Siti Rahmiati binti Rachim, itu
namaku. Usiaku sudah sembilan belas tahun. Malam itu betul-betul malam tak
terlupakan dalam hidupku.
Bapak dan ibu sedang menerima tamu,
tampaknya orang penting. Tak lama ibu masuk ke kamarku.
"Ada tamu, Bu? Siapa?"
Tanyaku.
"Bung Karno." Ucap ibu
pendek.
Aku pun terlonjak. "Bung Karno,
presiden?" Tanyaku mengulang.
Ibu mengangguk. "Ya, Bung Karno
presiden, beliau datang untuk melamarkan kamu, Rahmi."
Aku nyaris terpelanting dari kursi
karena begitu kaget. "Pemuda sinting mana yang mau menikah denganku?"
Ucapku sambil tertawa. Aku menganggap perkataan ibu hanya candaan saja.
"Dia bukan pemuda biasa, dia
Mohammad Hatta." Tukas ibu tegas.
Akupun tersedak. "Mo...
Mohammad Hatta, Bung Hatta wakil presiden kita, Bu? Ta... tapi beliau sudah
tua, Bu. Lebih pantas jadi bapak atau paman Rahmi?"
"Pikirkan matang-matang,
Rahmi." Ucap ibu lagi.
Akupun terdiam.
"Orang bilang, diam itu
pertanda setuju." Ucap ibu tak lucu.
18 November 1945
"Dengan ini kami nikahkan Rahmi
binti Rachim dengan Bung Mohammad Hatta dengan mas kawin sebuah buku berjudul:
Alam Pikiran Yunani."
Sah!
1956
Keperhatikan setiap inci sosok yang
sedang terpekur khusyuk di atas sajadah biru tua. Kak Hatta baru selesai shalat
Maghrib, sujudnya lama sekali. Dua tangannya terangkat di depan dada, lirih
merapal doa, sama panjang dengan sujudnya yang lama. Matanya menerawang, berkali-kali
menghela napas panjang.
Aku tahu, ini adalah keputusan yang
teramat berat. 11 tahun dua sahabat itu saling berjabat erat mengurus rakyat
tanpa rehat. Aku juga tahu pergumulan batin yang menyiksanya begitu hebat
ketika dia harus mengambil keputusan berat, meninggalkan Soekarno dengan segala
keinginannya.
Dwitunggal Indonesia itu berharap
mengawal Indonesia sepenanggungan berdua. Tidak berat sebelah, walau nyatanya
Kak Hatta-ku terlalu banyak mengalah.
Kutatap kakak terkasih ini
lekat-lekat. "Sembahyangnya lama sekali, Kak?" Ucapku sambil mencium
tangan keriputnya. Ia segera meraih bahuku, mencium syahdu puncak kepalaku,
melantunkan doa khusus untukku.
"Banyak yang Kakak minta kepada
Allah Swt., semoga ke depan rakyat Indonesia semakin sejahtera.
1960
Deru mobil Buick bernomor B-17845
terdengar memasuki gerbang. Aku tergopoh menyambut kedatangan Kak Hatta yang
baru pulang dari tugas mengajar di UGM, Yogyakarta. Pak Wangsa membukakan pintu
mobil, Kak Hatta keluar dengan wajah yang tampak lelah.
"Kakak tampak lelah, silakan
diminum dulu." Kuraih tangan kanan Kak Hatta, menciumnya dengan takzim.
"Alhamdulillah. Aku bisa
beristirahat lebih banyak. Bukankah ini kabar baik untuk Mutia dan Gemala?
Mulai minggu depan aku sudah tidak bolak-balik Jakarta - Yogyakarta lagi."
Ucapnya tegar, walaupun suaranya terdengar bergetar.
Aku menghela napas. Empat tahun
sudah Kak Hatta meninggalkan istana. Waktunya lebih banyak tercurah pada bidang
akademis. Mengajar dan mendidik adalah napas bagi Kak Hatta.
Aku hanya bisa mencuri pandang ke
pak Wangsa sekertaris setianya. Pak Wangsa gugup lalu menunduk. "Wakil
rektor UGM menemui Bung Hatta setelah mengajar. Beliau menyampaikan keinginan
Soekarno agar Hatta berhenti dari kegiatan mengajar di UGM." Ujarnya pelan
takut terdengar.
Napas panjang kembali kuembuskan.
Teringat sebuah surat yang Kak Hatta kirimkan awal tahun lalu ke Wakil Ketua
Dewan Kurator UGM, yang berbunyi:
Nama Universitas Gadjah Mada terlalu
baik untuk dicemarkan dengan pengajaran yang salah dasarnya, hanya untuk
memuaskan aliran politik seseorang. Bukan yang sementara yang harus dibela oleh
Universitas Gadjah Mada, melainkan kebenaran dan tujuan yang kekal.*
1962
Aku mengetuk pintu dengan ragu.
Kulihat Kak Hatta begitu serius menekuri buku yang dibacanya. Tapi ini sangat
penting, aku sudah tidak dapat lagi menyimpannya sendiri.
"Kak Hatta, aku sudah menyimpan
surat ini selama dua hari." Ragu-ragu aku menyerahkan beberapa lembar
tagihan kebutuhan dasar bulanan.
"Ini sudah keterlaluan. Lihat
jumlahnya! Beberapa kali lipat dari uang pensiun wakil presiden yang aku
terima. Bagaimana dengan rakyat?" Kak Hatta pun kemudian terdiam.
Tarif listrik, gas, transport, dan
kebutuhan dasar lainnya naik gila-gilaan. Kak Hatta pun bangkit dari ruang
perpustakaan, kudengar ia bergumam. "Inikah masa depan Indonesia?"
1 Oktober 1965
Aku tahu betul ketidakharmonisan Kak
Hatta dengan Partai Komunis Indonesia. Sejak meninggalkan istana, Kak Hatta
menjadi incaran PKI.
Teringat satu waktu ketika kami
menjemput Kak Hatta yang baru dari luar negeri. Saat turun dari pesawat menuju
ruang tunggu, puluhan orang menyerbu. Suasana sangat mencekam, untunglah kami
selamat sampai tujuan.
Setelah mendengar peristiwa
penculikan tujuh jenderal, kami tak pernah merasa tenang.
Beberapa hari setelah G-30 S/PKI
Jakarta sunyi sepi bagai kota mati.
Anganku pun mendaratkan ingatan
tahun 1958. Di ruang tamu ini, aku mendengar Kak Hatta bicara empat mata dengan
Soekarno. Belum pernah aku mendengar Kak Hatta begitu marah. Suaranya
menggelegar melepas marah. "Kalau begini terus, berikan saja negara ini kepada
PKI. Kau sudah hilang akal, kau masukkan PKI dalam kabinet."
Kudengar Bung Karno pun tak kalah
sengit menjawab. "Ah, PKI di sini berbeda dengan partai komunis di negeri
lain, Bung!"
"Beda bagaimana?" Tukas
Kak Hatta. "Sama saja! Tunduk kepada Moskow dan mengikuti semua
kemauannya?" Kak Hatta mencecar Soekarno tanpa ampun.
Saat itu Kak Hatta bercerita bahwa
ia baru menyadari kesalahannya.
Di masa awal kemerdekaan, Soekarno
selalu mengajaknya berunding tentang masalah apapun. Namun setelah KMB 1949,
Soekarno menjadi presiden yang bebas, tidak bertanggung jawab pada parlemen. Ia
tak perlu berunding dengan kabinet.
Aidit dan paham
komunisme hadir sebagai pelakor dalam hubungan Soekano - Hatta. Soekarno yang
senang dipuji mendapatkan pasangan cocok yang suka menjilat dan memuji.
Soekarno menyukai Aidit. Lebih dari itu, Aidit mampu merenggangkan hubungan
keduanya. Yah, Aidit dan paham komunismenya hadir sebagai orang ketiga yang
mampu merusak bukan hanya hubungan sahabat, tapi tatanan sebuah negara.
Tamat
Catatan:
*Dialog yang berupa surat dikutip
verbatim dari buku Hatta: Aku Datang Karena Sejarah, Tafsir, Memoar, Catatan,
Surat-surat, dan Kisah Hidup Bung Hatta.
*Cerita dibuat dengan POV Rahmi
Hatta
Daftar Pustaka:
Sutanto, Sergius. 2017. Hatta: Aku
Datang Karena Sejarah. Bandung: Qanita.
Ismail, Taufik dan Moeljanto, DS.
1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Defensif Lekra/PKI Dkk. Bandung: Mizan.
https://historia.id/article/tag/Mohammad-Hatta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar