*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 25*
"Tengah
malam itu ketika Mery terbangun, dilihatnya ibunya tak ada disampingnya. Mery
bangkit dan mencari-cari. Tiba-tiba ia mendengar suara gemericik dikamar
mandi,
"Ibu
?"
"Iya...
sebentar nduk..." suara ibu agak terengah..."
"Ibu
ngapain ?"
"Nggak
apa-apa.. cuma buang air kecil..."
"Jangan
lama-lama dikamar mandi bu, nanti ibu kedinginan."
"Iya..
sudah.."
Lalu
terdengar lagi deburan air beberapa kali...
"Ibu..."
"Sudah..
aku sudah selesai...
Mengapa
baju ibu sampai basah begitu..?"tanya Mery ketika bu Sumini keluar dari
kamar mandi.
"Iya,
tersiram tadi. Sudahlah, jangan perlakukan ibu seperti anak kecil."
"Nafas
ibu juga agak terengah. Benar ibu tidak apa-apa?"
"Tidak,
tidak.. sudah.. biarkan ibu berganti pakaian.."
Mery
mencium bau sabun yang menyengat dari dalam kamar mandi itu.
"Ibu
mandi ?"
"Tidak,
hanya buang air kecil. Aku mau ganti baju dulu."
"Aku
ambilkan bu, yang bersih dan kering."
"Mery,
sudahlah, ibu bisa sendiri.. kamu tidur saja sana.. jadi ribet kalau
semua-semua dilayani."
Mery
menghela nafas panjang. Ada perasaan tak enak melihat sikap ibunya malam itu.
Ia kemudian pergi ke dapur untuk mengambilkan minuman hangat untuk ibunya.
Bu Sumini
memasukkan sesuatu kedalam sebuah tas kresek, lalu dibuang ke tempat sampah.
Nafasnya masih agak terengah ketika Mery datang membawakan secangkir teh
hangat.
"Minumlah
bu, mengapa ibu seperti terengah-engah begitu?"
"Ini
biasa, aku kan habis berjongkok, berdirinya pasti terengah-engah," jawab
bu Sumini lalu meneguk teh yang diberikan Mery.
"Sekarang
ibu tidur saja dulu. "
Bu Sumini
membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Mery menatapnya tak berkedip.
Benarkah ibunya tak apa-apa? Wajahnya tampak sangat pucat.
Sampai
menjelang pagi Mery baru bisa memejamkan matanya.
***
Mery belum
bangun ketika bu Sumini sudah mandi, lalu duduk diteras depan. Hari masih pagi,
udara diluar tampak remang, tapi angin yang berembus menimbulkan rasa sejuk.
"Ibu,
saya buatkan jahe panas, apa ibu suka?" tiba-tiba Sri keluar dengan
membawa segelas wedang jahe dan cemilan diatas nampan..
"Nak,
ibu sangat merepotkan bukan?"
"Tidak
bu, jangan berfikir demikian. Ibu adalah ibu saya juga. Silahkan, wedang jahe
itu kan menyehatkan. Simbah yang didesa sangat suka minum wedang jahe. Katanya
kalau habis minum, badannya terasa segar."
"Iya
nak, itu benar," kata bu Sumini sambil menghirup wedang jahenya seteguk
demi seteguk karena masih agak panas.
"Masih
panas ya bu."
"Tidak,
ini enak. Panasnya memasuki perut, lalu menjalar keseluruh tubuh. Enak
sekali."
"Syukurlah
kalau ibu suka."
"Nak,
selama ibu disini, jangan terlalu repot. Seandainya masak ya masaklah seperti
biasanya, jangan karena ada ibu lalu nak Sri memasak berlebih. Ibu ini biasa
hidup susah, dengan tinggal disini ibu merasa berada disebuah istana, atau
surga."
"Ah,
ibu berlebihan. Ini hanya rumah kampung. Kalau rumah mas Basuki yang nanti
bakal ditinggali bersama mbak Mery, bagus sekali bu."
"Hm,
iya nak. Tapi ibu senang tinggal disini. Seluruh keluarga seperti saudara,
walau kami orang lain. Sungguh membahagiakan, sekaligus mengharukan. Senang di
akhir hidup saya ini, saya menemukan banyak sahabat, dan melihat orang saling
mengasihi."
"Ibu
harus sehat. Manusia tak akan tahu kapan hidupnya berakhir, jadi ibu
harus semangat terus dan tetap berusaha sehat."
"Semoga aku kuat. Nih, aku minum wedang
tadi, badanku rasanya segar."
"Sykurlah bu. Nanti kalau ibu mau
jalan-jalan ke desa saya, simbah saya pasti akan membuatkan jamu untuk
ibu."
"Benarkah?
Ibu suka sekali minum jamu. Jadi pengin cepat-cepat main kesana."
"Nanti sebentar lagi kan mbak Mery mau
kesana, sekalian melihat tempat yang mau dijadikan pesta pengantin. Ibu harus
ikut."
"Iya, pasti."
"Ibu, rotinya dimakan."
"Iya nak, terimakasih..."
Mery
tiba-tiba muncul diantara mereka.
"Ya ampun Sri, kamu selalu begitu, tidak
pernah membangunkan aku."
"Tidak apa-apa, ini sudah ditungguin
ibu."
Mery
menatap ibunya, tampaknya wajahnya sudah tidak sepucat semalam.
"mBak Mery disini dulu, aku mau
menyiapkan sarapan."
"Biar aku saja Sri.."
"Aku sudah masak, tinggal menata di
meja."
"Ya ampun Sri, semuanya sudah kamu
selesaikan."
"Ah, sudahlah.. temani ibu saja.."
kata Sri sambil beranjak kebelakang.
"Ibu
sudah makan apa?"
"Ini, roti, tadi minum wedang jahe,
segelas aku habiskan."
"Oh ya, segar ya bu?"
"Badan terasa lebih enteng."
"Oh,
syukurlah bu, Ibu, semalam Mery khawatir sekali. Ibu tampak pucat, dan nafas
ibu agak tersengal."
"Aku tidak apa-apa."
"Nanti setelah makan, ibu minum obatnya
ya. Sudah Mery siapkan semua."
"Banyak sekali obat."
"Iya, memang seharusnya begitu."
"Tidak
adakah orang menjual jamu gendong melewati tempat ini ?"
"Waduh, sepertinya Mery belum pernah
melihatnya. Tapi kalau dipasar pasti ada. Nanti coba Mery carikan. Tapi
bukankah sebaiknya ibu minum obatnya dulu."
"Ibu
pernah merasa sakit sekali, perut melilit-lilit, setelah minum jamu gendong
lalu sembuh. Jangan menyepelekan obat-obatnya orang jaman dulu."
"Tidak bu, bukannya Mery menyepelekan, tapi
kan ibu sedang minum obat-obat, jadi sebaiknya jangan dicampur jamu."
Bu Sumini diam, melanjutkan mengunyah roti
yang tinggal sepotong.
"Katanya
kamu mau ke desanya nak Sri?"
"Iya, menunggu Basuki, mau mulai
mempersiapkan acara pernikahan itu. Jadi kami mau melihat lokasinya dulu."
"Aku ikut kan ?"
"Iya bu, ibu pasti ikut. Nanti kita
melihat-lihat pemandangan indah disana."
"Ibu
mau ketemu mbahnya nak Sri."
"mBah Kliwon ?"
"Katanya dia juga suka minum
jamu-jamu."
"Ah, iya.. Sri juga bilang begitu."
"mBak, ayo sarapan dulu, ditunggu mas
Timan tuh," teriak Sri dari dalam.
"Ayo bu, sarapan dulu dan minum
obatnya."
***
"Ya pak lurah, ini saya," kata
Basuki menjawab telpon pak lurah.
"Kapan mas Basuki mau datang. "
"Secepatnya pak lurah, munkin besok. Ini
ibunya Mery juga ingin ikut."
"Syukurlah. So'alnya ibunya Jarot juga
mau mengumpulkan ibu-ibu yang nanti juga akan ikut memasak untuk acara
itu."
"Pak
lurah, bagaimana kalau untuk hidangan kita tidak usah masak sendiri?"
"Maksudnya?"
"Saya akan memesan saja untuk keperluan
itu, biar nanti tidak memberatkan ibu-ibu disini."
"Oh, baiklah. Nanti saya bilang sama
ibunya Jarot."
"Kalau
bisa nanti saya minta tolong mbak Lastri untuk memesankan. Kita disini tinggal
mempersiapkan tempat saja."
"Bagus mas, bagaimanapun itu harus
dipersiapkan."
"Saya ingin ada wayang kulit pak
lurah."
"Siap mas, ada dalang bagus disini. Saya
bisa menghubungi."
"Baiklah,
untuk selanjutnya nanti dibicarakan kalau saya sudah sampai disini. Mungkin
besok pak lurah."
"Baik mas, kami tunggu."
"Jadi nanti semua akan pesan saja dari
catering?" tanya Timan yang mendengar pembicaraan itu.
"Lebih
baik begitu mas, supaya tidak merepotkan ibu-ibu didesa sana. Saya sudah minta
tolong Mery untuk menghubungi mbak Lastri. Masalah catering urusan dia."
"Baiklah, tapi kita besok semua akan
kesana kan ?"
"Iya, tapi kalau mas Timan harus ke
pasar ya saya tidak berani mengganggu."
"Tidak, saya bisa ikut mas, jangan
khawatir."
***
"Sudah kamu pesan semua ?" tanya
Bayu kepada isterinya sore itu.
"Sudah, mas Basuki sudah mentarsfer
pembayaran untuk catering itu. Jadi tugasku sudah selesai."
"Apa kamu besok mau ikut ke Sarangan
?"
"Aku ingin ikut, tapi kamu kerja kan
mas?"
"Sayangnya
aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku besok. Kamu sama Ayu ya, nanti ikut di
mobilnya mas Basuki atau mbak Mery."
"Iya gampang. Aku pengin cepet-cepet
bisa ikut, ingin segera ketemu ibunya mbak Mery, apakah dia juga cantik seperti
mbak Mery?"
"Pastilah dia cantik. Tapi kabarnya
ibunya sakit."
"Iya
itu mas, aku juga ikut prihatin. Baru ketemu, ternyata ibunya sakit, dan
tampaknya parah."
"Tapi dia bisa jalan-jalan kan ?"
"Bisa sih mas, tapi kan ada penyakit
yang membahayakan nyawanya. Kanker itu kabarnya susah diobati."
"Tidak, kalau masih belum
terlambat."
"Kalau sudah terlambat ?"
"Yah,
aku tak berani mengatakan, karena umur manusia itu kan ditangan Tuhan. Kata
dokter umurnya tinggal sekian tahun, tapi kalau Tuhan berkehendak lebih
lama?"
"Semoga mbak Mery akan bahagia sa'at
menikah ditunggui ibu kandungnya."
"Itu tidak terduga ya ?"
"Itu
hadiah pernikahan yang paling indah. Semoga ada mujizat yang bisa menyembuhkan
bu Sumini."
"Aamiin."
***
"Min, kamu harus senang, cucumu akan
datang hari ini," kata mbah Kliwon kepada menantunya pagi itu.
"Iya, aku sudah menyiapkan mainan untuk
cucuku."
"Mainan apa?"
"Itu, mobil-mobilan dari kulit jeruk
bali."
mBah Kliwon tertawa geli.
"Jaman
sekarang mana suka anak-anak mainan seperti itu? Mobil-mobilan yang bagus saja
banyak dijual ditoko-toko."
"Justru ini mainan sederhana, siapa tahu
lebih menarik? Lihat saja nanti."
"Tapi rame-rame kali ini semuanya sudah
diatur dengan baik, tak ada masak-memasak karena semua hidangan sudah
dipesankan."
"Oh,
masalah hidangan untuk tamu? Itu bagus, supaya kita tidak repot dibelakang,
sehingga bisa melihat pengantin dengan lebih santai. Coba kalau banyak yang
sibuk didapur, menata hidangan.. mana bisa melihat pengantinnya?"
"Iya benar, aku juga senang
mendengarnya."
"Apakah
nanti ada tayub juga?"
"Kamu dari kemarin-kemarin cuma tayub
saja yang kamu fikirkan. Tidak ada. Yang ada adalah wayang kulit."
"Waah,
wayang kulit aku juga suka. Semoga lakonnya bagus. Kalau bapak suka lakon
apa?"
"Karena ini bersamaan dengan pernikahan,
ya bagusnya lakon Parto Kromo."
"O iya, menikahnya Arjuna dengan Dewi
Sembadra ya . Tapi jangan sampai nanti Basuki jadi ketularan Arjuna lho, Arjuna
itu kan isterinya banyak,."
"Semoga
saja tidak. Sekarang Basuki kan sudah jadi orang baik-baik."
"Semoga saja begitu."
***
"Bagaaas..."
Bagas mengangkat kepalanya. Walau tidak
senyaring dulu dan semanja dulu, tapi suara itu cukup membuatnya
berdesir.
Ia
tak menjawab, tapi matanya menatap bos cantiknya, menunggu apa yang akan
dikatakannya.
"Kabarnya mbak Mery mau menikah ?"
"Ya.."
"Aku sering makan di warung, jadi sering
mendengar berita tentang mbak Mery."
"Ooh."
"Aku
minta sama mbak Mery, supaya besok ketika dia menikah, aku juga diundang."
"Mana mungkin mbak Kristin mau.."
"Mengapa tidak ?"
"Menikahnya didesa.."
"Didesa mana ?"
"Disebuah desa, pokoknya desa dan aku
yakin mbak Kristin tak akan mau."
Lalu Bagas kembali menekuni pekerjaannya.
"Bagaaas.."
Bagas mengangkat lagi kepalanya. Sepasang
mata bintang itu lagi-lagi menghujam kejantungnya. Membuatnya berkeringat.
"Kalau aku mau, apakah kamu mau
menemani?"
"Apa ?"
"Aku ingin datang."
"Tapi
aku harus datang awal, karena aku punya tugas di acara itu."
"Aku juga mau datang awal."
Bagas kembali menunduk, tapi hatinya gemuruh
tak menentu.
"Apa
kamu akan menolak?"
"Acaranya malam, dan jauh didesa,
didaerah Sarangan."
"Aku mau.."
Bagas
tak menjawab, matanya menatap kearah laptop, tapi tidak dengan hatinya. Ia
sibuk menyusun jawaban, supaya tak terdengar begitu gampangan. Ah, kenapa sih
harus jual mahal? Padahal hatinya mau. Bodoh ! Bagas memaki dirinya sendiri.
"Ya
sudah kalau kamu tidak mau, aku akan mengajak papa saja."
"Eit.. apa ?" Bagas terkejut
sendiri mendengar jawaban Kristin.
"Mm.. iya mbak, gampang, aduh, saya lagi
nggak konsen nih, kan minggu ini harus selesai semua."
Lalu
wajah Kristin mendadak muram. Benar, seminggu lagi Bagas mau meninggalkan
pekerjaannya. Tak ada lagi yang bisa diteriakinya dengan manja, lalu
menjawabnya dengan angkuh.
"Tak
lama lagi ruangan ini akan sepi.." bisik Kristin lirih.
Bagas lagi-lagi mengangkat kepalanya, tapi ia
tak mendengar apa yang Kristin bisikkan. Dilihatnya Kristin mengutak atik
laptop, dengan wajah muram.
"Nanti
kita bicara lagi so'al ke acara pernikahan itu," kata Bagas yang mengira
Kristin kesal karena ia tak langsung menyanggupinya datang bersama ke acara
itu.
***
Ternyata hari itu Timan tak bisa ikut ke
Sarangan bersama isteri dan anaknya, karena ada pesanan mendadak yang harus
dipenuhinya pagi itu.
"Nanti aku akan menyusul, setelah
mengirimkan pesanan itu," janjinya ketika Sri mau berangkat bersama Mery
dan bu Sumini.
Hari
sudah agak siang ketika ia mau berangkat kepasar. Ia tak harus datang pagi
karena semua sudah dipersiapkannya sebelumnya, tinggal mengambil dan
mengirimkan.
Ia
kebelakang untuk mengunci semua pintu.
Tapi ia mampir ke kamar mandi untuk buang air
kecil.
Tiba-tiba
ketika ia masuk itu, matanya menatap sesuatu disudut kamar mandi, didekat sikat
lantai yang terletak agak miring.
"Apa itu ? Darah ?"
Timan melihat darah, segumpal, berwarna
kehitaman.
***
besok lagi ya
*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 26*
Timan
tertegun. Darah apa itu ? Seperti bergumpal dan merah kehitaman.Timan segera
menyiramnya dan mengucurinya dengan sabun ditempat sekitarnya. Ada bau tak
sedap tercium, Timan menambahkan lagi sabunnya dan menyiramnya sampai bersih
dan tak ada lagi bekas serta baunya.
Sambil
mengunci semua pintu lalu menuju ke mobilnya, Timan terus berfikir tentang
darah itu. Apakah itu darah orang yang sedang datang bulan? Sri kah?
Sepertinya tidak, Timan tau kalau ini belum sa'atnya. Atau Mery ? Masa sih
sampai bergumpal seperti itu ? Jangan-jangan bu Sumini. Mungkin saja. Dan bu
Sumini kurang bersih menyiramnya.
"Nanti
akan aku tanyakan pada Sri. Semoga urusanku segera selesai dan aku bisa segera
menyusul kesana," gumam Timan sambil mengendarai mobilnya.
***
mBah Kliwon dan Darmin sangat gembira cucu
mereka datang. Tiwi senang sekali mendapat mainan dari kulit jeruk dari
kakeknya.
"Obil.. ucu.. obil..ucu.."
teriaknya.
"Iya, mobilnya lucu. simbah ini tadi
yang buat.." kata Darmin yang kemudian mengajak Tiwi dan Ayu bermain
dihalaman.
Sementara
Mery dan Basuki serta Lastri berbincang dirumah pak lurah. Sri dan anaknya
serta bu Sumini ada dirumah mbah Kliwon.
Bu
Sumini juga senang mbah Kliwon menyuguhkan ketela dan jagung rebus untuk
disantap bersama.
"Simbah
nggak buat wedang jahe ?" tanya Sri.
"Wedang jahe ? Ada sih, selalu ada, tapi
siang-siang begini kamu ingin wedang jahe ?" tanya mbah Kliwon.
"Barangkali bu Sumini mau."
"Iya, saya mau, kalau tidak
merepotkan."
"Sebentar,
saya hangatkan.." kata mbah Kliwon."
"Biar Sri saja mbah, simbah duduk saja
disini," kata Sri yang langsung melangkah kebelakang.
"Kabarnya bapak suka buat jamu ?"
tanya bu Sumini.
"Buat jamu? Ya, saya sering buat, untuk
diri saya sendiri saja bu, jamu itu kan sehat."
"Saya
ini kan sakit."
"Sakit apa bu ?"
"Sakit parah. Ada kanker di rahim saya.
Mungkin umur saya hanya tinggal beberapa tahun saja. Atau bahkan lebih cepat
dari itu."
"Ah,
mengapa bilang begitu ? Umur itu bukan kita yang menentukan."
"Tapi dengan penyakit saya ini..."
bu Sumini menunduk sedih.
"Bu,
yang penting kondisi tubuh ibu kuat. Makan makanan sehat, sehingga ibu kuat.
Kanker itu kan racun yang harus dikeluarkan dari tubuh. Kalau ibu kuat, ibu
akan menang berlomba dengan penyakit yang meracuni tubuh itu."
"Bagaimana
mengeluarkan racun dari tubuh ?"
"Ada.. saya akan buatkan ramuannya. Tapi
saya bukan dukun ya bu, dan saya hanya berupaya. Semoga bisa meringankan beban
ibu."
"Saya
perdarahan hampir tiap dua hari sekali. Tapi saya tidak mengatakannya kepada
siapapun juga. Saya tidak ingin anak saya sedih."
"Mulai sekarang ibu harus makan sayur
dan buah yang sehat. Ikan segar, disini banyak dijual. Dikota pasti juga banyak
kan? Itu bisa menguatkan tubuh ibu."
"Baiklah,
saya harus kuat, paling tidak demi anak saya."
"Untuk ibu juga. Kecuali itu ibu tidak
boleh putus asa. Ibu harus tetap semangat, dan percaya bahwa hidup ibu masih
panjang."
"Baiklah,"
jawab bu Sumini yang tiba-tiba seperti menemukan sebuah semangat.
"Bolehkah selama menginap disini saya
minum jamu yang pak Kliwon buat?."
"Pasti ibu, asalkan ibu tetap
semangat."
"Ibu, ini wedang jahenya, anget."
"Terimakasih nak."
"Ibu
tadi bilang apa, perdarahan dua hari sekali?" tanya Sri yang mendengar
kata-kata bu Sumini."
"Oh.. eh, tidak nak.. tidak.."
"Bu, apapun yang terjadi pada ibu, mbak
Mery harus tahu."
"Tidak nak, tolong, jangan beritahukan
ini pada Mery. Dia akan menikah, nanti dia akan terganggu. Kasihan."
"Baiklah, beberapa hari lagi kan bu
Sumini harus kontrol, nanti bilang saja pada dokternya."
"Tidak,
aku tidak mau kontrol lagi. Dokter itu hanya membuat hatiku menjadi ciut dan
ketakutan. Tidak.. aku tidak suka."
"Tapi bu, ibu kan juga harus selalu
diperiksa, supaya dokter juga tahu perkembangan obat yang diberikannya, ada
pengaruhnya tidak, sakit ibu berkurang tidak.. begitu kan bu?"
"Tidak
nak, aku akan disini saja sampai Mery menikah. Bukankah kurang seminggu lagi?
Tapi kalau pak Kliwon tidak repot karena aku."
"Tidak, simbah pasti senang.Tapi pasti
mbak Mery akan mengajak ibu ke kota sa'at ibu harus kontrol."
"Tidak, biarkan saja, aku tidak akan
mau. Sudah ke dokter juga aku masih tetap mengeluarkan darah."
Sri
diam, kata bu Sumini tadi sangat mengejutkannya. Ia tidak tahu tentang
perdarahan itu, apalagi Mery. Namun bu Sumini berpesan wanti-wanti agar Mery
jangan sampai tahu.
"Ya
sudah, bu, diminum dulu wedang jahenya biar ibu merasa lebih segar," kata
mbah Kliwon.
Bu Sumini meneguk wedang jahenya dengan
nikmat.
"Ini pasti bukan hanya jahe ya
pak?" tanya bu Sumini.
"Jahe, sereh, daun jeruk, kayu manis.
gula batu. Semua itu ada khasiatnya untuk kesehatan tubuh," kata mbah
Kliwon.
"Iya
benar, begitu minum tubuh terasa lebih segar." bu Sumini terus meneguk wedang
jahenya sampai habis.
"Terimakasih nak."
Sri
menatap bu Sumini dengan iba.
"Nak Sri nanti tidur disini ?"
tanya bu Sumini.
"Iya, Tapi saya nggak tahu, apa mbak
Mery juga mau menginap disini. Saya kira dirumahnya pak lurah lebih nyaman.
Kata mbak Mery besok mau ngajak kita jalan-jalan keliling desa."
"Kedengarannya
menyenangkan. Tapi bolehkah saya menginap disini ?"
"Tentu saja boleh bu. Kamar yu Lastri
itu besar dan tidak terpakai. Kalau ibu suka, saya akan membersihkannya."
"Biasa
saja nak, tidak usah memperlakukan saya seperti tamu. Saya tidur dibawah juga
sudah biasa."
"Jangan bu, nggak apa-apa, nanti kalau
mbak Mery mau juga cukup kok sekamar berdua."
"Lalu
nak Sri tidur dimana ?"
"Saya gampang bu, disini juga masih ada
kamar, dirumahnya bapak juga bisa. Sebentar, saya bersihkan kamarnya ya
mbah."
"Kamarnya
selalu bersih. Kalau bu Sumini mau beristirahat sekarang juga sudah bisa
kok."
"Oh, iya bu.. ayo kalau ibu mau
beristirahat dulu." ajak Sri.
"Iya, bu, istirahatlah, saya mau ke
kebun sebentar," kata mbah Kliwon sambil keluar dari kamar.
Bu
Sumini memang ingin beristirahat. Dituntun Sri ia menuju kekamar lalu
membaringkan tubuhnya disana.
"Saya tutup pintunya ya bu, Kalau ibu
butuh sesuatu, panggil saya."
"Trimakasih nak."
***
"Aapaaak... apaaak..." teriak Tiwi
ketika mobil Timan berhenti diluar pagar.
Tiwi berlari mendekat. Timan langsung
menggendong anaknya begitu turun dari mobil. Ia mendekati pak Darmin yang
semula bermain bersama Tiwi, lalu mencium tangannya.
"Kok baru datang nak ?"
"Iya
pak, ada urusan mendadak. Mana yang lainnya?"
"Yang disini cuma Sri sama bu Sumini.
Lainnya ada dirumah pak lurah. Tampaknya sedang rapat."
"Ooh."
"Mas, sudah selesai
urusannya?" tanya Sri yang sudah menyambutnya juga diluar rumah.
"Sudah, anak-anak sudah
menyelesaikannya, lalu aku tinggal saja."
"Apaak,
Iwi ainan obil agus...tuh.. tuh.." celoteh Tiwi sambil menunjukkan mobil
mobilan yang dibuatkan kakeknya."
"Oh, bagus sekali Tiwi. Dulu waktu bapak
masih kecil, mainannya juga mobil seperti itu."
Tiwi merosot turun, lalu kembali bermain
bersama kakeknya.
Sri
mengajak suaminya duduk, lalu dia mengambilkan minuman kebelakang.
"Kok sepi, mana bu Sumini? Mana simbah
?" tanya Timan setelah Sri meletakkan minuman dimeja.
"Bu Sumini baru tiduran, biarkan saja.
Simbah.. katanya mau ke kebun, nggak tau mau ngapain."
"Sri,
aku mau ngomong sesuatu nih. Mungkin penting, mungkin juga tidak, tapi aku
terganggu terus karenanya."
"Ada apa memangnya mas?" tanya Sri
sambil menatap suaminya dengan heran.
"Apa
kamu lagi.... mm.. datang bulan ?"
"Iih... mas Timan nih.. ngapain
nanya-nanya masalah itu disini ?"
"Bukan, ini penting. Jawab saja, ya atau
tidak."
"Tidak mas, kan belum waktunya. Kenapa
sih?"
"mBak Mery ?"
"Tidak juga, kami itu hampir bersamaan
waktunya. Kenapa?"
"Begini,
ketika aku mau berangkat tadi, aku melihat darah."
"Apa?"
"Segumpal darah, dikamar mandi, Tidak
tersiram, mungkin karena tersangkut di sikat yang terletak disana."
"Itu....mungkiin.. mungkiin.. mm.."
kata Sri ragu-ragu.
"Merah
kehitaman, ngeri aku mengingatnya."
"Mas, tampaknya bu Sumini," kata
Sri sambil berbisik.
"Aaah. Sudah kudugan. Jadi dia
perdarahan? Karena penyakitnya?"
"Mungkin,
barusan dia bilang pada simbah bahwa hampir tiap dua hari sekali dia
perdarahan, tapi bu Sumini tak ingin mbak Mery mendengarnya."
"Mengapa? mBak Mery bisa bilang ke
dokter tentang keadaan itu."
"Bu
Sumini tak ingin mbak Mery jadi sedih, soalnya dia sedang fokus memikirkan
pernikahan itu."
"Bagaimana kalau sampai terjadi
apa-apa?"
"Aku juga bingung. Tapi bu Sumini tampak
biasa-biasa saja. Mungkin sudah lama hal itu terjadi."
"Waktu pernikahan tinggal seminggu lagi.
Nanti setelahnya baru aku akan bilang mbak Mery."
Pembicaraan
itu terhenti karena bu lurah menelpon Sri.
"Ya yu.."
"Sri, mas Timan sudah datang?"
"Sudah, baru saja yu."
"Bisakah
kalian kemari? Ditunggu makan siang disini nih."
"Iya yu, tapi bu Sumini sedang
tidur."
"Oh, kasihan. Ya sudah, kamu sama mas
Timan saja kemari, nanti bawakan makan untuk bu Sumini, sekaligus untuk mbah
Kliwon sama pak Darmin."
"Baiklah yu."
***
"Bagaimana keadaan ibu Sri?" tanya
Mery setelah selesai makan.
"Baik kok mbak.. sekarang sedang
istirahat."
"Syukurlah. Ma'af kalau merepotkan ya
Sri."
"Tidak, jangan bilang begitu mbak.. dia
juga ibuku. Biarkan aku ikut merawatnya."
"Terimakasih banyak Sri, kau adalah
adikku yang sejati," kata Mery sambil merangkul Sri, dengan air mata
berlinang.
"Sudah
mbak, jangan difikirkan. Kita akan bersama-sama merawat bu Sumini."
"Tiga hari lagi ibu harus kontrol,
maukah kamu mengantarkannya?"
"mBak, aku sih mau, tapi bu Sumini tidak
akan mau."
"Tidak?"
"Dia sudah bilang bahwa tidak akan mau,
dipaksapun tidak akan mau."
"Ya Tuhan, lalu bagaimana ini?"
"Saya
kira biar saja mbak, nanti kalau dipaksa malah ada pengaruh pada penyakitnya,
dia bilang kalau ketemu dokter hatinya menjadi ciut."
"Besok kita jalan-jalan sebentar, kan
sudah janji mau mengajak ibu melihat pemandangan, nanti aku akan mencoba
membujuknya.
"Baiklah
mbak. Nanti mbak Mery kan tidur dirumahnya yu Lastri ?"
"Bu Lurah menyiapkan kamar untuk aku,
gimana ya. Tapi Basuki akan tidur di hotel."
"Ya sudah mbak, biar bu Sumini sama
saya, mbak Mery tidak usah khawatir, aku akan menjaganya."
***
"Bu,
kok sudah bangun ?"
"Iya, kok sepi ya pak?"
"Iya, pada kerumah bu lurah. Tapi nanti
kan segera kembali kemari. Ibu butuh apa?" tanya pak Darmin yang dititipi
Sri untuk menjaga bu Sumini.
"Tidak butuh apa-apa, ingin duduk diluar
saja."
Perlahan
bu Sumini melangkah keluar, lalu duduk dibangku bambu.
"Saya ambilkan minum ya bu?" tanya
Darmin sambil beranjak kebelakang. Tapi tiba-tiba mbah Kliwon muncul dari
dapur.
"Ya,
buatkan minum bu Sumini, Min, aku akan memberikan jamu ini, kalau dia
mau."
"Ya pak."
"Bu, saya membuat jamu, apakah ibu
mau?"
"Jamu ? Saya pasti mau pak, jamu apa itu
?"
"Jamu
ini ada dua bu, yang satu kental seperti lendir, ia akan menghisap racun
ditubuh ibu. Yang satu, pahit sekali, ini akan mengeluarkan racun-racun
itu."
"Oh, mana, aku suka pak Kliwon. Mana
yang harus aku minum lebih dulu?"
"Yang
ini, kemudian yang warnanya hijau ini."
"Baiklah," dan dengan enaknya bu
Sumini menenggak jamu segelas kecil yang disodorkan mbah Kliwon, kemudian satu
gelas lagi yang warnanya hijau. Pahitnya jangan ditanya. Bu Sumini sampai
mengernyitkan mulut dan hidungnya karena menahan rasa pahitnya.
"Pahitkah
?"
"Yang kental tadi tidak, yang hijau itu,
aduh.. pait sekali. Tapi tidak apa-apa, aku biasa minum pahit."
"Min,
mana minum untuk bu Sumini !" teriak mbah Kliwon.
"Ya.. ini sudah, kata Darmin sambil
membawa secangkir teh hangat, dan sepiring tempe goreng."
"Kok
pakai tempe, pak Darmin ?"
"Tempe ini bisa menghilangkan rasa
pahit bu. Kalau cuma minuman manis saja tidak cukup." kata Darmin.
"Benar bu, cobalah," kata mbah
Kliwon.
Bu
Sumini meneguk secangkir teh, lalu mengambil sebuah tempe, dikunyahnya perlahan.
"Iya benar, pahitnya sudah hilang."
"Syukurlah bu, semoga jamu itu ada
manfa'atnya bagi kesehatan ibu."
"Perutku terasa dingin."
"Bagus bu."
"Dan aneh, tiba-tiba aku merasa
lapar."
Pak
Darmin tertawa.
"Kalau itu bukan karena jamu bu, memang
sa'atnya makan siang."
Tiba-tiba Sri datang, bersama Mery dengan
membawa beberapa rantang.
"Ibu,
ibu sudah makan ?"
"Belum, baru saja ibu bilang kalau ibu
merasa lapar," kata bu Sumini tersipu.
"Ini bu, Sri bawakan nasi dan lauk pauk.
Yu Marni yang membawakan. Biar aku tata dulu dibelakang."
Siang
itu dengan tak terduga, bu Sumini makan dengan lahap.
"Enakkah bu?" tanya Mery terharu
melihat ibunya makan dengan nikmat."
"Enak, ada sayur, ada ikan. Ibu harus
kuat kan?"
"Bagus bu, Mery senang. Makan yang
banyak ya bu, biar ibu sehat, bukankah besok kita mau jalan-jalan?"
"Iya..
aku suka. Aku tadi sudah minum jamu dari pak Kliwon, enak perutku, lalu terasa
lapar."
"Oh, ibu minum jamu? Pahitkah?"
"Nggak, pahitpun yang namanya jamu itu
pasti enak buat ibu."
Mery hanya mengangguk dan tersenyum. Senang
melihat ibunya tampak bersemangat.
***
Namun malam itu bu Sumini merasa perutnya
melilit sakit. Ia tidur dikamar bersama Mery, karena besok pagi mau mengajak
ibunya jalan-jalan.
Ia mencari obat gosok dari dalam tasnya, lalu
digosoknya perutnya sambil meringis kesakitan.
Tiba-tiba
bu Sumini merasakan sesuatu. Ia harus kekamar mandi. Bergegas dia kekamar mandi
sambil berjingkat, agar tak membangunkan anaknya.
Namun tak lama setelah bu Sumini keluar, Mery
membuka matanya. Dilihatnya ibunya tak ada, lalu disusulnya keluar. Pasti
ibunya di kamar mandi.
Terdengar
suara deburan air berkali-kali, lalu terdengar keluh bu Sumini perlahan.
Mery terkesiap. Keluhan itu seperti suara
orang menahan rasa sakit.
Ia
mendorong pintu, yang ternyata tidak terkunci. Dilihatnya bu Sumini bersandar
pada bak air, tangannya mengguyur berkali-kali. Mata Mery melihat sesuatu
berwarna hitam pekat, sebagian masih membasahi kaki ibunya.
"Ibu
!! " Mery berteriak.
"Aku.. tidak apa-apa..." kata bu
Sumini lemah.
"Apa ini bu? Apakah ini akibat dari ibu
minum jamu mbah Kliwon ?" teriak Mery dengan marah.
***
besok lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar