Jumat, 24 Juli 2020

Cinta Ada Diantara Mega 25-26


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  25*

"Tengah malam itu ketika Mery terbangun, dilihatnya ibunya tak ada disampingnya. Mery bangkit  dan mencari-cari. Tiba-tiba ia mendengar suara gemericik dikamar mandi,

"Ibu ?"
"Iya... sebentar nduk..." suara ibu agak terengah..."
"Ibu ngapain ?"
"Nggak apa-apa.. cuma buang air kecil..."
"Jangan lama-lama dikamar mandi bu, nanti ibu kedinginan."
"Iya.. sudah.."

Lalu terdengar lagi deburan air beberapa kali... 
"Ibu..."
"Sudah.. aku sudah selesai...

Mengapa baju ibu sampai basah begitu..?"tanya Mery ketika bu Sumini keluar dari kamar mandi.
"Iya, tersiram tadi. Sudahlah, jangan perlakukan ibu seperti anak kecil."
"Nafas ibu juga agak terengah. Benar ibu tidak apa-apa?"
"Tidak, tidak.. sudah.. biarkan ibu berganti pakaian.."

Mery mencium bau sabun yang menyengat dari dalam kamar mandi itu. 
"Ibu mandi ?"
"Tidak, hanya buang air kecil. Aku mau ganti baju dulu."
"Aku ambilkan bu, yang bersih dan kering."
"Mery, sudahlah, ibu bisa sendiri.. kamu tidur saja sana..  jadi ribet kalau semua-semua dilayani."

Mery menghela nafas panjang. Ada perasaan tak enak melihat sikap ibunya malam itu. Ia kemudian pergi ke dapur untuk mengambilkan minuman hangat untuk ibunya.
Bu Sumini memasukkan sesuatu kedalam sebuah tas kresek, lalu dibuang ke tempat sampah. Nafasnya masih agak terengah ketika Mery datang membawakan secangkir teh hangat.

"Minumlah bu, mengapa ibu seperti terengah-engah begitu?"
"Ini biasa, aku kan habis berjongkok, berdirinya pasti terengah-engah," jawab bu Sumini lalu meneguk teh yang diberikan Mery.
"Sekarang ibu tidur saja dulu. "

Bu Sumini membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Mery menatapnya tak berkedip. Benarkah ibunya tak apa-apa? Wajahnya tampak sangat pucat.
Sampai menjelang pagi Mery baru bisa memejamkan matanya. 

***

Mery belum bangun ketika bu Sumini sudah mandi, lalu duduk diteras depan. Hari masih pagi, udara diluar tampak remang, tapi angin yang berembus menimbulkan rasa sejuk.

"Ibu, saya buatkan jahe panas, apa ibu suka?" tiba-tiba Sri keluar dengan membawa segelas wedang jahe dan cemilan diatas nampan..
"Nak, ibu sangat merepotkan bukan?"
"Tidak bu, jangan berfikir demikian. Ibu adalah ibu saya juga. Silahkan, wedang jahe itu kan menyehatkan. Simbah yang didesa sangat suka minum wedang jahe. Katanya kalau habis minum, badannya terasa segar."

"Iya nak, itu benar," kata bu Sumini sambil menghirup wedang jahenya seteguk demi seteguk karena masih agak panas.
"Masih panas ya bu."
"Tidak, ini enak. Panasnya memasuki perut, lalu menjalar keseluruh tubuh. Enak sekali."
"Syukurlah kalau ibu suka."

"Nak, selama ibu disini, jangan terlalu repot. Seandainya masak ya masaklah seperti biasanya, jangan karena ada ibu lalu nak Sri memasak berlebih. Ibu ini biasa hidup susah, dengan tinggal disini ibu merasa berada disebuah istana, atau surga."

"Ah, ibu berlebihan. Ini hanya rumah kampung. Kalau rumah mas Basuki yang nanti bakal ditinggali bersama mbak Mery, bagus sekali bu."
"Hm, iya nak. Tapi ibu senang tinggal disini. Seluruh keluarga seperti saudara, walau kami orang lain. Sungguh membahagiakan, sekaligus mengharukan. Senang di akhir hidup saya ini, saya menemukan banyak sahabat, dan melihat orang saling mengasihi."

"Ibu harus sehat.  Manusia tak akan tahu kapan hidupnya berakhir, jadi ibu harus semangat terus dan tetap berusaha sehat."

"Semoga aku kuat. Nih, aku minum wedang tadi, badanku rasanya segar."

"Sykurlah bu. Nanti kalau ibu mau jalan-jalan ke desa saya, simbah saya pasti akan membuatkan jamu untuk ibu."

 

"Benarkah? Ibu suka sekali minum jamu. Jadi pengin cepat-cepat main kesana."

"Nanti sebentar lagi kan mbak Mery mau kesana, sekalian melihat tempat yang mau dijadikan pesta pengantin. Ibu harus ikut."

"Iya, pasti."

"Ibu, rotinya dimakan."

"Iya nak, terimakasih..."

 

Mery tiba-tiba muncul diantara mereka.

"Ya ampun Sri, kamu selalu begitu, tidak pernah membangunkan aku."

"Tidak apa-apa, ini sudah ditungguin ibu."

 

Mery menatap ibunya, tampaknya wajahnya sudah tidak sepucat semalam.

"mBak Mery disini dulu, aku mau menyiapkan sarapan."

"Biar aku saja Sri.."

"Aku sudah masak, tinggal menata di meja."

"Ya ampun Sri, semuanya sudah kamu selesaikan."

"Ah, sudahlah.. temani ibu saja.." kata Sri sambil beranjak kebelakang.

 

"Ibu sudah makan apa?"

"Ini, roti, tadi minum wedang jahe, segelas aku habiskan."

"Oh ya, segar ya bu?"

"Badan terasa lebih enteng."

 

"Oh, syukurlah bu, Ibu, semalam Mery khawatir sekali. Ibu tampak pucat, dan nafas ibu agak tersengal."

"Aku tidak apa-apa."

"Nanti setelah makan, ibu minum obatnya ya. Sudah Mery siapkan semua."

"Banyak sekali obat."

"Iya, memang seharusnya begitu."

 

"Tidak adakah orang menjual jamu gendong melewati tempat ini ?"

"Waduh, sepertinya Mery belum pernah melihatnya. Tapi kalau dipasar pasti ada. Nanti coba Mery carikan. Tapi bukankah sebaiknya ibu minum obatnya dulu."

 

"Ibu pernah merasa sakit sekali, perut melilit-lilit, setelah minum jamu gendong lalu sembuh. Jangan menyepelekan obat-obatnya orang jaman dulu."

"Tidak bu, bukannya Mery menyepelekan, tapi kan ibu sedang minum obat-obat, jadi sebaiknya jangan dicampur jamu."

Bu Sumini diam, melanjutkan mengunyah roti yang tinggal sepotong.

 

"Katanya kamu mau ke desanya nak Sri?"

"Iya, menunggu Basuki, mau mulai mempersiapkan acara pernikahan itu. Jadi kami mau melihat lokasinya dulu."

"Aku ikut kan ?"

"Iya bu, ibu pasti ikut. Nanti kita melihat-lihat pemandangan indah disana."

 

"Ibu mau ketemu mbahnya nak Sri."

"mBah Kliwon ?"

"Katanya dia juga suka minum jamu-jamu."

"Ah, iya.. Sri juga bilang begitu."

"mBak, ayo sarapan dulu, ditunggu mas Timan tuh," teriak Sri dari dalam.

"Ayo bu, sarapan dulu dan minum obatnya."

 

***

 

"Ya pak lurah, ini saya," kata Basuki menjawab telpon pak lurah.

"Kapan mas Basuki mau datang. "

"Secepatnya pak lurah, munkin besok. Ini ibunya Mery juga ingin ikut."

"Syukurlah. So'alnya ibunya Jarot juga mau mengumpulkan ibu-ibu yang nanti juga akan ikut memasak untuk acara itu."

 

"Pak lurah, bagaimana kalau untuk hidangan kita tidak usah masak sendiri?"

"Maksudnya?"

"Saya akan memesan saja untuk keperluan itu, biar nanti tidak memberatkan ibu-ibu disini."

"Oh, baiklah. Nanti saya bilang sama ibunya Jarot."

 

"Kalau bisa nanti saya minta tolong mbak Lastri untuk memesankan. Kita disini tinggal mempersiapkan tempat saja."

"Bagus mas, bagaimanapun itu harus dipersiapkan."

"Saya ingin ada wayang kulit pak lurah."

"Siap mas, ada dalang bagus disini. Saya bisa menghubungi."

 

"Baiklah, untuk selanjutnya nanti dibicarakan kalau saya sudah sampai disini. Mungkin besok pak lurah."

"Baik mas, kami tunggu."

"Jadi nanti semua akan pesan saja dari catering?" tanya Timan yang mendengar pembicaraan itu.

 

"Lebih baik begitu mas, supaya tidak merepotkan ibu-ibu didesa sana. Saya sudah minta tolong Mery untuk menghubungi mbak Lastri. Masalah catering urusan dia."

"Baiklah, tapi kita besok semua akan kesana kan ?"

"Iya, tapi kalau mas Timan harus ke pasar ya saya tidak berani mengganggu."

"Tidak, saya bisa ikut mas, jangan khawatir."

 

*** 

 

"Sudah kamu pesan semua ?" tanya Bayu kepada isterinya sore itu.

"Sudah, mas Basuki sudah mentarsfer pembayaran untuk catering itu. Jadi tugasku sudah selesai."

"Apa kamu besok mau ikut ke Sarangan ?"

"Aku ingin ikut, tapi kamu kerja kan mas?"

 

"Sayangnya aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku besok. Kamu sama Ayu ya, nanti ikut di mobilnya mas Basuki atau mbak Mery."

"Iya gampang. Aku pengin cepet-cepet bisa ikut, ingin segera ketemu ibunya mbak Mery, apakah dia juga cantik seperti mbak Mery?"

"Pastilah dia cantik. Tapi kabarnya ibunya sakit."

 

"Iya itu mas, aku juga ikut prihatin. Baru ketemu, ternyata ibunya sakit, dan tampaknya parah."

"Tapi dia bisa jalan-jalan kan ?"

"Bisa sih mas, tapi kan ada penyakit yang membahayakan nyawanya. Kanker itu kabarnya susah diobati."

"Tidak, kalau masih belum terlambat."

"Kalau sudah terlambat ?"

 

"Yah, aku tak berani mengatakan, karena umur manusia itu kan ditangan Tuhan. Kata dokter umurnya tinggal sekian tahun, tapi kalau Tuhan berkehendak lebih lama?"

"Semoga mbak Mery akan bahagia sa'at menikah ditunggui ibu kandungnya."

"Itu tidak terduga ya ?"

 

"Itu hadiah pernikahan yang paling indah. Semoga ada mujizat yang bisa menyembuhkan bu Sumini."

"Aamiin."

 

***

 

"Min, kamu harus senang, cucumu akan datang hari ini," kata mbah Kliwon kepada menantunya pagi itu.

"Iya, aku sudah menyiapkan mainan untuk cucuku."

"Mainan apa?"

"Itu, mobil-mobilan dari kulit jeruk bali."

mBah Kliwon tertawa geli.

 

"Jaman sekarang mana suka anak-anak mainan seperti itu? Mobil-mobilan yang bagus saja banyak dijual ditoko-toko."

"Justru ini mainan sederhana, siapa tahu lebih menarik? Lihat saja nanti."

"Tapi rame-rame kali ini semuanya sudah diatur dengan baik, tak ada masak-memasak karena semua hidangan sudah dipesankan."

 

"Oh, masalah hidangan untuk tamu? Itu bagus, supaya kita tidak repot dibelakang, sehingga bisa melihat pengantin dengan lebih santai. Coba kalau banyak yang sibuk didapur, menata hidangan.. mana bisa melihat pengantinnya?"

"Iya benar, aku juga senang mendengarnya."

 

"Apakah nanti ada tayub juga?"

"Kamu dari kemarin-kemarin cuma tayub saja yang kamu fikirkan. Tidak ada. Yang ada adalah wayang kulit."

 

"Waah, wayang kulit aku juga suka. Semoga lakonnya bagus. Kalau bapak suka lakon apa?"

"Karena ini bersamaan dengan pernikahan, ya bagusnya lakon Parto Kromo."

"O iya, menikahnya Arjuna dengan Dewi Sembadra ya . Tapi jangan sampai nanti Basuki jadi ketularan Arjuna lho, Arjuna itu kan isterinya banyak,."

 

"Semoga saja tidak. Sekarang Basuki kan sudah jadi orang baik-baik."

"Semoga saja begitu." 

 

***

 

"Bagaaas..."

Bagas mengangkat kepalanya. Walau tidak senyaring dulu dan semanja dulu, tapi suara itu cukup membuatnya berdesir. 

 

Ia tak menjawab, tapi matanya menatap bos cantiknya, menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Kabarnya mbak Mery mau menikah ?"

"Ya.."

"Aku sering makan di warung, jadi sering mendengar berita tentang mbak Mery."

"Ooh."

 

"Aku minta sama mbak Mery, supaya besok ketika dia menikah, aku juga diundang."

"Mana mungkin mbak Kristin mau.."

"Mengapa tidak ?"

"Menikahnya didesa.."

"Didesa mana ?"

"Disebuah desa, pokoknya desa dan aku yakin mbak Kristin tak akan mau."

Lalu Bagas kembali menekuni pekerjaannya.

 

"Bagaaas.."

Bagas mengangkat lagi kepalanya. Sepasang mata bintang itu lagi-lagi menghujam kejantungnya. Membuatnya berkeringat.

"Kalau aku mau, apakah kamu mau menemani?"

"Apa ?"

"Aku ingin datang."

 

"Tapi aku harus datang awal, karena aku punya tugas di acara itu."

"Aku juga mau datang awal."

Bagas kembali menunduk, tapi hatinya gemuruh tak menentu.

 

"Apa kamu akan menolak?"

"Acaranya malam, dan jauh didesa, didaerah Sarangan."

"Aku mau.."

 

Bagas tak menjawab, matanya menatap kearah laptop, tapi tidak dengan hatinya. Ia sibuk menyusun jawaban, supaya tak terdengar begitu gampangan. Ah, kenapa sih harus jual mahal? Padahal hatinya mau. Bodoh ! Bagas memaki dirinya sendiri.

 

"Ya sudah kalau kamu tidak mau, aku akan mengajak papa saja."

"Eit.. apa ?" Bagas terkejut sendiri mendengar jawaban Kristin.

"Mm.. iya mbak, gampang, aduh, saya lagi nggak konsen nih, kan minggu ini harus selesai semua."

 

Lalu wajah Kristin mendadak muram. Benar, seminggu lagi Bagas mau meninggalkan pekerjaannya. Tak ada lagi yang bisa diteriakinya dengan manja, lalu menjawabnya dengan angkuh.

 

"Tak lama lagi ruangan ini akan sepi.." bisik Kristin lirih.

Bagas lagi-lagi mengangkat kepalanya, tapi ia tak mendengar apa yang Kristin bisikkan.  Dilihatnya Kristin mengutak atik laptop, dengan wajah muram.

 

"Nanti kita bicara lagi so'al ke acara pernikahan itu," kata Bagas yang mengira Kristin kesal karena ia tak langsung menyanggupinya datang bersama ke acara itu.

 

 ***

 

Ternyata hari itu Timan tak bisa ikut ke Sarangan bersama isteri dan anaknya, karena ada pesanan mendadak yang harus dipenuhinya pagi itu. 

"Nanti aku akan menyusul, setelah mengirimkan pesanan itu," janjinya ketika Sri mau berangkat bersama Mery dan bu Sumini.

 

Hari sudah agak siang ketika ia mau berangkat kepasar. Ia tak harus datang pagi karena semua sudah dipersiapkannya sebelumnya, tinggal mengambil dan mengirimkan.

 

Ia kebelakang untuk mengunci semua pintu.

Tapi ia mampir ke kamar mandi untuk buang air kecil.

 

Tiba-tiba ketika ia masuk itu, matanya menatap sesuatu disudut kamar mandi, didekat sikat lantai yang terletak agak miring.

"Apa itu ? Darah ?"

Timan melihat darah, segumpal, berwarna kehitaman.

 

***

 

besok lagi ya

 




*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  26*

 

Timan tertegun. Darah apa itu ? Seperti bergumpal dan merah kehitaman.Timan segera menyiramnya dan mengucurinya dengan sabun ditempat sekitarnya. Ada bau tak sedap tercium, Timan menambahkan lagi sabunnya dan menyiramnya sampai bersih dan tak ada lagi bekas serta baunya.

 

Sambil mengunci semua pintu lalu menuju ke mobilnya, Timan terus berfikir tentang darah itu. Apakah itu darah orang yang sedang datang bulan? Sri kah?  Sepertinya tidak, Timan tau kalau ini belum sa'atnya. Atau Mery ? Masa sih sampai bergumpal seperti itu ? Jangan-jangan bu Sumini. Mungkin saja. Dan bu Sumini kurang bersih menyiramnya.

 

"Nanti akan aku tanyakan pada Sri. Semoga urusanku segera selesai dan aku bisa segera menyusul kesana," gumam Timan sambil mengendarai mobilnya.

 

***

 

mBah Kliwon dan Darmin sangat gembira cucu mereka datang. Tiwi senang sekali mendapat mainan dari kulit jeruk dari kakeknya.

"Obil.. ucu.. obil..ucu.." teriaknya.

"Iya, mobilnya lucu. simbah ini tadi yang buat.." kata Darmin yang kemudian mengajak Tiwi dan Ayu bermain dihalaman.

 

Sementara Mery dan Basuki serta Lastri berbincang dirumah pak lurah. Sri dan anaknya serta bu Sumini ada dirumah mbah Kliwon.

Bu Sumini juga senang mbah Kliwon menyuguhkan ketela dan jagung rebus untuk disantap bersama.

 

"Simbah nggak buat wedang jahe ?" tanya Sri.

"Wedang jahe ? Ada sih, selalu ada, tapi siang-siang begini kamu ingin wedang jahe ?" tanya mbah Kliwon.

"Barangkali bu Sumini mau."

"Iya, saya mau, kalau tidak merepotkan."

 

"Sebentar, saya hangatkan.." kata mbah Kliwon."

"Biar Sri saja mbah, simbah duduk saja disini," kata Sri yang langsung melangkah kebelakang.

"Kabarnya bapak suka buat jamu ?" tanya bu Sumini.

"Buat jamu? Ya, saya sering buat, untuk diri saya sendiri saja bu, jamu itu kan sehat."

 

"Saya ini kan sakit."

"Sakit apa bu ?"

"Sakit parah. Ada kanker di rahim saya. Mungkin umur saya hanya tinggal beberapa tahun saja. Atau bahkan lebih cepat dari itu."

 

"Ah, mengapa bilang begitu ? Umur itu bukan kita yang menentukan."

"Tapi dengan penyakit saya ini..." bu Sumini menunduk sedih.

 

"Bu, yang penting kondisi tubuh ibu kuat. Makan makanan sehat, sehingga ibu kuat. Kanker itu kan racun yang harus dikeluarkan dari tubuh. Kalau ibu kuat, ibu akan menang berlomba dengan penyakit yang meracuni tubuh itu."

 

"Bagaimana mengeluarkan racun dari tubuh ?"

"Ada.. saya akan buatkan ramuannya. Tapi saya bukan dukun ya bu, dan saya hanya berupaya. Semoga bisa meringankan beban ibu."

 

"Saya perdarahan hampir tiap dua hari sekali. Tapi saya tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Saya tidak ingin anak saya sedih."

"Mulai sekarang ibu harus makan sayur dan buah yang sehat. Ikan segar, disini banyak dijual. Dikota pasti juga banyak kan? Itu bisa menguatkan tubuh ibu."

 

"Baiklah, saya harus kuat, paling tidak demi anak saya."

"Untuk ibu juga. Kecuali itu ibu tidak boleh putus asa. Ibu harus tetap semangat, dan percaya bahwa hidup ibu masih panjang."

 

"Baiklah," jawab bu Sumini yang tiba-tiba seperti menemukan sebuah semangat.

"Bolehkah selama menginap disini saya minum jamu yang pak Kliwon buat?."

"Pasti ibu, asalkan ibu tetap semangat."

"Ibu, ini wedang jahenya, anget."

"Terimakasih nak."

 

"Ibu tadi bilang apa, perdarahan dua hari sekali?" tanya Sri yang mendengar kata-kata bu Sumini."

"Oh.. eh, tidak nak.. tidak.."

"Bu, apapun yang terjadi pada ibu, mbak Mery harus tahu."

"Tidak nak, tolong, jangan beritahukan ini pada Mery. Dia akan menikah, nanti dia akan terganggu. Kasihan."

"Baiklah, beberapa hari lagi kan bu Sumini harus kontrol, nanti bilang saja pada dokternya."


"Tidak, aku tidak mau kontrol lagi. Dokter itu hanya membuat hatiku menjadi ciut dan ketakutan. Tidak.. aku tidak suka."

"Tapi bu, ibu kan juga harus selalu diperiksa, supaya dokter juga tahu perkembangan obat yang diberikannya, ada pengaruhnya tidak, sakit ibu berkurang tidak.. begitu kan bu?"

 

"Tidak nak, aku akan disini saja sampai Mery menikah. Bukankah kurang seminggu lagi? Tapi kalau pak Kliwon tidak repot karena aku."

"Tidak, simbah pasti senang.Tapi pasti mbak Mery akan mengajak ibu ke kota sa'at ibu harus kontrol."

"Tidak, biarkan saja, aku tidak akan mau. Sudah ke dokter juga aku masih tetap mengeluarkan darah."

 

Sri diam, kata bu Sumini tadi sangat mengejutkannya. Ia tidak tahu tentang perdarahan itu, apalagi Mery. Namun bu Sumini berpesan wanti-wanti agar Mery jangan sampai tahu.

 

"Ya sudah, bu, diminum dulu wedang jahenya biar ibu merasa lebih segar," kata mbah Kliwon.

Bu Sumini meneguk wedang jahenya dengan nikmat.

"Ini pasti bukan hanya jahe ya pak?" tanya bu Sumini.

"Jahe, sereh, daun jeruk, kayu manis. gula batu. Semua itu ada khasiatnya untuk kesehatan tubuh," kata mbah Kliwon.

 

"Iya benar, begitu minum tubuh terasa lebih segar." bu Sumini terus meneguk wedang jahenya sampai habis.

"Terimakasih nak."

 

Sri menatap bu Sumini dengan iba.

"Nak Sri nanti tidur disini ?" tanya bu Sumini.

"Iya, Tapi saya nggak tahu, apa mbak Mery juga mau menginap disini. Saya kira dirumahnya pak lurah lebih nyaman. Kata mbak Mery besok mau ngajak kita jalan-jalan keliling desa."

 

"Kedengarannya menyenangkan. Tapi bolehkah saya menginap disini ?"

"Tentu saja boleh bu. Kamar yu Lastri itu besar dan tidak terpakai. Kalau ibu suka, saya akan membersihkannya."

 

"Biasa saja nak, tidak usah memperlakukan saya seperti tamu. Saya tidur dibawah juga sudah biasa."

"Jangan bu, nggak apa-apa, nanti kalau mbak Mery mau juga cukup kok sekamar berdua."

 

"Lalu nak  Sri tidur dimana ?"

"Saya gampang bu, disini juga masih ada kamar, dirumahnya bapak juga bisa. Sebentar, saya bersihkan kamarnya ya mbah."

 

"Kamarnya selalu bersih. Kalau bu Sumini mau beristirahat sekarang juga sudah bisa kok."

"Oh, iya bu.. ayo kalau ibu mau beristirahat dulu." ajak Sri.

"Iya, bu, istirahatlah, saya mau ke kebun sebentar," kata mbah Kliwon sambil keluar dari kamar.

 

Bu Sumini memang ingin beristirahat. Dituntun Sri ia menuju kekamar lalu membaringkan tubuhnya disana.

"Saya tutup pintunya ya bu, Kalau ibu butuh sesuatu, panggil saya."

"Trimakasih nak."

 

***

 

"Aapaaak... apaaak..." teriak Tiwi ketika mobil Timan berhenti diluar pagar.

Tiwi berlari mendekat. Timan langsung menggendong anaknya begitu turun dari mobil.  Ia mendekati pak Darmin yang semula bermain bersama Tiwi, lalu mencium tangannya.

"Kok baru datang nak ?"

 

"Iya pak, ada urusan mendadak. Mana yang lainnya?"

"Yang disini cuma Sri sama bu Sumini. Lainnya ada dirumah pak lurah.  Tampaknya sedang rapat."

"Ooh."

"Mas, sudah selesai  urusannya?" tanya Sri yang sudah menyambutnya juga diluar rumah.

"Sudah, anak-anak sudah menyelesaikannya, lalu aku tinggal saja."

 

"Apaak, Iwi ainan obil agus...tuh.. tuh.." celoteh Tiwi sambil menunjukkan mobil mobilan yang dibuatkan kakeknya."

"Oh, bagus sekali Tiwi. Dulu waktu bapak masih kecil, mainannya juga mobil seperti itu."

Tiwi merosot turun, lalu kembali bermain bersama kakeknya.

 

Sri mengajak suaminya duduk, lalu dia mengambilkan minuman kebelakang.

"Kok sepi, mana bu Sumini? Mana simbah ?" tanya Timan setelah Sri meletakkan minuman dimeja.

"Bu Sumini baru tiduran, biarkan saja. Simbah.. katanya mau ke kebun, nggak tau mau ngapain."

 

"Sri, aku mau ngomong sesuatu nih. Mungkin penting, mungkin juga tidak, tapi aku terganggu terus karenanya."

"Ada apa memangnya mas?" tanya Sri sambil menatap suaminya dengan heran.

 

"Apa kamu lagi.... mm.. datang bulan ?"

"Iih... mas Timan nih.. ngapain nanya-nanya masalah itu disini ?"

"Bukan, ini penting. Jawab saja, ya atau tidak."

"Tidak mas, kan belum waktunya. Kenapa sih?"

"mBak Mery ?"

"Tidak juga, kami itu hampir bersamaan waktunya. Kenapa?"

 

"Begini, ketika aku mau berangkat tadi, aku melihat darah."

"Apa?"

"Segumpal darah, dikamar mandi, Tidak tersiram, mungkin karena tersangkut di sikat yang terletak disana."

"Itu....mungkiin.. mungkiin.. mm.." kata Sri ragu-ragu.

 

"Merah kehitaman, ngeri aku mengingatnya."

"Mas, tampaknya bu Sumini," kata Sri sambil berbisik.

"Aaah. Sudah kudugan. Jadi dia perdarahan? Karena penyakitnya?"

 

"Mungkin, barusan dia bilang pada simbah bahwa hampir tiap dua hari sekali dia perdarahan, tapi bu Sumini tak ingin mbak Mery mendengarnya."

"Mengapa? mBak Mery bisa bilang ke dokter tentang keadaan itu."

 

"Bu Sumini tak ingin mbak Mery jadi sedih, soalnya dia sedang fokus memikirkan pernikahan itu."

"Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa?"

"Aku juga bingung. Tapi bu Sumini tampak biasa-biasa saja. Mungkin sudah lama hal itu terjadi."

"Waktu pernikahan tinggal seminggu lagi. Nanti setelahnya baru aku akan bilang mbak Mery."

 

Pembicaraan itu terhenti karena bu lurah menelpon Sri.

"Ya yu.."

"Sri, mas Timan sudah datang?"

"Sudah, baru saja yu."

 

"Bisakah kalian kemari? Ditunggu makan siang disini nih."

"Iya yu, tapi bu Sumini sedang tidur."

"Oh, kasihan. Ya sudah, kamu sama mas Timan saja kemari, nanti bawakan makan untuk bu Sumini, sekaligus untuk mbah Kliwon sama pak Darmin."

"Baiklah yu."

 

*** 

 

"Bagaimana keadaan ibu Sri?" tanya Mery setelah selesai makan.

"Baik kok mbak.. sekarang sedang istirahat."

"Syukurlah. Ma'af kalau merepotkan ya Sri."

"Tidak, jangan bilang begitu mbak.. dia juga ibuku. Biarkan aku ikut merawatnya."

"Terimakasih banyak Sri, kau adalah adikku yang sejati," kata Mery sambil merangkul Sri, dengan air mata berlinang.

 

"Sudah mbak, jangan difikirkan. Kita akan bersama-sama merawat bu Sumini."

"Tiga hari lagi ibu harus kontrol, maukah kamu mengantarkannya?"

"mBak, aku sih mau, tapi bu Sumini tidak akan mau."

"Tidak?"

"Dia sudah bilang bahwa tidak akan mau, dipaksapun tidak akan mau."

"Ya Tuhan, lalu bagaimana ini?"

 

"Saya kira biar saja mbak, nanti kalau dipaksa malah ada pengaruh pada penyakitnya, dia bilang kalau ketemu dokter hatinya menjadi ciut."

"Besok kita jalan-jalan sebentar, kan sudah janji mau mengajak ibu melihat pemandangan, nanti aku akan mencoba membujuknya.

 

"Baiklah mbak. Nanti mbak Mery kan tidur dirumahnya yu Lastri ?"

"Bu Lurah menyiapkan kamar untuk aku, gimana ya. Tapi Basuki akan tidur di hotel."

"Ya sudah mbak, biar bu Sumini sama saya, mbak Mery tidak usah khawatir, aku akan menjaganya."

 

***

 

"Bu, kok sudah bangun ?"

"Iya, kok sepi ya pak?"

"Iya, pada kerumah bu lurah. Tapi nanti kan segera kembali kemari. Ibu butuh apa?" tanya pak Darmin yang dititipi Sri untuk menjaga bu Sumini.

"Tidak butuh apa-apa, ingin duduk diluar saja."

 

Perlahan bu Sumini melangkah keluar, lalu duduk dibangku bambu.

"Saya ambilkan minum ya bu?" tanya Darmin sambil beranjak kebelakang. Tapi tiba-tiba mbah Kliwon muncul dari dapur.

 

"Ya, buatkan minum bu Sumini, Min, aku akan memberikan jamu ini, kalau dia mau."

"Ya pak."

"Bu, saya membuat jamu, apakah ibu mau?"

"Jamu ? Saya pasti mau pak, jamu apa itu ?"

 

"Jamu ini ada dua bu, yang satu kental seperti lendir, ia akan menghisap racun ditubuh ibu. Yang satu, pahit sekali, ini akan mengeluarkan racun-racun itu."

"Oh, mana, aku suka pak Kliwon. Mana yang harus aku minum lebih dulu?"

 

"Yang ini, kemudian yang warnanya hijau ini."

"Baiklah," dan dengan enaknya bu Sumini menenggak jamu segelas kecil yang disodorkan mbah Kliwon, kemudian satu gelas lagi yang warnanya hijau. Pahitnya jangan ditanya. Bu Sumini sampai mengernyitkan mulut dan hidungnya karena menahan rasa pahitnya.

 

"Pahitkah ?"

"Yang kental tadi tidak, yang hijau itu, aduh.. pait sekali. Tapi tidak apa-apa, aku biasa minum pahit."

 

"Min, mana minum untuk bu Sumini !" teriak mbah Kliwon.

"Ya.. ini sudah, kata Darmin sambil membawa secangkir teh hangat, dan sepiring tempe goreng."

 

"Kok pakai tempe, pak Darmin ?"

"Tempe ini  bisa menghilangkan rasa pahit bu. Kalau cuma minuman manis saja tidak cukup." kata Darmin.

"Benar bu, cobalah," kata mbah Kliwon.

 

Bu Sumini meneguk secangkir teh, lalu mengambil sebuah tempe, dikunyahnya perlahan.

"Iya benar, pahitnya sudah hilang."

"Syukurlah bu, semoga jamu itu ada manfa'atnya bagi kesehatan ibu."

"Perutku terasa dingin."

"Bagus bu."

"Dan aneh, tiba-tiba aku merasa lapar."

 

Pak Darmin tertawa.

"Kalau itu bukan karena jamu bu, memang sa'atnya makan siang."

Tiba-tiba Sri datang, bersama Mery dengan membawa beberapa rantang.

 

"Ibu, ibu sudah makan ?"

"Belum, baru saja ibu bilang kalau ibu merasa lapar," kata bu Sumini tersipu.

"Ini bu, Sri bawakan nasi dan lauk pauk. Yu Marni yang  membawakan. Biar aku tata dulu dibelakang."

 

Siang itu dengan tak terduga, bu Sumini makan dengan lahap.

"Enakkah bu?" tanya Mery terharu melihat ibunya makan dengan nikmat."

"Enak, ada sayur, ada ikan. Ibu harus kuat kan?"

"Bagus bu, Mery senang. Makan yang banyak ya bu, biar ibu sehat, bukankah besok kita mau jalan-jalan?"

 

"Iya.. aku suka. Aku tadi sudah minum jamu dari pak Kliwon, enak perutku, lalu terasa lapar."

"Oh, ibu minum jamu? Pahitkah?"

"Nggak, pahitpun yang namanya jamu itu pasti enak buat ibu."

Mery hanya mengangguk dan tersenyum. Senang melihat ibunya tampak bersemangat.

 

***

 

Namun malam itu bu Sumini merasa perutnya melilit sakit. Ia tidur dikamar bersama Mery, karena besok pagi mau mengajak ibunya jalan-jalan.

Ia mencari obat gosok dari dalam tasnya, lalu digosoknya perutnya sambil meringis kesakitan.

 

Tiba-tiba bu Sumini merasakan sesuatu. Ia harus kekamar mandi. Bergegas dia kekamar mandi sambil berjingkat, agar tak membangunkan anaknya.

Namun tak lama setelah bu Sumini keluar, Mery membuka matanya. Dilihatnya ibunya tak ada, lalu disusulnya keluar. Pasti ibunya di kamar mandi.

 

Terdengar suara deburan air berkali-kali, lalu terdengar keluh bu Sumini perlahan.

Mery terkesiap. Keluhan itu seperti suara orang menahan rasa sakit.

 

Ia mendorong pintu, yang ternyata tidak terkunci. Dilihatnya bu Sumini bersandar pada bak air, tangannya mengguyur berkali-kali. Mata Mery melihat sesuatu berwarna hitam pekat, sebagian masih membasahi kaki ibunya.

 

"Ibu !! " Mery berteriak.

"Aku.. tidak apa-apa..." kata bu Sumini lemah.

"Apa ini bu? Apakah ini akibat dari ibu minum jamu mbah Kliwon ?" teriak Mery dengan marah.

 

***

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar