery berduaan bersama Basuki, keluar dari rumah makan, lalu masuk kedalam mobil Basuki, tampak mesra. Ah, mesrakah ketika itu? Bagas hanya melihat punggung mereka, tak melihat wajah-wajah mereka. Jangan-jangan Basuki hanya ingin memesan makanan lalu mengajaknya ketempat dimana Mery harus mengirim makanannya. 

Bagas merasa kesal karena ia berkali-kali gagal menelponnya.

 

"Bagas, apa yang kamu fikirkan?"

Bagas tak menjawab, tak ada jawaban yang bisa diberikan kepada ayahnya atas pertanyaan itu.

 

"Dari sikapmu itu, bapak tau bahwa kalian belum tentu saling jatuh cinta. Kamu hanya tertarik karena sikap manisnya, rasa keibuannya, dan tentu juga kecantikannya. Menurut bapak, jangan terlalu cepat memastikan perasaan kamu. Terkadang seseorang tiba-tiba tertarik ketika melihat sesuatu yang baik, yang cantik, lalu memupuk rasa tertarik itu menjadi suka. Dan seterusnya. Kalau bisa memilih, pilih gadis yang usianya dibawah kamu."

 

Bagas tak menjawab. Ia yakin orang tua pasti memilih yang terbaik untuk anaknya. Tapi ayahnya kan belum tau bagaimana Mery. Tapi Bagas tak ingin berdebat, setidaknya untuk sementara waktu, sampai dia benar-benar tahu bagaimana perasaan Mery terhadapnya.

 

***

 

Tapi pagi itu, masih pagi benar untuk ukuran orang berangkat bekerja, Kristin sudah sampai dirumah Bagas.

Dengan santai dia turun dari mubilnya, dan merasa lega karena mobil merah itu masih terlihat didalam garasi yang sudah terbuka.

"Selamat pagi,"

 

Pak Darmono berdiri ditengah pintu, menatap gadis cantik yang berdiri didepannya, berpakaian sangat elegant, bawahan berwarna pink dan blazer yang senada. Rambut ikalnya terurai sebahu. Begitu melihat pak Darmono berdiri dipintu, gadis itu mengangguk hormat. Ia tau bahwa yang didepannya adalah ayahnya Bagas. Gadis itu, Kristin, membuka kaca mata hitamnya, lalu sepasang mata bintang menatap pak Darmono yang heran melihat penampilannya kali ini. Ia pernah sekali melihatnya, dan benar kata Bagas bahwa Kristin suka berpakaian seronok dan itu membuat Bagas sangat sebal. Tapi bukankah ini penampilan yang manis?

 

"Kamu Kristin kan?"

"Iya om, kita jarang bertemu, sehingga om lupa."

"Tidak, om ingat kok, ayo masuk."

"Bagas masih sakit ?"

"Tidak, dia sudah bersiap masuk kerja, baru saja selesai sarapan. Silahkan duduk. Biar om panggil dia," kata pak Darmono sambil beranjak kebelakang. Aroma parfum yang tentu saja berkwalitas segera menyeruak memenuhi ruang tamu itu.

 

Kristin duduk disebuah kursi, lalu memandangi suasana diruang tamu itu. Melihat foto-foto yang terpampang. Ada foto seorang wanita cantik berduaan.. ah ya, itu kan pak Darmono diwaktu muda, dan ibunya Bagas pastinya. Lalu anak laki-laki kecil duduk diatas sepeda roda tiga.  Kristin tersenyum, waktu kecilnya Bagas sangat lucu. Lalu ada foto ketika Bagas wisuda, dengan toga dan tampak sangat tampan. Ia hanya bersama ayahnya.

 


"mBak Kristin, ngapain kesini ?" tiba-tiba Bagas keluar, tak ada nada gembira melihat ada gadis cantik datang kepadanya.

 "Bagas, kemarin kamu bilang pusing, aku khawatir kamu masih sakit."

"Aku mau masuk kerja."

 

"Ya sudah, ayo kita berangkat bersama saja," kata Kristin sambil berdiri. Bagas menatap penampilan Kristin pagi itu. Tampak berbeda. Seakan mengerti kalau sedang diawasi penampilannya, Kristin memutar tubuhnya dengan manis, sambil mengembangkan senyuman yang tentu saja lebih dari manis.

 

"Ini baju yang kita beli kemarin Gas. Bagaimana menurutmu?"

Bagas menelan ludah untuk menekan kekagumannya atas penampilan si centil cantik. Tak bisa ia memungkirinya, Kristin memang cantik. Dan Bagas suka pada penampilannya pagi itu. 

Kristin bukannya gadis lugu yang bodoh. Ia melihat mata  laki-laki ganteng itu  menatapnya penuh kagum. Kristin tersenyum senang,

 

"Ayo kita berangkat, mana om Darmono?"

"Kita berangkat sendiri-sendiri saja mbak," pinta Bagas.

"Bagaaas.." Kristin mengeluh dan kecewa.

 

"Bapaak, Bagas berangkat dulu ya.. " Bagas setengah berteriak berpamit pada ayahnya.

Pak Darmono keluar.

"Sudah mau berangkat?"

Bagas mendekati ayahnya dan mencium tangannya. Kristin mengikutinya.

"Hati-hati dijalan ya nak.."

 

Keduanya keluar, dan dengan heran pak Darmono melihat bahwa mereka berangkat dengan mobil masing-masing.

 

Pak Darmono geleng-geleng kepala.

"Gadis secantik itu, dan Bagas menolaknya ? Begitu besarkah pengaruh gadis bernama Mery itu atas anakku?"

***

 

Pagi itu setelah selesai sarapan, Sri bermain bersama Tiwi dihalaman depan. Timan sudah berangkat sejak pagi, karena memang ia harus sudah ada dipasar sejak pasar itu menggeliat dipenuhi pembeli.

 

"Tiwi, nanti kalau sudah selesai, mainannya dikumpulin disini ya," kata Sri sambil duduk mengawasi Tiwi bermain dengan boneka-bonekanya.

"Eh, Tiwi.. itu boneka baru ya?" sapa Mery yang baru keluar dan bersiap berangkat.  Sri menatap Mery dengan heran. Pagi itu penampilan Mery agak berbeda dari biasanya. Baju yang dipakai bukan baju yang dipakai sehari-hari apabila dia pergi ke warung.

 

"Sri, mengapa menatap aku seperti itu?"

"mBak Mery pagi ini kok tampak lain ya, cantik bangeeett..." kata Sri sambil tersenyum.

"Masa sih? Bukannya setiap hari aku juga seperti ini?"

"Beda deh.. nggak tau apanya."

 

Sri tidak mengerti, karena Mery juga tidak bercerita kalau kemarin bertemu Basuki. Mery masih sungkan mengatakannya. Takutnya nanti belum-belum Sri pasti meledeknya.

Mery hanya tersenyum. Ia mendekati Tiwi dan mencium pipi gembul yang menggemaskan itu.

Tiwi menatap Mery... lalu berteriak.

"Atu ituuuut...."

Mery tertawa.

 

"Sayang, besok kita jalan-jalan sama ibu sama Tiwi.. tapi bukan sekarang.. kan ibu Mery mau bekerja?"

"Kejaa?" mata Tiwi berkedip menatap Mery. Mery mengangkatnya, dan merangkulnya.

"Iya.. kerja. Baik-baik dirumah sama ibu ya?"

Tiwi mengangguk lalu merosot turun dan kembali asyik dengan mainannya.

 

"O.. pasti mbak Mery mau kencan nih.. si mobil merah? Atau...."

Mery tidak menjawab. Tapi senyum yang merekah itu membesarkan hati Sri. Ia tak pernah melihat Mery tampak secerah pagi ini.

Mery masuk ke mobilnya, dan menjalannya perlahan keluar dari halaman, setelah melambaikan tangannya kearah Sri.

"Hm.. mbak Mery main rahasia-rahasiaan nih..." gumam Sri sambil tersenyum.

 

 ***

 

Bagas sudah duduk di depan meja kerjanya, tapi ingatan tentang Mery tak juga bisa terhapus dari benaknya. Ia harus segera tau, ada hubungan apa antara Mery dan Basuki.

Ia mencoba menelpon Mery, tapi lagi-lagi tak terjawab. Atau memang Mery tak mau menjawab telponnya? 

 

"Apa salahku mbak?" desis Bagas.

Tapi bisikan yang pelan itu terdengar oleh Kristin yang kemudian menatap Bagas dengan heran.

 

"Mengapa bertanya apa salahmu? Kamu tidak tau apa salahmu? Salahmu adalah bahwa tadi tidak mau aku jemput dengan mobilku."

 

Bagas mengangkat kepalanya, dengan heran mendengar Kristin ber-kata-kata. Kristin menatap Bagas, dan tersenyum sangat manis. Bagas memalingkan muka. Kelamaan menatap senyuman itu lama-lama dia bisa tergoda.

 

"Masih belum tau juga Gas?"

"Apa ?"

"Kamu tadi bertanya apa salahmu, sudah aku jawab kan?"

 

Bagas menepuk jidatnya dan hampir tertawa karena ulahnya sendiri. Iya tadi dia mengucapkan itu, terlalu keraskah ? Lalu Kristin mendengarnya? Mungkin juga, Bagas tak sadar akan bisik batinnya yang sampai terucap keluar dari bibirnya.

 

"Ada apa pula kok senyum-senyum?"

"Iya aku tau.. aku salah, " lalu Bagas membuka laptopnya.

"Harusnya aku juga bertanya seperti itu. Apa sih salahku sehingga kamu sedikitpun tak mau menaruh perhatian atas semua yang aku lakukan?"

"Aku perhatian kok."

"Bagaimana menurutmu penampilanku hari ini? Baju ini sopan kan?"

 

Lagi-lagi Kristin berdiri dan berputar dihadapan Bagas. Dan mau tak mau Bagas menatapnya. Kali ini Bagas tak mampu mengalihkan pandangannya kearah lain. Yang didepannya seperti bukan Kristin yang selalu menjengkelkan. Seorang bidadari sedang menari dengan gemulai, dan terkadang melemparkan kerling yang memukau.

 

"Aku cantik bukan ?" lalu tiba-tiba Kristin berhenti berputar kemudian duduk didepan Bagas. Seperti biasanya, menopang dagu dengan kedua tangan sambil bertumpu dimeja Bagas. 

"Bukankah aku sekarang sudah berpakaian sopan?"

 

Sejenak Bagas tak mampu berkata-kata. Bibirnya setengah terbuka, lalu ketika tersadar dia menggaruk-garuk kepalanya.

Sepasang mata bintang itu berkejap, Bagas mengalihkan pandangan kearah lain. Itu benar, melegakan karena Kristin tak lagi berpakaian seronok yang justru membuatnya kesal, apalagi dengan rengekan-rengekannya yang seperti anak kecil.

 

"Cantikkah aku dengan pakaian seperti ini?"

Bagas harus menjawabnya, karena kalau tidak, maka pertanyaan itu akan terus diulang-ulangnya.

"Cantik, lebih cantik dari biasanya."

"Kamu suka?"

 

Bagas hanya mengangguk, Kristin tersenyum senang.

"mBak, biarkan aku bekerja ya," katanya pelan, sambil membuka laptopnya.

"Bekerja saja, aku kan tidak mengganggu?"

Memang kali ini tidak mengganggu dengan pakaian minimnya, tapi mata bintang itu terus menatapnya.

"Tolong mbak.."

 

Kristin merengut, berdiri melenggang kearah mejanya sendiri. Bagas menghela nafas lega. 

Ia mengambil lagi ponselnya, dan mencoba menghubungi Mery. Tapi seperti tadi, Mery tak mengangkatnya.

Lalu Bagas mulai bekerja, walau tak sepenuhnya bisa melakukannya.

***

 

Ketika Basuki kembali ke warung Mery pagi itu, dilihatnya Mery sedang berbicara dengan pembantunya. Tampaknya Mery sedang memberi petunjuk atau apa, karena sesekali dilihatnya tangannya bergerak-gerak.

 

Basuki tak mau mengganggu. Ia duduk begitu saja disebuah bangku, lalu seorang pelayan menghampirinya.

"Bapak mau makan?"

"Tidak, saya menunggu bu Mery."

"Oh, ma'af, baiklah akan saya panggilkan."

"Biarkan saja kalau dia sedang sibuk."

"Tidak, bu Mery sedang memberi tau mbak Mini tentang pesanan besok hari Minggu yang harus disiapkannya. Tapi tampaknya sudah selesai."

"Baiklah, katakan saja asalkan tidak mengganggu."

 

Pelayan itu berlalu, dan tampak mendekati Mery. 

"Siap ya Min, pokoknya semua ada ditanganmu."

"Ya bu, saya sudah mengerti."

Mery ingin membalikkan tubuhnya untuk masuk keruangannya ketika pelayan itu mendekatinya.

"Bu, ada yang menunggu ibu."

Mery menoleh kearah depan. Hatinya berdebar. Basuki benar-benar datang. Ia masuk keruangannya dan mengambil tasnya, lalu keluar menuju kearah meja dimana Basuki duduk menatapnya dengan mata garangnya yang teduh.

 

"Mery... cantik sekali kamu."

"Sudah lama menunggu?"

"Tidak, baru saja. Kamu sudah siap pergi ?"

"Mau kemana kita?"

"Jalan-jalan saja, kemarin belum puas mengajakmu pagi sampai siang."

Mery tersenyum.

 

"Temani aku belanja juga ya?

"Boleh..."

Basuki berdiri dan merangkul pundak Mery, lalu keduanya keluar dari warung, diikuti pandangan beberapa anak buahnya dengan senyum senang.

"Tampaknya bos kita sudah menemukan pujaan hatinya," celetuk salah seorang pelayan.

Mini melotot, tapi kemudian dia tersenyum. Iapun berharap demikian.

 

***

 

Hari belum terlalu siang, Basuki mengajak Mery duduk disebuah taman ditepian kota. Banyak pohon-pohon rindang yang menaungi bangku-bangku yang memang dipergunakan oleh orang-orang yang ingin menikmati udara sore setiap harinya. Memang sih, kalau sore tempat itu ramai. Beberapa rumpun tanaman perdu menghiasi sekeliling taman, diseling bunga-bunga aneka warna. Tapi ini siang hari, jadi tempat itu tampak sepi. Udara panas tak terasa karena semilir angin mengayunkan dedaunan dan menimbulkan suara gemerisik yang nyaman. 

 

"Mengapa kesini?" tanya Mery. Berdebar hatinya karena Basuki duduk sangat rapat dengan dirinya, sehingga aroma maskulin merebak menusuk hidungnya. Bahkan nafas Basuki lembut terdengar ditelinganya.

 

"Disini kan lebih tenang, bisa berbincang tanpa ada yang mengganggu."

"Berbincang tentang apa?"

"Tentang banyak hal, ahaa.. kita seperti sepasang sejoli yang sedang pacaran bukan?"

"Seumur kita ini tak lagi pantas berpacaran seperti layaknya anak-anak muda."

"Setuju. Menurut aku, kita sudah sa'atnya memikirkan masa depan."

"Oh.. aku sudah memikirkan masa depanku sendiri.."

"Bukan masa depanmu.. masa depan kita.."

"Mengapa masa depan kita?"

 

Lalu Basuki merasa sangat bodoh. Apa yang harus dikatakannya ketika dia benar-benar merasa jatuh cinta? Sungguh Basuki bukan seorang yang pintar mengatakan cinta. Belum pernah malah. 

 

"Mery.."

Mery menoleh kearah laki-laki disampingnya, mata mereka bertatapan, seperti ada tarikan magnet yang kemudian mereka tak mampu melepaskan tatapan itu. 

 

"Apakah kamu... "

Basuki tak mampu meneruskannya, diraihnya tubuh Mery dan dipeluknya erat. Sejenak Mery terlena dalam suasana mendebarkan yang membuatnya nyaman, lalu dia kemudian tersadar bahwa tak pantas melakukannya. Perlahan Mery mendorong tubuh Basuki yang kemudian melepaskan pelukannya. 

 

"Ini tempat umum, dan kita bukan muhrim, bisik Mery dengan bibir bergetar.

Basuki menghela nafas untuk menata batinnya.

"Ya benar, kita bukan muhrim. Ma'af. Akankah kita menjadi muhrim?"

 

Mery diam, mengapa Basuki menanyakannya? Sudah lama dia menunggu. Aduhai, hanya karena merasa tak pantas maka Mery tak berani menanyakannya. Tapi rupanya Mery tak harus lama menunggu.

 

"Mery, maukah kamu menjadi isteriku?" kata Basuki sambil merogoh saku celananya, lalu dikeluarkannya sebuah kotak kecil, yang kemudian diulurkannya kearah Mery.

 

Mery terkejut, bukan karena kotak kecil yang diberikan kepadanya tapi karena ucapan Basuki.

"Jawab Mery.."

 

Mery menengadahkan kepalanya kelangit. Segumpal mega melayang layang, Mery menitipkan cintanya disana. Lalu angin menghembus mega itu, menjatuhkan cinta kepangkuannya.

 

"Mery.."

Seperti sebuah lakon di sinetron ketika seorang laki-laki melamar gadis yang dicintainya, lalu diserahkannya sebuah kotak berici cincin tanda cinta.

Bergetar bibir Mery. Tapi kepalanya mengangguk pelan.

Senyum dibibir Basuki merekah, seperti ketika matahari pagi muncul dari ufuk timur, Lalu dibukanya kotak kecil itu, dikeluarkannya sebentuk cincin berlian berbentuk hati, lalu disematkannya dijari manis Mery.

 

Basuki mengembangkan tangannya, siap kembali memeluk Mery, tapi Mery menggoyang-goyangkan tangannya sebagai tanda untuk melarang.

Basuki geleng-geleng kepala.

 

"Aku akan segera menikahi kamu.."

Mery mengangguk, matanya berbinar bahagia. Dedaunan disekitar tiba-tiba bergoyang ditiup angin, lalu kesejukan menerpa relung-relung hati yang sedang jatuh cinta. 

 

Mereka meninggalkan taman itu ketika matahari berada tepat diatas kepala mereka.

"Aku lapar.. ayo kita cari makan, haaa... bagaimana kalau makan dirumahku? Simbok pasti akan senang."

"Terserah kamu saja, tapi aku akan menelpon Mini dulu, ada yang lupa aku pesankan ke dia tadi."

 

Sambil berjalan kearah mobil yang diparkir agak jauh, Mery mengambil ponselnya. Ia terkejut ketika melihat ada beberapa pangglan masuk, dan semuanya dari Bagas.

 

***

 

besok lagi ya



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  10*

 

Mery geleng-geleng kepala. Pasti anak muda itu mencari-carinya diwarung dan tidak ketemu, lalu  berkali-kali menghubunginya. Ia tidak mendengarkan pangilan itu karena ponselnya di silent.

 

Mery kemudian membalasnya dengan menuliskan pesan singkat saja.

"Ma'af Bagas, aku sedang sibuk."

Tapi Bagas membalasnya segera, 

"Aku lagi diwarung, masih lamakah kembalinya?"

"Masih lama, jangan ditunggu ya."

 

Lalu Mery menelpon Mini, dan mengatakan pesan yang belum sempat dikatakannya sebelum berangkat.

 

Basuki sudah membukakan pintu mobil untuk Mery.

"Tuan puteri silahkan masuk," kata Basuki sambil sebelah tangannya diacungkan seperti layaknya orang mempersilahkan tamunya.

Mery mencubit lengan Basuki dengan gemas.

Mata mereka kembali bertaut. Benar-benar seperti sepasang anak muda yang sedang dimabuk cinta.

 

Basuki menutupkan mobilnya, lalu masuk kepintu disampingnya, duduk dengan manis dibelakang kemudi. Menstarter mobilnya setelah sekali lagi  mata mereka bertaut. 

***

 

"Bagaimana menurutmu masakan simbok ?" tanya Basuki setelah mereka selesai makan siang dirumahnya.

Mery mengacungkan jempolnya.

 

"Aku harus belajar juga sama simbok."

"Kamu masih akan melanjutkan usahamu ? Warung itu tetap akan kamu jalankan?"

"Mengapa tidak? Itu keringatku, jerih payahku.."

"Jadi kamu tetap akan menjalankannya?

"Iya lah Bas, masa semua hasil keringatku selama bertahun-tahun harus aku tinggalkan?"

"Kalau kamu sudah menjadi nyonya Basuki ?"

"Ijinkan aku tetap merawatnya."

Basuki tersenyum. 

 

"Apa sih yang enggak buat kamu? "

Mery tersenyum senang.

 

Simbok keluar dengan membawa dua gelas jus jambu.

"Silahkan bapak..."

"Hm, jus jambu ya mbok?"

"Iya, tadi dipasar melihat seger-seger lalu simbok beli .. bukankah bapak suka jus buah-buahan?

 

"Benar, oh ya mbok, aku belum memperkenalkan siapa dia ya?. Ini bu Mery. Besok dia akan tinggal dirumah ini, dan katanya akan belajar masak juga sama simbok."

Simbok tertawa, menampakkan sederet giginya yang sudah tanggal dikiri kanan, tapi tampak bersih dan terawat.

 

"Simbok hanya bisa memasak masakan orang ndeso bu.."

"Justru itu yang enak mbok."

Simbok mengangguk-angguk, lalu dia mengerti bahwa tampaknya gadis cantik itu bakal menjadi isteri majikannya. Lalu sambil terbungkuk dia masuk kembali kedalam.

 

"Haruskah nanti aku tinggal disini?"

"Dimana lagi? Ini rumahku dan akan menjadi rumahmu. Masa kamu akan ikut mas Timan terus menerus?"

"Tapi rumah ini lebih jauh dari warungku.."

 

"Aku punya gagasan, akan mencari lahan yang lebih bagus untuk warung kamu. Jangan mengontrak, aku akan membelinya. Nanti kita namai  TIMLO MERY RESTO.

"Kelihatannya menarik."

"Menarik dong..."

 

"Nanti akan aku carikan tempatnya yang bagus dan strategis untuk usaha rumah makan."

"Terimakasih sebelumnya ya Bas."

"Nanti kita akan bicara lebih detail mengenai rencana itu. Sekarang aku mau bertanya, kemana aku harus melamar kamu?"

 

Tiba-tiba wajah Mery menjadi sangat muram. Kemana kalau orang ingin melamar dirinya? Siapa orang tuanya saja dia tak tau. Basuki menemukannya waktu itu ketika dia masih berada disebuah panti asuhan.

 

"Mery, kamu tidak usah berkecil hati. Tidak masalah bagiku kamu itu datang dari mana. Menurutku kamu datang dari langit dan diberikan Tuhan untuk aku."

 

Mery menatap Basuki terharu. Tak pernah dibayangkannya bahwa laki-laki yang dulu hidupnya penuh sepak terjang yang sesuka dia, kejam dan suka memaksakan kehendak, menganggap harta adalah segalanya, sekarang menjadi begitu santun dan bijak. 

 

"Sekarang aku hanya bersandar padamu Bas." kata Mery lirih.

"Nanti aku juga akan bicara sama mas Timan dan isterinya. Karena setelah menikah aku akan membawamu kemari."

 

Mery mengangguk dan matanya berkaca-kaca.

"Mengapa menangis Mer?"

"Aku menangis karena bahagia."

 

Basuki bangkit dan ingin memeluk Mery, tapi tiba-tiba Min si tukang kebun datang dan duduk begitu saja dilantai.

"Ada apa Min?"

"Ma'af pak, tadi ada orang datang kemari, apa benar bapak menyuruhnya membersihkan kebun?"

"Oh, iya aku lupa bilang sama kamu Min."

 

"Tapi bukankah kebun sudah setiap hari saya bersihkan ?"

"Min, sebenarnya aku hanya ingin memberi uang sama dia. Tapi takut dia tersinggung maka aku menyuruhnya melakukan sesuatu. Mana dia?"

"Dia sudah pergi, saya suruh datang sore nanti, karena saya tidak tahu yang bapak maksud."

 

"Baiklah, besok kalau dia datang, suruh saja dia menyapu atau membuang rumput-rumput, atau apa saja.  Kasihan, dia tampaknya butuh uang."

"Baiklah pak, nanti sore kalau dia datang biar bertemu bapak dulu."

"Ya Min, kamu sudah tau maksudku kan?"

"Ya, sudah berkali-kali bapak melakukannya. Seperti tukang cukur yang lewat, tiba-tiba bapak memanggilnya dan menyuruh memangkas rambut bapak, padahal sebetulnya belum perlu bercukur."

Basuki tertawa. 

 

"Ada orang yang mencari rejeki dengan jalan meminta pekerjaan, tapi ada orang yang lebih suka menadahkan telapak tangan. Tapi apapun itu, kamu harus menolongnya."

"Baiklah bapak."

 

Min segera beringsut keluar, dan rasa kagum Mery terhadap Basuki semakin bertambah. Benar-benar dia bukan Basuki yang pernah dikenalnya dulu. Dulu tak pernah perduli dengan penderitaan orang lain, tapi sekarang banyak cinta kasih diberikan kepada sesama. Bahkan Mery harus banyak belajar darinya.

***

 

Sementara itu Bagas yang menghabiskan waktu istirahatnya, tak kunjung menemukan pujaan hatinya. Mery sibuk, dan dugaan bahwa Basuki sedang memberinya pekerjaan dengan pesanan yang berlimpah sangat diyakininya.

 

Ketika mobilnya meluncur kembali kekantor, masih dicobanya untuk menelpon Mery, tapi kembali tak ada jawaban. 

"Baiklah, rupanya dia benar-benar sibuk," gumamnya.

 

Dengan keyakinan bahwa nanti sepulang kantor pasti akan bertemu, Bagas mulai bisa menenangkan hatinya. Rasa cemburu yang  menggebu telah sirna.

 

Begitu memasuki halaman kantor, dilihatnya Kristin baru turun dari mobilnya.

"Bagaaas.." Kristin segera menghampiri Bagas dengan rengekan seperti biasanya.

Begitu Bagas turun, Kristin segera menggandeng lengannya. Bagas melepaskannya dengan halus.

"Jangan begitu, banyak orang menatap kearah kita."

"Memangnya kenapa?" kata Kristin  tak perduli. Gandengan dilengan Bagas tak juga dilepaskannya.

"mBak, jangan begitu."

 

"Kamu tadi buru-buru keluar karena takut aku akan mengikuti kamu kan? Tapi aku sudah tahu, pasti kamu ke warungnya mbak Mery. Ya kan?"

"Ya.." kata Bagas yang berjalan dengan cepat, karena banyak karyawan menatap kearah mereka. Kristin terpaksa melepaskan pegangannya karena langkahnya tak bisa mengimbangi Bagas yang setengah berlari memasuki kantor.

 

"Bagaaas..." tiba-tiba terdengar orang terjatuh.

Bagas berhenti melangkah, dilihatnya Kristin terjatuh, berusaha berdiri dengan susah payah. Bagas mendekati dan membantunya bangkit. Tapi tampaknya kaki Kristin terkilir. Ia tak bisa berdiri tegak.Bagas terpaksa memapahnya memasuki kantor dengan susah payah.

 

"Bagaaas, jahat banget sih kamu, berjalan sangat cepat." keluhnya begitu sudah berada didalam ruangan.

"Makanya kalau pakai sepatu jangan yang terlalu tinggi hak nya.. "

"Ooh, ini tidak sopan juga?" kata Kristin yang mulai kesal karena Bagas selalu menilai penampilannya.

 

"Bukan tidak sopan, tapi dengan hak tinggi mbak Kristin tidak bisa berjalan cepat. Kalau terpaksa juga mbak Kristin bisa jatuh  kan?"Bagas mengambil minyak gosok di almari obat. Mengulurkan obat gosok  itu kearah Kristin. 

 

"Bagas, bisakah kamu menolong menggosoknya?"

Bagas mengeluh dalam hati. Masa dia harus menolaknya? Tapi melihat dia tampak benar-benar kesakitan , iba juga rasa hati Bagas. Dilihatnya Kristin menyelonjorkan kakinya diatas sofa panjang.

 

Bagas duduk didekat kaki itu. Dan menggosoknya dengan tangan gemetar. 

"Di pergelangan itu Gas, bukan telapaknya.." 

 

Lalu Kristin memekik-mekik kecil ketika Bagas menggosoknya dibagian yang sakit. Bagas memejamkan matanya, ia belum pernah memegang tubuh seorang perempuanpun. Kaki mungil berkulit putih itu bergerak-gerak karena Kristin merasa nyeri.

 

"Sudah Gas, cukup."

Bagas berdiri, keringat dingin membasahi keningnya. Dengan gontai Bagas kembali kemejanya.

Dilihatnya Kristin masih berselonjor disofa. Wajahnya pucat. 

"Masih sakitkah ?"

"Sepertinya aku nggak bisa berjalan Gas.. bisa tapi terpincang-pincang."

"Minumlah obat menghilang nyeri."

"Ambilkan, tolong.."

 

Bagas mengambil obat yang dimaksud, sekalian minuman Kristin dimejanya, lalu diberikannya kepada Kristin.

"Nanti biarlah sopir mengantar kamu pulang, kamu tidak akan bisa menyetir mobil sendiri."

 

"Aku penginnya kamu yang nganterin...."katanya setelah menelan obat yang diulungkan Bagas.

"Huuh, manja.. kolokan.." tapi kata itu tak diucapkannya.

 

"Aku nanti ada urusan, ma'af." akhirnya kata Bagas.

Kristin merengut, tapi tak bisa memaksanya.

 

***

 

Siang hari itu pak Suryo ada dirumah pak Darmono. Pembicaraan kembali ke arah keinginan pak Suryo yang ingin mengambil Bagas sebagai menantunya. Pak Darmono belum bisa mengatakannya karena Bagas belum juga mengatakan kesediaannya.

 

"Kamu sudah bicara dengan anakmu bukan?" tanya pak Suryo.

"Sudah, tapi belum sepenuhnya, karena anak itu masih belum bisa menentukan sikap. Maklumlah, ini bukan pekerjaan ringan, barangkali Bagas harus berpikir seribu kali untuk menjawabnya."

 

"Bagaimana dengan perjodohan itu?"

Pak Darmono juga belum bisa menjawabnya. Ungkapan Bagas bahwa dia mencintai Mery sangat mengganggunya. Biarpun dia sudah mengatakan bahwa tidak menyetujuinya, tapi tampaknya Bagas juga tidak akan menerima Kristin sebagai pendaampingnya. Tampak bahwa Bagas tak menyukainya.

 

"Bagas sudah punya pacar kah?"

"Aku tidak tau pasti mas, Bagas belum mengatakannya dengan jelas."

"Apa kamu tidak suka bermenantukan Kristin, anakku?"

"Aku suka mas, Kristin sangat cantik. Harusnya Bagas tak menolaknya, tapi mungkin ada pertimbangan lain, entahlah."

 

"Baiklah, bagaimanapun aku akan menunggu. Tampaknya Kristin sangat suka pada Bagas."

"Aku juga heran pada Bagas. Tampaknya kecantikan saja tak cukup untuk membuatnya jatuh cinta."

"Kamu tau Dar, ada perubahan dalam diri Kristin beberapa hari terakhir ini."

"Apa itu mas?"

 

"Cara dia berpakaian. Biasanya Kristin berpakaian yang sesukanya walau pergi ke kantor. Katanya dia suka berpakaian yang modis.. tapi sesungguhnya aku juga kurang suka modisnya agak keterlaluan. Tapi beberapa hari terakhir ini dia berpakaian sangat feminin. Menurut Kristin, katanya dia berpakaian lebih sopan, dan itu karena Bagas."

"Karena Bagas?"

 

"Katanya Bagas menegur cara dia berpakaian, dan langsung dia menurutinya. Kalau aku yang mencela, mana mungkin dia mendengarnya. Sekarang dia berbeda penampilan dan itu karena Bagas. Jadi sangat besar pengaruh Bagas atas diri Kristin. Aku suka.."

 

"Syukurlah kalau Bagas bisa melakukannya. Semoga mereka menjadi pasangan yang serasi, dalam dunia bisnis maupun dalam rumah tangga."

"Aamiin."

 

"Tapi ya itulah mas, jaman sekarang anak-anak jarang yang bisa memenuhi harapan orang tua. Khususnya dalam memilih jodoh."

"Benar Dar, harapan tinggal harapan. Yang menentukan nanti pasti juga yang muda-muda itu."

"Ya sudah, kita memang harus bersabar. Mereka masih sangat muda bukan? Biarlah mereka menentukan yang terbaik bagi hidup mereka."

 

***

 

"Aku sudah minta sopir untuk mengantar mbak Kristin pulang."

Kristin merengut, masih terpincang ketika berjalan. Tapi dia senang Bagas memapahnya sampai ke mobil. Apa boleh buat, Bagas harus melakukannya. Bukankah keterlaluan kalau dalam keadaan seperti itu Bagas masih harus mengacuhkannya.

 

"Bagas, bagaimana kalau sampai nanti kakiku tidak sembuh juga?"

"Ya kedokter saja, kan dokter lebih tau mana yang terbaik. Kalau dibiarkan saja nanti mbak Kristin jadi gadis pincang, bagaimana?"

"Bagaaas... jangan begitu, aku takut membayangkannya. 

"Berarti nanti kalau sampai sore sakitnya tidak mereda, mbak Kristin harus pergi ke dokter."

"Anterin dong..."

"Huh, manja.. kolokan.." lagi-lagi omelan itu hanya disimpannya dalam hati.

 

"Kalui dirumah kan ada pak Suryo, ada  bu Suryo, masa aku sih ?"

Mobil itu sudah siap, dan Bagas segera menutup pintu setelah mendudukkan Kristin di jok depan.

 

Kembali keringat dingin membasahi tubuhnya. Merangkul gadis cantik dari ruangannya sampai ke parkiran, bukan hal yang mudah. Kecuali berat menahan tubuhnya, aroma wangi dan desah nafas gadis itu sempat menyapu wajahnya, menusuk hidungnya dan juga hatinya. Tidak, ini hanya rasa aneh yang sekilas, Bagas tak mengacuhkannya. Bahkan ketika mobil itu pergi meninggalkan area parkir maka rasa itu sudah hilang begitu saja.

 

Bagas  bergegas menuju mobilnya sendiri. Sore itu ia akan lewat di warung Mery, siapa tahu belum tutup, dan siapa tahu pula dia bisa bertemu Mery.

***

 

Mery menunggu Basuki yang sedang bicara dengan seorang laki-laki setengah tua, yang akan disuruhnya membantu Min membersihkan kebun. Memang sih, Min protes karena dia selalu membersihkan kebun dan tak ada cacat celanya, tapi Basuki menyuruh Min agar membiarkan saja ketika orang suruhan itu melakukannya. Basuki hanya ingin memberinya uang, dan pekerjaan yang diberikan hanya sarana agar orang itu merasa menerima uang karena keringatnya.

 

"Baiklah, besok kamu boleh datang pagi-pagi. Lakukan yang bisa kamu lakukan, membersihkan kebun dan menyiram bunga-bunga. Karena sa'at musim panas maka semua tanaman harus tetap mendapatkan air agar hidup dengan subur."

"Baiklah tuan.."

"Jangan panggil aku tuan. Bapak saja sudah cukup, karena aku bukan tuan," tegur Basuki sambil tersenyum.

"Baiklah bapak. Kalau berkenan setiap seminggu sekali saya akan datang  membantu bersih-bersih."

"Oh, bagus sekali, datang saja, tidak apa-apa, aku senang banyak yang mengerjakan."

 

Lalu Basuki memberikan dua lembar uang ratusan yang diterimanya dengan ragu-ragu.

"Ini.. untuk saya?"

"Iya untuk kamu, kan aku mengulurkannya ke kamu."

"Sem.. semua?"

"Iya, semua."

"Terimakasih bapak, dengan ini saya bisa membeli obat untuk isteri saya yang sedang sakit."

 

"Isteri kamu sakit?"

"Sudah seminggu tidak bisa bekerja, badannya panas."

"Bawalah ke dokter agar mendapatkan obat yang tepat. Ini aku tambahi lagi untuk beli obatnya ya."

"Tt..tapi..."

"Terima saja, karena kamu sedang membutuhkannya."

 

Mery melihat air mata laki-laki itu berlinang. Terharu melihat penderitaan orang tak punya ketika sedang memerlukan uang untuk membeli obat. Dan terharu karena Basuki melakukan sesuatu yang amat mulia.

 

"Jangan lupa, bawa isteri kamu ke dokter, sore ini juga," pesan Basuki wanti-wanti.

Laki-laki itu mengangguk berkali-kali sambil mengusap air mata dengan ujung bajunya, sebelum melangkah pergi meninggalkan halaman rumah Basuki.

 

Mery masih menatap punggung laki-laki itu sampai menghilang dibalik gerbang.

"Ayo, jadi pulang atau mau menginap disini?" tanya Basuki sambil menyentuh lengan Mery.

"Iya, pulang dong, bahaya kalau aku menginap disini. Takut ada setan berkeliaran," katanya sambil bangkit dan mengikuti Basuki menuju mobilnya. Basuki membukakan pintu mobil sambil tertawa. 

"Sekarang aku tidak berkawan dengan setan-setan, tahu?!"

***

 

Bagas sudah menunggu lama di warung itu, tapi karena Mery belum muncul juga maka ia bermaksud pulang. Diteguknya sisa es jeruk yang tadi dipesannya, lalu melambaikan tangan kearah pelayan, untuk membayarkan makanannya.

 

Bagas melangkah keluar dengan kecewa. Tapi begitu sampai dipintu, dilihatnya sebuah mobil berhenti, dan dilihatnya Mery dan Basuki turun dari sana.

 

Berdegup dada Bagas melihat mereka berdua turun dengan wajah semringah. Bagas tiba-tiba merasa harus menghindari mereka, ia beringsut melewati pinggir agar mereka tak melihatnya.

 

Namun tiba-tiba terdengar panggilan yang diteriakkan Mery dan Basuki hampir bersamaan.

"Bagaas...!"

***

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar