*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 09*
Bagas
menatap ayahnya tak berkedip. Ada kesungguhan diwajah ayahnya, yang seakan
mencengkeram jiwanya. Sangatlah sedih apabila orang tua tak menyetujui
pilihannya.
"Camkan
baik-baik. Kamu tidak serasi berdampingan dengan gadis itu Bagas. Kamu muda dan
tampan. Dia cantik sih, tapi sudah terlalu tua untuk kamu. Bapak sudah tau,
pasti umurnya sudah diatas tigapuluh tahun, atau mungkin hampir empatpuluhan
tahun."
"Bapak,
apa salahnya kalau dia lebih tua dari Bagas?"
"Bukan
salah, kalau penempatan itu kamu anggap benar."
"Apa
maksud bapak?"
"Kalau
menurut kamu benar.. ya tidak salah. Tapi menurut bapak.. itu tidak benar. Atau
kurang benar. "
"Dimana
kurang benarnya, bapak?"
"Dipandang
dari keserasian saja.. "
"Bukankah
dalam berumah tangga yang diperlukan adalah hati?"
"Dalam
cinta... ya, dalam berumah tangga belum tentu. Mengapa kamu tertarik sama
dia?"
"Dia
itu baik, keibuan, dan memiliki semangat yang tinggi. Buktinya seumur Mery
sudah bisa mendirikan usaha warung yang semakin hari semakin maju dengan
pesat."
"Menurut pengamatan bapak, dia tidak
akan bisa membahagiakan kamu."
Bagas
terdiam. Intinya adalah bahwa ayahnya tidak suka mempunyai menantu lebih tua
dari anaknya. Pak Darmono tidak tau bahwa sesungguhnya Bagas mencari sosok
seorang ibu.
"Bagas,
apakah gadis itu juga cinta sama kamu?"
Nah, yang ini Bagas belum bisa menjawabnya.
Apakah Mery pernah menanggapi perasaannya? Setiap kali Bagas memberikan umpan
atas perasaannya, Mery hanya tertawa, dan selalu merasa bahwa dia sudah tua.
Atau selalu bilang bahwa nanti Bagas akan kecewa. Tapi Bagas ingin mengejarnya.
Ia yakin Mery akan mengimbangi perasaannya pada suatu hari nanti.
Tapi
tiba-tiba terbayang olehnya ketika Mery berduaan bersama Basuki, keluar dari
rumah makan, lalu masuk kedalam mobil Basuki, tampak mesra. Ah, mesrakah ketika
itu? Bagas hanya melihat punggung mereka, tak melihat wajah-wajah mereka.
Jangan-jangan Basuki hanya ingin memesan makanan lalu mengajaknya ketempat
dimana Mery harus mengirim makanannya.
Bagas merasa kesal karena ia berkali-kali
gagal menelponnya.
"Bagas,
apa yang kamu fikirkan?"
Bagas tak menjawab, tak ada jawaban yang bisa
diberikan kepada ayahnya atas pertanyaan itu.
"Dari
sikapmu itu, bapak tau bahwa kalian belum tentu saling jatuh cinta. Kamu hanya
tertarik karena sikap manisnya, rasa keibuannya, dan tentu juga kecantikannya.
Menurut bapak, jangan terlalu cepat memastikan perasaan kamu. Terkadang
seseorang tiba-tiba tertarik ketika melihat sesuatu yang baik, yang cantik,
lalu memupuk rasa tertarik itu menjadi suka. Dan seterusnya. Kalau bisa
memilih, pilih gadis yang usianya dibawah kamu."
Bagas
tak menjawab. Ia yakin orang tua pasti memilih yang terbaik untuk anaknya. Tapi
ayahnya kan belum tau bagaimana Mery. Tapi Bagas tak ingin berdebat, setidaknya
untuk sementara waktu, sampai dia benar-benar tahu bagaimana perasaan Mery
terhadapnya.
***
Tapi pagi itu, masih pagi benar untuk ukuran
orang berangkat bekerja, Kristin sudah sampai dirumah Bagas.
Dengan santai dia turun dari mubilnya, dan
merasa lega karena mobil merah itu masih terlihat didalam garasi yang sudah
terbuka.
"Selamat pagi,"
Pak
Darmono berdiri ditengah pintu, menatap gadis cantik yang berdiri didepannya,
berpakaian sangat elegant, bawahan berwarna pink dan blazer yang senada. Rambut
ikalnya terurai sebahu. Begitu melihat pak Darmono berdiri dipintu, gadis itu
mengangguk hormat. Ia tau bahwa yang didepannya adalah ayahnya Bagas. Gadis
itu, Kristin, membuka kaca mata hitamnya, lalu sepasang mata bintang menatap
pak Darmono yang heran melihat penampilannya kali ini. Ia pernah sekali melihatnya,
dan benar kata Bagas bahwa Kristin suka berpakaian seronok dan itu membuat
Bagas sangat sebal. Tapi bukankah ini penampilan yang manis?
"Kamu
Kristin kan?"
"Iya om, kita jarang bertemu, sehingga
om lupa."
"Tidak, om ingat kok, ayo masuk."
"Bagas masih sakit ?"
"Tidak, dia sudah bersiap masuk kerja,
baru saja selesai sarapan. Silahkan duduk. Biar om panggil dia," kata pak
Darmono sambil beranjak kebelakang. Aroma parfum yang tentu saja berkwalitas
segera menyeruak memenuhi ruang tamu itu.
Kristin
duduk disebuah kursi, lalu memandangi suasana diruang tamu itu. Melihat
foto-foto yang terpampang. Ada foto seorang wanita cantik berduaan.. ah ya, itu
kan pak Darmono diwaktu muda, dan ibunya Bagas pastinya. Lalu anak laki-laki
kecil duduk diatas sepeda roda tiga. Kristin tersenyum, waktu kecilnya
Bagas sangat lucu. Lalu ada foto ketika Bagas wisuda, dengan toga dan tampak
sangat tampan. Ia hanya bersama ayahnya.
"mBak
Kristin, ngapain kesini ?" tiba-tiba Bagas keluar, tak ada nada gembira
melihat ada gadis cantik datang kepadanya.
"Bagas, kemarin kamu bilang
pusing, aku khawatir kamu masih sakit."
"Aku mau masuk kerja."
"Ya
sudah, ayo kita berangkat bersama saja," kata Kristin sambil berdiri.
Bagas menatap penampilan Kristin pagi itu. Tampak berbeda. Seakan mengerti
kalau sedang diawasi penampilannya, Kristin memutar tubuhnya dengan manis,
sambil mengembangkan senyuman yang tentu saja lebih dari manis.
"Ini
baju yang kita beli kemarin Gas. Bagaimana menurutmu?"
Bagas menelan ludah untuk menekan kekagumannya
atas penampilan si centil cantik. Tak bisa ia memungkirinya, Kristin memang
cantik. Dan Bagas suka pada penampilannya pagi itu.
Kristin bukannya gadis lugu yang bodoh. Ia
melihat mata laki-laki ganteng itu menatapnya penuh kagum. Kristin
tersenyum senang,
"Ayo
kita berangkat, mana om Darmono?"
"Kita berangkat sendiri-sendiri saja
mbak," pinta Bagas.
"Bagaaas.." Kristin mengeluh dan
kecewa.
"Bapaak,
Bagas berangkat dulu ya.. " Bagas setengah berteriak berpamit pada
ayahnya.
Pak Darmono keluar.
"Sudah mau berangkat?"
Bagas mendekati ayahnya dan mencium
tangannya. Kristin mengikutinya.
"Hati-hati dijalan ya nak.."
Keduanya
keluar, dan dengan heran pak Darmono melihat bahwa mereka berangkat dengan
mobil masing-masing.
Pak
Darmono geleng-geleng kepala.
"Gadis secantik itu, dan Bagas
menolaknya ? Begitu besarkah pengaruh gadis bernama Mery itu atas anakku?"
***
Pagi itu setelah selesai sarapan, Sri bermain
bersama Tiwi dihalaman depan. Timan sudah berangkat sejak pagi, karena memang
ia harus sudah ada dipasar sejak pasar itu menggeliat dipenuhi pembeli.
"Tiwi,
nanti kalau sudah selesai, mainannya dikumpulin disini ya," kata Sri
sambil duduk mengawasi Tiwi bermain dengan boneka-bonekanya.
"Eh, Tiwi.. itu boneka baru ya?"
sapa Mery yang baru keluar dan bersiap berangkat. Sri menatap Mery dengan
heran. Pagi itu penampilan Mery agak berbeda dari biasanya. Baju yang dipakai
bukan baju yang dipakai sehari-hari apabila dia pergi ke warung.
"Sri,
mengapa menatap aku seperti itu?"
"mBak Mery pagi ini kok tampak lain ya,
cantik bangeeett..." kata Sri sambil tersenyum.
"Masa sih? Bukannya setiap hari aku juga
seperti ini?"
"Beda deh.. nggak tau apanya."
Sri
tidak mengerti, karena Mery juga tidak bercerita kalau kemarin bertemu Basuki.
Mery masih sungkan mengatakannya. Takutnya nanti belum-belum Sri pasti
meledeknya.
Mery hanya tersenyum. Ia mendekati Tiwi dan
mencium pipi gembul yang menggemaskan itu.
Tiwi menatap Mery... lalu berteriak.
"Atu ituuuut...."
Mery tertawa.
"Sayang,
besok kita jalan-jalan sama ibu sama Tiwi.. tapi bukan sekarang.. kan ibu Mery
mau bekerja?"
"Kejaa?" mata Tiwi berkedip menatap
Mery. Mery mengangkatnya, dan merangkulnya.
"Iya.. kerja. Baik-baik dirumah sama ibu
ya?"
Tiwi mengangguk lalu merosot turun dan kembali
asyik dengan mainannya.
"O..
pasti mbak Mery mau kencan nih.. si mobil merah? Atau...."
Mery tidak menjawab. Tapi senyum yang merekah itu membesarkan hati Sri. Ia tak
pernah melihat Mery tampak secerah pagi ini.
Mery masuk ke mobilnya, dan menjalannya perlahan
keluar dari halaman, setelah melambaikan tangannya kearah Sri.
"Hm.. mbak Mery main rahasia-rahasiaan
nih..." gumam Sri sambil tersenyum.
***
Bagas
sudah duduk di depan meja kerjanya, tapi ingatan tentang Mery tak juga bisa
terhapus dari benaknya. Ia harus segera tau, ada hubungan apa antara Mery dan
Basuki.
Ia mencoba menelpon Mery, tapi lagi-lagi tak
terjawab. Atau memang Mery tak mau menjawab telponnya?
"Apa
salahku mbak?" desis Bagas.
Tapi bisikan yang pelan itu terdengar oleh
Kristin yang kemudian menatap Bagas dengan heran.
"Mengapa
bertanya apa salahmu? Kamu tidak tau apa salahmu? Salahmu adalah bahwa tadi
tidak mau aku jemput dengan mobilku."
Bagas
mengangkat kepalanya, dengan heran mendengar Kristin ber-kata-kata. Kristin
menatap Bagas, dan tersenyum sangat manis. Bagas memalingkan muka. Kelamaan
menatap senyuman itu lama-lama dia bisa tergoda.
"Masih
belum tau juga Gas?"
"Apa ?"
"Kamu tadi bertanya apa salahmu, sudah
aku jawab kan?"
Bagas
menepuk jidatnya dan hampir tertawa karena ulahnya sendiri. Iya tadi dia
mengucapkan itu, terlalu keraskah ? Lalu Kristin mendengarnya? Mungkin juga,
Bagas tak sadar akan bisik batinnya yang sampai terucap keluar dari bibirnya.
"Ada
apa pula kok senyum-senyum?"
"Iya aku tau.. aku salah, " lalu
Bagas membuka laptopnya.
"Harusnya aku juga bertanya seperti itu.
Apa sih salahku sehingga kamu sedikitpun tak mau menaruh perhatian atas semua
yang aku lakukan?"
"Aku perhatian kok."
"Bagaimana menurutmu penampilanku hari
ini? Baju ini sopan kan?"
Lagi-lagi
Kristin berdiri dan berputar dihadapan Bagas. Dan mau tak mau Bagas menatapnya.
Kali ini Bagas tak mampu mengalihkan pandangannya kearah lain. Yang didepannya
seperti bukan Kristin yang selalu menjengkelkan. Seorang bidadari sedang menari
dengan gemulai, dan terkadang melemparkan kerling yang memukau.
"Aku
cantik bukan ?" lalu tiba-tiba Kristin berhenti berputar kemudian duduk
didepan Bagas. Seperti biasanya, menopang dagu dengan kedua tangan sambil
bertumpu dimeja Bagas.
"Bukankah aku sekarang sudah berpakaian
sopan?"
Sejenak
Bagas tak mampu berkata-kata. Bibirnya setengah terbuka, lalu ketika tersadar
dia menggaruk-garuk kepalanya.
Sepasang mata bintang itu berkejap, Bagas
mengalihkan pandangan kearah lain. Itu benar, melegakan karena Kristin tak lagi
berpakaian seronok yang justru membuatnya kesal, apalagi dengan
rengekan-rengekannya yang seperti anak kecil.
"Cantikkah
aku dengan pakaian seperti ini?"
Bagas harus menjawabnya, karena kalau tidak,
maka pertanyaan itu akan terus diulang-ulangnya.
"Cantik, lebih cantik dari
biasanya."
"Kamu suka?"
Bagas
hanya mengangguk, Kristin tersenyum senang.
"mBak, biarkan aku bekerja ya,"
katanya pelan, sambil membuka laptopnya.
"Bekerja saja, aku kan tidak
mengganggu?"
Memang kali ini tidak mengganggu dengan
pakaian minimnya, tapi mata bintang itu terus menatapnya.
"Tolong mbak.."
Kristin
merengut, berdiri melenggang kearah mejanya sendiri. Bagas menghela nafas
lega.
Ia mengambil lagi ponselnya, dan mencoba
menghubungi Mery. Tapi seperti tadi, Mery tak mengangkatnya.
Lalu
Bagas mulai bekerja, walau tak sepenuhnya bisa melakukannya.
***
Ketika
Basuki kembali ke warung Mery pagi itu, dilihatnya Mery sedang berbicara dengan
pembantunya. Tampaknya Mery sedang memberi petunjuk atau apa, karena sesekali
dilihatnya tangannya bergerak-gerak.
Basuki
tak mau mengganggu. Ia duduk begitu saja disebuah bangku, lalu seorang pelayan
menghampirinya.
"Bapak mau makan?"
"Tidak, saya menunggu bu Mery."
"Oh, ma'af, baiklah akan saya
panggilkan."
"Biarkan saja kalau dia sedang
sibuk."
"Tidak, bu Mery sedang memberi tau mbak
Mini tentang pesanan besok hari Minggu yang harus disiapkannya. Tapi tampaknya
sudah selesai."
"Baiklah, katakan saja asalkan tidak mengganggu."
Pelayan
itu berlalu, dan tampak mendekati Mery.
"Siap ya Min, pokoknya semua ada
ditanganmu."
"Ya bu, saya sudah mengerti."
Mery ingin membalikkan tubuhnya untuk masuk
keruangannya ketika pelayan itu mendekatinya.
"Bu, ada yang menunggu ibu."
Mery menoleh kearah depan. Hatinya berdebar.
Basuki benar-benar datang. Ia masuk keruangannya dan mengambil tasnya, lalu
keluar menuju kearah meja dimana Basuki duduk menatapnya dengan mata garangnya
yang teduh.
"Mery...
cantik sekali kamu."
"Sudah lama menunggu?"
"Tidak, baru saja. Kamu sudah siap pergi
?"
"Mau kemana kita?"
"Jalan-jalan saja, kemarin belum puas
mengajakmu pagi sampai siang."
Mery tersenyum.
"Temani
aku belanja juga ya?
"Boleh..."
Basuki berdiri dan merangkul pundak Mery,
lalu keduanya keluar dari warung, diikuti pandangan beberapa anak buahnya
dengan senyum senang.
"Tampaknya bos kita sudah menemukan
pujaan hatinya," celetuk salah seorang pelayan.
Mini melotot, tapi kemudian dia tersenyum.
Iapun berharap demikian.
***
Hari belum terlalu siang, Basuki mengajak
Mery duduk disebuah taman ditepian kota. Banyak pohon-pohon rindang yang
menaungi bangku-bangku yang memang dipergunakan oleh orang-orang yang ingin
menikmati udara sore setiap harinya. Memang sih, kalau sore tempat itu ramai.
Beberapa rumpun tanaman perdu menghiasi sekeliling taman, diseling bunga-bunga
aneka warna. Tapi ini siang hari, jadi tempat itu tampak sepi. Udara panas tak
terasa karena semilir angin mengayunkan dedaunan dan menimbulkan suara
gemerisik yang nyaman.
"Mengapa
kesini?" tanya Mery. Berdebar hatinya karena Basuki duduk sangat rapat
dengan dirinya, sehingga aroma maskulin merebak menusuk hidungnya. Bahkan nafas
Basuki lembut terdengar ditelinganya.
"Disini
kan lebih tenang, bisa berbincang tanpa ada yang mengganggu."
"Berbincang tentang apa?"
"Tentang banyak hal, ahaa.. kita seperti
sepasang sejoli yang sedang pacaran bukan?"
"Seumur kita ini tak lagi pantas
berpacaran seperti layaknya anak-anak muda."
"Setuju. Menurut aku, kita sudah
sa'atnya memikirkan masa depan."
"Oh.. aku sudah memikirkan masa depanku
sendiri.."
"Bukan masa depanmu.. masa depan
kita.."
"Mengapa masa depan kita?"
Lalu
Basuki merasa sangat bodoh. Apa yang harus dikatakannya ketika dia benar-benar
merasa jatuh cinta? Sungguh Basuki bukan seorang yang pintar mengatakan cinta.
Belum pernah malah.
"Mery.."
Mery menoleh kearah laki-laki disampingnya,
mata mereka bertatapan, seperti ada tarikan magnet yang kemudian mereka tak
mampu melepaskan tatapan itu.
"Apakah
kamu... "
Basuki tak mampu meneruskannya, diraihnya
tubuh Mery dan dipeluknya erat. Sejenak Mery terlena dalam suasana mendebarkan
yang membuatnya nyaman, lalu dia kemudian tersadar bahwa tak pantas
melakukannya. Perlahan Mery mendorong tubuh Basuki yang kemudian melepaskan
pelukannya.
"Ini
tempat umum, dan kita bukan muhrim, bisik Mery dengan bibir bergetar.
Basuki menghela nafas untuk menata batinnya.
"Ya benar, kita bukan muhrim. Ma'af.
Akankah kita menjadi muhrim?"
Mery
diam, mengapa Basuki menanyakannya? Sudah lama dia menunggu. Aduhai, hanya
karena merasa tak pantas maka Mery tak berani menanyakannya. Tapi rupanya Mery
tak harus lama menunggu.
"Mery,
maukah kamu menjadi isteriku?" kata Basuki sambil merogoh saku celananya,
lalu dikeluarkannya sebuah kotak kecil, yang kemudian diulurkannya kearah Mery.
Mery
terkejut, bukan karena kotak kecil yang diberikan kepadanya tapi karena ucapan
Basuki.
"Jawab Mery.."
Mery
menengadahkan kepalanya kelangit. Segumpal mega melayang layang, Mery
menitipkan cintanya disana. Lalu angin menghembus mega itu, menjatuhkan cinta
kepangkuannya.
"Mery.."
Seperti sebuah lakon di sinetron ketika
seorang laki-laki melamar gadis yang dicintainya, lalu diserahkannya sebuah
kotak berici cincin tanda cinta.
Bergetar bibir Mery. Tapi kepalanya
mengangguk pelan.
Senyum dibibir Basuki merekah, seperti ketika
matahari pagi muncul dari ufuk timur, Lalu dibukanya kotak kecil itu,
dikeluarkannya sebentuk cincin berlian berbentuk hati, lalu disematkannya
dijari manis Mery.
Basuki
mengembangkan tangannya, siap kembali memeluk Mery, tapi Mery
menggoyang-goyangkan tangannya sebagai tanda untuk melarang.
Basuki geleng-geleng kepala.
"Aku
akan segera menikahi kamu.."
Mery mengangguk, matanya berbinar bahagia.
Dedaunan disekitar tiba-tiba bergoyang ditiup angin, lalu kesejukan menerpa
relung-relung hati yang sedang jatuh cinta.
Mereka
meninggalkan taman itu ketika matahari berada tepat diatas kepala mereka.
"Aku lapar.. ayo kita cari makan,
haaa... bagaimana kalau makan dirumahku? Simbok pasti akan senang."
"Terserah kamu saja, tapi aku akan
menelpon Mini dulu, ada yang lupa aku pesankan ke dia tadi."
Sambil
berjalan kearah mobil yang diparkir agak jauh, Mery mengambil ponselnya. Ia
terkejut ketika melihat ada beberapa pangglan masuk, dan semuanya dari Bagas.
***
besok lagi ya
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 10*
Mery geleng-geleng kepala. Pasti anak muda
itu mencari-carinya diwarung dan tidak ketemu, lalu berkali-kali
menghubunginya. Ia tidak mendengarkan pangilan itu karena ponselnya di silent.
Mery
kemudian membalasnya dengan menuliskan pesan singkat saja.
"Ma'af Bagas, aku sedang
sibuk."
Tapi Bagas membalasnya segera,
"Aku lagi diwarung, masih
lamakah kembalinya?"
"Masih lama, jangan ditunggu
ya."
Lalu
Mery menelpon Mini, dan mengatakan pesan yang belum sempat dikatakannya sebelum
berangkat.
Basuki
sudah membukakan pintu mobil untuk Mery.
"Tuan puteri silahkan masuk," kata
Basuki sambil sebelah tangannya diacungkan seperti layaknya orang
mempersilahkan tamunya.
Mery mencubit lengan Basuki dengan gemas.
Mata mereka kembali bertaut. Benar-benar
seperti sepasang anak muda yang sedang dimabuk cinta.
Basuki
menutupkan mobilnya, lalu masuk kepintu disampingnya, duduk dengan manis
dibelakang kemudi. Menstarter mobilnya setelah sekali lagi mata mereka
bertaut.
***
"Bagaimana
menurutmu masakan simbok ?" tanya Basuki setelah mereka selesai makan
siang dirumahnya.
Mery mengacungkan jempolnya.
"Aku
harus belajar juga sama simbok."
"Kamu masih akan melanjutkan usahamu ?
Warung itu tetap akan kamu jalankan?"
"Mengapa tidak? Itu keringatku, jerih
payahku.."
"Jadi kamu tetap akan menjalankannya?
"Iya lah Bas, masa semua hasil
keringatku selama bertahun-tahun harus aku tinggalkan?"
"Kalau kamu sudah menjadi nyonya Basuki
?"
"Ijinkan aku tetap merawatnya."
Basuki tersenyum.
"Apa
sih yang enggak buat kamu? "
Mery tersenyum senang.
Simbok
keluar dengan membawa dua gelas jus jambu.
"Silahkan bapak..."
"Hm, jus jambu ya mbok?"
"Iya, tadi dipasar melihat seger-seger
lalu simbok beli .. bukankah bapak suka jus buah-buahan?
"Benar,
oh ya mbok, aku belum memperkenalkan siapa dia ya?. Ini bu Mery. Besok dia akan
tinggal dirumah ini, dan katanya akan belajar masak juga sama simbok."
Simbok tertawa, menampakkan sederet giginya yang sudah tanggal dikiri kanan,
tapi tampak bersih dan terawat.
"Simbok
hanya bisa memasak masakan orang ndeso bu.."
"Justru itu yang enak mbok."
Simbok mengangguk-angguk, lalu dia mengerti
bahwa tampaknya gadis cantik itu bakal menjadi isteri majikannya. Lalu sambil
terbungkuk dia masuk kembali kedalam.
"Haruskah
nanti aku tinggal disini?"
"Dimana lagi? Ini rumahku dan akan
menjadi rumahmu. Masa kamu akan ikut mas Timan terus menerus?"
"Tapi rumah ini lebih jauh dari
warungku.."
"Aku
punya gagasan, akan mencari lahan yang lebih bagus untuk warung kamu. Jangan
mengontrak, aku akan membelinya. Nanti kita namai TIMLO MERY RESTO.
"Kelihatannya menarik."
"Menarik dong..."
"Nanti
akan aku carikan tempatnya yang bagus dan strategis untuk usaha rumah
makan."
"Terimakasih sebelumnya ya Bas."
"Nanti kita akan bicara lebih detail
mengenai rencana itu. Sekarang aku mau bertanya, kemana aku harus melamar
kamu?"
Tiba-tiba
wajah Mery menjadi sangat muram. Kemana kalau orang ingin melamar dirinya?
Siapa orang tuanya saja dia tak tau. Basuki menemukannya waktu itu ketika dia
masih berada disebuah panti asuhan.
"Mery,
kamu tidak usah berkecil hati. Tidak masalah bagiku kamu itu datang dari mana.
Menurutku kamu datang dari langit dan diberikan Tuhan untuk aku."
Mery
menatap Basuki terharu. Tak pernah dibayangkannya bahwa laki-laki yang dulu
hidupnya penuh sepak terjang yang sesuka dia, kejam dan suka memaksakan
kehendak, menganggap harta adalah segalanya, sekarang menjadi begitu santun dan
bijak.
"Sekarang
aku hanya bersandar padamu Bas." kata Mery lirih.
"Nanti aku juga akan bicara sama mas
Timan dan isterinya. Karena setelah menikah aku akan membawamu kemari."
Mery
mengangguk dan matanya berkaca-kaca.
"Mengapa menangis Mer?"
"Aku menangis karena bahagia."
Basuki
bangkit dan ingin memeluk Mery, tapi tiba-tiba Min si tukang kebun datang dan
duduk begitu saja dilantai.
"Ada apa Min?"
"Ma'af pak, tadi ada orang datang
kemari, apa benar bapak menyuruhnya membersihkan kebun?"
"Oh, iya aku lupa bilang sama kamu
Min."
"Tapi
bukankah kebun sudah setiap hari saya bersihkan ?"
"Min, sebenarnya aku hanya ingin memberi
uang sama dia. Tapi takut dia tersinggung maka aku menyuruhnya melakukan
sesuatu. Mana dia?"
"Dia sudah pergi, saya suruh datang sore
nanti, karena saya tidak tahu yang bapak maksud."
"Baiklah,
besok kalau dia datang, suruh saja dia menyapu atau membuang rumput-rumput,
atau apa saja. Kasihan, dia tampaknya butuh uang."
"Baiklah pak, nanti sore kalau dia
datang biar bertemu bapak dulu."
"Ya Min, kamu sudah tau maksudku
kan?"
"Ya, sudah berkali-kali bapak
melakukannya. Seperti tukang cukur yang lewat, tiba-tiba bapak memanggilnya dan
menyuruh memangkas rambut bapak, padahal sebetulnya belum perlu bercukur."
Basuki tertawa.
"Ada
orang yang mencari rejeki dengan jalan meminta pekerjaan, tapi ada orang yang
lebih suka menadahkan telapak tangan. Tapi apapun itu, kamu harus
menolongnya."
"Baiklah bapak."
Min
segera beringsut keluar, dan rasa kagum Mery terhadap Basuki semakin bertambah.
Benar-benar dia bukan Basuki yang pernah dikenalnya dulu. Dulu tak pernah
perduli dengan penderitaan orang lain, tapi sekarang banyak cinta kasih
diberikan kepada sesama. Bahkan Mery harus banyak belajar darinya.
***
Sementara
itu Bagas yang menghabiskan waktu istirahatnya, tak kunjung menemukan pujaan
hatinya. Mery sibuk, dan dugaan bahwa Basuki sedang memberinya pekerjaan dengan
pesanan yang berlimpah sangat diyakininya.
Ketika
mobilnya meluncur kembali kekantor, masih dicobanya untuk menelpon Mery, tapi
kembali tak ada jawaban.
"Baiklah, rupanya dia benar-benar
sibuk," gumamnya.
Dengan
keyakinan bahwa nanti sepulang kantor pasti akan bertemu, Bagas mulai bisa
menenangkan hatinya. Rasa cemburu yang menggebu telah sirna.
Begitu
memasuki halaman kantor, dilihatnya Kristin baru turun dari mobilnya.
"Bagaaas.." Kristin segera
menghampiri Bagas dengan rengekan seperti biasanya.
Begitu Bagas turun, Kristin segera
menggandeng lengannya. Bagas melepaskannya dengan halus.
"Jangan begitu, banyak orang menatap
kearah kita."
"Memangnya kenapa?" kata
Kristin tak perduli. Gandengan dilengan Bagas tak juga dilepaskannya.
"mBak, jangan begitu."
"Kamu
tadi buru-buru keluar karena takut aku akan mengikuti kamu kan? Tapi aku sudah tahu,
pasti kamu ke warungnya mbak Mery. Ya kan?"
"Ya.." kata Bagas yang berjalan
dengan cepat, karena banyak karyawan menatap kearah mereka. Kristin terpaksa
melepaskan pegangannya karena langkahnya tak bisa mengimbangi Bagas yang
setengah berlari memasuki kantor.
"Bagaaas..."
tiba-tiba terdengar orang terjatuh.
Bagas berhenti melangkah, dilihatnya Kristin
terjatuh, berusaha berdiri dengan susah payah. Bagas mendekati dan membantunya
bangkit. Tapi tampaknya kaki Kristin terkilir. Ia tak bisa berdiri tegak.Bagas
terpaksa memapahnya memasuki kantor dengan susah payah.
"Bagaaas,
jahat banget sih kamu, berjalan sangat cepat." keluhnya begitu sudah
berada didalam ruangan.
"Makanya kalau pakai sepatu jangan yang terlalu tinggi hak nya.. "
"Ooh, ini tidak sopan juga?" kata
Kristin yang mulai kesal karena Bagas selalu menilai penampilannya.
"Bukan
tidak sopan, tapi dengan hak tinggi mbak Kristin tidak bisa berjalan cepat.
Kalau terpaksa juga mbak Kristin bisa jatuh kan?"Bagas mengambil
minyak gosok di almari obat. Mengulurkan obat gosok itu kearah
Kristin.
"Bagas,
bisakah kamu menolong menggosoknya?"
Bagas mengeluh dalam hati. Masa dia harus
menolaknya? Tapi melihat dia tampak benar-benar kesakitan , iba juga rasa hati
Bagas. Dilihatnya Kristin menyelonjorkan kakinya diatas sofa panjang.
Bagas
duduk didekat kaki itu. Dan menggosoknya dengan tangan gemetar.
"Di pergelangan itu Gas, bukan
telapaknya.."
Lalu
Kristin memekik-mekik kecil ketika Bagas menggosoknya dibagian yang sakit.
Bagas memejamkan matanya, ia belum pernah memegang tubuh seorang perempuanpun.
Kaki mungil berkulit putih itu bergerak-gerak karena Kristin merasa nyeri.
"Sudah
Gas, cukup."
Bagas berdiri, keringat dingin membasahi
keningnya. Dengan gontai Bagas kembali kemejanya.
Dilihatnya Kristin masih berselonjor disofa.
Wajahnya pucat.
"Masih sakitkah ?"
"Sepertinya aku nggak bisa berjalan
Gas.. bisa tapi terpincang-pincang."
"Minumlah obat menghilang nyeri."
"Ambilkan, tolong.."
Bagas
mengambil obat yang dimaksud, sekalian minuman Kristin dimejanya, lalu
diberikannya kepada Kristin.
"Nanti biarlah sopir mengantar kamu
pulang, kamu tidak akan bisa menyetir mobil sendiri."
"Aku
penginnya kamu yang nganterin...."katanya setelah menelan obat yang
diulungkan Bagas.
"Huuh, manja.. kolokan.." tapi kata
itu tak diucapkannya.
"Aku
nanti ada urusan, ma'af." akhirnya kata Bagas.
Kristin merengut, tapi tak bisa memaksanya.
***
Siang hari itu pak Suryo ada dirumah pak
Darmono. Pembicaraan kembali ke arah keinginan pak Suryo yang ingin mengambil
Bagas sebagai menantunya. Pak Darmono belum bisa mengatakannya karena Bagas
belum juga mengatakan kesediaannya.
"Kamu
sudah bicara dengan anakmu bukan?" tanya pak Suryo.
"Sudah, tapi belum sepenuhnya, karena
anak itu masih belum bisa menentukan sikap. Maklumlah, ini bukan pekerjaan
ringan, barangkali Bagas harus berpikir seribu kali untuk menjawabnya."
"Bagaimana
dengan perjodohan itu?"
Pak Darmono juga belum bisa menjawabnya.
Ungkapan Bagas bahwa dia mencintai Mery sangat mengganggunya. Biarpun dia sudah
mengatakan bahwa tidak menyetujuinya, tapi tampaknya Bagas juga tidak akan
menerima Kristin sebagai pendaampingnya. Tampak bahwa Bagas tak menyukainya.
"Bagas
sudah punya pacar kah?"
"Aku tidak tau pasti mas, Bagas belum
mengatakannya dengan jelas."
"Apa kamu tidak suka bermenantukan
Kristin, anakku?"
"Aku suka mas, Kristin sangat cantik. Harusnya Bagas tak menolaknya, tapi
mungkin ada pertimbangan lain, entahlah."
"Baiklah,
bagaimanapun aku akan menunggu. Tampaknya Kristin sangat suka pada Bagas."
"Aku juga heran pada Bagas. Tampaknya
kecantikan saja tak cukup untuk membuatnya jatuh cinta."
"Kamu tau Dar, ada perubahan dalam diri
Kristin beberapa hari terakhir ini."
"Apa itu mas?"
"Cara
dia berpakaian. Biasanya Kristin berpakaian yang sesukanya walau pergi ke
kantor. Katanya dia suka berpakaian yang modis.. tapi sesungguhnya aku juga
kurang suka modisnya agak keterlaluan. Tapi beberapa hari terakhir ini dia
berpakaian sangat feminin. Menurut Kristin, katanya dia berpakaian lebih sopan,
dan itu karena Bagas."
"Karena Bagas?"
"Katanya
Bagas menegur cara dia berpakaian, dan langsung dia menurutinya. Kalau aku yang
mencela, mana mungkin dia mendengarnya. Sekarang dia berbeda penampilan dan itu
karena Bagas. Jadi sangat besar pengaruh Bagas atas diri Kristin. Aku suka.."
"Syukurlah
kalau Bagas bisa melakukannya. Semoga mereka menjadi pasangan yang serasi,
dalam dunia bisnis maupun dalam rumah tangga."
"Aamiin."
"Tapi
ya itulah mas, jaman sekarang anak-anak jarang yang bisa memenuhi harapan orang
tua. Khususnya dalam memilih jodoh."
"Benar Dar, harapan tinggal harapan.
Yang menentukan nanti pasti juga yang muda-muda itu."
"Ya sudah, kita memang harus bersabar.
Mereka masih sangat muda bukan? Biarlah mereka menentukan yang terbaik bagi
hidup mereka."
***
"Aku sudah minta sopir untuk mengantar
mbak Kristin pulang."
Kristin merengut, masih terpincang ketika
berjalan. Tapi dia senang Bagas memapahnya sampai ke mobil. Apa boleh buat,
Bagas harus melakukannya. Bukankah keterlaluan kalau dalam keadaan seperti itu
Bagas masih harus mengacuhkannya.
"Bagas,
bagaimana kalau sampai nanti kakiku tidak sembuh juga?"
"Ya kedokter saja, kan dokter lebih tau
mana yang terbaik. Kalau dibiarkan saja nanti mbak Kristin jadi gadis pincang,
bagaimana?"
"Bagaaas... jangan begitu, aku takut
membayangkannya.
"Berarti nanti kalau sampai sore
sakitnya tidak mereda, mbak Kristin harus pergi ke dokter."
"Anterin dong..."
"Huh, manja.. kolokan.." lagi-lagi
omelan itu hanya disimpannya dalam hati.
"Kalui
dirumah kan ada pak Suryo, ada bu Suryo, masa aku sih ?"
Mobil itu sudah siap, dan Bagas segera
menutup pintu setelah mendudukkan Kristin di jok depan.
Kembali
keringat dingin membasahi tubuhnya. Merangkul gadis cantik dari ruangannya
sampai ke parkiran, bukan hal yang mudah. Kecuali berat menahan tubuhnya, aroma
wangi dan desah nafas gadis itu sempat menyapu wajahnya, menusuk hidungnya dan
juga hatinya. Tidak, ini hanya rasa aneh yang sekilas, Bagas tak
mengacuhkannya. Bahkan ketika mobil itu pergi meninggalkan area parkir maka
rasa itu sudah hilang begitu saja.
Bagas
bergegas menuju mobilnya sendiri. Sore itu ia akan lewat di warung Mery, siapa
tahu belum tutup, dan siapa tahu pula dia bisa bertemu Mery.
***
Mery
menunggu Basuki yang sedang bicara dengan seorang laki-laki setengah tua, yang
akan disuruhnya membantu Min membersihkan kebun. Memang sih, Min protes karena
dia selalu membersihkan kebun dan tak ada cacat celanya, tapi Basuki menyuruh
Min agar membiarkan saja ketika orang suruhan itu melakukannya. Basuki hanya
ingin memberinya uang, dan pekerjaan yang diberikan hanya sarana agar orang itu
merasa menerima uang karena keringatnya.
"Baiklah,
besok kamu boleh datang pagi-pagi. Lakukan yang bisa kamu lakukan, membersihkan
kebun dan menyiram bunga-bunga. Karena sa'at musim panas maka semua tanaman
harus tetap mendapatkan air agar hidup dengan subur."
"Baiklah tuan.."
"Jangan panggil aku tuan. Bapak saja
sudah cukup, karena aku bukan tuan," tegur Basuki sambil tersenyum.
"Baiklah bapak. Kalau berkenan setiap
seminggu sekali saya akan datang membantu bersih-bersih."
"Oh, bagus sekali, datang saja, tidak
apa-apa, aku senang banyak yang mengerjakan."
Lalu
Basuki memberikan dua lembar uang ratusan yang diterimanya dengan ragu-ragu.
"Ini.. untuk saya?"
"Iya untuk kamu, kan aku mengulurkannya
ke kamu."
"Sem.. semua?"
"Iya, semua."
"Terimakasih bapak, dengan ini saya bisa
membeli obat untuk isteri saya yang sedang sakit."
"Isteri
kamu sakit?"
"Sudah seminggu tidak bisa bekerja, badannya
panas."
"Bawalah ke dokter agar mendapatkan obat
yang tepat. Ini aku tambahi lagi untuk beli obatnya ya."
"Tt..tapi..."
"Terima saja, karena kamu sedang
membutuhkannya."
Mery
melihat air mata laki-laki itu berlinang. Terharu melihat penderitaan orang tak
punya ketika sedang memerlukan uang untuk membeli obat. Dan terharu karena
Basuki melakukan sesuatu yang amat mulia.
"Jangan
lupa, bawa isteri kamu ke dokter, sore ini juga," pesan Basuki
wanti-wanti.
Laki-laki itu mengangguk berkali-kali sambil
mengusap air mata dengan ujung bajunya, sebelum melangkah pergi meninggalkan
halaman rumah Basuki.
Mery
masih menatap punggung laki-laki itu sampai menghilang dibalik gerbang.
"Ayo, jadi pulang atau mau menginap
disini?" tanya Basuki sambil menyentuh lengan Mery.
"Iya, pulang dong, bahaya kalau aku
menginap disini. Takut ada setan berkeliaran," katanya sambil bangkit dan
mengikuti Basuki menuju mobilnya. Basuki membukakan pintu mobil sambil
tertawa.
"Sekarang aku tidak berkawan dengan
setan-setan, tahu?!"
***
Bagas
sudah menunggu lama di warung itu, tapi karena Mery belum muncul juga maka ia
bermaksud pulang. Diteguknya sisa es jeruk yang tadi dipesannya, lalu
melambaikan tangan kearah pelayan, untuk membayarkan makanannya.
Bagas
melangkah keluar dengan kecewa. Tapi begitu sampai dipintu, dilihatnya sebuah
mobil berhenti, dan dilihatnya Mery dan Basuki turun dari sana.
Berdegup
dada Bagas melihat mereka berdua turun dengan wajah semringah. Bagas tiba-tiba
merasa harus menghindari mereka, ia beringsut melewati pinggir agar mereka tak
melihatnya.
Namun
tiba-tiba terdengar panggilan yang diteriakkan Mery dan Basuki hampir
bersamaan.
"Bagaas...!"
***
besok lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar