Sabtu, 22 Oktober 2016

Meritokrasi; Tiru Malaysia, Jangan Tiru Singapura.

Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew dalam sebuah pidatonya beberapa tahun yang silam mengatakan bahwa Singapura bisa menjadi sebuah negara yang maju dan unggul seperti saat ini adalah berkat sistem meritokrasi pemerintahan yang diterapkannya. Singapura merupakan  negara metropolitan sempurna, yang semuanya tertata secara tertib, rapih, indah, aman, dan nyaman.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pun ketika menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan pembangunan Jakarta meyatakan, “saya ini meritokrasi.”  Ahok mengatakan memimpin ibukota adalah kesempatannya untuk menunjukkan bahwa hasil kerja dan meritokrasi dapat mengalahkan politik identitas.  Berkat Ahok, kampung-kampung kumuh di Jakarta nyaris tak ada lagi, pedagang-pedagang kaki lima mulai tak nampak di jalanan, masyarakat miskin dipindahkan ke Rusunnawa, areal kosong disulap menjadi wilayah taman yang indah dan rapi.  Jakarta menjadi semakin tertib, rapih dan indah.

Sistem Meritokrasi 
Meritokrasi adalah tata kelola organisasi yang menjadikan kemampuan (capability) sebagai tolok ukur utamanya. Dengan sistem meritokrasi, penghargaan untuk menduduki sebuah jabatan diberikan hanya kepada mereka yang mempunyai kemampuan dan prestasi tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial, bahkan pula dari tingkat pendidikan yang dicapainya.
Meritokrasi dianggap sebagai suatu sistem yang adil dengan memberikan kedudukan atau jabatan  kepada mereka yang berprestasi . Meritokrasi sering dipakai dalam penentangan terhadap birokrasi yang sarat nepotisme dan primordialisme. Negara-negara maju di Amerika dan Eropa, menjadikan meritokrasi sebagai salah satu kunci keunggulan mereka.
Tetapi meritokrasi juga mendapat kritik sebagai bentuk ketidakadilan terhadap mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk mendapatkan tempat.  Meritokrasi dituduh mengabaikan nilai luhur, budaya, tradisi, dan keberadaan masyarakat pribumi hanya untuk mewujudkan ambisi kemajuan sebuah negara. Meritokrasi hanya berpihak pada kalangan menengah keatas dan merugikan kalangan bawah.  
Meritokrasi mirip kapitalisme yang sama-sama menganut paham liberal yaitu menjunjung tinggi kebebasan. Kalau kapitalisme merupakan paham dalam bidang ekonomi, maka meritokrasi adalah paham dalam bidang politik.  

Meritokrasi Lee Kuan Yew
Pada masa sebelum abad 19, Singapura merupakan bagian dari kesultanan Johor Melayu, dan suku Melayu sebagai penduduk mayoritas. Tahun 1965 Singapura secara resmi merdeka, presiden pertamanya adalah Dr. Moh. Yusuf bin Ishak dan Perdana Menterinya adalah Lee Kuan Yew. Seperti negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Singapura merupakan negara berkembang yang masih miskin. 
Selaku perdana menteri, Lee Kuan Yew mengendalikan pemerintahan dengan menerapkan sistem meritokrasi.  Roda pemerintahan berjalan dengan sangat efektif sehingga dalam waktu singkat Singapura, yang secara geografis berada dilokasi strategis di mulut Selat Malaka, mengalami kemajuan sang sangat pesat.  Pelabuhan Singapura menjadi salah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.    
Karena ras Tionghoa dominan dalam bidang ekonomi dan pendidikan, maka warga negara Singapura keturunan Tionghoa menguasai bidang ekonomi maupun pemerintahan. Sebaliknya ras Melayu semakin pudar perannya.
Tahun 1975, pemerintah Singapura menghapuskan pelajaran bahasa dan kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah. Bahasa yang diwajibkan pemerintah disekolah adalah bahasa Inggris atau bahasa Mandarin.  Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional karena alasan simbolis dan historis, dan secara umum hanya dipergunakan oleh masyarakat Melayu Singapura. Bahasa Melayu digunakan pada lagu kebangsaan “Majulah Singapura” dan cetakan koin. Tetapi, sekitar 85% warga Singapura tidak paham bahasa Melayu.
Untuk memperluas wilayah daratannya, Singapura mereklamasi laut dengan tanah yang diperoleh dari negara tetangga.  Pemerintah juga menerapkan pajak tanah yang tinggi sehingga banyak penduduk Melayu yang tak mampu membayar pajak dan terpaksa menjual tanahnya kepada orang yang lebih mampu, yaitu etnis Tionghoa.  Dengan demikian, ras Melayu semakin terpojok.
Berkat meritokrasi Lee Kuan Yew, kini Singapura menjadi negara metropolitan yang sangat maju dan modern. Bagi penduduk melayu Singapura seperti negara baru, dan mereka merasa menjadi warga asing di negerinya. Semua orang berbicara dengan bahasa Inggris dan Mandarin. Bahasa Melayu nyaris tak terdengar lagi.

Meritokrasi Ahok.
Menurut sejarah, Nama Jakarta merupakan kependekan dari Jayakarta yang artinya “kota kemenangan”, yang diberikan oleh Fatahillah setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1527. Nama sebelumnya adalah Sunda Kelapa (sebelum 1527), sedangkan nama Batavia diberikan oleh Belanda (1619-1942). Nama Jakarta kembali dipakai setelah kemerdekaan 1945. Suku Betawi adalah penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.  
Pada tahun 1930, masyarakat Betawi menjadi penduduk mayoritas di Batavia atau Jakarta (36,2%), selebihnya adalah Sunda (25,4%), Jawa (11,01%), Tionghoa (5,53%), dan lain-lain. Saat itu Jakarta adalah kota yang masih belum maju dan miskin, akibat banyak kekacauan politik. Pemerintahan dikelola dengan sistem primordialisme.
Memasuki masa Orde Baru, Presiden Suharto menerapkan sistem meritokrasi secara wajar. Para teknokrat dan ekonom lulusan Barat banyak direkrut oleh Soeharto. Mereka yang dikenal sebagai “Mafia Barkeley”, menjadi pilar utama kebangkitan ekonomi Indonesia. Tentu sistem ini diterapkan di Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Namun sistem ini tidak bertahan lama karena Soeharto mulai memilih anggota kabinet berdasarkan kedekatan personal.
Demikian pula setelah orde reformasi, ternyata meritokrasi belum benar-benar diterapkan. Pada masa kepemimpinan Gus Dur hingga SBY sistem meritokrasi hanya dijalankan setengah-setengah. Gusdur banyak mengangkat menteri dari kalangan Nahdliyin. SBY hanya menerapkan sistem meritokrasi pada menteri-menteri urusan teknis, seperti menteri keuangan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan menteri perdagangan. Untuk jabatan-jabatan non-teknis, ia banyak menyerahkan kepada para politisi yang terkadang kurang kredibel. 
Sebagai Wakil Gubernur, Ahok mendorong Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta untuk menerapkan sistem meritokrasi dalam mengelola Jakarta, salah satunya untuk jabatan publik. Tahap awal adalah melakukan lelang jabatan dalam penempatan kepala camat dan lurah di seluruh Jakarta. Muncullah nama Susan Jasmine yang diangkat sebagai lurah di kelurahan Lenteng Agung yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Setelah menjadi gubernur, Ahok benar-benar menerapkan meritokrasi secara total.  Kepala-kepala dinas dan pembantu-pembantunya diangkat dan diberhentikan sesuai penilaian Ahok berdasarkan kapabilitas dan loyalitas kepada kebijakan-kebijakannya.
Dengan kejujuran, keterbukaan, keberanian, dan sikap kerasnya menentang primordialisme dalam memimpin Jakarta, Ahok secara signifikan telah berhasil mengubah Jakarta menjadi lebih baik. Ahok banyak mendapat pujian dan dukungan dalam memimpin Jakarta, meski tidak sedikit pula yang menentangnya. Meritokrasi Ahok nampaknya akan berhasil membawa Jakarta menjadi kota metropolitan yang modern, tertib, indah, aman, dan nyaman seperti Singapura.

Meritokrasi Ala Malaysia
Malaysia adalah negara berkembang yang saat ini tengah mendekati kategori sebagai negara maju. Meski demikian negara ini tetap tidak kehilangan jati dirinya sebagai negara bangsa Melayu. Pencapaian kemajuan disegala bidang di Malaysia juga tidak terlepas dari penerapan sistem meritokrasi pemerintahan, yaitu sistem meritokrasi terbatas.  
Negara Malaysia berpenduduk sekitar 27 juta jiwa, terdiri dari ras Melayu sebagai mayoritas (50,4%), Tionghoa (23,7%), India (7,1%), dan sisanya adalah penduduk pribumi non-Melayu yang kebanyakan bermukim di pulau Kalimantan (18,8%).  
Etnis Melayu mendominasi di pemerintahan Malaysia, karena diyakini sebagai warga pribumi, sehingga mempunyai hak istimewa yang dijamin oleh konstitusi, berbeda dengan etnis minoritas lainnya. Menurut definisi konstitusi Malaysia, orang Melayu adalah muslim, menggunakan bahasa Melayu, yang menjalankan adat dan budaya Melayu. 
Konstitusi Malaysia memberikan keistimewaan bagi penduduk Bumiputra (ras Melayu, Dayak, Iban, Kadazan dan suku asli) dalam mendapatkan beasiswa sekolah, pekerjaan (sebagai PNS/Polisi/militer), perumahan murah dan pinjaman uang. Sebagai contoh penduduk bumiputra apabila membeli rumah mereka mendapat 7% lebih murah.
Sistem meritokrasi yang diterapkan di Malaysia adalah meritokrasi internal, meski mengacu pada kapabilitas sebagai tolok ukur utama tetapi tetap mempertimbangkan aspek primordialisme untuk menjaga kelangsungan tradisi dan budaya asal sebagai jatidiri bangsa.

Jakarta tercerabut dari budaya dan jatidiri bangsa.
Jika meritokrasi benar-benar dilaksanakan secara total dalam mengelola pemerintahan di DKI, maka Jakarta akan menjadi sebuah kota metropolitan yang modern seperti Singapura. Jakarta akan dipenuhi oleh gedung-gedung perkantoran megah, perumahan mewah, mal, dan supermarket dengan sarana transportasi yang aman, nyaman dan tepat waktu.
Pemukiman-pemukiman mewah tidak hanya berada di Pondok Indah, Kelapa Gading, Pluit, dan Pantai Indah Kapuk, tetapi akan meliputi sebagian besar wilayah Jakarta.  Tidak akan dijumpai lagi perumahan kumuh dan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang memacetkan jalan dan mengotori kota. Jakarta hanya akan dihuni oleh mereka yang mampu saja, sementara bagi mereka yang tak mampu membayar pajak dan sewa harus keluar dari Jakarta dan tinggal dipinggiran kota.
Di Jakarta nanti, tidak akan mudah dijumpai kesenian lenong, tari japong, ondel-ondel, dan pencak silat betawi. Perayaan Gong Xi Fa Cai akan meramaikan seluruh mal-mal dan perkantoran, serta atraksi Barongsai di jalanan protokol kota. Pelabuhan Sunda Kelapa yang dulu menjadi pusat kejayaan Jayakarta, pasar ikan Muara Karang, Marunda kampung Si Pitoeng, kampung Betawi Condet hanya jadi kenangan atau jadi musium. Pasar tradisional pun mungkin hanya ada di pinggiran kota.  Masyarakat kota Jakarta menjadi individualis, apatis dan kehilangan keramah tamahannya.

Jika meritokrasi gaya Ahok benar-benar dilaksanakan secara total (liberal), maka Jakarta akan tercerabut dari akar budaya dan jatidiri bangsa. Namun bila Jakarta masih ingin mempertahankan budaya dan jatidiri bangsa nusantara, hendaklah meniru meritokrasi internal gaya Malaysia yang tetap memperhatikan nasib dan kelangsungan hidup warga bumiputera.


4 komentar:

  1. Ahok menurut saya hanya melaksanakan meritokrasi secara penuh dlm pemerintahan untuk memberantas kkn dan plutokrasi. Bagaimana gaya meritokrasi ahok itu mampu membuat jakarta menjadi tempat dimana kebudayaan hilang? Karena meritokrasi sendiri tidak memerlukan orang untuk mempunyai latar belakang pendidikan yg tinggi krna yg terpenting adalah kapabilitasnya dan ahok juga terbukti mengurus orang2 kurang mampu secara khusus dan tidak menyingkirkannya

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus