Minggu, 03 Mei 2020

Kembang Titipan 05-06


*KEMBANG TITIPAN  05*

Sri meronta, pegangan ayahnya terlepas, karena Darmin sedang menatap mobil yang baru datang. Seorang laki-laki dengan masih berseragam warna khaki.. turun dari dalam mobil. Pak lurah Mardi.

"Ada apa ini ?" Tegur pak lurah sambil menatap si Sri..
"Ini kang.. eh..pak lurah.." kata si Sri sambil menuding kearah ayahnya.

Darmin melangkah keluar dari halaman. Ia sungkan terhadap lurah dusun yang tiba-tiba datang. Ditinggalkannya si Sri begitu saja.

"Bapak tunggu kamu dirumah !!" kata Darmin sambil menjauh, sambil melotot kearah anaknya. 

"Ada apa Sri?"
"Silahkan masuk .. tiba-tiba mbah Kliwon sudah keluar juga. Lega rasanya melihat Darmin sudah pergi.

"Saya dengar dari Marni, katanya mbah Kliwon sakit, makanya dari kelurahan saya langsung kemari." kata pak lurah Mardi sambil mendekati mbah Kliwon.

"Ooh, bu lurah berlebihan. Cuma kemarin saya masuk angin. Ayo pak lurah, silahkan masuk.." kata mbah Kliwon sambil mendahului masuk kerumah.

Wajah Sri masih pucat, ia berjalan agak sedikit dibelakang pak lurah.
"Ada apa Sri?"

Si Sri hanya menunduk. Tak terbayangkan kalau tadi pak lurah tidak datang, pasti ia akan diseret disepanjang jalan menuju rumahnya, lalu semua orang melihatnya.

"Silahkan pak lurah. Ayo Sri, buatkan minum untuk pak lurah," ujar mbah Kliwon .
Lurah Mardi duduk, Sri beranjak kebelakang untuk membuatkan minuman.

"Kemarin agak kurang enak badan, lalu nggak bisa tidur, jadi bangunnya kesiangan. Tapi saya tidak apa-apa kok."

"mBah, kalau memang badan kurang enak, lebih baik ke puskesmas saja, disana ada dokter yang menangani, lalu dikasih obat.,"
"Iya,  Sri sudah membuatkan saya wedang jahe, lalu saya merasa lebih baik."

"Syukurlah mbah, tapi ingat ya, kalau terasa badan kurang enak, harus periksa ke dokter."
"Baik pak lurah."

"Itu tadi kan pak Darmin. Kenapa dia? Sepertinya marah sama Sri."
"Dia itu kan pemabuk, jadi ya begitulah kalau orang lagi mabuk."

"Pemabuk? Saya dengar sudah lama dia tidak pernah minum-minum."
"Ya, beberapa waktu berhenti minum karena tidak punya uang, tapi tampaknya ada yang memberi dia uang, sehingga kumat."

"Oh, bekerja apa dia?"
"Bekerja apa, ya cuma lontang lantung begitu. Merokok nggak mau berhenti, uangnya minta dari si Sri."
"Aduh, kasihan Sri ya mbah."

Sri datang menghidangkan minuman.
"Silahkan pak lurah."
"Srii.."
"Ya pak lurah.."

"Tadi tuh kenapa bapakmu narik-narik kamu?"
"Saya disuruh pulang, tapi saya nggak mau. Simbah agak masuk angin, dan pekerjaan belum selesai."

"Ada apa sampai maksa-maksa begitu?"
"Ah, nggak tau pak lurah.. bapak memang suka memaksakan kehendak."

"Sepertinya tadi sedang mabuk, aku mencium bau minuman keras."
"Benar pak lurah."

"Lain kali akan aku suruh petugas untuk memperingatkan. Mabuk-mabukan itu dilarang."
"Mungkin hanya pak lurah yang bisa memperingatkannya."
"Mudah-mudahan mbah."
"Silahkan diminum .." kata Sri.

Pak lurah meneguk minuman yang disuguhkan.
"Beberapa hari yang lalu mas Timan kemari kan?" katanya sambil menatap si Sri.
"Ya..." jawab Sri pelan.

"Semoga ada pembicaraan yang lebih serius ya Sri?"
Sri menunduk tersipu.

"Ya itulah pak lurah, nak Timan kan sudah bilang mau mengambil Sri sebagai isterinya. Kemarin saya sebetulnya ingin bicara so'al itu sama Darmin, tapi jawabannya sungguh diluar dugaan."
"Maksudnya?"

"Dia bicara kasar sama saya, dan bilang supaya saya tidak usah memikirkan Sri, karena Sri adalah anaknya."
"Dan karena itu simbah jadi sakit semalam."

"Ya ampun, mengapa dia menolak? Bukankah mas Timan orangnya baik, dan sudah mapan?"
"Saya belum sempat mengatakan siapa dia dan bagaimana dia, dia sudah menggebrag meja dengan kata-kata yang menyakitkan."

"Jangan-jangan Sri sudah dijodohkan dengan seseorang.."
"Saya juga mengira begitu," kata mbah Kliwon.

"Kamu tau siapa kira-kira orang yang dijodohkan sama kamu?"
"Nggak tau saya, tapi kalau laki-laki setengah tua yang memberi uang sama bapak, dan baju-baju buat saya, saya tidak akan mau."

"Oh, kenapa? Dia jelek? Kurang tampan?" goda pak lurah.
"Dia laki-laki setengah tua, tapi sangat kurangajar. Sri benci, dia jelas bukan laki-laki yang baik. Tapi Sri nggak tau, apa maksud laki-laki itu dengan semua pemberiannya."

"Kemungkinan besar ya. Tapi kalau dia bukan laki-laki baik, harusnya pak Darmin mencegahnya. Masa anak gadisnya akan diberikan kepada laki-laki yang tidak akan bisa membuat anaknya bahagia?"

"Ya, kalau  itu orang waras, tapi apa dia itu waras?"
"Nanti kalau mas Timan datang, saya akan mengantarnya menemui pak Darmin, tampaknya pak Darmin punya rasa segan sama saya."

"Terimakasih sebelumnya pak lurah," kata mbah Kliwon penuh harap.

***

Sore itu Sri langsung mandi, lalu masuk kedalam kamarnya. Dia tak perlu melayani bapaknya karena akhir-akhir ini Darmin selalu beli makanan sendiri yang dihabiskannya tanpa perduli pada anaknya. Dan tampaknya sejak tadi dia juga tak melihat bayangan ayahnya. Mungkin pergi entah kemana, membeli minuman keras kekota, atau berfoya foya dengan uangnya.

Sri merebahkan tubuhnya dan berusaha memejamkan matanya. Tiba-tiba wajah tampan dengan mata teduh itu membayang dipelupuk matanya.

"Kalau kamu ingin, jadilah isteriku.." kata-kata itu terngiang kembali, ketika Sri mengatakan keinginannya bisa berjualan dipasar. 

Sri tersenyum. Seperti mudah mengatakan itu, membuat hatinya berbunga bunga. Seandainya dia adalah kembang liar yang tumbuh ditepi jalan, betapa mudah ketika Timan ingin memetiknya. Tapi dia adalah kembang yang tumbuh ditanah kering, kerontang tanpa air sebagai penyiram dahaga. Dan tanah kering itu berada dalam kekuasaan raksasa yang maha kejam dengan taring sebesar pisau belati, dan mata selalu memancarkan api.

Sri teringat dongeng ibunya ketika masih kecil.
"Sang putri jelita diculik oleh raksasa, disembunyikan didalam goa yang hanya punya satu pintu, dan dipintu itu duduk seekor singa yang siap menerkam siapa saja yang berani memasukinya."

"Apakah puteri  itu menangis?" tanya Sri kecil yang mendengarkan dongeng itu sambil berlinang air mata, karena kasihan pada sang putri.
"Tentu saja puteri itu menangis, siang dan malam."

"Kasihan..."
"Tapi, sang puteri yang baik hati dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih."

"Lalu Dia menolongnya?"
"Ya, seorang pangeran dengan kuda putih  berhenti dimulut goa, karena mendengar tangisan sang putri. Pangeran tampan itu turun dari kuda, berjalan menuju goa. Tapi tiba-tiba terdengar auman keras, lalu muncullah seekor singa yang menampakkan gigi-gigi runcingnya.

"Berhenti !!" kata singa itu.
"Siapa yang menangis didalam sana?"
"Itu bukan urusanmu. Segera pergi kalau tak ingin aku mengunyak-ngunyah tubuhmu."

Sri kecil menutup mulutnya.
"Tapi sang pangeran tidak takut. Dia mengeluarkan pedangnya dan bertarung melawan singa itu. Dan berkali-kali pedang sang pangeran melukai tubuh singa yang mengamuk membabi buta. Akhirnya singa itu kalah dan mati."

"Syukurlah.. lalu bagaimana sang putri?" Sri kecil memeluk ibunya.
Sang pangeran kemudian masuk kedalam goa, mendekaati sang putri dan menggendongnya."

"Asyiiiik.." teriak Sri kegirangan.
"Lalu sang putri didudukkannya diatas kuda putih, dan sang pangeran membawanya ke istananya."

Sri menghela nafas, matanya setengah terpejam, seandainya dia puteri itu, siapakah pangeran berkuda putih yang akan membawanya ke istananya?
Sri terlelap dalam mimpi, tentang pangeran berkuda putih, yang membawanya berkeliling dunia,  melihat pemandangan indah yang terhampar disekelilingnya.

Bahagia rasanya, bersandar didada pangeran yang memeluknya dari belakang, mendengar bisikan-bisikan cinta yang membuatnya terbuai disepanjang perjalanan.

***

Tapi pagi itu sebelum berangkat, ayahnya memanggilnya. Rupanya belum lama dia pulang, dan baru mau berangkat tidur. 

"Sriii !!"
Sri yang baru mau melangkahkan kakinya keluar dari pintu, kemudian  berhenti.

"Sini kamu !"
Sri kembali masuk, dilihatnya ayahnya berdiri didepan pintu kamarnya.

"Kamu itu bandel ya. Kan bapak sudah bilang, jangan memakai baju-baju kumal itu lagi!"
"Ini bukan baju kumal. Ini bersih dan masih bagus."

"Itu baju perempuan dusun yang tidak berkelas."
Sri melebarkan matanya. Darimana bapaknya mendapatkan kata-kata berkelas itu? Selama ini dia adalah gadis dusun. Kelas itu dipandang dari mana? 

"Kamu harus menjadi perempuan yang punya kelas."
"Kelas itu apa?" tanya Sri dengan wajah kesal.
"Bodoh !! Kelas adalah nilai derajat seseorang."

"Haaa.. darimana derajat itu dilihat? Bukankah derajat adalah sebuah perilaku yang tampak dan yang terpuji? Bukan dari pakaian yang dikenakan?" kata Sri dengan berani. mBah Kliwon sering mengatakan itu dan terpateri dalam ingatannya.

"Apa katamu? Siapa mengajarimu?"
"Hidup yang mengajari Sri. Ma'af ya pak, kelakuan bapak itu yang tidak berkelas." kata Sri makin berani, karena kebencian pada ayahnya semakin memuncak.

 Darmin maju selangkah dan sebuah tamparan mendarat dipipi si Sri.
"Auuw !" Sri menjerit lirih sambil memegangi pipinya. Kalau saja ada kaca disana pasti Sri akan melihat bahwa pipinya berbekas merah.

"Kamu semakin kurangajar pada bapak? Kamu tidak punya rasa hormat !"

"Bapak tidak mengajari saya bicara dengan hormat. Bapak menyakiti simbah, dan tidak menghormati simbah sebagai ayah dari almarhum ibu."

Darmin mengayunkan lagi tangannya, siap menyakiti Sri dengan tamparan yang lebih keras, tapi Sri sudah membalikkan tubuhnya.

"Heii! Dengar !! Bilang pada simbahmu, jangan ikut-ikutan mengurusi kamu!!" teriak Darmin penuh amarah.

Lalu Sri berlari keluar, membiarkan air matanya terburai sepanjang perjalanannya kerumah Lastri.

Darmin urung mengejarnya karena rasa kantuk memberati matanya. Ia memasuki kamarnya sambil membanting pintu.
***

Ketika tiba dihadapan mbah Kliwon, Sri melihat mbah Kliwon sudah duduk di kursi bambu, dan dua gelas wedang jahe terhidang dihadapannya. Tidak hanya wedang, ada sepiring ketela menemani wedang itu. Masih panas.

"mBah.. simbah bangun sangat pagi," sapa Sri sambil duduk didepan simbahnya.
"Ya, simbah merasa lebih enak. Itu wedang buat kamu, minumlah dulu," kata mbah Kliwon.

Sri mengambil wedangnya dan menghirupnya pelan.
"Hm, enak mbah.. "

"Kamu tadi menangis?" tanya mbah Kliwon sambil menatap cucunya. Rupanya  mata tuanya masih sempat melihat sembab diwajah si Sri.

Sri menghirup lagi wedangnya.

"Bapakmu marah-marah? Apa yang dikatakannya kemarin begitu kamu sampai dirumah?"
"Ketika Sri sampai dirumah, bapak tidak ada. Entah pergi kemana..Baru pagi tadi pulang, ketika Sri mau berangkat."

"Bilang apa dia?"
"Biasa mbah, tidak perlu Sri ceritakan."

"Kamu menangis?"
"Hampir setiap hari Sri menangis." kata Sri sambil mengupas ketela sepotong yang diambilnya.

Masih panas, Sri mengupasnya pelan.

"Apa bapakmu mengatakan bahwa kamu akan dijodohkan dengan seseorang? Yang namanya Basuki itu.. misalnya?"

"Tidak, bapak belum mengatakan apa-apa. Tapi kalau demikian halnya, maka Sri akan menolaknya. Tak mungkin dia bujangan. Umurnya sudah setengah abad kira-kira, dan matanya kelihatan bukan mata orang baik-baik. Jijik Sri melihatnya."

"Kebangetan bapakmu itu.. pikirannya sudah tidak waras. Keracunan minuman keras. Tidak memikirkan perasaan anaknya."

"Ya sudah mbah, jangan difikirkan, mari kita bekerja..," kata Sri sambil berdiri.

*** 

Sore itu Sri pulang dengan perasaan segan. Sungguh menyebalkan dirumah sendiri, bersama orang tuanya, tapi tak membuat hatinya nyaman. Salah siapa kalau Sri lebih menyayangi simbahnya daripada bapaknya?

Kalau ada kesempatan nanti Sri akan minta kepada ayah nya agar boleh tinggal bersama simbahnya saja. Bolehkah? Bagaimana kalau tidak boleh? Beranikah dia nekat? Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. 

Tapi untuk terus bersama ayahnya, dia merasa tak betah. Darmin seperti orang asing baginya. Seperti tak ada ikatan darah yang membuatnya merasa sayang. Air mata Sri menitik, lalu diusapnya. 

Sri memantapkan hatinya untuk bicara dengan ayahnya. Ia harus berani. 

Namun  kira-kira sepuluh langkah sebelum dia memasuki pagar rumahnya, dilihatnya sebuah mobil berhenti. Sri terkesiap. Itu seperti mobil si kurangajar itu. Sri membalikkan tubuhnya karena tak ingin bertemu Basuki.

Ia mempercepat langkahnya, namun sebongkah batu membuatnya tersandung sehingga dia jatuh tersungkur. Sebuah langkah cepat menghampiri. Wajah Sri pucat pasi. Tartatih berusaha bangun, tapi sebuah tangan menangkap lengannya. Lengan yang kuat dan sedikit berbulu. Sri bergidik, mencoba meronta, tapi tangan itu begitu kuat.

*** 
besok lagi ya


*KEMBANG TITIPAN  06*

 

Sri terus meronta, tapi tangan kekar itu semakin kencang menggenggam lengannya.

"Lepaskaaan!! " pekik Sri marah.

 

"Wauuw... kelinci cantik.. galak bener..." kata Basuki sambil tertawa, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk menarik tangan Sri.

 

Sri berdiri, mengibaskan tangannya sampai terlepas dari pegangan Basuki, lalu melangkah pergi. Tak dirasakannya rasa perih pada lututnya akibat terbentur tanah berbatu.

 

"Heiii... tungguu...." teriak Basuki sambil mengejar.

"Kalau kamu nekat, aku akan berteriak maling, supaya orang-orang keluar dan menghajar kamu," ancam Sri keras.

 

"Yaah, kejam amat, aku kan menolong kamu, kok mau diteriakin maling? " omelnya sambil terus mengikuti Sri.

 

Sri membalikkan badannya dan menuding kearah Basuki.

 

"Berhenti disitu. Atau bener nih, aku teriak?"

 

Basuki ternyata keder dengan ancaman si Sri.  Bisa habis aku kalau orang sekampung menangkap aku lalu memukuli aku, pikirnya sambil membalikkan tubuhnya kembali kerumah Darmin.

 

Darmin yang menunggu didepan pagar heran melihat Basuki berjalan kembali sendirian.

 "Mana Sri?"

"Kabur dia." 

 

"Kabur ?"

"Yah, kabur.., kesana.."

 

"Anak kurangajar. Mengapa tuan tidak menyeretnya kemari?" sesal Darmin sambil masuk kedalam, diikuti Basuki.

 

"Anak itu memang kurangajar. Aku tau .. semuanya atas hasutan si Kliwon," gerutu Darmin tanpa rasa hormat padahal yang disebut adalah mertuanya.

 

"Siapa Kliwon?"

"Kliwon itu bapaknya isteri saya, jadi ya mbahnya si Sri itu."

 

"Oh, tapi biarkan saja, aku tidak tergesa-gesa. Selama kamu masih bisa menjaga Sri, aku akan terus menunggu sampai dia mau melayani aku. Aku maklum, gadis desa, lugu, pasti takut melihat laki-laki yang belum begitu dikenalnya. Tapi aku suka itu. Berarti dia benar-benar perawan." Katanya sambil tertawa menjemukan.

 

"Ya perawan lah tuan, belum ada yang pernah menjamahnya."

"Ya, aku tau, kebanyakan perempuan pasrah setiap kali aku mendekatinya."

 

"Ya iyalah, tuan banyak duitnya, ganteng lagi,  mana ada perempuan menolak?" kata Darmin dengan nada menjilat.

 

" Iya, benar..  jadi aku tidak mau  nanti dia melawan setiap aku dekati." 

"Saya akan terus memberinya pengertian, tuan."

 

"Apa dia suka baju-baju yang aku berikan?"

"Suka sekali tuan, sangat suka.. dia pakai baju-baju bagus itu setiap hari," kata Darmin yang tentu saja  berbohong.

 

"Bagus,  tapi mengapa tadi dia tidak memakai baju pemberianku?"

"Oh, itu karena dia sudah ganti baju tuan, tadi dipakainya. Namanya gadis desa, ya pasti senanglah dikasih baju-baju bagus."

 

Basuki mengangguk angguk, lalu berdiri, sambil meninggalkan amplop dimeja Darmin. Mata Darmin berkilat-kilat melihat amplop itu.  Kalau pantas dia ingin segera mengusir Basuki agar dia segera lari kekota untuk bersenang-senang.

 

***

 

Sri memasuki rumah Lastri dan bergegas kebelakang. mBah Kliwon baru saja keluar dari kamar mandi. Terkejut melihat Sri datang kembali.

 

"nDuk, ada apa?"

"mBah, bolehkan saya meminjam baju yu Lastri ?"

 

"Oh, boleh saja, memang baju Lastri masih banyak yang tertinggal disini, dan sebenarnya boleh diberikan kepada siapa saja yang mau. Ayo ikut simbah," kata mbah Kliwon yang lalu berjalan kearah kamar Lastri dan membuka pintunya.

 

"Almari itu tidak terkunci, ambil saja mana yang kamu mau. Tapi kenapa Sri? Tumben kamu butuh bajunya Lastri.

 

"Sri mau mandi disini dan berganti baju."

"Kamu belum pulang?"

 

"Sudah mbah, tapi saya melihat Basuki baru saja datang, lalu saya balik kemari. Ada obat merah mbah?"

"Ada, itu didekat almari. Kenapa pula?"

"Tadi Sri berlari, lalu terjatuh."

 

Sri mengambil obat merah yang ditunjukkan simbahnya. Mengambil sedikit kapas yang kebetulan ada dan membersihkan lukanya, lalu memberinya obat merah. Perih, tapi Sri tidak merasakannya. Perih dihatinya lebih menyakitkan daripada luka pada lututnya.

 

"Sampai jatuh begitu Sri?"

"Sudah mbah, hanya luka kecil. Sekarang Sri mau mandi dulu."

 

Mbah Kliwon menghela nafas panjang, sedih memikirkan cucunya. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi apa, Darmin lebih berkuasa atas anaknya. Tapi kalau Sri menderita, mbah Kliwon sangat tidak rela.

 

Ia membuat wedang jahe kesukaannya, dan menyiapkannya juga untuk Sri. Lalu ia duduk menunggu si Sri selesai mandi.

 

Ketika Sri mendekat, dia sudah memakai pakaian milik Lastri. Sangat pas untuk Sri. Memang sih, bentuk tubuh dan tingginya si Sri tak berbeda jauh dengan Lastri. 

 

"Sangat pas kamu pakai Sri. Kalau kamu mau mandi disini, pakai saja baju-baju itu."

"Nanti Sri mau bilang sama yu Lastri kalau dia kemari."

 

"Sebenarnya simbah punya nomor telponnya Lastri. Dia meninggalkan ponsel untuk simbah, supaya kalau ada apa-apa bisa menghubungi dia."

"Bagus mbah, bolehkah Sri menelponenya?"

 

"Boleh saja, tapi minum dulu wedang jahemu. Mumpung masih anget."

"Simbah repot-repot membuat wedang untuk Sri.."

 

"Tidak nduk, sebelum kamu datang simbah sudah merebusnya. Simbah minum wedang ini sebelum tidur."

 

"Sri mau tidur disini ya mbah?"

"Simbah senang kalau kamu mau tidur disini. Tapi apa bapakmu tidak marah?"

"Tadi ada Basuki, biarkan saja. Sri tidak akan mau bertemu dia."

 

"Kamu sudah makan?"

"Kan tadi sudah makan sebelum pulang."

"Barangkali masih mau, nasinya masih ada."

"Tidak mbah. Sri tidak lapar."

 

"Nanti tidurlah dikamar Lastri, setiap hari simbah membersihkannya."

"Oh iya, Sri mau menelpone yu Lastri ya mbah?"

"Baiklah, simbah ambilkan dulu hapenya."

 

***

 

Lastri sedang berbincang dengan Bayu ketika mereka selesai makan malam. Sore tadi lurah Mardi barusan menelpone, mengatakan bahwa Timan mau melamar.

 

"Pak lurah meminta kita nanti bersama mas Timan kerumah Sri." kata Bayu.

"Baguslah, aku juga sudah kangen pulang ke desa mas. Kapan itu?"

 

"Belum tau tuh. Mas Timan sendiri kok belum mengabari kita ya."

"Mungkin lagi sibuk, jualannya laris."

 

Tapi tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman. Lastri langsung berteriak.

"Itu kan mobilnya mas Timan?"

"Yaaa.. panjang umur dia. Baru diomongin sudah nongol," kata Bayu yang kemudian berdiri menyambut datangnya Timan.

 

"Selamat malam, saya mengganggu?"

"Tidak, baru saja kami ngomongin mas Timan. Panjang umur .. so'alnya yang diomongin tiba-tiba muncul."

 

"Oh ya? Alhamdulillah kalau begitu."

"Silahkan duduk, mas."

 

"Ayo mas, duduk, aku buatkan minum dulu ya," kata Lastri yang beranjak kebelakang.

 

"Lagi santai ya mas, ini sudah malam, saya takut mengganggu."

"Tidak, senang mas Timan datang. Hm, calon pengantin nih ya?" goda Bayu.

 

"Baru mau ngomong nih."

"Aku ikut lho mas, kalau ngelamar," kata Lastri sambil membawa minuman untuk tamunya.

 

"Tadi pak lurah menelphone."

"Iya, tadi juga menelphone kemari, mengajak kami mengantar mas Timan ."

"Tapi aku kok deg-degan ya?"

 

Bayu dan Latri tertawa.

 

"Baru mau ngelamar sudah deg-degan, belum nanti kalau sudah nikahan, lalu berduaan dikamar sebagai pengantin baru," goda Bayu lagi.

 

"O, itu pengalaman pribadi bukan?" Timan membalas candaan Bayu.

"Iya lah, mesti sudah sering ketemu, tapi tetap deg-degan juga, ya kan Tri."

 

"Nggak tau lah, sudah lupa. Ini ngomongin apaan sih, kan mas Timan mau nglamar, ya ayo bicara tentang lamaran, iiih.. yang enggak-enggak aja nih para lelaki kalau sudah bercanda.' gerutu Lastri tapi tidak meninggalkan senyuman.

Bayu dan Timan tertawa keras.

 

"Oke mas, saya tadi kan bilang deg-degan. Itu bukan tanpa alasan. Tadi mas lurah bilang bahwa bapaknya Sri itu susah diajak bicara. Dia justru kasihan sama si Sri yang selalu mendapat tekanan dari bapaknya."

 

"O.. iya, pak Darmin itu orangnya susah, jarang bergaul dengan tetangga desa. Dulu mereka tinggal dikota, tapi waktu Sri masih gadis kecil."

"Nah, itu yang membuat saya deg-degan."

 

"Nggak apa-apa mas, kan yang nganterin mas Timan nanti banyak, jadi mas Timan harus tegar, jangan deg-degan," kata Bayu.

 

Tiba-tiba  bu Marsudi berteriak dari dalam. 

"Lastri, ada telephone tuh."

 

Lastri berlari kedalam, ketika keluar lagi, dia  masih bicara.

"Iya, nggak apa--apa Sri pakai saja semuanya. Iya, aduuh, aku juga kangen sama kamu, terus ini ada lagi yang kangen sama kamu.. ada deh, dengar aja suaranya."

 

  "Ini mas.." kata Lastri sambil mengulurkan ponselnya kepada Timan.

"Siapa?"

"Terima dulu..."

 

"Haloo.. " sapa Timan.

"Ini siapa?" suara dari seberang.

"lho, ini juga siapa?"

"Aduh, yu Lastri mana sih, aku bingung."

 

"Oh, ya ampun, aku sudah ingat suara kamu, kamu Sri kan?"

"Mas Timan ya ?" bergetar suara dari seberang sana.

 

"Apa kabar Sri?"

"Kabar baik mas, kok ada disini ?"

"Iya, lagi main kerumah mas Bayu. Kamu dirumah? Ini nomor telephone kamu? Aku catat ya?"

"Bukan, aku nggak punya ponsel, ini punya simbah."

 

"Oh, nggak apa-apa, akan aku catat, dulu belum sempat mencatatnya."

"Ya mas, mana yu Lastri?"

"Aduh, mengapa dia yang dicari? Bukan aku?" goda Timan.

 

"Ah..."

"Kok 'ah' sih?"

"Mas Timan lucu.."

"Lho.. memangnya aku pelawak?"

"Mirip..."

Timan tertawa. Bayu dan Sri senang melihatnya.

 

"Sri.."

"Ya.."

"Tak lama lagi aku mau kerumahmu."

"Ngapain ?"

"Ngebantuin nyapu halaman..."

 

 Sri tertawa diujung sana, dan Timan membayangkan sederet gigi putih dan pipi lesung yang menawan. 

 

"Beneran deh, lucu..."

"Iya, aku pengin ngelihat kamu tertawa sih, bisa vc nggak?"

"Apa tuh VC ?"

"Video call..  biar bisa lihat wajah kamu."

 

"Oh, ini ponsel jadul.. boleh ngebayangin saja.." Sri mulai lancar berbicara, ini pertama kalinya bisa bercanda lepas, dan itu membahagiakannya.

 

"Iya, ini sudah aku bayangin.. pipi lesung, bibir tersenyum, mata berbinar.. itu kamu kan?"

"Nggak tau deh, didekat aku nggak ada kaca .. jadi nggak bisa lihat wajah sendiri."

 

"Ya sudah nggak apa-apa, aku sudah bisa lihat kok."

"Darimana?"

"Dari ngebayangin aja.."

"Oh..."

"Kok oh sih?"

"Sudah ya, kelamaan mengganggu.. besok lagi saja.."

 

Timan juga merasa sungkan kelamaan bicara, padahal ia mau menelpone semalaman, sampai pagi, sampai siang.. sampai sore dan kembali malam.. Aduhai..

 

"Ini kamu dirumah simbah?"

"Ya, pengin  tidur dirumah simbah."

"Baiklah, selamat tidur, besok aku boleh menelphone lagi kan?"

"Iya, boleh..."

 

"Aku akan segera kerumah kamu, nemuin bapak kamu." 

"Oh..."

 

Timan mengembalikan ponsel Lastri setelah pembicaraan itu selesai, wajahnya berseri-seri.

 

"Ehem... " Bayu berdehem sambil menatap Timan dengan pandangan lucu.

"Ada apa mas?"

 

"Seneng dengernya, tapi agak sungkan juga ya Tri, ngedengerin orang lagi pacaran."

"Mas Bayu ada-ada saja, cuma gitu aja dibilang pacaran."

"Sedikit.."

 

"Tapi aku senang, mas Timan sama Sri semakin dekat. Kapan akan kesana?"

"Menunggu kabar dari pak lurah, nanti saya bilang ke mas Bayu."

 

***

 

"Ngomong sama siapa nduk, kok kelihatannya asyik banget..?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan ponselnya.

 

"Sama yu Lastri... lalu sama... mas Timan.."

"Lho, apa Lastri lagi dirumah nak Timan, atau sebaliknya nak Timan ada drumah Lastri?"

 

"Mas Timan lagi ada disana."

"Syukurlah, kamu jadi bisa bercicara sama dia. Ngomong apa saja?"

 

"Bercandaan saja mbah, mas Timan bisa lucu. Oh ya, sama bilang katanya mau kesini. Sri lupa nanya, mau ngapain datang kemari."

"Oh, mungkin seperti kata pak lurah, mau sekalian menemui bapakmu."

 

Sri menghela nafas. Tiba-tiba ada rasa takut menderanya. Maukah ayahnya menerima kedatangan mereka? Bagaimana kalau ayahnya bersikap kasar? Sri malu membayangkannya. Malu punya ayah yang kasar dan tak pernah menaruh hormat kepada siapapun.

 

"Mengapa kamu justru tampak sedih ?"

"Membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."

 

"Semoga bapakmu punya rasa sungkan kepada pak lurah, sehingga bisa bersikap lebih baik."

"Semoga..."

 

"Ya sudah, ini sudah malam, kamu tidurlah.. ," kata mbah Kliwon sambil berdiri.

 

Sri mengikuti masuk kekamar Lastri, membaringkan tubuhnya disana dengan nyaman. Memang perasaannya benar-benar nyaman. Terbaring lelah, tanpa bayangan akan ada orang yang membentaknya, atau suara keras membanting pintu. Inilah kehidupan yang sebenarnya diimpikannya.

 

Sri memejamkan matanya, lalu teringat kata Timan yang akan datang. Sesungguhnya itu membahagiakan, ada orang baik, ganteng, mau melamar dirinya, tapi sedih membayangkan apa kata bapaknya nanti.

 

Menjelang pagi Sri baru terlelap. mBah Kliwon tak mau membangunkannya, karena kasihan. Ia pergi kedapur, menyalakan kompor dan menjerang air untuk mandi dan untuk membuat teh hangat untuk mereka berdua.

 

Tiba-tiba diluar terdengar teriakan keras.

"Sriii! Sriiii!" itu suara Darmin, sambil menggebrak pintu.

 

"Sri !!" teriaknya lagi.

"Keluar kamu Sri !!"

 

Pintu kemudian terbuka, mbah Kliwon muncul disana.

 

"Mana Sri? Suruh dia keluar. Tidak pantas anak gadis tidur disembarang tempat."

"Ini bukan sembarang tempat. Ini rumahku, simbahnya si Sri !!"

 

"Saya tidak perduli, yang jelas Sri tidak tidur dirumah !! Aku tidak suka !!

 

Tiba-tiba muncul seseorang, dengan menggendong bayi. Bu lurah Marni kesal mendengar kata-kata kasar dari Darmin.

 

"Tolong, pelankan suaramu, dan hormati orang tua!!" katanya sengit.

 

 ***

 

bespk lagi ya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar