Minggu, 07 Juni 2020

PKI dan Riwayat Pemberontakannya


Oleh: Bernadus Barat Daya
Keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah cukup lama, bahkan jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai sebuah Negara merdeka oleh dua orang tokoh pejuang, Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta pada 17 Agustus 1945. PKI adalah salah satu partai politik yang resmi dan legal ada di Indonesia. Dalam beberapa kali Pemilu, PKI memperoleh kursi, cukup signifikan, baik di DPR (pusat) maupun di DPRD (provinsi dan kabupaten). 
PKI baru dinyatakan bubar atau “terlarang” pasca peristiwa penculikan pada 30 September 1965. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto kemudian menyebut peristiwa ‘penculikan’ itu dengan sebutan ‘Gerakan 30 September PKI (G’30S/PKI). Tetapi di era Reformasi, kata ‘PKI’ yang disematkan dibelakang G’30S dihilangkan sehingga yang sering ditulis dalam berbagai literasi pun berubah menjadi (hanya) G’30S saja. Penghilangan kata PKI tersebut tentu memiliki pendasaran tertentu. Sejak PKI dinyatakan ‘terlarang’, partai itu pun hilang dari percaturan politik di Indonesia hingga saat ini.

PKI dan Stereotip Pemberontak
Jika ditelusur ke belakang, kita menemukan sejumlah fakta historis bahwa PKI memang sering kali pernah melakukan pemberontakan, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Dapat dikatakan bahwa PKI di Indonesia tanpaknya memiliki ‘tradisi berontak’. Term dan arti (harfiah) kata berontak dalam bahasa Indonesia adalah ‘melawan/tidak mau menurut perintah, atau melawan (kekuasaan) pemerintah. Stereotip pemberontakan pun melekat erat pada PKI. Di satu sisi, stereotip pemberontakan pada PKI dapat dibenarkan, terutama ketika melihat riwayat pemberontakan yang dilakukannya. Namun di sisi lain, stereotip itu bisa jadi sangat subjektif dan mengandung penghakiman, dan karena itu perlu diletakkan dalam konteks yang proporsional.
Banyak literasi yang menceritakan panjang lebar tentang PKI. Demikian pula banyak sumber yang mengisahkan sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Khusus tentang riwayat pemberontakan PKI di Indonesia, dapat kita lihat dalam beberapa fakta historis berikut ini:
Pada bulan Oktober 1945, AMRI-Slawi yang dipimpin Sakirman dan AMRI-Talang pimpinan Kutil, pernah menangkap dan membunuh sejumlah pejabat pemerintah di Tegal. Masih pada bulan Oktober tepatnya pada 17 Oktober 1945, tokoh Komunis Banten Ce’ Mamat yang terpilih sebagai Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) membentuk DPRS (Dewan Pemerintahan Rakyat-Serang) dan merebut pemerintahan Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massanya.
Pada18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin tokoh Komunis Tangerang, Ahmad Khoirun, membentuk laskar yang diberi nama Ubel-Ubel dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Pada 4 November 1945, API dan AMRI kembali melakukan penyerbuan Kantor Pemda Tegal dan Markas TKR, tapi gagal. Mereka juga membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk merebut kekuasaan di Keresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan Pemalang.
Pada 9 Desember 1945, PKI Banten pimpinan Ce’ Mamat, kembali menculik dan membunuh Bupati Lebak, R. Hardiwinangun, di Jembatan Sungai Cimancak. Empat hari kemudian yaitu tanggal 12 Desember 1945, Ubel-Ubel Mauk yang dinamakan Laskar Hitam di bawah pimpinan Usman, membunuh Tokoh Nasional Oto Iskandar Dinata.
Pada 2 Februari 1946, PKI Cirebon di bawah pimpinan Mr.Soeprapto membentuk Laskar Merah dan kemudian merebut kekuasaan pemerintahan Kota Cirebon, serta melucuti TRI (Tentara Republik Indonesia). Tetapi dua hari kemudian tepatnya tanggal 14 Februari 1946, TRI berhasil merebut kembali Kota Cirebon dari PKI.
Pada tanggal 3-9 Maret 1946, PKI Langkat-Sumatera di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan dengan gerakan massa atas nama ‘revolusi sosial’ menyerbu Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura dan membunuh Sultan bersama keluarganya serta menjarah harta kekayaan Sultan.
Pada 19 Agustus 1948, PKI-Surakarta membuat kerusuhan dengan membakar pameran HUT RI ke-3 di Sriwedari-Surakarta, Jawa Tengah. Beberapa minggu setelah itu, yaitu pada 10 September 1948, Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi dicegat massa PKI di Kedunggalar-Ngawi dan dibunuh dan jenazah mereka dibuang saja di dalam hutan.
Masih dalam bulan September 1948, Dr. Moewardi yang bertugas di Rumah Sakit Solo yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang sering menentang tindakan brutal PKI, diculik dan dibunuh oleh PKI. Selain Dr. Moewardi, Kolonel Marhadi juga diculik dan dibunuh oleh PKI di Madiun. Beberapa hari setelah itu, tepatnya pada 17 September 1948, PKI menculik para Kyai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Dalam sumur tersebut ditemukan 108 kerangka jenazah korban hasil pembunuhan PKI. Selain itu, ratusan orang ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng.
Pada 18 September 1948, Kolonel Djokosujono dan Sumarsono mendeklarasikan ‘Negara Republik Soviet Indonesia’ dengan Muso sebagai Presiden dan Amir Syarifoeddin Harahap sebagai Perdana Menteri. Keesokan hari,  yaitu pada 19 September 1948, PKI merebut kota Madiun, lalu menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang dan Cepu serta kota-kota lainnya.
Pada  20 September 1948, PKI Madiun menangkap 20 orang polisi dan menyiksa serta membantainya. Hampir bersamaan waktunya yaitu tanggal 21 September 1948, PKI Blitar menculik dan membunuh Bupati Blora Mr. Iskandar dan Camat Margorojo-Pati Oetoro, bersama tiga orang lainnya yaitu Dr. Susanto, Abu Umar dan Gunandar. Jenazah mereka yang terbunuh itu, dibuang ke dalam sumur di Dukuh Pohrendeng Desa Kedungringin Kecamatan Tujungan Kabupaten Blora.
Dalam kurun waktu tanggal 18-21 September 1948 itu, PKI menciptakan 2 ‘ladang pembantaian (LP) dan 7 ‘Sumur Neraka’ (SN) di Magetan untuk membuang semua jenazah korban yang mereka siksa dan bantai.

Beberapa lokasi LP dan SN tersebut antara lain:
(1) LP di Pabrik Gula Gorang Gareng di Desa Geni Langit. (2)  LP di Alas Tuwa di Desa Geni Langit. (3)  SN di Desa Dijenan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Magetan. (4) SN di Desa Soco I Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. (5) SN di Desa Soco II Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. (6) SN di Desa Cigrok Kecamatan Kenongomulyo Kabupaten Magetan. (7) SN di Desa Pojok Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. (8) SN di Desa Bogem Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. (9) SN di Desa Batokan Kecamatan Banjarejo Kabupaten Magetan.
Awal Januari tahun 1950, Pemerintah RI dengan disaksikan puluhan ribu masyarakat yang datang dari berbagai daerah seperti, Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan pembongkaran pada 7 SN PKI tersebut, dan mengidentifikasi para korban. Pada lokasi SN di Soco I, berhasil ditemukan 108 kerangka mayat. Dari jumlah itu, ada 68 dapat dikenali, sedangkan 40 kerangka tidak dapat lagi dikenali. Sedangkan pada SN di Soco II, ditemukan 21 kerangka mayat yang semuanya berhasil diidentifikasi.
Para korban berasal dari berbagai kalangan Ulama dan Umara serta tokoh masyarakat.
Tanggal 30 September 1948,
Panglima Besar Sudirman mengumumkan bahwa tentara pemerintah RI berhasil merebut dan menguasai kembali kota Madiun. Namun Tentara PKI yang lari dari Madiun memasuki Desa Kresek Kecamatan Wungu Kabupaten Dungus dan membantai semua tawanan yang terdiri dari TNI, Polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan beberapa Ulama serta Santri.
Tetapi beberapa hari kemudian, yaitu pada  4 Oktober 1948, PKI juga ternyata masih membantai sedikitnya 212 tawanan di ruangan bekas Laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomulyo Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Pada tahun 1963, atas desakan dan tekanan PKI terjadi penangkapan sejumlah tokoh-tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama anti PKI, antara lain, KH. Buya Hamka, KH.Yunan Helmi Nasution, KH. Isa Anshari, KH. Mukhtar Ghazali, KH. EZ. Muttaqien, KH. Soleh Iskandar, KH. Ghazali Sahlan dan KH. Dalari Umar.
Setahun kemudian, yaitu pada bulan Desember 1964, Chaerul Saleh, Pimpinan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didirikan oleh mantan Pimpinan PKI, Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan ‘Kudeta’. Sebulan kemudian, tepanya tanggal 6 Januari 1965, atas desakan dan tekanan PKI, terbitlah Surat Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang ‘Pembekuan’ Partai MURBA, dengan dalih telah memfitnah PKI. Dan pada tanggal 21 September 1965, atas desakan dan tekanan PKI, terbit pula Keputusan Presiden RI No.291 tahun 1965 tertanggal 21 September 1965 tentang ‘Pembubaran’ Partai MURBA.
Sebelumnya, yaitu pada 13 Januari 1965, dua sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) menyerang dan menyiksa peserta Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan Kras Kabupaten Kediri. Tanggal 14 Mei 1965, tiga sayap organisasi PKI yaitu; PR, BTI dan GERWANI merebut perkebunan negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, dengan menangkap dan menyiksa serta membunuh Pelda Sodjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX Bandar Betsi.
Beberapa riwayat tindakan PKI seperti tersebut di atas, akhirnya memuncak pada tanggal 30 September 1965, dengan terjadinya peristiwa penculikan yang kemudian sering disebut sebagai G’30S/PKI. Peristiwa inilah yang kemudian mengakhiri riwayat PKI di Indonesia, sekaligus menjadi awal “penggayangan” keji yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap PKI dan simpatisan PKI di seluruh wilayah Indonesia. ‘Ribuan’ korban jiwa manusia akibat tindakan PKI sebelumnya, dibalas dengan ‘jutaan’ korban jiwa manusia akibat tindakan rezim Orde Baru.

Benarkah semua ini telah terjadi di Indonesia? Entalah…! Tetapi yang jelas adalah bahwa PKI memang pernah ‘memberontak’ dengan mengorbankan jiwa manusia, dan bahwa rezim Orde Baru pernah ‘menindak’ dengan mengorbankan jiwa manusia. Kebenaran yang paling hakiki, hanya ada pada sejarah itu sendiri dan juga ada pada Yang Mahatahu. ***
Editor: Elnoy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar