*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 27*
Teriakan
Mery membangunkan Sri dan suaminya, juga mbah Kliwon. Mereka bergegas
kebelakang.
"Ada
apa mbak ?"
"Mery,
kamu tidak usah panik, ibu tidak apa-apa," kata bu Sumini lemah, sambil
mengguyur terus, bahkan sampai ke tubuhnya.
"Biar
saya ambilkan air panas di termos," kata Sri, yang kemudian kembali
membawa ember yang sudah berisi air panas.
"Ini
bu, mengguyur tubuhnya pakai yang hangat, lainnya biar Mery yang
bersihkan," kata Mery.
Timan dan
mbah Kliwon beranjak kedepan, duduk di kursi bambu.
"Bu
Sumini sudah pernah begitu, waktu dirumah saya. Tapi tak ada yang tahu."
kata Timan.
"Iya
nak, dia bilang jangan sampai ada yang tahu."
"Sebenarnya
harus kita bawa ke rumah sakit."
"Tadi
sudah berteriak-teriak bilang tidak mau. Dia perdarahan hampir tiap dua hari
sekali."
"Apa
yang harus kita lakukan ?"
"Penyakit
seperti itu susah nak, kalau dibawa ke rumah sakit, hati si sakit akan
bertambah ciut, ketakutan, dan itu tidak bagus untuk kesehatannya."
"Jadi
bagaimana sebaiknya?"
"Menurut
saya, biarkan saja dia menanamkan rasa percaya diri dan semangat, ditambah
makanan bergizi tinggi agar daya tubuhnya kuat."
"Sesederhana
ini?"
"Itu
tidak sederhana. memupuk semangat itu tidak mudah."
Sementara
itu dikamar bu Sumini sudah berganti pakaian bersih. Sri menggosok tubuhnya
dengan minyak penghangat agar bu Sumini tidak kedinginan.
"Mengapa
ibu mau minum segala macam jamu itu? mBah Kliwon mana tau tentang penyakit
ibu."
"Jangan
kamu menyalahkan pak Kliwon. Aku suka minum jamunya. Besok aku akan minta
lagi."
"Ibu,
kejadian tadi membuat Mery ketakutan. Jangan lagi minum jamu ya bu?"
"Sesungguhnya
hampir tiap dua hari sekali ibu mengeluarkan darah."
"Apa
? Mengapa ibu tidak mengatakannya pada Mery ?"
"Tidak
perlu, ibu sudah biasa. Dan setelah minum jamu pak Kliwon, ibu merasa lebih
enak. Darah kehitaman itu racun yang keluar."
"Apa
?"
"Kamu
jangan memikirkan ibu, kamu mau menikah, fikirkan pernikahan kamu. Dan
berdo'alah agar ibu bisa menunggui kamu nanti."
"Mery
sangat takut bu."
"Ibu
baik-baik saja, sekarang sudah tidak lemas lagi. Biarkan ibu tidur."
Mery
menatatap ibunya sampai tampak terlelap, kemudian dia turun dari ranjang.
Didengarnya masih ada yang berbincang, suara mbah Kliwon dan Timan.
***
"mBak
Mery kok bangun," sapa Timan.
"Saya
minta ma'af telah mengejutkan semua orang," kata Mery sambil duduk
diantara mereka. Sementara dari dapur terdengar suara berkelutik, tampaknya Sri
sedang membuat minuman.
"Tidak
apa-apa, kami prihatin akan keadaan bu Sumini, semoga tidak apa-apa." kata
Timan.
"Ibu sudah tidur. mBah
Kliwon, saya ingin bertanya tentang jamu yang mbah Kliwon berikan untuk ibu
saya. Sungguh saya ketakutan."
"Jamu itu tidak apa-apa.
Biasa diminum banyak orang." kata mbah Kliwon.
"Apakah
mbak Mery tahu bahwa bu Sumini sering mengalami perdarahan?" tanya Timan.
"Iya, baru tadi ibu
mengatakannya. Ma'af tadi saya sempat hampir memarahi mbah Kliwon. Saya kira
itu semua karena jamu yang mbah Kliwon berikan."
"Jamu itu bersifat menyerap
racun dan mengeluarkannya. Seharusnya kotoran yang keluar tadi berwarna
kehitaman," kata mbah Kliwon.
"Itu benar, warnanya
kehitaman."
"Semoga itu sebagian racun
yang keluar. Nanti darah yang keluar akan berwarna abu-abu.. lalu kemerahan.
Itu proses menghilangnya racun."
Mery mengangguk-angguk. Ada
sedikit perasaan lega mendengar penuturan mbah Kliwon.
"Ini wedang jahe untuk semua,"
kata Sri yang keluar dengan membawa beberapa gelas wedang jahe.
"Wah, ini.. suguhan khas mbah
Kliwon," celetuk Timan.
"Silahkan mbak, bu Sumini
suka sekali wedang jahe ini," kata Sri.
"Hm, masih panas, nanti aku
habiskan Sri. Aduh, aku minta ma'af, membangunkan semua orang dimalam buta
seperti ini."
"Tidak mbak, sudah sa'atnya
pada bangun, ini hampir pagi," kata Sri.
"Apa kamu tahu tentang ibuku
Sri? Tentang perdarahan itu ?"
"Ya mbak, bu Sumini bilang,
dia perdarahan hampir tiap dua hari sekali."
"Aku sama sekali tidak tahu.
"
"Bu Sumini melarang saya
memberitahukannya pada mbak Mery. Takut acara pernikahan mbak Mery
terganggu."
"Apa yang harus aku lakukan
?" tanya Mery seperti kepada dirinya sendiri.
"Sebaiknya biarkan saja apa
yang menjadi kemauan bu Sumini, jangan dipaksa, apalagi dipaksa ke dokter,
karena suasana hati bu Sumini akan mempengaruhi kesehatannya juga," kata
mbah Kliwon.
"Bagaimana dengan jamu-jamu
itu ?"
"Kalau tidak keberatan,
biarkan ibu Sumini meminum jamu-jamu itu. Paling tidak itu tidak akan
membahayakan jiwanya."
"Bisakah menyembuhkan ?"
"Kalau masalah menyembuhkan
atau tidak, saya tidak bisa mengatakannya. Karena biarpun obat ataupun jamu,
tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan Tuhan Yang Maha Pengasih."
Mery mengangguk, lalu minum wedang
jahe yang disuguhkan, diikuti yang lainnya.
"Benar-benar
menyegarkan." kata Mery.
***
Pagi itu bu Sumini terbangun dan
langsung kekamar mandi. Mery yang melihatnya segera memburunya, hatinya
berdebar, mengira ibunya perdarahan lagi. Ia menunggu didepan pintu kamar
mandi. Terdengar deburan air, hanya beberapa kali, lalu tercium aroma sabun
yang wangi.
"Ibu ?"
"Sebentar, aku lagi
mandi," sahut bu Sumini.
"Mau pakai air hangat ?"
"Tidak nduk, ini segar sekali."
Tak ada yang mencurigakan. Mery
masuk kekamar dan menunggu. Ketika muncul, bu Sumini telah berganti
pakaian bersih.
"Ibu mandi ?"
"Iya."
"Mengapa tidak minta air
hangat? Disini udaranya dingin sekali."
"Tidak apa-apa, segar mandi
pakai air dingin."
Mery menunggui ibunya menyisir
rambutnya yang panjang.
"Kalau kamu memaksa ibu untuk
yang namanya kemo itu, rambut ibu ini akan menjadi rontok, dan lama-lama
gundul."
"Darimana ibu tahu?"
"Dari tetangga ibu dulu.
Kasihan dia."
Mery merasa lega, ibunya tidak
sepucat semalam.
"Mery, aku malu
mengatakannya.."
"Ada apa bu? Katakan saja,
tidak usah malu. Ibu ingin sesuatu ?"
"Aku jam segini kok sudah
lapar ya," kata bu Sumini sambil menggelung rambutnya.
Mery tersenyum lebar.
"Ibu, tadi Sri sudah membuat
bubur pake sambel goreng."
"Ada sayurnya ? Sekarang aku
suka makan sayur. Kata pak Kliwon aku harus kuat. Jadi makan sayur dan buah itu
harus. Maukah nanti kamu beli ikan? Ikan itu juga sehat untuk ibu."
"Bagus bu, Mery senang
mendengarnya. Baiklah, nanti Mery pasti belikan. Ayo kedapur bu," kata
Mery sambil menggandeng ibunya kearah dapur. Dilihatnya Sri sedang menata
makanan dimeja.
"Sri, ibu mau makan sekarang,
bolehkah ?"
"Oh, tentu saja boleh bu. Mau
bubur atau nasi ? Sri bikin bubur gurih lho bu."
"Ya, aku mau.."
.
Mery menemani ibunya makan. Sri
menatapnya dengan senang
"Mana yang lainnya?"
"Mas Timan lagi jalan-jalan
sama Tiwi. Mungkin kerumah pak lurah."
"Simbah mana ?"
"Lagi dikebun. Biasa, mencari
jahe, atau bahan-bahan jamu."
"Jangan lupa simbah
diingatkan ya nak Sri, aku minta jamunya lagi." kata bu Sumini.
Sri menatap Mery, ia
menunggu persetujuannya.
"Ibu merasa sehat ?"
"Merasa jauh lebih
baik."
"Baiklah. Oh ya, bagaimana
ibu, jadi mau jalan-jalan ?"
"Mau, setelah aku minum
jamu."
"Baiklah. Sri, ayo kita
bersiap-siap, siapa saja yang mau ikut."
"Ya mbak, kita tunggu mas
Timan sebentar."
***
Bagas sudah berpamitan kepada
seluruh staf yang ada diperusahaan itu. Ini adalah hari terakhir. Hari sudah
menjelang sore. Bagas ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Kristin, tapi
sangat susah mengucapkannya. Ia tahu wajah cantik itu menatapnya dengan sendu.
"Bagaaas.."
Bagas mengangkat wajahnya.
"Ini hari terakhir kamu
bekerja bersama aku disini."
"Ya mbak. Apakah sudah ada
pengganti aku disini ?"
"Tidak, aku tidak
mencarinya."
"Mengapa mbak ?"
"Tidak ingin saja, nggak tahu
nanti papa bagaimana."
"Semoga perusahaan ini
semakin maju dibawah tangan mbak Kristin."
"Bagaaas.."
"Ya.."
"Aku nanti jadi ya.."
"Jadi apa?"
"Aku sudah menerima undangan
mbak Mery."
"Oh. Mau datang ke desa
?"
"Aku ingin tahu seperti apa
pesta didesa."
"Ya pasti tidak seindah dan
semewah kalau pesta di kota."
"Aku ingin tahu."
"Lalu ?"
"Bagas, aku kan sudah bilang
mau ikut kamu."
"Tapi aku berangkat siang
bersama bapak."
"Nggak apa-apa, nanti aku
ikut berangkat siang."
"Sungguh ?"
Kristin mengangguk, seperti anak
kecil ditawari mainan bagus.
"Terserah, tapi jangan
menyesal kalau suasananya tidak menyenangkan."
"Aku tidak akan
menyesal."
"Baiklah, nanti aku kabari.
Sekarang aku pamit dulu ya mbak."
Bagas mendekat ke meja Kristin,
mengulurkan tangannya. Kristin menangkap tangan itu dengan gemetar.
"Kalau ada kesalahan aku
selama bekerja, aku mohon ma'af," lirih suara Bagas.
"Bagaas..." bergetar
suara itu.
"Aku yang banyak salah sama
kamu. Ma'af ya." Dan dua titik air mata runtuh, mengalir disepanjang
pipi kemerahan itu.
Bagas ingin mengangkat tangannya
untuk mengusap air mata itu, tapi Kristin keburu mengusapnya dengan selembar
tissue.
"Jangan menangis lagi
mbak."
"Jangan panggil aku mbak,
panggil aku Kristin. Aku bukan atasan kamu lagi." Kristin kembali mengusap
air matanya.
"Baiklah... Kristin.."
Lalu dua pasang mata itu bertaut,
berbicara dengan bahasa masing-masing. Bahasa yang menggemuruhkan hati kedua
insan muda itu.
"Aku pamit dulu,
Kristin."
"Jangan ucapkan selamat
tinggal, Bagas." Kristin terisak.
Bagas hanya bisa mengangguk. Tak
ingin larut dalam suasana yang membuatnya pilu itu, Bagas kemudian melangkah
keluar. Meninggalkan isak tertahan yang sempat tertangkap ditelinganya.
***
Bu Sumini tampak letih setelah
pulang dari jalan-jalan itu. Mereka berangkat sudah siang dan menjelang sore
baru kembali.
Mery khawatir melihat wajah bu
Sumini tampak pucat.
"Ibu tidak apa-apa?"
"Tidak, ibu mau tidur saja,
bolehkah ?"
"Tentu saja boleh ibu. Ayo
kekamar saja, dan tidurlah, Tapi ibu belum lapar ?"
"Nanti saja, kan tadi barusan
makan dijalan."
"Ya sudah, sekarang ibu
tidur, Mery mau mengambil baju-baju yang nanti dipakai ibu ketika Mery
menikah."
"Haruskah beli lagi ?"
"Basuki sudah membelikan
semuanya. Tapi nanti setelah ini Mery tidur dirumah bu lurah ya bu, apa ibu mau
ikut?"
"Tidak, aku tidur disini
saja."
"Bu, minum wedang jahenya
dulu, " kata Sri tiba-tiba sambil membawa segelas wedang kekamar bu
Sumini.
"Oh, sudah ada wedang
jahe."
"Simbah sudah menyiapkannya.
Minumlah dulu baru istirahat ya bu."
"Sri, aku titip ibu dulu, aku
akan mengambil baju-baju yang akan dipakai ibu nanti. Dan jangan lupa, ada juga
baju untuk kamu, untuk mas Timan , mbah Kliwon dan pak Darmin."
"Waah, terimakasih banyak
mbak."
"Tukang rias akan datang sore
nanti, agar aku dan Basuki bisa mengepas baju-baju yang akan dipakai."
"Ya mbak, biar ibu Sumini
sama aku."
***
"Bapak, besok kalau kita
berangkat harus nyamperin Kristin dulu."
"Memangnya dia mau ikut
?"
"Iya, dia mau ikut."
"Ke desa?"
"Iya."
"Hm, bagus lah, semoga dia
senang melihat suasana yang berbeda nanti. Tapi kita harus berangkat siang lho
Gas. Aku sama kamu belum ngepas baju juga. Semoga pilihan Basuki cocog untuk
tubuhku."
"Aku sudah bilang sama dia
kalau harus berangkat siang.,"
"Dia mau?"
"Mau."
"Rupanya kamu lama kelamaan
harus memikirkan dia juga Gas.,"
" Memikirkan bagaimana pak
?"
"Susah menolak cinta seorang
gadis secantik Kristin."
"Ah, kata siapa pak?"
"Biasanya begitu. Bapak ingin
membuktikannya nanti."
"Bapak ada-ada saja."
"Buktinya dia sudah mau ikut
bersama kamu, biarpun tempatnya didesa. Berarti dia ingin mengatakan bahwa
bagaimanapun keadaannya dia sanggup menjalani."
"Bapak pintar sekali
menghubung-hubungkan sesuatu, padahal belum jelas."
"Nanti akan jelas Gas, bapak
akan membuktikannya."
Bagas tersenyum, mencoba bertanya
pada hatinya. Apa itu benar? Ah.. tapi sepasang mata itu memang sangat sulit
dilupakannya.
***
Sore itu sepeninggal Mery, bu
Sumini ingin memejamkan matanya sejenak. Ia merasa sangat letih. Namun
tiba-tiba kembali perutnya melilit. Sakit sekali. Bu Sumini bangkit, lalu
melangkah kekamar mandi.
"Mau kemana bu ?" tanya
Sri.
"Kamar mandi," kata bu
Sumini tergesa-gesa, lalu mengunci kamar mandi itu.
Sri mengikutinya, khawatir bu
Sumini membutuhkan sesuatu.
"Bu, saya bawakan air hangat
ya bu, supaya tidak kedinginan?"
Bu Sumini tidak menjawab, tapi Sri
mendengar sebuah keluhan lemah, seperti sedang menahan sakit.
"Bu..."
Tak ada jawaban. Sri berdebar. Ia
ingin membuka pintu, tapi terkunci dari dalam.
***
besok lagi ya
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 28*
Sri sangat cemas. Digedornya
pintu, yang terdengar hanya keluhan.
“Bu, bu Sumini, ada apa bu? Tolong
buka pintunya bu.”
Tapi tak lama kemudian terdengar
siraman air, bertubi-tubi. Sri sedikit merasa lega, berarti bu Sumini tidak
pingsan.
“Bu... ibu baik-baik saja ?”
“Tidak apa-apa nak...”
Lalu deburan berkali-kali
terdengar lagi.
“Bagaimana kalau ibu buka
pintunya?”
“Ya, sebentar lagi nak,” suara bu
Sumini bergetar.
Sri pergi kearah dapur. Ia menuang
segelas wedang jahe, barangkali bu Sumini membutuhkannya. Lalu
diletakkannya didalam kamar bu Sumini.
“Ada apa?” Tanya mbah Kliwon dari
arah depan.
“Bu Sumini mbah, tampaknya dia
perdarahan lagi. Masih dikamar mandi. Sri menyiapkan wedang jahe, barangkali bu
Sumini membutuhkannya.”
“Oh, ya.. baguslah.”
“mbah, kalau orang terus-terusan
mengeluarkan darah, apa lama-lama tidak kehabisan darah?”
“Ya pastinya nduk, tapi simbah
sudah membubuhkan jamu untuk penambah darah. Semoga tidak akan lama dia
begitu.”
Terdengar kamar mandi dibuka. Sri
mendekat.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Tidak nak, sebentar, ibu mau menggantikan
pakaian ibu ini.”
Sri menuntun bu Sumini karena bu
Sumini tampak terhuyung.
“Apa ibu mengeluarkan darah lagi?”
Tanya mbah Kliwon.
“Ya, pak.. “
“Masihkah darahnya berwarna hitam
?”
“Sudah agak kepucatan. Perut saya
tadi sakit sekali. Seperti itu setiap mau mengeluarkan darah.”
“Itu bagus. Sekarang ibu istirahat
saja dulu.”
“Sudah saya buatkan wedang jahe
bu, saya taruh dimeja.”
“Biar aku ganti pakaian dulu,
nanti aku minum.”
“Lalu ibu istirahat saja dulu ya.”
“Baiklah, tapi
tolong tidak usah bilang sama Mery tentang kejadian tadi.”
“Ya bu.”
Sri keluar dari kamar dan
menutupkan pintunya. Kemudian ikut duduk dikursi bamboo bersama mbah Kliwon.
“Lastri tidak menginap disini ya Sri?”
“Tidak, kemarin mas Bayu sudah
menjemput, lalu pulang. Nanti dua hari lagi pasti kemari lagi sampai
selesai acara.”
“Semoga semuanya berjalan lancar,
dan bu Sumini bisa menyaksikan pernikahan mbak Mery.”
***
“Kristin, apa benar kamu mau ikut
Bagas pergi menghadiri pernikahan mbak Mery?” Tanya pak Suryo ketika Kristin
kerumah ayahnya.
“Iya pa, Kristin sudah bilang sama
Bagas.”
“Tapi kan Bagas sama bapaknya itu
termasuk panitia. Datangnya pasti lebih awal.”
“Mereka berangkat siang. Kristin
sudah bilang mau.”
“Benar, kamu mau?”
“Iya.”
“Ya, baguslah kalau begitu.”
“Papa mau ikut ?”
“Enggak lah, nanti titip kado saja
, tolong siapkan apa, yang pantas. Dari papa mama sendiri, dari kamu juga
sendiri. Kan papa juga dapat undangannya.”
“Iya pa, nanti Kristin belikan
yang bagus.”
“Bilang mama, pasti mama bisa
memilihkan yang cocog.”
“Iya nanti Kristin mau sama mama
saja, Pasti mama juga bisa memilihkan baju yang pas buat Kristin.”
“Awas ya, jangan baju-baju yang
seperti dulu. Nanti Bagas tidak suka. Kan kamu berangkatnya sama Bagas
nantinya.”
“Iya papa, Kristin sudah tahu.
Sekarang saja Kristin pergi sama mama ya.”
“Mama lagi masak didapur. Kalau
pengin cepat ya kamu harus bantuin.”
“Pasti pa, Kristin juga sudah bisa
masak. Menggoreng tempe.. menumis bumbu.”
“Bagus, anak papa harus pintas
memasak seperti mamanya. Supaya nanti disayang suami,” kata pak Suryo menggoda.
Kristin tertawa, lalu beranjak
kebelakang mencari ibunya.
***
“Bagaimana keadaan ibu ?” Tanya
Basuki yang baru datang untuk menemui Mery.
“Baik, aku titipkan ibu pada Sri.
Saya ajak tidur dirumah pak lurah, ibu tidak mau. Lebih suka dirumah mbah
Kliwon sama Sri.”
“Bukankah hari ini harus kontrol
ke dokter ?”
“Ibu tidak mau.”
“Tidak mau? Bagaimana dengan
obat-obatnya ?”
“Dibujuk siapapun ibu tidak mau.
Barangkali menunggu kalau acara ini selesai.”
“Tapi obatnya bagaimana ? Apa
belum habis ?”
“Susah memberi tahu ibu. Terkadang
diminum, terkadang juga tidak. Sekarang ini malah minum jamu-jamu yang
dibuatkan mbah Kliwon.”
“Jangan sembarangan meminum jamu,
nanti bertentangan dengan obat dokter. Dan kalau terjadi apa-apa nanti dokter
akan menegur kita.”
“Aku sudah memperingatkannya. Kata
ibu badannya jauh lebih segar. Entahlah Bas, buat aku sekarang ini, yang
penting ibu nyaman dulu. Kalau dipaksa ke dokter ibu bisa stress,
ketakutan, lalu selalu membayangkan bahwa dia mau meninggal.”
“Lalu bagaimana sebaiknya ?”
“Biar saja dulu sampai acara kita
selesai. Katanya jamu yang diberikan mbah Kliwon membuat ibu lebih segar.”
“Ah, aku kok tidak percaya.
Jangan-jangan hanya karena ibu itu ketakutan.”
“Mungkin mas, tapi aku lihat
memang ibu sepertinya baik-baik saja.”
“Kapan kamu mengantarkan baju-baju
ini ?”
“Sekarang saja mas, supaya kalau
barangkali kebesaran atau kekecilan masih ada waktu untuk memperbaikinya.”
“Kalau begitu aku ikut,
sebelum kembali ke hotel.”
***
Tapi Basuki melihat bu Sumini
seperti baik-baik saja. Ia menyambut Basuki dengan senyuman mengembang. Dan tak
ada wajah pucat kesakitan.
“Ibu, apa kabar ?”
“Baik, nak Basuki, lihat, ibu
sangat sehat.”
“Iya bu, senang saya melihatnya.
Tapi ibu tidak ingin kontrol ? Kan sudah waktunya.”
“Tidak usah nak, sudah,
fikirkan saja acara pernikahan kalian, jangan memikirkan ibu. Ibu tidak ingin
kontrol lagi.”
“Lho, kok gitu bu ?”
“Ibu tuh ngeri melihat dokternya
nak, sungguh ibu ketakutan. Bayangan ibu hanya mati saja kalau masuk rumah
sakit itu.”
“Baiklah bu, kita lihat saja
nanti. Tapi kalau ibu merasakan sesuatu, ibu harus mau dibawa kerumah sakit
ya.”
“Iya, gampang lah nak.”
“Ibu itu, jangan meremehkan
penyakit lho bu.”
“Iya nak, ibu tahu. “
Mery sudah meletakkan semua baju
yang nanti akan dipakai pada semua acara, dan menyerahkan semuanya pada Sri.
Dia yang akan mengatur segala sesuatunya.
Acara tinggal dua hari lagi.
Kesibukan mulai tampak disekitar Balai Desa. Teratak untuk para tamu
yang hampir semuanya dari warga desa, dan papan untuk pagelaran wayang kulit,
mulai ditata. Janur dan bunga-bunga menghiasi tempat acara diadakan.
Basuki sudah kembali ke hotel dan
dilarang datang menemui calon isterinya sampai acara pernikahan tiba.
***
Pagi itu lagi-lagi bu Sumini tanpa
malu-malu bilang kepada Sri bahwa dia sangat lapar.
“Iya bu, sudah ada, tadi masak
ikan asam manis. Sama ca sawi, sudah siap dimeja.”
Bu Sumini tersipu.
“Saya sebenarnya malu, setiap kali
bilang lapar, padahal disini bukan rumah sendiri,” kata bu Sumini ketika Sri
mengajaknya duduk di kursi makan.
“Mengapa ibu harus malu? Bukankah
Sri juga anaknya ibu?”
“Ibu juga heran, mengapa
akhir-akhir ini ibu sering merasa lebih cepat lapar. Padahal
sebelumnya tidak begini, susah sekali makan, kalau tidak dipaksa enggan makan.
Itupun cuma sedikit.”
“Itu bagus bu, Kalau
orang sehat, bawaannya pengin makan. Bukankah sa’at sakit ibu hampir tidak
punya nafsu makan?”
“Mungkin memang ibu lebih sehat,
entahlah.”
“Ibu masih sering mengeluarkan
darah?”
“Sudah tiga hari ini setiap sore
saya mengeluarkan darah. Ma’af, lagi makan ngomong yang menjijikkan.”
“Tidak apa-apa bu, ini kan masalah
penyakit. Apakah warna darahnya masih kehitaman ?”
“Semakin lama tidak lagi
kehitaman. Semalam benar-benar darah segar.”
“Itu bagus bu, berarti racun
didalam tubuh berangsur hilang,” sambung mbah Kliwon yang tiba-tiba datang.
“mBah, sini.. makan sekalian. Ini
ikan yang simbah bawa semalam, Sri sudah memasaknya.”
“Iya, saya mendahului makan pak,
ma’af ya.”
“Tidak apa-apa bu, silahkan saja,
dan habiskan sekalian malah saya suka. Saya melihat ibu sangat bersemangat pagi
ini.”
“Benar ya mbah, senang melihatnya.
Berarti besok bu Sumini bisa menghadiri akad nikahnya mbak Mery sama mas
Basuki,” kata Sri menimpali.
“Pasti bisa, ya kan bu? Ibu
bersemangat karena ibu juga bahagia, puteri satu-satunya mau menikah.”
“Ibu sudah mencoba bajunya kan ?
mBak Mery memilihkan yang pas untuk ibu.”
“Mengapa bajunya banyak sekali
yang untuk aku?”
“Yang putih, untuk acara akad
nikah, yang hijau untuk resepsinya.”
“Hm, pakai ganti baju segala.”
“Tidak apa-apa bu, mbak Mery sudah
menyiapkan semuanya, ibu harus memakainya.”
“Ya, baiklah.”
“Yang untuk simbah sudah Sri taruh
dikamar. Yang untuk bapak sudah Sri antarkan kerumah. Bapak senang sekali dapat
baju baru.
"Ini pernikahan yang luar
biasa. Menyenangkan orang-orang desa dengan larangan menyumbangkan apapun yang
berupa uang atau barang. Justru memberi hadiah kepada orang-orang sekitar.
Bukan main nak Basuki. Ia benar-benar menjadi Basuki yang berbeda. Semoga
mereka akan bahagia selamanya."
"Aamiin mbah, itu benar.
Semua orang juga akan bahagia bersamanya."
"Ini penebusan dosa yang
bukan main. Banyak manfa'at bagi orang lain."
***
"Mengapa kamu sudah
berdandan? Acara akad nikah masih sore hari, resepsi malamnya. Apa tidak kusut
nanti baju kamu ?" tegur Bagas ketika menjemput Kristin.
"Tidak apa-apa, aku membawa
beberapa baju untuk ganti. Aku juga membawa alat rias, barangkali nanti ada
yang belum dirias aku akan membantunya."
"Oh, pantesan kamu membawa
tas yang besar."
"Bapak mana ?" tanya
Kristin.
"Aku menjemput kamu dulu,
sambil berangkat menjemput bapak sekalian."
"Oh, kirain cuma kita
berdua."
"Bapak kan wakil dari pihak
pengantin laki-laki. Jadi nanti bapak langsung ke hotel."
"Kamu juga ke hotel?"
"Iya."
"Tapi aku kan perempuan
sendiri?"
"Nanti kamu aku antarkan
kerumahnya mbah Kliwon. mBak Sri dan ibunya mbak Mery ada disana."
"Banyak orang ya
disana?"
"Namanya orang lagi punya
kerja, ya wajarlah kalau banyak orang. Tapi dirumah mbah Kliwon tidak banyak.
Katanya hanya mbak Sri dan ibunya mbak Mery."
"Oh..."
"Mau tidak ? Atau ikut ke
hotel saja?"
"Nggak, aku kerumah mbah
Kliwon saja."
"Rumah orang dusun lho."
"Bagas, mengapa kamu bersikap
seakan-akan aku tidak mau bergaul dengan orang dusun, atau menuduh aku pasti
tidak suka berada dirumah orang dusun. Aku sudah banyak belajar Bagas, aku akan
begaul dengan banyak kalangan."
"Wouw, itu bagus. Aku
suka."
"Kamu suka?"
"Apa?" tiba-tiba Bagas
terkejut sendiri dengan kata-katanya.
"Kamu suka aku sudah
berubah?"
"Iya.. iya, tentu saja."
Kristin menatap Bagas yang terus
memandangi jalanan didepannya.
"Kita sudah sampai, lihat,
bapak sudah menunggu."
"Aku disini saja bukan?"
"Ya, biar bapak
dibelakang."
***
Bagas langsung menuju rumah mbah
Kliwon. Ia turun dan membukakan pintu samping untuk Kristin. Dari dalam Sri
menyambutnya riang.
"Mas Bagas, ini pacarnya
?" tanya Sri langsung, membuat Bagas dan Kristin tersipu.
"Ah, mbak Sri. Begini, saya
kan mau kembali ke hotel, ini mbak Kristin, bekas atasan saya, saya titipkan
disini ya mbak. Biar dia berganti pakaian, atau bahkan membantu mendandani juga
bisa lho."
"Baiklah.. tapi kenalan dulu,
wong belum pernah kenalan. Saya Sri, isterinya mas Timan, cucunya mbah Kliwon."
"Saya Kristina," kata
Kristin sambil menyalami Sri.
"Wah, nanti akan saya
usulkan, pendamping pengantinnya mas Bagas sama mbak Kristin saja."
"Lho, kok gitu ?" tanya
Bagas.
"Ini lebih pantas, daripada
mas Timan sama saya. Lagian anak saya pasti banyak rewelnya kalau melihat saya
menggandeng pengantin.
"Apa saya bisa?" sambung
Kristin.
"Bisalah, sudah, jangan
difikirkan. Mas Bagas nggak masuk dulu?"
"Saya mau langsung balik ke
hotel mbak, bapak menunggu disana."
"Oh, ya sudah. Ayo mbak
Kristin, masuklah. Ini lagi pada dandan. Saya malah belum dandan. Ayo kekamar
saya mbak."
Kristin menurut, mengikuti Sri
masuk kedalam kamar.
"Ini kamarnya orang dusun
mbak, jangan ditertawakan ya."
"Oh, tidak mbak Sri, saya
senang."
"Kita dandan bareng disini
nggak apa-apa kan, sama-sama perempuan. Nanti setelah ini kita mendandani bu
Sumini."
"Siapa bu Sumini?"
"Bu Sumini itu ibunya mbak
Mery."
"Oh, katanya sakit, sudah
sehat ya?"
"Ya sudah lumayan sehat.
So'alnya hatinya senang puterinya mau menikah. Tapi sebentar saya mau melihat
bu Sumini, kok seperti tergesa-gesa masuk kamar mandi?"
***
Sore itu Mery sudah berdandan
sangat cantik. Dengan kebaya butih bersulam emas, dan gelung jawa dengan hiasan
tersungging diatasnya, dan untaian melati melingkar-lingkar sangat apik.
Lastri yang menungguinya, menatap
tak berkedip.
"Ya ampun mbak, nanti mas
Basuki pasti kaget, mengira menikahi seorang bidadari dari kahyangan,"
canda Lastri yang disambung suara-suara lainnya yang mengatakan setuju.
Mery tersenyum bahagia. Namun
sejak tadi dia mencari-cari.
"Ibu belum kelihatan ya
?"
"Belum mbak, pasti sedang
berdandan. Tenang saja."
"Tapi ibu tidak apa-apa kan
?"
"Tidak apa-apa mbak, kalau
ada apa-apa, pasti Sri sudah mengabarinya kesini."
Dari ruangan tempat penganten
berdandan, sudah terdengar gamelan bergaung. Gaung suara gamelan itu mengalun
memenuhi setiap sudut desa. Suasana benar-benar menjadi begitu meriah. Beberapa
tamu yang akan menyaksikan akad nikah sudah mulai berdatangan. Bahkan bapak
penghulu juga sudah duduk menunggu.
Tiba-tiba suara gamelan itu
mengalun semakin pelan dan berhenti. Pembawa acara mengatakan bahwa calon
pengantin pria sudah tiba didepan balai desa yang dipajang sangat indah.
"Tuh mbak, mereka sudah
datang. Penghulu sudah menunggu sejak tadi."
"Mana ibuku ?"
"Tenang mbak, barangkali
sudah duduk didepan."
Bu lurah masuk ke kamar dan
tersenyum menatap Mery.
"Aduhai, bukankah ini
bidadari dari kahyangan?"
"Tuh kan, apa kataku,"
sambung Lastri.
"Ayo keluar mbak, sudah
ditunggu."
"Mana ibuku ?"
"Barangkali sudah duduk
didepan, ayo mbak..." kata bu lurah sambil menggandeng tangan Mery
disebelah kanan, dan Lastri disebelah kiri.
Mery menatap Basuki tak berkedip.
Alangkah ganteng calon suaminya itu dengan pakaian Jawa yang membalut tubuh
tegapnya.
Namun Basukipun tak berkedip
menatap calon isterinya. Memang benar kata Lastri, Mery secantik bidadari.
Sebelum dipersilahkan duduk, Mery
mencari-cari.
"Mana ibu ?"
"Duduklah dulu mbak, mungkin
duduk diantara para tamu."
"Aku ingin melihat ibu. Aku
ingin ibu ada ketika ijab kabul ini berlangsung."
Semua mata mencari diantara para
undangan. Bahkan Bagas juga tampak mencari-cari. Kristin juga tak ada diantara
mereka.
***
besok lagi ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar