Minggu, 12 Juli 2020

Cintaku Diantara Mega 03-04


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  03*

"Iya kan, kamu Basuki ? Basuki anaknya mas Cokro? Lupa sama aku? Darmono, temannya ayah kamu."
"Oh.. iya om, saya ingat. Om adik kelasnya bapak ketika SMP, ketemu waktu ada reuni, waktu itu saya masih muda.."
Darmono tertawa.

"Sekarangpun kamu belum berubah, masih muda dan tetep ganteng. "
"Terimakasih om."
"Oh ya, kenalkan, ini anak om, Bagas namanya."
Bagas menyalami Basuki. Tangan dengan otot kekar itu menggenggamnya erat.
"Bagas.."
"Basuki"

"Kamu sekarang tingal di Solo? Bukannya kamu dulu ada didaerah Salatiga? Ah ya.. ayahmu punya banyak perkebunan. Ada yang didaerah Ungaran juga kan?"
"Iya om, tapi sekarang saya sering tinggal di Solo."
"Ah, kalau begitu bisa sering kerumah dong."

"Bapak mau cabuk rambak? Atau ketan juruh pake bubuk dhele ?" Bagas memotong pembicaraan itu.
"Ya, aku cabuk rambak, minta karaknya yang gosong ya yu?"
"Kamu sudah makan, Bas?"
"Sudah.., saya tadi makan ketan puli.. enak om."
"Ya, nanti kalau belum kenyang aku juga mau itu."
"Ini untuk bapak, , mas Basuki mau makan apa lagi?"
"Sudah, aku sudah kenyang. Biar aku temani saja disini."
"Kamu disini tinggal dimana?"
"Daerah Jurug om. Kapan-kapan mampir ya."

"Ya, ya.. nanti catat alamatnya yang jelas.  Bagas, catat nomor kontak masmu ini, supaya gampang nyambungnya."
"Iya bapak, nanti saja setelah makan."
"Ini langsung kerumah juga nggak apa-apa om, saya cuma sendirian dirumah."
"Lho, isteri kamu?"

Basuki tertawa.
"Masih belum laku om."
"Masak, orang ganteng dan sukses seperti kamu kok bisa belum laku."
"Benar om, belum laku."
"Jangan mencari yang susah-susah, yang penting cantik dan bisa menjadi isteri yang baik."
"Iya om, do'akan saja."
"Ya, om do'akan,:

"Nanti langsung kerumah ?"
"Tidak bisa mas, saya kan harus kerja."
"Oh, baguslah,Kerja dimana ?"
"Iya tuh Bas, baru sebulan dia kerja, mengeluh terus dan bilang mau resign. Padahal dia masuk itu karena aku menitipkannya pada teman, pemilik perusahaan itu."                                                 

"Kenapa nggak betah? Kerjaannya berat?"
"Nggak juga mas.. nanti lah, lain kali aku mau cerita. Ayuk bapak, mau nambah apa lagi nih, Bagas jam setengah delapan harus masuk nih.
"Kalau masih ada waktu, ketan saja, dikasih bubuk sama juruh ya."

"Bapak, nanti mengantar saya kekantor dulu, lalu mobilnya bapak bawa, atau saya antar  bapak pulang  dulu?" tanya Bagas disela-sela makan.
"Begini saja Bagas, kamu bawa mobil kamu ke tempat kerja, biar bapak aku yang mengantar."
"Wah, bikin repot saja, aku bisa naik taksi,"
"Jangan om, pokok nya om saya antar, tapi sebelumnya jalan-jalan dulu kerumah saya."
"Kalau tidak merepotkan ya tidak apa-apa, saya kan pengangguran, tidak terikat apapun," kata pak Darmono.

  ***

"Permisiii... selamat pagiii..." 
Suara dari luar mengejutkan mbok Sumi yang sedang mengumpulkan baju-baju kotor. Ia bergegas kedepan dan membuka pintu. Dilihatnya seorang gadis cantik berdiri didepan pintu.

"Ya non, mau cari siapa ya?"
"Bagas ada?"
"Oh, mas Bagas sudah dari pagi tadi, sama bapak."
"Sudah lama ?"
"Kira-kira sejam yang lalu non."
"Oh, ya sudah.. saya permisi."

"Sebentar non, nanti kalau saya ditanya, non ini siapa ya, dan ada perlu apa?"
"Saya Kristin, teman sekantor Bagas."
"O, non Kristin ya, baiklah, nanti saya bilang sama mas Bagas, tapi sepertinya dia mau langsung masuk kerja. Tadi sudah membawa tas kerjanya, dan sudah memakai sepatu juga."
"Ya sudah, saya permisi dulu," kata Kristin sambil berlalu. Kesal karena Bagas sudah pergi lebih dulu, 

Kristin sudah menghilang bersama mobilnya, tapi simbok masih berdiri didepan pintu.
"Bocah kok cantiknya kaya begitu, badannya tinggi, ramping, hidungnya mancung, bibirnya tipis kemerahan, pipinya juga kemerahan.. Apa itu pacarnya mas Bagas ya. Tapi cocog juga kalau itu, mas Bagas kan ganteng, tinggi besar, pintar. Semoga bener ah.. aku akan senang kalau momonganku dapat gadis cantik seperti itu. Cuma sayangnya kok caranya berpakaian,.. wah.. nggak cocog aku, orang kaya apa kekurangan uang buat beli kain, masa pakai rok bawahan kok cuma sedikit dibawah pantat. Saru ah.. besok aku mau bilang sama mas Bagas supaya ditegur itu, caranya berpakaian. Sudah begitu baju atasnya juga terlalu rendah, sampai kelihatan lekuk-lekuknya. Ah, nggak jadi suka aku. Anak gadis berpakaian seperti itu, namanya nggak sopan."

Lalu simbok masuk kedalam dan menutupkan pintunya sambil masih geleng-geleng kepala.

*** 

 "Bagaaas, aku kan sudah bilang, bahwa aku mau nyamperin kamu.. kok kamu berangkat duluan sih?"
"Aku sekalian mengantar bapak, jadi pagi-pagi sudah berangkat."
"Aku tadi susah payah kerumah kamu.."
"Aku kan nggak minta mbak."
"Ya sudah, nanti pulangnya saja bareng aku, mobilku sudah jadi, tapi aku terlanjur membawa mobilnya papa. Biar nanti sopir membawanya pulang."

"Aku sudah membawa mobil sendiri mbak."
"Ya ampun Gas, kan kemarin kamu bilang kalau mobilnya dipakai bapak kamu."
"Nggak jadi, tadi bapak aku antar dulu, nanti pulangnya  biar naik taksi."
"Kasihan Gas, harusnya tadi biar aja mobilnya dibawa bapak kamu."
"Nggak apa-apa, bapak lebih suka jalan-jalan."
"Bagas..."

Aduh, kapan mulai bekerja kalau dia ngomong terus-menerus? Bagas pura-pura tidak mendengar, dan menyibukkan dirinya dengan membuka-buka laptop."
"Bagas..."
"Sebentar mbak, aku lagi bingung mecari file yang kemarin, lupa saya taruh dimana."
"Aku cuma mau  bilang... nanti siang makan bareng ya."

Bagas mengangkat kepalanya.
"Tidak mbak, ma'af, saya harus makan dirumah."
"Haa.. bolehkan aku ikut?"
Bagas terkejut. Bagaimana mungkin ada orang senekat ini? 
"Gas.."
"Ma'af mbak, tolong biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya." 

***

Basuki benar-benar mengajak pak Darmono kerumahnya. Rumah kecil tapi apik dan tampak mewah. Banyak tanaman bunga disekitar halaman depan. Agak mengherankan, rumah seorang bujangan tapi banyak pohon-pohon bunga disekitar.

"Bukan main.." gumam pak Darmono begitu turun dari mobil.
"Apanya om?"
"Kamu ini bilang masih bujangan, jarang rumah bujangan banyak ditumbuhi bunga-bunga  Kamu memang suka bunga-bunga?"
"Bukan, pembantu saya yang menanam dan merawatnya."
"Kamu disini bersama pembantu?."
"Iya, ibu-ibu tukang masak dan tukang bersih-bersih kebun."
"Oh, pantesan.. atau memang ini disiapkan untuk calon isteri?"
Basuki tertawa.

"Silahkan masuk om," 
Darmono masuk dan duduk disebuah sofa..
"Inilah om , rumah bujang lapuk.."
"Aku heran, mengapa kamu tidak segera mencari isteri?"
"Saya kan sudah bilang om, belum ada yang mau."
"Ah, bercanda kamu Bas. Masa nggak ada yang mau sama bos ganteng yang punya segalanya."
"Bener om.. belum ada yang mau."

"Aku tuh nggak ketemu mas Cokro sudah puluhan tahun. Waktu itu kamu masih remaja, dan nakalnya bukaa main."

Basuki tertawa, menampakkan sederet gigi yang terawat rapi. Sungguh, biarpun sudah tidak tergolong muda, tapi penampilan Basuki masih tetap menawan. Tubuhnya tinggi besar, rambutnya ikal. Matanya tajam.  Oh ya, kalau Darmono mengatakan bahwa dulu Basuki sangat nakal, memang benar, nakalnya juga bukan sembarang nakal. Dia pernah menghebohkan sebuah dusun di daerah Sarangan, gara-gara dia jatuh cinta kepada gadis dusun yang molek bernama si Sri. Dan kegilaannya itu sempat membawanya ke balik terali besi selama bertahun-tahun.
Darmono tak begitu mengetahui kejadian itu karena waktu itu dia masih di Jakarta, menunggui Bagas kuliah disana.

"Apa susahnya mencari isteri yang cocok buat kamu?" kata Darmono lagi.
"Belum menemukan lagi seperti yang Basuki idam-idamkan."
"Lagi? Berarti pernah jatuh cinta, atau pernah ditinggalkan kekasih.."
"Saya punya sejarah masa lalu yang buruk om. Tapi sudahlah, saya tak ingin mengungkit masa silam yang kelam itu lagi. Saya ingin mengarungi  hidup ini dengan melakukan hal-hal baik saja."

"Baiklah, aku juga tak ingin bertanya lebih lanjut. Tapi aku menyesal ketika mas Cokro meninggal aku tidak mendengarnya. Sepertinya waktu itu aku masih tinggal di Jakarta."
"Iya om.. Oh ya, om mau minum apa?"
"Tidak sudah minum tadi. Sekarang aku hanya ingin berbincang saja. Aku senang bisa ketemu kamu. Kamu mirip sekali dengan ayahmu."
"Masa sih..?"
"Benar, itu sebabnya tadi aku langsung mengenali kamu."
"Saya juga senang bisa bertemu dengan sahabat almarhum bapak."
"Kamu masih melanjutkan bisnis ayahmu? Mengelola perkebunan cengkeh?"
"Sekarang tidak seberapa besar seperti ketika bapak masih ada. Tapi ya lumayan om."

"Cepatlah cari isteri."
"Siap om. Tapi om belum menceritakan, putera om berapa? Cuma Bagas atau ada yang lainnya?"
"Cuma Bagas. Isteri om meninggal beberapa bulan setelah melahirkan Bagas."
"Lalu...?"
"Lalu om sendiri sampai sekarang, merawat Bagas dan menyekolahkannya sampai selesai."

"Oh, jadi om sendirian merawat Bagas yang masih bayi? Tidak berniat menikah..mm ma'af.. maksud saya supaya ada yang bisa membantu merawat Bagas bersama-sama?"
"Tidak, om punya pembantu yang amat setia, yang merawat Bagas dari bayi sampai sekarang. Namanya mbok Sumi."
"Oo.."

"Tapi aku tidak bisa lama-lama disini Bas, aku harus segera pulang. Kalau kamu repot aku bisa naik taksi."
"Tidak, tidak .. saya akan mengantarkan om, sekaligus ingin melihat rumah om, supaya kalau suatu hari ingin berbincang lagi dengan om, tidak usah mencari-cari."

***

"Bagas... Bagas..!" Kristin memanggil-manggil Bagas diruangannya, tapi tidak ketemu.
"Gimana sih  Bagas.. pasti dia telah pulang lebih dulu dan sengaja tidak mengajak aku. Dasar, laki-laki sombong !" omel Kristin sambil keluar dari ruangannya.

Rupanya Bagas memang sengaja pergi ketika Kristin tidak ada ditempatnya,  supaya tidak memaksa untuk ikut bersama dia.
Tapi sebelum sampai di parkiran, Kristin bertemu dengan ayahnya.
"Kristin, kamu mau pulang makan?"
"Iya. Papa mau ngapain kesini?"
"Nggak apa-apa, ingin melihat hasil kerja kamu setelah papa menyerahkan perusahaan ini ke tangan kamu."
"Semuanya beres dong pa.."

"Ya sudah, kita omong-omong nanti sambil makan siang. Kamu mau makan dimana?"
"Terserah papa saja."
"Aku dengar, kemarin waktu ada tamu  ada masakan yang dipuji-puji tamu kita., Benarkah?"
"Oh, itu timlo langganan Bagas."
"Papa jadi ingin makan disana."
"Papa, itu warung, bukan restoran." protes Kristin karena keberatan kalau harus makan di warung.
"Tidak apa-apa, biar cuma warung kalau masakannya enak. Ayo, dimana alamatnya?"
"Kristin tanya dulu alamatnya pada Bagas, oh tidak, orang pantry pasti tau. Sebentar ya pa."

***

Tapi Bagas tidak benar-benar pulang ke rumah. Dia ke warung Mery seperti hampir setiap hari dilakukannya. Dan selalu setiap makan pasti minta agar Mery menemaninya.

"Anak manja, mengapa kemarin nggak jadi kesini, aku benar-benar belum pulang karena kamu bilang mau datang."
"Iya mbak, gara-gara bos genit itu, aku pulang kesorean."
"Meetingnya belum selesai?"

"Bukan, harus nganterin bos pulang, udah gitu, hampir sampai dirumahnya, dia bilang kunci rumah tertinggal di kantor. Jadi aku harus balik lagi ke kantor karena kunci tertinggal itu."
"Asyik dong.."
Bagas cemberut.

"Tapi dia cantik bukan alang kepalang, mengapa kamu tidak suka sih?"
"Sebel aku sama dia, sukanya maksa-maksa.. "
"Kamu jadi mau resign?"
"Jadi sih, tapi bapak masih menghalangi, gara-gara rasa berhutang budi sama pak Suryo."
"Berhutang budi?"
"Iya, apa aku belum  pernah bilang, bahwa aku diterima bekerja karena ayahnya Kristin itu teman sekolahnya bapak."
"O, gitu. Memang tidak enak orang berhutang budi."

"Tadi pagi tuh, bapak juga ketemu sama anak temannya. Kalau itu teman SMP,  Dia juga pengusaha kaya, aku mau bilang minta pekerjaan sama dia."
"Oh, baguslah, mengapa tidak dicoba?"
"So'alnya aku tadi terburu-buru mau masuk kerja. Orangnya ganteng, tinggi besar, dan kata bapak, ayahnya dia itu pengusaha sukses. Namanya...."

"Bagaaas !" tiba-tiba sebuah teriakan menggema di seantero warung makan itu, membuat beberapa orang yang sedang makan menoleh kearahnya. Seorang gadis cantik menggandeng ayahnya masuk.

Bagas terkejut bukan alang kepalang.
Tiba-tiba Kristin muncul diwarung itu bersama ayahnya."
***
besok lagi ya.



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  04*

 

Bagas terkejut, melihat pak Suryo mendekat ke arah mejanya. Bagas segera berdiri dan menyalami.

 

"Kok kebetulan kamu juga ada disini Gas?"

"Iya pak, lebih suka disini, masakan Jawa semua, dan enak."

"Silahkan pak," kata Mery kemudian beranjak kebelakang,

 

Bagas ingin menghentikan Mery tapi sungkan sama pak Suryo yang kemudian sudah duduk didepannya bersama Kristin.

 

"Kamu makan apa itu Gas?"

"Saya timlo pak, tapi ada yang lainnya, itu daftar menunya ada diatas," kata Bagas sambil menunjuk kearah tulisan besar-besar berisi daftar menu dan harganya.

 

"Haa.. ada macam-macam.. tapi aku ingin nasi timlo saja. Kamu apa Kris?"

"Makanan murah begitu, apa enak ya?" kata Kristin sambil memoncongkan bibirnya.

"Jangan melihat harganya, rasakan dulu.. kamu sukanya kok begitu, belum belum sudah menilai."

 

Bagas memanggil pelayan.

"Mas, aku nasi timlo sama minumnya jeruk panas ya. Kamu apa, cepetan.."

"Aku mau nasi goreng saja. Dikasih udang. Minumnya.. es kopyor," kata Kristin tanpa menoleh kearah pelayan.

 

"Kamu nggak pesan lagi Gas?"

"Sudah pak, saya sudah mau kembali ke kantor."

"Lho, sebentar lagi, nemenin kami makan lah.. atau kamu mau pesan apa lagi.. gitu."

Bagas merasa tidak enak untuk menolak. 

 

"Bagas itu langganan kesini pa.. setiap makan siang pasti kesini."

Bagas hanya tersenyum. Sebel juga so'alnya Kristin menatapnya terus tanpa malu-malu. 

 

"Bagas pasti yakin kalau makan disini pasti enak, ya kan Gas?"

"Ini kan seleranya orang seperti saya pak, yang penting pas dikantong, pas dilidah."

"Nyindir ..." celetuk Kristin.

"Nggak, itu benar.. untuk apa harus makan ditempat mewah kalau di tempat biasa sudah merasa enak."

Kristin mencibir.

 

"Kamu harus belajar dari Bagas Kris. Kamu selamanya mau yang paling bergengsi, yang paling top, Beli barang juga begitu, bukan memilih barangnya tapi merknya. Padahal ada yang barangnya sama tapi harganya lebih murah."

 

Pesanan sudah datang, dan pak Suryo menarik mangkuknya dengan mata berbinar.

"Hm, baunya sedap... ini luar biasa. Salah kamu memesan nasi goreng, kamu sudah biasa memakannya, tapi ini berbeda."

 

Pak Suryo menyendok sedikit dan mengecap-ngecapnya di lidah.

"Wouw.. enak.. benar enak.. ada sambal kecapnya juga nih.."

Kristin tak bereaksi, ia juga segera menyantap nasi goreng pesanannya. Hm, enak, batin Kristin, tapi dia malu mengakuinya karena sebelumnya sudah merendahkannya.

 

Bagas tersenyum, Kristin memakannya dengan lahap. 

"Enak Kris?" tanya pak Suryo.

"Mm.. lumayan, so'alnya Kristin lagi lapar."

 

Bagas masih menyunggingkan senyumnya. Ia tau kalau nasi goreng buatan Mery sangat enak, tapi Kristin malu mengakuinya. Ia menghabiskannya dengan cepat karena alasan lapar. 

"Enak, boleh nambah ya, separo saja."

"Bisa dong pak,"

 

Bagas melambaikan  tangan kearah pelayan dan memesan lagi setengah porsi.

"Papa, tumben makan banyak.."

"Enak..Bisakah kamu memasak?"

"Ih, Katrin nggak suka memasak pa, kan sudah ada simbok."

"Harusnya yang namanya pembantu itu yang hanya membantu, kamulah yang harus mengerjakan."

 

Kristin tak menjawab, ia asyik menyedot es kopyornya dengan nikmat.

Diam-diam dia menyukai sikap pak Suryo. Biarpun dia orang kaya dan terpandang, tapi ia sangat rendah hati. Mengapa Kristin tak meniru sikap ayahnya?

 

"Pa, nanti papa langsung pulang kan?"

"Iya, mau kemana lagi?"

"Kalau begitu Kristin mau bareng Bagas saja."

"Oh, bagus kalau begitu, papa mau mampir kerumah teman dulu."

 

***

 

Mery duduk dibelakang warung sambil mengamati anak buahnya menata pesanan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba merayapinya. Mengapa dia tak suka melihat kedatangan Kristin, dan lebih tak suka lagi melihat Kristin akan satu mobil dengan Bagas karena dilihatnya Gadis itu tidak mengikuti ayahnya tapi mengikuti Bagas. Ia juga melihat Kristin  menggandeng lengan Bagas, yang kemudian Bagas menghindarinya. Rasa tidak suka itu terus menghantuinya, sampai kemudian dia memutuskan untuk pulang saja.

 

"Ibu mau kemana?" tanya Mini pembantu setianya dan juga orang yang dipercayanya.

"Mau pulang, badanku agak kurang enak."

"Ibu kecapean barangkali."

"Iya, mungkin, tapi aku nanti juga mau mampir belanja. Tadi anak-anak memesan barang-barang habis yang harus segera dibeli."

"Kalau ibu nggak enak badan, biar saya saja yang belanja."

"Nggak apa-apa kalau cuma belanja sebentar. Tenang saja Mini."

"Baiklah, tapi ibu harus segera beristirahat."

"Iya Mini, terimakasih."

 

Mery berlalu, membuka pintu mobilnya dengan perasaan resah. Lalu mengendarai mobilnya juga masih dengan perasaan gundah.

"Apa yang terjadi pada diriku ini?" gumamnya pelan.

 

Terbayang kembali bagaimana Kristin berusaha menggandeng tangan Bagas. Terbayang bagaimana Kristin memandangi Bagas ketika duduk dihadapannya. 

"Tapi Bagas bilang bahwa dia tak suka sama dia," gumamnya lagi.

"Walau tak suka, kalau setiap hari disuguhi wajah cantik yang selalu melemparkan senyum manis memikat, sapa yang mendayu-dayu, apakah Bagas akan tetap bertahan?"

 

Lalu Mery merasa heran pada dirinya sendiri. Setiap kali Bagas mengatakan suka pada dirinya, Mery selalu menolaknya, tapi melihat sikap Kristin, mengapa batinnya seperti terluka? Aduhai..

 

"Gila kalau aku juga suka sama dia, anak kecil yang manja!" katanya sambil memukul  kemudi  mobilnya. Lalu menghela nafas panjang.

"Tapi aku suka kalau dia bermanja-manja sama aku,"

 

"Gila..gila.. gila !!" katanya sambil kembali memukul-mukul kemudi mobilnya, kali ini lebih keras.

***

"Selamat siang," sapa pak Suryo didepan pintu sebuah rumah.

"Selamat siang, ya ... mas Suryo? Angin apa yang membawamu sampai kemari." sambut pak Darmono dengan riang.

"Yang jelas bukan angin duduk."

Keduanya tertawa   keras.

 

"Ada-ada saja. Ayo silahkan duduk, masuk saja..."

"Nggak, disini saja, lebih enak, hawanya segar.. dan jangan menawari aku minum, apalagi makan, karena aku baru saja makan dan minum bersama anakmu."

"Bagas?"

"Iya, siapa lagi, memangnya kamu punya anak lain selain Bagas?"

"Ya tidak.. tapi bagaimana bisa makan bersama Bagas? Mas lagi di kantor?"

 

"Aku ke kantor mau ketemu Kristin, tapi Kristin mau keluar makan, ee.. kebetulan ketemu Bagas di warung timlo."

"Oh, iya.. Bagas bilang setiap hari makan disitu. Enak timlonya, kemarin aku juga dibelikan Bagas timlo ditempat langganannya itu."

 

"Benar enak, aku baru sekali merasakan, tapi kayaknya bakal ketagihan."

"Syukurlah. Bagas itu kan maunya makan yang murah meriah, maklum duitnya belum banyak. Bapaknya juga cuma orang pensiunan."

"Oh, itu bagus, aku suka anakmu, tidak manja, mau menjalani hidup apa adanya."

"Iya lah mas, dari kecil kan dia tau bagaimana bapaknya ini."

 

"Berbeda dengan Kristin. Dia itu anak tunggal, dimanja sekali sama ibunya. Tidak diajari untuk hidup sederhana, tidak diajari mengerjakan pekerjaan yang biasa wanita kerjakan. Itu sebabnya aku menyerahkan perusahaan itu biar diurus sama dia, supaya dia belajar bertanggung jawab dan bisa bersikap lebih dewasa. Aku senang dia bisa menjalankannya. Lalu aku juga membelikan satu rumah kecil untuk dia, maksudku supaya dia bisa mandiri, mengerjakan semua keperluannya sendiri. Ee.. yang ini tidak berhasil."

"Mengapa?"

"Ibunya mengirimkan pembantu untuk dia. Sama juga bohong kan?"

Pak Darmono tertawa melihat sahabatnya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum masam.

"Biarkan saja dulu, lama-lama pasti dia bisa."

 

"Bagaimana kalau kita besanan?" kata pak Suryo tiba-tiba.

"Apa?" pak Darmono menatap sahabatnya dengan wajah tak percaya. Kalau dia mengajak besanan, berarti menjodohkan anaknya dengan Kristin?  

"Iya, aku serius. Kristin membutuhkan suami yang seperti Bagas, bisa menjalani hidup dengan apa adanya. Ia bisa mengajarinya."

 

"Wah, ini perso'alan yang tidak segampang mengucapkannya. Anak sekarang mana mau di jodoh-jodohkan?

"Ya, aku tau, artinya sekarang ini kalau aku dan kamu sudah sepakat, tinggal  nanti anak-anak itu yang akan menentukan. Aku dan kamu tidak usah memaksa."

"Ooh, begitu ya?"

 

"Atau.. kamu keberatan punya besan seperti aku?"

"Tidak.. bukan  begitu. Kalau kamu mau punya besan seperti aku, ya ini namanya anugerah bagi aku. Bagaimana mungkin aku bisa bilang bahwa aku keberatan?"

"Terimakasih kalau begitu, kita tunggu bagaimana nanti anak-anak. Kan mereka yang menjalani."

 

***

 

Seorang laki-laki gagah dan ganteng memasuki warung Mery, lalu duduk disalah satu bangku yang kosong. Ia melongok kedalam, seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.

 

Seorang pelayan mendekati.

"Bapak mau pesan apa?"

"Nasi timlo,  minumnya es jeruk saja."

"Baiklah," pelayan itu berlalu.

Laki-laki itu menungu sambil membuka buka ponselnya.

 

Dibelakang, Mini bertanya kepada pelayan itu.

"Eh, kamu ingat tuan itu tadi?" 

"Iya bu, dua hari yang lalu dia juga makan disini."

"Kamu ingat karena dia memberi kamu uang kan?"

"Iya bu, apa bu Mery marah?"

 

"Tidak, pernahkah bu Mery marah sama kita? Aku cuma tertarik untuk mengetahui siapa dia. Ketika dia keluar dari warung ini beberapa hari yang lalu, bu Mery tampak mengamatinya dengan seksama. Sepertinya pernah mengenalnya."

"Nanti saya tanyakan.."

"Eh, jangan.. nggak usah, pakai mau nanya segala. Nggak sopan, tau!?'

"Iya bu."

"Ya sudah, cepat layani dia."

 

Basuki menikmati makan siangnya, tapi ditengah-tengah makan itu ia memanggil lagi pelayan yang tadi melayaninya.

"Ya, mau pesan apa lagi bapak?"

"Tidak pesan, cuma mau tanya, apakah nama Mery itu diambil dari nama pemiliknya?" tanyanya sambil menunjuk kearah papan nama yang terpampang diluar."

"Iya pak, pemilik warung ini bu Mery."

"Apa dia ada?"

"Kebetulan tadi sudah pulang pak, katanya nggak enak badan."

"Owh.."

"Ada pesan untuk bu Mery?"

"Tidak.. tidak ada. Ya sudah, terimakasih."

 

Laki-laki gagah itu menghabiskan makannya, lalu beranjak keluar warung sambil memberikan uang seratusan ribu.

"Kembaliannya untuk kamu."

"Terimakasih banyak pak," kata pelayan sambil terbungkuk-bungkuk.

 ***

 

Pagi hari itu Sri masih menyiapkan sarapan didapur, ketika melihat Mery sudah bangun.

"Lho, semalam katanya pusing, kok sudah bangun? Tiduran saja lagi, biar aku yang menyiapkan makan pagi, mbak," kata Sri khawatir.

 

"Tidak, sudah baik, pusingnya bukan sembarang pusing nih."

"O, ada sesuatu? Bocah itu mengganggu lagi?"

"Aku bingung.."

"Tampaknya mbak Mery lama-lama juga suka sama dia."

"Aku sudah merasa tua."

 

"mBak Mery jangan begitu. mBak Mery berhak dicintai dan mencintai. Kalau memang dia itu baik, dan sungguh-sungguh mencintai, mengapa harus menolaknya?"

Mery menghela nafas. Ia mengambil gelas lalu menuangkan minuman dingin dari dalam kulkas. Sri menarik tangannya.

 

"Jangan minum air dingin, masih pagi. Tuh, Sri sudah buatkan teh panas buat mbak. Masih mengebul. Ayo kita minum bersama,  pisang goreng juga ada."

"Oh, iya, bau pisang goreng, aku baru mau bertanya, bau apa ya, harum-harum wangi."

 

"Pisang kepok yang tiga hari lalu kita ambil dari kebun, sudah masak semuanya. Nanti mbak Mery bisa membawa untuk anak-anak warung. Aku sudah menggoreng banyak."

"Terimakasih Sri, kamu selalu baik," kata Mery sambil duduk dikursi dapur. Dimeja didepannya sudah ada teh panas dan sepiring pisang goreng. Mery menghirup tehnya perlahan.

 

"Mana mas Timan?"

"Masih di kamar, lagi bercanda sama Tiwi."

"Hm, menyenangkan kalau sudah punya anak."

"Benar sudah tidak pusing lagi mbak?"

"Tidak, setelah minum teh hangat buatan kamu."

"Ah, mbak Mery. Lalu bagaimana dengan Bagas?"

"Aku tidak berani memutuskan. Takut kalau dia kecewa."

"Mengapa harus kecewa? mBak Mery itu cantik, pintar masak.."

"Aku pintar masak itu kan karena belajar dari kamu Sri."

 

"Apapun itu, sekarang mbak Mery kan sudah bisa masak yang enaknya luar biasa. Jadi mana mungkin dia kecewa?"

"Kamu lupa Sri, aku kan sudaha tidak perawan lagi?" kata Mery sendu.

 

"Kalau orang itu benar-benar mencintai, ia harus bisa menerima semua kelebihan dan kekurangan kita. Pegang kata-kata saya mbak, mbak Mery itu pantas mencintai dan dicintai. Kalau memang dia cinta, tak akan ada cacat celanya yang ada dalam diri mbak Mery. Dia pasti menerimanya."

Benarlah? Tapi Mery masih ragu.

***

 

Siang hari itu ketika Bagas sedang berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponselnya berdering.

"Mas Basuki?"

"Hallo Gas, lagi sibuk?"

"Nggak mas, sudah mau off  untuk istirahat makan siang."

"Bagus, ayo kita makan siang bersama."

"Dengan senang hati mas, dimana ?"

"Ada sebuah warung yang pasti kamu akan menyukainya. Aku akan kirim alamatnya."

"Baiklah mas."

"Tapi kalau kamu datang lebih dulu, kamu tungguin aku ya, aku masih akan mampir untuk suatu keperluan."

"Siap mas."

 

Bagas tersenyum ketika membaca pesan singkat dari Basuki. Itu Warung Timlo bu Mery, ia kan sudah hampir setiap hari kesana? Bagas akan mengatakannya, tapi diurungkannya. Ia hanya membalas..oke mas..

 

"Bagaas.." selalu saja Kristin memanggil namanya dengan suara yang mengejutkan. Ia baru saja memasuki ruangan.

Bagas mengangkat kepalanya.

 

"Nanti makan siang bareng aku ya? Aku sudah memesan tempat disebuah restoran."

"Tidak, mengapa harus memesan tempat segala sih?"

"Restoran itu selalu ramai kalau pas sa'at makan siang begini, jadi aku harus memesan tempat duduk yang nyaman supaya tidak dipakai orang lain."

"Tapi aku sudah janjian sama teman, ma'af."

"Perempuan?"

 

"Memangnya kenapa selalu bertanya begitu? Kalau perempuan kenapa, kalau laki-laki kenapa?"

"Cuma ingin tau."'

"Laki-laki, anaknya teman bapak, yang lama tidak ketemu."

" Aku boleh ikut?"

"Nggak boleh, ma'af," kata Bagas sambil kembali menekuni pekerjaannya.

***

 

Bagas sengaja datang lebih awal, supaya bisa bertemu mbak Mery nya sebelum Basuki datang. Siang itu mbak Mery menyambut Bagas dengan wajah berseri. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya jadi lain. Sangat gembira melihat Bagas.

 

"Kamu akan datang bersama bos cantikmu itu lagi?" tanya Mery sambil mendahului duduk.

 

Bagas duduk didekatnya, lalu memegang tangan Mery dengan hangat. Mery berdebar tak menentu. Ia merasa aliran darahnya begitu cepat mengalir, berpacu dengan degup jantungnya. Tapi tiba-tiba dia sadar akan keadaannya, tak mungkin dia meladeni laki-laki muda nan menawan ini demi menurutkan hawa nafsunya. 

 

"Tidak, cintaku bersembunyi dibalik mega. Tak harus begini. Ini gila." kata batinnya sambil menarik tangannya agar pegangan Bagas terlepas. Namun Bagas tidak mau melepaskannya.

 

Sa'at itulah Basuki datang dan tegak ditengah-tengah pintu tanpa mampu melanjutkan langkahnya.

***

 

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar