Minggu, 26 Juli 2020

Cinta Ada Diantara Mega 27-28


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  27*

Teriakan Mery membangunkan Sri dan suaminya,  juga mbah Kliwon. Mereka bergegas kebelakang.

"Ada apa mbak ?"
"Mery, kamu tidak usah panik, ibu tidak apa-apa," kata bu Sumini lemah, sambil mengguyur terus, bahkan sampai ke tubuhnya.

"Biar saya ambilkan air panas di termos," kata Sri, yang kemudian kembali membawa ember yang sudah berisi air panas.
"Ini bu, mengguyur tubuhnya pakai yang hangat, lainnya biar Mery yang bersihkan," kata Mery.
Timan dan mbah Kliwon beranjak kedepan, duduk di kursi bambu.

"Bu Sumini sudah pernah begitu, waktu dirumah saya. Tapi tak ada yang tahu." kata Timan.
"Iya nak, dia bilang jangan sampai ada yang tahu."
"Sebenarnya harus kita bawa ke rumah sakit."
"Tadi sudah berteriak-teriak bilang tidak mau. Dia perdarahan hampir tiap dua hari sekali."

"Apa yang harus kita lakukan ?"
"Penyakit seperti itu susah nak, kalau dibawa ke rumah sakit, hati si sakit akan bertambah ciut, ketakutan, dan itu tidak bagus untuk kesehatannya."
"Jadi bagaimana sebaiknya?"

"Menurut saya, biarkan saja dia menanamkan rasa percaya diri dan semangat, ditambah makanan bergizi tinggi agar daya tubuhnya kuat."
"Sesederhana ini?"
"Itu tidak sederhana. memupuk semangat itu tidak mudah."

Sementara itu dikamar bu Sumini sudah berganti pakaian bersih. Sri menggosok tubuhnya dengan minyak penghangat agar bu Sumini tidak kedinginan.

"Mengapa ibu mau minum segala macam jamu itu? mBah Kliwon mana tau tentang penyakit ibu."
"Jangan kamu menyalahkan pak Kliwon. Aku suka minum jamunya. Besok aku akan minta lagi."

"Ibu, kejadian tadi membuat Mery ketakutan. Jangan lagi minum jamu ya bu?"
"Sesungguhnya hampir tiap dua hari sekali ibu mengeluarkan darah."
"Apa ? Mengapa ibu tidak mengatakannya pada Mery ?"

"Tidak perlu, ibu sudah biasa. Dan setelah minum jamu pak Kliwon, ibu merasa lebih enak. Darah kehitaman itu racun yang keluar."
"Apa ?"

"Kamu jangan memikirkan ibu, kamu mau menikah, fikirkan pernikahan kamu. Dan berdo'alah agar ibu bisa menunggui kamu nanti."
"Mery sangat takut bu."
"Ibu baik-baik saja, sekarang sudah tidak lemas lagi. Biarkan ibu tidur."

Mery menatatap  ibunya sampai tampak terlelap, kemudian dia turun dari ranjang. Didengarnya masih ada yang berbincang, suara mbah Kliwon dan Timan.

***

"mBak Mery kok bangun," sapa Timan.
"Saya minta ma'af telah mengejutkan semua orang," kata Mery sambil duduk diantara mereka. Sementara dari dapur terdengar suara berkelutik, tampaknya Sri sedang membuat minuman.
"Tidak apa-apa, kami prihatin akan keadaan bu Sumini, semoga tidak apa-apa." kata Timan.
"Ibu sudah tidur. mBah Kliwon, saya ingin bertanya tentang jamu yang mbah Kliwon berikan untuk ibu saya. Sungguh saya ketakutan."

"Jamu itu tidak apa-apa. Biasa diminum banyak orang." kata mbah Kliwon.
"Apakah mbak Mery tahu bahwa bu Sumini sering mengalami perdarahan?" tanya Timan.
"Iya, baru tadi ibu mengatakannya. Ma'af tadi saya sempat hampir memarahi mbah Kliwon. Saya kira itu semua karena jamu yang mbah Kliwon berikan."

"Jamu itu bersifat menyerap racun dan mengeluarkannya. Seharusnya kotoran yang keluar tadi berwarna kehitaman," kata mbah Kliwon.
"Itu benar, warnanya kehitaman."

"Semoga itu sebagian racun yang keluar. Nanti darah yang keluar akan berwarna abu-abu.. lalu kemerahan. Itu proses menghilangnya racun."
Mery mengangguk-angguk. Ada sedikit perasaan lega mendengar penuturan mbah Kliwon.

"Ini wedang jahe untuk semua," kata Sri yang keluar dengan membawa beberapa gelas wedang jahe.
"Wah, ini.. suguhan khas mbah Kliwon," celetuk Timan.
"Silahkan mbak, bu Sumini suka sekali wedang jahe ini," kata Sri.

"Hm, masih panas, nanti aku habiskan Sri. Aduh, aku minta ma'af, membangunkan semua orang dimalam buta seperti ini."
"Tidak mbak, sudah sa'atnya pada bangun, ini hampir pagi," kata Sri.
"Apa kamu tahu tentang ibuku Sri? Tentang  perdarahan itu ?"

"Ya mbak, bu Sumini bilang, dia perdarahan hampir tiap dua hari sekali."
"Aku sama sekali tidak tahu. "
"Bu Sumini melarang saya memberitahukannya pada mbak Mery. Takut acara pernikahan mbak Mery terganggu."

"Apa yang harus aku lakukan ?" tanya Mery seperti kepada dirinya sendiri.
"Sebaiknya biarkan saja apa yang menjadi kemauan bu Sumini, jangan dipaksa, apalagi dipaksa ke dokter, karena suasana hati bu Sumini akan mempengaruhi kesehatannya juga," kata mbah Kliwon.

"Bagaimana dengan jamu-jamu itu ?"
"Kalau tidak keberatan, biarkan ibu Sumini meminum jamu-jamu itu. Paling tidak itu tidak akan membahayakan jiwanya."
"Bisakah menyembuhkan ?"

"Kalau masalah menyembuhkan atau tidak, saya tidak bisa mengatakannya. Karena biarpun obat ataupun jamu, tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan Tuhan Yang Maha Pengasih."
Mery mengangguk, lalu minum wedang jahe yang disuguhkan, diikuti yang lainnya.

"Benar-benar menyegarkan." kata Mery.

***

Pagi itu bu Sumini terbangun dan langsung kekamar mandi. Mery yang melihatnya segera memburunya, hatinya berdebar, mengira ibunya perdarahan lagi. Ia menunggu didepan pintu kamar mandi. Terdengar deburan air, hanya beberapa kali, lalu tercium aroma sabun yang wangi.

"Ibu ?"
"Sebentar, aku lagi mandi," sahut bu Sumini.

"Mau pakai air hangat ?"
"Tidak nduk, ini segar sekali."

Tak ada yang mencurigakan. Mery masuk kekamar dan menunggu. Ketika muncul, bu Sumini  telah berganti pakaian bersih.

"Ibu mandi ?"
"Iya."
"Mengapa tidak minta air hangat? Disini udaranya dingin sekali."
"Tidak apa-apa, segar mandi pakai air dingin."

Mery menunggui ibunya menyisir rambutnya yang panjang.
"Kalau kamu memaksa ibu untuk yang namanya kemo itu, rambut ibu ini akan menjadi rontok, dan lama-lama gundul."

"Darimana ibu tahu?"
"Dari tetangga ibu dulu. Kasihan dia."
Mery merasa lega, ibunya tidak sepucat semalam.

"Mery, aku malu mengatakannya.."
"Ada apa bu? Katakan saja, tidak usah malu. Ibu ingin sesuatu ?"

"Aku jam segini kok sudah lapar ya," kata bu Sumini sambil menggelung rambutnya.
Mery tersenyum lebar.

"Ibu, tadi Sri sudah membuat bubur pake sambel goreng."
"Ada sayurnya ? Sekarang aku suka makan sayur. Kata pak Kliwon aku harus kuat. Jadi makan sayur dan buah itu harus. Maukah nanti kamu beli ikan? Ikan itu juga sehat untuk ibu."

"Bagus bu,  Mery senang mendengarnya. Baiklah, nanti Mery pasti belikan. Ayo kedapur bu," kata Mery sambil menggandeng ibunya kearah dapur. Dilihatnya Sri sedang menata makanan dimeja.

"Sri, ibu mau makan sekarang, bolehkah ?"
"Oh, tentu saja boleh bu. Mau bubur atau nasi ? Sri bikin bubur gurih lho bu."
"Ya, aku mau.."
.
Mery menemani ibunya makan. Sri menatapnya dengan senang
"Mana yang lainnya?"
"Mas Timan lagi jalan-jalan sama Tiwi. Mungkin kerumah pak lurah."

"Simbah mana ?"
"Lagi dikebun. Biasa, mencari jahe, atau bahan-bahan jamu."

"Jangan lupa simbah diingatkan ya nak Sri, aku minta jamunya lagi." kata bu Sumini.
Sri menatap Mery,  ia menunggu persetujuannya.

"Ibu merasa sehat ?"
"Merasa jauh lebih baik."

"Baiklah. Oh ya, bagaimana ibu, jadi mau jalan-jalan ?"
"Mau, setelah aku minum jamu."
"Baiklah. Sri, ayo kita bersiap-siap, siapa saja yang mau ikut."
"Ya mbak, kita tunggu mas Timan sebentar."


***


Bagas sudah berpamitan kepada seluruh staf yang ada diperusahaan itu. Ini adalah hari terakhir. Hari sudah menjelang sore. Bagas ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Kristin, tapi sangat susah mengucapkannya. Ia tahu wajah cantik itu menatapnya dengan sendu.

"Bagaaas.."
Bagas mengangkat wajahnya.

"Ini hari terakhir kamu bekerja bersama aku disini."
"Ya mbak. Apakah sudah ada pengganti aku disini ?"
"Tidak, aku tidak mencarinya."
"Mengapa mbak ?"

"Tidak ingin saja, nggak tahu nanti papa bagaimana."
"Semoga perusahaan ini semakin maju dibawah tangan mbak Kristin."

"Bagaaas.."
"Ya.."
"Aku nanti jadi ya.."
"Jadi apa?"
"Aku sudah menerima undangan mbak Mery."
"Oh. Mau datang ke desa ?"

"Aku ingin tahu seperti apa pesta didesa."
"Ya pasti tidak seindah dan semewah kalau pesta di kota."
"Aku ingin tahu."
"Lalu ?"

"Bagas, aku kan sudah bilang mau ikut kamu."
"Tapi aku berangkat siang bersama bapak."

"Nggak apa-apa, nanti aku ikut berangkat siang."
"Sungguh ?"
Kristin mengangguk, seperti anak kecil ditawari mainan bagus.

"Terserah, tapi jangan menyesal kalau suasananya tidak menyenangkan."
"Aku tidak akan menyesal."
"Baiklah, nanti aku kabari. Sekarang aku pamit dulu ya  mbak."

Bagas mendekat ke meja Kristin, mengulurkan tangannya. Kristin menangkap tangan itu dengan gemetar.

"Kalau ada kesalahan aku selama bekerja, aku mohon ma'af," lirih suara Bagas.
"Bagaas..." bergetar suara itu.

"Aku yang banyak salah sama kamu. Ma'af ya." Dan dua titik air mata runtuh, mengalir  disepanjang pipi kemerahan itu.

Bagas ingin mengangkat tangannya untuk mengusap air mata itu, tapi Kristin keburu mengusapnya dengan selembar tissue.

"Jangan menangis lagi mbak."
"Jangan panggil aku mbak, panggil aku Kristin. Aku bukan atasan kamu lagi." Kristin kembali mengusap air matanya.
"Baiklah... Kristin.."

Lalu dua pasang mata itu bertaut, berbicara dengan bahasa masing-masing. Bahasa yang menggemuruhkan hati kedua insan muda itu.

"Aku pamit dulu, Kristin."
"Jangan ucapkan selamat tinggal, Bagas." Kristin terisak.

Bagas hanya bisa mengangguk. Tak ingin larut dalam suasana yang membuatnya pilu itu, Bagas kemudian melangkah keluar. Meninggalkan isak tertahan yang sempat tertangkap ditelinganya.

***

Bu Sumini tampak letih setelah pulang dari jalan-jalan itu. Mereka berangkat sudah siang dan menjelang sore baru kembali.
Mery khawatir melihat wajah bu Sumini tampak pucat.

"Ibu tidak apa-apa?"
"Tidak, ibu mau tidur saja, bolehkah ?"

"Tentu saja boleh ibu. Ayo kekamar saja, dan tidurlah, Tapi ibu belum lapar ?"
"Nanti saja, kan tadi barusan makan dijalan."

"Ya sudah, sekarang ibu tidur, Mery mau mengambil baju-baju yang nanti dipakai ibu ketika Mery menikah."
"Haruskah beli lagi ?"

"Basuki sudah membelikan semuanya. Tapi nanti setelah ini Mery tidur dirumah bu lurah ya bu, apa ibu mau ikut?"
"Tidak, aku tidur disini saja."

"Bu, minum wedang jahenya dulu, " kata Sri tiba-tiba sambil membawa segelas wedang kekamar bu Sumini.
"Oh, sudah ada wedang jahe."
"Simbah sudah menyiapkannya. Minumlah dulu baru istirahat ya bu."

"Sri, aku titip ibu dulu, aku akan mengambil baju-baju yang akan dipakai ibu nanti. Dan jangan lupa, ada juga baju untuk kamu, untuk mas Timan , mbah Kliwon dan pak Darmin."
"Waah, terimakasih banyak mbak."

"Tukang rias akan datang sore nanti, agar aku dan Basuki bisa mengepas baju-baju yang akan dipakai."
"Ya mbak, biar ibu Sumini sama aku."

***

"Bapak, besok kalau kita berangkat harus nyamperin Kristin dulu."
"Memangnya dia mau ikut ?"
"Iya, dia mau ikut."
"Ke desa?"
"Iya."

"Hm, bagus lah, semoga dia senang melihat suasana yang berbeda nanti. Tapi kita harus berangkat siang lho Gas. Aku sama kamu belum ngepas baju juga. Semoga pilihan Basuki cocog untuk tubuhku."

"Aku sudah bilang sama dia kalau harus berangkat siang.,"
"Dia mau?"
"Mau."

"Rupanya kamu lama kelamaan harus memikirkan dia juga Gas.,"
" Memikirkan bagaimana pak ?"
"Susah menolak cinta seorang gadis secantik Kristin."
"Ah, kata siapa pak?"
"Biasanya begitu. Bapak ingin membuktikannya nanti."
"Bapak ada-ada saja."

"Buktinya dia sudah mau ikut bersama kamu, biarpun tempatnya didesa. Berarti dia ingin mengatakan bahwa bagaimanapun keadaannya dia sanggup menjalani."
"Bapak pintar sekali menghubung-hubungkan sesuatu, padahal belum jelas."
"Nanti akan jelas Gas, bapak akan membuktikannya."

Bagas tersenyum, mencoba bertanya pada hatinya. Apa itu benar? Ah.. tapi sepasang mata itu memang sangat sulit dilupakannya.

***

Sore itu sepeninggal Mery, bu Sumini ingin memejamkan matanya sejenak. Ia merasa sangat letih. Namun tiba-tiba kembali perutnya melilit. Sakit sekali. Bu Sumini bangkit, lalu melangkah kekamar mandi.

"Mau kemana bu ?" tanya Sri.
"Kamar mandi," kata bu Sumini tergesa-gesa, lalu mengunci kamar mandi itu.

Sri mengikutinya, khawatir bu Sumini membutuhkan sesuatu.
"Bu, saya bawakan air hangat ya bu, supaya tidak kedinginan?"

Bu Sumini tidak menjawab, tapi Sri mendengar sebuah keluhan lemah, seperti sedang menahan sakit.

"Bu..."
Tak ada jawaban. Sri berdebar. Ia ingin membuka pintu, tapi terkunci dari dalam.

***

besok lagi ya


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  28*

Sri sangat cemas. Digedornya pintu,  yang terdengar hanya keluhan.
“Bu, bu Sumini, ada apa bu? Tolong buka pintunya bu.”

Tapi tak lama kemudian terdengar siraman air, bertubi-tubi. Sri sedikit merasa lega, berarti bu Sumini tidak pingsan.

“Bu... ibu baik-baik saja ?”
“Tidak apa-apa nak...”

Lalu deburan berkali-kali terdengar lagi.
“Bagaimana kalau ibu buka pintunya?”
“Ya, sebentar lagi nak,” suara bu Sumini bergetar.

Sri pergi kearah dapur. Ia menuang segelas  wedang jahe, barangkali bu Sumini membutuhkannya. Lalu diletakkannya didalam kamar bu Sumini.

“Ada apa?” Tanya mbah Kliwon dari arah depan.
“Bu Sumini mbah, tampaknya dia perdarahan lagi. Masih dikamar mandi. Sri menyiapkan wedang jahe, barangkali bu Sumini membutuhkannya.”
“Oh, ya.. baguslah.”

“mbah, kalau orang terus-terusan mengeluarkan darah, apa lama-lama tidak kehabisan darah?”
“Ya pastinya nduk, tapi simbah sudah membubuhkan jamu untuk penambah darah. Semoga tidak akan lama dia begitu.”

Terdengar kamar mandi dibuka. Sri mendekat.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Tidak nak, sebentar, ibu mau menggantikan pakaian ibu ini.”

Sri menuntun bu Sumini karena bu Sumini tampak terhuyung.
“Apa ibu mengeluarkan darah lagi?” Tanya mbah Kliwon.
“Ya, pak.. “

“Masihkah darahnya berwarna hitam ?”
“Sudah agak kepucatan. Perut saya tadi sakit sekali. Seperti itu setiap mau mengeluarkan darah.”
“Itu bagus. Sekarang ibu istirahat saja dulu.”

“Sudah saya buatkan wedang jahe bu, saya taruh dimeja.”
“Biar aku ganti pakaian dulu, nanti aku minum.”
“Lalu ibu istirahat saja dulu ya.”
“Baiklah,  tapi tolong  tidak usah bilang sama Mery tentang kejadian tadi.”
“Ya bu.”

Sri keluar dari kamar dan menutupkan pintunya. Kemudian ikut duduk dikursi bamboo bersama mbah Kliwon.

“Lastri tidak menginap disini ya Sri?”
“Tidak, kemarin mas Bayu sudah menjemput, lalu pulang. Nanti dua hari lagi pasti kemari lagi sampai selesai  acara.”
“Semoga semuanya berjalan lancar, dan bu Sumini bisa menyaksikan pernikahan mbak Mery.”

***

“Kristin, apa benar kamu mau ikut Bagas pergi menghadiri pernikahan mbak Mery?” Tanya pak Suryo ketika Kristin kerumah ayahnya.
“Iya pa, Kristin sudah bilang sama Bagas.”

“Tapi kan Bagas sama bapaknya itu termasuk panitia. Datangnya pasti lebih awal.”
“Mereka berangkat siang. Kristin sudah bilang mau.”
“Benar, kamu mau?”
“Iya.”
“Ya, baguslah kalau begitu.”

“Papa mau ikut ?”
“Enggak lah, nanti titip kado saja , tolong siapkan apa, yang pantas. Dari papa mama sendiri, dari kamu juga sendiri. Kan papa juga dapat undangannya.”
“Iya pa, nanti Kristin belikan yang bagus.”

“Bilang mama, pasti mama bisa memilihkan yang cocog.”
“Iya nanti Kristin mau sama mama saja,  Pasti mama juga bisa memilihkan baju yang pas buat Kristin.”

“Awas ya, jangan baju-baju yang seperti dulu. Nanti Bagas tidak suka. Kan kamu berangkatnya sama Bagas nantinya.”
“Iya papa, Kristin sudah tahu. Sekarang saja Kristin pergi sama mama ya.”

“Mama lagi masak didapur. Kalau pengin cepat ya kamu harus bantuin.”
“Pasti pa, Kristin juga sudah bisa masak. Menggoreng tempe.. menumis bumbu.”
“Bagus, anak papa harus pintas memasak seperti mamanya. Supaya nanti disayang suami,” kata pak Suryo menggoda.

Kristin tertawa, lalu beranjak kebelakang mencari ibunya.

***

“Bagaimana keadaan ibu ?” Tanya Basuki yang baru datang untuk menemui Mery.
“Baik, aku titipkan ibu pada Sri. Saya ajak tidur dirumah pak lurah, ibu tidak mau. Lebih suka dirumah mbah Kliwon sama Sri.”

“Bukankah hari ini harus kontrol ke dokter ?”
“Ibu tidak mau.”
“Tidak mau? Bagaimana dengan obat-obatnya ?”
“Dibujuk siapapun ibu tidak mau. Barangkali menunggu kalau acara ini selesai.”

“Tapi obatnya bagaimana ? Apa belum habis ?”
“Susah memberi tahu ibu. Terkadang diminum, terkadang juga tidak. Sekarang ini malah minum jamu-jamu yang dibuatkan mbah Kliwon.”

“Jangan sembarangan meminum jamu, nanti bertentangan dengan obat dokter. Dan kalau terjadi apa-apa nanti dokter akan menegur kita.”
“Aku sudah memperingatkannya. Kata ibu badannya jauh lebih segar. Entahlah Bas, buat aku sekarang ini, yang penting ibu nyaman dulu. Kalau dipaksa ke dokter  ibu bisa stress, ketakutan, lalu selalu membayangkan bahwa dia mau meninggal.”

“Lalu bagaimana sebaiknya ?”
“Biar saja dulu sampai acara kita selesai. Katanya jamu yang diberikan mbah Kliwon membuat ibu lebih segar.”
“Ah, aku kok tidak percaya. Jangan-jangan hanya karena ibu itu ketakutan.”
“Mungkin mas, tapi aku lihat memang ibu sepertinya baik-baik saja.”

“Kapan kamu mengantarkan baju-baju ini ?”
“Sekarang saja mas, supaya kalau barangkali kebesaran atau kekecilan masih ada waktu untuk memperbaikinya.”
“Kalau begitu  aku ikut, sebelum kembali ke hotel.”

***

Tapi Basuki melihat bu Sumini seperti baik-baik saja. Ia menyambut Basuki dengan senyuman mengembang. Dan tak ada wajah pucat kesakitan.

“Ibu, apa kabar ?”
“Baik, nak Basuki, lihat, ibu sangat sehat.”
“Iya bu, senang saya melihatnya. Tapi ibu tidak ingin kontrol ? Kan sudah waktunya.”
“Tidak usah nak,  sudah, fikirkan saja acara pernikahan kalian, jangan memikirkan ibu. Ibu tidak ingin kontrol lagi.”
“Lho, kok gitu bu ?”

“Ibu tuh ngeri melihat dokternya nak, sungguh ibu ketakutan. Bayangan ibu hanya mati saja kalau masuk rumah sakit itu.”
“Baiklah bu, kita lihat saja nanti. Tapi kalau ibu merasakan sesuatu, ibu harus mau dibawa kerumah sakit ya.”
“Iya, gampang lah nak.”
“Ibu itu, jangan meremehkan penyakit lho bu.”
“Iya nak, ibu tahu. “

Mery sudah meletakkan semua baju yang nanti akan dipakai pada semua acara, dan menyerahkan semuanya pada Sri. Dia yang akan mengatur segala sesuatunya.

Acara tinggal dua hari lagi. Kesibukan mulai tampak disekitar Balai Desa.  Teratak untuk para tamu yang hampir semuanya dari warga desa, dan papan untuk pagelaran wayang kulit, mulai ditata. Janur dan bunga-bunga menghiasi tempat acara diadakan.
Basuki sudah kembali ke hotel dan dilarang datang menemui calon isterinya sampai acara pernikahan tiba.

***

Pagi itu lagi-lagi bu Sumini tanpa malu-malu bilang kepada Sri bahwa dia sangat lapar.
“Iya bu, sudah ada, tadi masak ikan asam manis. Sama ca sawi, sudah siap dimeja.”
Bu Sumini tersipu.

“Saya sebenarnya malu, setiap kali bilang lapar, padahal disini bukan rumah sendiri,” kata bu Sumini ketika Sri mengajaknya duduk di kursi makan.
“Mengapa ibu harus malu? Bukankah Sri juga anaknya ibu?”

“Ibu juga heran, mengapa akhir-akhir ini ibu sering merasa lebih cepat lapar.  Padahal sebelumnya tidak begini, susah sekali makan, kalau tidak dipaksa enggan makan. Itupun cuma sedikit.”
“Itu bagus bu,  Kalau orang sehat, bawaannya pengin makan. Bukankah sa’at sakit ibu hampir tidak punya nafsu makan?”
“Mungkin memang ibu lebih sehat, entahlah.”

“Ibu masih sering mengeluarkan darah?”
“Sudah tiga hari ini setiap sore saya mengeluarkan darah. Ma’af, lagi makan ngomong yang menjijikkan.”

“Tidak apa-apa bu, ini kan masalah penyakit. Apakah warna darahnya masih kehitaman ?”
“Semakin lama tidak lagi kehitaman. Semalam benar-benar darah segar.”
“Itu bagus bu, berarti racun didalam tubuh berangsur hilang,” sambung mbah Kliwon yang tiba-tiba datang.

“mBah, sini.. makan sekalian. Ini ikan yang simbah bawa semalam, Sri sudah memasaknya.”
“Iya, saya mendahului makan pak, ma’af ya.”
“Tidak apa-apa bu, silahkan saja, dan habiskan sekalian malah saya suka. Saya melihat ibu sangat bersemangat pagi ini.”

“Benar ya mbah, senang melihatnya. Berarti besok bu Sumini bisa menghadiri akad nikahnya mbak Mery sama mas Basuki,” kata Sri menimpali.
“Pasti bisa, ya kan bu? Ibu bersemangat karena ibu juga bahagia, puteri satu-satunya mau menikah.”

“Ibu sudah mencoba bajunya kan ? mBak Mery memilihkan yang pas untuk ibu.”
“Mengapa bajunya banyak sekali yang untuk aku?”
“Yang putih, untuk acara akad nikah, yang hijau untuk resepsinya.”
“Hm, pakai ganti baju segala.”
“Tidak apa-apa bu, mbak Mery sudah menyiapkan semuanya, ibu harus memakainya.”
“Ya, baiklah.”
“Yang untuk simbah sudah Sri taruh dikamar. Yang untuk bapak sudah Sri antarkan kerumah. Bapak senang sekali dapat baju baru.

"Ini pernikahan yang luar biasa. Menyenangkan orang-orang desa dengan larangan menyumbangkan apapun yang berupa uang atau barang. Justru memberi hadiah kepada orang-orang sekitar. Bukan main nak Basuki. Ia benar-benar menjadi Basuki yang berbeda. Semoga mereka akan bahagia selamanya."

"Aamiin mbah, itu benar. Semua orang juga akan bahagia bersamanya."
"Ini penebusan dosa yang bukan main. Banyak manfa'at bagi orang lain."

***

"Mengapa kamu sudah berdandan? Acara akad nikah masih sore hari, resepsi malamnya. Apa tidak kusut nanti baju kamu ?" tegur Bagas ketika menjemput Kristin.

"Tidak apa-apa, aku membawa beberapa baju untuk ganti. Aku juga membawa alat rias, barangkali nanti ada yang belum dirias aku akan membantunya."
"Oh, pantesan kamu membawa tas yang besar."

"Bapak mana ?" tanya Kristin.
"Aku menjemput kamu dulu, sambil berangkat menjemput bapak sekalian."
"Oh, kirain cuma kita berdua."

"Bapak kan wakil dari pihak pengantin laki-laki. Jadi nanti bapak langsung ke hotel."
"Kamu juga ke hotel?"
"Iya."
"Tapi aku kan perempuan sendiri?"

"Nanti kamu aku antarkan kerumahnya mbah Kliwon. mBak Sri dan ibunya mbak Mery ada disana."
"Banyak orang ya disana?"
"Namanya orang lagi punya kerja, ya wajarlah kalau banyak orang. Tapi dirumah mbah Kliwon tidak banyak. Katanya hanya mbak Sri dan ibunya mbak Mery."
"Oh..."

"Mau tidak ? Atau ikut ke hotel saja?"
"Nggak, aku kerumah mbah Kliwon saja."
"Rumah orang dusun lho."

"Bagas, mengapa kamu bersikap seakan-akan aku tidak mau bergaul dengan orang dusun, atau menuduh aku pasti tidak suka berada dirumah orang dusun. Aku sudah banyak belajar Bagas, aku akan begaul dengan banyak kalangan."
"Wouw, itu bagus. Aku suka."

"Kamu suka?"
"Apa?" tiba-tiba Bagas terkejut sendiri dengan kata-katanya.
"Kamu suka aku sudah berubah?"
"Iya.. iya, tentu saja."

Kristin menatap Bagas yang terus memandangi jalanan didepannya.
"Kita sudah sampai, lihat, bapak sudah menunggu."
"Aku disini saja bukan?"
"Ya, biar bapak dibelakang."

***

Bagas langsung menuju rumah mbah Kliwon. Ia turun dan membukakan pintu samping untuk Kristin. Dari dalam Sri menyambutnya riang.

"Mas Bagas, ini pacarnya ?" tanya Sri langsung, membuat Bagas dan Kristin tersipu.
"Ah, mbak Sri. Begini, saya kan mau kembali ke hotel, ini mbak Kristin, bekas atasan saya, saya titipkan disini ya mbak. Biar dia berganti pakaian, atau bahkan membantu mendandani juga bisa lho."

"Baiklah.. tapi kenalan dulu, wong belum pernah kenalan. Saya Sri, isterinya mas Timan, cucunya mbah Kliwon."
"Saya Kristina," kata Kristin sambil menyalami Sri.

"Wah, nanti akan saya usulkan, pendamping pengantinnya mas Bagas sama mbak Kristin saja."
"Lho, kok gitu ?" tanya Bagas.

"Ini lebih pantas, daripada mas Timan sama saya. Lagian anak saya pasti banyak rewelnya kalau melihat saya menggandeng pengantin.
"Apa saya bisa?" sambung Kristin.
"Bisalah, sudah, jangan difikirkan. Mas Bagas nggak masuk dulu?"

"Saya mau langsung balik ke hotel mbak, bapak menunggu disana."
"Oh, ya sudah. Ayo mbak Kristin, masuklah. Ini lagi pada dandan. Saya malah belum dandan. Ayo kekamar saya mbak."

Kristin menurut, mengikuti Sri masuk kedalam kamar.
"Ini kamarnya orang dusun mbak, jangan ditertawakan ya."
"Oh, tidak mbak Sri, saya senang."
"Kita dandan bareng disini nggak apa-apa kan, sama-sama perempuan. Nanti setelah ini kita mendandani bu Sumini."

"Siapa bu Sumini?"
"Bu Sumini itu ibunya mbak Mery."
"Oh, katanya sakit, sudah sehat ya?"
"Ya sudah lumayan sehat. So'alnya hatinya senang puterinya mau menikah. Tapi sebentar saya mau melihat bu Sumini, kok seperti tergesa-gesa masuk kamar mandi?"

***

Sore itu Mery sudah berdandan sangat cantik. Dengan kebaya butih bersulam emas, dan gelung jawa dengan hiasan tersungging diatasnya, dan untaian melati melingkar-lingkar sangat apik.

Lastri yang menungguinya, menatap tak berkedip.
"Ya ampun mbak, nanti mas Basuki pasti kaget, mengira menikahi seorang bidadari dari kahyangan," canda Lastri yang disambung suara-suara lainnya yang mengatakan setuju.

Mery tersenyum bahagia. Namun sejak tadi dia mencari-cari.
"Ibu belum kelihatan ya ?"
"Belum mbak, pasti sedang berdandan. Tenang saja."
"Tapi ibu tidak apa-apa kan ?"
"Tidak apa-apa mbak, kalau ada apa-apa, pasti Sri sudah mengabarinya kesini."

Dari ruangan tempat penganten berdandan, sudah terdengar gamelan bergaung. Gaung suara gamelan itu mengalun memenuhi setiap sudut desa. Suasana benar-benar menjadi begitu meriah. Beberapa tamu yang akan menyaksikan akad nikah sudah mulai berdatangan. Bahkan bapak penghulu juga sudah duduk menunggu.

Tiba-tiba suara gamelan itu mengalun semakin pelan dan berhenti. Pembawa acara mengatakan bahwa calon pengantin pria sudah tiba didepan balai desa yang dipajang sangat indah.

"Tuh mbak, mereka sudah datang. Penghulu sudah menunggu sejak tadi."
"Mana ibuku ?"
"Tenang mbak, barangkali sudah duduk didepan."

Bu lurah masuk ke kamar dan tersenyum menatap Mery.
"Aduhai, bukankah ini bidadari dari kahyangan?"
"Tuh kan, apa kataku," sambung Lastri.
"Ayo keluar mbak, sudah ditunggu."

"Mana ibuku ?"
"Barangkali sudah duduk didepan, ayo mbak..." kata bu lurah sambil menggandeng tangan Mery disebelah kanan, dan Lastri disebelah kiri.

Mery menatap Basuki tak berkedip. Alangkah ganteng calon suaminya itu dengan pakaian Jawa yang membalut tubuh tegapnya.
Namun Basukipun tak berkedip menatap calon isterinya. Memang benar kata Lastri, Mery secantik bidadari.

Sebelum dipersilahkan duduk, Mery mencari-cari.
"Mana ibu ?"
"Duduklah dulu mbak, mungkin duduk diantara para tamu."
"Aku ingin melihat ibu. Aku ingin ibu ada ketika ijab kabul ini berlangsung."

Semua mata mencari diantara para undangan. Bahkan Bagas juga tampak mencari-cari. Kristin juga tak ada diantara mereka.

***

besok lagi ya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar