CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 15
Bagas
berdebar, diam menunggu. Rasanya tak mungkin akan ditolak.
"Benarkah
mau pulang bareng aku?"
Bagas
hampir berjingkrak.
"Ya,
kalau tidak keberatan. Kalau nggak biar aku naik taksi saja."
"Tidak
apa-apa, silahkan saja kalau mau bareng." jawabnya datar., dan itu tidak
membuat Bagas menjadi gembira. Sikap kaku Kristin membuyarkan rasa senangnya
apabila bisa pulang bersama. Dia membayangkan sikap kaku nanti didalam mobil
kalau Kristin masih dingin seperti es batu didalam freezer. Ia ingin
membatalkannya saja, tapi merasa kurang enak karena sudah terlanjur bicara.
Akhirnya
Bagas juga terdiam, larut dalam pekerjaannya, diseling lamunannya tentang sikap
Kristin yang membuatnya begitu konyol sendiri.
Kristin
sesekali melirik kearah Bagas, lalu tersenyum melihat kegelisahan yang tampak
pada wajahnya. Tapi kemudian senyum itu disembunyikannya. Ia harus bertahan,
jangan sampai laki-laki dihadapannya ke ge-eran mengetahui bahwa diringa suka
sama dia. Tapi terkadang Kristin juga khawatir, bagaimana kalau Bagas
kesal, lalu marah, lalu membencinya?
Ketika
sa'at usai jam kantor, Kristin menatap Bagas yang masih berkutat dengan
laptopnya.
"Bagas,
mau pulang tidak?" tanya Kristin, masih dengan nada datar.
"Oh
iya, sebentar lagi, Mm.. atau aku naik taksi saja mbak, takut merepotkan."
Dan
tiba-tiba Kristin merasa kecewa. Bagaimanapun dia suka kalau bisa duduk bersama
Bagas didalam satu mobil. Tapi Kristin menahan perasaan kecewanya, bersikap tak
acuh atas sikap Bagas kemudian.
"Kalau
merepotkan sih enggak, cuma kalau kamu tidak mau bareng aku ya tidak
apa-apa."
Nah
lo.
"Bukan
tidak mau, tapi takut merepotkan."
"Tidak,
siapa bilang repot?"
Kristin
menekan nada suaranya, karena sesungguhnya dia menginginkannya.
"Selesaikan
pekerjaan kamu, aku akan menunggu," kata Kristin kemudian.
Bagas
sudah selesai dengan pekerjaannya. Setelah menutup laptop dan membenahi
barang-barangnya, ditatapnya Kristin.
"mBak,
aku sudah selesai."
"Okey.."
kata Kristin sambil berdiri, lalu berjalan kearah pintu. Bagas mengikutinya.
Tapi sesampai diarea parkir Kristin berteriak.
"Bagas...
kunci mobil ketinggalan dimeja."
"Hm,
cantik centil pintar manja teledor," gumamnya dalam hati.
"Biar
aku ambil," kata Bagas yang kemudian setengah berlari kembali keruang
kerjanya.
Kristin
menunggu sambil bersandar pada pintu mobilnya. Ia merasa, karena sikapnya,
sikap Bagas juga berubah. Tidak dingin terhadap dirinya, dan justru
seperti selalu mencari perhatian dan berusaha mengajaknya bicara. Ia harus
berterimakasih pada ibunya yang telah menuntunnya menjadi wanita yang bisa
memegang kewanitaannya dan tidak tampak murah serta gampangan.
Ketika
Bagas datang dan membuka pintu mobil, Bagas langsung menuju kebelakang setir.
"Biar
saya saja yang membawa ya."
Kristin
mengangguk, lalu dia duduk disamping kemudi.
***
Ketika
Mery mau pulang sore itu, seorang wanita cantik masuk dan duduk disebuah kursi.
Warung itu sudah sepi, karena sebentar lagi mau tutup. Tapi Mery menyambutnya
ramah.
"Silahkan
mbak,"
"Kok
sepi, sudah mau tutup ya? Apa sudah habis makanannya?"
"Iya,
sebentar lagi mau tutup. Tapi kami masih melayani kalau mbak mau makan?"
"Mm..
apa yang enak disini ?"
"Itu
diatas tertulis daftar menunya mbak, silahkan dicoba, mau yang mana.."
"mBak
pemilik warung ini ?"
"Ya
mbak, begitulah."
"Mery
itu nama mbak ?" kata wanita itu sambil memandang tajam.
"Ya..
saya. Memangnya kenapa mbak?"
"Oh,
tidak apa-apa.., nama itu kan sudah terkenal."
"Oh,
masa sih.." kata Mery sambil melambai kearah pelayan.
"Silahkan
pesan mbak, ini yang akan melayani."
"Nyobain
nasi timlo deh, aku belum pernah ngerasain yang namanya timlo.. sama es
teh."
Pelayan
mengangguk dan berlalu.
"mBak
silahkan menikmati, saya permisi dulu," kata Mery.
"Lho,
mbak mau kemana?"
"Saya
mau pulang mbak, ada yang perlu dibantu?"
"Tidak,
saya hanya ingin ditemani."
Mery
merasa aneh akan sikap tamunya yang satu ini. Ia melambai kedalam, dimana Mini
sedang melihatnya ketika itu.
"Ya
bu." tanya Mini sambil mendekat.
"Temani
tamu kita ya, so'alnya warung memang sudah sepi, Ini anak buah saya mbak, dia
akan menemani disini," kata Mery sambil berlalu.
Pesanan
itu telah datang, dan disiapkan di meja. Mini mempersilahkannya.
"Silahkan
mbak."
"Kamu
siapanya mbak Mery.?" tanya sang tamu sambil mengaduk minumannya lalu
menyeruputnya.
"Saya
pembantunya."
"Tampaknya
pembantu yang dipercaya. Saya ingin menikmati makanan disini, warung ini sangat
terkenal. Nggak tau yang menyebabkan terkenal itu apanya, masakannya yang enak,
atau pemiliknya yang cantik."
Mini mulai
kurang senang pada tamu yang satu ini. Terlalu banyak omong, dan bicaranya sama
sekali tidak menunjukkan keramahan.
"Hmh,
siapa yang masak nih?"
"Saya
dan beberapa pembantu."
"Hm,
kurang mantap, agak keasinan. Bagaimana bisa masakan seperti ini
banyak disukai?" katanya sambil menyendok makanannya.
"Oh,
ma'af kalau ibu tidak suka asin,"
"Jangan
panggil saya ibu, tadi sudah bagus memanggil saya mbak.."
tegur tamu itu sambil menampakkan wajah tak senang.
"Oh,
ma'af mbak."
"Apa
saya sudah kelihatan tua?" kata wanita itu sambil terus melahap
makanannya.
"Tidak,
ma'af.. itu kan panggilan menghormati mbak saja. Saya kepada majikan saya juga
memanggil bu Mery. Tapi kalau tidak suka ya ma'af mbak."
"Hmh,
baiklah.. tidak apa-apa," lalu wanita cantik itu berdiri sambil meletakkan
selembar uang limapuluhan.
"Sebentar
bu, eh mbak.. kembaliannya.."
"Tidak
usah, buat kamu saja," katanya sambil berlalu, meninggalkan aroma wangi
yang menyeruak memenuhi ruangan.
"Huh,
bilang tidak enak, nyatanya habis bersih tak bersisa, dasar wanita sombong.
Bicaranya juga nggak enak didengar, untung aku sabar, kalau tidak sudah tak
kruwes bibirnya yang tajam seperti pisau itu.!" omel Mini sambil melambai
kearah pelayan.
***
"mBak,
menurut aku mbak Kristin seperti berubah," celetuk Bagas karena selama
beberapa sa'at dalam perjalanan bersama, tak sepatahpun kata keluar dari mulut
mereka.
"Oh,
berubah? Apanya yang berubah ya? Penampilanku ini? Buruk ya? Aku tidak
pantas?"
"Oh,
bukan, kalau itu sih bagus, cantik."
Kristin
menahan senyumnya, wanita mana sih nggak suka dibilang cantik ?
"Lalu
apa yang berubah?"
"mBak
Kristin sekarang pendiam."
"Masa
sih?"
"Aku
jadi merasa seperti pernah melakukan kesalahan."
"Mengapa
begitu? Aku memang sedang tak ingin banyak bicara, bukan karena kesalahan
siapa-siapa."
"Oh,
ya sudah."
"Kamu
tadi makan dimana ?"
"Kan
aku sudah bilang bahwa aku makan di kantin."
"Oh
iya, aku lupa. Tadi aku makan di warung Mery."
Bagas
terkejut, ia menoleh kearah Kristin, mencari kebenaran kata-katanya.
"Kamu
tidak percaya? Aku memesan nasi goreng dengan udang, sama es kopyor, seperti
biasanya."
"Oh.."
"Mengapa
tidak makan diwarung seperti biasanya?"
"Kan
mbak Kristin nggak ngajak saya."
"Kalau
aku ngajakin juga, belum tentu kamu mau. Jadi aku berangkat sendiri."
Bagas
tersenyum kecut. Bukankah dia suka menghindar kalau Kristin mengajaknya? Apa
sikap Kristin ini merupakan balasan atas sikapnya terhadap Kristin selama ini?
"Biasanya
kan kamu berangkat sendiri ke warung itu?"
"Sedang
tidak ingin saja."
Dan
pertanyaan itu mengingatkan Bagas akan sakit hatinya karena Mery akan menikah
dengan Basuki. Wajahnya mendadak gelap seperti langit tertutup mendung.
"Kita
sudah sampai, didepan itu rumah kamu kan?"
Bagas
mengangguk, tak terasa sudah sampai didepan rumah. Bagus menghentikan mobilnya
ditepi jalan.
"Tidak
masuk?" tanya Kristin karena Bagas tidak memasukkan mobilnya ke halaman.
"mBak
Kristin mau mampir?"
Tiba-tiba
tergerak hati Kristin ingin mampir, tapi tidak, ia harus menahannya. Karena
itulah maka dia menggeleng.
"Aku
capek."
"Mau
aku antar sampai kerumah?"
Kristin
tersenyum.
"Lalu
setelah sampai dirumahku, aku harus mengantar kamu pulang?"
"Aku
bisa naik taksi."
"Ah,
jadi apa gunanya kita pulang sama-sama. Sudah turunlah, aku pulang sendiri
saja." kata Kristin sambil menggeser duduknya kebelakang kemudi, begitu
Bagas turun.
"Benar,
tidak apa-apa?"
"Sampaikan
salam untuk om Darmono ya?" kata Kristin yang kemudian menstarter
mobilnya, lalu melaju menembus udara sore diantara lalu lalang kendaraan.
Bagas
melangkah kerumah dengan gontai. Begitu sampai di teras, dilihatnya
ayahnya duduk diteras, tersenyum menatapnya.
"Pantesan
nggak mau dijemput bapak, ternyata pulang diantar bos cantik," goda pak
Darmono.
"Ah,
bapak.. Bagas cuma kasihan saja kalau bapak harus menjemput ke kantor,"
kata Bagas sambil langsung masuk kedalam rumah.
Pak
Darmono geleng-geleng kepala. Tak sedikitpun tampak bahwa Bagas suka kepada
Kristin.
***
Sore itu
Mery sedang meng-ingat-ingat, kapan melihat wanita yang masuk kedalam warungnya
sebelum dia pulang. Ia merasa pernah melihatnya, tapi lupa dimana dan
kapan.
"Dimana
ya aku pernah melihatnya? Tapi memang belum pernah kenalan sih, nyatanya dia
juga tidak mengenal aku. Ah, mungkin salah seorang pelanggan lama. Tapi bukaan,
kalau pelanggan pasti sudah tau menu makanan yang dijual. Nyatanya dia
bertanya. "
Lalu Mery
mengomeli dirinya sendiri.
"Mengapa
juga aku pusing-pusing mengingat-ingat? Barangkali pernah bertemu ditoko ketika
sama-sama sedang belanja atau apa."
"Kenapa
mbak, kok dari tadi seperti memikirkan sesuatu?" tanya Sri sambil
mendekat.
"Iya..
aku tuh penasaran, ketika aku mau pulang, ada seorang wanita masuk ke warung,
ingin makan disana. Tapi aku sepertinya pernah melihat wanita itu, dimana ya,
aku benar-benar lupa."
"Dia
kenal sama mbak Mery?"
"Tampaknya
tidak. Dia malah bertanya apakah Mery itu pemilik warungnya, berarti tidak
kenal aku kan."
"Ya
sudah, mengapa mbak Mery memikirkannya?"
"Iya
juga sih, mengapa aku memikirkannya. Cuma ketika merasa pernah bertemu, pasti
kita mengingat-ingat dimana dan kapan ketemu. Tapi sepertinya tidak penting
ya."
"Tidak
penting lah mbak. Lebih baik membicarakan acara mbak besok itu. Besok kan
Minggu, benarkah Basuki mau datang kemari?"
"Iya,
pastinya ingin bicara banyak sama mas Timan, sehubungan dengan acara pernikahan
kami besok itu."
"Oh
iya mbak. Kalau begitu besok mas Timan tidak usah ke pasar dulu saja, kasihan
kalau dia tidak ketemu."
"Jangan,
biarkan saja ke pasar, besok paginya aku mau mengajak jalan-jalan Tiwi sama
Basuki. Nanti saja pulangnya ketemu sama mas Timan."
"Oh,
iya, mbak Mery sudah janji kan."
"Kamu
mau ikut?"
"Enggak
ah mbak, aku mau masak saja dirumah, barangkali nanti mbak Mery mau mengajak
dia makan dirumah."
"Oh,
baiklah kalau begitu."
Mery
terdiam, Sri tidak mau ikut karena mungkin ada rasa tidak enak kalau
pergi bersama-sama Basuki. Ada kenangan yang tidak enak tentang dia pastinya.
***
"Mama,
dengar ma, aku berhasil," kata Kristin kepada mamanya ketika sampai
dirumah.
"Berhasil
apa sih?"
"Kan
mama yang nyuruh Kristin harus bersikap sopan, tidak memperlihatkan kalau
Kristin suka kepada dia, dan Kristin bisa melakukannya."
"Benar?"
"Iya
ma."
"Lalu,
dia bagaimana ?"
"Dia
kelihatan aneh, bingung karena aku bersikap lain dari biasanya."
"Dia
bertanya sesuatu ? Misalnya.. kenapa kamu berubah ?"
"Ya,
dia bertanya mengapa aku berubah, apakah dia bersalah, begitu ma."
"Hm,
bagus Kris."
"Tapi
Kristin takut ma, bagaimana kalau dia marah lalu membenci Kristin ?"
"Tidak
ada alasan untuk itu. Kamu harus bersikap pintar, bisa tarik ulur perasaan
kamu."
"Tarik
ulur itu bagaimana ma?"
"Kadang-kadang
kamu acuhin dia, nanti suatu sa'at kamu baikin dia. Ah.. kamu itu sudah dewasa
masa mama juga harus mengajari kamu.
"Mama
harus tau, Kristin cinta sama dia ma."
"Biarpun
begitu kamu tidak boleh mengejarnya. Biarkan dia yang mengejarmu."
"Dia
itu sombong sekali ma.. mana mungkin mau mengejar aku."
"Ya..
kita tunggu saja nanti. Kamu harus sabar.. Sekarang bagaimana kakimu? Sudah
bisa dilepas belum verbannya?"
"Coba
nanti Kristin lepas ma, kalau sudah tidak sakit ya tidak usah diperban, nggak
enak, jalannya jadi seperti diseret-seret."
***
Siang hari
itu Mini melihat wanita yang kemarin kembali memasuki warung. Kali ini bersama
seorang wanita lain yang tak kalah cantiknya. Keduanya duduk dibangku
dekat pintu masuk, lalu seorang pelayan mendekati.
"Mau
makan apa?" tanya wanita yang kemarin datang kepada temannya.
"Yang
enak apa? Kemarin kamu kan sudah makan disini. Enak nggak?"
"Kemarin
aku makan timlo, sudah agak sorean, menurutku ya... gitu deh. Cobain saja, aku
mau pesan nasi rawon."
"Ya
sudah aku nyobain timlo. Mas, timlo satu rawon satu. Sama es jeruk dua.
"Pakai
nasi?" tanya pelayan.
"Iya
lah, masa enggak," jawab wanita yang kemarin sedikit ketus. Pelayan itu
mengangguk lalu melangkah kebelakang.
"Eh,
tunggu... tunggu..."
Pelayan
itu berhenti.
"mBak
Mery mana?"
"Bu
Mery belum datang, tapi kalau hari Minggu biasanya tidak datang."
"Ah,
sayang sekali."
Pelayan
itu berlalu. Dipintu masuk, Mini memegang lengannya.
"Hati-hati
kamu melayani dia. Kemarin sore dia sudah membuat aku kesal."
"Iya,
tampaknya sangat sombong."
"Ya
sudah, biarin saja, layani dia sebaik-baiknya, jangan bicara apapun
dihadapannya, dan satu lagi, jangan panggil dia 'bu'. Mereka merasa masih
muda," kata Mini yang tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Jadi
manggilnya harus apa?"
"mBak,
atau tidak usah memanggil."
Pelayan
itu mengangguk.
Mini
melihat dua orang wanita itu bercanda dan tertawa-tawa sangat keras. Tak
perduli beberapa tamu yang sedang makan menatap kearah mereka dengan sebal.
"Dengar
Vi, aku ingin sekali melihat Mery. Dia itu dulu simpanannya Basuki, dan menjadi
kekasih yang sangat dekat dengan Basuki. Dia juga tangan kanannya, dan dari
Basuki dia mendapatkan semua perhiasan mewah, bahkan mobil. Nggak tau aku
mengapa sekarang dia buka warung disini."
"Yang
aku dengar, Basuki mau menikahi dia."
"Ah,
aku tidak percaya, mana mungkin Basuki mau ? Basuki tidak suka punya isteri.
Tanpa isteri dia bisa bermain dengan banyak wanita, termasuk kamu juga
kan?"
"Dan
kamu !"
Lalu
keduanya tertawa gelak. Beberapa tamu menatap mereka dengan tatapan kurang
suka.
Tiba-tiba
seseorang masuk, sambil menggendong seorang anak kecil. Dibelakangnya seorang
laki-laki gagah mengikutinya.
"Itu
dia.." teriak wanita itu.
"Basukiiii!!"
Dan tanpa
aba-aba keduanya segera memburu kearah Basuki dan memeluknya tanpa malu-malu.
Mery yang sedang menggendong Tiwi tertegun.
***
besok lagi
ya
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 16*
Kali ini Basuki sampai melangkah mundur
beberapa tindak, kepalanya mendongak keatas menghindari mulut-mulut kemerahan
yang berusaha menciumnya.
"Uuh,
lepaskan, apa-apaan ini?"
"Basuki.. sayangku.."
"Apa kalian sudah gila ??" kata
Basuki sambil mendorong keduanya hingga hampir terjengkang.
"Ya ampuun, kok sekarang kamu kasar
begitu sama perempuan Bas?"
"Kalian ini benar-benar tak tau malu
!!"
"Bas, kamu sadar apa yang kamu katakan?"
"Pergi !!!"
Mery
menatap keduanya yang bersandar pada sebuah bangku. Kalau tidak pasti mereka
terjengkang karena dorongan Basuki. Mery ingat yang satu adalah yang kemarin
datang ke warung ketika dia mau pulang. Satunya lagi.. Mery mengenalnya, dia
Susan, salah seorang kekasih Basuki. Aha, sekarang Mery teringat, perempuan
yang satu itu pernah juga dibawa Basuki. Ia yang mengantarkannya, lalu Basuki
turun menghampiri dia, dan Mery berlalu. Pantas wanita itu tak mengenalnya
karena waktu itu dirinya ada didalam mobil. Tapi Mery sempat memandangnya
sekilas.
Dulu,
Mery tak perduli pada setiap perempuan yang bersama Basuki, toh Basuki selalu
menganggap dirinya adalah yang nomor satu. Tapi sekarang, darah Mery
benar-benar mendidih melihat kelakuan keduanya.
"Basuki...,
kamu lupa sama aku?" perempuan yang bernama Susan merengek."
"Kamu bukankah yang mengaku bernama Evy
dan datang kerumah di Ungaran kemarin? Kamu belum mendengar apa yang aku
katakan bahwa aku sudah mau menikah. Dia ini calon isteriku," katanya sambil
merangkul pundak Mery dan didekatkannya pada tubuhnya, sedangkan sebelah
tangannya menuding kearah hidung Evy.
Susan
terbelalak sedangkan Evy langsung menatap Mery dengan penuh kebencian.
"Mery ini? Kamu benar-benar akan
menikahi dia? " tanya Susan dengan mata melotot.
"Enyah kalian dari hadapanku ! Tak tau
malu !!"
Kedua
wanita itu saling pandang, seakan tak percaya akan apa yang dialaminya. Basuki
tak pernah menolak wanita. Sekarang, dia mengusirnya.
"Enyah
kalian!! Pergi dari hadapanku !!" Kata Basuki, tandas, dengan mata menyala
penuh kemarahan.
Evy
yang pernah mendatangi rumah Basuki di Ungaran menarik tangan temannya
keluar dari warung, sementara banyak orang menatapnya dengan kesal.
Basuki mempererat rangkulannya, Mery tak
menjawab apapun. Ia masih memeluk Tiwi yang melihat kejadian itu dengan
bingung.
Basuki
yang melihat banyak orang menatap kearahnya, kemudian menghadap kearah mereka
sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Ma'af bapak-bapak, ibu-ibu.. kejadian
tadi diluar perkiraan saya. Mohon ma'af sekali lagi karena telah mengganggu
ketenangan bapak-bapak dan ibu-ibu disini.
Sebagian
dari mereka mengangguk-angguk dan melanjutkan acara makannya, sementara
beberapa lagi nyeletuk menampakkan rasa tak senangnya karena ulah kedua
wanita tadi.
"Tampaknya
memang bukan wanita baik-baik.." kata seseorang.
"Iya, kelakuannya sungguh tidak sopan..
tertawa lepas seperti dirumah sendiri saja." sambung yang lainnya.
"Untunglah sudah pergi."
Basuki
kemudian menatap Mery.
"Ma'af Mery, kamu kan sudah tau mereka
itu seperti apa."
"Iya aku tahu."
"Ayo, kamu mengajak mampir kemari karena
ada pesan untuk Mini bukan? Sini biar Tiwi sama aku," kata Basuki yang
kemudian meraih Tiwi dari gendongan Mery, kemudian mengajaknya kembali ke
mobil.
Mery
mendekati Mini yang sedang sibuk dibelakang.
"Bu, itu wanita yang kemarin datang
kemari kan?"
"Iya, satunya lagi , aku
mengenalnya."
"Itu kemarin sikapnya juga sungguh
menjengkelkan. Bilang masakannya kurang mantaplah.. keasinan lah.. tapi
semangkok dihabiskannya tanpa sisa."
"Iya
Min, biarkan saja, lain kali kalau dia datang kemari ketika aku tidak ada,
jangan dihiraukan. Kalau dia membuat gaduh, laporkan saja kepada polisi."
"Iya bu."
"Ini Min, harusnya kan aku tidak kemari,
tapi kunci laci terbawa oleh aku, barangkali kamu butuh menyimpan uang
disana."
"Iya bu, terimakasih."
"Aku pergi dulu ya Min, sampai
besok."
"Hati-hati dijalan bu."
***
"Ternyata masa lalu kamu masih mengikuti
kamu ya Bas." kata Mery ketika mobilnya sudah meninggalkan warung.
"Biarkan saja, namanya juga masa
lalu..Apa kamu tidak percaya sama aku ?"
"Bukan, tapi kalau hal itu terus menerus membayangi kehidupan kamu, apa
tidak mengganggu ?"
"Biarkan saja mereka mengganggu, yang
penting kan kita tidak tergoyahkan."
"Benarkah ?"
"Hm... nggak percaya lagi
nih."
Mery
terdiam, tapi sungguh ia tahu bahwa Basuki telah berubah. Ia mencoba
mempercayainya.
"Kemana nih, tuh Tiwi malah
tertidur."
"Iya Bas, ayuk ke mal yang ada banyak
mainan, Tiwi pasti suka."
"Baiklah.."
Mereka
berdua memang hanya ingin bersenang-senang. Pergi ke tempat mainan, beli es
krim, semua itu untuk menyenangkan Tiwi yang begitu ketemu langsung dekat
dengan Basuki. Maklum, ketika datang Basuki membawa beberapa kotak coklat dan
mainan untuk Tiwi.
"Senang
ya, seandainya Tiwi itu anak kita..." celetuk Mery ketika menunggui Tiwi
bermain mobil-mobilan.
"Pengin ya? Sebentar lagi kita buat
sendiri," kata Basuki sambil tersenyum nakal. Mery gemas dan mencubitnya
keras.
"Aauuw.. sakit, tahu." kata Basuki
sambil merengut.
"Emangnya roti ?"
"Mirip bikin roti..." lalu keduanya
tertawa lucu.
"Harus pas adonannya, supaya jadinya
bagus kayak Tiwi.." kata Basuki lagi.
"Iih.. apaan sih."
"Jadi
pengin nikah buru-buru," kata Basuki sambil merangkul pundak Mery.
"Terserah kamu saja."
"Nanti aku akan bicara sama mas Timan
supaya membantu memikirkannya. Barangkali kita juga perlu pak lurah ya, dan pak
Darmin... dan bapaknya.. eh.. mertuanya pak Darmin siapa ya?"
"mBah Kliwon.."
"Iya,
aku ingin mendekati mereka, sebagai permintaan ma'af atas semua kesalahanku
dimasa lalu."
Mery
tersenyum. Senang Basuki punya keinginan untuk minta ma'af kepada
orang-orang yang pernah dilukai."
"Ibu
Meliiii... nanti obilnya dibawa .. ,ulang ya.." teriak Tiwi tiba-tiba.
"Haaah? Dibawa pulang? Ya nggak boleh..
itu punya orang.."
"Aku mau bawa ulang;.. " Tiwi
merengek sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Oh, anak ibu Mery yang cantik... sini..
sini.. ayo kita cari mobil yang seperti itu ditoko ya.. kalau itu tidak boleh
dibawa pulang."
"Iwi mau.. Iwi mauuu.."
Basuki
tersenyum, lalu menggendong Tiwi.
"Ayuk kita cari disana... pasti ada yang
lebih bagus. Aduuh.. anak perempuan mengapa suka mobil sih?"
"Obil bagus.. obil bagus..."
"Oke, latihan direwelin anak ya Bas,
jadi besok-besok kalau anak kita rewel kita sudah merasa biasa." kata Mery
sambil mengikuti langkah Basuki, mencari counter mainan anak yang ada
mobil-mobilannya.
"Mana
obil.. mana obil.. " rengek Tiwi..
"Sebentar sayang.. disana..
jauuh.."
"Auhh..ya?"
"Ya... jauuh.. tapi sebentar lagi
sampai." Tiwi berlari-lari mendahului, tapi karena khawatir jatuh, Basuki
memburunya dan menggendongnya."
Basuki
tampak senang, dan semestinyalah dia sesungguhnya sudah pantas memiliki anak.
"Nanti segera dibicarakan. Aku sudah tak punya orang tua dan jauh dari
saudara. Aku juga akan minta om Darmono mewakili keluargaku."
"Siapa om Darmono?"
"Ayahnya Bagas."
"Oh.."
"Dia itu sahabat almarhum bapak, senang
aku bisa ketemu beberapa waktu yang lalu."
Ketika
sampai dicounter mainan, ternyata Tiwi minta mobil dimana dia bisa naik
kedalamnya. Tidak mau mobil-mobilan kecil.
"Itu obilnya.. itu.. bawa ulang..
ya." Tiwi berjingkrak dalam gendongan Basuki.
Mery geleng-geleng kepala, tapi Basuki segera
minta agar mobil itu dibungkus.
***
"Timan pulang agak siang atas permintaan
Sri. Suaminya harus sudah ada dirumah sa'at Mery dan Basuki sampai disana.
"Tapi ini sudah sore, mengapa mereka
belum pulang juga?" tanya Timan sambil menunggu tamunya diteras, sementara
Sri sudah menyiapkan minuman dan makanan kecil dimeja.
"Barangkali Tiwi belum ingin
pulang."
"Benarkah
mereka akan segera menikah?"
"Iya mas, mbak Mery bilang begitu. Ia
minta agar mas Timan membantunya mempersiapkan segala sesuatunya."
"Iya pastilah kita akan ikut
memikirkannya, bukankah mbak Mery sudah seperti keluarga kita sendiri?"
"Iya mas, apalagi dia itu tak punya
siapa-siapa, kasihan."
"Tak
bisakah dia mencari siapa orang tuanya?"
"Entahlah. Harusnya mereka datang ke
panti asuhan itu dan menanyakannya."
"Bisakah? Mungkin saja bisa, kalau dia
mendapatkannya dari seseorang yang jelas. Kecuali kalau dia ditemukan disuatu
tempat tanpa diketahui siapa orang tuanya."
"Wah, semoga ada keterangan tentang
orang tuanya ya. Tapi kalau memang ya, mengapa mbak Mery tidak menanyakannya sejak
dulu, dan malah mendiamkannya?"
"Yah,
itulah.. Mengapa mbak Mery juga tetap tidak tahu siapa orang tuanya."
"Berarti tidak jelas ya mas."
"Semoga ada titik terang."
Tiba-tiba mobil Basuki memasuki halaman. Sri
beranjak mau masuk kerumah, tapi Timan memegangnya.
"Mengapa Sri? Kamu tampak
ketakutan?"
"Tidak, bukan begitu, aku mau .."
"Disini
saja, kamu jangan memikirkan hal-hal yang telah lama berlalu, kita sudah membuka
lembaran baru yang semoga bersih dari noda."
"Apaaaak... Iwi unya obiiill!! teriak
Tiwi begitu turun dari mobil dan berlari kecil menuju kearah ayahnya.
Timan menyambutnya lalu mengendongnya.
"Tiwi
tadi ikut siapa?"
"Ibu Meli... sama om Uki..."
"Nakal tidak?"
Tiwi menggeleng, lalu merosot turun dari
gendongan ayahnya.
"Ada obiil.. ada obiil..."
Basuki
turun, lalu mengambil bungkusan di bagasi.
"Itu obilnya.. itu... ukaa... bu Meli..
ukaa.."
"Apa ini ? Tiwi nakal rupanya?"
"mBak Mery, Tiwi nakal bukan? Minta apa
dia?" tanya Sri.
"Bukan aku, Basuki yang
membelikan."
Basuki
menyalami Timan dan Sri.
"Selamat bertemu kembali mas Timan,
Sri."
Sri hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia
mendekati Tiwi yang berjingkrak menunggu bungkusan mobil dibuka oleh Mery.
"Senang bertemu kembali. Dan senang
mendengar kabar tentang mas Basuki dan mbak Mery.
"Mohon do'a dan bantuannya mas
Timan."
"Pasti mas. Nanti kita bicarakan."
Basuki
menghampiri Mery dan membantu membuka bungkusan itu.
Timan dan Sri terkejut Tiwi mendapat mainan
mobil-mobilan.
"Ya ampun mas, ini pasti mahal."
"Tidak, jangan difikirkan, lihat.. Tiwi
sangat senang bukan?"
Tiwi kegirangan, ia langsung minta naik
kedalam mobil sementara Mery mendorongnya.
"Silahkan masuk.. Sri sudah menyiapkan
minum tuh," kata Timan ramah.
Walau
pada awalnya merasa kikuk, Sri mulai terbiasa berbicara bersama mereka, karena
Basuki juga bersikap sangat lugas, seperti tak terjadi apa-apa.
Mereka berbicara tentang rencana menikah Mery
dan Basuki yang akan diselenggarakan secepatnya.
***
"Bagas.."
"Ya bapak."
"Hari Minggu nih. Nggak ingin jalan
jalan?"
"Kalau bapak ingin, mari saya
antarkan."
"Kok malah bapak?"
"Kan bapak nyang ingin?"
"Bapak
itu tidak usah menunggu hari Minggu kalau mau jalan-jalan. Bisa Senin.. bisa
Selasa... bisa Kamis.. Lha kamu itu .. selain hari Mingu kan sibuk
bekerja."
"Karena sibuk bekerja, hari Minggu
mestinya dipakai untuk istirahat. Ya kan pak?"
"Iya juga, tapi kan kamu sudah tidur
seharian. Lihat, malam sangat cerah, ada bulan, ada bintang bertaburan.. apa
kamu nggak ingin jalan-jalan?"
"Tidak
bapak, dirumah saja, menatap rembulan dan bintang- bintang, barangkali yang
Bagas cari ada diantara mereka."
Pak Darmono tertawa.
"Jadi kamu sedang mencari sesuatu
?"
"Ya, barangkali ada.."
"Siapa tahu Kristin menari diantara
bintang-bintang itu."
"Kok Kristin sih bapak?"
"Eh,
bukan ya, apa benar kamu tidak tertarik sama dia?"
"Rupanya bapak sudah terpengaruh pada
kata-kata pak Suryo."
"Lho.. kok pak Suryo?"
"Karena pak Suryo ingin menjodohkan
Bagas dengan Kristin, lalu bapak ikut-ikutan menginginkannya."
"Tidak,
bapak sebenarnya heran. Mengapa kamu tidak tertarik pada gadis secantik
Kristin?"
"Tidak selalu yang cantik itu menarik
kan pak?"
"Mungkin ya, tapi daripada kamu
memikirkan yang lebih tua dari kamu, bukankah lebih baik memikirkan yang ada
didepan mata?"
"Bapak memaksa Bagas ?"
"Oh, tidak, bapak tidak memaksa. Hanya
meyakinkan saja, apa benar kamu tidak tertarik? Kalau tidak ya sudah, terserah
kamu saja."
Bagas
terdiam. Tertarikkan dia pada Kristin? Dia hanya kesal. Dulu kesal kepada
rengekan dan manjanya yang setiap waktu menggelitik telinganya. Dan sekarang
kesal karena sikapnya yang dingin dan seakan mengacuhkannya.
"Ternyata
dia sombong.""
"Benarkah dia sombong?"
"Setidaknya terhadap Bagas, ah..
sudahlah pak.. "
"Sepertinya ada tamu," seru pak
Darmono tibaa-tiba.
Sebuah mobil memasuki halaman.
Pak
Darmono dan Bagas berdiri menyambut.
"Selamat malam om," sapa tamu itu.
"Basuki ya?"
Bagas ingin kabur dari situ, tapi Basuki
terlanjur melihatnya.
"Iya om, Bagas, apa kabar?"
Basuki
mencium tangan pak Darmono dan menyalami Bagas dengan hangat.
"Silahkan masuk kedalam, disini
lama-lama dingin," kata pak Darmono sambil membawa tamunya masuk
Bagas tak ikut duduk, ia langsung berjalan
kebelakang.
"Bagas,
disini saja.." tegur pak Darmono.
"Mau menyuruh simbok membuat minuman
," kata Bagas.
"Simbok kan sudah tau kalau ada tamu,
dan tanpa disuruh pasti dia sudah menyiapkan minum untuk tamu kita."
Bagas terpaksa ikut duduk bersama mereka.
"Apa
kabar Bas, agak lama ya kita tidak ketemu setelah kamu mengantarkan aku pulang
itu?"
"Iya om, tapi sekarang saya sangat perlu
bertemu om. "
"Ada yang penting rupanya?"
"Iya om, sangat penting."
"Wouw.. apa kamu mau menikah?" pak Darmono
hanya menerka.
Basuki
tersipu, tapi ia segera memberanikan diri untuk mengutarakan maksudnya.
"Om, seperti om ketahui, saya kan
sebatang kara, tidak punya siapa-siapa lagi. Maka dari itu, saya minta om juga
memikirkan saya, membantu saya, menjadi wakil keluarga saya."
"Oh, bagus Bas, pastilah, ayah kamu itu
sudah seperti saudara bagi om ini. Baiklah, kamu minta agar om melamar seorang
gadis untuk kamu?"
Bagas
diam, kepalanya menunduk. Ia tak ingin mendengarnya, tapi ayahnya pasti tak
akan mengijinkannya pergi dari situ.
"Saya sudah melamar dia om. Dia itu juga
sebatangkara seperti saya, malah orang tuanya saja dia tidak tau siapa."
"Kok aneh, lalu kamu mengenalnya dimana
?"
"Saya mengenalnya duapuluhan tahun yang
lalu, disebuah panti asuhan. Ketika itu juga fihak panti asuhan tidak bisa
memberikan keterangan tentang siapa orang tuanya."
"Duapuluh tahun yang lalu?"
"Ya
om.. umur kami sekarang tidak muda lagi. Tapi Tuhan mempertemukan kami lagi dan
rupanya kamu berjodoh,"
"Mengapa baru sekarang kamu ingin
menikahi dia?"
"Ceritanya panjang om. Kami lama
terpisah, dan baru ketemu lagi belum ada sebulan ini."
Pak Darmono mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pada
suatu hari nanti saya ingin bercerita banyak tentang perjalanan hidup saya
om."
"Baiklah, siapa sebenarnya gadis itu,
dan dimana dia sekarang?"
"Dia mendirikan usaha warung dan
berhasil. Warung Timlo Mery, barangkali om pernah mendengarnya karena warung
itu cukup terkenal.
Pak
Darmono terkejut. Tentu saja dia pernah mendengarnya. Bahkan Bagas mencintai
gadis pemilik warung itu juga. Ia menatap kearah Bagas yang menundukkan
wajahnya.
"Haa,
Bagas juga sudah mengenalnya om. Kan itu warung langganan Bagas, iya kan
Gas?"
Bagas mengangkat kepalanya dan mencoba
tersenyum.
"Iya mas."
"Nanti
Bagas akan aku minta agar menjadi pendampingku. Mau kan Gas?"
"Tentu mas.." jawab Bagas
sekenanya, masih dengan tersenyum.
"Baiklah Bas, yang jelas aku bersedia
membantu."
"Terimakasih banyak om."
"Nanti
setelah aku menikah, aku akan bicara banyak tentang bisnis yang sedang aku
jalankan. Sesungguhnya aku butuh bantuanmu." kata Basuki sambil menatap
Bagas.
"Lho, simbok ini apa tertidur? Ternyata
tidak tahu kalau ada tamu."
Bagas berdiri, mempergunakan kesempatan itu
untuk kabur dari hadapan mereka.
"Tidak
apa-apa om, biarkan saja. Besok om ada acara?"
"Tidak, om itu kan pengangguran,
acaranya ya cuma bengong dirumah."
"Saya akan mengajak om jalan-jalan,
nanti saya akan cerita banyak tentang hidup saya dimasa lalu."
***
"mBoook....
teriak Bagas begitu sampai dibelakang.
"Eh, ya ampun.. ada apa mas, mau makan
malam sekarang?"
"Makan
malam bagaimana sih mbok, kan tadi kami sudah makan?"
"Oh, ya ampuun.. simbok ketiduran.. jadi
seperti ngelindur."
"Ada tamu tuh, buatkan minuman."
"Baik
mas, minumnya apa?"
"Terserah simbok, kalau ada racun ya
kasih saja dia racun." kata Bagas sekenanya.
Simbok membelalakkan matanya.
***
besok
lagi ya.
Bagaimana caranya membaca blogspot ini tanpa tertutupi oleh iklan ? Apa tidak mungkin iklannya ada spasi tertentu ? Terima kasih
BalasHapus