Oleh: Bernadus
Barat Daya
Keberadaan Partai Komunis
Indonesia (PKI) sudah cukup lama, bahkan jauh sebelum Indonesia diproklamasikan
sebagai sebuah Negara merdeka oleh dua orang tokoh pejuang, Ir. Soekarno dan
Drs. Mohamad Hatta pada 17 Agustus 1945. PKI adalah salah satu partai politik
yang resmi dan legal ada di Indonesia. Dalam beberapa kali Pemilu, PKI
memperoleh kursi, cukup signifikan, baik di DPR (pusat) maupun di DPRD
(provinsi dan kabupaten).
PKI baru dinyatakan bubar atau
“terlarang” pasca peristiwa penculikan pada 30 September 1965. Rezim Orde Baru
pimpinan Soeharto kemudian menyebut peristiwa ‘penculikan’ itu dengan sebutan
‘Gerakan 30 September PKI (G’30S/PKI). Tetapi di era Reformasi, kata ‘PKI’ yang
disematkan dibelakang G’30S dihilangkan sehingga yang sering ditulis dalam
berbagai literasi pun berubah menjadi (hanya) G’30S saja. Penghilangan kata PKI
tersebut tentu memiliki pendasaran tertentu. Sejak PKI dinyatakan ‘terlarang’,
partai itu pun hilang dari percaturan politik di Indonesia hingga saat ini.
PKI dan Stereotip Pemberontak
Jika ditelusur ke belakang,
kita menemukan sejumlah fakta historis bahwa PKI memang sering kali pernah
melakukan pemberontakan, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Dapat
dikatakan bahwa PKI di Indonesia tanpaknya memiliki ‘tradisi berontak’. Term
dan arti (harfiah) kata berontak dalam bahasa Indonesia adalah ‘melawan/tidak
mau menurut perintah, atau melawan (kekuasaan) pemerintah. Stereotip
pemberontakan pun melekat erat pada PKI. Di satu sisi, stereotip pemberontakan
pada PKI dapat dibenarkan, terutama ketika melihat riwayat pemberontakan yang
dilakukannya. Namun di sisi lain, stereotip itu bisa jadi sangat subjektif dan
mengandung penghakiman, dan karena itu perlu diletakkan dalam konteks yang
proporsional.
Banyak literasi yang menceritakan
panjang lebar tentang PKI. Demikian pula banyak sumber yang mengisahkan sejarah
pemberontakan PKI di Indonesia. Khusus tentang riwayat pemberontakan PKI di
Indonesia, dapat kita lihat dalam beberapa fakta historis berikut ini:
Pada bulan Oktober
1945, AMRI-Slawi yang dipimpin Sakirman dan AMRI-Talang pimpinan
Kutil, pernah menangkap dan membunuh sejumlah pejabat pemerintah di Tegal. Masih
pada bulan Oktober tepatnya pada 17 Oktober 1945, tokoh
Komunis Banten Ce’ Mamat yang terpilih sebagai Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia)
membentuk DPRS (Dewan Pemerintahan Rakyat-Serang) dan merebut pemerintahan
Keresidenan Banten melalui teror dengan kekuatan massanya.
Pada18 Oktober 1945, Badan
Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin tokoh Komunis Tangerang, Ahmad
Khoirun, membentuk laskar yang diberi nama Ubel-Ubel dan mengambil alih
kekuasaan pemerintahan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Pada 4 November 1945, API dan
AMRI kembali melakukan penyerbuan Kantor Pemda Tegal dan Markas TKR, tapi
gagal. Mereka juga membentuk Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah untuk
merebut kekuasaan di Keresidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan
Pemalang.
Pada 9 Desember 1945, PKI
Banten pimpinan Ce’ Mamat, kembali menculik dan membunuh Bupati Lebak, R.
Hardiwinangun, di Jembatan Sungai Cimancak. Empat hari kemudian yaitu tanggal
12 Desember 1945, Ubel-Ubel Mauk yang dinamakan Laskar Hitam di bawah pimpinan
Usman, membunuh Tokoh Nasional Oto Iskandar Dinata.
Pada 2 Februari 1946, PKI Cirebon di
bawah pimpinan Mr.Soeprapto membentuk Laskar Merah dan kemudian merebut
kekuasaan pemerintahan Kota Cirebon, serta melucuti TRI (Tentara Republik
Indonesia). Tetapi dua hari kemudian tepatnya tanggal 14 Februari 1946, TRI
berhasil merebut kembali Kota Cirebon dari PKI.
Pada tanggal 3-9 Maret 1946,
PKI Langkat-Sumatera di bawah pimpinan Usman Parinduri dan
Marwan dengan gerakan massa atas nama ‘revolusi sosial’ menyerbu Istana Sultan
Langkat Darul Aman di Tanjung Pura dan membunuh Sultan bersama keluarganya
serta menjarah harta kekayaan Sultan.
Pada 19 Agustus 1948, PKI-Surakarta
membuat kerusuhan dengan membakar pameran HUT RI ke-3 di
Sriwedari-Surakarta, Jawa Tengah. Beberapa minggu setelah itu, yaitu pada 10
September 1948, Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo dan dua perwira polisi
dicegat massa PKI di Kedunggalar-Ngawi dan dibunuh dan jenazah mereka dibuang
saja di dalam hutan.
Masih dalam bulan September
1948, Dr. Moewardi yang bertugas di Rumah Sakit Solo yang
dikenal sebagai salah satu tokoh yang sering menentang tindakan brutal PKI,
diculik dan dibunuh oleh PKI. Selain Dr. Moewardi, Kolonel Marhadi juga diculik
dan dibunuh oleh PKI di Madiun. Beberapa hari setelah itu, tepatnya pada 17 September 1948,
PKI menculik para Kyai Pesantren Takeran di Magetan. KH Sulaiman Zuhdi Affandi
digelandang secara keji oleh PKI dan dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian
Desa Koco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Dalam sumur tersebut ditemukan
108 kerangka jenazah korban hasil pembunuhan PKI. Selain itu, ratusan orang
ditangkap dan dibantai PKI di Pabrik Gula Gorang Gareng.
Pada 18 September 1948, Kolonel
Djokosujono dan Sumarsono mendeklarasikan ‘Negara Republik Soviet Indonesia’
dengan Muso sebagai Presiden dan Amir Syarifoeddin Harahap sebagai Perdana
Menteri. Keesokan hari, yaitu pada 19 September 1948, PKI merebut
kota Madiun, lalu menguasai Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi,
Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang dan
Cepu serta kota-kota lainnya.
Pada 20 September 1948, PKI Madiun
menangkap 20 orang polisi dan menyiksa serta membantainya. Hampir
bersamaan waktunya yaitu tanggal 21 September 1948, PKI Blitar menculik dan membunuh
Bupati Blora Mr. Iskandar dan Camat Margorojo-Pati Oetoro, bersama tiga orang
lainnya yaitu Dr. Susanto, Abu Umar dan Gunandar. Jenazah mereka yang terbunuh
itu, dibuang ke dalam sumur di Dukuh Pohrendeng Desa Kedungringin Kecamatan
Tujungan Kabupaten Blora.
Dalam kurun waktu tanggal
18-21 September 1948 itu, PKI menciptakan 2 ‘ladang pembantaian (LP) dan 7 ‘Sumur Neraka’
(SN) di Magetan untuk membuang semua jenazah korban yang mereka siksa dan
bantai.
Beberapa
lokasi LP dan SN tersebut antara lain:
(1) LP di Pabrik Gula Gorang
Gareng di Desa Geni Langit. (2) LP di Alas Tuwa di Desa Geni Langit.
(3) SN di Desa Dijenan Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Magetan. (4) SN di
Desa Soco I Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. (5) SN di Desa Soco II Kecamatan
Bendo Kabupaten Magetan. (6) SN di Desa Cigrok Kecamatan Kenongomulyo Kabupaten
Magetan. (7) SN di Desa Pojok Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. (8) SN di
Desa Bogem Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. (9) SN di Desa Batokan
Kecamatan Banjarejo Kabupaten Magetan.
Awal Januari tahun 1950,
Pemerintah RI dengan disaksikan puluhan ribu masyarakat yang datang dari
berbagai daerah seperti, Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek,
melakukan pembongkaran pada 7 SN PKI tersebut, dan mengidentifikasi
para korban. Pada lokasi SN di Soco I, berhasil ditemukan 108 kerangka mayat.
Dari jumlah itu, ada 68 dapat dikenali, sedangkan 40 kerangka tidak dapat lagi
dikenali. Sedangkan pada SN di Soco II, ditemukan 21 kerangka mayat yang
semuanya berhasil diidentifikasi.
Para korban berasal dari
berbagai kalangan Ulama dan Umara serta tokoh masyarakat.
Tanggal 30 September 1948, Panglima Besar Sudirman mengumumkan bahwa tentara pemerintah RI berhasil merebut dan menguasai kembali kota Madiun. Namun Tentara PKI yang lari dari Madiun memasuki Desa Kresek Kecamatan Wungu Kabupaten Dungus dan membantai semua tawanan yang terdiri dari TNI, Polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan beberapa Ulama serta Santri.
Tanggal 30 September 1948, Panglima Besar Sudirman mengumumkan bahwa tentara pemerintah RI berhasil merebut dan menguasai kembali kota Madiun. Namun Tentara PKI yang lari dari Madiun memasuki Desa Kresek Kecamatan Wungu Kabupaten Dungus dan membantai semua tawanan yang terdiri dari TNI, Polisi, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan beberapa Ulama serta Santri.
Tetapi beberapa hari kemudian,
yaitu pada 4 Oktober 1948, PKI juga ternyata masih membantai sedikitnya
212 tawanan di ruangan bekas Laboratorium dan gudang dinamit di Tirtomulyo
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Pada tahun 1963, atas desakan
dan tekanan PKI terjadi penangkapan sejumlah tokoh-tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama anti
PKI, antara lain, KH. Buya Hamka, KH.Yunan Helmi Nasution, KH. Isa
Anshari, KH. Mukhtar Ghazali, KH. EZ. Muttaqien, KH. Soleh Iskandar, KH.
Ghazali Sahlan dan KH. Dalari Umar.
Setahun kemudian, yaitu pada
bulan Desember 1964, Chaerul Saleh, Pimpinan Partai MURBA
(Musyawarah Rakyat Banyak) yang didirikan oleh mantan Pimpinan PKI, Tan Malaka,
menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan ‘Kudeta’. Sebulan kemudian, tepanya
tanggal 6 Januari 1965, atas desakan dan tekanan PKI, terbitlah Surat Keputusan
Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang ‘Pembekuan’ Partai
MURBA, dengan dalih telah memfitnah PKI. Dan pada tanggal 21 September 1965,
atas desakan dan tekanan PKI, terbit pula Keputusan Presiden RI No.291 tahun
1965 tertanggal 21 September 1965 tentang ‘Pembubaran’ Partai MURBA.
Sebelumnya, yaitu pada 13
Januari 1965, dua sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani
Indonesia) menyerang dan menyiksa peserta Training PII (Pelajar Islam
Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan Kras Kabupaten Kediri.
Tanggal 14 Mei 1965, tiga sayap organisasi PKI yaitu; PR, BTI dan GERWANI
merebut perkebunan negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar, Sumatera Utara,
dengan menangkap dan menyiksa serta membunuh Pelda Sodjono penjaga PPN
(Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX Bandar Betsi.
Beberapa riwayat tindakan PKI
seperti tersebut di atas, akhirnya memuncak pada tanggal 30 September 1965,
dengan terjadinya peristiwa penculikan yang kemudian sering disebut sebagai
G’30S/PKI. Peristiwa inilah yang kemudian mengakhiri riwayat PKI di Indonesia,
sekaligus menjadi awal “penggayangan” keji yang dilakukan oleh rezim Orde Baru
terhadap PKI dan simpatisan PKI di seluruh wilayah Indonesia. ‘Ribuan’ korban
jiwa manusia akibat tindakan PKI sebelumnya, dibalas dengan ‘jutaan’ korban
jiwa manusia akibat tindakan rezim Orde Baru.
Benarkah semua ini
telah terjadi di Indonesia? Entalah…! Tetapi yang jelas adalah bahwa PKI memang
pernah ‘memberontak’ dengan mengorbankan jiwa manusia, dan bahwa rezim Orde
Baru pernah ‘menindak’ dengan mengorbankan jiwa manusia. Kebenaran yang paling
hakiki, hanya ada pada sejarah itu sendiri dan juga ada pada Yang Mahatahu. ***
Editor: Elnoy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar