Jumat, 17 Juli 2020

Cinta Ada Diantara Mega 19-20


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  19*

Kristin memacu mobilnya. Ia harus kerumah Bagas. Ia menyesal karena terlalu keras mengumbar sikapnya. Pasti Bagas salah terima. 

"Bodoh Kristin, kamu bodoh !" gumamnya sambil menepuk-nepuk kemudinya, lalu berlinanglah air matanya.
"Aku cinta kamu Bagas, jangan pergi, jangan meninggalkan aku," bisiknya sambil mengusap air matanya.

Namun begitu sampai dirumah Bagas, rumah itu kosong. Hanya ada simbok yang menemuinya, tapi tidak tahu kemana majikannya pergi.

"Kalau bapak, sudah dari tadi perginya. Saya tidak tau kemana? Tadi perginya naik taksi. Lha mas Bagas bukannya pergi ke kantor?" kata simbok.
"Oh, ya sudah mbok, terimakasih banyak ya," kata Kristin sambil membalikkan tubuhnya. 
Simbok menatapnya dengan heran.

"Bukankah itu gadis yang kesini dulu itu? Mengapa sekarang cara berpakaiannya berbeda? Ini kelihatan cantik dan sopan. Aku suka. Tapi bukankah dia sekantor dengan mas Bagas? Mengapa mencarinya kesini? Apa mas Bagas mbolos kerja?" gumam simbok sambil menutup pintu rumahnya.

Sementara itu Kristin tak segera menjalankan mobilnya. Ia menghentikannya tadi ditepi jalan disamping pagar rumah Bagas. Ia berharap melihat Bagas kembali, tapi sejam lamanya Kristin menunggu, yang ditunggu belum juga tampak.

Kristin menstarter mobilnya dan menjalankannya pelan, membawa hatinya yang letih.. lemas.

"Bagas, kamu kemana ? Jangan pergi Bagas, aku cinta kamu," bisiknya berkali-kali, dan berkali-kali pula ia mengusap air matanya.

 

***

 

Rupanya Bagas yang pulang kerumahnya melihat mobil Kristin diparkir disamping pagar. Bagas sampai belakangan karena berhenti mengisi BBM di pom. Karena melihat Kristin ada dirumahnya, maka Bagas memilih memutar kembali mobilnya karena tak ingin bertemu Kristin.

Kemudian ia memutuskan ke warung Mery, karena dia memang belum makan.

 

***

 

Mery dan Basuki yang menuju pulang ingin mampir ke penjual gorengan yang kemarin. Tapi dilihatnya tempat itu kosong. 

Basuki menghentikan mobilnya didekat tempat dimana bu Sumini berjualan. Melihat kesana kemari barangkali ia menggelar dagangannya agak bergeser dari tempatnya kemarin. Tapi tak ada. 

 

"Apa nggak jualan ya Bas?" tanya Mery.

"Mestinya nggak jualan. Kemarin jam segini kita  kesini kan?"

"Sebentar, aku mau tanya ke ibunya yang disana itu," kata Mery yang kemudian turun dari mobil.

 

Mery mendekati seorang penjual dawet yang mangkal tak jauh dari sana.

"Bu, mohon tanya, apakah ibu penjual gorengan disitu hari ini nggak jualan ya?"

"Oh, tidak mbak, hari ini dia pindah tempat sewa, jadi mungkin besok baru jualan."

"Oh, pindah rumah sewa? Dimana sebenarnya rumahnya?"

"Sebelumnya dia menyewa dibelakang situ, tapi karena rumahnya mau dibongkar, lalu dia pindah ketempat lain."

 

"Oh, jauhkah pindahnya?"

"Saya kurang tau bu, mungkin tidak jauh dari sini, tapi entah dimana persisnya. Saya sih bukan orang sini, jadi tidak banyak tau."

"Oh, baiklah bu."

"Tidak ingin beli dawet mbak? Ini gulanya asli lho, tidak pakai pemanis."

"Oh ya, baiklah, tolong dua gelas saja, biar saya bawa pulang."

"Ya mbak, terimakasih."

 

Mery kembali ke mobil dengan membawa dua gelas dawet.

"Apa tuh ?"

"Ini dawet, mau? Seger kayaknya, ada tape ketan, ada nangka.. cobain ya."

"Suapin..."

"Huh, manja..," omel Mery, tapi dia segera membuka tutupnya dan menyendokkannya ke mulut Basuki."

"Mm.. iya, enak.. lagi.. lagi.."

 

Mery menyuapi Basuki sampai habis segelas.

"Seger Mer... sekarang kamu sendiri.. kok malah nyuapin aku sih..?"

"Hiih... Basuki gimana sih, katanya tadi minta disuapin.. "


"Lha sekarang aku yang gantian nyuapin kamu ya, biar impas.."

"Nggak mau, kaya orang hutang saja pakai istilah impas segala," kata Mery yang kemudian membuka gelas dawetnya lalu menyendoknya perlahan.

"Iya, enak, aku suka nangkanya.. "

 

Basuki menstarter mobilnya, lalu meluncur perlahan menuju warung Mery.

"Lha tadi bagaimana tentang bu Sumini? Malah asyik menikmati dawet, lupa kalau ingin beli gorengan."

Mery tertawa.

 

"Iya, sampai lupa bilang. Bu Sumini nggak jualan hari ini karena pindah rumah sewanya."

"Pindah kemana?"

"Penjual dawet itu juga nggak tau. Dia bukan orang sini, katanya."

"Oh.. jadi lokasi dagangnya juga pindah?"

"Kata penjual dawet itu, besok mungkin sudah jualan."

"Oh, ya sudah, artinya kalau pas pengin lagi, bisa langsung kesini kan?"

 

*** 

 

Begitu Mery dan Bauki memasuki warung, dilihatnya Bagas ada disana, sedang duduk menikmati nasi timlo kesukaannya.

 

"Bagas !" seru Mery dan Basuki hampir bersamaan. Mery senang  Bagas sudah mau makan lagi diwarungnya. Artinya Bagas sudah tidak merasa patah hati.

 

Bagas menoleh, dan melambaikan sebelah tangannya karena yang sebelah lagi sedang menyendokkan nasi kemulutnya.

Basuki segera duduk dikursi didepan Bagas.

 

"Mau makan timlo Bas?" tanya Mery sambil melangkah kebelakang.

"Ya, mau..." jawab Basuki.

"Aku sudah hampir habis mas."

"Iya, nambah lagi dong, aku temani makan."

"Iya deh, separo porsi saja."

 

Tapi sebelum memesan, pelayan menyajikan 3 porsi nasi timlo berikut es jeruk kemeja mereka.

"Waduh... mana muat perutku.." pekik Bagas ketika Basuki menyodorkan mangkuk kedepannya.

"Muat.. ayolah."

 

Mery kemudian ikut duduk bersama mereka.  Bagas sudah bisa mengendapkan perasan cemburu dan kesalnya kepada Mery dan Basuki. Ia bahkan juga tidak lagi merasa mencintai Mery karena memang seharusnyalah Mery menjadi isteri Basuki.

 

"Silahkan..." kata Mery sambil menyendok makanannya.

"Waduuh..  siapa yang tanggung jawab nih kalau aku nggak bisa menghabiskan seporsi lagi."

"Akulah... ayo cobain, Tapi awas ya kalau sampai habis, kena denda kamu !" canda Basuki.

 

Suasana itu tak pernah dibayangkan Bagas. Bahkan sekarang ia benar-benar bisa menerima perjodohan antara Mery dan Basuki dengan segala keikhlasan yang dia punya. 

 

"Kamu sudah memikirkannya kan Gas?"

"Tentang pekerjaan itu?"

"Ya, kalau bisa secepatnya, aku tak ingin pusing dengan urusan yang tetek bengek itu, aku hanya ingin mengurusi isteriku ini saja," katanya sambil melirik Mery.

 

Mery mencubit lengan Basuki pelan, tapi mesra.

Bagas tersenyum, ia sungguh-sungguh tak merasa cemburu, bahkan suka melihat kemesraan mereka.

 

"Iya mas, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri."

"Lalu mengapa jam segini masih diluar?"

"Aku sudah minta ijin untuk pulang setengah hari."

"Ada perlu ?"

"Tidak,  hanya ingin menghindari kalau-kalau ada yang menahan aku untuk tidak resign."

 

"Ehem.." Mery berdehem sambil tersenyum.

"Ada apa? Tanya Basuki."

 

"Aku tau siapa yang menahannya. Tapi aku heran sama Bagas. Dia itu cantik lho. Cantik sekali, mengapa dia tidak mau menerimanya."

"Siapa sih ?" tanya Basuki penasaran.

"Bosnya Bagas itu, sangat cantik.. dan tampaknya suka sama Bagas."

"Lhooo .. kalau begitu bagaimana bisa bekerja sama dengan aku?"

 

"Sudahlah mas, aku kan sudah menyanggupinya."

"Kalau begitu besok hari Senin, kamu bisa ikut aku ke Ungaran? Nanti aku perkenalkan dengan staf-staf kamu."

"Bisa mas.."

"Baguslah, hari Mingunya kan kita akan rapat dirumah mas Timan, ya Mery?"

"Iya, ajak Bagas juga."

"Pastilah Bagas harus ikut, aku kan juga harus menjemput om Darmono. Dia pengganti orang tuaku.

 

Sambil berbicara itu ternyata Bagas tak terasa menghabiskan semangkuk timlo lagi. Basuki berteriak gembira.

"Nah, benar-benar habis tuh !! Kena denda kamu Gas !!" kata Basuki sambil  menunjuk kearah mangkuk bekas Bagas.
Bagas terbahak, mengelus perutnya yang kekenyangan.

***

Kristin kembali ke kantor dengan rasa putus asa. Ia tidak duduk dimeja kerjanya, tapi selonjoran disofa ruang kerjanya.
Berbagai perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada sesal yang terus menerus meremas-remas hatinya.

"Harusnya aku tidak terlalu kaku. Betul kata mama, harus bisa tarik ulur.. tapi aku menarik terus tanpa mengulur, ya begini ini jadinya," gumamnya sambil mengusap kembali air matanya yang menitik

Lalu Kristin membuka ponselnya, mencoba menghubungi Bagas, tapi rupanya Bagas mematikan ponselnya.

Sekretaris yang masuk membawa sepucuk surat dijawabnya dengan ketus.
"Ibu.. ini..."
"Taruh saja dimejaku !" katanya sebelum sekretaris itu menyelesaikan kata-katanya.

Kristin tak peduli. Hari itu dia uring-uringan. Tak ada pekerjaan yang bisa diselesaikan. Lalu sebelum jam kantor selesai, Kristin sudah beranjak dari ruangnya. 

Tapi sebelum ia membuka pintu, pak Surya sudah berdiri ditengah-tengah pintu itu.
"Papa..?"
"Mana Bagas ?"
"Sudah pulang pa, katanya ada perlu."
"Kamu sudah tau ?"
"Bagas mau resign.." kata Kristin sambil kembali duduk di sofa. Rupanya pak Suryo sudah lebih dulu mengetahuinya.

Pak Suryo duduk dihadapan Kristin, menatap anak semata wayangnya yang wajahnya sendu, redup..seperti mendung yang siap menitikkan hujan.

"Ada masalah ?"
"Tidak pa, aku tidak tahu mengapa  tiba-tiba dia mengundurkan diri."
"Ada yang menawarkan pekerjaan lain. Diluar kota."
"Jadi dia mendapat pekerjaan lain?"
"Kerabatnya pak Darmono. Ia kasihan padanya, lalu dia memperbolehkan Bagas membantunya."

"Pemiliknya masih muda?"
"Ya sudah tidak muda seperti kamu atau Bagas, cuma dia kerepotan mengurus usahanya yang ada dimana-mana. Ayahnya si pengusaha itu, temannya Darmono. Dia sudah almarhum, lalu menganggap Darmono sebagai pengganti orang tuanya. Itu sebabnya Darmono menyarankan agar Bagas membantunya."

"Papa tadi bertemu Bagas ?"
"Tidak, aku bertemu ayahnya, yang mengatakan semua itu."
"Apa kita tidak bisa menahannya pa?"
"Sudahlah, biarkan saja dia pergi."
"Tapi pa," kata Kristin hampir terisak.
Pak Suryo menatap puterinya dengan iba.

"Kris, kamu tidak usah terlalu sedih. Percayalah bahwa jodoh itu Tuhan yang menentukan, jadi kalau memang Bagas itu berjodoh sama kamu, seberapa jauhnya dia pergi, pasti akan ketemu."
Kristin terdiam. Kalau sudah berjauhan, mungkinkah Bagas mengingatnya ?

"Nanti kita cari lagi orang lain untuk membantu kamu."
"Tidak usah pa, Kristin sendiri saja."
"Kalau begitu papa akan sering datang kemari untuk membantu kamu."
"Ya papa."
"Jangan sedih, kamu masih muda, cantik, barangkali ada laki-laki tampan yang lebih cocog sama kamu."
Kristin tersenyum tipis, tapi kepalanya mengeleng pelan.

"Apakah Bagas itu harga mati ?"
"Entahlah pa.. Kristin bingung."
"Tenanglah, anak papa yang cantik harus tegar menghadapi apapun. Papa akan selalu ada untuk kamu, untuk menguatkan kamu."

Kristin mengangguk, lalu menubruk ayahnya dan menangis tersedu didadanya.
Pak Suryo mengelus kepala Kristin penuh sayang.

"Semoga Bagas selalu mengingatmu," bisiknya lembut. Pastilah pak Suryo bisa mengerti bagaimana perasaan anaknya, dia kan pernah muda.

*** 

Hari Minggu itu dirumah Timan seperti ada perhelatan kecil. Banyak tamu disana, Pak Lurah dan Marni isterinya, Bayu dan Lastri, Basuki bersama pak Darmono dan Bagas, ada juga mbah Kliwon dan pak Darmin. Semuanya tampak bahagia.

Sebelum pembicaraan itu dimulai, Basuki berdiri untuk membuka acara tersebut.
"Saya sangat bahagia karena banyak saudara yang menyayangi Mery. Terbukti banyak saudara dari jauh yang dengan suka cita bersedia menghadiri pertemuan ini. Namun sebelum acara ini dimulai, perkenankanlah saya mengutarakan apa yang terkandung dalam hati saya.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mohon ma'af kepada keluarga Sarangan, terutama pak Darmin, mbah Kliwon, pak lurah dan isteri, lalu mas Timan dan isteri,  dimana saya pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal, dan menjerumuskan saya kedalam jeruji penjara. Tapi sengsara yang saya alami didalam penjara itu, telah membuat saya menyadari betapa buruknya kelakuan saya. Derita telah menempa saya,  lalu menjadikan saya orang yang berbeda setelah keluar dari sana. Dan sekarang, inilah saya, Basuki yang berbeda, yang kemudian menemukan cinta saya disini, yang akan saya ajak mengarungi hidup dalam suka duka, sampai kematian memisahkan kami.

Suasana menjadi hening, mereka terharu atas ketulusan hati Basuki, yang dengan ikhlas mengakui semua kesalahan dan meminta ma'af.

"Hari ini, saya menyaksikan sebuah ikatan cinta kasih yang tiada taranya diantara yang hadir, saya sungguh berterima kasih. Ada sebuah niat mulia kami, Basuki dan Mery Hastuti, untuk segera bisa menempuh hidup baru, yang saya yakin saya tidak akan bisa melakukannya seorang diri. Disini saya membawa om Darmono, sebagai pengganti orang tua saya yang telah tiada. Beliau yang akan mewakili saya untuk berbicara tentang rencana tersebut, dan memohon bantuan dari semua yang hadir, agar mimpi yang mulia ini bisa terselenggara dengan baik.

Lalu Basuki menyalami semua yang hadir sambil mengucapkan permohonan ma'af berkali-kali.
Sementara didalam rumah sedang berembug tentang rencana pernikahan Basuki dan Mery yang akan diadakan di desa, dipelataran Tiwi asyik bermain dengan Jarot anaknya pak Lurah, dan Ayu anaknya Lastri. Meskipun umur mereka tidak sepantaran, tapi mereka berteriak-teriak gembira. Apalagi ketika sedang berebut mobilnya Tiwi yang baru. Tapi Jarot dan Ayu yang merasa lebih besar, suka mengalah pada Tiwi yang sering memonopoli mobilnya. 

"Aku hulu ya.. aku hulu..." katanya setiap kali ingin naik ke mobil kecilnya, padahal baru saja dia turun dari sana. Ayu dan Jarot saling pandang, lalu tertawa.
"Ya sudah, Tiwi dulu terus..." kata Ayu.
"Kapan gantian aku?" kata Jarot sambil memeletkan lidahnya.
"Cekalang mas Halot..." kata Tiwi lalu turun dari atas mobilnya. Tapi baru saja Jarot naik dan menjalankan sebentar, Tiwi sudah berteriak lagi.
"Hantian aku... hantian aku..."

Ayu merangkul Tiwi dan merayunya.
"Sebentar ya, biar mas Jarot dulu memutari halaman ini."
"Anti hantian aku..."
"Iya, nanti gantian kamu," kata Ayu, lalu disambungnya lagi.
"Lha aku kapan?" katanya sambil memeletkan lidahnya juga.

Mereka baru berhenti ketika Sri keluar dan mengajak mereka makan.
"Anak-anak, ayo kita makan dulu."
"Aku makan cama naik obil ya bu.."
"Waduh, Tiwi kenapa naik mobil terus. Ayo Jarot, Ayu, cuci kaki tangan dulu dibelakang, lalu makan ya?"
Ayu dan Jarot berlari-lari kebelakang. Tampaknya mereka juga sudah lapar.  Sementara Sri lalu menggendong Tiwi dan diajaknya mencuci kaki dan tangannya dulu.

Pembicaraan berhenti ketika Timan mempersilahkan mereka makan siang terlebih dulu.
Pak Darmono kagum  menyaksikan kerukunan mereka. Bukan sanak bukan saudara, tapi saling membantu dan saling memikirkan yang terbaik bagi Mery dan Basuki. Ini sangat luar biasa.

Diakhir pertemuan mereka tinggal menentukan hari H dan semua keperluan untuk acara tersebut.

***

Sri yang terbangun lebih dulu, segera menuju dapur untuk mempersiapkan makan pagi. Sambil menunggu nasi matang Sri membersihkan rumah yang  masih tersisa sedikit kotoran bekas rapat kemarin siang.

Tiba-tiba Sri menemukan sebuah sepatu songket berwarna merah yang terserak dilantai.
"Sepatu kecil? Apa ini sepatu boneka Tiwi? Sepertinya bukan. Aku mengenal semua alat main Tiwi, tak pernah ada boneka dengan kaus kaki songket seperti ini.

Karena merasa bahwa itu barang tak berguna, maka Sri membuangnya ketempat sampah.

***

besk lagi ya


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  20*

 

Mery yang baru bangun tidur melangkah ke dapur. Dilihatnya Sri sudah menanak nasi dan memasak sayur. Bahkan sudah membuat teh hangat yang diletakkan dimeja dapur. Bahkan ada jagung rebus yang masih mengepulkan uap. Hm.. pasti enak...

 

"Sri... Sri..." Mery mencari Sri kedepan sambil memanggil-manggil namanya.

"Aku diteras mbak. "

"Kamu itu, mengapa tidak membangunkan aku?"

"Ya tidak apa-apa mbak, Sri tahu kalau mbak Mery pasti capek.Itu sudah Sri buatkan teh hangat, dan jagung rebus mbak."

 

"Aduh, jagung rebus.. itu yang bawa mbah Kliwon kemarin ya?"

"Iya, tapi pisangnya belum masak benar. Mungkin dua hari lagi."

"Mana, aku yang bersih-bersih," kata Mery.

"Sudah, sudah selesai, ini tingal membuang sampah kedepan, sebelum tukang sampah datang.:"

"Biar aku yang buang saja."

"mBak Mery tuh..."

 

"Biar saja, nanti setelah membuang sampah ini aku akan minum teh hangat dan menghabiskan jagung rebusnya," kata Mery sambil turun kebawah, lalu membuang sampah ke keranjang yang tersedia diluar pagar.

 

Sri tersenyum melihat\ Mery tampak bahagia. Kemudian ia mencuci tangan dan duduk menunggu dimeja dapur.

 

"Hm, simbahku memang hebat. Jagungnya masih muda dan manis."

"Enak ya Sri," kata Mery yang kemudian menyusul duduk dimeja."

"Manis jagungnya mbak."

"Seperti yang ngerebus ya?" canda Mery.

"Seperti yang makan.."

 

"Kemarin Lastri juga dibawain kan?"

"Sudah, jagung, pisang saya bawakan. Cuma pisangnya baru suluh, belum matang benar."

"Kalau sudah tua pasti cepat matangnya."

"Iya benar."

 

"Oh ya Sri, aku ingin cerita nih. Kemarin itu kan Basuki mengantarkan aku ke Panti, sebelum kami menginap di Ungaran."

'Oh ya? Masih ingatkah mereka sama mbak?"

 

"Masih, mereka senang kami datang. Lalu ketika aku bertanya tentang siapa orang tuaku, mereka tidak tau. Ketika ditemukan, pekerja Panti hanya menemukan baju yang menempel dan kaos kaki yang cuma sebelah. Sebentar aku tunjukkan" kata Mery yang kemudian beranjak kekamarnya. Namun ketika kembali, ia tampak panik..

 

"Aduh.. dimana dia? "Lalu Mery mengeluarkan sebuah baju dan celama bayi dari bungkusan itu...

"Kok nggak ada ? Mana ya, aduh.. jatuh dimana ?"

"Apanya mbak? mBak Mery cari apa?"

 

"Ini lho Sri, Bu Umi, ketua Panti itu memberikan ini. Katanya ketika menemukan aku, dia hanya menemukan ini dan sebuah sepatu kaos berwarna merah. Tapi kok sepatunya nggak ada ya? Gimana nih," kata Mery tampak bingung.

"Sepatu songket berwarna merah? "

 

"Ya Sri, terjatuh dimana ya..itu salah satu bukti kalau aku ingin mencari orang tuaku," kata Mery sambil berlinangan air mata.

"Tunggu, aduh ma'af aku tidak tau..aku tadi menemukannya tapi sudah aku buang ke tempat sampah."

"Apa ?" 

 

Mery segera berlari keluar dengan panik. Sri mengikuti...

"Ada apa?" tiba-tiba Timan keluar dari kamar sambil mengendong Tiwi.

"Sepatu... tunggu mas.." jawab Sri sambil lari kedepan, mengikuti Mery.

 

"Aduh... sudah diambil tukang sampah !!" Mery kemudian berlari menyusuri jalan, memburu tukang sampah yang pasti sudah berkeliling kampung.

"Aduh, salahku..." Sri menepuk jidatnya dengan penuh penyesalan.

"Apa Sri?" tanya Timan yang mengikuti kedepan..

"Itu... tukang sampah... tukang sampah..." dan Sri pun setengah berlari mengikuti Mery yang sudah tak kelihatan.

 

Timan kebingungan, karena tak tau apa yang terjadi.

Mery berlari kesana kemari, sampai dimana bapak tukang sampah membawa gerobagnya?

 

Sri yang mengikuti berteriak dari belakang.

"Belok kiri mbak !!"

Mery segera berbelok kekiri. Seorang ibu yang melintas heran melihat dua wanita berlarian.

"Ada apa bu?" tanyanya.

"Mencari tukang sampah. Sampai dimana ya?"

"Tukang sampah?"

"Iya, ada barang saya ikut terbuang tadi."

 

"Oh, sudah sampai diujung sana, tampaknya truk pengangkut sampah sudah menunggu."

"Oh, ya Tuhan.. tolonglah hamba...," keluh Mery. Keringat mulai bercucuran diwajahnya, bahkan disekujur tubuhnya. Ia berlari menuju ujung jalan.

 

Sri tak kalah panik, ia terus mengikuti Mery. Sesal menghantui dirinya. 

"Aduuh, mengapa aku membuangnya? Tak tau kalau itu barang berharga," gumamnya  berkali-kali.

"Bodoh.. bodoh..bodoh.." berkali kali Sri memarahi dirinya.

 

Sebuah truk pengangkut sampah siap diujung jalan itu. Mery melihatnya..

"Semoga tukang sampah kampung belum melemparkannya keatas," gumamnya sambil berlari.

 

"Paaak... tunggu paaaak..."

Mery terengah didepan tukang sampah -pembawa gerobag dorong itu. Ia menatap Mery dengan heran.

 

"Pak.. tolong,, sampah.. sampah.. dari.. kampung saya.. belum dibuang kan?" tanyanya terengah.

Sri pun sudah sampai disitu.

 

"Bagaimana ?" Sri juga terengah-engah.

"Sampah... ini.. baru mau dinaikkan ke truk itu.." kata tukang sampah.

"Oh, jangan dulu, tunggu.."

"Ada berlian ikut terbuang?" tanya tukang sampah setengah bergurau.

"Aduh, lebih dari berlian pak... mana.. saya akan melihat.."

 

Mery mendekati gerobag, bau busuk segera menyeruak. Sri yang sudah mendekat terpaksa membantu, karena merasa bersalah.

Tukang sampah yang merasa kasihan segera mendekat.

 

"Begini bu, biar saya yang membongkarnya perlahan, ibu memperhatikan saja. Barangnya apa sih bu?"

"Kaos kaki pak."

"Kaos kaki?" tukang sampah terbelalak heran. Hanya sebuah kaos kaki sampai dibela-belain mengejar tukang sampah dan ingin mengorek isinya?.

 

"Iya pak, kaos kaki kecil, songket, warna merah."

"Kaos kaki bayi?"

"Iya pak, tapi itu sangat berharga, mana aku pinjam pengoreknya," kata Mery.

 

"Coba biar saya bu, saya tadi ya seperti melihat, tapi nggak tau kalau itu barang berharga, sebentar ya bu, agak dibawah pastinya," kata tukang sampah sambil mengungkit sampah agar bisa melihat bagian bawahnya."

 

Bau busuk semakin menyengat. Mery dan Sri  mengernyitkan hidungnya, tapi mata mereka menatap kearah sampah-sampah itu.

 

Tapi sampai kebawah tak ada kaos kaki yang dicari. Mery putus asa, merebak air matanya. 

"Ma'af ya mbak, Sri sungguh tidak tahu," Sri pun setengah menangis menatap Mery.

 

"Sepertinya kok tidak ada ya bu. Sekarang saya tuang saja sampah ini, barangkali bisa lebih jelas."

 

Tukang sampah menumpahkan sampahnya sedikit demi sedikit sambil mengawasi apakah ada kaos kaki kecil berwarna merah. Tapi sampai bersih gerobag itu, kaos itu tak juga ditemukannya.

 

"Gimana bu, sudah jelas tidak ada disini."

Mery melangkah gontai kembali kerumah, Sri memeluknya  sambil berkali-kali mengatakan ma'af. Sungguh Sri menyesali apa yang telah dilakukannya. Harusnya dia bertanya dulu, ini punya siapa, tapi Sri kan tidak mengira bahwa itu berharga. Yang difikirkannya cuma sepatu boneka Tiwi, sementara Sri tidak pernah melihat ada sepatu seperti itu.

 

***

 

Timan masih berdiri dipagar rumah. Tiwi merosot turun dan berlarian kesana kemari. Berkali-kali Timan melongok kearah perginya Sri dan Mery dengan beribu pertanyaan memenuhi benaknya.

 

"Ada apa mereka itu, tampak panik dan seperti mengejar sesuatu."

Tiba-tiba Tiwi berteriak.

"Apaaak.. ada atu.. atu..."

"Apa Tiwi?"

 

"Ada atuuu..." lalu Tiwi memungut sesuatu, sebuah sepatu songket berwarna merah.

 "Aduuh Tiwiii... lepaskan, itu kotor... hiiih.. lepaskaan."

"Atuu.. apaak.."

 

Timan merebut sepatu songket itu dan membuangnya sembarangan, lalu menggendong Tiwi masuk untuk mencuci tangannya.

"Angan Iwi napa...?"

 

"Tangan Tiwi kotor karena tadi memegang sepatu kotor. Sudah, sekarang bermain saja disini. Jangan-jangan sepatu itu tercecer dari gerobag sampah." gumam Timan sambil mencuci tangan Tiwi dengan sabun.

 

"Nah, sekarang tangan Tiwi bersih, wangi."

"Angiii.." Tiwi menirukan sambil mencium tangannya, lalu berlarian ketempat kotak mainannya.

Timan kembali kedepan, menunggu Sri dan Mery yang tak diketahuinya apa yang terjadi pada mereka.

 

Ketika keduanya kembali, Timan melihat wajah-wajah sedih melingkupi mereka. Bahkan ada bekas air mata dipelupuk mata mereka.

 

"Ada apa? Aku bingung melihat kalian seperti ini."

"Ini semua salahku mas, ini salahku.." tangis Sri meledak mendengar pertanyaan suaminya.

 Timan memeluknya.

"Nggak apa-apa Sri, itu bukan salah kamu, memang aku yang ceroboh, tidak menyimpan dengan baik." kata Mery.

"Ini apa sih? Aku bingung benar, katakan ada apa?"

 

Lalu dengan terbata Mery menceritakan, tentang asal usulnya yang tidak jelas, karena hanya ada satu setel baju bayi dan sebuah sepatu songket berwarna merah yang ada bersama dirinya ketika ditemukan didepan panti.

 

"Iya mas, tadi aku bersih-bersih, menemukan sepatu songket, hanya sebuah, saya pikir barang tak berguna, aku membuangnya kesampah, kami mengejar tukang sampah itu, tapi sepatu itu tidak kami ketemukan. Ini salahku.. ini salahku."

 

TIman terbelalak. Sepatu songket warna merah? Hanya sebiji? Apa itu bukan sepatu yang tadi diambil Tiwi lalu membuatnya memarahi Tiwi?

Timan melepaskan pelukannya dan berlari kejalan. Ia mencari kecana kemari. Tadi ia membuang sepatu itu sembarangan.

 

Mery dan Sri juga bingung melihat sikap Timan. Tapi dia ikut turun dan mengikuti langkah Timan. Timan masih mencari-cari, dimana tadi dia membuangnya. Aduh, jangan-jangan masuk kedalam selokan itu. Timan berjongkok ditepi selokan, Ya ampun, airnya mengalir, jangan-jangan terbawa aliran selokan ini. Timan melangkah menyusuri sepanjang aliran selokan itu.

 

"Ada apa mas?" tanya Mery dan Sri bersamaan.

"Sepatu.. songket.. merah.. hanya sebiji..., " gumam Timan sambil terus mengawasi aliran selokan itu.

 

"Mas !"

"Tadi Tiwi menemukan sepatu songket merah."

"Haaa... Tiwi?"

"Aku membuangnya karena mengira itu barang kotor yang jatuh dari gerobag sampah."

"Ya Tuhan...." Mery memekik, lalu ikut mencari disekitar selokan itu. Demikian juga Sri.

 

Tiba-tiba Sri memekik.

"Ituuuuu..."

Timan dan Sri melihat kearah yang ditunjukkan Sri. Sebuah benda kemerahan tampak tersangkut sesuatu ditepi selokan. 

 

"Iyaaa... ituuu..." teriak Mery lega.

Timan mengambil sebatang kayu panjang, dikaitnya benda itu.

 

"Terimakasih Tuhan..." bisik Sri dengan wajah berseri.

"Awas, ini kotor, biar aku cuci dulu.." kata Timan. Ia tetap membawa kayu panjang yang diujungnya tersangkut sepatu yang menghebohkan itu.

 

"Biar aku saja yang mencuci mas," kata Sri sambil meminta kayu itu.

"Biar aku saja.." teriak Mery.

"Sudah, jangan berebut. Biar aku saja. Lihat tuh. Tiwi lari-lari keluar.

 

Sri terkejut melihat Tiwi sudah keluar dari pagar.

"Ya ampuun, ini anak siapa, kasihan nduk, bingung ya, dirumah nggak ada orang?" kata Mery sambil menggendong Tiwi lalu bersama mereka masuk kerumah.

 

***

 

Kristin dikantor sendirian. Hari itu Bagas ijin lagi untuk tidak masuk. Alasannya hanya ada suatu keperluan. Kristin menghela nafas panjang. Tampaknya dia memang harus melepaskan kepergian Bagss. Sangat memalukan kalau dia menghalangi. Nanti Bagas bisa jadi besar kepala. Namun diakuinya, bahwa dia sangat sedih , dan pasti akan merasa kesepian.

 

"Mengapa kamu tidak bisa mengerti aku Gas?" bisiknya pilu.

Kemudian dia sama sekali tak mampu mengerjakan apapun hari itu. Ia hanya membuka buka file, lalu selebihnya hanya duduk berpangku tangan.

 

Kristin terkejut ketika tiba-tiba ayah dan ibunya  muncul.

"Papa... mama...," katanya sambil berdiri lalu menciumi mereka satu persatu.

 

"Kamu ngapain, dikantor cuma berpangku tangan?"

Ketiganya lalu duduk disofa. Kristin duduk disamping ibunya,.. menyandarkan kepalanya dibahu sang ibu.

 

Bu Suryo mengelus kepala anaknya.

"Begini ya pak, kalau orang lagi jatuh cinta? Apa dulu papa juga begini?"

"Ya enggak, papa dulu begitu bilang cinta, kamu langsung oke.. ya hepi-hepi saja.."

 

"Hiih.. papa.. masa begitu.. nggak pake proses.. papa ngikutin kemana aku pergi.. lalu dengan memelas mengatakan cinta.. hiih.. aku bilang oke karena kasihan sama papa."

Pak Suryo terbahak. Tak urung Kristin kemudian mengangkat kepalanya dan ikut tertawa.

 

Rupanya kedua orang tuanya juga punya kisah sendiri dalam bercinta.

"Kristin, kamu nggak boleh sedih. Kalau memang Bagas itu jodoh kamu, pada suatu hari pasti dia akan datang menemuimu. Kalau tidak datang ya cari yang lain, masa laki-laki cuma Bagas doang."

"Iya mama..."

 

"Jangan cuma iya. Semangat. Kaya papa itu lho, hidupnya penuh semangat, tidak gampang putus asa. Ya kan pa?"

"Hm..."

"Sekarang ayo ikut mama sama papa saja,  sudah lama tidak makan siang bertiga kan?"

 

"Papa katanya mau nemenin aku dikantor."

"Iya, besok aku ke kantor. Tapi aku cuma nemenin lho, kamu yang harus bekerja."

"Iya pa."

"Ayuk kita berangkat sekarang."

 

***

 

"Lega aku sekarang, sepatu itu sudah ketemu," kata Mery setelah menemukan kembali sepatunya.

"Masih agak basah lho mbak, diangin-anginkan dulu, " kata Sri.

"Iya, aku angin-anginkan dikamar saja, nanti kalau diluar takut diterbangkan angin."

 

"Aku tadi sudah ketakutan setengah mati. Kalau sampai nggak ketemu, aku akan menyesalinya seumur hidup aku," kata Sri.

"Sudah, jangan menyesali apapun, semuanya sudah berlalu. ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa, bahwa aku bisa menemukan sebuah tanda sa'at aku ditemukan. Semoga ini adalah jalan bisa bertemunya aku dengan orang tuaku."

"Aamiin, aku akan ikut mendo'akan mbak."

 

"Ya sudah, ini sudah siang. Aku mau ke warung dulu ya. Gara-gara sepetu itu mas Timan barangkat kepasarnya juga sudah siang."

"Tidak apa-apa mbak, tidak harus datang pagi-pagi setiap hari."

"Ayo kamu ikut saja."

"Ikut?" 

"Sekali-sekali juga Sri, kan kamu sudah selesai memasak. Sebelum mas Timan pulang kita sudah sampai rumah kok."

"Kelihatannya menarik nih, biar Tiwi senang kita ajak jalan-jalan."

 

"Nah, tuh kamu tau. Nanti aku ajak kamu ke penjual gorengan, mau?"

"Penjual gorengan ?"

 

"Yang aku cerita itu, dia ditolong Basuki lalu dibawa ke rumah sakit, trus ada uang sisa pembayaran rumah sakit yang oleh Basuki diberikan sama dia, lalu dia, eh.. namanya bu Sumini... nah, oleh bu Sumini uang itu dijadikan modal jual gorengan?"

"Iya, beberapa hari yang lalu mbak sudah cerita. Lalu kita mau kesana?"

 

"Aku pengin makan gatot gorengnya. Gurih, enak."

"Wah, seperti orang ngidam saja mbak Mery nih."

"Nggak tau kenapa, tiba-tiba ingin sekali makan gorengannya. Sebentar ya, kita bisa lewat kok, setelah itu baru kita ke warung."

"Nggak apa-apa, ayolah, aku ganti baju dulu."

"Aku yang mendandani Tiwi ya, biar cepat."

 

***

 

Tapi sesampai ditempat dimana bu Sumini jualan, Mery tak menemukan siapapun. 

"Waduh, nggak jualan lagi? Tiga hari yang lalu juga nggak jualan."

"Nggak jualan lagi mbak, katanya keluar kota," tiba-tiba penjual dawet yang mangkal didekat situ berteriak.

"Oh, keluar kota ya?"

"Iya, katanya mau ketemu anaknya, gitu. Besok barangkali dia mau jualan, berangkatnya belum lama."

"Ya sudah bu, terimakasih."

 

"Tidak mencicipi dawetnya lagi bu?" penjual dawet itu masih berteriak. 

Mery mengundurkan mobilnya karena kasihan pada penjual dawet itu.

"Dua gelas saja ya bu."

"Baiklah."

"Kok jadi beli dawet mbak."

"Nggak apa-apa, kasihan, dia selalu menawarkan. Tapi enak kok dawetnya. Cobain ya, isinya bukan cuma dawet, ada tape ketan, nangka, pokoknya nanti rasakan saja, sebentar aku turun mengambil dawetnya.

 

***

 

Hari itu Basuki sudah selesai memperkenalkan Bagas kepada stafnya. Bagas akan bertugas mulai bulan depan.

 

"Nanti kamu boleh tinggal dirumah ini Gas."

"Besar amat rumahnya, masa aku sendirian disini?"

"Ada Karso yang tidur dibelakang, Dia bertugas bersih-bersih rumah dan kebun. Lalu kalau kamu makan, bisa beli atau langganan catering."

"Gampang mas, kalau so'al makan. Nggak terbayang aku tinggal dirumah ini sendirian."

"Besok kalau kamu sudah punya isteri, bisa kamu bawa kesini kan?"

 

Bagas tersenyum. Diam-diam wajah Kristin melintas, lalu terngiang ditelinganya setiap kali Kristin memanggilnya dengan manja.. Bagaaaas..

Tapi kemudian bayangan itu dikibaskannya. Mungkinkah ia bisa dekat dengan Kristin? Hatinya susah ditebak. 

 

"Heiii.. kok tiba-tiba ngelamun? Ingat pacar ya?"

"Enggak mas, semoga bapak mau aku ajak tinggal disini."

"Haa, ide bagus tuh. Pastilah om Darmono mau, coba aja kamu bilang sama bapak Gas."

 

Tiba-tiba ponsel Basuki berdering. Basuki heran, ibu Umi dari Panti menelponnya.

 

***

 

besok lagi ya

 




1 komentar:

  1. Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
    mampir di website ternama I O N Q Q
    paling diminati di Indonesia,
    di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
    ~bandar poker
    ~bandar-Q
    ~domino99
    ~poker
    ~bandar66
    ~sakong
    ~aduQ
    ~capsa susun
    ~perang baccarat (new game)
    segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
    Whatshapp : +85515373217

    BalasHapus