Senin, 13 Juli 2020

Cintaku Ada Diantara Mega 07-08


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  07*

Pak Darmono menatap sahabatnya tak berkedip. Apakah seorang yang kaya raya menganggap semua hal bisa begitu mudah didapatkan? Bahkan ketika menentukan pilihan untuk pewaris 'kerajaan' dan menentukan siapa yang pantas jadi menantunya? Tidak, semuanya tidak mudah diterima bagi Darmono.

"Mengapa menatapku seperti itu Darmono? Ada yang aneh?"
"Semuanya menurutku aneh mas."
"Aneh ?"
"Mas Suryo membuat sesuatu menjadi seperti mudah."
"Mengapa tidak?"

"Karena mas Suryo selalu mendapatkan apa yang menjadi keinginan mas. Baiklah, benda, kekayaan, bisa dengan mudah mas dapatkan, tapi memilih pewaris perusahaan dan menantu, tidak bisa mas dapatkan begitu mudah, tidak seperti membalikkan telapak tangan."

"Jadi kamu menolaknya?"
"Bukan menolak mas, aku hanya minta agar mas memikirkannya masak-masak sebelum menentukan pilihan."

"Anakmu seorang yang baik, ia akan menjadi pembimbing bagi Kristin yang terkadang masih kekanak-kanakan. Bukankah kita pernah membicarakan tentang perjodohan ini?"
"Tapi aku bilang masalah perjodohan tidak bisa diselesaikan antara kita bukan? Biar anak-anak itu yang menentukan."

Pak Suryo menghela nafas. Dalam hati ia memuji sahabatnya, yang tak mudah menerima kebaikan dan memikirkan segala sesuatu dengan sangat matang.  

"Bisakah mas Suryo menerima kata-kataku?"
Pak Suryo mengangguk-angguk. Tapi dia teringat ucapan Kristin, bahwa dia mencintai Bagas.  Apakah Bagas sedikitpun tak tertarik pada Kristin? 

"Apa Bagas sudah punya pacar?" tanya pak Suryo kemudian.
"Aku tidak tau mas. Dia belum pernah mengatakannya. Tapi mas harus percaya, kalau memang mereka berjodoh maka pasti kita bisa berbesan."
"Baiklah, aku bisa menerima alasanmu. Semoga yang terbaik adalah milik anak-anak kita.

***

Basuki  memasuki warung dengan hati berdebar. Ia menatap kedalam.  Mencari sosok Mery yang ingin dijumpainya. Basuki heran pada dirinya. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Seperti anak muda yang baru pertama kali jatuh cinta. Apakah sekarang dia jatuh cinta? Entahlah, Basuki belum menyadari bagaimana perasaannya. Namun sesuatu yang aneh merayapi batinnya. Ingin segera bertemu, ingin segera mendengar suaranya, melihat bagaimana bibirnya bergerak manis ketika mengungkapkan kata-kata. 

"Ini hanya sebuah kerinduan karena lama tak bertemu," bisik batinnya.
Tapi kemudian debar itu menjadi lebih cepat ketika dilihatnya seorang gadis keluar dari balik pintu . Gadis itu melenggang dengan manis, memandangnya dengan manis, dan tarikan bibirnya memang manis. Basuki menjadi seperti gila. Ia sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah lebih empat puluh tahun, tapi guncangan yang terasa membuat dirinya seperti ABG bertemu gadis pujaannya. 

"Apa kabar Bas?" sapa Mery begitu berada didepannya.
Kedua mata saling beradu. Ada api memercik disana. Dan tautan dalam pandangan itu tak hendak terlepas, sampai beberapa detik lamanya sebelum keduanya sadar apa yang terjadi.

"Mery.. kamu masih cantik seperti dulu."
"Ehem..." Mery berdehem pelan, senyumnya merekah. Ternyata Basuki tidak lagi marah. Pandangan mata itu yang mengatakan. Tatapan garang yang membuatnya terbuai, lalu membuat percikan api yang tersulut menjadi terburai, seperti kembang api memuntahkan derai-derai indah dilangit sana.

"Kamu tidak membenciku ?" kata Mery pelan, sambil mengalihkan pandangan kearah jalan, dimana lalu lalang kendaraan tampak ramai, penuh hiruk pikuk yang membuat bising.
"Tidak ada lagi benci dihatiku. Aku sudah mengendapkan semua masa laluku didalam perjara. Aku sedang membuka lembaran hidupku yang baru."
"Syukurlah."

"Aku kangen sama kamu.."
 Mery menatap Basuki lagi. Dulu kata itu sering diucapkannya, ketika tubuh kekar itu memeluknya dan melemparkannya keatas ranjang demi memuaskan hawa nafsu. Tapi sekarang mata itu begitu teduh, tak ada nafsu kotor menyeruak diantara tatapannya, Mery merasa lega. 

"Apa kamu sudah punya pacar?"
Mery tersenyum manis sekali. Basuki menelan ludah menahan gelora batinnya.
"Aku sudah tua, masa harus berpacaran?"
"Benar?"
Mery mengangguk pelan. 

"Anak muda bernama Bagas itu..?"
Ah ya, Mery teringat. Ketika Basuki masuk keruangan warung itu dilihatnya Bagas sedang menggenggam tangannya. 
"Dia hanya anak-anak.."
"Anak-anak?"
"Anak-anak manja...  dia baik."
"Dekat sekali sama kamu?"

"Iya, oh ya.. kamu mau makan apa?"
"Bagaimana kalau kita jalan?"
"Jalan kemana?" Mery menatap Basuki penuh selidik.
"Cuma jalan-jalan saja.. . pokoknya ingin pergi bareng kamu, sudah lama sekali kita tidak melakukannya."
"Jalan-jalan saja kan?"

"Mery, kamu mencurigai aku ? Mengira aku masih mampu melakukan hal-hal buiruk?" 
Mery sungkan mengatakannya, tapi mata garang itu tidak menunjukkan nafsu yang dahulu membuatnya mabuk. Mery bangkit berdiri.
"Aku mengambil tasku didalam."

Basuki mengangguk. Seperti anak kecil terpenuhi keinginannya minta mainan, mata itu bersinar-sinar. Lalu Basuki kembali merasa heran pada dirinya. Apa yang terjadi? Sudah bertahun-tahun hidup bersama Mery tak pernah dirasakannya gejolak yang sedemikian menghentak-hentak batinnya. Apa yang terjadi dengan diriku? Bisik batin Basuki.

Ketika Mery keluar dan diikuti pandangan penuh senyum dari para pegawainya, Basuki menggandeng lengannya dengan manis.

"Siapakah dia?" kata salah seorang pelayan.
"Sst, itu urusan bos kita, mengapa kamu ribut?" tegur Mini. Tapi tak urung matanya juga menatap sepasang manusia yang tampak bahagia itu sampai hilang diantara berderet mobil yang diparkir didepan warung.

"Itu laki-laki baik hati yang sudah dua kali memberi aku uang kembalian."
"Ganteng dan gagah. Berbeda dengan pengendara mobil merah yang biarpun tampan tapi masih sangat muda." kata pelayan yang lain.

***

"Bagaas..."
Panggilan itu tak membuat Bagas mengangkat kepalanya. Sudah biasa didengarnya, dengan nada yang sama, dan sedikit keras. Bagas terus menatap laptop dan mengotak atiknya.

"Bagaaas.."
Bagas tetap tak bergeming. 

"Gas, sudah waktunya makan siang."
"Iya, makanlah .. aku selesaikan ini dulu."
"Tapi aku ingin makan bareng kamu."
"Aku nggak lapar."
"Bohong."

Bagas terus tenggelam dalam pekerjaannya. Dengan gemas Kristin mendekati. Ia duduk dihadapan Bagas, menopang kepalanya dengan kedua tangan dengan siku bertumpu pada meja. Matanya menatap Bagas tak berkedip.

"Bagaas.."
Bagas mengangkat kepalanya sekilas. Tampak sepasang mata bintang menatap kearahnya. Seperti ada cahaya memercik dari sana. Tapi Bagas kemudian menundukkan kepalanya, kembali menekuni pekerjaannya.

"Aku mau ikut makan siang bersama kamu, boleh kan ?"
"Aku belum lapar."
"Aku mau menunggu sampai kamu lapar."
Bagas ingin tertawa. Ia seperti menghadapi anak kecil yang merengek untuk dibelikan mainan.
Tak hendak berhenti sebelum mainan itu didapatkan. Tapi Kristin menangkap tawa yang tersembunyi itu dari sudut bibir Bagas.

"Bagaas..."
"Iya.. iya mbak.. sebentar aku selesaikan ini dulu. Tunggu dimeja mbak dan jangan dihadapanku."

"Apa aku mengganggu?"
Tentu saja mengganggu. Cara dia duduk dengan baju berbelahan rendah itu sangat mengacaukan pikirannya. Bagas sudah berkali-kali ingin mengingatkan cara Kristin berpakaian, tapi diurungkannya. Ia merasa tak berhak mengatur cara atasannya berpakaian. 

"Biarkan aku disini, aku kan tidak mengganggu?"
"Mengganggu mbak," dan gilanya sekali lagi Bagas menatap belahan baju yang teramat rendah sehingga sama sekali tak menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disimpan dengan rapi. Bukannya senang Bagas menatapnya, tapi justru sekarang benar-benar ingin mngingatkannya.

"Aku kan diam saja Gas, tidak mengganggu kan?"
"mBak, ma'af kalau tersinggung, tapi .. aku ingin mengingatkan, bagaimana kalau mbak Kristin mengubah cara berpakaian mbak?"
"Mengubah bagaimana ?"
"Memang sih mbak Kristin suka yang modis, modern, aksi, seksi, tapi ada lho modis yang lebih sopan." Bagas agak menyesal mengucapkannya, tapi ucapan itu terlanjur diungkapkannya.
"Jadi aku nggak sopan?"

Bukannya sadar, Kristin justru berdiri lalu memutar-mutar tubuhnya seperti seorang peragawati berjalan diatas catwalk.
Bagas sama sekali tak memandangnya, karena setiap hari walau berganti model tapi selalu begitu penampilannya. Bawahan pendek, baju atasan yang terlalu rendah .. lengan yang kelihatan separo.. ah.. entah apa namanya itu, Bagas sungguh tak nyaman memandangnya.

"Bagas.."
"Ma'af, maksud saya baju yang agak tertutup."
"Oh..."
"Ma'af ya mbak, bukan maksud saya menyinggung, tapi.."
"Bagaimana kalau nanti kamu mengantarkan aku beli baju-baju yang kamu suka?"
Astaga... ini namanya senjata makan tuan, bukan?

"Maukah ?"
"Ya enggak lah mbak, masa harus sama aku."
"Habis sama siapa? Kalau sama mama, nanti belinya juga baju yang modelnya seperti begini ini Gas."

Bagas benar-benar pusing. Ia mematikan laptop dan menutupnya. Kristin berjingkrak kegirangan. 
"Sudah selesai? Sudah laparkah ?"

Bagas sebenarnya ingin bertemu Mery. Tapi kalau bos centil ini ikut, jadi nggak asyik dong.
"Bagaas?" Bagas menyandarkan tubuhnya lalu mengangkat  kedua  tangannya, diletakkannya dibelakang kepalanya.

"Capek ya Gas?"
"mBak Kristin makan sendiri saja ya, aku benar-benar nggak ingin keluar."
"Kalau begitu kamu tunggu disini saja, aku nanti belikan kamu makanan untuk makan siang, ya Gas?"
Bagas mengangguk. Tapi dalam hati bersorak. Kalau Kristin pergi berarti dia bebas menemui mbak Mery nya. 

Lalu ia menunggu sampai beberapa sa'at lamanya. Ketika diperkirakan Kristin sudah keluar dari kantor, barulah Bagas bangkit berdiri. Disambarnya kunci mobil, lalu dengan wajah berseri keluar dari ruangannya. Tapi ketika dia sampai diloby, dilihatnya Kristin setengah berlari datang dari arah parkiran.

"Bagas, kamu mau kemana?"
"Mengapa kembali?"
"Kunci mobilku ketinggalan dimeja."
Gadis pintar yang manja, dan ceroboh! pikir Bagas, tapi dengan demikian ia harus mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Kamu mau kemana Bagas?" tanya Kristin curiga.
"Aku cuma mau jalan-jalan saja disekitar kantor."

"Kalau begitu  ayo jalan sama aku saja. Ya Gas.. kenapa sih kamu seperti nggak suka sama aku? Ayo.. kalau begitu pakai mobilmu saja. Tuh, kamu sudah membawa kunci mobil kan? Kalau hanya jalan-jalan disekitar kantor mengapa bawa-bawa kunci mobil?"

Bagas menjadi seperti tikus terkena perangkap, tak berkutik. Alasan yang diutarakannya sama sekali tak masuk akal. Jadi tak ada jalan lain, ia menurut saja ketika Kristin menariknya, kearah mobil merah, miliknya sendiri.

"Kita mau makan dimana Gas? Oh ya, nggak apa-apa, aku mulai menyukai warung itu, nasi gorengnya lumayan enak, Kesana saja ya?"
"Terserah mbak Kristin saja." Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Bagas.
Tak apa bersama Kristin, yang penting bisa ketemu mbak Mery. Demikian pikir Bagas.
***

"Gas, kamu sudah ketemu papa?" Tanya Kristin dalam perjalanan.
"Belum. Kapan aku bertemu? Kalau pak Suryo ke kantor pasti mbak Kristin juga tau. Bukankah pak Suryo tidak kekantor beberapa hari terakhir ini?"

"Tidak, mungkin papa menelpon kamu."
"Tidak, untuk apa pak Suryo menelpon aku?" Bagas pura-pura tidak tau, padahal dia yakin pasti Kristin akan berbicara tentang perusahaan yang akan diserahkan kepada dirinya. Tidak, dia tak akan mau. Dia lebih suka resign daripada setiap hari diganggu Kristin.

"Kamu tidak tau apa yang akan papa katakan sama kamu?"
"Apa? Mana mungkin aku bisa tau, memangnya aku ahli nujum? Dukun?"
"Ingin tau tidak?"
"Tidak, bagiku .. kalau aku sudah mengerjakan pekerjaan atau semua tugas yang harus aku jalankan, itu sudah cukup."

Kristin seperti putus asa. Ia sebenarnya ingin mengatakan apa yang menjadi keinginan ayahnya itu, atau tepatnya keinginan dirinya sendiri, tapi diurungkannya. Barangkali Kristin merasa bahwa kalau ayahnya yang meminta pasti Bagas tak akan menolaknya. 

"Jalanan ramai sekali. Macet dimana-mana." keluh Bagas karena mobilnya tidak bisa melaju seperti yang diinginkannya.
"Iya, kan waktunya orang pada makan siang."
"Keburu lapar..."
"Katamu kamu belum lapar..." ejek Kristin.
"Lama-lama jadi lapar."
Kristin tertawa geli, menampakkan sederet gigi putih bak mutiara itu tersembul dari balik bibirnya yang tipis. Sayang Bagas tak melihatnya, atau memang tak ingin melihatnya.

***

Begitu memarkir mobil didepan warung itu, Bagus sudah melongok kedalam, barangkali bayangan Mery sudah tampak dari dalam mobilnya. Tapi bayangan itu tak ada. Bagas lebih dulu turun dan melangkah kedalam, meninggalkan Kristin yang turun kemudian. 
"Iih, Bagas, kok aku ditinggal sih..."

Bagas mencari tempat duduk disudut ruangan, dan duduk menghadap kedalam. Dengan matanya ia terus mencari.
"Gas, ayo dong, panggil pelayan."

Bagas melambaikan tangannya, seorang pelayan mendekat. Ia sudah mengenal Bagas dengan baik, tapi belum pernah melihat Bagas datang bersama gadis cantik ini. Dulu mereka bertemu ketika gadis itu datang kemudian bersama ayahnya. Pelayan itu selalu mengingatnya, karena menyukai penampilan gadis cantik yang tampak seksi dan menawan. Laki-laki mana sih yang tak suka gadis cantik?

"Aku biasa, nasi timlo dan jeruk hangat."
"Aku nasi goreng, dengan udang."
"Dan es kopyor?" pelayan itu dengan lancangnya menyahut. Kristin menatapnya sejenak, tapi kemudian mengangguk."
"Nggak pakai lama !" pesannya begitu pelayan mengundurkan diri.

Biasanya Bagas tak perlu meminta, setiap kali dia datang pasti salah seorang pelayan memanggilkan Mery untuknya. Tapi sampai pesanan sampai ke mejanya, Mery belum juga muncul.

"Eh, mas.. mbak Mery mana?"
"Oh, mbak Mery lagi pergi mas..."
"Pergi kemana ? Belanja ?"
"Nggak tau saya mas, perginya sama bapak-bapak yang ganteng tinggi besar itu.."
"Ganteng tinggi besar? Siapa?"
"Nggak tau mas, dia juga beberapa kali pernah datang kemari." lalu pelayan itu pergi.

Barangkalai dia lupa bahwa laki-laki gagah dan ganteng itu pernah makan juga bersama Bagas, atau memang waktu itu tak memperhatikannya.
Wajah Bagas menjadi muram. Siapa laki-laki ganteng itu? Kemarin tidak ke warung karena sakit, sekarang pergi dengan laki-laki ganteng.?"

"Bagas, kok nggak segera dimakan sih? Aku hampir habis separo nih." kata Kristin menegur karena Bagas tidak segera menyantap makanannya.
"Iya, kan aku bilang bahwa sebenarnya aku nggak lapar?"
"Kan tadi kamu juga bilang bahwa lama-lama lapar?"
"Ternyata benar-benar nggak lapar."
"Makan saja, sayang sudah dipesan."

Tapi Bagas hanya menyendok satu atau dua sendok makanannya, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. 
"Benar nggak mau makan?"
Bagas menggelengkan kepalanya.

Mereka meninggalkan rumah makan tanpa banyak bicara karena Bagas memang enggan bicara.
"Bagas,. kok kamu jadi lain? O, karena tidak bertemu dengan pemilik warung sahabatmu itu. Kamu suka?" kata Kristin ceplas ceplos.

Bagas tak menjawab. Tiba-tiba Kristin memegangi tangannya dan berteriak.
"Bagas.. berhenti dulu.. tolong."
Bagas memperlambat laju mobilnya.
"Berhenti?"
"Minggir dulu sebentar."

Bagas terpaksa menuruti kata Kristin, meminggirkan mobilnya.
"Ayo turun  sebentar, antarkan aku," kata Kristin sambil bergerak turun.
"Kemana ?"
"Masuk ketoko itu, sebentar."

Bagas turun, mengikuti Kristin memasuki sebuah toko pakaian.
"Aku mau kamu memilih baju yang mana yang kata kamu lebih sopan." kata Kristin yang terus menarik Bagas masuk kedalam.

Ternyata itu butik langganan Kristin. Begitu mereka masuk, salah seorang pelayan menyambutnya ramah.
"mBak Kristin, ada yang baru nih.. lihat."
Bagas geleng-geleng kepala. Yang ditunjukkan adalah baju yang terbuka dibagian punggungnya. Kristin mengamatinya sebentar, sepertinya tertarik, ia menatap Bagas, tapi Bagas memalingkan muka.

"Nggak.. nggak.. aku mau baju yang lebih tertutup, tapi anggun. Untuk bekerja dikantor," kata Kristin.
"Oh, ada mbak, mari langsung kedalam... ada banyak pilihan."

Butik itu lumayan besar, Kristin masuk kedalamnya, tapi Bagas engan mengikutinya masuk. Nanti sebentar-sebentar Kristin akan bertanya padanya, lalu para pelayan toko mengira dia adalah pacarnya. Ogah ah. Bisik batin Bagas.

Karena itu ia diam-diam keluar dari butik itu. Ia berdiri ditepi jalan sambil mengamati jalanan yang ramai siang itu.

Tiba-tiba Bagas berdebar karena melihat Mery. Ia hampir  berteriak memanggil, tapi diurungkannya. Ia melihat Mery, berjalan keluar dari sebuah umah makan, bersama seorang laki-laki yang dikenalnya.
*** 
besok lagi ya



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  08*

 

Bagas terpaku ditempatnya. Berusaha sekuat tenaga menahan gelora jantungnya yang menghentak-hentak. Berusaha mengendapkan didih darahnya yang meluap sampai ke ubun-ubun.

Ditatapnya terus dua sejoli itu sejak keluar dari rumah makan itu, sampai kemudian masuk kedalam mobil yang diparkirnya agak jauh didepannya.

 

"Kapan mas Basuki kenal sama mbak Mery? Tampaknya sudah begitu dekat, dan tampak sangat mesra?" bisik batin Bagas dengan wajah merah padam. 

Api cemburu membakar jiwanya.

"mBak Mery... siapa dia?" bisiknya pelan.

 

"Bagaaas.."

Lagi-lagi suara itu mengejutkannya. Kristin keluar dari pintu butik itu, lalu menarik Bagas masuk kedalam.

"Tanganmu berkeringat?" tanya Kristin ketika memegang telapak tangan Bagas.

"Udara sangat panas," jawab Bagas sekenanya. 

"Didalam adem, ber AC, kenapa kamu keluar?"

"Sudah selesai?"

"Belum.. ayo lihat pilihanku, bagus nggak? Nanti kamu bilang nggak sopan lagi.."

 

Bagas mengeluh dalam hati. Dia keluar dengan maksud agar Kristin tak usah minta pendapatnya tentang baju yang dipilihnya, sekarang sama saja, dia harus menilai pilihan Kristin.

 

"Ini Gas, ada empat yang aku pilih, baguskah? Cocok? Ini tidak terbuka, ini rendah sampai lutut.. warnanya dan modelnya elegant kan? Aku pasti lebih cantik. Bagaimana menurutmu?"

"Bagus mbak," jawab Bagas ogah-ogahan.

"Bagas tuh.. yang ini.. yang ini.. mana yang kamu nggak cocog?"

"Bagus semuanya..."

"Hm, baiklah.. oke mbak, saya ambil, nanti kalau cocog saya kemari lagi. Pilihkan warna yang agak  gelap.."

"Baiklah.." kata pelayan.

 

Bagas geleng-geleng kepala. Harga empat setel baju itu lebih dari gajinya sebulan. Tapi ia tak ingin mengatakan apapun. Hatinya masih gemuruh oleh api cemburu yang membakarnya. Ketika Kristin  menariknya keluar dengan membawa bungkusan bungkusan baju, Bagas sama sekali tak ingin membantu membawanya. Ketika sampai dipintu, salah satu dari tas plastik berisi baju itu jatuh dan isinya terburai.

"Augh... tolong Gas.."

 

Bagas memang keterlaluan. Mendengar teriakan itu ia baru sadar bahwa Kristin harus dibantu membawa belanjaannya. Ia membungkukkan badannya, mengambil bungkusan itu, lalu meminta bungkusan lainnya dari tangan Kristin.

 

"Bagas, kita kerumah dulu sekalian ya.." kata Kristin ketika sudah dalam perjalanan kembali ke kantor.

"Kerumah?"

"Ya, menurunkan belanjaan ini,  Masa harus aku bawa ke kantor?"

"Kunci rumah dibawa nggak?"

"Oh, ya ampun.. tertinggal di kantor, masih tergantung di laci.."

 "Hm, cantik, pintar, tledor.." gumamnya lirih.

"Apa?"

 

"Nggak apa-apa, kepalaku sedikit pusing, jadi jangan terlalu banyak mengajak bicara."

"Oh, pusing ya, pantas saja tanganmu berkeringat.Nanti sampai di kantor minum obat ya.."

Bagas terdiam. Pikirannya sedang kalut. 

 

"Kalau boleh, sesampai di kantor aku mau pamit pulang dulu."

"Tentu saja boleh Gas, kalau memang kamu sakit. Aku antar saja pakai mobil aku, besok kalau siap masuk kerja aku jemput."

"Tidak usah, aku pulang sendiri saja."

 

Kristin terdiam. Sikap Bagas yang acuh tak acuh terhadapnya tak membuatnya surut untuk terus mendekatinya.

"Bagas, aku cinta kamu.." Kristin berbisik sangat lirih, lalu ia terkejut sendiri, sangat malu kalau sampai Bagas mendengarnya.

 

Namun Bagas masih berkutat dengan sakit hatinya. Kristin bersyukur karena Bagas seperti tak mendengarnya.

***

 

Mery terkejut ketika Basuki membawanya kesebuah rumah mungil yang halamannya penuh ditumbuhi pohon bunga-bunga mawar yang indah.

Ia menatap Basuki dan tak beranjak ketika Basuki menghentikan mobilnya didepan rumah.

 

"Ayo turunlah."

"Ini tempat apa?"

"Ini rumahku, ayo turunlah." kata Basuki sambil membukakan pintu samping untuk Mery.

Mery turun dengan ragu. 

 

"Mery, kamu mencurigai aku ? Aku sekarang sering tinggal disini. Ayolah, aku tak akan memperkosa kamu," kata Basuki sambil tertawa.

 

Mery memasuki rumah ketika Basuki menggandengnya dan seorang wanita setengah tua membukakan pintu.

"mBok, ini namanya Mery, dan ini mbok Yah, yang setiap hari memasak dan membersihkan rumah. Ada lagi pak Min, tukang kebun, tapi dia hanya datang setiap pagi sama sore."

 

Mery mengangguk ketika wanita setengah tua itu juga menganggukkan kepalanya, bahkan sambil ter bungkuk-bungkuk.

"Buatkan minuman dingin ya mbok."

Perempuan itu mengangguk lalu masuk kedalam. Tapi kemudian dia keluar lagi sambil mengulurkan sebuah surat.

 

"Ini apa mbok?"

"Tadi, dari Panti Asuhan datang kemari mencari bapak. Lalu meninggalkan surat itu."

Basuki menerima surat itu lalu meletakkannya diatas meja.

 

Mery duduk dan mengitarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Rumah kecil ini ditata dengan apik, dengan perabotan yang pasti tidak murah. Ada kaca besar dilingkari ukiran yang memantulkan wajahnya yang duduk sambil menyandarkan tubuhnya.

 

"Kamu sekarang tinggal disini?"

"Kalau kebetulan ada di Solo, aku tinggal disini. Kamu suka rumahnya?"

"Mengapa bertanya begitu sama aku?"

"Mm... maksudku.. mm.. aku hanya minta pendapatmu saja."

"Bagus.. aku.. suka.. Sejak kapan kamu suka bunga-bunga?"

 

"Itu kan maunya simbok sama pak Min.. mereka menanam dan merawatnya, baguslah.. siapa tau besok isteriku akan suka," kata Basuki sambil menatap Mery lekat-lekat.

 

Bergetar hati Mery menerima tatapan itu. Ada sesuatu yang meletup letup didadanya. Cinta yang terselip diantara mega bergulung menyesak didadanya. Ia tak tau mengapa Basuki mengajaknya jalan, makan siang bersama, lalu mengajaknya kerumah mungilnya, lalu menanyakan apakah dirinya suka akan rumahnya. Apakah Basuki memiliki juga rasa itu? Apakah ia berucap hanya dibibir saja? Bahwa dia kangen.. bahwa..

 

"Mery, " Basuki memotong lamunan Mery, seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi..

mBok Yah keluar dengan membawa nampan berisi dua gelas jus yang segar.

 

"Bapak, simbok  buat jus sirsat.. " kata mbok Yah.

"Waah, simbok tau kalau ini kesukaanku, terimakasih mbok."

"Bapak akan makan dirumah?"

"Tidak mbok, kami sudah makan. Nanti malam saja."

Simbok mengangguk lalu mengundurkan diri kebelakang.

 

"Mery, diminum jusnya," kata Basuki sambil menghhirup jus buatan simbok.

Mery mengikutinya, mengecapnya dengan nikmat.

 

"Mary... aduh.. aku jadi lupa akan mengatakan apa..." gumam Basuki sambil kembali menatap Mery, seperti tatapan orang yang sedang terpesona. .

 

Mery mengerjap-ngerjapkan matanya, menahan deru derap rasa yang mengharu biru didadanya. Mata itu, mata garang yang menatapnya teduh, bukan mata Basuki yang dahulu. Dulu mata itu menghanyutkannya dalam nafsu, tapi sekarang melarutkannya dalam rasa yang mengendapkan  semua hasrat nista. Ini sesuatu yang murni.. dan ini cinta sejatinya.

 

Bibir itu tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya. Mery tertunduk. Tak ingin hanyut. Lalu dia heran kepada dirinya sendiri. Basuki sudah dikenalnya selama puluhan tahun. Dulu dia bisa bicara begitu lepas, seenaknya, tapi kali ini ia seperti baru mengenalnya. Bahkan ia merasa seperti ABG yang baru saja jatuh cinta. Sikapnya menjadi kaku, agak gugup, terkadang gemetar. Tapi rupanya Basuki juga merasakan hal yang sama.

 

"Mery, kamu masih cantik seperti dulu." itu sudah diucapkannya berkali-kali, lalu bingung ingin mengucapkan apa lagi.

Mery mengangkat wajahnya. Mata itu masih menatapnya.

 

"Mery... aku kagum terhadapmu."

"Kagum seperti apa?"

"Kamu berhasil melewati  masa lalumu, lalu berhasil menjadi pengusaha makanan. Itu sangat hebat."

 

"Hidup itu ternyata harus diperjuangkan. Mendapatkan rejeki bukan hanya dengan menadahkan telapak tangan."

"Benar.  Aku sendiri.. setelah keluar dari penjara itu ... merasa telah menjadi manusia baru."

Tiba-tiba ponsel Basuki berdering. Basuki mengangkatnya.

 

"Ya.. oh.. ya saya sendiri. Sudah ibu, iya.. sama-sama.. hanya sekedar meringankan, tidak terlalu banyak bu.. tidak, ada beberapa Panti Asuhan .. saya akan melakukannya setiap bulan.. semoga bermanfa'at ya bu, baiklah, terimakasih kembali. Apakah anak-anak suka mainannya? Aah, syukurlah, mereka juga butuh bermain dan ber-senang-senang. Baik ibu, tidak apa-apa. Ya ibu, terimakasih kembali."

 

"Kamu memberi bantuan kepada Panti Asuhan?" tanya Mery heran setelah Basuki selesai menerima telpon.

"Ya, beberapa.. sudah dua bulan sejak aku keluar dari penjara. Aku tidak ingin menikmati hartaku seorang diri. Aku harus berbagi."

Mery tersenyum, menatap Basuki dengan penuh kagum.

 

"Kamu telah berubah."

"Aku harus berubah, setelah masa lalu menghempaskan aku dalam duka dan derita."

"Kamu hebat."

 

"Aku merasa bahwa banyaknya harta tak akan membuat hidupku tenang. Kesenangan yang dulu aku dapat ternyata kesenangan semu. Sesungguhnya tidak demikian dengan batinku. Ada kegelisahan yang tersembunyi dan aku tak menyadarinya."

 

Mery benar-benar terpukau oleh ucapan Basuki. Dia laki-laki yang hebat. Dia sadar akan hidupnya yang berlimpah harta dan tak segan untuk berbagi. Itu perbuatan yang sangat mulia. 

 

"Aku mencintai laki-laki yang luar biasa. Tapi apakah dia juga mencintai aku? Dia hanya kangen karena lama tak bertemu. Tapi mengapa dia selalu menatapku dengan pandangan yang sangat memukau? Apakah ada cinta didalamnya?" kata Mery dalam hati.

 

"Kamu masih tinggal bersama mas Timan?"

"Ya, belum bisa beli rumah, dan Sri selalu minta agar aku tetap tinggal disana."

"Mereka orang-orang baik."

"Kamu masih mencintai Sri?"

Basuki menghela nafas. 

 

"Sekarang aku menyadari, itu bukan cinta. Aku hanya menuntut agar keinginanku terpenuhi. Selama itu tak ada perempuan yang menolak aku, sementara Sri dengan sengit  menolakku mentah-mentah. Segala iming-iming bahkan tak mmbuatnya terpikat.  Dia seperti burung yang terbang lalu mengejekku. Aku penasaran dan bersumpah untuk mengejarnya. Dan itu adalah malapetaka buatku."

 

Basuki kembali menghela nafas. Ia menyandarkan tubuhnya, matanya menerawang seperti menatap sesuatu yang tak tampak.

 

"Tapi semuanya sudah berlalu. Sri sudah hidup bahagia bersama jodohnya. Aku bersyukur." lanjutnya.

 

Mery lagi-lagi terkagum-kagum. Ini bukan ucapan Basuki yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu. Ini ucapan seorang yang sudah matang, seorang yang dengan sepenuhnya menyadari kehidupan yang harus ditempuhnya.

 

"Mengapa kamu tidak menikah?" tiba-tiba pertanyaan itu mengejutkannya.

"Aku ?"

"Ya.. kamu cantik, pasti banyak yang suka.. jatuh cinta.."

 

"Aku merasa sudah tua.." jawab Mery, tapi ia kesal dengan pertanyaan itu. Mery menunggu ucapan yang lain, tapi harapan itu belum juga terpenuhi, bahkan ketika Basuki mengantarkannya kembali ke warung.

 

Tapi sebelum berpisah, Basuki membisikkan sesuatu ditelinganya.

"Besok aku akan menjemputmu lagi."

***

 

Mery terpaku diruang kerjanya. Setumpuk nota yang harus ditelitinya masih teronggok dan belum diisentuhnya. Sesiang ini dia menghabiskan waktunya  bersama Basuki. Orang yang pernah dicintainya dan tetap cinta itu terpendam dihatinya. Namun Mery masih bertanya-tanya, untuk apa Basuki mengajaknya jalan-jalan, makan siang bersama kemudian mengajaknya kerumahnya. Adakah maksud tertentu ataukah hanya kangen seperti berkali-kali dikatakannya? Adakah sesuatu dibalik rasa kangen itu? Mery masih mengharapkannya. Tapi tak ada kata cinta yang terucap, kecuali pandangan memukau yang menghanyutkannya dalam angan yang tak terjawab, karena Basuki tak pernah mengatakannya. Atau belum? Menunggu waktu yang tepat? Ah ya, kemudian Mery merasa tergesa-gesa berharap. Bukankah baru sekali itu dia bertemu setelah bertahun-tahun berpisah dalam suasana yang tak mengenakkan?

 

"Bu, ini catatan barang yang dibutuhkan," tiba-tiba Mini masuk dan mengejutkannya.

"Oh, nanti kamu saja yang belanja ya?"

"Ya bu, tidak masalah. Ibu masih sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Tadi mas ganteng yang mobilnya merah itu datang kemari."

"Oh, dia mencari aku?"

"Ya, menanyakan ibu kemana. Tapi dia tidak sendiri."

 

"Sama siapa?"

"Seorang gadis cantik yang aduhai.. dulu pernah datang bersama bapaknya kalau tidak salah."

"Oh, itu atasannya. Kamu mengamati setiap tamu yang datang juga ya Min?"

"Itu kan karena ibu mengenalnya. Kalau semua tamu ya tidak bu, kecuali yang sudah sering datang kemari."

 

"Ini catatannya bawa saja, kan kamu yang mau belanja."

"Tadi ponsel ibu tertinggal, berkali-kali seperti mendengar telpon berdering, tapi saya tak berani mengangkatnya.

 

Mery baru teringat bahwa ponselnya tertinggal. Diambilnya ponsel itu, dan dilihatnya Bagas menelponnya berkali-kali.

 

"Ah, biarlah, paling-paling besok dia pasti kesini," gumam Mery kemudian memasukkan ponsel kedalam tasnya.

"Aku mau pulang saja sekarang."

 

Mini mengangguk, tapi ia senang melihat wajah majikannya tampak berseri siang itu. Pasti karena mas ganteng tinggi besar yang mengajaknya pergi. Lalu diam-diam Mini berdo'a, agar majikan cantiknya benar-benar menemukan jodohnya.

***

 

Bagas sudah pulang kerumah sejak kembali dari makan siang dan belanja bersama Kristin. Ia mencoba menelpon Mery, tapi berkali-kali Mery tak mengangkat telponnya. Kembali dadanya bergemuruh karena cemburu. Ada apakah diantara mas Basuki dan mbak Mery?

 

"Mengapa kamu pulang sesiang ini Gas?" tanya pak Darmono yang melihat Bagas sedang duduk santai diruang tengah.

"Tidak apa-apa pak, agak pusing."

"Sakit? Kalau begitu istirahat saja dulu. Kamu sudah makan ?"

"Sudah pak." kata Bagas sambil berdiri lalu berjalan kearah kamar.

 

Pak Darmono mengikuti anaknya.

"Pekerjaan banyak ya Gas?"

"Seperti biasa pak. Tidak apa-apa kalau so'al pekerjaan.Tapi sesungguhnya Bagas memang ingin resign saja."

 

"Sebenarnya bapak ingin bicara."

"Tentang apa?"

"Pak Suryo bicara lagi sama bapak."

"Oh, tentang perusahaan itu? Tidak pak, Bagas tidak mau. Kan Bagas sudah bilang kalau mau resign saja."

 

"Bapak juga tidak akan memaksa apapun, karena ini adalah hidup kamu. Tapi pak Suryo seperti memaksa."

"Bagas sudah tau, itu kemauannya Kristin, bukan pak Suryo."

"Pak Suryo yang mengatakannya."

"Benar, tapi Kristin yang meminta. Bagas tidak suka. Lagipula memegang sebuah perusahaan besar tidak mudah."

 

"Katanya pak Suryo akan membantu."

"Tidakkan bapak merasa aneh, Bagas yang baru sebentar bekerja sudah akan diserahi tanggung jawab yang begitu besar? Kristin bisa melakukannya, Bagas tau dia pintar kok."

 

"Ada keinginan pak Suryo yang lain, dan itu adalah alasan mengapa kamu diserahi perusahaan itu."

"Keinginan apa?"

"Dia ingin kamu menjadi menantunya."

"Tidaaak..!" kata Bagas dengan nada tinggi.

 

"Kamu tidak suka? Bukankah Kristin itu cantik ?"

"Kecantikan tidak menjamin orang bisa dengan mudah jatuh cinta. Bagas tidak mencintai Kristin."

"Pak Suryo juga bertanya, apa kamu sudah punya pacar. Tapi bapak tidak bisa menjawabnya."

"Bagas mencintai orang lain."

 

"Oh, kalau begitu bapak akan menjawab begitu. Tapi bolehkah bapak tau siapa yang kamu cintai itu?"

"Namanya Mery."

"Kamu belum pernah mengenalkannya pada bapak."

"Dia pemilik warung timlo itu."

"Apa?"

Pak Darmono terkejut bukan alang kepalang.

 

"Apakah dia yang mengantarkan pesanan timlo kerumah waktu itu?"

"Ya pak."

"Bagas, bapak tidak setuju. Tampaknya dia sudah terlalu tua untuk kamu.

 

***

 

 besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar