Selasa, 19 Mei 2020

Kembang Titipan 27-28


*KEMBANG TITIPAN  27*

Hari mulai remang ketika Sri bersama Mery mengikuti Timan. Namun tiba-tiba Sri merasa sangat pusing . Kepalanya berdenyut dan tubuhnya merasa lemas. Tempaan peristiwa yang bertubi-tubi membuatnya tumbang, Ia terkulai lemas, dipundak Mery.

"Sri... Sri.."
"Ada apa?" tanya Timan.
"Lihat mas, Sri pingsan." kata Mery sambil merangkul tubuh Sri

"Waduh, dingin sekali badannya. Bagaimana kalau kembali kerumah saja."kata Timan khawatir.
"Ya mas, kembali dulu, Sri harus diberi pertolongan secepatnya."

Timan terpaksa memutar mobilnya kembali kerumah, dengan perasaan bingung. Kejadian yang menimpa keluarga Sri membuatnya sedih. Lalu ia menyesali kepergiannya ke mal siang tadi. 
"Menyesal aku,  tadi kita mampir di mal segala, padahal dirumah ada kejadian seperti itu."

"Semoga mereka bisa menangkap Basuki. Aku sedih ketika mendengar pak Darmin tidak mempercayai aku. Kalau aku ber niyat jahat pada Sri, pasti sudah aku lakukan sejak kami masih ada dirumah Basuki."
"Ya sudah, lupakan saja. Pak Darmin kan sedang bingung karena kejadian itu."

"Sri... Sri.." badannya dingin sekali. Aku tidak membawa obat gosok."
"Kita sudah hampir sampai rumah. Nanti kalau tidak membaik kita bawa saja kerumah sakit."

Begitu sampai dirumah, Timan langsung menggendong Sri dan dibawanya masuk.
"Kunci kembali pintunya mbak," pesan Timan kepada Mery sambil membawa Sri kekamarnya.

Mery mengunci kembali pintunya dan bergegas menuju kekamar Sri. Diambilnya obat gosok yang kemudian dibalurkannya keseluruh tubuhnya yang dingin .

"Aku ambilkan teh panas dulu," kata Timan sambil melangkah keluar, membiarkan Mery menggosok seluruh tubuh Sri dengan minyak gosok.
"Sri... sadarlah Sri... kasihan kamu Sri.. terlalu berat beban yang harus kamu pikul," bisik Mery trenyuh sambil menggosok-gosok telapak kaki dan tangan Sri yang terasa dingin.

Tiba-tiba Sri membuka matanya.
"Sri..."
"Mana... mana...?"
"Sri..."
"Simbah mana.. simbah mana..." bisik Sri sambil tangannya diangkat keatas. Mery memegangnya dan mengelusnya perlahan.

"Sri.. simbah sedang dijemput mas Bayu."
"Mengapa aku disini ?"

Timan tiba-tiba masuk membawa secangkir teh hangat. Ia merasa lega melihat Sri sudah sadar kembali.
"Sri, minum dulu tehnya," kata Timan sambil  mengulurkan cangkirnya. Mery membantunya duduk. 

Sri meneguk minuman itu beberapa teguk, lalu kembali berbaring.
"Masih dingin?" tanya Timan kepada Mery.
"Sudah agak hangat, tidak dingin seperti tadi."

Timan duduk ditepi pembaringan, menatap Sri dengan pandangan trenyuh.
"Mana simbah?"
"Kamu tidak boleh terlalu memikirkan simbah, sudah banyak yang mengurus. Percayalah bahwa simbah baik-baik saja."

"Basuki tak akan menyakiti simbah, karena dia mempergunakannya sebagai tameng." kata Mery.
Sri terdiam, matanya berinang.

 "Kemana kira-kira Basuki membawa mbah Kliwon? Ada satu tempat yang diberikan pak lurah yang belum sempat aku datangi karena sudah ketemu Sri. mBak Mery tau? Kalau tidak salah disebuah desa bernama Kemuning." kata Timan.

"Itu aku tau mas, tapi menurut aku nggak mungkin Basuki membawa mbah Kliwon kesana. Ia tak akan berani pulang kerumahnya yang dimanapun, karena polisi sudah mengetahui semua rumah Basuki."

"Jadi dia membawa ketempat lain?"
"Sepertinya begitu mas, dan aku kira polisi sudah melacaknya kesana."
"Aku mau ikut mencari simbah.." bisik Sri.
"Baiklah, sekarang kamu harus kuat dulu, besok kita mencari lagi."kata Timan yang mencoba menenangkan Sri.

"Mau makan Sri? "
"Tidak, kepalaku pusing."
"Makanlah dulu, aku punya persediaan obat. Setelah makan baru minum obat, lalu kamu harus tidur."
"Besok aku boleh ikut ?"
"Tentu saja boleh Sri, tapi sekarang makan dulu ya."

 Sri bangkit duduk.
"Makan disini saja, aku ambilkan," kata Mery.
"Tidak, aku tidak apa-apa," kata Sri sambil turun dari pembaringan."
"Ya sudah, mari makan bersama sekalian ya mbak Mery."
"Tolong tuntun Sri mas, biar aku menyiapkan makan sekarang," kata Mery.

***

Basuki sebenarnya tidak membawa mbah Kliwon ketempat yang jauh. Ia masih ada didalam kota. Rumah Basuki yang tak seorangpun tau, walau anak buahnya sekalipun.
Begitu turun dari mobil, Basuki heran karena mbah Kliwon keluar tanpa mengenakan baju.

"Kemana bajumu pak tua? Kok telanjang begitu?"
"Tertinggal dimobil barangkali, coba aku lihat,” kata salah seorang anak buahnya. Tapi tak ada baju tertinggal disana.

"Tak ada baju tertinggal dimobil tuan."
"Kemana bajumu pak tua?" Basuki mengulang pertanyaannya.
"Tadi.. aku muntah.. bajuku aku pakai untuk muntahanku, lalu aku buang."

"Waduh, So.. coba lihat dimobil, apa mobilku bau muntahan?"
Salah seorang pembantu Basuki membuka pintu mobil.
"Agak apek tuan.."
"Kurangajar, semprot dengan pewangi sekarang juga,"

Basuki membuka pintu rumah diikuti pembantunya yang menggandeng lengan mbah KLiwon.
"Masukkan dia kekamar belakang dan beri dia baju."

"Sebenarnya untuk apa aku yang sudah tua ini kamu bawa kemari? Kalau untuk ditukar dengan Sri, maka aku lebih baik mati disini, karena aku tak rela cucuku berada ditangan orang jahat seperti kamu." kata mbah Kliwon sengit.

"Sudah, kamu diam saja pak tua, dan jangan banyak bicara. Aku sedang dikejar-kejar polisi."
"O, jadi aku kamu jadikan tameng agar polisi tak berani menangkap kamu? Aku kira kamu salah, polisi mana peduli sama nyawa seorang kakek tua seperti aku?"

"Sudah, jangan banyak bicara. Cepat masuk dan pakai baju yang diberikan pembantuku."
Marso menarik lengan mbah Kliwon.

"Dimana saya harus mengambil baju tuan?" tanya Marso yang memang belum pernah menginjakkan kaki dirumah itu.
"Dibelakang ada almari. Itu tempat baju-baju pembantu kalau aku sedang berada disini."
 "Baik tuan."

Rumah itu tak begitu besar, tapi bagus. Tak seorangpun anak buahnya tau bahwa Basuki punya rumah disitu, dan memang hal itu dirahasiakan karena kalau Basuki sedang tak ingin diganggu maka ia tidur disitu. Ada orang-orang disekitar yang disuruh membersihkan rumah itu setiap hari, tanpa tau siapa sebenarnya orang yang menyuruhnya.

Basuki merasa sangat letih. Berita bahwa rumahnya diobrak abrik polisi membuatnya kesal dan marah. Ia merasa keselamatannya sedang terancam. Tapi ia tak berani pergi kemana-mana. Barangkali rumah itulah yang paling aman, dan mbah Kliwon akan dijadikan senjata atau tameng apabila ada yang mengancamnya.

***

"Gimana mas, berhasil ?" tanya Lastri begitu suaminya pulang malam itu.
"Tidak Tri, rumah satunya yang katanya juga rumah Basuki ternyata kosong. Berarti polisi masih mencari."

"Kasihan mbah Kliwon mas, sudah tua, dijadikan sandera." kat Lastri sedih.
"Tampaknya sekarang sasarannya bukan cuma Sri, sehingga dia menyandera mbah Kliwon itu bukan untuk Sri, tapi untuk tameng apabila polisi menangkapnya.
"Kok ya ada manusia sejahat itu."

"Kasihan Sri, kata mas Timan tadi Sri pingsan, jadi nggak jadi ikut bersama aku."
"Pingsan ? Sri sakit ?"

"Mungkin karena sedihnya mendengar mbah Kliwon dibawa Basuki."
"Iya mas, orang sudah tua. Dan Sri itu kan dekat sekali dengan mbah Kliwon. Tak heran kalau Sri sedih sekali.

"Bapaknya saja kalah ya Tri?"
"Bapaknya kan nggak pernah dekat sama Sri. Orang setiap hari dimarahi.. Tapi untunglah sekarang pak Darmin sudah sadar."

"Mas Timan bilang, besok Sri mengajak mencari mbah Kliwon, nggak tau kemana akan mencarinya."
"Basuki  tak mungkin pulang kerumahnya mas, kan sudah tau kalau dicari polisi, dan anak buahnya sudah banyak yang ditangkap, pasti mereka mengatakan dimana saja rumah Basuki.,"
"Betul.  Polisi juga beranggapan begitu."

"Lalu gimana mas, aku juga ikut sedih memikirkannya."
"Lastri, kamu itu sedang mengandung, jangan ikut-ikutan memikir berat. Cukup mendo'akan saja. Nanti anakmu juga akan ikut sedih."

Lastri mengelus perutnya sendiri.
"Jangan sedih ya nak, ibu hanya prihatin memikirkan sahabat ibu," kata Lastri lembut.
Bayu ikutan mengelusnya.
"Iya nak, jangan cengeng seperti ibu ya."
"Mas Bayu gitu ah !!" kata Lastri cemberut.

"Kan bener yang aku bilang tadi. Apa kamu tidak cengeng?"
"Kalau aku cengeng, itu karena kamu mas."
"Kok aku sih."
"Yang sering membuat aku menangis kan kamu?"

"Oh, gitu ya, kangen aku, nangis.. pengin ketemu aku.. nangis.. gitu kan? canda Bayu.
"Ge er deh..  Mas Bayu sendiri kan.. kangen aku sakit.. aku nggak datang.. nggak mau sembuh.." Lastri ganti meledek suaminya.

Bayu tertawa, lalu memeluk isterinya.
"Salahnya, mengapa kamu cantik..?"
"Kok salah sih."

"Salah dong, kalau kamu jelek, kudisan, nggak pernah mandi.. ya aku nggak mau lah sama kamu,  jadi salahnya kamu mengapa kamu cantik, kamu baik, kamu pintar, kamu nggemesin."
"Mas Bayu nih, lama-lama nglantur, sudah ah.. keringatmu mulai bau nih."
"Tuh kan, mulai deh !!" kata Bayu sambil cemberut, lalu menjauh.

Lastri hanya tersenyum melihat suaminya masuk kekamar. Pasti ia mandi lalu berganti pakaian yang berbau wangi.
" Cewekkah bayi yang aku kandung ini? Maunya yang wangi-wangi saja," bisik Lastri sambil mengelus perutnya.
***

"Sri, kok belum tidur sih?"
"Aku memikirkan simbah. Sedang apakah simbah sa'at ini? Bisa tidurkah, atau jangan-jangan disiksa oleh Basuki?" jawab Sri pilu.

"Jangan berfikir begitu. Basuki membawa mbah Kliwon, pasti maksudnya akan dijadikan sandera, jadi tak mungkin dia menyakitinya."
"Mengapa simbah yang sudah tua itu yang dibawanya ya mbak?"
"Mungkin waktu itu dia hanya ketemu simbah."

 "Simbah pasti sedih. Sudahkah dia makan?"
"Sri, sudahlah Sri, pastilah simbah dikasih makan. Ayo tidur, besok katanya mau mengajak mas Timan mencari simbah."
"Iya, aku harus ikut mencarinya. "
"Itu sebabnya kamu harus tidur sekarang. Mau aku pijitin biar enakan tidurnya? Masih pusingkah kamu ?"

"Nggak mbak, sudah nggak pusing lagi. "
"Dipijitin ya?"
"Ah, mbak Mery, mana mungkin aku tega melihat mbak Mery mijitin aku ?"
"Nggak apa-apa, kalau memang itu bisa membuat kamu lebih nyaman, sehingga bisa tidur nyenyak."
"Nggak usah mbak, baiklah aku akan mencoba tidur," kata Sri kemudian memejamkan matanya. Mery menatapnya dengan iba.
***

mBah Kliwon tidak disuruh tidur disembarang tempat. Ada sebuah kamar yang bersih dengan dua tempat tidur yang nyaman. mBah Kliwon tidur dalam ranjang sendiri, sedangkan Marso dan temannya diranjang yang lain yang agak besar.
Keduanya menjaga agar mbah Kliwon tidak kabur. Pastilah pintu kamar itu dikunci rapat.

Tapi sama juga Sri, sangat susah bagi mbah Kliwon untuk memejamkan mata. Pasti Darmin, terutama Sri, sangat sedih memikirkannya.
Makanan yang tadi dihidangkan dihadapannya, sama sekali tak disentuhnya. Mana bisa ia menelan makanan sementara ia berada ditempat yang sama sekali ia tak tau letaknya dimana.

"Mengapa belum tidur kek?" tanya salah satu dari penjaga itu. 
mBah Kliwon ingat, dialah orang yang datang kerumahnya dan minta minum. Kemudian ketika disuguhkannya juga ketela rebus, dia hanya menggigitnya sedikit kemudian sisanya dikembalikannya dipiring. Kemudian mbah Kliwon baru merasa, pastilah ketika itu dia sedang menyelidiki dimana Sri berada, dan mbah Kliwon menyesali kata-katanya yang berceloteh tentang keberadaan Sri, kemudian dia juga mengatakan akan mengunjunginya ketempat Timan. Pasti setelah itu dia terus mengawasi disekitar rumah, lalu mengikuti ketika pak lurah membawanya bersama Darmin kerumah Timan.

"Ya Tuhan, ternyata semua adalah salahku." gumam mbah Kliwon pelan.
"Mengapa belum tidur mbah?" tanya yang satunya lagi.
mBah Kliwon tidak menjawab. Ia memejamkan mata, pura-pura tidur.
***

Pagi-pagi sekali Sri sudah bangun, lalu mandi dan berpakaian rapi.
"Sri, kamu sudah mandi sepagi ini?" tanya Darmin yang telah bangun terlebih dulu. Seperti yang lainnya, Darmin juga tidak bisa tidur nyenyak. Luka-luka diwajah akibat tersungkur beberapa kali masih terasa nyeri, walau Timan sudah memberinya obat.
"Iya bapak, aku akan ikut mas Timan mencari simbah."

"Kamu kan semalam sakit, apa tidak lebih baik dirumah saja?"
"Sri sudah sembuh pak, sudah minum obat."
"Benar ?"
"Benar, bapak saja yang nanti nggak usah ikut, bukankah luka-luka itu masih nyeri?"

"Tidak, aku juga sudah minum obat, dan luka-luka ini sudah diobati oleh nak Timan."
"Sri, pak Darmin, ayo sarapan dulu, sudah ditungguin mas Timan nih." teriak Mery dari belakang.
"Ayo bapak, kita sarapan dulu."
"mBak Mery masak apa?' Tanya Sri sambil mendekat.

"Masak nasi goreng. Kan kamu kemarin yang ngajarin. Rasain deh.. kurang apa," kata Mery.
"Baunya sedap, rasanya pasti enak."
"Rasain dulu.. belum-belum sudah memuji."
"Ayo bapak, silahkan, nih aku sudah merasakan mbak, enak kok.."
"Ah, mas Timan pasti bohong."
"Bener kok, ya nggak pak, cobain Sri.."

Sri sudah menyendok nasi itu dan mencicipinya.
"Enak mbak.."
"Iya, enak," seru pak Darmin yang sudah bisa menghilangkan kecurigaannya pada Mery karena Sri berkali-kali mengingatkannya.

Mery tersenyum senang. Mereka makan tapi tak banyak yang dibicarakan. Semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tentang hilangnya mbah Kliwon.

"Bapak, nanti kalau bapak mau ikut, jok belakang sudah saya pasangi kap, sehingga tertutup."
"Oh, iya nak, terimakasih banyak."
"Tapi benarkah bapak mau ikut? Sudah tidak sakitkah luka bapak itu?"
"Tidak nak, sudah baik, tidak begitu sakit."
"Baiklah, kalau sudah selesai kita siap berangkat ya, kearah yang kemarin ditunjukkan bapak, barangkali kita bisa menemukannya.
***

Mobil Timan terus menyusuri jalanan yang arahnya ditunjukkan oleh Darmin. Ada harapan untuk bisa menemukan mbah Kliwon, walau perjalanan itu tak tentu arah.
Sri yang duduk didepan tak banyak bicara. Dalam hati ia terus berdo'a agar bisa menemukan simbahnya yang sangat dia sayangi, seperti simbahnya juga menyayangi dirinya.

"Sri, kok diam saja," tegur Timan sambil menoleh kearah Sri.
"Mas.. mas... sebentar.."tiba-tiba Sri berteriak.
"Ada apa?" kata Timan kaget.
"Berhenti sebentar mas."

Timan menghentikan mobilnya dengan heran. Lalu Sri menyuruh Mery yang duduk dipinggir untuk turun.
"Sebentar mbak, aku mau turun."
Mery juga tak mengerti, tapi ia menuruti kemauan Sri.

Sri turun dan berjalan kebelakang, agak jauh, sepuluhan ,meter dia berjalan, lalu memungut sesuatu ditengah jalan.

"Lihat mas.." kata Sri kemudian setelah  kembali kemobil. Ia menunjukkan sobekan baju yang ditemukannya."
"Apa ini Sri?" tanya Timan heran.
"Ini sobekan baju simbah, aku mengenalnya. Bukan disobek tapi digunting," kata Sri.

Timan mengamatinya dengan heran, lalu beberapa puluh meter didepan juga ditemukannya sobekan yang sama.
*** 
besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  28*

 

Dengan heran Sri memunguti guntingan-guntingan baju mbah Kliwon.

"Ini lagi mas... ada apa ya mas, apakah mereka menyiksa simbah?" kata Sri hampir menangis.

"Sri, jangan begitu, ayo naiklah, aku justru berfikir lain," kata Mery.

 

"Ini bapak.. lihatlah.., baju simbah digunting-gunting."

"Tenang dulu Sri, jangan panik begitu," kata pak Darmin yang sudah turun lalu mendekati Sri.

"Naiklah Sri.. saya itu bukan karena simbah disiksa," kata Timan. sambil naik kembali kemobilnya.

 

Mery membantu Sri agar segera duduk.

"Sudah, mbahmu tak apa-apa Sri.." kata Darmin yang kemudian naik ke jok belakang.

Sri mengusp air matanya. 

 

"Simbah diapakan ya?" tanyanya pilu.

Timan menstarter mobilnya untuk berjalan lagi.

 

"Sri, jangan-jangan simbah sengaja menggunting gunting pakaiannya," kata Mery.

"Nah, aku sependapat. Ini akan membuat kita bisa menemukan dimana simbah disembunyikan."

"Apa maksudnya?"

 

"Simbah ingin memberi tanda, kemana dia dibawa pergi."

"Memberi tanda ?"

 

"Iya Sri, agar kita bisa menemukan dia," sambung Mery.

"Aku tidak mengerti."

"Tenang dulu, amati disetiap jengkal yang kita lewati, apakah kita bisa menemukan guntingan baju simbah lagi," lanjut Timan.

 

Beberapa ratus meter kemudian, Sri juga melihat guntingan baju mbah Kliwon. Timan menghentikan mobilnya, membiarkan Sri memungut guntingan itu. Ia mulai merasakan apa yang dikatakan Timan dan Mery.

 

"Benarkah simbah sengaja menggunting-gunting bajunya untuk memberi tanda kemana Basuki membawanya pergi?" tanya Sri sambil naik kembali ke mobil.

 

"Percayalah Sri, dan ini adalah pertanda baik."

"Mas Timan, barangkali kita perlu mengabari polisi untuk penemuan tanda-tanda ini," kata Mery.

"Benar, aku akan mengirim pesan singkat ke mas Bayu saja, biar dia yang mengabari kawan-kawannya." 

***

 

"Benar pak lurah, saya juga sudah mendengar kalau pencarian dirumah Kemuning itu gagal. Baiklah, terimakasih banyak pak lurah."

 

Bayu baru saja selesai berbicara dengan lurah Mardi. Mereka sudah tau bahwa dirumah-rumah milik Basuki tidak diketemukan Basuki.

 

"Mas, jangan-jangan Basuki sudah kabur keluar negri." kata Lastri.

"Aku kira tidak mungkin, yang berwajib sudah memberi tau setiap bandara untuk perjalanan keluar negri atau kemana saja. Basuki sudah dicekal dimana-mana."

 

"Itu mas, ada pesan di ponselmu." kata Lastri ketika melihat dering di ponsel Bayu.

"Oh iya, dari mas Timan."

Bayu membaca pesan itu dan tampak senang.

 

"Ada apa mas ?"

"Mas Timan dan Sri menemukan serpihan-serpihan baju mbah Kliwon. Kemungkinan besar mbah Kliwon memberi tanda."

"Oh, seperti memberikan tanda bagi pelacak ya mas. Ingat jaman pramuka. Lalu mereka menemukannya?"

 

"Belum, mas Timan memberi alamat perjalanannya, aku akan mengabari ke kantor polisi. Teman-temanku pasti senang mendengar berita ini."

"Kok bisa mbah Kliwon memberi tanda, bagaimana caranya? Apa tidak diawasi ?"

 

"Entahlah. Aku juga belum bisa membayangkannya. Kebetulan tadi Sri yang melihat guntingan kain yang dikenalinya sebagai serpihan baju mbah Kliwon."

"Semoga itu memang sebuah petunjuk ya mas."

"Semoga. Sebentar, aku mengabari temanku dulu, lalu mau menelpon pak lurah juga."

 

***

 

Timan terus menyusuri jalan, dimana ditemukannya serpihan-serpihan baju mbah Kliwon, disetiap seratus atau duaratusan meter.

Ada secercah harapan mereka akan bisa menemukan mbah Kliwon. 

 

"Semoga simbah baik-baik saja."

Mery menepuk-nepuk paha Sri.

 

"Kamu harus tenang Sri, dan teruslah berdo'a. Bukankah kamu yang mengajari aku bahwa disa'at sedih atau senang kita harus selalu mengingatNya?"

Sri mengangguk. Serpihan-serpihan baju itu masih digenggamnya.

 

Tapi didepan itu ada perempatan. Kemanakah Timan akan melanjutkan perjalanannya? 

"Semoga diperempatan itu  kita temukan lagi serpihan yang  akan menunjukkan kemana kita harus berjalan," kata Timan.

 

Sebelum perempatan itu Timan menghentikan mobilnya.

Pak Darmin yang ikut turun menatap kekiri dan kanan.

Harus ada yang berjalan kesemua arah, barangkali tak berapa jauh kita akan menemukan serpihan baju bapak," kata pak Darmin.

Semuanya setuju.

 

Ketiganya turun dan berbagi tugas. Tiga arah didepannya harus ada satu yang terdapat serpihan baju mbah Kliwon.

Sri berjalan kearah kiri, Mery kekanan, dan Timan lurus kedepan. Pak Darmin menunggu di mobil.

 

Beberapa sa'at mereka berjalan, kemudian terdengar teriakan Mery.

"Aku mendapatkannya !!" lalu Mery setengah berlari kembali kemobil.

"Aku juga mendapatkannya !!" teriak Timan dari arah depan.

"Bagaimana ini? Mengapa bisa ada serpihan di dua arah?"

Timan kebingungan.

 

"Bagaimana ini mas?"

"Mungkin salah satu dari serpihan itu diterbangkan angin, atau terbawa kendaraan lain," kata pak Darmin.

"Lalu bagaimana ini?" kata Sri bingung.

"Ayo naiklah. Aku akan berjalan terus, kalau kita tidak menemukan lagi serpihan, berarti yang benar adalah kearah kanan."

 

Sri mulai khawatir, karena sudah sejauh hampir satu kilometer, tak ditemukannya serpihan itu lagi.

"Jangan panik Sri, kita akan terus berusaha," kata Timan yang kemudian membalikkan mobilnya, lalu  berbelok kearah dimana tadi Mery menemukan serpihannya.

"Semoga ini arah yang benar," gumam Timan.

 

Sri berdebar ketika dikejauhan, agak ketepi dilihatnya serpihan putih.

"Itu mas, benar.. ini arah yang benar." teriak Sri.

 

Timan menghentikan mobilnya, membiarkan Sri mengambil serpihan itu, lalu melanjutkan perjalanannya.

Mereka bersyukur,  karena tidak salah jalan. 

 

***

mBah Kliwon masih ada didalam kamar itu, makan dan minum dimasukkannya kedalam kamar,  Ia boleh keluar kalau ingin kekamar mandi. Tapi ia hanya sedikit memakan makanan yang diberikan, hanya untuk menjaga agar tubuhnya tidak lemas. Ia selalu berharap, serpihan bajunya ada yang menemukannya dan mengerti apa maksudnya.

 

Hari itu ketika ia ingin kebelakang, lalu salah seorang membukakan pintu untuknya, ia mendengar Basuki berbicara dengan anak buahnya.

"Lepaslah sekarang dan ganti dengan plat nomor yang baru."

"Baiklah tuan."

 

"Hari ini kita akan pergi, ada rumah kontrakan diluar kota yang barangkali lebih nyaman ditinggali."

"Jadi kita akan pindah lagi tuan?"

"Ya, aku merasa disini tidak aman.Aku sudah memesan rumah itu dan aku bayar kontrakannya baru saja."

 

"Tapi tuan kan belum tau rumahnya, bagaimana kalau nanti tuan kecewa?"

"Yang penting kita jauh diluar kota, dan pemilik rumah meyakinkan aku bahwa rumahnya tidak akan mengecewakan. Yang penting kita pergi ketempat yang tidak terduga oleh polisi."

 

"Berapa lama kita akan pergi tuan?"

"Mengapa kamu bertanya begitu?  Kamu bosan mengikuti aku?" hardik Basuki dengan suara keras.

"Ma'af, bukan begitu tuan, hanya ingin tau saja."

"Diam dan lakukan saja perintahku."

 

"Mengapa kita harus membawa serta kakek itu tuan? Bukankah lebih baik ditinggalkan saja disini agar tidak menjadikan beban?"

"Bodoh ! Dia harus ikut kita. Sudah, kerjakan saja apa yang aku suruh. Gantikan sekarang juga plat nomornya."

 

mBah Kliwon berdebar. Kalau harus pergi lagi dari sini, maka seandainya ada yang menemukan serpihan baju itu, lalu sampai ditempat ini,  pasti akan menemukan tempat kosong. mBah Kliwon harus mencari akal lagi.

 

Ketika ia kembali dari kamar mandi dilihatnya Marso sudah ada didalam kamar.

"Kita akan pergi lagi," katanya.

"Bolehkah aku meminta baju ganti, dan celana?"

"O.. ya, aku akan ambilkan. Pasti kamu takut muntah lagi dijalan kan Awas kalau sampai membuat mobil tuan Basuki bau."

 

"Yang bau adalah keringat kamu !!" kata mBah Kliwon kesal.

Marso hanya nyengir kuda sambil mencium ketiaknya sendiri.

 

"Sebenarnya aku sudah lelah," keluh Marso.

"Itu kan salahmu sendiri, mengapa mengikuti orang kabur. Kamu tidak bersalah, mengapa harus ikut kabur?"

 

"Kalau aku tidak mau ikut, aku pasti dihukum. Dan yang namanya dihukum oleh tuan Basuki itu, hidupnya akan sengsara. Bukan hanya aku, tapi juga anak isteriku. Kalau kesalahannya berat bisa langsung dihabisi. "

 "Tapi kalau Basuki tertangkap polisi, mana bisa dia menyiksa kamu? Kamu saja yang bodoh."

 

Marso terdiam.ia seperti memikirkan sesuatu. Rasa lelah tiba-tiba melingkupi seluruh tubuhnya, seperti menderanya dalam kekalutan yang tak dimengertinya.

 

"Dan kalau kamu terus mengikutinya, apabila suatu sa'at Basuki tertangkap, kamu pasti akan ikut masuk penjara." mbah Kliwon terus memanasinya ketika melihat kata-katanya termakan oleh Marso.

 

Marso masih terdiam, tapi yakinlah bahwa ia mulai takut. Penjara? Tempat yang kotor, bau, makan seadanya, kadang dibentak-bentak. Yaa, ia pernah melihat sebuah film di televisi, bagaimana sengsaranya orang dipenjara. 

 

"Tidaaak," gumamnya agak keras.

"Apa yang tidak?"

"Aku tidak mau ikut masuk penjara. Aku hanya bawahan yang diperintah majikan."

"Mana polisi mau tau? Kalau kamu mengikuti apa kata dan perintahnya, berarti kamu ikut melakukan kejahatan."

 

Lagi-lagi Marso terdiam. Ia mulai berfikir, apa yang harus dilakukannya supaya terlepas dari belenggu tuan Basuki.

 

"Ya sudah, mana baju dan celana buat ganti, kalau diajak pergi lagi takutnya muntah lagi," kata mbah Kliwon ketika melihat Marso diam saja. Tapi kelihatan bahwa Marso mulai simpati terhadap mbah Kliwon. 

 

"Ya kek, sebentar aku ambilkan," kata Marso sambil keluar dari kamar.

Ketika pintu terbuka itu mBah Kliwon mendengar teriakan Basuki.

 

"So.. ayo berangkat sekarang !! Telingaku seperti mendengarsirene mobil polisi," teriaknya sambil berjalan kedepan. Dilihatnya anak buahnya sudah selesai memasang plat nomor baru, yang pastinya plat nomor palsu.

 

"Ayo berangkat." katanya sambil naik keatas mobil.

"Biar kakek ini masuk lebih dulu, ia akan duduk dibelakang sendiri," kata Marso kepada temannya.

 

mBah Kliwon membawa bungkusan, celana dan bajunya sudah berganti dengan celana dan baju yang diberikan Marso, sedangkan yang dibungkus adalah celananya sendiri. Ia duduk dibelakang seperti ketika datang.

***

 

"Benarkah mas? mBah Kliwon bisa memberi tanda dengan menggunting-gunting pakaiannya dan disebar disepanjang jalan yang dilaluinya?" tanya Marni.

"Iya, rupanya dalam keadaan terdesak, keluar juga akal untuk lepas dari kesulitan."

 

"Kisah hilangnya Sri beberapa hari yang lalu ternyata membawa sederet peristiwa yang bukan main. Semoga dengan ini Basuki segera bisa mengakhiri petualangannya."

"Bisa aku bayangkan bagaimana paniknya Sri dengan terjadinya peristiwa ini."

 

"Kehilangan mbahnya pasti membuatnya sedih. Seperti ketika mbah Kliwon kehilangan Sri. Sampai nggak doyan makan, badannya pucat. Sekarang sebaliknya gantian Sri yang panik."

 

"Benar mas, Tapi yang aku heran, bagaimana Basuki bisa menemukan rumah mas Timan."

"Itulah bu, tadinya pak Darmin dan mas Timan mencurigai Mery, tapi kalau dipikir-pikir, mengapa Mery melakukannya?"

 

"Kalau aku ya nggak mungkin mbak Mery, bukankah mbak Mery sendiri yang mengajak kabur Sri? Kalau dia mau mencelakakan Sri pasti sudah dilakukannya sejak masih dirumah Basuki."

"Benar bu, tapi teka-teki itu belum terjawab sampai sekarang."

 

"Ini aku mau ke belakang dulu bu, nanti kalau ada telephone ibu angkat saja. Aku sudah berpesan pada mas Bayu agar kalau ada apa-apa aku selalu dihubungi."

"Ya, aku dikamar mas, nungguin Jarot. Mungkin sudah sa'atnya bangun, tidurnya sudah sejak tadi."

***

 

Perjalanan Timan dan Sri agak lambat karena sebentar-sebentar berhenti memungut serpihan baju mbah Kliwon. Kadang-kadang serpihan itu sudah terlewat dan Timan harus memundurkan lagi mobilnya agar Sri bisa mengambil serpihan itu.

 

"Sri, bagaimana kalau kita tidak harus selalu berhenti setiap melihat serpihan-serpihan baju simbah?"

"Maksudnya kita lewati saja, begitu?"

"Iya Sri, so'alnya kalau sebentar-sebentar berhenti kita tidak akan segera sampai ditempat yang kita tuju. Kita berangkat pagi-pagi dan ini hampir tengah hari."

 

"Iya Sri, pokoknya kita yakini bahwa itu serpihan baju mbah Kliwon, kita langsung jalan terus saja."

"Tidak usah harus melihat apa itu benar bajunya simbah atau bukan?"

"Tidak usah, kan warnanya sudah kelihatan, putih berkembang biru."

"Ya sudah, aku ngikut saja," akhirnya kata Sri.

 

"Yang penting kita tidak salah jalan." sambung Mery.

"Tapi ini sudah siang, mbak Mery sama Sri  tidak lapar? Kita mampir ke warung sebentar?" Timan memperlambat laju mobilnya.

"Tidak mas, aku belum lapar, kata Mery."

"Aku juga belum. Aku ingin segera sampai ditempat simbah disembunyikan," kata Sri.

"Baiklah. So'al makan nanti gampang ya?"

 

Mobil Timan terus melaju, sementara Sri dan Mery terus mengawasi serpihan yang tampak. Setiap kali melewati jalan yang bersimpang, mereka mencoba salah satunya dulu, kalau tidak ditemukan serpihan baju mbah Kliwon baru kembali kejalan lain, seperti ketika pertama kali menemukan perempatan.

 

"Masih jauhkah?"

"Tampaknya serpihan sudah semakin jarang."

"Kapan ya berhentinya?"

"Kamu lelah Sri?"

"Tidak, aku ingin segera bertemu simbah dalam keadaan selamat."

 

Tiba-tiba terdengar sirene polisi melintas.

"Rupanya mas Bayu sudah melaporkan situasi ini."

"Apa mas Bayu ikut dengan polisi itu?"

"Entahlah, aku tidak tau. Biar aku telepone dia.  Tolong mbak Mery, putarkan nomor mas Bayu, biar nanti aku tinggal bicara," kata Timan sambil mengulurkan ponselnya.

 

Tapi sebelum Mery menerima ponsel itu, dilihatnya sebuah mobil seperti yang dikenalnya.

"Tunggu mas, berhenti dulu." tiba-tiba kata Mery.

"Ada apa?" kata Timan sambil menghentikan mobilnya.

"Itu tadi yang lewat mobil Basuki."

"Benarkah?"

 

Tanpa disuruh Timan segera memutar mobilnya.

"Itu, benar, cepat mas.."

Timan memacu mobilnya semakin dekat dengan mobil yang ditunjukkan Mery. Untunglah mobil itu tidak berjalan terlalu cepat.

"Plat nomornya ganti, tapi aku kenal sekali mobil itu."

***

besok lagi ya





Tidak ada komentar:

Posting Komentar