Senin, 04 Mei 2020

Kembang Titipan 09-10


*KEMBANG TITIPAN  09*

"Bapaaak..." teriak Sri, namun Darmin tak mau menoleh, dengan langkah gontai dia langsung masuk dan menghilang dibalik pintu.

Sri terisak. Timan memegang pundaknya.
"Sri, sabar ya Sri..."
"Ma'afkan bapak ya mas, ma'afkan bapak.." isak Sri.
Timan mengangguk.

"Sudah, jangan dipikirkan Sri, bapak sedang dalam situasi yang buruk. Pada suatu hari nanti pasti dia akan mengerti," hibur Timan.

"Mas, bagaimana dengan parcel-parcel ini?" tanya Lastri.
"Mana Tri, aku serahkan saja kepada mereka, kalau mau biar diberikan kepada pak Darmin, kalau nggak mau ya biar dibagi sesama petugas saja."

"Ya yu, ayo aku bantu."
"Gimana ini sebaiknya pak?"

"Kita bicara diluar saja. Mungkin mencari rumah makan terdekat, bicara sambil makan," kata Bayu.
"Ya, saya setuju mas Bayu."

"Ma'af ya, mas Bayu, pak lurah, saya jadi merepotkan."kata Timan dengan penuh sesal.
"Lho, mas Timan mengapa bicara begitu? Kita ini sahabat, saudara, semua permasalahan harus kita pikul bersama."

 "Terimakasih banyak, mas Bayu, pak lurah dan bu lurah..juga Lastri dan tentu saja mbah Kliwon yang telah bela-belain nurutin kemauan saya untuk bertemu bapaknya si Sri," kata Timan yang tak mau melepaskan pegangannya pada Sri.

"Saya minta ma'af kepada semuanya, atas perlakuan menantu saya yang kasar dan tak pantas. Sedih saya melihat sikapnya tadi. Dia seperti bukan manusia," umpat mbah Kliwon yang sangat marah menyaksikan sikap menantunya tadi.

"Tidak apa-apa mbah, kami semua maklum, dan sepertinya kita semua sudah menduga akan demikianlah sambutannya ketika kita datang." kata pak lurah Mardi.

"Ayo kita keluar dulu, tampaknya masalah ini harus dibicarakan bersama," kata Bayu.
***

Disebuah rumah makan mereka berbincang. Sri terdiam, tak mampu berkata-kata. Bahwa dia adalah gadis titipan, sama sekali belum dimengertinya. Apa ayahnya menjual dirinya kepada seseorang? Apakah seseorang itu Basuki? Alangkah benci si Sri kepada laki-laki itu. Sesekali ia mengusap pipinya karena air matanya terus mengalir. Timan yang duduk didekatnya menepuk-nepuk tangannya agar Sri merasa lebih tenang.

"Sri, apa kamu tau siapa laki-laki yang dimaksud bapakmu?" tanya Lastri.
Sri tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala.

"Kemungkinan besar dia. Basuki, anaknya pak Cokro," kata mbah Kliwon.

"Kamu pernah melihat laki-laki itu Sri?" tanya Timan.
Sri mengangguk pelan.

"Kamu suka?"
Sri menggeleng keras.

"Berapa dia memberi uang untuk bapakmu Sri?" tanya lurah Mardi.
Sri kembali menggeleng.

"Kalau ada yang tau berapa jumlah yang sudah dibayarkan laki-laki itu, apakah saya bisa menggantinya?" tanya Timan.
"Sayangnya dia susah diajak komunikasi," keluh Bayu.

"Kalau saja ada yang tau, saya akan menghitung uang saya, barangkali saya bisa menebusnya." kata Timan mantap.

"Kalau perlu dua kali lipat. Saya akan membantu mas Timan."kata Bayu.
"Saya juga tidak keberatan membantu," kata lurah Mardi.

"Tapi bagaimana bisa menanyakan jumlah uangnya? Dia tidak bisa diajak bicara.
"Saya akan mencobanya, mungkin besok, tapi sendiri saja, supaya dia tidak marah," kata lurah Mardi.

Timan merasa terharu karena banyak yang ingin membantu. Ia menepuk tangan Sri.

"Sri, kamu tidak usah sedih, kami akan membantu, dan kamu akan terlepas dari laki-laki itu," kata Timan.
Sri kembali mengusap air matanya.

***

Esok harinya lurah Mardi pergi ke tempat Darmin ditahan. Semula Darmin tidak mau keluar, tapi ketika petugas mengatakan bahwa yang datang adalah pak lurah, maka barulah  Darmin bersedia. Wajahnya tetap tak menampakkan keramahan. Tapi lurah Mardi tetap menerimanya dengan senyuman.

"Apa kabar pak Darmin?" sapanya.
"Menurut pak lurah, bagaimana sih kabarnya kalau orang dikurung dalam tahanan?" kata Darmin sengit.

"Ya..ya, saya tau, pasti kurang nyaman ya pak. Tapi bukankah ini semua terjadi karena kesalahan pak Darmin sendiri?"

"Iya saya tau. Lalu mengapa? Kalau pak lurah datang kemari hanya untuk memaki-maki saya, maka lebih baik saya tidak usah menemui saja."

"Oh, jangan begitu pak. Pak Darmin kan tau bahwa saya adalah lurah desa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi didesa saya. Jadi jangan berprasangka buruk terhadap saya.”
Darmin terdiam.

"Saya ikut prihatin atas kejadian ini, dan saya berharap ini semua akan menjadi pelajaran bagi pak Darmin, agar selanjutnya bisa berkelakuan dengan lebih baik."

Mata Darmin berkilat. Ada amarah disana.

"Dan pak Darmin tau, apabila orang yang pak Darmin hajar dirumah makan itu sampai meninggal, maka pak Darmin bisa dihukum berat. Bisa sepuluh atau limabelas tahun dipenjara."

"Tapi saya hanya memukulnya sekali, karena dia mengganggu saya."

"Pak Darmin memukulnya sekali, tapi kepalanya terantuk tembok dengan keras sehingga dia mengalami gegar otak.  Sekarang masih dalam perawatan intensif. Berdo'alah agar dia tidak meninggal." kata lurah Mardi dengan nada mengancam.

Darmin terpaku ditempat duduknya. Kepalanya menunduk. Dibayangkannya berada dalam penjara sampai puluhan tahun, alangkah mengerikan.

"Pak Darmin, saya ingin bertanya, apakah pak Darmin mencintai puteri bapak?"
"Mengapa hal itu ditanyakan? Adakah orang tua yang tiak mencintai anaknya?"

Pak lurah Mardi tersenyum. Baguslah kalau pak Darmin juga mencintai anaknya. Semoga itu bukan hanya jawaban yang terlontar dari bibir saja.

"Senang saya mendengarnya. Tapi kemarin ketika saya kemari dengan beberapa saudara, pak Darmin bilang kalau Sri itu titipan seseorang. Maksudnya apa pak?"

"Ya memang begitulah sesungguhnya. Saya hanya mencegah orang lain mengganggu si Sri, karena dia itu sudah milik orang lain."

"Tapi pak Darmin perlu tau, bahwa Sri itu kan bukan barang?"
"Apa maksud pak lurah"

"Bagaimana seseorang bisa menjadi milik orang lain tanpa sepengetahuan orang terebut? Kalau itu barang, okelah, bisa saja sebuah barang dipindah tangankan dari satu orang ke orang lain, dengan imbalan misalnya. Atau bahasa gampangnya dibeli, begitu kan? Tapi kalau itu manusia bagaimana bisa terjadi pak?"

Darmin tampak meresapi kata-kata lurah Mardi.

"Saya butuh uang waktu itu. Saya terbelit hutang. Rumah hilang, harta hilang, dan masih punya hutang."
"Lalu ?"

"Lalu seseorang melunasi hutang saya. Semuanya dilunasi, dengan janji."
"Janji memiliki si Sri?"

"Waktu itu si Sri masih gadis kecil. Dia bilang menitipkan Sri ke saya, dengan janji kalau Sri sudah dewasa, saya harus menyerahkannya."

"Ooh, begitu ? Apa hanya itu satu-satunya cara untuk melunasi hutang bapak?"

"Hanya itu. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya tidak bisa bayar, saya harus membayarnya... dengan .. nyawa." kali itu pak Darmin mengatakannya dengan pilu.

Pak lurah Mardi terdiam, menatap Darmin yang menundukkan kepala sambil memainkan jari-jarinya.

"Sekarang Sri sudah dewasa. Saya harus memenuhi janji saya."
"Berapa banyak hutang pak Darmin waktu itu?"
"Tak terhitung. Seharga satu rumah bagus."

Lurah Mardi tercengang. Satu rumah? Itu bisa seratus sampai limaratus juta. Atau bisa lebih.
Apakah pak Darmin tidak berfikir, akankah Sri bahagia kalau harus melayani laki-laki yang tidak dia sukai?

"Saya takut kehilangan nyawa, apapun saya akan lakukan."

Lurah Mardi terdiam. Darmin juga terdiam. Masing-masing bicara dengan perasaannya sendiri.
Lama kelamaan Darmin tidak tampak garang seperti ketika kemarin lurah Mardi datang beramai-ramai. Barangkali ada sesal.. atau entahlah.

"Pak Darmin, seandainya ada orang yang mau membayar sebanyak dia telah melunasi hutang bapak waktu itu, apa perjanjian bisa batal?"

"Apa? Memangnya ada yang mau membayar sampai ratusan juta?"
"Barangkali ada.."

Pak Darmin diam sejenak, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu terserah dia."

"Dimana saya bisa menemui dia?"
"Namanya Basuki, almarhum bapaknya bernama Cokro. Tapi saya tidak tau dimana sekarang dia tinggal."

"Bukankah terkadang dia datang menemui pak Darmin?"
"Ya, hanya memastikan, bahwa Sri masih ada dibawah perlindungan saya. Maksudnya belum ada yang memilikinya. Dia selalu mengancam saya, dan nyawa taruhannya."

"Jadi Sri sudah pernah bertemu dia?"
"Lama sekali dia tidak datang, bertahun-tahun. Tapi akhir-akhir ini sering datang, hanya memberi saya uang, dan merasa yakin bahwa Sri masih perawan. Itulah sebabnya saya melarang siapapun mendekati Sri."

"Bagaimana sikap Sri terhadap Basuki?"
"Buruk. Sangat buruk. Tampaknya Sri benci pada Basuki."

"Ya pastilah, Basuki sudah terlalu tua  bukan?"
"Sebenarnya kalau wajah, masih menarik, cuma memang dia itu gila perempuan dari dulu."

"Kasihan kalau sampai Sri jatuh kedalam tangannya."
"Apa boleh buat. Kalau Sri menolak, saya harus mati."
"Ya Tuhan...."

"Sebenarnya Basuki tidak akan memaksa. Dia sanggup menunggu sampai Sri benar-benar mau melayani dia. " 

"Saya akan mencoba menemui Basuki. Sebagai anak orang terkenal pada jamannya, barangkali banyak yang mengetahui tentang dia."
Darmin tak menjawab apapun.

"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minukan keras."
"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa menutupi penderitaan saya yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."

"Tapi sebaiknya pak Darmin bertobat, karena bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka hati."
Darmin menghela nafas.

"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.”

Darmin tertunduk kelu. Belum pernah ia mau mendengarkan orang berkata-kata, apalagi bertutur yang seakan menyalahkan dia. Sekarang barulah dia meresapi kata demi kata yang dikatakan lurah Mardi. 
***

Namun Timan tidak merasa ketakutan dengan jumlah uang yang diperkirakan bisa menebus si Sri dari tangan Basuki.

"Tidak apa-apa pak lurah, saya masih punya rumah didesa. Saya akan menjualnya. "
"Tapi persisnya berapa kita harus ketemu dulu yang namanya Basuki."

 "Tapi dimana kita harus mencarinya?"
"Saya akan terus mencari informasi. Nanti mas Timan pasti akan saya kabari."

"Saya tunggu pak lurah, dan terimakasih banyak telah menemui pak Darmin demi saya."
"Saya bersyukur, tadi dia mau menerima saya. Wajah yang semula garang perlahan pudar, dan mau mendengar kata-kata saya, dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Syukurlah."
"Dia itu hanya takut mati."

"Takut mati?"
"Basuki mengancam akan membunuhnya kalau dia tak bisa membayar hutangnya, Lalu dia merelakan Sri untuk dijadikan isterinya. Janji itu sudah ada sejak Sri masih kanak-kanak."

"Saya akan berusaha melepaskan Sri dari jeratan hutang bapaknya."
"Saya akan terus membantu mas."

"Terimakasih pak lurah. Sekarang saya mau ketemu Sri dulu dirumah mbah Kliwon."
"Silahkan mas Timan, rupanya Sri juga butuh dukungan sa'at ini."

"Aamiin, mas Timan. Sampaikan salam saya pada Sri dan mbah Kliwon ya.
"Pak lurah benar. Semoga kita berhasil mengentaskan Sri dari penderitaannya."
***

Sore itu Sri pamit pulang sebentar untuk membersihkan rumah.
"Apa perlu simbah bantu?"
 "Tidak mbah, hanya rumah kecil saja kok. Saya cuma sebentar, lalu kembali kemari."

"Baiklah, selama bapakmu masih ditahan lebih baik kamu tidur disini saja, daripada sendirian dirumah sana."
"Ya mbah, maksud saya juga begitu."

"Kamu juga nggak boleh sedih lho Sri, banyak orang yang mendukung kamu."
"Ya mbah, Sri tau."

"Ya sudah, pulang sana dulu, jangan sampai hari gelap baru kembali kesini."
"Baiklah."

Sri melangkah keluar rumah, mbah Kliwon memandangi punggung cucunya dengan rasa iba.
Ia mengusap air matanya yang sempat menetes.

Namun ketika ia mau menutup pintu rumahnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Mbah Kliwon mengawasi siapa yang datang. 

"mBah.." sapa orang itu yang ternyata Timan.
"Walah nak Timan, mari silahkan masuk."

Timan masuk kedalam, matanya mencari-cari. 
"Mana si Sri?"

"O, Sri baru pamit sebentar nak, tapi tunggu saja, dia akan segera kembali," kata mbah Kliwon sambil masuk kedalam.

Sebelum pergi Sri sudah membuat wedang jahe kesukaannya. Masih panas, dan mbah Kliwon kemudian menuangnya kedalam gelas untuk disuguhkannya kepada Timan.

"Ini masih anget nak.":
"Simbah kok repot-repot, tapi terimakasih mbah," kata Timan yang langsung menyeruput wedang jahenya.

"Memangnya Sri kemana sih mbah?"
"Pulang sebentar, katanya mau bersih-bersih rumah. Tapi dia nanti tidur disini. Saya sudah pesan supaya jangan sampai malam kembalinya kemari."

"Saya habiskan wedangnya ya mbah, segar rasanya. Anget-anget enak."
"Habiskan saja nak, kalau mau dibelakang masih ada. Sri membuatnya sebelum pulang tadi."

***
Sri hampir selesai bersih-bersih. Ia mengunci semua pintu, baik yang dibelakang, maupun samping. Pintu depan masih tertutup, tapi Sri belum menguncinya. Ia lupa dimana kemarin meletakkan kunci rumah. Karena memang sudah dua hari rumah itu dibiarkan tidak terkunci, semenjak Sri lari kerumah simbahnya ketika ayahnya menjadi buron.

Lalu ia menyalakan lampu depan, agar kalau malam tidak tampak gulita.
Dimana kunci itu, Sri benar-benar lupa. Lalu Sri teringat bahwa ayahnya juga membawa kunci rumah. Ia memasuki kamar ayahnya, dan benar, kunci itu masih tergeletak diatas meja. Sri mengambilnya dan bergegas keluar. Tapi sebelum sempat dia membuka pintu, dilihatnya mobil berhenti didepan pagar. Sri terkesiap, itu mobil Basuki.

Sri mengunci pintunya dari dalam, lalu lari kebelakang rumah.
***
besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  10*

 

Terdengar langkah-langkah kaki. Sri menahan napas, takut apabila sebuah hembusan nafas akan terdengar olehnya. Lalu terdengar ketukan keras.

 

"Miin! Darmiin !!

Ketukan lagi semakin keras.

 

"Miin! Kamu mampus atau apa?"

Wajah Sri merah padam mendengar Basuki memaki ayahnya.

"O, berarti minggat dia."

 

Terdengar langkah menjauh, lalu orang berbicara. Rupanya Basuki ketemu seseorang.

"Pak, tau nggak dimana Darmin?"

"O, pak Darmin ditangkap polisi pak."

"Apa? Ditangkap polisi?"

"Sudah tiga hari ini pak.."

 

"Dasar wong eddan !! Kalau anaknya dimana?"

"Si Sri ? Sepertinya ikut mbahnya. tapi saya tadi seperti melihat dia pulang."

 

Sri berdebar, jangan-jangan Basuki akan kembali.

 

"Tapi kok sepi.. "

"Mungkin sudah kembali kerumah mbahnya."

 

Lalu terdengar mobil distarter, kemudian suara mobil menjauh.

Sri menghela nafas lega. Ia menunggu beberapa sa'at untuk meyakinkan apakah Basuki sudah pergi atau kembali kerumah.

 

Beberapa sa'at tak terdengar suara, Sri membuka pintu dan melongok keluar. Lalu berjalan keluar pagar, melihat kekiri dan kekanan, apakah mobil itu benar-benar sudah pergi.

 

Lalu Sri mengunci pintu rumah, dan bergegas kembali kerumah mbah Kliwon.

***

 

Timan berkali-kali melongok kearah jalan, tampak gelisah karena Sri tak segera kembali. Malam mulai  merambah, dan suasana sekeliling tampak temaram. 

 

mBah Kliwon berdiri, menuju pagar, iapun gelisah.

"Tadi katanya sebentar, ini mulai gelap. Ngapain saja anak itu," omelnya sambil memasuki rumah kembali."

"Bagaimana kalau kita susul saja mbah?" kata Timan. 

 

"Biar saya yang menyusul."

"Jangan mbah, mari kita susul berdua. Naik mobil saja. Jauhkah?"

"Tidak usah nak, rumahnya nggak jauh, jalan kaki saja."

"Ya sudah, mari saya antar mbah."

 

Keduanya berjalan kearah rumah Darmin, dengan debar yang sama. Jangan-jangan bertemu Basuki, lalu ..

 

"Simbaaah." teriak Sri dari kejauhan. 

Timan dan mbah Kliwon merasa lega. 

 

"Ada mas Timan ?" sapa si Sri sambil tersenyum.

 

Timan harus menembus gelapnya temaram malam ketika ingin menikmati senyuman itu.  Hanya tampak remang, tapi cukup membuat dadanya berdebar kencang. Aduhai, mengapa sebuah cinta bisa mengolah batin dan raga sehingga bergejolak dan membuat semuanya jadi berbeda?

 

"Sri..." hanya itu yang diucapkannya ketika Sri menyalaminya. Tangannyapun berkeringat. Timan meremasnya lembut.

 

"Nak Timan menunggu agak lama. Simbah kira kamu akan segera kembali.

"Sudah tadi Sri mau kembali mbah, tapi tiba-tiba Basuki datang."

 

"Apa? Ada Basuki? Diapakan kamu?" tanya mbah Kliwon cemas.

"Tidak sempat ketemu, karena ketika dia datang Sri masih didalam. Lalu Sri cepat-cepat mengunci pintu depan."

 

"Dia tidak memaksa masuk?"

"Dia tadinya berteriak-teriak memangggil bapak, Sri diamkan saja. Lalu salah seorang tetangga yang lewat memberi tau bahwa bapak sedang ditahan. Kemudian dia pergi."

 

Timan dan mbah Kliwon menatik nafas lega.

"Syukurlah Sri tadi kami sangat cemas, kok sampai gelap begini belum pulang juga, lalu menyusul kamu."

"Sri harus menunggu beberapa sa'at sampai yakin bahwa dia benar-benar pergi."

 

"Kamu benar Sri, so'alnya kalau tidak bisa-bisa kamu dibawanya pergi."

"Sri sudah gemetaran tadi mbah."

 

"Iya, pantesan tangannya berkeringat," canda Timan.

"Itu karena kamu mas, bukan karena takut sama Basuki," kata Sri dalam hati. Mana mungkin ia benar-benar mengatakannya.

 

"mBah, tadi dirumah masih ada beberapa mie instan, ini saya bawa. Nanti Sri masak dan dimakan bersama ya, sama mas Timan juga."

 

"Wah, bagus nduk, bisa rame-rame makan mie instan, kebetulan simbah tadi juga mengambil telur di pekarangan. Ada empat telur yang baru saja simbah ambil. Bisa untuk teman makan, ya kan nak Timan?"

 

"Baru mendengar sudah terasa nikmatnya mbah, apalagi kalau Sri yang masak." kata Timan sambil menoleh kearah gadis yang berjalan disampingnya.

 

Sri hanya tersenyum. Ingin ia mencubit lengan Timan, tapi diurungkannya. Sungkan, nanti dikira genit. Eh.. masa sih gitu aja dibilang genit? 

 

Mereka sudah sampai dirumah mbah Kliwon. Sri langsung lari kebelakang sambil membawa bungkusan mie.

 

"Tungguin ya mas," katanya sambil berlalu.

***

 

 "Dari mana mas, kok sampai malam." tanya Marni kepada suaminya ketika hari sudah malam dan pak lurah baru saja pulang.

 

"Sedang mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal bu."

"Sudah dapat ?"

 

"Rumahnya banyak, tapi beberapa yang aku datangi, penunggu rumahnya bilang kalau Basuki tak pernah pulang kesana."

"Nggak ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"

"Nggak ada yang tau."

 

"Jadi dimana rumah Basuki yang ditempatinya setiap hari?"

"Belum mendapat informasi jelas bu, besok aku akan bertanya-tanya lagi."

 

"Sepertinya sa'at ini mas Timan masih ada dirumah mbah Kliwon."

"Oh ya? Siang tadi kami omong-omong di kantor kelurahan, dan dia juga bilang mau langsung  kesana. Mungkinkah dia masih disana ?"

 

"Tadi waktu Marni tilpun, mbah Kliwon bilang mas Timan masih ada disana."

"Oh, syukurlah, dengan adanya pak Darmin di tahanan, mas Timan lebih leluasa ketemu Sri."

 

"Langsung dinikahkan saja gimana mas?"

"Wah, jangan begitu, bapaknya masih ada, dan dia masih terikat dengan Basuki . Perjanjian mereka harus diselesaikan dulu."

 

"Sungguh menjengkelkan pak Darmin ini. Masa tega menjual anak gadisnya sendiri."

"Dia takut mati."

 

"Itu kan karena ulahnya sendiri. Tukang judi, tukang minum.. huuh.. akhirnya anaknya jadi korban, sungguh tega dia."

 

"Ketika orang sedang menikmati sesuatu yang menurut mereka itu menyenangkan, mereka lupa apa akibat yang akan ditimbulkannya."

 

"Iya mas, tenggelam dalam lautan kesenangan, tak perduli itu dosa atau akan menyengsarakan orang lain. Jadi gemes aku sama pak Darmin. Rasanya pengin mukulin saja."

 

Pak lurah tertawa.

"Memangnya kamu berani mukulin pak Darmin? Badanmu kecil begitu?" ledek pak lurah.

"Ee, biar badan kecil tapi kalau menghadapi orang kayak gitu ya tetap saja aku berani mas, kemarin saja aku berani memaki-maki dia."

 

"Wa, iya ya, isteriku memang hebat. Dan itu sebabnya aku memilih kamu. Bu lurah harus berani dan tegas, itu seiring dengan tugas pak lurah yang juga harus tegas terhadap semua masalah."

 

"Hm, senengnya dipuji suami. Ya sudah, istirahat dulu mas, Marni mau siapkan makan malam sekarang ya."

 

"Jarot sudah tidur ?"

"Sudah, tapi jangan mendekati dulu sebelum cuci kaki tangan lho mas, nggak boleh. Kalau sudah bersih baru boleh mendekati bayi. Mas itu bawa sawan dari jalanan."

 

"Sawan itu apa?"

"Sawan itu ya segala macam yang buruk. Demit, setan, aura jahat, sudah.. cepet bersih-bersih sana."

 

"Baiklah, yayi ratu.." canda pak lurah.

"Hm, kebanyakan nonton ketoprak," gerutu Marni sambil bergegas kebelakang.

 

  ***

 

"Saya bilang apa, mie buatan Sri sangat enak, nih.. sampai bercucuran keringat saya, padahal udara sangat dingin."

 

"Mas Timan bisa aja, kan itu sudah ada bumbunya, Sri tinggal merebus dan menambahkan telurnya. Jadi bukan Sri dong yang masak."

 

"Iya, tapi yang merebus siapa. Beda lho rebusan satu dengan lain orang. Kata orang-orang tua, beda tangan yang memasak akan beda pula rasanya, walau bumbunya sama."

 

"Mas Timan tau dari mana?"

"Ya dari orang-orang tua, dari obrolan ibu-ibu dipasar. Aku mendengarkan saja sambil merasakan. Kan sebentar lagi aku punya isteri."

 

"Oh ya? Dapat isteri dari mana mas?" tanya Sri memancing. Bodohlah kalau dia tak tau maksudnya.

"Dari desa sini aja," kata Timan tetap berteka teki.

 

"Waduh, kira-kira aku kenal nggak ya?"

"Oh, kalau itu aku nggak tau. Tapi aku yakin mbah Kliwon tau kok."

 

"Ada apa, nyebut-nyebut nama simbah," teriak mbah Kliwon dari kamar, karena ia sengaja memberi waktu kedua anak muda itu untuk berbincang.

Sri dan Timan tertawa.

 

"Itu mbah, mas Timan," teriak Sri.

"Timan mau tanya mbah, siapa gadis yang sebenarnya akan menjadi isteri Timan? mbah Kliwon tau kan ?"

 

"Ya tau lah, cuma gadisnya itu saja yang pura-pura tidak tau," jawab mbah Kliwon masih dari dalam kamar.

"Yang mana ya gadisnya?" Timan tersenyum, menatap Sri lekat-lekat. Hati Sri bergetar.

 

Barangkali tatapan tajam tapi teduh itulah yang membuat dia jatuh cinta pada Timan. Cinta pertamanya, yang semoga menjadi cinta terakhir. Begitu pikir Sri selalu.

 

Tapi ia sadar bahwa masih banyak kendala yang harus dilompatinya. Tadi Timan sudah cerita sama mbah Kliwon tentang sikap ayahnya yang menentang Sri berhubungan dengan siapa saja. Sedih rasanya menyadari bahwa seakan dia dijual oleh bapaknya demi nyawa yang lebih disayanginya.

Mengingat hal itu, wajah Sri menjadi tampak murung. 

 

"Ada apa Sri? Kamu marah karena aku mengatakan hal itu? Kamulah gadis yang akan menjadi isteriku. Keputusanku sudah bulat, apapun harus aku lakukan demi kamu."

 

"Tidak mas, aku tidak marah."

"Wajahmu tampak sedih tiba-tiba."

 

"Aku ini sebenarnya kan gadis titipan ?"

"Kamu itu kembang titipan, tak mudah memetiknya, karena kamu ada dalam belenggu besi yang sangat kuat. Tapi aku akan mematahkan besi itu dan memetikmu."

 

Berlinang mata Sri mendengar kata-kata Timan Akan mudahkah mematahkan belenggu besi itu?

 

"Jangan menangis Sri, sebah cinta akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak terputuskan. Aku dan kamu, akan menikmati hari-hari bahagia kita bersama. Teruslah berharap dan bermimpi, sampai mimpi itu menjadi kenyataan."

 

Alangkah lembut kata-kata itu. Alangkah sejuk  bagai air surgawi yang menyiram nuraninya yang sedang gundah.

 

"Sri, sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama disini. Tapi ini sudah malam, sebaiknya aku pamit dulu," kata Timan sambil terus memandangi kekasih hatinya.

 

"Ya mas, aku tau, terimakasih banyak karena telah menguatkan aku."

"Kita akan saling menguatkan."

 

Timan berdiri lalu mendekati kamar mbah Kliwon.

"Mbah, Timan pamit dulu ya."

"Lho, kirain mau menginap disini,"  kata mbah Kliwon sambil bangkit lalu keluar dari kamar.

 

"Ya enggak mbah, mana pantas saya menginap sementara ada kembang titipan disini."

mBah Kliwon tertawa. 

 

"Kembang titipan akan siap dipetik pada waktunya. Baiklah nak, terimakasih banyak, dan jangan segan-segan main kesini lagi."

"Saya akan sering datang kemari mbah," katanya sambil melirik si Sri.

 

Ketika Timan pulang, terasa ada yang sunyi dihatinya. Walau ada mbah Kliwon yang selalu menghiburnya, tapi keberadaan Timan didekatnya membuat hidupnya terasa nyaman.

 

  ***

 

Ketika melewat rumah lurah Mardi, Timan melihat pak lurah masih duduk dibangku depan rumah. Timan membunyikan klaksonnya. Lurah Mardi yang tau bahwa itu Timan segera melambaikan tangannya.

Timan menghentikan mobilnya, lalu turun dan melangkah mendekati mereka.

 

"Baru pulang mas?" sapa lurah Mardi.

"Iya, inipun sudah kemalaman bukan? Sebentar lagi saja pasti saya sudah ditangkap hansip," kata Timan sambil tertawa.

 

"Kebetulan dong, kalau ditangkap hansip kan malah langsung dinikahkan?" kata Marni menyela.

Pak lurah dan Timan tertawa.

 

"Bagaimana, sudah bicara sama mbah Kliwon?"

"Semuanya sudah saya ceritakan. Saya akan berusaha membayar berapapun untuk Sri.

 

"Saya kan sore tadi jalan-jalan kekita, mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal,"kata lurah Mardi.

"Haa, berarti sudah tau dimana dia tinggal?"

 

"Belum. Ada beberapa rumah milik Basuki, tapi tak satupun dari rumah-rumah itu ditinggalinya. Hanya orang-orang yang bertugas menunggu dan membersihan rumaah itu yang ada. Tapi tak seorangpun tau dimana Basuki tinggal menetap.

 "Wah, sayang ya pak lurah."

 

"Tapi nanti saya akan terus mencari informasi. Mas Timan jangan khawatir, menemukan orang terkenal seperti Basuki itu mudah, cuma agak ruwet."

"Sama saja itu namanya mas," sela Marni.

 

"Tapi setidaknya masih ada jalan, tenang saja mas Timan."

"Ya sudah, saya menunggu berita selanjutnya ya pak lurah, ini sudah malam, saya pamit dulu."

 "Silahkan mas, hati-hati dijalan ya."

 

"Kasihan mereka ya mas," kata Marni begitu Timan sudah berlalu.

"Iya. Semoga segera ada jalan keluar yang lebih baik."

 

***

 

 

Pagi itu Darmin merasa kesal, karena petugas mengatakan ada yang ingin ketemu.

 

"Huh, siapa sih, aku bosan dipanggil keluar terus menerus," gerutu Darmin.

"Seorang laki-laki, ganteng, tapi sudah agak tua." 

"Dia menyebutkan namanya?"

"Basuki."

 

Darmin langsung bersemangat. Pasti akan ada amplop yang ditinggalkan untuknya. Atau dia akan berusaha mengeluarkannya dari tahanan dengan jaminan? Iyalah.. Dia harus membantu karena aku kan calon mertuanya, kata Darmin dalam hati.

 

Darmin melangkah keluar dengan senyum terkembang. Senyum yang sama sekali tak kelihatan manis, karena menampakkan gigi kekuningan oleh sisa-sisa nikotin yang tertinggal disana.

 

"Tuan, bagaimana bisa kemari?"

"Bisalah, aku kerumah kamu."

 

"Ketemu Sri, lalu memberitahukan bahwa saya ada disini?"

"Tidak, rumah kamu tertutup rapat. Tapi ada orang yang memberi tau bahwa kamu sedang ditahan. Apa yang kamu lakukan?"

 

"Saya lagi makan dan minum-minum disebuah bar, ada yang meng olok-olok saya."

"Mengolok olok bagaimana?"

 

Lalu Darmin bercerita.

"Hei, jangan duduk disitu, dekat orang dekil itu, pasti badannya bau," kata seorang laki-laki kepada temannya.

 

Darmin yang sedang mabuk naik pitam. Ia langsung berdiri, memegang  leher  baju orang itu, kemudian menghajar wajahnya. Laki-laki itu terbanting kebelakang dan kepalanya mengenai tembok. Lalu Darmin lari sebelum polisi datang.

 

 "Wauww.. hebat kamu Darmin. Tapi bagaimana kamu bisa tertangkap?" kata Basuki sambil tertawa.

 

"Ada orang yang mengenali saya rupanya, kemudian saya ditangkap."

"Goblognya kamu, mengapa tidak sembunyi?"

 

"Saya pulang kerumah karena mengira tak ada yang tau. Tapi ternyata mereka datang untuk menangkap saya. Mendengar rame-rame diluar, saya kabur. Saya sudah berhasil lari dari kejaran mereka, tapi setelah melintasi perkebunan dan sampai dijalan, polisi mengenali saya. Ya sudah, mau apa lagi."

 

"Bagaimana kabarnya Sri?"

"Dia baik-baik saja, bersama mbahnya."

 

"Oh, sebenarnya aku ingin ketemu dan bicara baik-baik sama dia."

"Tuan, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan."

 

"Apa? Kamu mau aku membebaskan kamu dengan membayar uang jaminan?"

"Itu juga harapan saya."

 

"Kalau saya sudah ketemu Sri, dan Sri sanggup aku bawa pergi, baru aku akan melepaskan kamu."

 

Darmin termenung, tampaknya tidak mudah merayu si Sri, apalagi didekatnya ada mbah Kliwon yang pasti akan membantunya. Tiba-tiba Darmin ingin terlepas dari jeratan Basuki. Ia merasa Basuki tak akan bisa membantunya keluar dari sana karena syaratnya harus bisa membawa Sri terlebih dulu. Dan itu tidak akan mudah, kecuali kalau dia ada disamping si Sri.

 

"Mengapa kamu diam?"

"Begini. Kemarin ada orang yang ingin mengambil Sri sebagai isteri."

 

Basuki menatap Darmin dengan pandangan marah.

"Apa kamu lupa bahwa Sri sudah menjadi milikku?" hardiknya.

"Bagaimana kalau dia sanggup membayar berapa banyak uang yang tuan pakai untuk membayari semua hutang saya belasan tahun yang lalu?"

 

Wajah Basuki merah padam.

"Tidak. Aku sudah banyak uang ! Aku hanya mau si Sri !!'

***

 

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar