*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 05*
Basuki
masih tegak dengan menahan gemuruh dadanya, melihat Bagas menggenggam tangan
Mery. Apa yang terjadi dengan hatinya, Basuki sendiri tak menyadarinya.
Sementara
itu Bagas yang lebih dulu melihat kearah pintu terkejut melihat Basuki berdiri
disana, tak bergerak. Bagas mengira Basuki sedang mencari apakah dirinya sudah
datang atau belum. Serta merta Bagas melepaskan tangan Mery.
Mery pucat
pasi. Itu kan Basuki, tempat dimana mega bertaut dan menyembunyikan cintanya.
Mery tak tau apa yang akan terjadi nanti. Terakhir ia melihat Basuki ketika
polisi menggelandangnya kedalam mobil, dan Basuki menatapnya penuh kebencian.
Sakit melihat tatapan itu.
"Mas
! Sini.. aku juga baru datang," sapa Bagas. Tanpa sadar bahwa Mery sudah
lebih dulu berdiri dan melangkah kedalam dengan hati gundah.
Basuki
menatap punggung Mery dengan perasaan mengharu biru. Disadarinya Mery masih
secantik dulu, tapi penampilannya sungguh berbeda. Bukan gadis yang suka
berpakaian glamour dan dengan manisnya memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang
indah. Membiarkan separuh dadanya menyembul keluar dan membuatnya gila dalam
nafsu yang menggelegak. Namun Mery kecewa, yang diterimanya adalah pelampiasan
nafsu, bukan cinta, sementara dirinya menyerahkan semuanya karena cinta.
Aduhai, semuanya sudah berlalu. Hari demi hari, bulan dan tahun menggilas semua
kenangan manis tapi juga menyakitkan itu.
Mery
sembunyi dalam kebingungan yang menyentak. Ada ruang kerja yang tertutup, dia
duduk disana dan berkunci didalamnya.
"Mas,
kok bengong sih mas, aku sudah mendapatkan tempat duduk yang enak," kata
Bagas sambil berdiri lalu mendekati Basuki sambil menarik tangannya.
Basuki
mencoba tersenyum. Belum puas ia menyapa hatinya sendiri, menanyakan apa yang
terjadi sehingga pertemuan itu membuat hatinya gemuruh yang membuatnya luruh
dalam kebingungan.
"Sini
mas. Aku hampir tertawa ketika mas Basuki mengirimkan alamat warung ini. Aku
hampir setiap hari makan disini," kata Bagas gembira.
Basuki
perlahan menguasai hatinya, dan mencoba tersenyum.
"Aku
tidak mengira.."
"Ayo
mas, pesan apa yang mas ingin makan siang ini, pokoknya semuanya enak."
"Ya,
terserah kamu saja, aku ikut.."
"Mas
Basuki kok kelihatan lesu? Sakit?"
"Enggak,
kecapean mungkin.."
"Jangan
capek-capek lah mas.. biar banyak yang harus dikerjakan, mas juga harus ingat
kesehatan."
"Iya..
"
"Mas
sudah pernah datang kemari pasti, dan merasakan enaknya, sehingga siang
ini mengajak aku."
Pelayan
mendekat ketika Bagas melambaikan tangannya.
"Mas
Basuki mau makan apa? Aku nasi timlo saja.. minumnya teh hangat."
"Aku...
sama deh. Nasi timlo sama teh hangat."
Pelayan
mengangguk dan berlalu.
"Kamu..
kenal baik dengan pemiliknya?"
"Lebih
dari kenal mas, dia gadis yang sangat baik."
Basuki
berdehem. Ia sekarang yakin bahwa Mery pemilik warung ini adalah Mery yang
dikenalnya. Benarkah ada hubungan yang lebih diantara Mery dan Bagas? Bukankah
Bagas tampak masih sangat muda, dan Mery pastinya jauh lebih tua darinya?
Pertanyaan
demi pertanyaan bersahutan memenuhi benaknya.
"Pasti
bukan sekedar kenal, aku melihat sendiri bagaimana dia menggenggam tangan
Mery," bisik batin Basuki.
Ada yang
aneh ketika dia merasa kurang senang melihat pemandangan itu. Basuki merasa
bingung akan hatinya sendiri. Jatuh cintakah aku kepadanya?
Sesungguhnya
Basuki mengajak Bagas bertemu bukan sekedar ingin makan bersama. Ia ingin
mengajak Bagas membantu di perusahaannya. Tapi melihat sikap Bagas kepada Mery
tadi, ia mengurungkan niatnya. Barangkali ia harus memikirkannya lagi.
"Mas,
pesanannya sudah.. silahkan mas.." ajak Bagas sambil mendekatkan mangkok
kehadapannya.
"Oh
iya..."
"Mas,
sebetulnya tadi mas mengajak makan disini tuh karena ada perlu, atau hanya
karena ingin makan bersama saja?"
"Tidak
apa-apa, hanya ingin makan bersama kamu saja. Maunya memamerkan ada
warung sederhana murah, tapi enak, ternyata kamu sudah lebih dulu tau tempat
ini."
"Iya
mas, tapi jangan kecewa, aku senang bisa makan bareng mas."
Basuki
tersenyum. Sesekali dia melirik kearah dalam, karena Mery tiba-tiba lenyap
bagai ditelan bumi.."
Bagas juga
heran, mengapa Mery tiba-tiba menghilang. Ia memanggil salah seorang pelayan.
"Bu
Mery mana?"
"Ada
di ruang kerjanya mas, tadi bilang kurang enak badan, jadi tak ada yang berani
mengganggu," kata pelayan itu.
"Oh,
mbak Mery sakit.." gumam Bagas.
Basuki
juga heran, tadi tampaknya baik-baik saja. Diakah yang menyebabkannya? Ia tak mau
bertemu dirinya, lalu bersembunyi diruang kerjanya?
"Kamu
sangat dekat sama Mery ?"
Bagas agak
heran mendengar Basuki yang dikiranya belum mengenal mbak Mery nya, tapi
menyebut namanya begitu saja.
"Sangat
dekat mas."
Basuki
baru teringat, tadi Bagas sudah menjawabnya.
"Rasanya
aku jatuh cinta sama dia."
Pernyataan
yang terus terang ini mengejutkan Basuki, walau dia sudah menduganya dari
awal.
***
"Benar-benar
dia Sri.. benar-benar dia.." kata Mery tiba-tiba begitu memasuki rumahnya.
"Apa
mbak? Siapa yang mbak maksud? Dan hari masih siang mengapa mbak Mery
sudah pulang?" Siapa sih yang mbak maksud?"
"
Coba tebak siapa..?"
"Bocah
itu ?"
"Bukan...
Basuki.."
"mBak
ketemu dia?"
"Dulu
aku tau seseorang yang dari belakang seperti Basuki, ketika dia habis makan
diwarung. Tapi aku tidak yakin karena sejak datang dia duduk menghadap
kejalan."
"Lalu
dia datang lagi?"
"Dia
ternyata kenal sama Bagas. Tadi janjian makan bersama di warung."
"Lalu
bagaimana? mBak menyapa dia..? Lalu sikapnya bagaimana ? Baik ? Atau dia masih
marah sama mbak?"
"Aku
lari kebelakang, dan bersembunyi diruang kerjaku."
"Sayang
sekali, harusnya bisa melepas rindu," canda Sri.
Mery
merengut dibuat-buat, lalu langsung masuk kekamarnya.
Sri
tersenyum-senyum sendiri. Sejak awal dia tau bahwa Mery sangat mencitai Basuki,
tapi dia kecewa karena Basuki tak pernah mencintainya. Apakah cinta itu
masih ada? Atau sudah beralih kepada anak muda bernama Bagas itu? Tak
terbayangkan bagaimana bingungnya Mery waktu itu.
Ketika
Mery sudah mandi, Sri kembali mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
"Mengapa
mbak tak mau menemuinya sehingga mbak tau bagaimana sikapnya sekarang? Apakah
mbak merasa tak enak karena Bagas ada disana juga? Bagaimana sih sebenarnya
perasaan mbak. Masih cinta sama Basuki?"
Mery
tersenyum, tapi senyum yang teramat sulit diartikan.
"mBak.."
"Aku
bingung Sri.. Ketika dia datang Bagas sedang menggenggam tanganku. Nekat anak
itu, aku ingin melepaskan tapi dia mencengkeram sangat kuat."
"Waah,
romantis dong mbak.."
"Romantis
itu apa sih. Rokok..makan.. gratis.."
Sri
terkekeh mendengar kepanjangan dari kata-katanya.
"mBak
Mery pintar juga ya... bagus.. rokok .. makan.. gratis..."
"Kamu
itu seperti nggak tau perasaanku saja Sri."
"Aku
tau, baiklah biar aku tebak. mBak Mery masih mencintai Basuki, tapi mbak Mery
juga mulai menyukai Bagas, lalu keduanya datang dan mbak Mery bingung."
Mery
mengangguk-angguk.
"Tebakanmu
hampir tepat."
"Kalau
begitu mbak Mery tinggal memilih saja kan?"
"Apa
katamu? Bagaimana kalau Basuki masih membenci aku? Kamu lupa ketika polisi
membawanya lalu dia menatap aku penuh kebencian? Aku pernah mengatakan itu
bukan?"
"Apakah
benci itu tak akan luntur?"
Mery
menghela nafas.
"Besok
aku tak akan pergi ke warung."
"Lhoh,
nanti anak buah kebingungan mencari mbak dong."
"Tidak,
mereka sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Ada Mini yang bisa mengatur
semuanya."
"Mbak,
bukankah masalah itu tidak harus dihindari tapi harus dihadapi ?"
Mery
terdiam.
"Jangan-jangan
dia masih cinta sama kamu."
"Lhah,
mbak Mery mengada-ada nih.."
"Kamu
kan masih ingat, ketika kamu menikah, dia memberikan hadiah sebuah leontin
berbentuk jantung."
"Nah,
ini namanya cemburu bukan?"
"Tidak,
sungguh aku tidak cemburu sama kamu. Tapi siapa tau cinta itu masih ada."
"Lalu
apa? Dia sudah mendo'akan aku agar aku bahagia, berarti dia sudah melepaskan
rasa itu. mBak Mery jangan mengungkit masa lalu. Sebaiknya sekarang mbak Mery
menghadapi dia dan melihat apa yang difikirkannya."
Mery
menghempaskan tubuhnya disofa panjang. Menerawang jauh dan mencari dimanakah
sebenarnya cintanya bersemayam. Masihkah ada diatas mega, atau sudah jatuh
berderai menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak berarti.
Lalu wajah
polos yang terpancar dari laki-laki muda yang ganteng itu bergantian
dengan wajah ganteng yang tampak matang dan penuh wibawa, menari-nari
dalam benaknya.
Mery
teringat ketika melihat sosok tinggi besar yang mematung ditengah pintu masuk,
menatapnya tajam, namun tak bisa dia membaca apa yang difikirkannya. Ia lebih
dulu ketakutan apabila Basuki masih membencinya. Lalu dia memilih kabur. Tak
tau bagaimana harus bersikap dihadapan Basuki dan Bagas sekaligus.
***
"Makan
dimana tadi?" Kristin selalu bertanya ketika ajakan makan siangnya tak
pernah terpenuhi.
"Seperti
biasa."
"Apa
teman kamu suka kamu ajak makan di warung langgnan kamu itu?"
"Suka
lah, dia yang mengajak kesana."
"Masa?"
"Benar."
"Sebenarnya
masakannya enak.." gumam Kristin seperti kepada dirinya sendiri.
"Nah,
tau sendiri kan ?"
"Cuma
tempatnya yang aku nggak suka. Agak kumuh begitu."
"Kumuh
apanya? Aku lihat tempatnya bersih dan nyaman. Beda dong kalau mbak Kristin
membandingkannya dengan restoran mewah, yang lantainya berkilat dan tempat
duduknya juga nyaman, ber AC pula."
"Iya
sih.. tapi tempat yang nyaman juga mempengaruhi selera kita lho."
Bagas tak
menjawab. Berdebat dengan gadis kaya yang tak mau mengerti keadaan, sangat
menjengkelkan. Dia tak pernah mau kalah, dan selalu berpendapat bahwa yang
mewah itu yang terbaik. Sikap itu membuat Bagas ingin sekali menjauhinya.
Kemudian
dia menyesal ketika bertemu Basuki lalu dia tidak minta saja agar diperbolehkan
bekerja diperusahaannya. Tapi Bagas berjanji suatu sa'at akan
melakukannya.
"Bagas,
kalau besok bisa makan bersamaku kan? Apakah masih ada janji dengan
teman?"
Bagas
kesal sekali. Mengapa yang dibicarakan hanya ingin makan bersama saja? Tak
adakah topik lain yang lebih menarik, misalnya rencana kerja yang bisa lebih
memajukan perusahaan ayahnya. Bagas juga heran mengapa pak Suryo menyerahkan
perusahaannya ditangan gadisnya yang manja ini. Tapi sebenarnya diakuinya bahwa
Kristin gadis yang cerdas. Apakah hanya karena suka sama dia maka sikapnya
seperti itu?
"Bagaimana
Gas?"
"Belum
tentu, lagi pula aku tidak suka makan ditempat mewah."
"Mengapa?"
"Karena
aku bukan orang kaya. Aku orang biasa saja."
"Bagas,
kalau kamu mau, kamu bisa mendapatkan salary yang lebih baik, nanti aku akan
usulkan pada papa."
"Tidak,
tidak.. bukan itu yang aku inginkan, aku ingin maju dengan upayaku sendiri,
bukan karena belas kasihan orang lain. Dan sekarang ijinkan aku bekerja dan
mohon mbak jangan mengganggu lagi."
Tapi sikap
ketus yang diperlihatkan Bagas tidak membuat Kristin mundur dan sakit hati. Ia
masih merasa yakin bahwa kecantikannya akan bisa meluruhkan kesombongan Bagas.
"Papa..
bolehkah aku minta sesuatu ?" tanya Kristin pada sore itu, ketika ia tidak
langsung pulang tapi menemui papanya terlebih dulu.
"
Minta saja, apa sih yang enggak buat kamu?" canda pak Suryo.
"Bagaimana
kalau papa menyerahkan saja perusahaan ini kepada Bagas?"
Pak Suryo
menatap anaknya tajam. Perusahaan ini miliknya dan sudah seharusnya Kristinlah
yang mengelolanya. Mengapa tida-tiba Kristin mengatakan itu?"
"Kristin,
kamu sadar akan apa yang kamu katakan?"
"Kristin
merasa lelah bekerja."
"Kamu
itu sudah menjalankannya selama tiga tahun dan papa bangga kamu bisa memajukan
perusahaan itu."
"Apakah
menurut papa perusahaan kita maju ditangan Kritin?"
"Lumayan
bagus, paling tidak terus berjalan dan tidak berhenti."
"Tapi
Kristin merasa tidak mampu lagi."
"Mengapa
tiba-tiba kamu berkata begitu?"
"Ya
memang Kristin bosan."
"Lalu
kamu akan melakukan apa? Duduk berpangku tangan, keluar masuk salon dan menghamburkan
uang papa?"
"Papa
kok begitu..?"
"Biarpun
kamu perempuan, kamu tidak boleh hanya duduk berpangku tangan. Kamu masih muda,
kamu harus berkarya."
Kristin
mengeluh, wajahnya muram. Dan kalau sudah begitu biasanya pak Suryo menjadi
luluh. Tapi tidak untuk kali itu.
"Dengar
Kristin, kamu tidak boleh berhenti, kecuali kamu sudah menikah dan suami kamu
bisa mengelola perusahaan itu."
"Kalau
begitu nikahkan saja Kristin," kata Kristin tanpa malu-malu.
Pak Suryo
terperanjat. Ditatapnya wajah puterinya dengan mata berbinar.
"Kamu
sudah punya pacar? Siapa? Apa dia seorang laki-laki yang pintar?"
Kristin
bingung menjawabnya. Ia ingin menyebut nama Bagas, tapi keraguan
menyelimutinya.
"Katakan
Kristin," desak pak Suryo.
"Kristin...
mencintai seseorang.." jawabnya lirih.
"Oh
ya? Lalu apakah dia juga mencintai kamu?"
"Kristin
tidak tau.."
"Menikahlah
dengan orang yang mencintai kamu, bukan dengan orang yang kamu cintai.
Mengerti?"
Kristin
menatap ayahnya yang mengatakannya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Siapa
laki-laki itu ?"
Kristin
bingung, akankah dia berterus terang bahwa laki-laki itu Bagas? Walau dia tau
bahwa ayahnya sangat memanjakannya, namun dia belum pernah berbicara tentang
cinta. Bahkan ayahnya selalu menganggap bahwa Kristin masih kanak-kanak.
"Kok
diam? Aku yakin dia sama sekali tidak tertarik sama kamu."
Tapi
kemudian Kristin berfikir, bahwa ayahnya pasti akan membantunya mendekatkan
dirinya dengan Bagas seandainya dia mengatakannya. Bukankah ayahnya sangat suka
pada Bagas?
"Bagaimana
kalau laki-laki itu Bagas?" terlontar begitu saja ucapan itu, dan pak
Suryo benar-benar terkejut.
Pak Suryo
teringat pembicaraannya dengan sahabatnya beberapa hari yang lalu. Bukankah ia
ingin menjodohkan anak mereka masing-masing?
"Bagas?
Bagas anaknya Darmono?"
***
"Bapak
tau nggak, Bagas tadi diajak makan siang oleh mas Basuki," kata Bagas
kepada ayahnya.
"Oh
ya? Dimana ?"
"Ya
diwarungnya mbak Mery."
"Pasti
kamu yang mengajak dia kesana."
"Bukan
pak, dia yang mengajak. Bagas tertawa ketika dia mengajak makan di warung itu.
Dia mengira Bagas belum tau."
"Aneh,
banyak orang suka makan diwarung itu. Tapi bapa sudah merasakan, memang
timlonya enak."
"Sebenarnya
Bagas ingin ngomong sama mas Basuki."
"Ngomong
apa?"
"Bagaimana
kalau Bagas ingin bekerka di perusahaan mas Basuki saja."
"Kamu
nekat ingin resign dari sana ?"
"Iya
pak.."
"Dengar
Bagas, pak Suryo pernah megatakan sama bapak bahwa dia ingin menjodohkan kamu
dengan Kristin."
Kalau ada
geledeg menyambar tiba-tiba, pasti tak akan se terkejut hati Bagas ketika
mendengar ucapan ayahnya.
Ia ingin
mengucapkan sesuatu untuk menolak, tapi kemudian terdengar dering telpon di
ponsel ayahnya.
"Sebentar,
pak Suryo menelpon." kata pak Darmono sambil meletakkan jarinya dibibir,
lalu dia menjawab telpon itu.
"Hallo
mas, tumben sore-sore menelpon?"
"Ada
berita baik untuk anak kamu Dar."
"Berita
baik apa tuh mas?"
"Bagas
akan aku minta agar dia menggantikan Kristin memegang perusahaan milikku."
Pak
Darmono terkejut, sehingga ponselnya terjatuh.
***
besok lagi
ya
*CINTAKU
ADA DIANTARA MEGA 06*
Bagas memungut ponsel ayahnya yang terjatuh. Untung
tidak pecah lalu ambyar berkeping-keping..
"Bapak.. bagaimana sih.." katanya sambil
memberikan ponsel itu kepada ayahnya.
"Ah..iya..nggak tau bapak, tiba-tiba meloncat
begitu saja. Rusakkah? Nggak apa-apa kan?"
Sementara itu pak Suryo terus
berteriak-teriak karena pak Darmono tidak menjawab.
"Hallo.. Hallo.. Darmono.. kamu masih disitu
..?"
"Hallo mas, waduh.. ponselku terjatuh mas,
ma'af.."
"Waduuh.. untung nggak rusak.. "
"Iya, terkejut mendengar ucapan mas tadi.
Bercanda kan?"
"Bercanda bagaimana? Biar aku suka bercanda,
tapi untuk urusan pekerjaan mana bisa aku bercanda.. Ini serius dan sangat
serius."
"Tapi
kenapa mas? Bagas baru sebulan bekerja.. dan dia sedang belajar pastinya."
"Kristin
bosan melakukannya."
"Tapi
jangan begitu mas, aku takut Bagas mengecewakan."
"Tidak,
dia tidak akan berjalan sendiri. Aku sama Kristin akan membantu."
"Tidak
mas, ini bukan masalah sepele, aku harus bicara sama Bagas. Apakah dia sanggup
atau tidak, karena ini menyangkut sebuah tanggung jawab yang berat.
"Baiklah,
bicara dulu sama anakmu. Aku menunggu."
Ketika
pembicaraan itu selesai, Bagas menatap ayahnya, ingin agar ayahnya mengatakan
sesuatu, karena tadi dia menyebut namanya juga. Pak Darmono menatap anaknya
lekat-lekat.
"Ada
apa bapak?"
"Ini
permintaan yang aneh, dan menurutku terlalu tergesa-gesa."
"Permintaan
apa ?"
"Pak
Suryo ingin kamu menggantikan pekerjaan Kristin."
"Apa
maksudnya?"
"Dia
minta agar kamu memegang perusahaan itu."
"Apa?"
Bagas ternganga. Ia merasa seperti bermimpi.
"
Diserahi perusahaan? Memangnya siapa aku ini. Bukankah ada yang lebih
berhak?" lanjutnya tak mengerti.
"Itulah,
aku juga heran. Tampaknya itu terlalu berlebihan bukan?"
Bagas
teringat kata-kata Kristin siang tadi, ketika bicara tentang salary yang lebih
banyak. Pasti dia yang mengusulkannya pada ayahnya.
"Sangat
berlebihan, dan Bagas tidak akan mau."
"Bagus
le, tawaran yang tampak menggiurkan bukan berarti nyaman untuk dinikmati. Ini
bukan sesuatu yang sepele, tapi berat."
***
Basuki
memasuki warung dengan hati berdebar. Ia ingin ketemu Mery dan berbicara
banyak. Ia duduk disebuah kursi kosong, menghadap kedalam, supaya bisa melihat
Mery kalau dia kebetulan melintas diantara kesibukan para pelayan.
Ia memesan
makan dan minum, lalu duduk sambil meletakkan kedua tangan diatas meja. Matanya
nanap melihat kedalam, namun yang dicarinya tak tampak batang hidungnya,
Ketika
pelayan mengantarkan pesanan, Basuki terpaksa menanyakannya.
"mBak
Mery ada?"
"Sampai
sa'at ini bu Mery belum datang pak."
"Biasanya
datang jam berapa?"
"Biasanya
sebelum warung buka sudah datang. Saya kurang tau mengapa sampai sekarang belum
datang. Mungkin sakit, karena kemarin bilang kepala pusing."
Ketika
pelayan ingin beranjak pergi, Basuki menahannya.
"Sebentar
mas, kalau rumahnya bu Mery itu dimana ya?"
"Agak
jauh mas, didaerah Sukoharjo."
"Oh,
baiklah, terimakasih."
Basuki
menghirup es jeruk yang dipesannya. Ia ingat nama daerah itu, ketika dua orang
anak buahnya mengejar si Sri. Apa itu rumahnya Timan? Apa Mery masih numpang
dirumah Timan?
Basuki
mengaduk nasinya, menyendoknya perlahan. Akankah dia mencari kesana? Tapi
sungkan rasanya kalau nanti ketemu Timan, atau Sri..
Oh ya,
dipapan nama warung didepan kan ada nomor telponnya. Pasti itu nomor ponsel
Mery. Basuki berdiri sebentar dan mencatat nomor yang terpampang disana, lalu
kembali duduk dan menikmati makan siangnya.
Selesai
menyuapkan sendok terakhir, Basuki memutar nomor itu .
"Hallo
selamat siang,"
Basuki
berdebar. Suara itu amat dikenalnya, nyaring dan manis didengar.
"Mery..."
bergetar Basuki menyapanya.
"Siapa
ya?"
"Mery,
kamu tidak lagi mengenali suaraku?"
Tak ada
jawaban segera, Merypun sedang tergetar hatinya. Pasti dia tau bahwa itu suara
Basuki. Ia ingin menutup ponselnya tapi tak sampai hati.
"Mery
? Kamu masih disitu ?"
"Basuki
?"
"Ya
aku, siapa lagi ?"
"Ada
yang bisa dibantu?"
"Mery,
kamu menyapa aku seperti menyapa orang asing."
Mery
menata batinnya. Suaranya dia merasa tidak asing, tapi nadanya, lagunya, begitu
halus dan lembut. Ini bukan seperti Basuki. Tampaknya dia sudah berubah. Tapi
untuk apa dia menelponnya?
"Mery.."
Basuki kembali menyapa, dan Mery merasa seperti ada hembusan angin dingin yang
menerpa tengkuknya. Suara itu begitu manis dan mesra.
"Ya.."
bergetar suara Mery.
"Bisakah
kita bertemu?"
Nah, ini
membuat Mery curiga. Bertemu, lalu melakukan hal-hal yang tak pantas, untuk
melampiaskan hawa nafsu? Tidak, Mery sudah berubah. Mery sudah mengenal yang
namanya dosa, yang namanya pantas dan tidak pantas.
"Kamu
tidak mau bertemu aku Mery?"
"Untuk
apa?"
"Mery,
aku kangen sama kamu," bergetar ucapan itu ketika dilontarkan, dan
bergetar pula Mery mendengarnya.
Tiba-tiba
sebuah rentetan peristiwa ketika masih bersamanya, silih berganti menari di
benaknya. Rindu, kangen, sayang, sudah sering diucapkannya. Tapi kali ini
dengan suara berbeda, atau hanya karena perasaannya yang juga merasa kangen?
Tidak, aku benci suasana itu. Basuki itu busuk, bejat, laknat.
"Mery..
sa'at ini aku ada diwarung kamu. Bisakah aku menunggu disini, atau aku datang
ketempatmu?"
Mery
menata hatinya. Ia ingin bertemu, di warung atau dirumah ini? Tadinya Mery
mengira dia akan mengajaknya kerumah dia, atau ke sebuah hotel dan melakukan
hal-hal busuk seperti dulu.
"Mery.."
"Apa
kamu ingin memarahi aku? Kamu dendam kepadaku karena aku membuatmu
dipenjara?"
"Tidak
Mery, tidak, aku sudah bertobat, jangan mengira aku menyukai perbuatan
itu, aku menyesal dan ingin menebusnya dengan perbuatan baik."
Mery
terdiam. Perasaan curiga dan ingin bertemu bertarung dalam hatinya. Kalau
curiga, tak usah datang, tapi ia juga ingin bertemu, menatap wajah garang tapi
menghanyutkan, kala itu. Bagaimana sekarang keadaannya? Kemarin dia hanya
melihatnya sekilas.
"Mery,
aku akan kesini saja ya."
"Jangan..
aku sedang sakit."
"Kamu
sakit apa?"
"Pokoknya
sakit. Besok saja datang lagi ke warung."
"Jam
berapa kamu ada di warung?"
"Jam
sembilan aku sudah ada disana."
"Baiklah
Mery, terimakasih banyak."
Ketika
menutup ponselnya, Mery tertegun, selamanya Basuki belum pernah mengucapkan
terimakasih atas apapun juga. Kebaikan yang diberikan untuk dia hanya semata
ingin menyenangkannya dan dia tak perlu mengucapkan terimakasih. Tapi baru saja
kata-kata itu terucap dari bibirnya.
Mery
menghela nafas. Semoga dia benar-benar berubah.
***
"mBak,
yuk makan dulu, aku sudah selesai memasak dan menatanya dimeja," ajak Sri
sambil menjenguk kearah kamar Mery.
"Tiwi
mana?"
"Sedang
tidur, makanya aku bisa memasak lebih cepat. Ayo, nanti keburu dia bangun. Apa
makannya harus aku bawa kesini mbak?""Jangan, aku kan cuma pusing
sedikit, seperti orang sakit keras saja," kata Mery sambil bangkit.
"Tadi
dapat telpon dari langganan ya?" tanya Sri setelah mereka duduk diruang
makan.
"Dari
Basuki."
"Basuki?"
Sri membelalakkan matanya, lalu tersenyum nakal.
"Pantesan,
pusingnya langsung hilang."
"Ah,
kamu itu."
"Apa
benar dia masih marah?"
"Nggak
tau aku, tapi nadanya seperti enggak. Dia akan ke warung lagi besok.
"
"Aku
bisa melihat, mbak Mery seperti sangat bahagia," canda Sri.
"Kamu
itu bisa saja mengarang. Aku biasa-biasa saja."
"Sikap
mbak Mery ketika menceritakan tentang Basuki, berbeda ketika mbak Mery
bercerita tentang Bagas."
"Apa
maksudmu?"
"mBak
Mery suka sama Bagas, tapi tidak seperti rasa suka mbak Mery kepada
Basuki."
Mery
menghela nafas.
"Aku
suka anak itu. Dia baik, tampan, tapi masih sangat muda dibanding aku. Aku kira
dia hanya membutuhkan sosok seorang ibu, dimana dia ingin bermanja."
"Dia
tak mempunyai ibu?"
"Sejak
dia masih bayi ibunya meninggal."
"Lalu
dia dibesarkan ibu tiri?"
"Tidak,
ayahnya tak pernah menikah lagi. Membesarkan Bagas dengan pembantunya yang
setia."
"Oh,
kasihan.."
"Kasihan..
benar, barangkali itulah yang aku rasakan. Tapi sungguh aku terkadang merasa
bahagia berada didekatnya. Aku sering mengomel karena setiap kali dia makan
selalu minta agar aku menungguinya, tapi aku senang melakukannya."
"Itu
hanya rasa sayang, karena kasihan sama dia."
"Aku
senang dia bermanja-manja sama aku. Tapi jauh rasanya kalau aku mengimbangi
cintanya."
"Baiklah,
aku berharap mbak Mery segera bisa menemukan seseorang yang benar-benar
mencintai mbak Mery dengan sepenuh hati."
"Aamiin..
Do'akan aku ya Sri."
***
Hari itu
seperti biasa Bagas datang kewarung. Begitu ia memarkir mobilnya, dilihatnya
mobi Basuki berlalu.
"Bukankah
itu mobilnya mas Basuki? Rupanya dia lebih dulu datang kemari. Aku terlambat.
Sesungguhnya aku ingin minta agar mas Basuki mau menerima aku bekerja di
perusahaannya. Aku benar-benar ingin resign, apalagi setelah dengan tiba-tiba
pak Suryo meminta aku agar mengurus perusahaannya. Ini sangat aneh, dan aku
yakin ini semua karena Kristin." gumam Bagas sambil turun dari mobilnya.
Ia ingin
segera bertemu mbak Merynya dan mengeluhkan semua permasalahan yang
dihadapinya.
Namun
begitu dia duduk dan seorang pelayan mendekatinya, ia mendapat keterangan bahwa
Mery tidak datang ke warung hari ini.
"Mengapa
tidak datang?"
"Sepertinya
bu mery sakit, karena kemarin pulang lebih awal dan bilang kepalanya
pusing."
"Yaah,
sakit apa dia?"
"Kurang
tau mas.."
"Baiklah,
buatkan aku makan."
"Mas
mau pesan apa?"
"Seperti
biasa saja, dan cepat ya."
Ketika
pelayan itu pergi, Bagas menelpon Mery. Tapi lama sekali panggilan itu tak
diangkatnya. Bagas mencobanya lagi dan lagi, tetap tak ada jawaban.
"Apakah
dia benar-benar sakit?" gumam Bagas yang mulai merasa khawatir.
Begitu
pelayan menghidangkan pesanannya, Bagas segera menyantapnya, bahkan tampak
tergesa-gesa sehingga mulutnya menganga karena kepanasan.
"Bodoh
aku, kan harus dibiarkan sebentar baru disantap," gumamnya.
"Bagaas..!"
Bagas
tersentak, suara panggilan itu sangat dikenalnya dan sangat membuatnya kesal.
Bagaimana si centhil itu tiba-tiba bisa menyusulnya?
Kristin
tiba-tiba sudah duduk didepannya, lalu melambai kearah pelayan.
"Aku
nasi goreng, pakai udang, minumnya es kopyor," pesannya begitu pelayan
datang.
"mBak,
kok tiba-tiba kesini? Lupa ya kalau ini cuma warung?"
"Bagas,
kata papa aku harus belajar banyak dari kamu."
"Belajar
apa? Aku ini orang biasa-biasa saja."
"Itulah,
aku harus belajar menjadi orang biasa-biasa saja. Jadi biarpun agak sebel, aku
ikuti saja kamu. Aku tau kamu tadi tiba-tiba menghilang disa'at jam makan
siang. Kamu takut aku mengajakmu makan bersama bukan?"
Bagas
menyendok nasinya dan mengunyahnya dengan nikmat, tak perduli pada apa yang
dikatakan Kristin.
"Papa
sudah bilang sama kamu?"
Bagas
terkejut. Pasti yang dimaksud adalah tentang diserahkannya usaha pak Suryo itu
kepada dirinya. Tapi Bagas tak mau membahasnya. Lebih baik ia pura-pura tidak
tau.
"Sudah
belum?" ulang Kristin.
"Aku
belum ketemu pak Suryo."
"Oh,
iya betul."
Bagas
terus saja menyantap nasinya, sehingga begitu pesanan Kristin datang, ia sudah
menghabiskan nasinya.
Seharusnya
Bagas menghormati Kristin karena gadis itu adalah atasannya. Tapi karena sikap
Kristin sendiri akhirnya Bagas memperlakukannya seperti teman biasa. Ia tak
peduli seandainya harus dipecat sekalipun.
"Aku
sudah selesai, bolehkah aku pulang dulu?" katanya sambil meneguk
minumannya.
Kristin
tersedak pada suapan pertamanya karena terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia
terbatuk-batuk dan itu membuat Bagas kasihan juga.
"Minumlah
dulu.. kenapa sih bisa sampai tersedak begitu?"
Kristin
menghirup minumannya sambil masih terbatuk-batuk sedikit.
"Kamu
mau pergi sekarang? Meninggalkan aku sendiri disini?"
"Bukankah
kamu juga datang sendiri ?"
"Bagas,
jangan terlalu jahat sama aku, biar aku habiskan dulu nasiku ini, lalu kita
pulang bersama."
"Bukan
pulang bersama, bukankah kita membawa mobil sendiri-sendiri?"
"Tidak,
aku tadi cuma diantar sopir. Jadi kita bisa pulang sama-sama," kata
Kristin seenaknya sambil terus menikmati nasi gorengnya.
Bagas
menghela nafas berat.
***
Pak
Darmono terkejut karena siang itu pak Suryo datang kerumah. Setelah pak Suryo
mengatakan tentang Bagas yang akan diserahi perusahaannya, pak Darmono berfikir
panjang. Ada apa sebenarnya dibalik ucapan itu.Sebuah anugerah yang berat untuk
diterima, pak Darmono harus berhati-hati.
"Dar,
kok bengong.."
Pak Darmno
mencoba tertawa.
"Yang
penting bukan seperti sapi ompong," candanya.
"Kamu
sedang tidur?"
"Tidak,
sedang melihat acara sinetron di televisi."
Pak Suryo
tertawa.
"Kamu
seperti emak-emak saja, suka menonton sinetron."
"Habisnya
orang tua seperti aku, daripada tidur kan lebih baik menonton acara apapun di
televisi. Oh ya, mau minum apa?"
"Tidak
usah, aku mau bicara penting."
"Seperti
yang mas bicarakan di telpon itu?"
"Ya,
apa kamu sudah bicara sama anakmu?"
"Belum
mas."
"Mengapa
belum? Anakmu harus segera tau Dar. Ini demi masa depan dia."
"Bagas
itu anak yang sederhana mas. Iming-iming kedudukan tidak akan membuatnya
tergiur. Aku hampir yakin bahwa dia akan menolaknya."
"Mengapa?
"
"Aku
selalu mengajarkan padanya agar dia tak mudah tergiur oleh gemerlapnya bintang
dilangit. Sejak masih kanak-kanak dia hidup sederhana dan tak pernah punya
keinginan yang muluk-muluk. Jadi permintaan mas Suryo yang tiba-tiba pasti akan
membuatnya bertanya-tanya."
"Bertanya-tanya
bagaimana maksudmu?"
"Dia
baru sebulan bekerja, mana mungkin tiba-tiba mendapat kepercayaan sebesar itu?
Saya kira justru dia akan takut untuk menerimanya mas."
"Kan
aku sudah bilang bahwa aku dan Kristin akan membantu sebelum dia benar-benar
menguasainya."
"Harusnya
Kristin yang menjalankannya, bukankah itu milik orang tuanya?"
"Dengar
Dar, aku memintanya begitu bukan tanpa sebab."
"Jadi
benar, ada sebabnya?"
"Aku
ingin agar Bagas bisa menjadi menantuku."
Pak
Darmono terkejut.
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar