*KEMBANG
TITIPAN 09*
"Bapaaak..."
teriak Sri, namun Darmin tak mau menoleh, dengan langkah gontai dia langsung
masuk dan menghilang dibalik pintu.
Sri
terisak. Timan memegang pundaknya.
"Sri,
sabar ya Sri..."
"Ma'afkan
bapak ya mas, ma'afkan bapak.." isak Sri.
Timan
mengangguk.
"Sudah,
jangan dipikirkan Sri, bapak sedang dalam situasi yang buruk. Pada suatu hari
nanti pasti dia akan mengerti," hibur Timan.
"Mas,
bagaimana dengan parcel-parcel ini?" tanya Lastri.
"Mana
Tri, aku serahkan saja kepada mereka, kalau mau biar diberikan kepada pak
Darmin, kalau nggak mau ya biar dibagi sesama petugas saja."
"Ya
yu, ayo aku bantu."
"Gimana
ini sebaiknya pak?"
"Kita
bicara diluar saja. Mungkin mencari rumah makan terdekat, bicara sambil
makan," kata Bayu.
"Ya,
saya setuju mas Bayu."
"Ma'af
ya, mas Bayu, pak lurah, saya jadi merepotkan."kata Timan dengan penuh
sesal.
"Lho,
mas Timan mengapa bicara begitu? Kita ini sahabat, saudara, semua permasalahan
harus kita pikul bersama."
"Terimakasih
banyak, mas Bayu, pak lurah dan bu lurah..juga Lastri dan tentu saja mbah
Kliwon yang telah bela-belain nurutin kemauan saya untuk bertemu bapaknya si
Sri," kata Timan yang tak mau melepaskan pegangannya pada Sri.
"Saya
minta ma'af kepada semuanya, atas perlakuan menantu saya yang kasar dan tak
pantas. Sedih saya melihat sikapnya tadi. Dia seperti bukan manusia,"
umpat mbah Kliwon yang sangat marah menyaksikan sikap menantunya tadi.
"Tidak
apa-apa mbah, kami semua maklum, dan sepertinya kita semua sudah menduga akan
demikianlah sambutannya ketika kita datang." kata pak lurah Mardi.
"Ayo
kita keluar dulu, tampaknya masalah ini harus dibicarakan bersama," kata
Bayu.
***
Disebuah
rumah makan mereka berbincang. Sri terdiam, tak mampu berkata-kata. Bahwa dia
adalah gadis titipan, sama sekali belum dimengertinya. Apa ayahnya menjual
dirinya kepada seseorang? Apakah seseorang itu Basuki? Alangkah benci si Sri
kepada laki-laki itu. Sesekali ia mengusap pipinya karena air matanya terus
mengalir. Timan yang duduk didekatnya menepuk-nepuk tangannya agar Sri merasa
lebih tenang.
"Sri,
apa kamu tau siapa laki-laki yang dimaksud bapakmu?" tanya Lastri.
Sri tidak
menjawab. Ia hanya menundukkan kepala.
"Kemungkinan
besar dia. Basuki, anaknya pak Cokro," kata mbah Kliwon.
"Kamu
pernah melihat laki-laki itu Sri?" tanya Timan.
Sri
mengangguk pelan.
"Kamu
suka?"
Sri
menggeleng keras.
"Berapa
dia memberi uang untuk bapakmu Sri?" tanya lurah Mardi.
Sri
kembali menggeleng.
"Kalau
ada yang tau berapa jumlah yang sudah dibayarkan laki-laki itu, apakah saya
bisa menggantinya?" tanya Timan.
"Sayangnya
dia susah diajak komunikasi," keluh Bayu.
"Kalau
saja ada yang tau, saya akan menghitung uang saya, barangkali saya bisa
menebusnya." kata Timan mantap.
"Kalau
perlu dua kali lipat. Saya akan membantu mas Timan."kata Bayu.
"Saya
juga tidak keberatan membantu," kata lurah Mardi.
"Tapi
bagaimana bisa menanyakan jumlah uangnya? Dia tidak bisa diajak bicara.
"Saya
akan mencobanya, mungkin besok, tapi sendiri saja, supaya dia tidak
marah," kata lurah Mardi.
Timan
merasa terharu karena banyak yang ingin membantu. Ia menepuk tangan Sri.
"Sri,
kamu tidak usah sedih, kami akan membantu, dan kamu akan terlepas dari
laki-laki itu," kata Timan.
Sri
kembali mengusap air matanya.
***
Esok
harinya lurah Mardi pergi ke tempat Darmin ditahan. Semula Darmin tidak mau
keluar, tapi ketika petugas mengatakan bahwa yang datang adalah pak lurah, maka
barulah Darmin bersedia. Wajahnya tetap tak menampakkan keramahan. Tapi
lurah Mardi tetap menerimanya dengan senyuman.
"Apa
kabar pak Darmin?" sapanya.
"Menurut
pak lurah, bagaimana sih kabarnya kalau orang dikurung dalam tahanan?" kata
Darmin sengit.
"Ya..ya,
saya tau, pasti kurang nyaman ya pak. Tapi bukankah ini semua terjadi karena
kesalahan pak Darmin sendiri?"
"Iya
saya tau. Lalu mengapa? Kalau pak lurah datang kemari hanya untuk memaki-maki
saya, maka lebih baik saya tidak usah menemui saja."
"Oh,
jangan begitu pak. Pak Darmin kan tau bahwa saya adalah lurah desa yang
bertanggung jawab atas semua yang terjadi didesa saya. Jadi jangan berprasangka
buruk terhadap saya.”
Darmin
terdiam.
"Saya
ikut prihatin atas kejadian ini, dan saya berharap ini semua akan menjadi
pelajaran bagi pak Darmin, agar selanjutnya bisa berkelakuan dengan lebih
baik."
Mata
Darmin berkilat. Ada amarah disana.
"Dan
pak Darmin tau, apabila orang yang pak Darmin hajar dirumah makan itu sampai
meninggal, maka pak Darmin bisa dihukum berat. Bisa sepuluh atau limabelas
tahun dipenjara."
"Tapi
saya hanya memukulnya sekali, karena dia mengganggu saya."
"Pak
Darmin memukulnya sekali, tapi kepalanya terantuk tembok dengan keras sehingga
dia mengalami gegar otak. Sekarang masih dalam perawatan intensif.
Berdo'alah agar dia tidak meninggal." kata lurah Mardi dengan nada
mengancam.
Darmin terpaku
ditempat duduknya. Kepalanya menunduk. Dibayangkannya berada dalam penjara
sampai puluhan tahun, alangkah mengerikan.
"Pak
Darmin, saya ingin bertanya, apakah pak Darmin mencintai puteri bapak?"
"Mengapa
hal itu ditanyakan? Adakah orang tua yang tiak mencintai anaknya?"
Pak lurah
Mardi tersenyum. Baguslah kalau pak Darmin juga mencintai anaknya. Semoga itu
bukan hanya jawaban yang terlontar dari bibir saja.
"Senang
saya mendengarnya. Tapi kemarin ketika saya kemari dengan beberapa saudara, pak
Darmin bilang kalau Sri itu titipan seseorang. Maksudnya apa pak?"
"Ya
memang begitulah sesungguhnya. Saya hanya mencegah orang lain mengganggu si
Sri, karena dia itu sudah milik orang lain."
"Tapi
pak Darmin perlu tau, bahwa Sri itu kan bukan barang?"
"Apa
maksud pak lurah"
"Bagaimana
seseorang bisa menjadi milik orang lain tanpa sepengetahuan orang terebut?
Kalau itu barang, okelah, bisa saja sebuah barang dipindah tangankan dari satu
orang ke orang lain, dengan imbalan misalnya. Atau bahasa gampangnya dibeli, begitu
kan? Tapi kalau itu manusia bagaimana bisa terjadi pak?"
Darmin
tampak meresapi kata-kata lurah Mardi.
"Saya
butuh uang waktu itu. Saya terbelit hutang. Rumah hilang, harta hilang, dan
masih punya hutang."
"Lalu
?"
"Lalu
seseorang melunasi hutang saya. Semuanya dilunasi, dengan janji."
"Janji
memiliki si Sri?"
"Waktu
itu si Sri masih gadis kecil. Dia bilang menitipkan Sri ke saya, dengan janji
kalau Sri sudah dewasa, saya harus menyerahkannya."
"Ooh,
begitu ? Apa hanya itu satu-satunya cara untuk melunasi hutang bapak?"
"Hanya
itu. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya tidak bisa bayar, saya harus
membayarnya... dengan .. nyawa." kali itu pak Darmin mengatakannya dengan
pilu.
Pak lurah
Mardi terdiam, menatap Darmin yang menundukkan kepala sambil memainkan
jari-jarinya.
"Sekarang
Sri sudah dewasa. Saya harus memenuhi janji saya."
"Berapa
banyak hutang pak Darmin waktu itu?"
"Tak
terhitung. Seharga satu rumah bagus."
Lurah
Mardi tercengang. Satu rumah? Itu bisa seratus sampai limaratus juta. Atau bisa
lebih.
Apakah pak
Darmin tidak berfikir, akankah Sri bahagia kalau harus melayani laki-laki yang
tidak dia sukai?
"Saya
takut kehilangan nyawa, apapun saya akan lakukan."
Lurah
Mardi terdiam. Darmin juga terdiam. Masing-masing bicara dengan perasaannya
sendiri.
Lama
kelamaan Darmin tidak tampak garang seperti ketika kemarin lurah Mardi datang
beramai-ramai. Barangkali ada sesal.. atau entahlah.
"Pak
Darmin, seandainya ada orang yang mau membayar sebanyak dia telah melunasi
hutang bapak waktu itu, apa perjanjian bisa batal?"
"Apa?
Memangnya ada yang mau membayar sampai ratusan juta?"
"Barangkali
ada.."
Pak Darmin
diam sejenak, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu
terserah dia."
"Dimana
saya bisa menemui dia?"
"Namanya
Basuki, almarhum bapaknya bernama Cokro. Tapi saya tidak tau dimana sekarang
dia tinggal."
"Bukankah
terkadang dia datang menemui pak Darmin?"
"Ya,
hanya memastikan, bahwa Sri masih ada dibawah perlindungan saya. Maksudnya
belum ada yang memilikinya. Dia selalu mengancam saya, dan nyawa
taruhannya."
"Jadi
Sri sudah pernah bertemu dia?"
"Lama
sekali dia tidak datang, bertahun-tahun. Tapi akhir-akhir ini sering datang,
hanya memberi saya uang, dan merasa yakin bahwa Sri masih perawan. Itulah
sebabnya saya melarang siapapun mendekati Sri."
"Bagaimana
sikap Sri terhadap Basuki?"
"Buruk.
Sangat buruk. Tampaknya Sri benci pada Basuki."
"Ya
pastilah, Basuki sudah terlalu tua bukan?"
"Sebenarnya
kalau wajah, masih menarik, cuma memang dia itu gila perempuan dari dulu."
"Kasihan
kalau sampai Sri jatuh kedalam tangannya."
"Apa
boleh buat. Kalau Sri menolak, saya harus mati."
"Ya
Tuhan...."
"Sebenarnya
Basuki tidak akan memaksa. Dia sanggup menunggu sampai Sri benar-benar mau
melayani dia. "
"Saya
akan mencoba menemui Basuki. Sebagai anak orang terkenal pada jamannya,
barangkali banyak yang mengetahui tentang dia."
Darmin tak
menjawab apapun.
"Dan
satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minukan keras."
"Saya
sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa
menutupi penderitaan saya yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."
"Tapi
sebaiknya pak Darmin bertobat, karena bertobat adalah obat terbaik untuk
mengobati luka hati."
Darmin
menghela nafas.
"Dan
apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru
memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.”
Darmin
tertunduk kelu. Belum pernah ia mau mendengarkan orang berkata-kata, apalagi
bertutur yang seakan menyalahkan dia. Sekarang barulah dia meresapi kata demi
kata yang dikatakan lurah Mardi.
***
Namun
Timan tidak merasa ketakutan dengan jumlah uang yang diperkirakan bisa menebus
si Sri dari tangan Basuki.
"Tidak
apa-apa pak lurah, saya masih punya rumah didesa. Saya akan menjualnya. "
"Tapi
persisnya berapa kita harus ketemu dulu yang namanya Basuki."
"Tapi
dimana kita harus mencarinya?"
"Saya
akan terus mencari informasi. Nanti mas Timan pasti akan saya kabari."
"Saya
tunggu pak lurah, dan terimakasih banyak telah menemui pak Darmin demi
saya."
"Saya
bersyukur, tadi dia mau menerima saya. Wajah yang semula garang perlahan pudar,
dan mau mendengar kata-kata saya, dan mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi."
"Syukurlah."
"Dia
itu hanya takut mati."
"Takut
mati?"
"Basuki
mengancam akan membunuhnya kalau dia tak bisa membayar hutangnya, Lalu dia merelakan
Sri untuk dijadikan isterinya. Janji itu sudah ada sejak Sri masih
kanak-kanak."
"Saya
akan berusaha melepaskan Sri dari jeratan hutang bapaknya."
"Saya
akan terus membantu mas."
"Terimakasih
pak lurah. Sekarang saya mau ketemu Sri dulu dirumah mbah Kliwon."
"Silahkan
mas Timan, rupanya Sri juga butuh dukungan sa'at ini."
"Aamiin,
mas Timan. Sampaikan salam saya pada Sri dan mbah Kliwon ya.
"Pak
lurah benar. Semoga kita berhasil mengentaskan Sri dari penderitaannya."
***
Sore itu
Sri pamit pulang sebentar untuk membersihkan rumah.
"Apa
perlu simbah bantu?"
"Tidak
mbah, hanya rumah kecil saja kok. Saya cuma sebentar, lalu kembali
kemari."
"Baiklah,
selama bapakmu masih ditahan lebih baik kamu tidur disini saja, daripada
sendirian dirumah sana."
"Ya
mbah, maksud saya juga begitu."
"Kamu
juga nggak boleh sedih lho Sri, banyak orang yang mendukung kamu."
"Ya
mbah, Sri tau."
"Ya
sudah, pulang sana dulu, jangan sampai hari gelap baru kembali kesini."
"Baiklah."
Sri
melangkah keluar rumah, mbah Kliwon memandangi punggung cucunya dengan rasa
iba.
Ia
mengusap air matanya yang sempat menetes.
Namun
ketika ia mau menutup pintu rumahnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Mbah
Kliwon mengawasi siapa yang datang.
"mBah.."
sapa orang itu yang ternyata Timan.
"Walah
nak Timan, mari silahkan masuk."
Timan
masuk kedalam, matanya mencari-cari.
"Mana
si Sri?"
"O,
Sri baru pamit sebentar nak, tapi tunggu saja, dia akan segera kembali,"
kata mbah Kliwon sambil masuk kedalam.
Sebelum
pergi Sri sudah membuat wedang jahe kesukaannya. Masih panas, dan mbah Kliwon
kemudian menuangnya kedalam gelas untuk disuguhkannya kepada Timan.
"Ini
masih anget nak.":
"Simbah
kok repot-repot, tapi terimakasih mbah," kata Timan yang langsung
menyeruput wedang jahenya.
"Memangnya
Sri kemana sih mbah?"
"Pulang
sebentar, katanya mau bersih-bersih rumah. Tapi dia nanti tidur disini. Saya
sudah pesan supaya jangan sampai malam kembalinya kemari."
"Saya
habiskan wedangnya ya mbah, segar rasanya. Anget-anget enak."
"Habiskan
saja nak, kalau mau dibelakang masih ada. Sri membuatnya sebelum pulang
tadi."
***
Sri hampir
selesai bersih-bersih. Ia mengunci semua pintu, baik yang dibelakang, maupun
samping. Pintu depan masih tertutup, tapi Sri belum menguncinya. Ia lupa dimana
kemarin meletakkan kunci rumah. Karena memang sudah dua hari rumah itu
dibiarkan tidak terkunci, semenjak Sri lari kerumah simbahnya ketika ayahnya
menjadi buron.
Lalu ia
menyalakan lampu depan, agar kalau malam tidak tampak gulita.
Dimana
kunci itu, Sri benar-benar lupa. Lalu Sri teringat bahwa ayahnya juga membawa
kunci rumah. Ia memasuki kamar ayahnya, dan benar, kunci itu masih tergeletak
diatas meja. Sri mengambilnya dan bergegas keluar. Tapi sebelum sempat dia
membuka pintu, dilihatnya mobil berhenti didepan pagar. Sri terkesiap, itu
mobil Basuki.
Sri
mengunci pintunya dari dalam, lalu lari kebelakang rumah.
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAN 10*
Terdengar
langkah-langkah kaki. Sri menahan napas, takut apabila sebuah hembusan nafas
akan terdengar olehnya. Lalu terdengar ketukan keras.
"Miin!
Darmiin !!
Ketukan
lagi semakin keras.
"Miin!
Kamu mampus atau apa?"
Wajah
Sri merah padam mendengar Basuki memaki ayahnya.
"O,
berarti minggat dia."
Terdengar
langkah menjauh, lalu orang berbicara. Rupanya Basuki ketemu seseorang.
"Pak,
tau nggak dimana Darmin?"
"O,
pak Darmin ditangkap polisi pak."
"Apa?
Ditangkap polisi?"
"Sudah
tiga hari ini pak.."
"Dasar
wong eddan !! Kalau anaknya dimana?"
"Si
Sri ? Sepertinya ikut mbahnya. tapi saya tadi seperti melihat dia pulang."
Sri
berdebar, jangan-jangan Basuki akan kembali.
"Tapi
kok sepi.. "
"Mungkin
sudah kembali kerumah mbahnya."
Lalu
terdengar mobil distarter, kemudian suara mobil menjauh.
Sri
menghela nafas lega. Ia menunggu beberapa sa'at untuk meyakinkan apakah Basuki
sudah pergi atau kembali kerumah.
Beberapa
sa'at tak terdengar suara, Sri membuka pintu dan melongok keluar. Lalu berjalan
keluar pagar, melihat kekiri dan kekanan, apakah mobil itu benar-benar sudah
pergi.
Lalu
Sri mengunci pintu rumah, dan bergegas kembali kerumah mbah Kliwon.
***
Timan
berkali-kali melongok kearah jalan, tampak gelisah karena Sri tak segera
kembali. Malam mulai merambah, dan suasana sekeliling tampak
temaram.
mBah
Kliwon berdiri, menuju pagar, iapun gelisah.
"Tadi
katanya sebentar, ini mulai gelap. Ngapain saja anak itu," omelnya sambil
memasuki rumah kembali."
"Bagaimana
kalau kita susul saja mbah?" kata Timan.
"Biar
saya yang menyusul."
"Jangan
mbah, mari kita susul berdua. Naik mobil saja. Jauhkah?"
"Tidak
usah nak, rumahnya nggak jauh, jalan kaki saja."
"Ya
sudah, mari saya antar mbah."
Keduanya
berjalan kearah rumah Darmin, dengan debar yang sama. Jangan-jangan bertemu
Basuki, lalu ..
"Simbaaah."
teriak Sri dari kejauhan.
Timan
dan mbah Kliwon merasa lega.
"Ada
mas Timan ?" sapa si Sri sambil tersenyum.
Timan
harus menembus gelapnya temaram malam ketika ingin menikmati senyuman
itu. Hanya tampak remang, tapi cukup membuat dadanya berdebar kencang.
Aduhai, mengapa sebuah cinta bisa mengolah batin dan raga sehingga bergejolak
dan membuat semuanya jadi berbeda?
"Sri..."
hanya itu yang diucapkannya ketika Sri menyalaminya. Tangannyapun berkeringat.
Timan meremasnya lembut.
"Nak
Timan menunggu agak lama. Simbah kira kamu akan segera kembali.
"Sudah
tadi Sri mau kembali mbah, tapi tiba-tiba Basuki datang."
"Apa?
Ada Basuki? Diapakan kamu?" tanya mbah Kliwon cemas.
"Tidak
sempat ketemu, karena ketika dia datang Sri masih didalam. Lalu Sri cepat-cepat
mengunci pintu depan."
"Dia
tidak memaksa masuk?"
"Dia
tadinya berteriak-teriak memangggil bapak, Sri diamkan saja. Lalu salah seorang
tetangga yang lewat memberi tau bahwa bapak sedang ditahan. Kemudian dia
pergi."
Timan
dan mbah Kliwon menatik nafas lega.
"Syukurlah
Sri tadi kami sangat cemas, kok sampai gelap begini belum pulang juga, lalu
menyusul kamu."
"Sri
harus menunggu beberapa sa'at sampai yakin bahwa dia benar-benar pergi."
"Kamu
benar Sri, so'alnya kalau tidak bisa-bisa kamu dibawanya pergi."
"Sri
sudah gemetaran tadi mbah."
"Iya,
pantesan tangannya berkeringat," canda Timan.
"Itu
karena kamu mas, bukan karena takut sama Basuki," kata Sri dalam hati.
Mana mungkin ia benar-benar mengatakannya.
"mBah,
tadi dirumah masih ada beberapa mie instan, ini saya bawa. Nanti Sri masak dan
dimakan bersama ya, sama mas Timan juga."
"Wah,
bagus nduk, bisa rame-rame makan mie instan, kebetulan simbah tadi juga
mengambil telur di pekarangan. Ada empat telur yang baru saja simbah ambil.
Bisa untuk teman makan, ya kan nak Timan?"
"Baru
mendengar sudah terasa nikmatnya mbah, apalagi kalau Sri yang masak." kata
Timan sambil menoleh kearah gadis yang berjalan disampingnya.
Sri
hanya tersenyum. Ingin ia mencubit lengan Timan, tapi diurungkannya. Sungkan,
nanti dikira genit. Eh.. masa sih gitu aja dibilang genit?
Mereka
sudah sampai dirumah mbah Kliwon. Sri langsung lari kebelakang sambil membawa
bungkusan mie.
"Tungguin
ya mas," katanya sambil berlalu.
***
"Dari
mana mas, kok sampai malam." tanya Marni kepada suaminya ketika hari sudah
malam dan pak lurah baru saja pulang.
"Sedang
mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal bu."
"Sudah
dapat ?"
"Rumahnya
banyak, tapi beberapa yang aku datangi, penunggu rumahnya bilang kalau Basuki
tak pernah pulang kesana."
"Nggak
ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"
"Nggak
ada yang tau."
"Jadi
dimana rumah Basuki yang ditempatinya setiap hari?"
"Belum
mendapat informasi jelas bu, besok aku akan bertanya-tanya lagi."
"Sepertinya
sa'at ini mas Timan masih ada dirumah mbah Kliwon."
"Oh
ya? Siang tadi kami omong-omong di kantor kelurahan, dan dia juga bilang mau langsung
kesana. Mungkinkah dia masih disana ?"
"Tadi
waktu Marni tilpun, mbah Kliwon bilang mas Timan masih ada disana."
"Oh,
syukurlah, dengan adanya pak Darmin di tahanan, mas Timan lebih leluasa ketemu
Sri."
"Langsung
dinikahkan saja gimana mas?"
"Wah,
jangan begitu, bapaknya masih ada, dan dia masih terikat dengan Basuki .
Perjanjian mereka harus diselesaikan dulu."
"Sungguh
menjengkelkan pak Darmin ini. Masa tega menjual anak gadisnya sendiri."
"Dia
takut mati."
"Itu
kan karena ulahnya sendiri. Tukang judi, tukang minum.. huuh.. akhirnya anaknya
jadi korban, sungguh tega dia."
"Ketika
orang sedang menikmati sesuatu yang menurut mereka itu menyenangkan, mereka
lupa apa akibat yang akan ditimbulkannya."
"Iya
mas, tenggelam dalam lautan kesenangan, tak perduli itu dosa atau akan
menyengsarakan orang lain. Jadi gemes aku sama pak Darmin. Rasanya pengin
mukulin saja."
Pak
lurah tertawa.
"Memangnya
kamu berani mukulin pak Darmin? Badanmu kecil begitu?" ledek pak lurah.
"Ee,
biar badan kecil tapi kalau menghadapi orang kayak gitu ya tetap saja aku
berani mas, kemarin saja aku berani memaki-maki dia."
"Wa,
iya ya, isteriku memang hebat. Dan itu sebabnya aku memilih kamu. Bu lurah
harus berani dan tegas, itu seiring dengan tugas pak lurah yang juga harus
tegas terhadap semua masalah."
"Hm,
senengnya dipuji suami. Ya sudah, istirahat dulu mas, Marni mau siapkan makan
malam sekarang ya."
"Jarot
sudah tidur ?"
"Sudah,
tapi jangan mendekati dulu sebelum cuci kaki tangan lho mas, nggak boleh. Kalau
sudah bersih baru boleh mendekati bayi. Mas itu bawa sawan dari jalanan."
"Sawan
itu apa?"
"Sawan
itu ya segala macam yang buruk. Demit, setan, aura jahat, sudah.. cepet
bersih-bersih sana."
"Baiklah,
yayi ratu.." canda pak lurah.
"Hm,
kebanyakan nonton ketoprak," gerutu Marni sambil bergegas kebelakang.
***
"Saya
bilang apa, mie buatan Sri sangat enak, nih.. sampai bercucuran keringat saya,
padahal udara sangat dingin."
"Mas
Timan bisa aja, kan itu sudah ada bumbunya, Sri tinggal merebus dan menambahkan
telurnya. Jadi bukan Sri dong yang masak."
"Iya,
tapi yang merebus siapa. Beda lho rebusan satu dengan lain orang. Kata
orang-orang tua, beda tangan yang memasak akan beda pula rasanya, walau
bumbunya sama."
"Mas
Timan tau dari mana?"
"Ya
dari orang-orang tua, dari obrolan ibu-ibu dipasar. Aku mendengarkan saja
sambil merasakan. Kan sebentar lagi aku punya isteri."
"Oh
ya? Dapat isteri dari mana mas?" tanya Sri memancing. Bodohlah kalau dia
tak tau maksudnya.
"Dari
desa sini aja," kata Timan tetap berteka teki.
"Waduh,
kira-kira aku kenal nggak ya?"
"Oh,
kalau itu aku nggak tau. Tapi aku yakin mbah Kliwon tau kok."
"Ada
apa, nyebut-nyebut nama simbah," teriak mbah Kliwon dari kamar, karena ia
sengaja memberi waktu kedua anak muda itu untuk berbincang.
Sri
dan Timan tertawa.
"Itu
mbah, mas Timan," teriak Sri.
"Timan
mau tanya mbah, siapa gadis yang sebenarnya akan menjadi isteri Timan? mbah
Kliwon tau kan ?"
"Ya
tau lah, cuma gadisnya itu saja yang pura-pura tidak tau," jawab mbah
Kliwon masih dari dalam kamar.
"Yang
mana ya gadisnya?" Timan tersenyum, menatap Sri lekat-lekat. Hati Sri
bergetar.
Barangkali
tatapan tajam tapi teduh itulah yang membuat dia jatuh cinta pada Timan. Cinta
pertamanya, yang semoga menjadi cinta terakhir. Begitu pikir Sri selalu.
Tapi
ia sadar bahwa masih banyak kendala yang harus dilompatinya. Tadi Timan sudah
cerita sama mbah Kliwon tentang sikap ayahnya yang menentang Sri berhubungan
dengan siapa saja. Sedih rasanya menyadari bahwa seakan dia dijual oleh
bapaknya demi nyawa yang lebih disayanginya.
Mengingat
hal itu, wajah Sri menjadi tampak murung.
"Ada
apa Sri? Kamu marah karena aku mengatakan hal itu? Kamulah gadis yang akan
menjadi isteriku. Keputusanku sudah bulat, apapun harus aku lakukan demi
kamu."
"Tidak
mas, aku tidak marah."
"Wajahmu
tampak sedih tiba-tiba."
"Aku
ini sebenarnya kan gadis titipan ?"
"Kamu
itu kembang titipan, tak mudah memetiknya, karena kamu ada dalam belenggu besi
yang sangat kuat. Tapi aku akan mematahkan besi itu dan memetikmu."
Berlinang
mata Sri mendengar kata-kata Timan Akan mudahkah mematahkan belenggu besi itu?
"Jangan
menangis Sri, sebah cinta akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak terputuskan.
Aku dan kamu, akan menikmati hari-hari bahagia kita bersama. Teruslah berharap
dan bermimpi, sampai mimpi itu menjadi kenyataan."
Alangkah
lembut kata-kata itu. Alangkah sejuk bagai air surgawi yang menyiram
nuraninya yang sedang gundah.
"Sri,
sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama disini. Tapi ini sudah malam,
sebaiknya aku pamit dulu," kata Timan sambil terus memandangi kekasih
hatinya.
"Ya
mas, aku tau, terimakasih banyak karena telah menguatkan aku."
"Kita
akan saling menguatkan."
Timan
berdiri lalu mendekati kamar mbah Kliwon.
"Mbah,
Timan pamit dulu ya."
"Lho,
kirain mau menginap disini," kata mbah Kliwon sambil bangkit lalu
keluar dari kamar.
"Ya
enggak mbah, mana pantas saya menginap sementara ada kembang titipan
disini."
mBah
Kliwon tertawa.
"Kembang
titipan akan siap dipetik pada waktunya. Baiklah nak, terimakasih banyak, dan
jangan segan-segan main kesini lagi."
"Saya
akan sering datang kemari mbah," katanya sambil melirik si Sri.
Ketika
Timan pulang, terasa ada yang sunyi dihatinya. Walau ada mbah Kliwon yang
selalu menghiburnya, tapi keberadaan Timan didekatnya membuat hidupnya terasa
nyaman.
***
Ketika
melewat rumah lurah Mardi, Timan melihat pak lurah masih duduk dibangku depan
rumah. Timan membunyikan klaksonnya. Lurah Mardi yang tau bahwa itu Timan
segera melambaikan tangannya.
Timan
menghentikan mobilnya, lalu turun dan melangkah mendekati mereka.
"Baru
pulang mas?" sapa lurah Mardi.
"Iya,
inipun sudah kemalaman bukan? Sebentar lagi saja pasti saya sudah ditangkap
hansip," kata Timan sambil tertawa.
"Kebetulan
dong, kalau ditangkap hansip kan malah langsung dinikahkan?" kata Marni
menyela.
Pak
lurah dan Timan tertawa.
"Bagaimana,
sudah bicara sama mbah Kliwon?"
"Semuanya
sudah saya ceritakan. Saya akan berusaha membayar berapapun untuk Sri.
"Saya
kan sore tadi jalan-jalan kekita, mencari informasi tentang dimana Basuki
tinggal,"kata lurah Mardi.
"Haa,
berarti sudah tau dimana dia tinggal?"
"Belum.
Ada beberapa rumah milik Basuki, tapi tak satupun dari rumah-rumah itu
ditinggalinya. Hanya orang-orang yang bertugas menunggu dan membersihan rumaah
itu yang ada. Tapi tak seorangpun tau dimana Basuki tinggal menetap.
"Wah,
sayang ya pak lurah."
"Tapi
nanti saya akan terus mencari informasi. Mas Timan jangan khawatir, menemukan
orang terkenal seperti Basuki itu mudah, cuma agak ruwet."
"Sama
saja itu namanya mas," sela Marni.
"Tapi
setidaknya masih ada jalan, tenang saja mas Timan."
"Ya
sudah, saya menunggu berita selanjutnya ya pak lurah, ini sudah malam, saya
pamit dulu."
"Silahkan
mas, hati-hati dijalan ya."
"Kasihan
mereka ya mas," kata Marni begitu Timan sudah berlalu.
"Iya.
Semoga segera ada jalan keluar yang lebih baik."
***
Pagi
itu Darmin merasa kesal, karena petugas mengatakan ada yang ingin ketemu.
"Huh,
siapa sih, aku bosan dipanggil keluar terus menerus," gerutu Darmin.
"Seorang
laki-laki, ganteng, tapi sudah agak tua."
"Dia
menyebutkan namanya?"
"Basuki."
Darmin
langsung bersemangat. Pasti akan ada amplop yang ditinggalkan untuknya. Atau
dia akan berusaha mengeluarkannya dari tahanan dengan jaminan? Iyalah.. Dia
harus membantu karena aku kan calon mertuanya, kata Darmin dalam hati.
Darmin
melangkah keluar dengan senyum terkembang. Senyum yang sama sekali tak
kelihatan manis, karena menampakkan gigi kekuningan oleh sisa-sisa nikotin yang
tertinggal disana.
"Tuan,
bagaimana bisa kemari?"
"Bisalah,
aku kerumah kamu."
"Ketemu
Sri, lalu memberitahukan bahwa saya ada disini?"
"Tidak,
rumah kamu tertutup rapat. Tapi ada orang yang memberi tau bahwa kamu sedang
ditahan. Apa yang kamu lakukan?"
"Saya
lagi makan dan minum-minum disebuah bar, ada yang meng olok-olok saya."
"Mengolok
olok bagaimana?"
Lalu
Darmin bercerita.
"Hei,
jangan duduk disitu, dekat orang dekil itu, pasti badannya bau," kata
seorang laki-laki kepada temannya.
Darmin
yang sedang mabuk naik pitam. Ia langsung berdiri, memegang leher
baju orang itu, kemudian menghajar wajahnya. Laki-laki itu terbanting
kebelakang dan kepalanya mengenai tembok. Lalu Darmin lari sebelum polisi
datang.
"Wauww..
hebat kamu Darmin. Tapi bagaimana kamu bisa tertangkap?" kata Basuki
sambil tertawa.
"Ada
orang yang mengenali saya rupanya, kemudian saya ditangkap."
"Goblognya
kamu, mengapa tidak sembunyi?"
"Saya
pulang kerumah karena mengira tak ada yang tau. Tapi ternyata mereka datang
untuk menangkap saya. Mendengar rame-rame diluar, saya kabur. Saya sudah
berhasil lari dari kejaran mereka, tapi setelah melintasi perkebunan dan sampai
dijalan, polisi mengenali saya. Ya sudah, mau apa lagi."
"Bagaimana
kabarnya Sri?"
"Dia
baik-baik saja, bersama mbahnya."
"Oh,
sebenarnya aku ingin ketemu dan bicara baik-baik sama dia."
"Tuan,
sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan."
"Apa?
Kamu mau aku membebaskan kamu dengan membayar uang jaminan?"
"Itu
juga harapan saya."
"Kalau
saya sudah ketemu Sri, dan Sri sanggup aku bawa pergi, baru aku akan melepaskan
kamu."
Darmin
termenung, tampaknya tidak mudah merayu si Sri, apalagi didekatnya ada mbah
Kliwon yang pasti akan membantunya. Tiba-tiba Darmin ingin terlepas dari
jeratan Basuki. Ia merasa Basuki tak akan bisa membantunya keluar dari sana
karena syaratnya harus bisa membawa Sri terlebih dulu. Dan itu tidak akan mudah,
kecuali kalau dia ada disamping si Sri.
"Mengapa
kamu diam?"
"Begini.
Kemarin ada orang yang ingin mengambil Sri sebagai isteri."
Basuki
menatap Darmin dengan pandangan marah.
"Apa
kamu lupa bahwa Sri sudah menjadi milikku?" hardiknya.
"Bagaimana
kalau dia sanggup membayar berapa banyak uang yang tuan pakai untuk membayari
semua hutang saya belasan tahun yang lalu?"
Wajah
Basuki merah padam.
"Tidak.
Aku sudah banyak uang ! Aku hanya mau si Sri !!'
***
besok
lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar