KEMBANG TITIPAN 29
Sri
berdebar, apakah kakeknya ada didalam mobil itu?
"Benarkah
mbak Mery, itu mobilnya Basuki ?" tanya Timan.
"Benar,
saya yakin. Plaat nomornya diganti, tapi saya tak bisa melupakan sticker yang
ada di kaca belakang. Itu punya Basuki," kata Mery bersemangat.
Jalanan
mendadak ramai, beberapa mobil menyalip mobil Timan.
"Adduh..
mengapa tiba-tiba jalanan ramai?" keluh Timan.
"Ada
gedung pertemuan didepan, ini bubaran para tamu," kata Mery.
"Waduh...
gimana mas?" kata Sri bingung. Sri sangat antusias agar bisa segera ketemu
simbahnya. Tapi halangan ada saja yang menghadang.
"Sabar
ya Sri, setelah keramaian ini nanti aku ngebut deh, supaya bisa
mengejarnya," kata Timan melihat kegelisahan Sri.
Namun Sri
benar-benar panik. Kepalanya terus melongok kedepan, dan panik karena mobil
hitam bersticker bintang itu tak lagi tampak. Mery terus menepuk-nepuk tangan
Sri untuk menenangkannya.
Kerumunan
dan lalu lalang kendaraan itu mulai menyusut, Timan mempercepat laju
mobilnya.
Mobil
hitam didepannya benar-benar tak tampak lagi. Timan terus memacu mobilnya.
"Hati-hati
mas..." Mery mengingatkan.
Tiba-tiba
Sri berteriak.
"Mas,
berhenti dulu."
Timan
serta merta menghentikan mobilnya kepinggir.
"Tolong
mbak, aku mau turun sebentar." kata Sri karena memang Sri duduk ditengah.
Mery turun
lebih dulu, membiarkan Sri turun. Pak Darmin melongok heran. Gemboskah ban
mobilnya?
"Ada
apa Sri?"
"Itu
pak.."
Setengah
berlari Sri menuju kebelakang mobil, dan menemukan serpihan lagi. Kali itu
potongan berwarna abu-abu tua. Sri memungutnya lalu berlari mendekati mobil.
Ditunjukkannya serpihan itu.
"Bapak,
ini potongan celana simbah." kata Sri sambil menunjukkan potongan kain
itu.
"Simbahmu
memotong-motong bajunya lagi?"
"Ini
potongan celananya," lalu Sri kembali naik ke mobil.
"Ada
apa Sri? " tanya Timan.
"Ada
lagi serpihan kain, ini celana simbah, coba mas ikuti, barangkali simbah
kembali memberi tanda kepada kita."
"Oh
iya, syukurlah, coba lagi didepan, apakah masih ada."
Dan
serpihan-serpihan berwarna abu-abu itu terus ditemukannya disepanjang jalan.
Timan
menelpone Bayu.
"Kami
menemukan Rumah itu tapi sudah kosong," kata Bayu.
"Balik
kearah timur mas, tampaknya dia menuju keluar kota. Kami menemukan lagi
jejaknya."
"Posisi
mas Timan dimana?"
"Saya
sudah diluar kota, sharelok ya mas."
***
"Apa
ada yang mengikuti kita?" kata Basuki sambil melihat ke spion.
"Tidak
ada tuan."
"Perasaanku
kok tidak enak."
"Tidak
ada siapa-siapa yang tampak seperti mengikuti kita, tuan."
"Pak
tua membuang apa itu, kok sebentar-sebentar membuka jendela?"
"Tissue
kotor, kan aku sudah bilang bahwa aku suka mabuk?" jawab mbah Kliwon.
Basuki
diam, entah mengapa hatinya terasa gelisah. Ia belum pernah merasakan yang
seperti ini.
"Sebaiknya
aku melalui jalan-jalan desa saja, kita hampir sampai."
"Kalau
melalui jalan desa nanti kelamaan tuan, harus belok kesana kemari."
"Tidak
apa-apa, aku kok merasa ada yang mengikuti."
"Ya
sudah terserah tuan saja."
Basuki
membelokkan mobilnya memasuki jalan kampung.
mBah
Kliwon terkejut, ia pura-pura batuk lalu membuang sesuatu lewat jendela, ketika
mobilnya masih berada diujung jalan itu.
"Pak
tua itu sering kali membuang-sesuatu keluar sih."
"Lha
apa saya muntahkan didalam? Kalau boleh bagi saya nggak apa-apa, yang penting
perut saya lega," jawab mbah Kliwon seenaknya.
Basuki
sangat kesal, tapi apa boleh buat. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali
mendiamkannya.
Mobilnya
terus berjalan, walau tidak secepat ketika dijalan raya.
"Nanti
kalau ada warung, belilah nasi bungkus, dimakan disana. Rumah itu bagus,
perlengkapan makan ada, kamar sudah ditata."
"Baik
tuan."
"Barangkali
begitu ada warung kamu turun So, mendung sangat tebal, kalau hujan kita tidak
bisa berhenti," kata Basuki.
"Baik
tuan, tuan mau makan apa?"
"Apa
saja, pokoknya ada ikan, toh belum tentu aku makan. Yang penting kalian, aku
tidak mau kalian mati kelaparan ketika bersama aku," kata Basuki
seenaknya.
Kedua anak
buahnya berpandangan lalu mengangkat pundaknya. Kendati dibantu mati-matian,
selalu kata-kata kasar yang diucapkannya.
***
Mobil
Timan sudah berjalan jauh, tapi serpihan-serpihan itu tak tampak lagi.Timan
bingung, apalagi Sri.
"Kok
tidak ada lagi? Jangan-jangan sebelum kita ketemukan serpihan terakhir tadi mereka
berhenti, dan tiba ditujuan," kata Sri.
Sepertinya
tak ada rumah atau tempat singgah," kata Timan sambil menghentikan
mobilnya.
"Jangan-jangan
dia berbelok, masuk jalan kampung," kata Mery.
"Baiklah,
ayo kita kembali."
Timan pun
memutar mobilnya kembali sambil mengamati kalau kalau ada belokan yang
sekiranya dilewati mobil Basuki.
"Ada
belokan kekiri, kita coba masuk ya," kata Timan sambil membelokkan
mobilnya.
Dan memang
benar, mereka menemukan serpihan-serpihan seperti semula. Rupanya mobil Basuki
Keluar masuk kampung, tapi mereka tak akan kehilangan jejak karena selalu
ada tanda yang diberikan mbah Kliwon.
***
Namun
sebelum keluar lagi ke jalan raya, hujan turun dengan tak terbendung. Dijalan
air menggenang, dan mengalirkan apa saja yang gampang hanyut. Timan benar-benar
bingung. Dimana-mana yang tampak hanyalah air.
"Aduuh,
bagaimana ini?" keluh Sri.
"Tenang
dulu Sri, bagaimana kalau kita berhenti dulu di warung, sambil makan dan minum.
Nanti siapa tau kalau hujan reda, tanda-tanda itu akan tampak lagi," kata
Timan.
Sesungguhnya
Timan merasa kasihan kepada pak Darmin dan kedua wanita disisinya, sudah lewat
sa'atnya makan siang, jadi semua harus dipaksa untuk makan. Tanpa menunggu
jawaban mereka, Timan sudah membelokkannya kesebuah warung. Untunglah mobilnya
bisa berhenti didepan warung dimana atapnya agak menjorok keluar, sehingga
mereka bisa turun tanpa kehujanan.
Timan
meminta Mery dan Sri turun, dan juga pak Darmin.
"Sebenarnya
aku tidak lapar," kata Sri walau akhirnya mengikuti Timan masuk kedalam.
"Lapar
atau tidak, kita harus makan, siapa tau perjalanan kita masih jauh." Kata
Timan sambil memilih meja yang cukup untuk mereka berempat.
"Mari
pak, silahkan mau pesan apa, Sri, mbak Mery."
"Sri
mau makan apa?"
"Terserah
mas Timan saja," kata Sri lesu.
"Jangan
begitu Sri, ayo pesanlah. Ayo mbak Mery, bapak.."
"Ya
sudah, berhubung hujan, makan makanan berkuah saja, biar anget,, soto juga
nggak apa-apa." kata pak Darmin.
"Oh
iya, apakah bapak kedinginan? Air hujan bisa masuk ya pak?" tanya Timan
kepada Darmin, yang tadi duduk dibelakang.
"Tidak
nak, kap nya rapat sekali, tidak ada air yang masuk."
"Ya
sudah, syukurlah. Ma'af ya pak, belum bisa beli mobil bagus, yang bisa memuat
lebih banyak orang," kata Timan tersipu.
"Tidak
apa-apa nak, itu kan memang mobil untuk berdagang."
"Iya
pak. nasi soto ya pak? mBak Mery apa? Sri apa?"
"Aku
sama, nasi soto saja. Sri apa?" kata Mery.
"Aku
sama saja."
"Minumnya?
"
"Teh
hangat saja," kata Mery yang kemudian diikuti yang lainnya.
Hujan
masih sangat deras. Sri menatap kucuran air yang mengguyur diujung warung itu,
melalui talang yang terpasang.
Bagaimanapun
ia tak bisa menghilangkan rasa gelisah yang terus meremas-remas batinnya.
Mery yang duduk disampingnya selalu menepuk-nepuk tangan Sri agar Sri merasa
lebih tenang.
Begitu
pesanan terhidang, Sri hanya meneguk sedikit teh yang aesungguhnya menyegarkan
diudara yang dingin itu. Sri juga hanya menyendok beberapa sendok nasi soto
yang dipesankan untuknya.
Timan
mendiamkannya. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Sri.
"Makan
yang banyak Sri, nanti badan kamu lemas," kata pak Darmin yang sejak tadi
memperhatikan anaknya.
Sri
menatap ayahnya sekilas, lalu mengangguk pelan.
Ponsel
Timan berdering.
"Dari
mas Bayu."
Timan
menjawab telephone itu.
"Hallo
mas,"
"Mas
Timan dimana?"
"Kami
sedang makan di warung mas, hujan deras sekali."
"Iya
benar, kami juga sedang berhenti disebuah warung, Sudah mendapat titik
terang?"
"Gara-gara
hujan ini tanda-tanda itu hilang mas, coba nanti kalau sudah sedikit reda,
karena dijalan penuh air."
"Iya,
tumben hujan hari ini, beberapa hari tidak hujan ditempat saya."
"Ini
mas, saya share lokasi ya. Syukur-syukur kalau sudah dekat kita bisa
bertemu."
"Ya
mas.. saya tunggu."
***
Mobil
Basuki berhenti disebuah rumah kecil yang halamannya cukup luas. Rumah itu
terletak dipinggiran kota. Basuki merasa dia lebih aman disitu. Ada garasi
mobil disisi sebelah kiri rumah. Seorang laki-laki setengah tua membawakan
payung, dan memayungi Basuki agar tidak kehujanan sampai di teras. Sedangkan
Marso dan temannya berlarian masuk tanpa menunggu payung menjemputnya.
mBah
Kliwon enggan turun. Ia menunggu laki-laki yang mungkin pemilik atau penunggu
rumah itu datang dan memayunginya.
Basuki
memasuki rumah dan memeriksa kedalam. Tampaknya semua memuaskan. Perabot yang
tertata rapi, tiga kamar tidur yang sudah beralaskan sprei bersih ditiap
kasurnya, dan dapur dengan segala kelengkapannya. Itu sesuai dengan apa yang
dipesannya kepada pemilik rumah.
"Bagaimana
pak? Apakah masih ada yang kurang?" tanya laki-laki yang tadi
menyambutnya.
"Tidak
ada, bagus, terimakasih banyak."
"Baguslah
kalau begitu."
"Bapak
yang punya rumah ini?"
"Bukan,
saya penunggunya yang disuruh membukakan pintu untuk bapak."
"Oh,
ya sudah, uang sewa untuk sebulan sudah saya trensfer tadi."
"Ya,
ya.. ibu sudah bilang. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa saya
tinggal disebelah situ, ada bel kalau bapak memerlukan sesuatu."
"Ya,
baiklah."
"Ada
mini market diujung jalan, kalau barangkali bapak ingin membeli sesuatu."
"Ya,
ya, terimakasih banyak."
Laki-laki
penunggu rumah itu berlalu.
"Kalian
makanlah, kan tadi beli nasi bungkus dijalan."
"Tuan
tidak makan, didapur lengkap ada piring, sendok, mangkok."
"Tidak,
aku ingin istirahat dulu."
"Jangan
lupa..Kunci pintu depan dan aku ingin beristirahat. Ada dua kamar, tapi jangan
biarkan pak tua tidur sendirian."
"Baik
tuan."
"Oh
iya So, masukkan mobil ke garasi. Kalau kelihatan dari luar akan sangat
berbahaya," kata Basuki sambil melemparkan kunci mobil kearah Marso.
mBah
Kliwon masuk ke salah satu kamar, entah siapa yang akan menemaninya, yang
penting ia ingin beristirahat. Nasi bungkus yang tadi diulurkan kepadanya
ditinggal diatas meja yang ada diluar kamar itu.
Pikiran
mbah Kliwon tidak tenang sekarang. Hujan deras sejak keluar dari kota sampai
sekarang, apakah tidak membuat serpihan yang dibuatnya menjadi hanyut ? Dan
sebenarnya adakah yang bisa mengenali tanda-tanda yang diberikan melalui
guntingan baju dan celananya?
"Ya
Tuhan, tolonglah hambaMu ini.."
mBah
Kliwon menerawang menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Ia ingin
beristirahat, tapi hatinya tidak tenang. Bagaimana cucuku,bagaimana menantuku,
itu yang difikirkan dalam benaknya.
"Tidak
bisa tidur pak?" tiba-tiba Marso muncul dikamar itu, lalu menutup
pintunya.
mBah
Kliwon lega ditemani Marso, karena teman yang satunya sikapnya kurang
menyenagkan. Dia adalah priya yang makan ketela rebusnya hanya secuil dan
sisanya dikembalikan ke piring, itu selalu diingatnya dan membuat dia kurang
menyukainya. Apalagi kalau diingat bahwa dialah penyebab semua malapetaka ini.
"Sampeyan
saja tidurlah, mana bisa seorang tawanan tidur nyenyak," kata mbah Kliwon
kesal.
"Sebenarnya
saya kasihan sama bapak."
"Untuk
apa, saya tidak butuh dikasihani. Saya hanya ingin pergi."
Lalu mbah
Kliwon membalikkan tubuhnya, memunggungi Marso yang berbaring disampingnya.
***
Bayu dan
beberapa polisi akhirnya bisa menemukan dimana Timan dan yang lainnya sedang
beristirahat. Hujan masih turun, tapi tidak selebat tadi.
Sri
menatap kejalanan, dan melihat masih tampak air menggenang. Ia menghela nafas,
dan merasa tak bisa mengendapkan perasaannya,
Ketika
hujan reda, mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Memang benar, tak
selembarpun serpihan celana mbah Kliwon ditemukan. Air hujan yang menggenangi
jalanan, mengalirkan semua benda yang gampang terhanyut.
Sri
menatap jalanan dengan sedih. Ia tak mengucapkan apapun, dan membiarkan Timan
mengendarai mobilnya, mengikuti mobil polisi yang berjalan didepannya.
"Sri,
percayalah simbahmu akan selamat. Ia bisa memberikan tanda-tanda, berarti dia
baik-baik saja," kata Mery sambil terus menepuk-nepuk tangan Sri.
***
"Pak,
lebih baik bapak makan. Saya ambilkan ya?" tiba-tiba kata Marso.
"Aku
tidak lapar," jawab mbah Kliwon.
"Bapak
harus makan, supaya tidak lemas. Saya ambilkan ya," kata Marso yang tanpa
menunggu jawaban mbah Kliwon langsung keluar dari kamar.
"mBah
Kliwon sedikit merasa senang pada Marso, karena sekarang Marso lebih
menghormati dirinya. Dia tidak memanggil pak tua seperti yang lainnya, tapi
memanggilnya bapak. Itu berarti perasaan Marso terhadap dirinya telah berubah.
Dia tidak menganggap mbah Kliwon sebagai sekedar tawanan. Mungkin ada rasa
kasihan dihati Marso dan mungkin ada kata-kata mbah Kliwon tadi yang membuatnya
berubah.
"Ini
pak, ayo.. makanlah dulu, saya temani," kata Marso sambil membawa makanan
yang sudah diletakkannya diatas piring.
mBah
Kliwon bangkit, ada perasaan tak enak karena Marso sudah bersusah payah
meladeninya makan.
"Ayo
pak, saya saja lapar, masa bapak tidak?" kata Marso sambil membuka
bungkusan. mBah Kliwon mengikutinya. Nasi gudeg yang dibawa Marso sedikit
menerbitkan seleranya. Tapi tetap saja tak banyak yang bisa masuk ke perutnya.
Hatinya yang tidak tenang membuatnya tak nyaman walau ada makanan seenak
apapun.
"Setelah
ini saya mau keluar sebentar."
"Mau
kemana?"
"Ada
yang harus saya lakukan, eh.. mau membeli.. rokok."
Setelah
Makan Marso memasuki kamar temannya.
"Pinjam
kunci rumah sebentar. Kamu taruh dimana ?"
"Itu
dimeja, kamu mau kemana?"
"Mau,
beli rokok."
"Tumben
pengin merokok, kayaknya sudah lama kamu tidak merokok."
"Cuma
pengin saja," kata Marso sambil mengambil kunci rumah dan bergegas
kedepan.
***
"Kita
kehilangan jejak," keluh Timan.
Sri
berlinangan air mata. Harapan untuk bisa menemukan simbahnya pupus sudah. Mery
merasa iba.
Timan
menghentikan mobilnya. Dilihatnya mobil polisi berhenti dibelakangnya
"Sri,
tolong jangan menangis ya," kata Timan sambil mengusap air mata yang
meleleh dipipi kekasihnya.
Diperlakukan
begitu bertambah deraslah air mata yang mengalir. Mery merangkulnya dan menepuk
nepuk punggungnya.
Tiba-tiba
Mery melihat sesuatu. Seseorang berjalan melintasi mobil Timan.
Mery
melepaskan pelukan Sri, dan membuka pintu mobil.
"Marso
!!!" teriaknya.
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar