Minggu, 12 Juli 2020

Cintaku Diantara Mega 01-02


*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  01*
(Tien Kumalasari)

Mery sibuk di warungnya, warung yang dirintisnya sejak lima tahun lalu, dan selalu ramai pembeli. WARUNG TIMLO MBAK MERY,  terkenal karena citarasanya yang berbeda dan bikin ketagihan, kata para langganan. Mery sudah bisa beli mobil sendiri, biarpun bekas tapi masih bagus, tapi dia masih menumpang dirumah Timan, suami Sri, sahabatnya. Ia menyewa sebuah tempat didekat pasar untuk membuka warungnya.

Mery sedang melongok keluar setelah mengawasi pegawainya yang sedang menata pesanan, ketika tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang sudah selesai makan, lalu berdiri dan melangkah keluar. Mery tak sempat melihat wajahnya karena sejak datang dia duduk menghadap kejalan. Ia hanya menatap pungungnya yang tampak tegap, dan mengingatkannya akan seseorang.

Seseorang, yang pernah dicintainya, yang kemudian dilupakannya karena perilakunya yang membuatnya kecewa.

"Pasti bukan dia, mana mau orang berduit makan diwarung seperti ini," gumamnya.
"Siapa bu? Ibu kenal?" tanya Mini, salah seorang pembantunya.
"Ah, tidak, bukan siapa-siapa."

"Bapak yang barusan keluar itu sangat royal. Kembalian limapuluh lebih  tidak diminta, diberikan kepada pelayan," kata Mini lagi.
"Oh ya, baguslah. Berarti dia baik hati."
"Baik hati dan banyak duit."

Mery mengangguk dan tersenyum. Apakah dia? Ah, Mery benci akan ingatan itu. Bukankah dia tidak pernah mencintainya? Yang dilakukannya hanyalah kobaran nafsu. Pelampiasan yang sebenarnya adalah pamrih. Pamrih ingin menguasainya, dan membantunya melakukan apa yang diinginkannya.

"Bu, ada yang ingin bertemu ibu," kata salah seorang karyawan ketika mendekatinya.
"Siapa?"
"Itu, biasa, yang suka memakai mobil merah," kata karyawan itu penuh arti.
"Aduh, bilang saja aku tidak ada di warung."
"Ibu gimana, saya sudah bilang bahwa ibu ada."
"Hm.. kamu itu," gerutu Mery sambil berdiri. Bagaimanapun ia tak ingin mengecewakan langganan, dan laki-laki muda bermobil merah itu adalah langganan tetapnya. Setiap sa'at makan siang pasti dia datang dan makan di warungnya.

Mery melangkah keluar, mendekati meja dimana  laki-laki muda itu menunggunya sambil tersenyum-senyum.
"Hm, masih anak-anak, apa sih maunya selalu minta ditemani setiap kali makan?" batin Mery sambil mendekat, lalu duduk didepan anak muda itu.
"Hallo, mbak cantik... "
"Iih, apa sih kamu, setiap kali makan pasti manggil-mangil aku."
"Iya nih, nggak enak kalau makan nggak ditungguin mbak."
"Manja."

Laki-laki muda itu tertawa, dan sesungguhnya tawa itu manis sekali. Mery memalingkan wajahnya agar tidak tenggelam dalam pemandangan didepan matanya yang selalu mampu mengaduk-aduk hatinya. Bukannya Mery tak suka, tapi Mery merasa sudah terlalu tua untuk laki-laki ganteng didepannya. Cintanya bukan disitu, tapi terselip diantara mega, entah kemana angin akan membawanya.

"mBak Mery tau nggak, masakan mbak itu enak sekali."
"Terimakasih..."
"Kok terimakasih sih?"
"Lha aku suruh jawab apa, dipuji ya bilang terimakasih."
"Senyum dong.."
"Eh, kamu itu anak kecil sukanya nggodain orang tua ya."
"mBak Mery kok selalu bilang kalau aku anak kecil sih, aku tuh sudah jadi sarjana bertahun lalu lho."
"Iya, lalu kenapa? Menurut aku, kamu itu tetap saja seperti anak kecil, manja dan..."
"Dan menggemaskan..."  potong anak muda itu.
Mery mencibir.

"Iih, mbak Mery kalau mencibir tambah cantik lho."
"Kamu itu maunya makan apa ngoceh sih.. dari tadi ngomong melulu.."
"Iya, aku kan sudah makan, maunya pelan-pelan, so'alnya kalau cepet habis mbak Mery pasti segera mengusir aku."
"Aku tuh ya, pekerjaanku banyak dibelakang."
"Bos kok bekerja sih, bos itu ya tinggal perintah.. komando.. "
"Enak aja.. "
"Aku sebenarnya lagi sedih nih mbak.."
"Kenapa?"

"Aku tuh kan kerja disuatu perusahaan, bosku itu perempuan.. eh.. dia ngejar-ngejar aku terus mbak, aku bingung."
"Ya baguslah, bekerja belum lama sudah disukai bos."
"Aku nggak suka mbak."
"Apa dia tidak cantik?"
"Terlalu cantik, seperti boneka barby.."
"Bagus itu.. mana ada laki-laki disukai wanita cantik kok malah sedih."

"Namanya nggak suka mbak, dandanannya itu lho, aduuh... nggak.. nggak.. aku lebih suka gadis yang sederhana, tidak banyak tingkah... seperti mbak Mery ini."
"Bagas.. kamu itu sudah berapa kali bilang begitu?"
"Dan sudah berapa kali mbak Mery menolaknya?"
"Aku itu sudah terlalu tua untuk kamu Bagas., sadari itu. Kamu akan menyesal nanti."
"Nggak, mana mungkin aku menyesal kepada pilihanku sendiri?"
"Kamu belum tau siapa aku."
"Aku sudah tau.."
"Beluuuum..."
"mBak Mery kok gitu."

"Sudah, habiskan makanannya.. ini sudah jam satu lebih, nanti kalau terlambat kembali ke kantor bisa ditegor sama bosmu."
"Aku mau resign saja."
"Lhoh.. bekerja belum lama kok mau resign."
"Mau jadi pegawainya mbak Mery saja, biar bisa ketemu setiap sa'at."

Aduuh, Mery benaar-benar mengeluh menghadapi Bagas yang nekat. Iya sih, Mery memang cantik. Tubuhnya padat berisi, tinggi semampai. Hidung mancung, mata bulat dan bibir tipis yang selalu mengulaskan senyum, membuat banyak lelaki tergoda. Namun Mery tak pernah menanggapinya. Dia selalu merasa tua, dan tak pantas jatuh cinta, padahal umurnya baru tigapuluhan lebih. Ada cinta yang digenggamnya dan tak pernah lepas dari angannya. 

"mBak, aku benar-benar bingung nih .."
"Kamu itu laki-laki, kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka, beres kan."
"Susah, dia nempel terus kayak perangko."
"Enak dong ditempel bos cantik."
"Aku benar-benar mau resign, ini bulan terakhir. Mau cari pekerjaan lain saja."
"Ya sudah, pilih yang terbaik, tapi pikirkan masak-masak sebelum bertindak."
***

"Bagas.. kok baru kembali? Kamu makan dimana sih, tadi aku ajak makan siang bersama nggak mau", kata Kristin sang bos cantik, sambil cemberut. 

Bagas memalingkan muka. Wajah cantik menawan itu sesungguhnya tetap saja cantik walau cemberut, tapi Bagas tak pernah menanggapinya. 
"Ma'af mbak, terlanjur kencan sama teman."
"Perempuan?"
"Mmm.. ya..," tiba-tiba Bagas ingin memanas-manasi Kristin.
"Oouww... pacar?"
"Hm..emh... " kata Bagas sambil duduk didepan meja kerjanya.

Kristin mengejarnya lalu duduk dihadapan Bagas. Menatapnya tak berkedip.
"Kamu sudah punya pacar, Bagas?"
"Ah, sudahlah mbak, saya boleh melanjutkan pekerjaan saya ?"

"Aku tidak peecaya. mana berani kamu pacaran? Tapi itu sebabnya aku suka kamu. Polos dan tidak neko-neko." kata Kristin sambil membalikkan tubuh, kembali ke meja kerjanya. Bagas sedikit kesal, mengapa dia ditempatkan satu ruang dengan wanita cantik tapi tampak ganas ini.

"Besok kamu akan bertugas bertemu klient di rumah makan... mm.. aku lupa dimana, nanti aku lihat dicatatanku. Jam sebelas siang."
"Ya.." jawab Bagas singkat, kemudian menekuni lagi pekerjaannya.

*** 

Bagas duduk diruang tengah rumahnya sambil melihat televisi, tapi ia seperti tak menikmati acara yang terpampang didepannya. Ia merasa tersesat telah masuk kedalam perusahaan yang dipimpin seorang gadis genit dan pesolek. Padahal tanpa bersolekpun harusnya dia sudah cantik. Kesalnya lagi dia selalu ingin mendekatinya.
"Bagas, " tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil.

Bagas hanya hidup bersama ayahnya. Ibunya meninggal sejak dia masih bayi, dan setelah itu ayahnya tak mau menikah lagi. Dia membesarkan sendiri anaknya, dibantu oleh pembantunya yang setia, mbok Sumi.
"Bagas.."  pak Darmono, ayahnya mengulangi panggilannya karena Bagas tak segera beranjak.

Bagas berdiri dan berjalan mendekati ayahnya, yang rupanya sudah duduk didepan meja makan.
"Ya  bapak.."
"Kamu tidak lapar?"
"Iya.. lapar bapak."
"Duduk dan mari kita makan, simbok masak enak hari ini."
"Iya bapak."
"Bagaimana pekerjaan kamu?"
"Baik, tapi Bagas kurang suka."

"Apa yang membuat kamu tidak suka? Memang orang bekerja itu banyak tidak enaknya, minimal diperintah oleh atasan. Ya kan?" kata pak Darmono sambil menyendok nasinya.
"Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Lingkungan kerjanya, teman sekerjanya.."
"Bukankah nak Kristin itu gadis yang sangat cantik. Katanya kamu satu ruang dengan dia."
"Bagas tidak suka. Mengapa dulu bapak menyuruh Bagas melamar kesitu?"
"Karena bapak kenal sama pemiliknya, Bapaknya Kristin itu kan teman sekolah bapak."
"Oh, jadi Bagas diterima karena bapaknya Kristin itu teman bapak?"
"Memangnya kenapa? Cari pekerjaan itu susah, kalau kita tidak kenal sama orang dalam, tidak mudah mendapat pekerjaan itu."

Bagas terdiam, pura-pura menikmati makanan yang disuguhkan simbok. Bapaknya tak pernah memberitau tentang kedekatannya dengan pak Suryo.
"Simbok selalu masak enak, ya kan?"
"Bagas mau resign saja pak."
Pak Darmono menghentikan suapan yang hampir masuk kemulutnya.
"Apa maksudmu ?"
"Mau cari pekerjaan lain saja pak."

"Jangan seenaknya kamu. Bapak jadi nggak enak sama pak Suryo dong. Susah-susah bapak minta supaya kamu diterima, baru sebulan saja kamu sudah mau resign. Memangnya mudah cari pekerjaan itu?"
Bagas diam. Ia tak mengira bahwa ayahnya terikat dengan budi baik yang diberikan pak Suryo, ayahnya Kristin.
"Pertahankan dulu, jangan tergesa-gesa resign. Nggak enak sama pak Suryo aku .."
***

Mery memasuki rumah Timan ketika hari sudah malam. Warungnya buka sekitar jam sebelas, dan tutup sore hari sekitar jam empat. Selama ini dia masih menumpang dirumah Timan, karena Sri sahabatnya memintanya begitu. 

"Kok baru pulang mbak?" sapa Sri begitu Mery masuk kerumah.
"Tadi banyak bahan bumbu yang habis, aku belanja dulu."
"Oh, pantesan."
"Aku mandi dulu, aku belanja sekalian untuk kamu memasak besok pagi," kata Mery sambil mengulurkan bungkusan belanjaan.
"mBak Mery selalu begitu deh, kan mas Timan itu kerjanya di pasar, bisa aku titipin belanja kalau aku butuh."
"Kasihan mas Timan dong, dia bekerja, melayani pembeli, masih disuruh belanja juga. Sudah, jangan rewel. Kalau ada yang kurang bilang saja," kata Mery langsung masuk kekamarnya, kemudian mandi.

Sri membawa bungkusan kearah dapur. Dilihatnya suaminya sedang menggendong Tiwi dari kamar. Tiwi itu anaknya Sri, yang sudah berumur tiga tahun.
"Kok sudah bangun?"
"Minta minum, katanya."
"Oh, sayang.. sini sama ibu."
Sri meraih Tiwi dari gendongan suaminya.
"Tadi seperti mendengar suara mbak Mery. Baru pulang dia?"
"Iya, tuh.. belanja macam-macam buat aku masak besok."
"Selalu mbak Mery begitu. Padahal dia makan hanya pagi sama malamnya saja."
"Iya tuh, aku sudah melarangnya lho."
"Ibu... minum..." rengek Tiwi.
"Oh.. iya.. iya.. yuk.. ibu buatkan dibelakang ya."
Timan mengacak rambut Tiwi sebelum isterinya menggendongnya kebelakang. 
***

Malam itu setelah Tiwi tidur, Timan dan isterinya serta Mery duduk diruang tengah. Biasanya begitu, sebelum ngantuk mereka pasti berbincang, sambil menonton televisi, atau bercanda tentang apa saja. Mereka memang  keluarga yang bahagia.

"mBak, yang suka nemuin mbak di warung itu masih suka kesana?" tanya Sri tiba-tiba.
"Yang mana sih?"
"Itu, yang mbak bilang pakai mobil merah."
"Oh, dia.. memang tiap hari dia kesana."
"Tampaknya dia jatuh cinta sama mbak."
"Aku tuh ingin tertawa kalau ingat sikap dia. Aku kan sudah tua, masa harus bercintaan sama anak-anak begitu."
"Masa sih anak-anak?"
"Iya, umurnya paling duapuluh tiga atau duapuluh lima begitu, sedangkan aku? Sudah tua  nih, rambutku sudah ada ubannya."
"Uban itu bukan berarti tua, ada lho, masih muda sudah ubanan.."
"Aku merasa nggak pantas lagi. Pokoknya nggak akan memikirkan cinta, yang penting cari duit dulu. Supaya aku bisa beli rumah, dan tidak bikin repot kamu terus."
"Eeh.. siapa yang repot, aku malah suka kalau mbak Mery ada disini. Ya kan mas?" kata Sri kepada suaminya yang asyik melihat berita.
"Apa?"
"Huh, dia tuh kalau orang lagi ngomong nggak pernah merhatiin deh." 

"Oh, iya.. aku mau bilang jadi lupa.. tadi tuh aku ketemu dia.."
"Dia siapa?"
"Siapa namanya, lupa aku.. mm.. yang menculik kamu itu lho Sri.."
"Yang menculik Sri itu aku kan mas Timan?" potong Mery.
"Bukan itu..aduh.. mm... Basuki... "
Mery terkejut.

"Benar aku melihat sedang berjalan di pertokoan."
"Mas berhenti dan bicara sama dia?"
"Ya enggak, aku sudah pengin segera sampai rumah ketemu Tiwi.. lagipula kalau bicara mau bicara apa?"
"Jadi dia sudah keluar dari penjara?"
"Sudah lah.. kalau belum masa bisa jalan-jalan."

Mery diam. Ia teringat punggung laki-laki tinggi besar yang keluar dari warungnya. Benarkah dia? Taukah dia bahwa dia ada diwarung itu?
Tiba-tiba ponsel Mery berdering.
"Tuh mbak.. ada yang menelpon."
"Siapa malam-malam begini?"
"Terima saja mbak, siapa tau orang mau pesan  makanan dari warung mbak Mery."
"Selamat malam," sapa Mery.
"Malam, ini warung Timlo mbak Mery?"
"Benar. Ma'af ini siapa ya?" 
"Bisakah saya memesan makanan untuk besok siang?"
"Aduh, mengapa mendadak?"

"Iya, majikan kami ada tamu mendadak besok siang, tidak banyak, hanya kira-kira sepuluh porsi untuk makan siang, dengan sayur timlo dan lauk-pauknya."
"Tidak bisa mas, kalau pesan harus dua hari sebelumnya."
"Tapi ini sangat mendadak mbak, majikan saya bersedia membayar dua kali atau tiga kali lipat, yang penting tamunya tidak kecewa."
"Aduh... gimana nih, pesanan mendadak besok siang, penting katanya," kata Mery sambil menatap Sri.
"Diterima saja mbak, besok aku bantuin, sayang rejeki ditolak," kata Sri lirih.
"Baiklah kalau begitu."
"Bisa dikirim kan, nanti saya beritaukan alamatnya."
***
besok lagi ya



*CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  02*

 

"Wah.. pesan mendadak begini kalau jadi keterusan bisa repot aku.." gumam Mery.

"Nggak apa-apa mbak, kan cuma tamu sepuluh.. aku bantu, masak dirumah saja, bukankah  untuk makan siang?"

 

"Iya sih.. tapi harus diingatkan nih orang, kali ini sepuluh.. lain kali limapuluh, apa nggak repot.. Eh tunggu, nih kirim alamat..  ooh.. alamat kantor.. diminta jam duabelas.. timlo dan kelengkapannya dilengkapi lauk pauk, plus buah dan.. oh.. ada makanan lain dari catering lain juga rupanya...  Yaah, buahnya minta mas Timan saja.. "

 

"Baru datang jeruk sama semangka mbak.. seger itu.."

"Hm... ini pemaksaan, tapi ya sudah.. aku sudah bilang sanggup."

"Iya mbak, besok aku yang masak deh.. "

"Tiwi bagaimana ?"

"Tiwi sudah besar, nggak nakal kok.. asalkan dia kenyang, dikasih mainan.. beres."

 

"Aku akan belanja pagi-pagi. Biarpun pesen hanya sepuluh porsi, tapi ini langganan baru, jangan sampai mengecewakan."

"Bener mbak.. siapa tau nanti bisa menjadi langganan.."

 

“Besok jam sebelas aku juga bisa pulang dulu, supaya bisa ikut membantu mengantarkan pesanan," kata Timan menimpali.

 

"Tidak usah mas, cuma sedikit, mobilku saja cukup, nanti aku minta salah seorang karyawan membantu menurunkan dan mengatur disana, katanya untuk prasmanan." 

"Ya sudah, tapi kalau butuh bantuan jangan sungkan lho mbak."

"Iya mas.. "

 

***

 

"Tilpun siapa malam-malam?" tanya pak Darmono.

"Dari Kristin, besok ada tamu, katanya mau ketemuan direstoran.. tapi akhirnya minta di kantor saja. Kristin ribut nyuruh anak buahnya memesan masakan, salah satunya Bagas usul timlo."

 

"Oh, enak itu timlo, dimakan anget-anget gitu. Jadi ingat, besok simbok tak suruh masak timlo saja."

"Nggak usah pak, besok Bagas saja yang belikan. Ada warung timlo langganan Bagas yang gini pak," kata Bagas sambil mengacungkan jempolnya.

 

"Oh ya, ya sudah nggak apa-apa, tapi kamu kan ada acara di kantor, nanti bapak harus nunggu sampai jam berapa?"

"Akan Bagas suruh kirim kerumah, pokoknya bapak tenang saja."

"Baiklah kalau begitu, makan siangnya nunggu kiriman saja."

Bagas membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat.

 

"Beres bapak, besok pasti dikirim kerumah."

"Itu yang kamu pesan untuk kantor kamu juga?"

"Iya, bukan Bagas yang pesan, Bagas suruh orang kantor yang pesan. Tapi itu langganan Bagas, dan dijamin tidak mengecewakan.

 

"Ya sudah, kamu baik-baik ya kerjanya, jangan berfikir untuk resign, pekerjaan itu harus ditekuni.  Pada awalnya mungkin terasa tidak enak, tapi lama-lama kamu akan terbiasa dan bisa menjalaninya dengan baik."

 

Bagas tak menjawab. Yang membuat tidak kerasan bukan pekerjaannya, tapi ia  tak ingin berdebat dengan ayahnya. Ia bertekat akan mencari pekerjaan baru dulu, baru resign dan baru akan bilang pada ayahnya.

 

***

 

Mery sudah selesai menata makanan yang dipesan dimeja yang sudah ditunjukkan. Ia juga sudah menerima pembayaran, dua kali lipat dari harga yang ditulisnya dinota. Tidak apa-apa, itu sudah dijanjikan ketika pesan, dan memang harganya berbeda karena pesannya sangat mendadak. Sekarang ada satu pesanan lagi kesebuah rumah. Ia tidak tau kalau pesanan itu untuk ayahnya Bagas.

 

Mery hampir menaiki mobilnya ketika sebuah suara mengejutkannya.

"Hallo, mbak cantik.."

"Ya ampuun... Bagas?"

"Iya, aku yang menyuruh pesan ketempat mbak Mery. "

"Kamu bekerja disini ?"

"Iya, syukurlah mbak Mery mengirim lebih awal. Sebentar lagi tamu kami datang."

"Terimakasih , semoga tidak mengecewakan."

 

"Tidaklah, aku percaya sama mbakku yang cantik ini."

"Ya sudah, aku pamit dulu... sekali lagi terimakasih ya."

"Nanti dulu, kenapa buru-buru?"

"Bagas, aku kan harus ke warung? Ini juga masih mampir ada lagi satu pesanan untuk rumah, nggak apa-apa, walau cuma dua porsi, sekalian jalan so'alnya."

 

"Bagas !!" suara teriakan itu membuat Bagas menoleh, dilihatnya Kristin melambaikan tangannya dari arah depan kantor."

"Hm, lihat tuh.. bos sudah ribut baru ditinggal sebentar saja."

"Oh.. itu.. cantik dan sexy..  seneng dong."

"Hihh, mbak Mery kan sudah tau aku nggak suka sama dia."

 

"Bagaaas !" Kristin berteriak lagi.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya.."

"Aku nanti kesana mbak !" 

 

Mery menaiki mobilnya dan berlalu, Bagas menatapnya sampai mobil itu hilang dibalik pagar kantornya.

Baru kemudian Bagas membalikkan tubuhnya mendekati Kristin.

 

"Kamu kenal sama dia?"

"Ya kenal, kan dia yang punya warung timlo. Barusan dia menata diruang makan."

"Cantik, masih muda."

"Iya, cantik." kata Bagas sambil tersenyum senang, lalu berjalan masuk beriringan dengan sang bos cantik.

 

"Kalau pemilik warung wajahnya cantik, pasti warungnya ramai didatangi banyak orang," kata Kristin sambil berjalan kearah ruang kantornya.

"Nggak juga. yang penting bukan wajahnya, tapi masakannya. Disana memang enak, sekali-sekali mbak boleh mencoba."

"Makan diwarung ?" kata Kristin sambil menyipitkan matanya. Bagi pengusaha kaya, makan diwarung sungguh memalukan.

 

"Memangnya kenapa?"

"Nggak pernah terpikirkan aku makan diwarung."

"Iya, mbak seringnya makan direstoran mewah.." kata Bagas sambil terus berjalan kearah belakang. Dia ingin melihat sekali lagi tatanan diruang makan, karena tak lama lagi tamu-tamunya datang, lalu meeting setelahnya.

 

***

 

"Selamat siang," Mery mengucapkan salam begitu sampai didepan pintu  rumah keluarga Darmono. 

Seorang perempuan setengah tua keluar.

 

"Ya.. selamat siang," sapa mbok Sumi.

"Mau mengantarkan pesanan," kata Mery, lalu pembantunya menyerahkan rantang berisi timlo dan lauk pauk.

"Oh baiklah."

"Ini ibu?" tanya Mery yang mengira mbok Sumi pemilik rumah. Maklum, simbok ini  tampak bersih dan berpakaian rapi.

Simbok menutup mulutnya dan tertawa.

 

"Bukan, ibu sudah duapuluh tahun lebih meninggal. Saya ini pembantu mbak."

"Oh, ma'af."

"Oh, ini timlo?" kata pak Darmono yang tiba-tiba muncul.

"Iya pak."

"Bawa kebelakang mbok, aku sudah menunggu dari tadi."

Simbok membawa rantang itu kebelakang.

 

"Berapa saya harus bayar?"

"Nanti mau dibayar di warung, kata yang pesan."

"Oh, anak saya Bagas pastinya. Terimakasih banyak."

 

Mery tertegun. Jadi yang pesan Bagas? Dan ini orang tua Bagas. Keterlaluan anak itu, tidak mau berterus terang kalau ini untuk bapaknya, kata Mery dalam hati.

 

Ketika dalam perjalanan ke warung Mery terus berfikir tentang Bagas. Ia sangat suka pada Mery. Padahal dia jauh lebih muda dari Mery. Dan berkali-kali diingatkan tentang usia, Bagas tak mau peduli. Tapi Mery menganggapnya itu seperti sebuah permainan.

 

Apakah karena Bagas tak lagi mempunyai ibu sehingga menyukai seorang gadis yang lebih tua darinya? Itu bisa saja terjadi. Bagas hanya ingin  menemukan sosok seorang ibu. Pantaslah kalau dia selalu manja setiap kali ada didepannya. Rasa kasihan kemudian menghinggapi perasaan Mery. Sudah duapuluh tahun lebih ibunya meninggal dan kasih sayang seorang ibu tak pernah didapatkannya.

 

***

 

Setelah acara makan siang itu hampir semua tamu yang datang memuji timlo yang disajikan. Bahkan beberapa tamu minta nomor kontaknya, yang dengan senang hati Bagas memberikannya.

Pertemuan itu baru berakhir setelah jam tiga. 

 

Bagas sedang bersiap untuk pulang ketika tiba-tiba Kristin mendekatinya.

"Bagas, nanti aku pulangnya ikut kamu ya."

"Memangnya mobil mbak Kristin kemana ?"

"Agak rewel, tadi aku suruh membawa ke bengkel."

"Tapi aku ada perlu.. nanti mbak kelamaan."

"Tidak, kemanapun kamu mau pergi, aku ikut."

 

Bagas merasa tidak enak, padahal dia janji mau mampir ke warungnya mbak Mery. Bagaimana kalau keburu tutup? Tapi sebenarnya Bagas kesal. Kalau Kristin mau, dia bisa saja meminta agar ayahnya menyuruh menjemput. Ada beberapa sopir perusahaan juga. Tampaknya memang Kristin ingin pulang bareng dirinya.

 

"Nggak apa-apa kan Gas?"

"Baiklah, aku antar mbak Kristin dulu saja."

"Terimakasih Bagas.." Kristin tampak gembira.

 

Kristin membenahi meja kerjanya, ketika telpon dimejanya berdering.

"Hallo.."

"Kris.. papa dengar mobil kamu dibengkel?" suara pak Suryo dari seberang.

"Iya pa.. sudah tadi siang, tampaknya belum siap juga."

"Biar papa suruhan menjemput kamu."

"Tidak pa, tidak usah dijemput, Kristin mau bareng Bagas saja."

"Kamu merepotkan orang."

"Tidak pa, Bagas mau kok."

 

Bagas yang mendengar Kristin menolak dijemput jadi bertambah kesal. Wajahnya muram ketika ia mulai mengangkat tas kerjanya dan bersiap keluar dari ruangannya.

"Eit.. sudah dulu pa, Bagas sudah menunggu."

 

Kristin menutup telponnya dan bergegas menyusul Bagas yang sudah membuka pintu ruangan. Dengan santai Kristin melingkarkan tangannya dilengan Bagas, tapi dengan halus Bagas melepaskannya.

 

"Bagas kok gitu.." rengut Kristin.

"Nggak enak dilihat karyawan lain. Nanti dikira kita ada apa-apa."

"Memangnya kenapa kalau ada apa-apa?"

"Jangan begitu mbak, aku jadi nggak enak..," kata Bagas yang melangkah lebih cepat, membuat Kristin sedikit tertinggal karena sepatu dengan hak tinggi membuatnya tak bisa berjalan cepat.

 

"Bagaas, tungguiin..."

Bagas tak mengacuhkannya, ia bahkan mengambil ponselnya, berlagak sedang menelpon seseorang.

"Bagas.." agak tersengal Kristin mengejarnya.

***

 

Perempatan didepan itu belok kiri, dan sampailah dirumah Kristin, tapi tiba-tiba Kristin berteriak.

"Aduh Gas, ada yang lupa..."

Bagas menoleh kearah Kristin.

"Kunci ketinggalan di kantor."

"Apa?"

"Kunci rumah Gas, aku nggak bisa masuk dong."

 

Kristin memang tinggal berpisah dengan orang tuanya. Ia tinggal dirumah mungil tapi indah agar bisa belajar hidup mandiri. Ayahnya yang menyuruh. Hanya ada pembantu yang datang pagi dan pulang ketika sore harinya.

 

"Apa maksud mbak? Kita harus kembali ke kantor lagi?"

"Iya Gas, tolonglah.. please..please...jam segini pasti pembantuku sudah pulang, dia membawa kunci sendiri." kata Kristin sambil merangkapkan kedua tangannya.

 

Bagas benar-benar kesal, wajahnya gelap seperti langit tertutup mendung. Seandainya Kristin bukan atasannya pasti dia sudah menurunkannya dijalan.

 

"Tadi ketika mau pulang papa menelpon, dan kamu sudah mau keluar ruang, aku tergesa-gesa dan kunci tertinggal dimeja."

"Mengapa kunci rumah bisa tertinggal dimeja kantor?" sesal Bagas, agak ketus.

"Iya, soalnya kan jadi satu dengan kunci laci mejaku."

 

Bagas terpaksa memutar mobilnya untuk kembali. Jarak ke kantor sekitar tiga kilometer, dan mereka terpaksa kembali.

Kristin tersenyum senang, tak peduli pada wajah Bagas yang gelap dan mengemudikan mobil dengan kencang.

 

"Wouww.. kamu jagoan  ngebut juga ya Gas, hebat, aku suka. Tapi hati-hati, jalanan rame, aku sih suka kalau kita mati berdua," kata Kristin seenaknya.

Bagas tak menjawab. Ia hanya teringat mbak Mery. Ia akan menyesal kalau nanti sesampai disana lalu warungnya sudah tutup. 

 

Begitu sampai di kantor Bagas hanya menunggu diluar. Tak sabar Bagas menelpon mbak Mery.

"Hallo mbak.."

"Hallo, ini siapa ya?" jawab Mery, dia tak tau nomor kontak Bagas karena tak pernah menanyakannya. Itu pula sebabnya ketika Bagas mengirim pesan singkat agar mengirim timlo untuk ayahnya dia juga nggak tau bahwa itu orang tua Bagas.

 

"Masa nggak ingat suaraku sih?"

"Bagas ya? Ada apa?"

"Sudah tutupkah ?"

"Hampir, ini lagi siap-siap."

"Aduuh, tungguin aku dong."

"Kamu itu ngapain, daganganku sudah habis."

"Nggak apa-apa, cuma pengin ketemu mbak Mery saja."

"Bagas, jangan seperti anak kecil."

"Tuh kan, pasti bilang begitu deh."

"Kamu juga nggak bilang kalau yang harus dikirim kerumah itu untuk ayah kamu."

 

Bagas tertawa.

"Kejutan, biar mbak Mery kenal sama calon mertua," kata Bagas seenaknya.

"Bagas!!"  kata Mery setengah berteriak mendengar Bagas menyebut bahwa ayahnya adalah calon mertuanya.

 

Tiba-tiba pintu mobil dibuka, dan Kristin sudah duduk disampingnya.

"Sudah selesai, ayuk.."

"Ya sudah, aku kesitu besok saja..."

 

Bagas menutup ponselnya dan menjalankan mobilnya. Wajah yang ketika mengangkat ponsel tampak cerah, kembali muram begitu Kristin duduk disampingnya.

"Menelpon siapa?"

"Ada..." jawab Bagas.

Lalu Bagas kembali memacu mobilnya. Ia harus segera melemparkan sang bos cantik kerumahnya.

 

Begitu sampai dirumah, Bagas segera meminta Kristin untuk turun, karena dilihatnya gadis itu belum juga bergerak untuk membuka pintu untuk keluar.

 

"Kita sudah sampai kan?" kata Bagas tanpa memandang kearah samping.

"Ya, ada lagi satu permintaan, maukah besok pagi nyamperin aku sa'at berangkat ke kantor?"

 

Bagas terkejut. Rumahnya tidak searah, mengapa harus nyamperin? Tapi harus ada cara untuk menolak, dan Bagas menemukannya.

"Ma'af mbak, besok aku tidak naik mobil."

"Kenapa? "

"Mobilnya mau dipakai bapak."

 

Kristin terdiam. Tapi kata-kata berikutnya justru membuat Bagas lebih kesal lagi.

"Kalau begitu besok aku saja yang nyamperin kamu, aku mau pinjam mobil papa saja." kata Kristin sambil turun, tanpa memberi kesempatan kepada Bagas untuk menolaknya.

 

Bagas memukul setir mobilnya dengan keras, sebelum kemudian memacunya pulang.

"Gadis gila!" umpatnya.

 

***

 

Hari masih pagi ketika Bagas meminta ayahnya menemani jalan-jalan pagi. Bukan jalan sih, karena mereka mengendarai mobil juga. Bagas ingin menghindari Kristin kalau sampai benar-benar nyamperin kerumah ketika berangkat kerja.

 

"Kemana kita Gas?"

"Putar-putar kota pak, udara pagi itu segar kan?"

"Tumben. Biasanya kamu bangun siang, bahkan tidak pernah tau kalau papa setiap pagi jalan-jalan muter kampung sendiri."

"Iya ?"

"Kamu bangun siang, papa sebelum subuh sudah bangun."

Bagas tertawa.

 

"Bapak mau makan cabuk rambak ?"

"Haa.. itu makanan yang sudah lama bapak tidak makan. Mau dong."

"Baiklah, tapi nanti makannya duduk di tikar, sambil bersila, dan tempat makannya adalah pincuk."

"Bagas, bapak itu sejak masih muda sudah sering jajan ditempat begitu. Sudah tau kalau cabuk rambak enaknya dimakan diatas pincuk, lalu ada kerupuk karak yang sedikit gosong.."

"Iya, tapi kalau makan bersama Bagas ditempat begitu kan belum pernah?"

 

Bagas menghentikan mobilnya dijalan Coyudan. 

"Lho, itu sudah ada pembelinya. Penjualnya sudah tua, dulu aku sama ibumu suka jajan disitu," kata pak Darmono sambil keluar dari mobil.

 

Sudah ada seorang laki-laki duduk diatas tikar itu, yang kemudian mengangguk kearah mereka.

"Silahkan pak."

 

Tiba-tiba pak Darmono berteriak.

"Lho, kamu Basuki kan ?"

***

 

besok lagi ya

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar