Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew dalam sebuah pidatonya
beberapa tahun yang silam mengatakan bahwa Singapura bisa menjadi sebuah negara
yang maju dan unggul seperti saat ini adalah berkat sistem meritokrasi
pemerintahan yang diterapkannya. Singapura merupakan negara
metropolitan sempurna, yang semuanya tertata secara tertib, rapih, indah, aman,
dan nyaman.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pun
ketika menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan pembangunan Jakarta
meyatakan, “saya ini meritokrasi.” Ahok mengatakan memimpin ibukota
adalah kesempatannya untuk menunjukkan bahwa hasil kerja dan meritokrasi dapat
mengalahkan politik identitas. Berkat Ahok, kampung-kampung kumuh di
Jakarta nyaris tak ada lagi, pedagang-pedagang kaki lima mulai tak nampak di
jalanan, masyarakat miskin dipindahkan ke Rusunnawa, areal kosong disulap menjadi
wilayah taman yang indah dan rapi. Jakarta menjadi semakin tertib, rapih
dan indah.
Sistem Meritokrasi
Meritokrasi adalah tata kelola organisasi yang menjadikan
kemampuan (capability) sebagai tolok ukur utamanya. Dengan sistem
meritokrasi, penghargaan untuk menduduki sebuah jabatan diberikan hanya kepada
mereka yang mempunyai kemampuan dan prestasi tanpa memandang latar belakang
etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial, bahkan pula dari tingkat
pendidikan yang dicapainya.
Meritokrasi dianggap sebagai suatu sistem yang adil dengan
memberikan kedudukan atau jabatan kepada mereka yang berprestasi . Meritokrasi sering dipakai dalam penentangan terhadap
birokrasi yang sarat nepotisme dan primordialisme. Negara-negara maju di
Amerika dan Eropa, menjadikan meritokrasi sebagai salah satu kunci keunggulan
mereka.
Tetapi meritokrasi juga mendapat kritik sebagai bentuk
ketidakadilan terhadap mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk mendapatkan
tempat. Meritokrasi dituduh mengabaikan nilai luhur, budaya, tradisi, dan
keberadaan masyarakat pribumi hanya untuk mewujudkan ambisi kemajuan sebuah
negara. Meritokrasi hanya berpihak pada kalangan menengah keatas dan merugikan
kalangan bawah.
Meritokrasi mirip kapitalisme yang sama-sama menganut paham
liberal yaitu menjunjung tinggi kebebasan. Kalau kapitalisme merupakan paham
dalam bidang ekonomi, maka meritokrasi adalah paham dalam bidang politik.
Meritokrasi Lee Kuan Yew
Pada masa sebelum abad 19, Singapura merupakan bagian dari
kesultanan Johor Melayu, dan suku Melayu sebagai penduduk mayoritas. Tahun 1965
Singapura secara resmi merdeka, presiden pertamanya adalah Dr. Moh. Yusuf bin
Ishak dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara di Asia
Tenggara lainnya, Singapura merupakan negara berkembang yang masih miskin.
Selaku perdana menteri, Lee Kuan Yew mengendalikan pemerintahan
dengan menerapkan sistem meritokrasi. Roda pemerintahan berjalan dengan
sangat efektif sehingga dalam waktu singkat Singapura, yang secara geografis
berada dilokasi strategis di mulut Selat Malaka, mengalami kemajuan sang sangat
pesat. Pelabuhan Singapura menjadi salah satu dari lima pelabuhan
tersibuk di dunia.
Karena ras Tionghoa dominan dalam bidang ekonomi dan pendidikan,
maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa menguasai bidang ekonomi maupun
pemerintahan. Sebaliknya ras Melayu semakin pudar perannya.
Tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa
dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah. Bahasa yang diwajibkan pemerintah
disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin. Bahasa Melayu
menjadi bahasa nasional karena alasan simbolis dan historis, dan secara umum
hanya dipergunakan oleh masyarakat Melayu Singapura. Bahasa Melayu digunakan
pada lagu kebangsaan “Majulah Singapura” dan cetakan koin. Tetapi, sekitar 85%
warga Singapura tidak paham bahasa Melayu.
Untuk memperluas wilayah daratannya, Singapura mereklamasi laut
dengan tanah yang diperoleh dari negara tetangga. Pemerintah juga
menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak
mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih
mampu, yaitu etnis Tionghoa. Dengan demikian, ras Melayu semakin
terpojok.
Berkat meritokrasi Lee Kuan Yew, kini Singapura menjadi negara
metropolitan yang sangat maju dan modern. Bagi penduduk melayu Singapura
seperti negara baru, dan mereka merasa menjadi warga asing di negerinya. Semua
orang berbicara dengan bahasa Inggris dan Mandarin. Bahasa Melayu nyaris tak
terdengar lagi.
Meritokrasi Ahok.
Menurut sejarah, Nama Jakarta merupakan kependekan dari
Jayakarta yang artinya “kota kemenangan”, yang diberikan oleh Fatahillah
setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527. Nama
sebelumnya adalah Sunda Kelapa (sebelum 1527), sedangkan nama Batavia diberikan
oleh Belanda (1619-1942). Nama Jakarta kembali dipakai setelah kemerdekaan
1945. Suku Betawi adalah penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.
Pada tahun 1930, masyarakat Betawi menjadi penduduk mayoritas di
Batavia atau Jakarta (36,2%), selebihnya adalah Sunda (25,4%), Jawa (11,01%),
Tionghoa (5,53%), dan lain-lain. Saat itu Jakarta adalah kota yang masih belum
maju dan miskin, akibat banyak kekacauan politik. Pemerintahan dikelola dengan
sistem primordialisme.
Memasuki masa Orde Baru, Presiden Suharto menerapkan sistem
meritokrasi secara wajar. Para teknokrat dan ekonom lulusan Barat banyak
direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, menjadi
pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Tentu sistem ini diterapkan di
Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Namun sistem ini tidak bertahan lama karena
Soeharto mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal.
Demikian pula setelah orde reformasi, ternyata meritokrasi belum
benar-benar diterapkan. Pada masa kepemimpinan Gus Dur hingga SBY sistem
meritokrasi hanya dijalankan setengah-setengah. Gusdur banyak mengangkat
menteri dari kalangan Nahdliyin. SBY hanya menerapkan sistem meritokrasi pada
menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri,
menteri luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis,
ia banyak menyerahkan kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel.
Sebagai Wakil Gubernur, Ahok mendorong Jokowi selaku Gubernur
DKI Jakarta untuk menerapkan sistem meritokrasi dalam mengelola Jakarta, salah
satunya untuk jabatan publik. Tahap awal
adalah melakukan lelang jabatan dalam penempatan kepala camat dan lurah di
seluruh Jakarta. Muncullah nama Susan Jasmine yang diangkat sebagai
lurah di kelurahan Lenteng Agung yang mayoritas masyarakatnya beragama
Islam. Setelah menjadi gubernur, Ahok benar-benar menerapkan meritokrasi
secara total. Kepala-kepala dinas dan pembantu-pembantunya diangkat dan
diberhentikan sesuai penilaian Ahok berdasarkan kapabilitas dan loyalitas
kepada kebijakan-kebijakannya.
Dengan kejujuran, keterbukaan, keberanian, dan sikap kerasnya
menentang primordialisme dalam memimpin Jakarta, Ahok secara signifikan telah
berhasil mengubah Jakarta menjadi lebih baik. Ahok banyak mendapat pujian dan
dukungan dalam memimpin Jakarta, meski tidak sedikit pula yang menentangnya.
Meritokrasi Ahok nampaknya akan berhasil membawa Jakarta menjadi kota
metropolitan yang modern, tertib, indah, aman, dan nyaman seperti Singapura.
Meritokrasi Ala Malaysia
Malaysia adalah negara berkembang yang saat ini tengah mendekati
kategori sebagai negara maju. Meski demikian negara ini tetap tidak kehilangan
jati dirinya sebagai negara bangsa Melayu. Pencapaian kemajuan disegala bidang
di Malaysia juga tidak terlepas dari penerapan sistem meritokrasi pemerintahan,
yaitu sistem meritokrasi terbatas.
Negara Malaysia berpenduduk sekitar 27 juta jiwa, terdiri dari
ras Melayu sebagai mayoritas (50,4%), Tionghoa (23,7%), India (7,1%), dan
sisanya adalah penduduk pribumi non-Melayu yang kebanyakan bermukim di pulau
Kalimantan (18,8%).
Etnis Melayu mendominasi di pemerintahan
Malaysia, karena diyakini sebagai warga pribumi, sehingga mempunyai hak
istimewa yang dijamin oleh konstitusi, berbeda dengan etnis minoritas lainnya.
Menurut definisi konstitusi Malaysia, orang Melayu adalah muslim, menggunakan
bahasa Melayu, yang menjalankan adat dan budaya Melayu.
Konstitusi Malaysia memberikan keistimewaan bagi penduduk
Bumiputra (ras Melayu, Dayak, Iban, Kadazan dan suku asli) dalam mendapatkan
beasiswa sekolah, pekerjaan (sebagai PNS/Polisi/militer), perumahan murah dan
pinjaman uang. Sebagai contoh penduduk bumiputra apabila membeli rumah mereka
mendapat 7% lebih murah.
Sistem meritokrasi yang diterapkan di Malaysia
adalah meritokrasi internal, meski mengacu pada kapabilitas sebagai tolok ukur
utama tetapi tetap mempertimbangkan aspek primordialisme untuk menjaga
kelangsungan tradisi dan budaya asal sebagai jatidiri bangsa.
Jakarta tercerabut dari budaya dan jatidiri bangsa.
Jika meritokrasi benar-benar dilaksanakan secara total dalam
mengelola pemerintahan di DKI, maka Jakarta akan menjadi sebuah kota
metropolitan yang modern seperti Singapura. Jakarta akan dipenuhi oleh
gedung-gedung perkantoran megah, perumahan mewah, mal, dan supermarket dengan
sarana transportasi yang aman, nyaman dan tepat waktu.
Pemukiman-pemukiman mewah tidak hanya berada di Pondok
Indah, Kelapa Gading, Pluit, dan Pantai Indah Kapuk, tetapi akan meliputi
sebagian besar wilayah Jakarta. Tidak akan dijumpai lagi perumahan kumuh
dan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang memacetkan jalan dan mengotori kota.
Jakarta hanya akan dihuni oleh mereka yang mampu saja, sementara bagi mereka
yang tak mampu membayar pajak dan sewa harus keluar dari Jakarta dan tinggal
dipinggiran kota.
Di Jakarta nanti, tidak akan mudah dijumpai kesenian lenong,
tari japong, ondel-ondel, dan pencak silat betawi. Perayaan Gong Xi Fa Cai akan
meramaikan seluruh mal-mal dan perkantoran, serta atraksi Barongsai di jalanan
protokol kota. Pelabuhan Sunda Kelapa yang dulu menjadi pusat kejayaan
Jayakarta, pasar ikan Muara Karang, Marunda kampung Si Pitoeng, kampung Betawi
Condet hanya jadi kenangan atau jadi musium. Pasar tradisional pun mungkin
hanya ada di pinggiran kota. Masyarakat kota Jakarta menjadi
individualis, apatis dan kehilangan keramah tamahannya.
Jika meritokrasi gaya Ahok benar-benar
dilaksanakan secara total (liberal), maka Jakarta akan tercerabut dari akar
budaya dan jatidiri bangsa. Namun bila Jakarta masih ingin mempertahankan
budaya dan jatidiri bangsa nusantara, hendaklah meniru meritokrasi internal
gaya Malaysia yang tetap memperhatikan nasib dan kelangsungan hidup warga
bumiputera.