Minggu, 12 Juli 2020

Cintaku Diantara Mega 05-06


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  05*

Basuki masih tegak dengan menahan gemuruh dadanya, melihat Bagas menggenggam tangan Mery.  Apa yang terjadi dengan hatinya, Basuki sendiri tak menyadarinya.
Sementara itu Bagas yang lebih dulu melihat kearah pintu terkejut melihat Basuki berdiri disana, tak bergerak. Bagas mengira Basuki sedang mencari apakah dirinya sudah datang atau belum. Serta merta Bagas melepaskan tangan Mery.

Mery pucat pasi. Itu kan Basuki, tempat dimana mega bertaut dan menyembunyikan cintanya. Mery tak tau apa yang akan terjadi nanti. Terakhir ia melihat Basuki ketika polisi menggelandangnya kedalam mobil, dan Basuki menatapnya penuh kebencian. Sakit melihat tatapan itu.

"Mas ! Sini.. aku juga baru datang," sapa Bagas. Tanpa sadar bahwa Mery sudah lebih dulu berdiri dan melangkah kedalam dengan hati gundah.

Basuki menatap punggung Mery dengan perasaan mengharu biru. Disadarinya Mery masih secantik dulu, tapi penampilannya sungguh berbeda. Bukan gadis yang suka berpakaian glamour dan dengan manisnya memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang indah. Membiarkan separuh dadanya menyembul keluar dan membuatnya gila dalam nafsu yang menggelegak. Namun Mery kecewa, yang diterimanya adalah pelampiasan nafsu, bukan cinta, sementara dirinya menyerahkan semuanya karena cinta. Aduhai, semuanya sudah berlalu. Hari demi hari, bulan dan tahun menggilas semua kenangan manis tapi juga menyakitkan itu.

Mery sembunyi dalam kebingungan yang menyentak. Ada ruang kerja yang tertutup, dia duduk disana dan berkunci didalamnya.

"Mas, kok bengong sih mas, aku sudah mendapatkan tempat duduk yang enak," kata Bagas sambil berdiri lalu mendekati Basuki sambil menarik tangannya.
Basuki mencoba tersenyum. Belum puas ia menyapa hatinya sendiri, menanyakan apa yang terjadi sehingga pertemuan itu membuat hatinya gemuruh yang membuatnya luruh dalam kebingungan.

"Sini mas. Aku hampir tertawa ketika mas Basuki mengirimkan alamat warung ini. Aku hampir setiap hari makan disini," kata Bagas gembira.
Basuki perlahan menguasai hatinya, dan mencoba tersenyum.
"Aku tidak mengira.."

"Ayo mas, pesan apa yang mas ingin makan siang ini, pokoknya semuanya enak."
"Ya, terserah kamu saja, aku ikut.."
"Mas Basuki kok kelihatan lesu? Sakit?"
"Enggak, kecapean mungkin.."
"Jangan capek-capek lah mas.. biar banyak yang harus dikerjakan, mas juga harus ingat kesehatan."
"Iya.. "
"Mas sudah pernah datang  kemari pasti, dan merasakan enaknya, sehingga siang ini mengajak aku."

Pelayan mendekat ketika Bagas melambaikan tangannya.
"Mas Basuki mau makan apa? Aku nasi timlo saja.. minumnya teh hangat."
"Aku... sama deh. Nasi timlo sama teh hangat."
Pelayan mengangguk dan berlalu.

"Kamu.. kenal baik dengan pemiliknya?"
"Lebih dari kenal mas, dia gadis yang sangat baik."

Basuki berdehem. Ia sekarang yakin bahwa Mery pemilik warung ini adalah Mery yang dikenalnya. Benarkah ada hubungan yang lebih diantara Mery dan Bagas? Bukankah Bagas tampak masih sangat muda, dan Mery pastinya jauh lebih tua darinya?

Pertanyaan demi pertanyaan bersahutan memenuhi benaknya.
"Pasti bukan sekedar kenal, aku melihat sendiri bagaimana dia menggenggam tangan Mery," bisik batin Basuki.

Ada yang aneh ketika dia merasa kurang senang melihat pemandangan itu. Basuki merasa bingung akan hatinya sendiri. Jatuh cintakah aku kepadanya?
Sesungguhnya Basuki mengajak Bagas bertemu bukan sekedar ingin makan bersama. Ia ingin mengajak Bagas membantu di perusahaannya. Tapi melihat sikap Bagas kepada Mery tadi, ia mengurungkan niatnya. Barangkali ia harus memikirkannya lagi.

"Mas, pesanannya sudah.. silahkan mas.." ajak Bagas sambil mendekatkan mangkok kehadapannya.
"Oh iya..."
"Mas, sebetulnya tadi mas mengajak makan disini tuh karena ada perlu, atau hanya karena ingin makan bersama saja?"
"Tidak apa-apa,  hanya ingin makan bersama kamu saja. Maunya memamerkan ada warung sederhana murah, tapi enak, ternyata kamu sudah lebih dulu tau tempat ini."
"Iya mas, tapi jangan kecewa, aku senang bisa makan bareng mas."

Basuki tersenyum. Sesekali dia melirik kearah dalam, karena Mery tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi.."

Bagas juga heran, mengapa Mery tiba-tiba menghilang. Ia memanggil salah seorang pelayan.
"Bu Mery mana?"
"Ada di ruang kerjanya mas, tadi bilang kurang enak badan, jadi tak ada yang berani mengganggu," kata pelayan itu.
"Oh, mbak Mery sakit.." gumam Bagas.

Basuki juga heran, tadi tampaknya baik-baik saja. Diakah yang menyebabkannya? Ia tak mau bertemu dirinya, lalu bersembunyi diruang kerjanya?

"Kamu sangat dekat sama Mery ?"
Bagas agak heran mendengar Basuki yang dikiranya belum mengenal mbak Mery nya, tapi menyebut namanya begitu saja.
"Sangat dekat mas."
Basuki baru teringat, tadi Bagas sudah menjawabnya.

"Rasanya aku jatuh cinta sama dia."
Pernyataan yang terus terang ini mengejutkan Basuki, walau dia sudah menduganya dari awal. 

***

"Benar-benar dia Sri.. benar-benar dia.." kata Mery tiba-tiba begitu memasuki rumahnya.
"Apa mbak? Siapa yang mbak maksud?  Dan hari masih siang mengapa mbak Mery sudah pulang?" Siapa sih yang mbak maksud?"

" Coba tebak siapa..?"
"Bocah itu ?"
"Bukan... Basuki.."
"mBak ketemu dia?"

"Dulu aku tau seseorang yang dari belakang seperti Basuki, ketika dia habis makan diwarung. Tapi aku tidak yakin karena sejak datang dia duduk menghadap kejalan."
"Lalu dia datang lagi?"

"Dia ternyata kenal sama Bagas. Tadi janjian makan bersama di warung."
"Lalu bagaimana? mBak menyapa dia..? Lalu sikapnya bagaimana ? Baik ? Atau dia masih marah sama  mbak?"

"Aku lari kebelakang, dan bersembunyi diruang kerjaku."
"Sayang sekali, harusnya bisa melepas rindu," canda Sri.

Mery merengut dibuat-buat, lalu langsung masuk kekamarnya.
Sri tersenyum-senyum sendiri. Sejak awal dia tau bahwa Mery sangat mencitai Basuki, tapi dia kecewa karena Basuki tak pernah mencintainya.  Apakah cinta itu masih ada? Atau sudah beralih kepada anak muda bernama Bagas itu? Tak terbayangkan bagaimana bingungnya Mery waktu itu.

Ketika Mery sudah mandi, Sri kembali mencecarnya dengan banyak pertanyaan. 
"Mengapa mbak tak mau menemuinya sehingga mbak tau bagaimana sikapnya sekarang? Apakah mbak merasa tak enak karena Bagas ada disana juga? Bagaimana sih sebenarnya perasaan mbak. Masih cinta sama Basuki?"

Mery tersenyum, tapi senyum yang teramat sulit diartikan. 
"mBak.."
"Aku bingung Sri.. Ketika dia datang Bagas sedang menggenggam tanganku. Nekat anak itu, aku ingin melepaskan tapi dia mencengkeram sangat kuat."

"Waah, romantis dong mbak.."
"Romantis itu apa sih. Rokok..makan.. gratis.."
Sri terkekeh mendengar kepanjangan dari kata-katanya.
"mBak Mery pintar juga ya... bagus.. rokok .. makan.. gratis..."

"Kamu itu seperti nggak tau perasaanku saja Sri."
"Aku tau, baiklah biar aku tebak. mBak Mery masih mencintai Basuki, tapi mbak Mery juga mulai menyukai Bagas, lalu keduanya datang dan mbak Mery bingung."
Mery mengangguk-angguk.

"Tebakanmu hampir tepat."
"Kalau begitu mbak Mery tinggal memilih saja kan?"
"Apa katamu? Bagaimana kalau Basuki masih membenci aku? Kamu lupa ketika polisi membawanya lalu dia menatap aku penuh kebencian? Aku pernah mengatakan itu bukan?"
"Apakah benci itu tak akan luntur?"
Mery menghela nafas.

"Besok aku tak akan pergi ke warung."
"Lhoh, nanti anak buah kebingungan mencari mbak dong."
"Tidak, mereka sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Ada Mini yang bisa mengatur semuanya."
"Mbak, bukankah masalah itu tidak harus dihindari tapi harus dihadapi ?"
Mery terdiam.

"Jangan-jangan dia masih cinta sama kamu."
"Lhah, mbak Mery mengada-ada nih.."
"Kamu kan masih ingat, ketika kamu menikah, dia memberikan hadiah sebuah leontin berbentuk jantung."
"Nah, ini namanya cemburu bukan?"
"Tidak, sungguh aku tidak cemburu sama kamu. Tapi siapa tau cinta itu masih ada."

"Lalu apa? Dia sudah mendo'akan aku agar aku bahagia, berarti dia sudah melepaskan rasa itu. mBak Mery jangan mengungkit masa lalu. Sebaiknya sekarang mbak Mery menghadapi dia dan melihat apa yang difikirkannya."

Mery menghempaskan tubuhnya disofa panjang. Menerawang jauh dan mencari dimanakah sebenarnya cintanya bersemayam. Masihkah ada diatas mega, atau sudah jatuh berderai menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak berarti.

Lalu wajah polos yang terpancar dari laki-laki muda yang ganteng itu bergantian  dengan wajah ganteng yang tampak matang dan penuh wibawa,  menari-nari dalam benaknya.

Mery teringat ketika melihat sosok tinggi besar yang mematung ditengah pintu masuk, menatapnya tajam, namun tak bisa dia membaca apa yang difikirkannya. Ia lebih dulu ketakutan apabila Basuki masih membencinya. Lalu dia memilih kabur. Tak tau bagaimana harus bersikap dihadapan Basuki dan Bagas sekaligus.

***

"Makan dimana tadi?" Kristin selalu bertanya ketika ajakan makan siangnya tak pernah terpenuhi.
"Seperti biasa."
"Apa teman kamu suka kamu ajak makan di warung langgnan kamu itu?"
"Suka lah, dia yang mengajak kesana."
"Masa?"
"Benar."

"Sebenarnya masakannya enak.." gumam Kristin seperti kepada dirinya sendiri.
"Nah, tau sendiri kan ?"
"Cuma tempatnya yang aku nggak suka. Agak kumuh begitu."
"Kumuh apanya? Aku lihat tempatnya bersih dan nyaman. Beda dong kalau mbak Kristin membandingkannya dengan restoran mewah, yang lantainya berkilat dan tempat duduknya juga nyaman, ber AC pula."
"Iya sih.. tapi tempat yang nyaman juga mempengaruhi selera kita lho."

Bagas tak menjawab. Berdebat dengan gadis kaya yang tak mau mengerti keadaan, sangat menjengkelkan. Dia tak pernah mau kalah, dan selalu berpendapat bahwa yang mewah itu yang terbaik. Sikap itu membuat Bagas ingin sekali menjauhinya.

Kemudian dia menyesal ketika bertemu Basuki lalu dia tidak minta saja agar diperbolehkan bekerja diperusahaannya. Tapi Bagas berjanji suatu sa'at akan melakukannya. 

"Bagas, kalau besok bisa makan bersamaku kan? Apakah masih ada janji dengan teman?"
Bagas kesal sekali. Mengapa yang dibicarakan hanya ingin makan bersama saja? Tak adakah topik lain yang lebih menarik, misalnya rencana kerja yang bisa lebih memajukan perusahaan ayahnya. Bagas juga heran mengapa pak Suryo menyerahkan perusahaannya ditangan gadisnya yang manja ini. Tapi sebenarnya diakuinya bahwa Kristin gadis yang cerdas. Apakah hanya karena suka sama dia maka sikapnya seperti itu?

"Bagaimana Gas?"
"Belum tentu, lagi pula aku tidak suka makan ditempat mewah."
"Mengapa?"
"Karena aku bukan orang kaya. Aku orang biasa saja."

"Bagas, kalau kamu mau, kamu bisa mendapatkan salary yang lebih baik, nanti aku akan usulkan pada papa."
"Tidak, tidak.. bukan itu yang aku inginkan, aku ingin maju dengan upayaku sendiri, bukan karena belas kasihan orang lain. Dan sekarang ijinkan aku bekerja dan mohon mbak jangan mengganggu lagi."

Tapi sikap ketus yang diperlihatkan Bagas tidak membuat Kristin mundur dan sakit hati. Ia masih merasa yakin bahwa kecantikannya akan bisa meluruhkan kesombongan Bagas.

"Papa.. bolehkah aku minta sesuatu ?" tanya Kristin pada sore itu, ketika ia tidak langsung pulang tapi menemui papanya terlebih dulu.
" Minta saja, apa sih yang enggak buat kamu?" canda pak Suryo.

"Bagaimana kalau papa menyerahkan saja perusahaan ini kepada Bagas?"
Pak Suryo menatap anaknya tajam. Perusahaan ini miliknya dan sudah seharusnya Kristinlah yang mengelolanya. Mengapa tida-tiba Kristin mengatakan itu?"
"Kristin, kamu sadar akan apa yang kamu katakan?"
"Kristin merasa lelah bekerja."

"Kamu itu sudah menjalankannya selama tiga tahun dan papa bangga kamu bisa memajukan perusahaan itu."
"Apakah menurut papa perusahaan kita maju ditangan Kritin?"
"Lumayan bagus, paling tidak terus berjalan dan tidak berhenti."
"Tapi Kristin merasa tidak mampu lagi."
"Mengapa tiba-tiba kamu berkata begitu?"
"Ya memang Kristin bosan."

"Lalu kamu akan melakukan apa? Duduk berpangku tangan, keluar masuk salon dan menghamburkan uang papa?"
"Papa kok begitu..?"
"Biarpun kamu perempuan, kamu tidak boleh hanya duduk berpangku tangan. Kamu masih muda, kamu harus berkarya."

Kristin mengeluh, wajahnya muram. Dan kalau sudah begitu biasanya pak Suryo menjadi luluh. Tapi tidak untuk kali itu. 

"Dengar Kristin, kamu tidak boleh berhenti, kecuali kamu sudah menikah dan suami kamu bisa mengelola perusahaan itu."
"Kalau begitu nikahkan saja Kristin," kata Kristin tanpa malu-malu.
Pak Suryo terperanjat. Ditatapnya wajah puterinya dengan mata berbinar.

"Kamu sudah punya pacar? Siapa? Apa dia seorang laki-laki yang pintar?"
Kristin bingung menjawabnya. Ia ingin menyebut nama Bagas, tapi keraguan menyelimutinya.

"Katakan Kristin," desak pak Suryo.
"Kristin... mencintai seseorang.." jawabnya lirih.
"Oh ya? Lalu apakah dia juga mencintai kamu?"
"Kristin tidak tau.."

"Menikahlah dengan orang yang mencintai kamu, bukan dengan orang yang kamu cintai. Mengerti?"
Kristin menatap ayahnya yang mengatakannya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Siapa laki-laki itu ?"

Kristin bingung, akankah dia berterus terang bahwa laki-laki itu Bagas? Walau dia tau bahwa ayahnya sangat memanjakannya, namun dia belum pernah berbicara tentang cinta. Bahkan ayahnya selalu menganggap bahwa Kristin masih kanak-kanak.
"Kok diam? Aku yakin dia sama sekali tidak tertarik sama kamu."

Tapi kemudian Kristin berfikir, bahwa ayahnya pasti akan membantunya mendekatkan dirinya dengan Bagas seandainya dia mengatakannya. Bukankah ayahnya sangat suka pada Bagas?

"Bagaimana kalau laki-laki itu Bagas?" terlontar begitu saja ucapan itu, dan pak Suryo benar-benar terkejut.

Pak Suryo teringat pembicaraannya dengan sahabatnya beberapa hari yang lalu. Bukankah ia ingin menjodohkan anak mereka masing-masing?
"Bagas? Bagas anaknya Darmono?"

***

"Bapak tau nggak, Bagas tadi diajak makan siang oleh mas Basuki," kata Bagas kepada ayahnya.
"Oh ya? Dimana ?"
"Ya diwarungnya mbak Mery."
"Pasti kamu yang mengajak dia kesana."
"Bukan pak, dia yang mengajak. Bagas tertawa ketika dia mengajak makan di warung itu. Dia mengira Bagas belum tau."

"Aneh, banyak orang suka makan diwarung itu. Tapi bapa sudah merasakan, memang timlonya enak."
"Sebenarnya Bagas ingin ngomong sama mas Basuki."
"Ngomong apa?"
"Bagaimana kalau Bagas ingin bekerka di perusahaan mas Basuki saja."
"Kamu nekat ingin resign dari sana ?"
"Iya pak.."

"Dengar Bagas, pak Suryo pernah megatakan sama bapak bahwa dia ingin menjodohkan kamu dengan Kristin."
Kalau ada geledeg menyambar tiba-tiba, pasti tak akan se terkejut hati Bagas ketika mendengar ucapan ayahnya.

Ia ingin mengucapkan sesuatu untuk menolak, tapi kemudian terdengar dering telpon di ponsel ayahnya.
"Sebentar, pak Suryo menelpon." kata pak Darmono sambil meletakkan jarinya dibibir, lalu dia menjawab telpon itu.

"Hallo mas, tumben sore-sore menelpon?"
"Ada berita baik untuk anak kamu Dar."
"Berita baik apa tuh mas?"

"Bagas akan aku minta agar dia menggantikan Kristin memegang perusahaan milikku."
Pak Darmono terkejut, sehingga ponselnya terjatuh.
***
besok lagi ya



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  06*

 

Bagas memungut ponsel ayahnya yang terjatuh. Untung tidak pecah lalu ambyar berkeping-keping..

 

"Bapak.. bagaimana sih.." katanya sambil memberikan  ponsel itu kepada ayahnya.

"Ah..iya..nggak tau bapak, tiba-tiba meloncat begitu saja. Rusakkah?  Nggak apa-apa kan?"

 

Sementara itu pak Suryo terus berteriak-teriak karena pak Darmono tidak menjawab.

"Hallo.. Hallo.. Darmono.. kamu masih disitu ..?"

"Hallo mas, waduh.. ponselku terjatuh mas, ma'af.."

"Waduuh.. untung nggak rusak.. "

"Iya, terkejut mendengar ucapan mas tadi. Bercanda kan?"

"Bercanda bagaimana? Biar aku suka bercanda, tapi untuk urusan pekerjaan mana bisa aku bercanda.. Ini serius dan sangat serius."


"Tapi kenapa mas? Bagas baru sebulan bekerja.. dan dia sedang belajar pastinya."
"Kristin bosan melakukannya."
"Tapi jangan begitu mas, aku takut Bagas mengecewakan."
"Tidak, dia tidak akan berjalan sendiri. Aku sama Kristin akan membantu."

"Tidak mas, ini bukan masalah sepele, aku harus bicara sama Bagas. Apakah dia sanggup atau tidak, karena ini menyangkut sebuah tanggung jawab yang berat.
"Baiklah, bicara dulu sama anakmu. Aku menunggu."

Ketika pembicaraan itu selesai, Bagas menatap ayahnya, ingin agar ayahnya mengatakan sesuatu, karena tadi dia menyebut namanya juga. Pak Darmono menatap anaknya lekat-lekat.

"Ada apa bapak?"
"Ini permintaan yang aneh, dan menurutku terlalu tergesa-gesa."
"Permintaan apa ?"
"Pak Suryo ingin kamu menggantikan pekerjaan Kristin."
"Apa maksudnya?"
"Dia minta agar kamu memegang perusahaan itu."
"Apa?" Bagas ternganga. Ia merasa seperti bermimpi. 
" Diserahi perusahaan? Memangnya siapa aku ini. Bukankah ada yang lebih berhak?" lanjutnya tak mengerti.
"Itulah, aku juga heran. Tampaknya itu terlalu berlebihan bukan?"

Bagas teringat kata-kata Kristin siang tadi, ketika bicara tentang salary yang lebih banyak. Pasti dia yang mengusulkannya pada ayahnya.
"Sangat berlebihan, dan Bagas tidak akan mau."
"Bagus le, tawaran yang tampak menggiurkan bukan berarti nyaman untuk dinikmati. Ini bukan sesuatu yang sepele, tapi berat."

***

Basuki memasuki warung dengan hati berdebar. Ia ingin ketemu Mery dan berbicara banyak. Ia duduk disebuah kursi kosong, menghadap kedalam, supaya bisa melihat Mery kalau dia kebetulan melintas diantara kesibukan para pelayan.

Ia memesan makan dan minum, lalu duduk sambil meletakkan kedua tangan diatas meja. Matanya nanap melihat kedalam, namun yang dicarinya tak tampak batang hidungnya,

Ketika pelayan mengantarkan pesanan, Basuki terpaksa menanyakannya.
"mBak Mery ada?"
"Sampai sa'at ini bu Mery belum datang pak."
"Biasanya datang jam berapa?"
"Biasanya sebelum warung buka sudah datang. Saya kurang tau mengapa sampai sekarang belum datang. Mungkin sakit, karena kemarin bilang kepala pusing."

Ketika pelayan ingin beranjak pergi, Basuki menahannya.
"Sebentar mas, kalau rumahnya bu Mery itu dimana ya?"
"Agak jauh mas,  didaerah Sukoharjo."
"Oh, baiklah, terimakasih."

Basuki menghirup es jeruk yang dipesannya. Ia ingat nama daerah itu, ketika dua orang anak buahnya mengejar si Sri. Apa itu rumahnya Timan? Apa Mery masih numpang dirumah Timan?

Basuki mengaduk nasinya, menyendoknya perlahan. Akankah dia mencari kesana? Tapi sungkan rasanya kalau nanti ketemu Timan, atau Sri..

Oh ya, dipapan nama warung didepan kan ada nomor telponnya. Pasti itu nomor ponsel Mery. Basuki berdiri sebentar dan mencatat nomor yang terpampang disana, lalu kembali duduk dan menikmati makan siangnya.

Selesai menyuapkan sendok terakhir, Basuki memutar nomor itu .
"Hallo selamat siang,"
Basuki berdebar. Suara itu amat dikenalnya, nyaring dan manis didengar.

"Mery..." bergetar Basuki menyapanya.
"Siapa ya?"
"Mery, kamu tidak lagi mengenali suaraku?"
Tak ada jawaban segera, Merypun sedang tergetar hatinya. Pasti dia tau bahwa itu suara Basuki. Ia ingin menutup ponselnya tapi tak sampai hati. 

"Mery ? Kamu masih disitu ?"
"Basuki ?"
"Ya aku, siapa lagi ?"
"Ada yang bisa dibantu?"
"Mery, kamu menyapa aku seperti menyapa orang asing."

Mery menata batinnya. Suaranya dia merasa tidak asing, tapi nadanya, lagunya, begitu halus dan lembut. Ini bukan seperti Basuki. Tampaknya dia sudah berubah. Tapi untuk apa dia menelponnya?

"Mery.." Basuki kembali menyapa, dan Mery merasa seperti ada hembusan angin dingin yang menerpa tengkuknya. Suara itu begitu manis dan mesra. 
"Ya.." bergetar suara Mery.
"Bisakah kita bertemu?"

Nah, ini membuat Mery curiga. Bertemu, lalu melakukan hal-hal yang tak pantas, untuk melampiaskan hawa nafsu? Tidak, Mery sudah berubah. Mery sudah mengenal yang namanya dosa, yang namanya pantas dan tidak pantas.

"Kamu tidak mau bertemu aku Mery?"
"Untuk apa?"
"Mery, aku kangen sama kamu," bergetar ucapan itu ketika dilontarkan, dan bergetar pula Mery mendengarnya. 

Tiba-tiba sebuah rentetan peristiwa ketika masih bersamanya, silih berganti menari di benaknya. Rindu, kangen, sayang, sudah sering diucapkannya. Tapi kali ini dengan suara berbeda, atau hanya karena perasaannya yang juga merasa kangen? Tidak, aku benci suasana itu. Basuki itu busuk, bejat, laknat.

"Mery.. sa'at ini aku ada diwarung kamu. Bisakah aku menunggu disini, atau aku datang ketempatmu?"

Mery menata hatinya. Ia ingin bertemu, di warung atau dirumah ini? Tadinya Mery mengira dia akan mengajaknya kerumah dia, atau ke sebuah hotel dan melakukan hal-hal busuk seperti dulu. 

"Mery.."
"Apa kamu ingin memarahi aku? Kamu dendam kepadaku karena aku membuatmu dipenjara?"
"Tidak Mery, tidak, aku sudah bertobat, jangan mengira aku menyukai  perbuatan itu, aku menyesal dan ingin menebusnya dengan perbuatan baik."

Mery terdiam. Perasaan curiga dan ingin bertemu bertarung dalam hatinya. Kalau curiga, tak usah datang, tapi ia juga ingin bertemu, menatap wajah garang tapi menghanyutkan, kala itu. Bagaimana sekarang keadaannya? Kemarin dia hanya melihatnya sekilas.

"Mery, aku akan kesini saja ya."
"Jangan.. aku sedang sakit."
"Kamu sakit apa?"
"Pokoknya sakit. Besok saja datang lagi ke warung."
"Jam berapa kamu ada di warung?"
"Jam sembilan aku sudah ada disana."
"Baiklah Mery, terimakasih banyak."

Ketika menutup ponselnya, Mery tertegun, selamanya Basuki belum pernah mengucapkan terimakasih atas apapun juga. Kebaikan yang diberikan untuk dia hanya semata ingin menyenangkannya dan dia tak perlu mengucapkan terimakasih. Tapi baru saja kata-kata itu terucap dari bibirnya.

Mery menghela nafas. Semoga dia benar-benar berubah.

***

"mBak, yuk makan dulu, aku sudah selesai memasak dan menatanya dimeja," ajak Sri sambil menjenguk kearah kamar Mery.

"Tiwi mana?"
"Sedang tidur, makanya aku bisa memasak lebih cepat. Ayo, nanti keburu dia bangun. Apa makannya harus aku bawa kesini mbak?""Jangan, aku kan cuma pusing sedikit, seperti orang sakit keras saja," kata Mery sambil bangkit.

"Tadi dapat telpon dari langganan ya?" tanya Sri setelah mereka duduk diruang makan.
"Dari Basuki."
"Basuki?" Sri membelalakkan matanya, lalu tersenyum nakal.
"Pantesan, pusingnya langsung hilang."
"Ah, kamu itu."
"Apa benar dia masih marah?"
"Nggak tau aku, tapi nadanya seperti enggak. Dia akan ke warung lagi besok. " 
"Aku bisa melihat, mbak Mery seperti sangat bahagia," canda Sri.

"Kamu itu bisa saja mengarang. Aku biasa-biasa saja."
"Sikap mbak Mery ketika menceritakan tentang Basuki, berbeda ketika mbak Mery bercerita tentang Bagas."
"Apa maksudmu?"
"mBak Mery suka sama Bagas, tapi tidak seperti rasa suka mbak Mery kepada Basuki."
Mery menghela nafas. 

"Aku suka anak itu. Dia baik, tampan, tapi masih sangat muda dibanding aku. Aku kira dia hanya membutuhkan sosok seorang ibu, dimana dia ingin bermanja."
"Dia tak mempunyai ibu?"
"Sejak dia masih bayi ibunya meninggal."
"Lalu dia dibesarkan ibu tiri?"
"Tidak, ayahnya tak pernah menikah lagi. Membesarkan Bagas dengan pembantunya yang setia."
"Oh, kasihan.."

"Kasihan.. benar, barangkali itulah yang aku rasakan. Tapi sungguh aku terkadang merasa bahagia berada didekatnya. Aku sering mengomel karena setiap kali dia makan selalu minta agar aku menungguinya, tapi aku senang melakukannya."

"Itu hanya rasa sayang, karena kasihan sama dia."
"Aku senang dia bermanja-manja sama aku. Tapi jauh rasanya kalau aku mengimbangi cintanya."

"Baiklah, aku berharap mbak Mery segera bisa menemukan seseorang yang benar-benar mencintai mbak Mery dengan sepenuh hati."
"Aamiin.. Do'akan aku ya Sri."
***

Hari itu seperti biasa Bagas datang kewarung. Begitu ia memarkir mobilnya, dilihatnya mobi Basuki berlalu.

"Bukankah itu mobilnya mas Basuki? Rupanya dia lebih dulu datang kemari. Aku terlambat. Sesungguhnya aku ingin minta agar mas Basuki mau menerima aku bekerja di perusahaannya. Aku benar-benar ingin resign, apalagi setelah dengan tiba-tiba pak Suryo meminta aku agar mengurus perusahaannya. Ini sangat aneh, dan aku yakin ini semua karena Kristin." gumam Bagas sambil turun dari mobilnya.

Ia ingin segera bertemu mbak Merynya dan mengeluhkan semua permasalahan yang dihadapinya.
Namun begitu dia duduk dan seorang pelayan mendekatinya, ia mendapat keterangan bahwa Mery tidak datang ke warung hari ini.

"Mengapa tidak datang?"
"Sepertinya bu mery sakit, karena kemarin pulang lebih awal dan bilang kepalanya pusing."
"Yaah, sakit apa dia?"
"Kurang tau mas.."
"Baiklah, buatkan aku makan."
"Mas mau pesan apa?"
"Seperti biasa saja, dan cepat ya."

Ketika pelayan itu pergi, Bagas menelpon Mery. Tapi lama sekali panggilan itu tak diangkatnya. Bagas mencobanya lagi dan lagi, tetap tak ada jawaban.
"Apakah dia benar-benar sakit?" gumam Bagas yang mulai merasa khawatir.

Begitu pelayan menghidangkan pesanannya, Bagas segera menyantapnya, bahkan tampak tergesa-gesa sehingga mulutnya menganga karena kepanasan.
"Bodoh aku, kan harus dibiarkan sebentar baru disantap," gumamnya.

"Bagaas..!"
Bagas tersentak, suara panggilan itu sangat dikenalnya dan sangat membuatnya kesal. Bagaimana si centhil itu tiba-tiba bisa menyusulnya?

Kristin tiba-tiba sudah duduk didepannya, lalu melambai kearah pelayan.
"Aku nasi goreng, pakai udang, minumnya es kopyor," pesannya begitu pelayan datang.

"mBak, kok tiba-tiba kesini? Lupa ya kalau ini cuma warung?"
"Bagas, kata papa aku harus belajar banyak dari kamu."
"Belajar apa? Aku ini orang biasa-biasa saja."
"Itulah, aku harus belajar menjadi orang biasa-biasa saja. Jadi biarpun agak sebel, aku ikuti saja kamu. Aku tau kamu tadi tiba-tiba menghilang disa'at jam makan siang. Kamu takut aku mengajakmu makan bersama bukan?"

Bagas menyendok nasinya dan mengunyahnya dengan nikmat, tak perduli pada apa yang dikatakan Kristin.
"Papa sudah bilang sama kamu?"

Bagas terkejut. Pasti yang dimaksud adalah tentang diserahkannya usaha pak Suryo itu kepada dirinya. Tapi Bagas tak mau membahasnya. Lebih baik ia pura-pura tidak tau.

"Sudah belum?" ulang Kristin.
"Aku belum ketemu pak Suryo."
"Oh, iya betul."

Bagas terus saja menyantap nasinya, sehingga begitu pesanan Kristin datang, ia sudah menghabiskan nasinya.

Seharusnya Bagas menghormati Kristin karena gadis itu adalah atasannya. Tapi karena sikap Kristin sendiri akhirnya Bagas memperlakukannya seperti teman biasa. Ia tak peduli seandainya harus dipecat sekalipun.

"Aku sudah selesai, bolehkah aku pulang dulu?" katanya  sambil meneguk minumannya.
Kristin tersedak pada suapan pertamanya karena terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia terbatuk-batuk dan itu membuat Bagas kasihan juga.

"Minumlah dulu.. kenapa sih bisa sampai tersedak begitu?"
Kristin menghirup minumannya sambil masih terbatuk-batuk sedikit.
"Kamu mau pergi sekarang? Meninggalkan aku sendiri disini?"
"Bukankah kamu juga datang sendiri ?"

"Bagas, jangan terlalu jahat sama aku, biar aku habiskan dulu nasiku ini, lalu kita pulang bersama."
"Bukan pulang bersama, bukankah kita membawa mobil sendiri-sendiri?"
"Tidak, aku tadi cuma diantar sopir. Jadi kita bisa pulang sama-sama," kata Kristin seenaknya sambil terus menikmati nasi gorengnya.
Bagas menghela nafas berat. 

***

Pak Darmono terkejut karena siang itu pak Suryo datang kerumah. Setelah pak Suryo mengatakan tentang Bagas yang akan diserahi perusahaannya, pak Darmono berfikir panjang. Ada apa sebenarnya dibalik ucapan itu.Sebuah anugerah yang berat untuk diterima, pak Darmono harus berhati-hati.

"Dar, kok bengong.."
Pak Darmno mencoba tertawa.
"Yang penting bukan seperti sapi ompong," candanya.
"Kamu sedang tidur?"
"Tidak, sedang melihat acara sinetron di televisi."
Pak Suryo tertawa.

"Kamu seperti emak-emak saja, suka menonton sinetron."
"Habisnya orang tua seperti aku, daripada tidur kan lebih baik menonton acara apapun di televisi. Oh ya, mau minum apa?"
"Tidak usah, aku mau bicara penting."

"Seperti yang mas bicarakan di telpon itu?"
"Ya, apa kamu sudah bicara sama anakmu?"
"Belum mas."

"Mengapa belum? Anakmu harus segera tau Dar. Ini demi masa depan dia."
"Bagas itu anak yang sederhana mas. Iming-iming kedudukan tidak akan membuatnya tergiur. Aku hampir yakin bahwa dia akan menolaknya."

"Mengapa? "
"Aku selalu mengajarkan padanya agar dia tak mudah tergiur oleh gemerlapnya bintang dilangit. Sejak masih kanak-kanak dia hidup sederhana dan tak pernah punya keinginan yang muluk-muluk. Jadi permintaan mas Suryo yang tiba-tiba pasti akan membuatnya bertanya-tanya."

"Bertanya-tanya bagaimana maksudmu?"
"Dia baru sebulan bekerja, mana mungkin tiba-tiba mendapat kepercayaan sebesar itu? Saya kira justru dia akan takut untuk menerimanya mas."

"Kan aku sudah bilang bahwa aku dan Kristin akan membantu sebelum dia benar-benar menguasainya."
"Harusnya Kristin yang menjalankannya, bukankah itu milik orang tuanya?"

"Dengar Dar, aku memintanya begitu bukan tanpa sebab."
"Jadi benar, ada sebabnya?"
"Aku ingin agar Bagas bisa menjadi menantuku." 
Pak Darmono terkejut.
***
besok lagi ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar