*KEMBANG TITIPAN 05*
Sri
meronta, pegangan ayahnya terlepas, karena Darmin sedang menatap mobil yang
baru datang. Seorang laki-laki dengan masih berseragam warna khaki.. turun dari
dalam mobil. Pak lurah Mardi.
"Ada
apa ini ?" Tegur pak lurah sambil menatap si Sri..
"Ini
kang.. eh..pak lurah.." kata si Sri sambil menuding kearah ayahnya.
Darmin
melangkah keluar dari halaman. Ia sungkan terhadap lurah dusun yang tiba-tiba
datang. Ditinggalkannya si Sri begitu saja.
"Bapak
tunggu kamu dirumah !!" kata Darmin sambil menjauh, sambil melotot kearah
anaknya.
"Ada
apa Sri?"
"Silahkan
masuk .. tiba-tiba mbah Kliwon sudah keluar juga. Lega rasanya melihat Darmin
sudah pergi.
"Saya
dengar dari Marni, katanya mbah Kliwon sakit, makanya dari kelurahan saya
langsung kemari." kata pak lurah Mardi sambil mendekati mbah Kliwon.
"Ooh,
bu lurah berlebihan. Cuma kemarin saya masuk angin. Ayo pak lurah, silahkan
masuk.." kata mbah Kliwon sambil mendahului masuk kerumah.
Wajah Sri
masih pucat, ia berjalan agak sedikit dibelakang pak lurah.
"Ada
apa Sri?"
Si Sri
hanya menunduk. Tak terbayangkan kalau tadi pak lurah tidak datang, pasti ia
akan diseret disepanjang jalan menuju rumahnya, lalu semua orang melihatnya.
"Silahkan
pak lurah. Ayo Sri, buatkan minum untuk pak lurah," ujar mbah Kliwon .
Lurah
Mardi duduk, Sri beranjak kebelakang untuk membuatkan minuman.
"Kemarin
agak kurang enak badan, lalu nggak bisa tidur, jadi bangunnya kesiangan. Tapi
saya tidak apa-apa kok."
"mBah,
kalau memang badan kurang enak, lebih baik ke puskesmas saja, disana ada dokter
yang menangani, lalu dikasih obat.,"
"Iya,
Sri sudah membuatkan saya wedang jahe, lalu saya merasa lebih baik."
"Syukurlah
mbah, tapi ingat ya, kalau terasa badan kurang enak, harus periksa ke
dokter."
"Baik
pak lurah."
"Itu
tadi kan pak Darmin. Kenapa dia? Sepertinya marah sama Sri."
"Dia
itu kan pemabuk, jadi ya begitulah kalau orang lagi mabuk."
"Pemabuk?
Saya dengar sudah lama dia tidak pernah minum-minum."
"Ya,
beberapa waktu berhenti minum karena tidak punya uang, tapi tampaknya ada yang
memberi dia uang, sehingga kumat."
"Oh,
bekerja apa dia?"
"Bekerja
apa, ya cuma lontang lantung begitu. Merokok nggak mau berhenti, uangnya minta
dari si Sri."
"Aduh,
kasihan Sri ya mbah."
Sri datang
menghidangkan minuman.
"Silahkan
pak lurah."
"Srii.."
"Ya
pak lurah.."
"Tadi
tuh kenapa bapakmu narik-narik kamu?"
"Saya
disuruh pulang, tapi saya nggak mau. Simbah agak masuk angin, dan pekerjaan
belum selesai."
"Ada
apa sampai maksa-maksa begitu?"
"Ah,
nggak tau pak lurah.. bapak memang suka memaksakan kehendak."
"Sepertinya
tadi sedang mabuk, aku mencium bau minuman keras."
"Benar
pak lurah."
"Lain
kali akan aku suruh petugas untuk memperingatkan. Mabuk-mabukan itu
dilarang."
"Mungkin
hanya pak lurah yang bisa memperingatkannya."
"Mudah-mudahan
mbah."
"Silahkan
diminum .." kata Sri.
Pak lurah
meneguk minuman yang disuguhkan.
"Beberapa
hari yang lalu mas Timan kemari kan?" katanya sambil menatap si Sri.
"Ya..."
jawab Sri pelan.
"Semoga
ada pembicaraan yang lebih serius ya Sri?"
Sri
menunduk tersipu.
"Ya
itulah pak lurah, nak Timan kan sudah bilang mau mengambil Sri sebagai
isterinya. Kemarin saya sebetulnya ingin bicara so'al itu sama Darmin, tapi
jawabannya sungguh diluar dugaan."
"Maksudnya?"
"Dia
bicara kasar sama saya, dan bilang supaya saya tidak usah memikirkan Sri,
karena Sri adalah anaknya."
"Dan
karena itu simbah jadi sakit semalam."
"Ya
ampun, mengapa dia menolak? Bukankah mas Timan orangnya baik, dan sudah
mapan?"
"Saya
belum sempat mengatakan siapa dia dan bagaimana dia, dia sudah menggebrag meja
dengan kata-kata yang menyakitkan."
"Jangan-jangan
Sri sudah dijodohkan dengan seseorang.."
"Saya
juga mengira begitu," kata mbah Kliwon.
"Kamu
tau siapa kira-kira orang yang dijodohkan sama kamu?"
"Nggak
tau saya, tapi kalau laki-laki setengah tua yang memberi uang sama bapak, dan
baju-baju buat saya, saya tidak akan mau."
"Oh,
kenapa? Dia jelek? Kurang tampan?" goda pak lurah.
"Dia
laki-laki setengah tua, tapi sangat kurangajar. Sri benci, dia jelas bukan
laki-laki yang baik. Tapi Sri nggak tau, apa maksud laki-laki itu dengan semua
pemberiannya."
"Kemungkinan
besar ya. Tapi kalau dia bukan laki-laki baik, harusnya pak Darmin mencegahnya.
Masa anak gadisnya akan diberikan kepada laki-laki yang tidak akan bisa membuat
anaknya bahagia?"
"Ya,
kalau itu orang waras, tapi apa dia itu waras?"
"Nanti
kalau mas Timan datang, saya akan mengantarnya menemui pak Darmin, tampaknya
pak Darmin punya rasa segan sama saya."
"Terimakasih
sebelumnya pak lurah," kata mbah Kliwon penuh harap.
***
Sore itu
Sri langsung mandi, lalu masuk kedalam kamarnya. Dia tak perlu melayani
bapaknya karena akhir-akhir ini Darmin selalu beli makanan sendiri yang
dihabiskannya tanpa perduli pada anaknya. Dan tampaknya sejak tadi dia juga tak
melihat bayangan ayahnya. Mungkin pergi entah kemana, membeli minuman keras
kekota, atau berfoya foya dengan uangnya.
Sri
merebahkan tubuhnya dan berusaha memejamkan matanya. Tiba-tiba wajah tampan
dengan mata teduh itu membayang dipelupuk matanya.
"Kalau
kamu ingin, jadilah isteriku.." kata-kata itu terngiang kembali, ketika
Sri mengatakan keinginannya bisa berjualan dipasar.
Sri
tersenyum. Seperti mudah mengatakan itu, membuat hatinya berbunga bunga.
Seandainya dia adalah kembang liar yang tumbuh ditepi jalan, betapa mudah
ketika Timan ingin memetiknya. Tapi dia adalah kembang yang tumbuh ditanah
kering, kerontang tanpa air sebagai penyiram dahaga. Dan tanah kering itu
berada dalam kekuasaan raksasa yang maha kejam dengan taring sebesar pisau
belati, dan mata selalu memancarkan api.
Sri
teringat dongeng ibunya ketika masih kecil.
"Sang
putri jelita diculik oleh raksasa, disembunyikan didalam goa yang hanya punya
satu pintu, dan dipintu itu duduk seekor singa yang siap menerkam siapa saja
yang berani memasukinya."
"Apakah
puteri itu menangis?" tanya Sri kecil yang mendengarkan dongeng itu
sambil berlinang air mata, karena kasihan pada sang putri.
"Tentu
saja puteri itu menangis, siang dan malam."
"Kasihan..."
"Tapi,
sang puteri yang baik hati dikasihani oleh Allah Yang Maha Pengasih."
"Lalu
Dia menolongnya?"
"Ya,
seorang pangeran dengan kuda putih berhenti dimulut goa, karena mendengar
tangisan sang putri. Pangeran tampan itu turun dari kuda, berjalan menuju goa.
Tapi tiba-tiba terdengar auman keras, lalu muncullah seekor singa yang
menampakkan gigi-gigi runcingnya.
"Berhenti
!!" kata singa itu.
"Siapa
yang menangis didalam sana?"
"Itu
bukan urusanmu. Segera pergi kalau tak ingin aku mengunyak-ngunyah
tubuhmu."
Sri kecil
menutup mulutnya.
"Tapi
sang pangeran tidak takut. Dia mengeluarkan pedangnya dan bertarung melawan
singa itu. Dan berkali-kali pedang sang pangeran melukai tubuh singa yang
mengamuk membabi buta. Akhirnya singa itu kalah dan mati."
"Syukurlah..
lalu bagaimana sang putri?" Sri kecil memeluk ibunya.
Sang
pangeran kemudian masuk kedalam goa, mendekaati sang putri dan
menggendongnya."
"Asyiiiik.."
teriak Sri kegirangan.
"Lalu
sang putri didudukkannya diatas kuda putih, dan sang pangeran membawanya ke
istananya."
Sri
menghela nafas, matanya setengah terpejam, seandainya dia puteri itu, siapakah
pangeran berkuda putih yang akan membawanya ke istananya?
Sri
terlelap dalam mimpi, tentang pangeran berkuda putih, yang membawanya
berkeliling dunia, melihat pemandangan indah yang terhampar
disekelilingnya.
Bahagia
rasanya, bersandar didada pangeran yang memeluknya dari belakang, mendengar
bisikan-bisikan cinta yang membuatnya terbuai disepanjang perjalanan.
***
Tapi pagi
itu sebelum berangkat, ayahnya memanggilnya. Rupanya belum lama dia pulang, dan
baru mau berangkat tidur.
"Sriii
!!"
Sri yang
baru mau melangkahkan kakinya keluar dari pintu, kemudian berhenti.
"Sini
kamu !"
Sri
kembali masuk, dilihatnya ayahnya berdiri didepan pintu kamarnya.
"Kamu
itu bandel ya. Kan bapak sudah bilang, jangan memakai baju-baju kumal itu
lagi!"
"Ini
bukan baju kumal. Ini bersih dan masih bagus."
"Itu
baju perempuan dusun yang tidak berkelas."
Sri
melebarkan matanya. Darimana bapaknya mendapatkan kata-kata berkelas itu?
Selama ini dia adalah gadis dusun. Kelas itu dipandang dari mana?
"Kamu
harus menjadi perempuan yang punya kelas."
"Kelas
itu apa?" tanya Sri dengan wajah kesal.
"Bodoh
!! Kelas adalah nilai derajat seseorang."
"Haaa..
darimana derajat itu dilihat? Bukankah derajat adalah sebuah perilaku yang
tampak dan yang terpuji? Bukan dari pakaian yang dikenakan?" kata Sri
dengan berani. mBah Kliwon sering mengatakan itu dan terpateri dalam
ingatannya.
"Apa
katamu? Siapa mengajarimu?"
"Hidup
yang mengajari Sri. Ma'af ya pak, kelakuan bapak itu yang tidak berkelas."
kata Sri makin berani, karena kebencian pada ayahnya semakin memuncak.
Darmin
maju selangkah dan sebuah tamparan mendarat dipipi si Sri.
"Auuw
!" Sri menjerit lirih sambil memegangi pipinya. Kalau saja ada kaca disana
pasti Sri akan melihat bahwa pipinya berbekas merah.
"Kamu
semakin kurangajar pada bapak? Kamu tidak punya rasa hormat !"
"Bapak
tidak mengajari saya bicara dengan hormat. Bapak menyakiti simbah, dan tidak
menghormati simbah sebagai ayah dari almarhum ibu."
Darmin
mengayunkan lagi tangannya, siap menyakiti Sri dengan tamparan yang lebih
keras, tapi Sri sudah membalikkan tubuhnya.
"Heii!
Dengar !! Bilang pada simbahmu, jangan ikut-ikutan mengurusi kamu!!" teriak
Darmin penuh amarah.
Lalu Sri
berlari keluar, membiarkan air matanya terburai sepanjang perjalanannya kerumah
Lastri.
Darmin
urung mengejarnya karena rasa kantuk memberati matanya. Ia memasuki kamarnya
sambil membanting pintu.
***
Ketika
tiba dihadapan mbah Kliwon, Sri melihat mbah Kliwon sudah duduk di kursi bambu,
dan dua gelas wedang jahe terhidang dihadapannya. Tidak hanya wedang, ada
sepiring ketela menemani wedang itu. Masih panas.
"mBah..
simbah bangun sangat pagi," sapa Sri sambil duduk didepan simbahnya.
"Ya,
simbah merasa lebih enak. Itu wedang buat kamu, minumlah dulu," kata mbah
Kliwon.
Sri
mengambil wedangnya dan menghirupnya pelan.
"Hm,
enak mbah.. "
"Kamu
tadi menangis?" tanya mbah Kliwon sambil menatap cucunya. Rupanya
mata tuanya masih sempat melihat sembab diwajah si Sri.
Sri
menghirup lagi wedangnya.
"Bapakmu
marah-marah? Apa yang dikatakannya kemarin begitu kamu sampai dirumah?"
"Ketika
Sri sampai dirumah, bapak tidak ada. Entah pergi kemana..Baru pagi tadi pulang,
ketika Sri mau berangkat."
"Bilang
apa dia?"
"Biasa
mbah, tidak perlu Sri ceritakan."
"Kamu
menangis?"
"Hampir
setiap hari Sri menangis." kata Sri sambil mengupas ketela sepotong yang
diambilnya.
Masih
panas, Sri mengupasnya pelan.
"Apa
bapakmu mengatakan bahwa kamu akan dijodohkan dengan seseorang? Yang namanya
Basuki itu.. misalnya?"
"Tidak,
bapak belum mengatakan apa-apa. Tapi kalau demikian halnya, maka Sri akan
menolaknya. Tak mungkin dia bujangan. Umurnya sudah setengah abad kira-kira,
dan matanya kelihatan bukan mata orang baik-baik. Jijik Sri melihatnya."
"Kebangetan
bapakmu itu.. pikirannya sudah tidak waras. Keracunan minuman keras. Tidak
memikirkan perasaan anaknya."
"Ya
sudah mbah, jangan difikirkan, mari kita bekerja..," kata Sri sambil
berdiri.
***
Sore itu
Sri pulang dengan perasaan segan. Sungguh menyebalkan dirumah sendiri, bersama
orang tuanya, tapi tak membuat hatinya nyaman. Salah siapa kalau Sri lebih
menyayangi simbahnya daripada bapaknya?
Kalau ada
kesempatan nanti Sri akan minta kepada ayah nya agar boleh tinggal bersama
simbahnya saja. Bolehkah? Bagaimana kalau tidak boleh? Beranikah dia nekat?
Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.
Tapi untuk
terus bersama ayahnya, dia merasa tak betah. Darmin seperti orang asing
baginya. Seperti tak ada ikatan darah yang membuatnya merasa sayang. Air mata
Sri menitik, lalu diusapnya.
Sri memantapkan
hatinya untuk bicara dengan ayahnya. Ia harus berani.
Namun
kira-kira sepuluh langkah sebelum dia memasuki pagar rumahnya, dilihatnya
sebuah mobil berhenti. Sri terkesiap. Itu seperti mobil si kurangajar itu. Sri
membalikkan tubuhnya karena tak ingin bertemu Basuki.
Ia
mempercepat langkahnya, namun sebongkah batu membuatnya tersandung sehingga dia
jatuh tersungkur. Sebuah langkah cepat menghampiri. Wajah Sri pucat pasi.
Tartatih berusaha bangun, tapi sebuah tangan menangkap lengannya. Lengan yang
kuat dan sedikit berbulu. Sri bergidik, mencoba meronta, tapi tangan itu begitu
kuat.
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar