*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 07*
Pak
Darmono menatap sahabatnya tak berkedip. Apakah seorang yang kaya raya
menganggap semua hal bisa begitu mudah didapatkan? Bahkan ketika menentukan
pilihan untuk pewaris 'kerajaan' dan menentukan siapa yang pantas jadi
menantunya? Tidak, semuanya tidak mudah diterima bagi Darmono.
"Mengapa
menatapku seperti itu Darmono? Ada yang aneh?"
"Semuanya
menurutku aneh mas."
"Aneh
?"
"Mas
Suryo membuat sesuatu menjadi seperti mudah."
"Mengapa
tidak?"
"Karena
mas Suryo selalu mendapatkan apa yang menjadi keinginan mas. Baiklah, benda,
kekayaan, bisa dengan mudah mas dapatkan, tapi memilih pewaris perusahaan dan
menantu, tidak bisa mas dapatkan begitu mudah, tidak seperti membalikkan
telapak tangan."
"Jadi
kamu menolaknya?"
"Bukan
menolak mas, aku hanya minta agar mas memikirkannya masak-masak sebelum
menentukan pilihan."
"Anakmu
seorang yang baik, ia akan menjadi pembimbing bagi Kristin yang terkadang masih
kekanak-kanakan. Bukankah kita pernah membicarakan tentang perjodohan
ini?"
"Tapi
aku bilang masalah perjodohan tidak bisa diselesaikan antara kita bukan? Biar
anak-anak itu yang menentukan."
Pak Suryo
menghela nafas. Dalam hati ia memuji sahabatnya, yang tak mudah menerima
kebaikan dan memikirkan segala sesuatu dengan sangat matang.
"Bisakah
mas Suryo menerima kata-kataku?"
Pak Suryo
mengangguk-angguk. Tapi dia teringat ucapan Kristin, bahwa dia mencintai
Bagas. Apakah Bagas sedikitpun tak tertarik pada Kristin?
"Apa
Bagas sudah punya pacar?" tanya pak Suryo kemudian.
"Aku
tidak tau mas. Dia belum pernah mengatakannya. Tapi mas harus percaya, kalau
memang mereka berjodoh maka pasti kita bisa berbesan."
"Baiklah,
aku bisa menerima alasanmu. Semoga yang terbaik adalah milik anak-anak kita.
***
Basuki
memasuki warung dengan hati berdebar. Ia menatap kedalam. Mencari sosok Mery yang ingin dijumpainya.
Basuki heran pada dirinya. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Seperti
anak muda yang baru pertama kali jatuh cinta. Apakah sekarang dia jatuh cinta?
Entahlah, Basuki belum menyadari bagaimana perasaannya. Namun sesuatu yang aneh
merayapi batinnya. Ingin segera bertemu, ingin segera mendengar suaranya,
melihat bagaimana bibirnya bergerak manis ketika mengungkapkan kata-kata.
"Ini
hanya sebuah kerinduan karena lama tak bertemu," bisik batinnya.
Tapi
kemudian debar itu menjadi lebih cepat ketika dilihatnya seorang gadis keluar
dari balik pintu . Gadis itu melenggang dengan manis, memandangnya dengan
manis, dan tarikan bibirnya memang manis. Basuki menjadi seperti gila. Ia sudah
tidak muda lagi. Umurnya sudah lebih empat puluh tahun, tapi guncangan yang
terasa membuat dirinya seperti ABG bertemu gadis pujaannya.
"Apa
kabar Bas?" sapa Mery begitu berada didepannya.
Kedua mata
saling beradu. Ada api memercik disana. Dan tautan dalam pandangan itu tak
hendak terlepas, sampai beberapa detik lamanya sebelum keduanya sadar apa yang
terjadi.
"Mery..
kamu masih cantik seperti dulu."
"Ehem..."
Mery berdehem pelan, senyumnya merekah. Ternyata Basuki tidak lagi marah.
Pandangan mata itu yang mengatakan. Tatapan garang yang membuatnya terbuai,
lalu membuat percikan api yang tersulut menjadi terburai, seperti kembang api
memuntahkan derai-derai indah dilangit sana.
"Kamu
tidak membenciku ?" kata Mery pelan, sambil mengalihkan pandangan kearah
jalan, dimana lalu lalang kendaraan tampak ramai, penuh hiruk pikuk yang
membuat bising.
"Tidak
ada lagi benci dihatiku. Aku sudah mengendapkan semua masa laluku didalam
perjara. Aku sedang membuka lembaran hidupku yang baru."
"Syukurlah."
"Aku
kangen sama kamu.."
Mery
menatap Basuki lagi. Dulu kata itu sering diucapkannya, ketika tubuh kekar itu
memeluknya dan melemparkannya keatas ranjang demi memuaskan hawa nafsu. Tapi
sekarang mata itu begitu teduh, tak ada nafsu kotor menyeruak diantara
tatapannya, Mery merasa lega.
"Apa
kamu sudah punya pacar?"
Mery
tersenyum manis sekali. Basuki menelan ludah menahan gelora batinnya.
"Aku
sudah tua, masa harus berpacaran?"
"Benar?"
Mery
mengangguk pelan.
"Anak
muda bernama Bagas itu..?"
Ah ya,
Mery teringat. Ketika Basuki masuk keruangan warung itu dilihatnya Bagas sedang
menggenggam tangannya.
"Dia
hanya anak-anak.."
"Anak-anak?"
"Anak-anak
manja... dia baik."
"Dekat
sekali sama kamu?"
"Iya,
oh ya.. kamu mau makan apa?"
"Bagaimana
kalau kita jalan?"
"Jalan
kemana?" Mery menatap Basuki penuh selidik.
"Cuma
jalan-jalan saja.. . pokoknya ingin pergi bareng kamu, sudah lama sekali kita
tidak melakukannya."
"Jalan-jalan
saja kan?"
"Mery,
kamu mencurigai aku ? Mengira aku masih mampu melakukan hal-hal
buiruk?"
Mery
sungkan mengatakannya, tapi mata garang itu tidak menunjukkan nafsu yang dahulu
membuatnya mabuk. Mery bangkit berdiri.
"Aku
mengambil tasku didalam."
Basuki
mengangguk. Seperti anak kecil terpenuhi keinginannya minta mainan, mata itu
bersinar-sinar. Lalu Basuki kembali merasa heran pada dirinya. Apa yang
terjadi? Sudah bertahun-tahun hidup bersama Mery tak pernah dirasakannya
gejolak yang sedemikian menghentak-hentak batinnya. Apa yang terjadi dengan
diriku? Bisik batin Basuki.
Ketika
Mery keluar dan diikuti pandangan penuh senyum dari para pegawainya, Basuki
menggandeng lengannya dengan manis.
"Siapakah
dia?" kata salah seorang pelayan.
"Sst,
itu urusan bos kita, mengapa kamu ribut?" tegur Mini. Tapi tak urung
matanya juga menatap sepasang manusia yang tampak bahagia itu sampai hilang
diantara berderet mobil yang diparkir didepan warung.
"Itu
laki-laki baik hati yang sudah dua kali memberi aku uang kembalian."
"Ganteng
dan gagah. Berbeda dengan pengendara mobil merah yang biarpun tampan tapi masih
sangat muda." kata pelayan yang lain.
***
"Bagaas..."
Panggilan
itu tak membuat Bagas mengangkat kepalanya. Sudah biasa didengarnya, dengan
nada yang sama, dan sedikit keras. Bagas terus menatap laptop dan mengotak
atiknya.
"Bagaaas.."
Bagas
tetap tak bergeming.
"Gas,
sudah waktunya makan siang."
"Iya,
makanlah .. aku selesaikan ini dulu."
"Tapi
aku ingin makan bareng kamu."
"Aku
nggak lapar."
"Bohong."
Bagas
terus tenggelam dalam pekerjaannya. Dengan gemas Kristin mendekati. Ia duduk
dihadapan Bagas, menopang kepalanya dengan kedua tangan dengan siku bertumpu
pada meja. Matanya menatap Bagas tak berkedip.
"Bagaas.."
Bagas
mengangkat kepalanya sekilas. Tampak sepasang mata bintang menatap kearahnya.
Seperti ada cahaya memercik dari sana. Tapi Bagas kemudian menundukkan
kepalanya, kembali menekuni pekerjaannya.
"Aku
mau ikut makan siang bersama kamu, boleh kan ?"
"Aku
belum lapar."
"Aku
mau menunggu sampai kamu lapar."
Bagas
ingin tertawa. Ia seperti menghadapi anak kecil yang merengek untuk dibelikan
mainan.
Tak hendak
berhenti sebelum mainan itu didapatkan. Tapi Kristin menangkap tawa yang
tersembunyi itu dari sudut bibir Bagas.
"Bagaas..."
"Iya..
iya mbak.. sebentar aku selesaikan ini dulu. Tunggu dimeja mbak dan jangan
dihadapanku."
"Apa
aku mengganggu?"
Tentu saja
mengganggu. Cara dia duduk dengan baju berbelahan rendah itu sangat mengacaukan
pikirannya. Bagas sudah berkali-kali ingin mengingatkan cara Kristin
berpakaian, tapi diurungkannya. Ia merasa tak berhak mengatur cara atasannya
berpakaian.
"Biarkan
aku disini, aku kan tidak mengganggu?"
"Mengganggu
mbak," dan gilanya sekali lagi Bagas menatap belahan baju yang teramat
rendah sehingga sama sekali tak menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disimpan
dengan rapi. Bukannya senang Bagas menatapnya, tapi justru sekarang benar-benar
ingin mngingatkannya.
"Aku
kan diam saja Gas, tidak mengganggu kan?"
"mBak,
ma'af kalau tersinggung, tapi .. aku ingin mengingatkan, bagaimana kalau mbak
Kristin mengubah cara berpakaian mbak?"
"Mengubah
bagaimana ?"
"Memang
sih mbak Kristin suka yang modis, modern, aksi, seksi, tapi ada lho modis yang
lebih sopan." Bagas agak menyesal mengucapkannya, tapi ucapan itu
terlanjur diungkapkannya.
"Jadi
aku nggak sopan?"
Bukannya
sadar, Kristin justru berdiri lalu memutar-mutar tubuhnya seperti seorang
peragawati berjalan diatas catwalk.
Bagas sama
sekali tak memandangnya, karena setiap hari walau berganti model tapi selalu
begitu penampilannya. Bawahan pendek, baju atasan yang terlalu rendah .. lengan
yang kelihatan separo.. ah.. entah apa namanya itu, Bagas sungguh tak nyaman
memandangnya.
"Bagas.."
"Ma'af,
maksud saya baju yang agak tertutup."
"Oh..."
"Ma'af
ya mbak, bukan maksud saya menyinggung, tapi.."
"Bagaimana
kalau nanti kamu mengantarkan aku beli baju-baju yang kamu suka?"
Astaga...
ini namanya senjata makan tuan, bukan?
"Maukah
?"
"Ya
enggak lah mbak, masa harus sama aku."
"Habis
sama siapa? Kalau sama mama, nanti belinya juga baju yang modelnya seperti
begini ini Gas."
Bagas
benar-benar pusing. Ia mematikan laptop dan menutupnya. Kristin berjingkrak
kegirangan.
"Sudah
selesai? Sudah laparkah ?"
Bagas
sebenarnya ingin bertemu Mery. Tapi kalau bos centil ini ikut, jadi nggak asyik
dong.
"Bagaas?"
Bagas menyandarkan tubuhnya lalu mengangkat kedua tangannya,
diletakkannya dibelakang kepalanya.
"Capek
ya Gas?"
"mBak
Kristin makan sendiri saja ya, aku benar-benar nggak ingin keluar."
"Kalau
begitu kamu tunggu disini saja, aku nanti belikan kamu makanan untuk makan
siang, ya Gas?"
Bagas
mengangguk. Tapi dalam hati bersorak. Kalau Kristin pergi berarti dia bebas
menemui mbak Mery nya.
Lalu ia
menunggu sampai beberapa sa'at lamanya. Ketika diperkirakan Kristin sudah
keluar dari kantor, barulah Bagas bangkit berdiri. Disambarnya kunci mobil,
lalu dengan wajah berseri keluar dari ruangannya. Tapi ketika dia sampai
diloby, dilihatnya Kristin setengah berlari datang dari arah parkiran.
"Bagas,
kamu mau kemana?"
"Mengapa
kembali?"
"Kunci
mobilku ketinggalan dimeja."
Gadis
pintar yang manja, dan ceroboh! pikir Bagas, tapi dengan demikian ia harus
mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Kamu
mau kemana Bagas?" tanya Kristin curiga.
"Aku
cuma mau jalan-jalan saja disekitar kantor."
"Kalau
begitu ayo jalan sama aku saja. Ya Gas.. kenapa sih kamu seperti nggak
suka sama aku? Ayo.. kalau begitu pakai mobilmu saja. Tuh, kamu sudah membawa
kunci mobil kan? Kalau hanya jalan-jalan disekitar kantor mengapa bawa-bawa
kunci mobil?"
Bagas
menjadi seperti tikus terkena perangkap, tak berkutik. Alasan yang
diutarakannya sama sekali tak masuk akal. Jadi tak ada jalan lain, ia menurut
saja ketika Kristin menariknya, kearah mobil merah, miliknya sendiri.
"Kita
mau makan dimana Gas? Oh ya, nggak apa-apa, aku mulai menyukai warung itu, nasi
gorengnya lumayan enak, Kesana saja ya?"
"Terserah
mbak Kristin saja." Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Bagas.
Tak apa
bersama Kristin, yang penting bisa ketemu mbak Mery. Demikian pikir Bagas.
***
"Gas,
kamu sudah ketemu papa?" Tanya Kristin dalam perjalanan.
"Belum.
Kapan aku bertemu? Kalau pak Suryo ke kantor pasti mbak Kristin juga tau.
Bukankah pak Suryo tidak kekantor beberapa hari terakhir ini?"
"Tidak,
mungkin papa menelpon kamu."
"Tidak,
untuk apa pak Suryo menelpon aku?" Bagas pura-pura tidak tau, padahal dia
yakin pasti Kristin akan berbicara tentang perusahaan yang akan diserahkan
kepada dirinya. Tidak, dia tak akan mau. Dia lebih suka resign daripada setiap
hari diganggu Kristin.
"Kamu
tidak tau apa yang akan papa katakan sama kamu?"
"Apa?
Mana mungkin aku bisa tau, memangnya aku ahli nujum? Dukun?"
"Ingin
tau tidak?"
"Tidak,
bagiku .. kalau aku sudah mengerjakan pekerjaan atau semua tugas yang harus aku
jalankan, itu sudah cukup."
Kristin
seperti putus asa. Ia sebenarnya ingin mengatakan apa yang menjadi keinginan
ayahnya itu, atau tepatnya keinginan dirinya sendiri, tapi diurungkannya.
Barangkali Kristin merasa bahwa kalau ayahnya yang meminta pasti Bagas tak akan
menolaknya.
"Jalanan
ramai sekali. Macet dimana-mana." keluh Bagas karena mobilnya tidak bisa
melaju seperti yang diinginkannya.
"Iya,
kan waktunya orang pada makan siang."
"Keburu
lapar..."
"Katamu
kamu belum lapar..." ejek Kristin.
"Lama-lama
jadi lapar."
Kristin
tertawa geli, menampakkan sederet gigi putih bak mutiara itu tersembul dari
balik bibirnya yang tipis. Sayang Bagas tak melihatnya, atau memang tak ingin
melihatnya.
***
Begitu
memarkir mobil didepan warung itu, Bagus sudah melongok kedalam, barangkali
bayangan Mery sudah tampak dari dalam mobilnya. Tapi bayangan itu tak ada.
Bagas lebih dulu turun dan melangkah kedalam, meninggalkan Kristin yang turun
kemudian.
"Iih,
Bagas, kok aku ditinggal sih..."
Bagas
mencari tempat duduk disudut ruangan, dan duduk menghadap kedalam. Dengan
matanya ia terus mencari.
"Gas,
ayo dong, panggil pelayan."
Bagas
melambaikan tangannya, seorang pelayan mendekat. Ia sudah mengenal Bagas dengan
baik, tapi belum pernah melihat Bagas datang bersama gadis cantik ini. Dulu
mereka bertemu ketika gadis itu datang kemudian bersama ayahnya. Pelayan itu
selalu mengingatnya, karena menyukai penampilan gadis cantik yang tampak seksi
dan menawan. Laki-laki mana sih yang tak suka gadis cantik?
"Aku
biasa, nasi timlo dan jeruk hangat."
"Aku
nasi goreng, dengan udang."
"Dan
es kopyor?" pelayan itu dengan lancangnya menyahut. Kristin menatapnya
sejenak, tapi kemudian mengangguk."
"Nggak
pakai lama !" pesannya begitu pelayan mengundurkan diri.
Biasanya
Bagas tak perlu meminta, setiap kali dia datang pasti salah seorang pelayan
memanggilkan Mery untuknya. Tapi sampai pesanan sampai ke mejanya, Mery belum
juga muncul.
"Eh,
mas.. mbak Mery mana?"
"Oh,
mbak Mery lagi pergi mas..."
"Pergi
kemana ? Belanja ?"
"Nggak
tau saya mas, perginya sama bapak-bapak yang ganteng tinggi besar itu.."
"Ganteng
tinggi besar? Siapa?"
"Nggak
tau mas, dia juga beberapa kali pernah datang kemari." lalu pelayan itu
pergi.
Barangkalai
dia lupa bahwa laki-laki gagah dan ganteng itu pernah makan juga bersama Bagas,
atau memang waktu itu tak memperhatikannya.
Wajah
Bagas menjadi muram. Siapa laki-laki ganteng itu? Kemarin tidak ke warung
karena sakit, sekarang pergi dengan laki-laki ganteng.?"
"Bagas,
kok nggak segera dimakan sih? Aku hampir habis separo nih." kata Kristin
menegur karena Bagas tidak segera menyantap makanannya.
"Iya,
kan aku bilang bahwa sebenarnya aku nggak lapar?"
"Kan
tadi kamu juga bilang bahwa lama-lama lapar?"
"Ternyata
benar-benar nggak lapar."
"Makan
saja, sayang sudah dipesan."
Tapi Bagas
hanya menyendok satu atau dua sendok makanannya, lalu menyandarkan tubuhnya di
sandaran kursi.
"Benar
nggak mau makan?"
Bagas
menggelengkan kepalanya.
Mereka
meninggalkan rumah makan tanpa banyak bicara karena Bagas memang enggan bicara.
"Bagas,.
kok kamu jadi lain? O, karena tidak bertemu dengan pemilik warung sahabatmu
itu. Kamu suka?" kata Kristin ceplas ceplos.
Bagas tak
menjawab. Tiba-tiba Kristin memegangi tangannya dan berteriak.
"Bagas..
berhenti dulu.. tolong."
Bagas
memperlambat laju mobilnya.
"Berhenti?"
"Minggir
dulu sebentar."
Bagas
terpaksa menuruti kata Kristin, meminggirkan mobilnya.
"Ayo
turun sebentar, antarkan aku," kata Kristin sambil bergerak turun.
"Kemana
?"
"Masuk
ketoko itu, sebentar."
Bagas
turun, mengikuti Kristin memasuki sebuah toko pakaian.
"Aku
mau kamu memilih baju yang mana yang kata kamu lebih sopan." kata Kristin
yang terus menarik Bagas masuk kedalam.
Ternyata
itu butik langganan Kristin. Begitu mereka masuk, salah seorang pelayan
menyambutnya ramah.
"mBak
Kristin, ada yang baru nih.. lihat."
Bagas
geleng-geleng kepala. Yang ditunjukkan adalah baju yang terbuka dibagian
punggungnya. Kristin mengamatinya sebentar, sepertinya tertarik, ia menatap
Bagas, tapi Bagas memalingkan muka.
"Nggak..
nggak.. aku mau baju yang lebih tertutup, tapi anggun. Untuk bekerja
dikantor," kata Kristin.
"Oh,
ada mbak, mari langsung kedalam... ada banyak pilihan."
Butik itu
lumayan besar, Kristin masuk kedalamnya, tapi Bagas engan mengikutinya masuk.
Nanti sebentar-sebentar Kristin akan bertanya padanya, lalu para pelayan toko
mengira dia adalah pacarnya. Ogah ah. Bisik batin Bagas.
Karena itu
ia diam-diam keluar dari butik itu. Ia berdiri ditepi jalan sambil mengamati
jalanan yang ramai siang itu.
Tiba-tiba
Bagas berdebar karena melihat Mery. Ia hampir berteriak memanggil, tapi
diurungkannya. Ia melihat Mery, berjalan keluar dari sebuah umah makan, bersama
seorang laki-laki yang dikenalnya.
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar