Epistemologi Sedulur
Papat
Secara bahasa, ada yang menyebut Kiblat
Papat Limo Pancer, Sedulur Papat Limo
Pancer Kakang Kawah Adi Ari-ari. Pemaknaan istilah ini tidak
bisa sembarangan karena sangat enigmatis dan penuh misteri, bahkan banyak kaum
intelektual hanya menyebut sebagai mitos. Apakah demikian? Jelas tidak.
Adi (2018) menerjemahkan secara ilmiah ke dalam beberapa bagian.
Pertama, kakang kawah atau air
ketuban. Kedua, adi ari-ari atau
ari-ari. Ketiga, getih atau
darah. Keempat, puser atau pusar.
Kelima, pancer, yang berarti kita
sendiri sebagai pusat kehidupan ketika dilahirkan.
Ketika sang jabang bayi lahir ke dunia
melalui rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari rahim ibu. Dengan
izin Tuhan, unsur ini menjaga manusia yang ada di bumi saat dilahirkan. Orang
Jawa di dalam doa sering menyebut untuk mendoakan pejaga yang tidak tampak ini (kakang
kawah, adi ari-ari, getih dan puser).
Sedulur papat juga dimaknai
empat makhluk gaib yang tidak kasat mata (metafisik). Mereka merupakan saudara
yang setia menemani hidup manusia, mulai dilahirkan di dunia hingga nanti
meninggal dunia menuju alam kelanggengan.
Riset Raharjo (2012:4), menyebut dalam ilmu Jawa terdapat jagat
kecil (mikrokosmos) “kiblat
papat” yang merupakan “kakang kawah adhi
ari-ari” dengan pusat manusia sendiri, sebagai satu kesatuan jiwa
manusia untuk meraih ketentraman hidup memiliki saudara alamiah dalam tubuhnya.
Kedalaman makna ini tidak cukup ditinjau dari aspek filologi
atau antropologi, namun harus menggunakan pendekatan lain yang lebih
kompatibel. Dalam falsafah Jawa, saat manusia dilahirkan dari rahim ibu pasti
membawa air ketuban, ari-ari, darah, dan tali plasenta. Masyarakat Jawa
meyakini bahwa keempat benda ini menyertai kehidupan manusia dan selalu
“menghidupi” secara batin sejak dilahirkan sampai meninggal dunia.
Semua agama meyakini bawa hidup dan matinya seorang ditentukan
oleh Tuhan. Dalam kehidupan ini, selain alam fisik juga ada metafisik yang
dalam keyakinan Hindu disebut mikrokosmos yang merupakan unsur alam dengan
mengawinkan “sedulur papat” di atas sebagai bagian empat kiblat dalam alam yang
berupa tanah/bumi, air, api, dan angin.
Konsep ini tentu selaras dengan
kepercayaan semua agama di Nusantara yang meyakini manusia hidup, mati, dan
menyinergikan kehidupan-kematian itu dengan tanah, api, air, dan angin. Tidak
bisa tidak. Jika ada orang mengingkari Sedulur
Papat, otomatis mereka menolak kehidupan.
Dalang Ki Sigit Ariyanto (2017) pernah menafsir Sedulur
Papat dengan sangat rinci. Pertama, watman,
merupakan rasa cemas atau khawatir ketika seorang ibu hendak melahirkan
anaknya. Watman diartikan
saudara tertua yang menyiratkan betapa utamanya sikap hormat, sujud kepada
orangtua khususnya ibu. Kasih sayang ibu ialah kekuatan yang akan mengiringi
hidup seorang anak.
Kedua, wahman yaitu kawah
atau air ketuban. Fungsinya menjaga janin dalam kandungan agar tetap aman dari
goncangan. Ketika melahirkan, air ketuban pecah dan musnah menyatu dengan alam,
namun secara metafisik ia tetap ada sebagai saudara penjaga dan pelindung.
Ketiga, rahman atau darah
dalam persalinan sebagai gambaran kehidupan, nyawa, dan semangat. Selalu ada
sebagai saudara yang memberi kehidupan dan kesehatan jasmani. Keempat, Ariman
atau ari-ari (plasenta) sebagai saluran makanan bagi janin. Ia merupakan
saudara tak kasat mata yang mendorong seseorang untuk mencari nafkah dan
memelihara kehidupan.
Kelima, panceratau pusat
yang berarti bayi itu sendiri dimaknai juga sebagai ruh yang ada dalam diri
manusia yang akan mengendalikan kesadaran diri seseorang agar tetap eling
lan waspada (ingat dan waspada). Ingat kepada sang pencipta
dan menjadi insan yang bijaksana.
Dalam risetnya, Dewi (2017:4) juga menemukan, keempat
saudarana watman, wahman, rahman,
dan ariman itu merupakan
saudara manusia yang menemani secara metafisik. Sedulur Papat menjadi potensi
atau energi aktif dan pancer sebagai pengendali kesadaran. Mereka adalah
saudara penolong dalam mengarungi kehidupan hingga seseorang kembali
lagi pada sang pencipta.
Artinya, tanpa mengenal Sedulur
Papat kita sendiri akan susah menuju Tuhan.
Dari epistemologi di atas sudah jelas dan
ilmiah, manusia mau beragama atau ateis akan berteman dengan Sedulur
Papat atau Kiblat Papat. Sebab, Sedulur
Papat inilah yang akan memandu manusia menuju Tuhannya. Orang
Jawa sendiri, menjadi Sedulur Papat Limo Pancer sebagai
jimat, pakem, aturan, atau pedoman dalam berbagai kehidupan.
Apa wujudnya? Salah satunya filosofi Kiblat
Papat Lima Pancer yang diartikan sebagai empat arah mata angin
yaitu timur, selatan, barat dan utara sedangkan Lima Pancer yaitu
tengah.
Bahkan, orang Jawa sendiri memasukkan itu ke dalam nama-nama
hari (pasaran) yang menjadi penentu jodoh, rezeki, dan nyawa manusia. Wujudnya,
berupa konsep hari seperti pasaran legi (timur), pahing (selatan), pon (barat), wage (barat),
dan kliwon (tengah/pusat).
Misalnya, dalam menanam jagung,
ketika tidak mengindahkan konsep ini, bisa jadi mereka puso alias gagal panen.
Begitu pula dengan pemilihan hari pernikahan, khitan, pindahan atau membangun
rumah dan sebagainya.
Apakah hanya itu? Ternyata tidak. Kontekstualiasi Sedulur Papat
juga menjelmas dalam elemen dasar dalam kehidupan manusia. Seperti cipta, rasa,
karsa, dan karya. Tanpa keempat hal ini, bisa jadi manusia hidup namun mati.
Artinya, sangat konyol ketika manusia hidup namun tidak memiliki cipta, rasa,
karsa dan karya.
Islam sendiri sudah mengonsep hal itu dengan riil ke dalam bab
nafsu, tasawuf, dan kondisi hati manusia dalam Surat Al-Qiyamah (75:1-2). Dari
ayat itu, Winardi (2017) mengnalisis, manusia memiliki empat unsur paling
dasar, yaitu lawwamah,
supiyah, amarah dan mutmainah.
Lawwamah ini
diartikan selemah apa pun manusia, pasti di dalam jiwanya terdapat sifat kejam
dan berani membunuh. Jika diilmiahkan, sifat ini menjadi
pertanda setiap manusia hidup membutuhkan tanah sebagai salah satu sumber hidup
atau dalam tubuh manusia pasti mengandung zat
tanah. Lambang warna dari sifat aluamah yakni hitam.
Supiyah mengandung
arti yaitu sebagai sahabat hidup manusia yang selalu menginginkan
harta benda dalam kemegahan serta kemewahan dunia. Lambang
warna dari sifat supiyah yakni kuning. Amarah yaitu sifat selalu mengajak dan
menginginkan hal berbau atau dalam ranah politik, kecerdasan akan tetapi lebih
cenderung dalam kesombongan.
Lambang warna dari sifat ini
merah. Mutmainah yaitu sifat cenderung mengajak dalam nafsu ketuhanan, beribadah
kepada Tuhan. Lambang warna dari mutmainah yakni putih.
Dari keempat jenis ini, tidak mungkin manusia hanya memilih satu
saja karena sudah digariskan dalam kehidupan. Namun, di antara keempat itu
manusia harus dapat menyinergikan, memilah dan memilih mana yang potensi
benar-salah, baik-buruk, indah-jelek untuk menggapai kehidupan bahagia dan pada
akhirnya mengantarkan manusia kepada Tuhannya.
Tanpa Sedulur
Papat Limo Pancer, bisa jadi manusia tidak tahu dirinya. Bahkan,
filsuf Martin Buber (1878-1965) jauh-jauh hari menggagas konsep diri dalam
kehidupan dengan tujuan agar manusia menjadi dirinya sendiri meskipun dalam
dirinya ada diri-diri yang lain. Dari diri-diri yang lain itu, manusia harus
dapat menggapai jati diri, hakikat diri, dan harga diri agar tidak membelah
diri.
Sedangkan konsep diri perspektif Ibnu Miskawaih (1994: 43-44),
manusia memiliki tiga bagian, yaitu al-quwwah alnatiqah (fakultas
berpikir), al-quwwah
algadabiyyah (fakultas amarah), dan alquwwah al-shahwiyah (fakultas
nafsu syahwat). Sedangkan Imam Al-ghazali (1960: 291) membuat episteme fakultas
berpikir dengan al-nafs
al-insaniyyah (jiwa sebagai esensi manusia),
fakultas amarah dengan istilah al-nafs
alhayawaniyyat, dan fakultas nafsu syahwat dengan istilah al-nafs al-hayawaniyyah.
Diri
manusia, menurut dua filsuf ini memiliki keutamaan dengan beberapa syarat.
Miskawaih dan Al-Ghazali mengemukakan ada empat keutamaan tertinggi bagi
manusia.
Mulai
dari al-hikmat sebagai
keutamaan akal, al-shaja‘ah keutamaan
daya, al-gadab,
al-‘iffah sebagai keutamaan daya al-shahwah, dan al-‘adalah sebagai keseimbangan daya itu.
Keutamaan-keutamaan inilah yang harusnya digali, karena manusia selain badan,
juga memiliki akal, nafsu/syahwat dan hati.
Sudah
jelas, Sedulur Papat Limo Pancer merupakan
bagian dari diri manusia yang harus diijtihadi, digali, dan disinergikan ke
dalam kehidupan agar manusia dapat kembali kepada Tuhannya. Uniknya, saat ini
Indonesia berada pada era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 yang secara
leksikal merupakan kesamaan dari Sedulur Papat (Revolusi Industri 4.0), Limo
Pancer (Society 5.0). Ini bukan kebetulan, namun memang sudah sesuai dengan zeitgeist (spirit
zaman).
Jika kita tidak dapat
mentransformasi teknologi batin pada Sedulur
Papat Limo Pancer, maka akan susah bagi kita untuk menjawab
tantangan Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
Sebab,
sinyal, kuota, internet, pulsa, semuanya adalah dunia maya, makhluk gaib yang
kita sembah setiap hari. Sedangkan Sedulur Papat Limo Pancer jelas-jelas ada
secara fisik saat kita lahir. Dus, kini siapa yang lebih gaib dan mitos antara
sinyal, pulsa, kuota dengan Sedulur Papat Limo
Pancer?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar