Aku laki-laki, tapi sekarang merasa bukanlah lelaki. Sebagai
pencari nafkah bebanku menggunung, hari-hari terkejar kebutuhan yang makin
sulit didapat.
“Abang keluarlah lagi, kerja apa kek. Kasian anak-anak buka
puasa nanti masa cuma minum?”
Baru saja aku pulang, belum panas pantat duduk istri sudah
suruh keluar lagi.
Kasihan dia, pastilah bingung, di rumah cuma ada beras sisa
dua liter. Isi kulkas sudah kosong, terakhir isinya dimakan saat sahur tadi.
Gas pun habis. Yang ada hanya utang di warung makin nambah.
Lengkaplah semua kebingungan. Andai jadi wanita mungkin akan
tetap tinggal di rumah mendoakan saja. Ini aku, apa pun caranya harus kudu
wajib dapat duit!
Ah, terasa betapa lemahnya aku jadi lelaki ….
Sudah delapan bulan di-PHK, sempat kerja serabutan ikut
teman jadi kuli panggul barang di pasar, terakhir gabung di gojek. Namun, efek
Covid 19 semua harus terhenti. Penghasilan hari-hari sudah tidak ada lagi.
“Apa gak ada receh gitu, Dek. Di saku apa di kaleng celengan
anak-anak?”
Bukannya tak mau keluar lagi. Aku sudah keluar dari pagi
curi-curi tempat menunggu penumpang, sambil was-was kalau ada petugas yang
razia. Tetap nihil, yang ada bensin mau habis.
Pun liur ini sudah terasa pahit. Sepertinya fisikku sedang
kurang fit, mungkin efek pening mikir masalah cari duit.
“Tidak ada Abang. Kalau ada juga sudah dari tadi ke warung.
Cuma dapet ini.” Istriku itu perlihatkan koin 100 rupiah di genggaman.
Wajahnya tersirat putus asa. Kutatap dia iba. Untuuung
wanitaku ini orangnya sabar, kalau tidak? Entahlah.
Jam sudah menunjuk arah setengah satu. Masih ada waktu 5 jam
….
“Iyalah Abang keluar lagi.”
Aku bangkit, pasang masker, sarung tangan, helm. Langkah gontai
kembali keluar rumah.
Tengah hari begini jalanan makin sepi, hanya ada satu dua
kendaraan lewat, itupun jarang. Kunyalakan motor, bensin sudah menunjuk garis
merah, kalau aku jauh-jauh bakal tidak bisa pulang nanti.
Kuparkirkan motor di halaman masjid sekitar satu kilometer
dari rumah.
Awalnya duduk saja di selasar, bersandar di tembok
menerawang dalam pikiran hampa. Selain ngojek harus ke mana, kerja apa? Masih
membingungkan.
Minta tolong ke teman-teman mereka juga sedang kesulitan.
Keseringan dibantu juga rasanya tidak enak.
Tiba-tiba ada panggilan hati untuk masuk, siapa tahu di
dalam pikiran lebih adem, dapat jalan keluar. Siapa tahu Allah kasih jawaban
segera, aamiin.
Di dalam ada satu orang duduk bersila persis menghadap
tempat imam. Sepertinya tengah khusyuk menunduk berdoa. Mungkin masalahnya sama
denganku. Masalah duit.
Aku mengambil duduk di belakang, dekat tembok.
Allah … berikan hambamu ini pikiran terbuka, tunjukkan jalan
rezeki untuk anak-anak hamba, kasihan mereka kalau sampai tidak makan ya
Allah….
Sampai jam menunjuk angka dua, pikiranku masih blank.
Sekilas pandangan jatuh pada kotak amal yang digembok tepat di dekatku. Uang
kertas hampir penuh di dalamnya, ada lembar warna biru dan merah terasa
melambai minta dijemput. Susah payah kutelan ludah.
Ambil satu lembar saja biru itu, enam orang anggota
keluargaku akan kenyang nanti buka.
Astaghfirullah, kuatnya setan menggoda sampai aku hampir
beranjak ke kotak kaca itu. Berulang-ulang kuucap istighfar sambil menutup
mata.
Jangan sampai darah daging mereka tumbuh dari kerjaku yang
tidak halal, ya Allah ….
“Bang.”
Kubuka mata, lelaki muda bermata bersih menegurku dalam
jarak semeter, pakai masker kain batik. Ini orang yang duduk di depan tadi.
“Abang gojek, ya?” Ia melihat jaket yang kupangku.
“Iya, Mas.”
“Sedang sepi ya, Bang?”
“Ya, gitulah, Mas. Orang pada di rumah.”
“Abang bisa nyetir?”
“Bisa. Kenapa, Mas? Ada kerjaan?” Aku sangat berharap ini
jalan pekerjaan.
“Oh iya, kebetulan saya mau minta tolong, bisa?”
Alhamdulillah, kuusap wajah penuh syukur. Mata rasanya
seketika terang benderang.
“Bisa, bisa!” Kuangguk kepala yakin.
“Abang ikut saya, ya. Rumah di belakang,” katanya sembari
berdiri. “Ayo, Bang.”
Aku bergegas mengikuti.
Rumah cukup besar dengan halaman seukuran rumahku.
“Kita akan antar ini ke daerah Koja. Tadinya saya bingung,
supir malah nekad pulang kampung. Dadakan dia baru bilang,” katanya terlihat
senang bertemu aku.
Segera kubantu lelaki muda itu mengangkat 10 karung beras,
puluhan kotak yang sudah dilakban ke dalam Expander silver.
Sepanjang jalan, lelaki muda bernama Ridwan itu cerita punya
nazar yang dikabulkan. Pantas saja wajahnya cerah, ia amat bersyukur istrinya
bangun dari koma selama 3 tahun, setelah melahirkan anak pertama mereka. Ia
juga pernah kecelakaan fatal sampai membuatnya takut nyetir.
Berat juga masalahnya. Ternyata punya banyak uang dan rumah
bagus tak jua lepas dari masalah hidup.
Tiga Panti Asuhan di Koja mendapat bantuan berupa barang
juga uang dalam amplop.
“Begitulah, Bang. Selalu ada ujian untuk kesabaran. Ceramah
Ustaz di masjid tiap subuh itu yang kuatkan saya,” ceritanya mengalir lagi di
perjalanan kami pulang.
Ia berbagi cerita lagi tentang ujian yang menimpa rumah
tangganya sejak awal menikah. Imanlah yang menguatkannya.
Kesabaran luar biasa.
Aku? Punya anak banyak sehat-sehat, istri sabar, hanya diuji
dengan ketiadaan uang sudah bingung, hampir putus asa, malah sempat berpikir
mencuri.
Ah, malunya aku ya Allah. Dia lebih muda, tapi lebih dewasa
dariku memandang hidup.
“Abang mau nggak jadi supir pribadi saya?”
Bagai disiram air sejuk aku mendapat nikmat berlipat sore
ini.
Pulang dengan senyum lebar, bawa serantang makanan dari mas
Ridwan, sembako, upah dua lembar uang merah, dan pekerjaan baru.
Benar-benar rezeki tak terduga.
Alhamdulillah, mendekatkan diri berserah memohon pada-Nya
ternyata pilihan terbaik tadi. Ini akan jadi awal jalanku meraih kemenangan.
Belajar lagi sabar, belajar lagi melawan nafsu diri dan berbaik sangka
pada-Nya.
*
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara
(yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali
hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia mendapat kebahagiaan dia bersyukur
maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka
itu juga baik baginya.”
(HR. Muslim).
Ruang Hati, 05/05/2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar