Rabu, 20 Mei 2020

Kembang Titipan 29-30


KEMBANG TITIPAN  29

Sri berdebar, apakah kakeknya ada didalam mobil itu?

"Benarkah mbak Mery, itu mobilnya Basuki ?" tanya Timan.
"Benar, saya yakin. Plaat nomornya diganti, tapi saya tak bisa melupakan sticker yang ada di kaca belakang. Itu punya Basuki," kata Mery bersemangat.

Jalanan mendadak ramai,  beberapa mobil menyalip mobil Timan. 
"Adduh.. mengapa tiba-tiba jalanan ramai?" keluh Timan.
"Ada gedung pertemuan didepan, ini bubaran para tamu," kata Mery.

"Waduh... gimana mas?" kata Sri bingung. Sri sangat antusias agar bisa segera ketemu simbahnya. Tapi halangan ada saja yang menghadang.

"Sabar ya Sri, setelah keramaian ini nanti aku ngebut deh, supaya bisa mengejarnya," kata Timan melihat kegelisahan Sri.

Namun Sri benar-benar panik. Kepalanya terus melongok kedepan, dan panik karena mobil hitam bersticker bintang itu tak lagi tampak. Mery terus menepuk-nepuk tangan Sri untuk menenangkannya.

Kerumunan dan lalu lalang kendaraan itu mulai menyusut, Timan mempercepat laju mobilnya. 
Mobil hitam didepannya benar-benar tak tampak lagi. Timan terus memacu mobilnya.

"Hati-hati mas..." Mery mengingatkan.

Tiba-tiba Sri berteriak.
"Mas, berhenti dulu."
Timan serta merta menghentikan mobilnya kepinggir.

"Tolong mbak, aku mau turun sebentar." kata Sri karena memang Sri duduk ditengah.
Mery turun lebih dulu, membiarkan Sri turun. Pak Darmin melongok heran. Gemboskah ban mobilnya?

"Ada apa Sri?"
"Itu pak.."

Setengah berlari Sri menuju kebelakang mobil, dan menemukan serpihan lagi. Kali itu potongan berwarna abu-abu tua. Sri memungutnya lalu berlari mendekati mobil. Ditunjukkannya serpihan itu.

"Bapak, ini potongan celana simbah." kata Sri sambil menunjukkan potongan kain itu.
"Simbahmu memotong-motong bajunya lagi?"
"Ini potongan celananya," lalu Sri kembali naik ke mobil.

"Ada apa Sri? " tanya Timan.
"Ada lagi serpihan kain, ini celana simbah, coba mas ikuti, barangkali simbah kembali memberi tanda kepada kita."
"Oh iya, syukurlah, coba lagi didepan, apakah masih ada."

Dan serpihan-serpihan berwarna abu-abu itu terus ditemukannya disepanjang jalan.
Timan menelpone Bayu.

"Kami menemukan Rumah itu tapi sudah kosong," kata Bayu.
"Balik kearah timur mas, tampaknya dia menuju keluar kota. Kami menemukan lagi jejaknya."
"Posisi mas Timan dimana?"
"Saya sudah diluar kota, sharelok ya mas."

***

"Apa ada yang mengikuti kita?" kata Basuki sambil melihat ke spion.
"Tidak ada tuan."
"Perasaanku kok tidak enak."
"Tidak ada siapa-siapa yang tampak seperti mengikuti kita, tuan."

"Pak tua membuang apa itu, kok sebentar-sebentar membuka jendela?"
"Tissue kotor, kan aku sudah bilang bahwa aku suka mabuk?" jawab mbah Kliwon.

Basuki diam, entah mengapa hatinya terasa gelisah. Ia belum pernah merasakan yang seperti ini.

"Sebaiknya aku melalui jalan-jalan desa saja, kita hampir sampai."
"Kalau melalui jalan desa nanti kelamaan tuan, harus belok kesana kemari."
"Tidak apa-apa, aku kok merasa ada yang mengikuti."
"Ya sudah terserah tuan saja."

Basuki membelokkan mobilnya memasuki jalan kampung. 
mBah Kliwon terkejut, ia pura-pura batuk lalu membuang sesuatu lewat jendela, ketika mobilnya masih berada diujung jalan itu.

"Pak tua itu sering kali membuang-sesuatu keluar sih."
"Lha apa saya muntahkan didalam? Kalau boleh bagi saya nggak apa-apa, yang penting perut saya lega," jawab mbah Kliwon seenaknya.

Basuki sangat kesal, tapi apa boleh buat. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali mendiamkannya.
Mobilnya terus berjalan, walau tidak secepat ketika dijalan raya.

"Nanti kalau ada warung, belilah nasi bungkus, dimakan disana. Rumah itu bagus, perlengkapan makan ada, kamar sudah ditata."
"Baik tuan."

"Barangkali begitu ada warung kamu turun So, mendung sangat tebal, kalau hujan kita tidak bisa berhenti," kata Basuki.
"Baik tuan, tuan mau makan apa?"

"Apa saja, pokoknya ada ikan, toh belum tentu aku makan. Yang penting kalian, aku tidak mau kalian mati kelaparan ketika bersama aku," kata Basuki seenaknya.

Kedua anak buahnya berpandangan lalu mengangkat pundaknya. Kendati dibantu mati-matian, selalu kata-kata kasar yang diucapkannya.
***

Mobil Timan sudah berjalan jauh, tapi serpihan-serpihan itu tak tampak lagi.Timan bingung, apalagi Sri.

"Kok tidak ada lagi? Jangan-jangan sebelum kita ketemukan serpihan terakhir tadi mereka berhenti, dan tiba ditujuan," kata Sri.
Sepertinya tak ada rumah atau tempat singgah," kata Timan sambil menghentikan mobilnya.

"Jangan-jangan dia berbelok, masuk jalan kampung," kata Mery.
"Baiklah, ayo kita kembali."

Timan pun memutar mobilnya kembali sambil mengamati kalau kalau ada belokan yang sekiranya dilewati mobil Basuki.

"Ada belokan kekiri, kita coba masuk ya," kata Timan sambil membelokkan mobilnya.

Dan memang benar, mereka menemukan serpihan-serpihan seperti semula. Rupanya mobil Basuki Keluar masuk kampung, tapi mereka tak akan kehilangan jejak karena  selalu ada tanda yang diberikan mbah Kliwon.
***

Namun sebelum keluar lagi ke jalan raya, hujan turun dengan tak terbendung. Dijalan air menggenang, dan mengalirkan apa saja yang gampang hanyut. Timan benar-benar bingung.  Dimana-mana yang tampak hanyalah air.

"Aduuh, bagaimana ini?" keluh Sri.
"Tenang dulu Sri, bagaimana kalau kita berhenti dulu di warung, sambil makan dan minum. Nanti siapa tau kalau hujan reda, tanda-tanda itu akan tampak lagi," kata Timan.

Sesungguhnya Timan merasa kasihan kepada pak Darmin dan kedua wanita disisinya, sudah lewat sa'atnya makan siang, jadi semua harus dipaksa untuk makan. Tanpa menunggu jawaban mereka, Timan sudah membelokkannya kesebuah warung. Untunglah mobilnya bisa berhenti didepan warung dimana atapnya agak menjorok keluar, sehingga mereka bisa turun tanpa kehujanan.

Timan meminta Mery dan Sri turun, dan juga pak Darmin.

"Sebenarnya aku tidak lapar," kata Sri walau akhirnya mengikuti Timan masuk kedalam.
"Lapar atau tidak, kita harus makan, siapa tau perjalanan kita masih jauh." Kata Timan sambil memilih meja yang cukup untuk mereka berempat.

"Mari pak, silahkan mau pesan apa, Sri, mbak Mery."
"Sri mau makan apa?"
"Terserah mas Timan saja," kata Sri lesu.
"Jangan begitu Sri, ayo pesanlah. Ayo mbak Mery, bapak.."

"Ya sudah, berhubung hujan, makan makanan berkuah saja, biar anget,, soto juga nggak apa-apa." kata pak Darmin.
"Oh iya, apakah bapak kedinginan? Air hujan bisa masuk ya pak?" tanya Timan kepada Darmin, yang tadi duduk dibelakang.
"Tidak nak, kap nya rapat sekali, tidak ada air yang masuk."

"Ya sudah, syukurlah. Ma'af ya pak, belum bisa beli mobil bagus, yang bisa memuat lebih banyak orang," kata Timan tersipu.
"Tidak apa-apa nak, itu kan memang mobil untuk berdagang."

"Iya pak. nasi soto ya pak? mBak Mery apa? Sri apa?"
"Aku sama, nasi soto saja. Sri apa?" kata Mery.
"Aku sama saja."
"Minumnya? "
"Teh hangat saja," kata Mery yang kemudian diikuti yang lainnya.

Hujan masih sangat deras. Sri menatap kucuran air yang mengguyur diujung warung itu, melalui talang yang terpasang.
Bagaimanapun ia tak bisa menghilangkan rasa gelisah yang terus meremas-remas batinnya.  Mery yang duduk disampingnya selalu menepuk-nepuk tangan Sri agar Sri merasa lebih tenang.

Begitu pesanan terhidang, Sri hanya meneguk sedikit teh yang aesungguhnya menyegarkan diudara yang dingin itu. Sri juga hanya menyendok beberapa sendok nasi soto yang dipesankan untuknya.

Timan mendiamkannya. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan Sri.
"Makan yang banyak Sri, nanti badan kamu lemas," kata pak Darmin yang sejak tadi memperhatikan anaknya.
Sri menatap ayahnya sekilas, lalu mengangguk pelan. 

Ponsel Timan berdering.
"Dari mas Bayu."

Timan menjawab telephone itu.
"Hallo mas,"
"Mas Timan dimana?"
"Kami sedang makan di warung mas, hujan deras sekali."

"Iya benar, kami juga sedang berhenti disebuah warung, Sudah mendapat titik terang?"
"Gara-gara hujan ini tanda-tanda itu hilang mas, coba nanti kalau sudah sedikit reda, karena dijalan penuh air."

"Iya, tumben hujan hari ini, beberapa hari tidak hujan ditempat saya."
"Ini mas, saya share lokasi ya. Syukur-syukur kalau sudah dekat kita bisa bertemu."
"Ya mas.. saya tunggu."

***

Mobil Basuki berhenti disebuah rumah kecil yang halamannya cukup luas. Rumah itu terletak dipinggiran kota. Basuki merasa dia lebih aman disitu. Ada garasi mobil disisi sebelah kiri rumah. Seorang laki-laki setengah tua membawakan payung, dan memayungi Basuki agar tidak kehujanan sampai di teras. Sedangkan Marso dan temannya berlarian masuk tanpa menunggu payung menjemputnya.

mBah Kliwon enggan turun. Ia menunggu laki-laki yang mungkin pemilik atau penunggu rumah itu datang dan memayunginya.

Basuki memasuki rumah dan memeriksa kedalam. Tampaknya semua memuaskan. Perabot yang tertata rapi, tiga kamar tidur yang sudah beralaskan sprei bersih ditiap kasurnya, dan dapur dengan segala kelengkapannya. Itu sesuai dengan apa yang dipesannya kepada pemilik rumah.

"Bagaimana pak? Apakah masih ada yang kurang?" tanya laki-laki yang tadi menyambutnya.
"Tidak ada, bagus, terimakasih banyak."
"Baguslah kalau begitu."
"Bapak yang punya rumah ini?"
"Bukan, saya penunggunya yang disuruh membukakan pintu untuk bapak."

"Oh, ya sudah, uang sewa untuk sebulan sudah saya trensfer tadi."
"Ya, ya.. ibu sudah bilang. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa saya tinggal disebelah situ, ada bel  kalau bapak memerlukan sesuatu."
"Ya, baiklah."

"Ada mini market diujung jalan, kalau barangkali bapak ingin membeli sesuatu."
"Ya, ya, terimakasih banyak."
Laki-laki penunggu rumah itu berlalu. 

"Kalian makanlah, kan tadi beli nasi bungkus dijalan."
"Tuan tidak makan, didapur lengkap ada piring, sendok, mangkok."
"Tidak, aku ingin istirahat dulu."
"Jangan lupa..Kunci pintu depan dan aku ingin beristirahat. Ada dua kamar, tapi jangan biarkan pak tua tidur sendirian."
"Baik tuan."

"Oh iya So, masukkan mobil ke garasi. Kalau kelihatan dari luar akan sangat berbahaya," kata Basuki sambil melemparkan kunci mobil kearah Marso.

mBah Kliwon masuk ke salah satu kamar, entah siapa yang akan menemaninya, yang penting ia ingin beristirahat. Nasi bungkus yang tadi diulurkan kepadanya ditinggal diatas meja yang ada diluar kamar itu.

Pikiran mbah Kliwon tidak tenang sekarang. Hujan deras sejak keluar dari kota sampai sekarang, apakah tidak membuat serpihan yang dibuatnya menjadi hanyut ? Dan sebenarnya adakah yang bisa mengenali tanda-tanda yang diberikan melalui guntingan baju dan celananya? 

"Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini.."
mBah Kliwon menerawang menatap langit-langit kamar yang putih bersih.  Ia ingin beristirahat, tapi hatinya tidak tenang. Bagaimana cucuku,bagaimana menantuku, itu yang difikirkan dalam benaknya.

"Tidak bisa tidur pak?" tiba-tiba Marso muncul dikamar itu, lalu menutup pintunya.

mBah Kliwon lega ditemani Marso, karena teman yang satunya sikapnya kurang menyenagkan. Dia adalah priya yang makan ketela rebusnya hanya secuil dan sisanya dikembalikan ke piring, itu selalu diingatnya dan membuat dia kurang menyukainya. Apalagi kalau diingat bahwa dialah penyebab semua malapetaka ini.

"Sampeyan saja tidurlah, mana bisa seorang tawanan tidur nyenyak," kata mbah Kliwon kesal.
 "Sebenarnya saya kasihan sama bapak."

"Untuk apa, saya tidak butuh dikasihani. Saya hanya ingin pergi."
Lalu mbah Kliwon membalikkan tubuhnya, memunggungi Marso yang berbaring disampingnya.
***

Bayu dan beberapa polisi akhirnya bisa menemukan dimana Timan dan yang lainnya sedang beristirahat. Hujan masih turun, tapi tidak selebat tadi.
Sri menatap kejalanan, dan melihat masih tampak air menggenang. Ia menghela nafas, dan merasa tak bisa mengendapkan perasaannya,

Ketika hujan reda, mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Memang benar, tak selembarpun serpihan celana mbah Kliwon ditemukan. Air hujan yang menggenangi jalanan, mengalirkan semua benda yang gampang terhanyut.  

Sri menatap jalanan dengan sedih. Ia tak mengucapkan apapun, dan membiarkan Timan mengendarai mobilnya, mengikuti mobil polisi yang berjalan didepannya.

"Sri, percayalah simbahmu akan selamat. Ia bisa memberikan tanda-tanda, berarti dia baik-baik saja," kata Mery sambil terus menepuk-nepuk tangan Sri.
***

"Pak, lebih baik bapak makan. Saya ambilkan ya?" tiba-tiba kata Marso.
"Aku tidak lapar," jawab mbah Kliwon.
"Bapak harus makan, supaya tidak lemas. Saya ambilkan ya," kata Marso yang tanpa menunggu jawaban mbah Kliwon langsung keluar dari kamar.

"mBah Kliwon sedikit merasa senang pada Marso, karena sekarang Marso lebih menghormati dirinya. Dia tidak memanggil pak tua seperti yang lainnya, tapi memanggilnya bapak. Itu berarti perasaan Marso terhadap dirinya telah berubah. Dia tidak menganggap mbah Kliwon sebagai sekedar tawanan. Mungkin ada rasa kasihan dihati Marso dan mungkin ada kata-kata mbah Kliwon tadi yang membuatnya berubah.

"Ini pak, ayo.. makanlah dulu, saya temani," kata Marso sambil membawa makanan yang sudah diletakkannya diatas piring.
mBah Kliwon bangkit, ada perasaan tak enak karena Marso sudah bersusah payah meladeninya makan.

"Ayo pak, saya saja lapar, masa bapak tidak?" kata Marso sambil membuka bungkusan. mBah Kliwon mengikutinya. Nasi gudeg yang dibawa Marso sedikit menerbitkan seleranya. Tapi tetap saja tak banyak yang bisa masuk ke perutnya. Hatinya yang tidak tenang membuatnya tak nyaman walau ada makanan seenak apapun.

"Setelah ini saya mau keluar sebentar."
"Mau kemana?"
"Ada yang harus saya lakukan, eh.. mau membeli.. rokok."

Setelah Makan Marso memasuki kamar temannya.
"Pinjam kunci rumah sebentar. Kamu taruh dimana ?"
"Itu dimeja, kamu mau kemana?"
"Mau, beli rokok."

"Tumben pengin merokok, kayaknya sudah lama kamu tidak merokok."
"Cuma pengin saja," kata Marso sambil mengambil kunci rumah dan bergegas kedepan.

***

"Kita kehilangan jejak," keluh Timan.
Sri berlinangan air mata. Harapan untuk bisa menemukan simbahnya pupus sudah. Mery merasa iba.

Timan menghentikan mobilnya. Dilihatnya mobil polisi berhenti dibelakangnya
"Sri, tolong jangan menangis ya," kata Timan sambil mengusap air mata yang meleleh dipipi kekasihnya.

Diperlakukan begitu bertambah deraslah air mata yang mengalir. Mery merangkulnya dan menepuk nepuk punggungnya.

Tiba-tiba Mery melihat sesuatu. Seseorang berjalan melintasi mobil Timan.
Mery melepaskan pelukan Sri, dan membuka pintu mobil.
"Marso !!!" teriaknya.
***
besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  30*

 

"Marso !! Mery mengulang panggilannya karena laki-laki tersebut seperti tak mendengarnya. Tapi pada panggilan kedua ini Marso berhenti melangkah. Ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang memanggilnya.

 

"Bu Mery ?"

"Awas, jangan lari! Ada polisi disekitarmu ! Teriak Mery."

 

Tapi Marso memang tak ingin lari. Ia justru menunjuk kearah mobil polisi yang diparkir tak seberapa jauh dari mobilnya Timan.

 

"Bu Mery ada disini ?"

"Ya, kamu sedang mengikuti junjunganmu kan?" 

 

Timan turun dari mobil, dan juga polisi-polisi serta Bayu ikut turun mendengar Mery berkata-kata dengan keras.

 

"Saya tadi beli sesuatu di mini market itu dan melihat ada mobil polisi, saya justru ingin melapor."

"Melapor tentang apa pak?" tanya salah seorang polisi.

"Ini salah satu anak buah Basuki pak, tangkap saja dia."

 

"Tunggu pak, saya justru akan melaporkan bahwa tuan Basuki ada disekitar sini."

"Bohong kalau dia bilang mau melapor pak," sergah Mery.

 

"Bukankah bu Mery melihat saya berjalan kearah situ? Saya dari mini market yang ada disebelah sana, lalu saya melihat mobil polisi dan justru ingin melapor."

"Dimana Basuki ?"

"Dirumah itu, kira-kira seratus meter dari sini," kata Marso sambil menunjuk kearah rumah dimana Basuki ada disana.

 

"Apa simbahku ada disana?" tiba-tiba Sri sudah ada disamping Mery.

"Laki-laki tua itu? Ada, Dia sekamar dengan saya.

"Dimana? Dimana?" kata Sri penasaran.

"Ayo kita kesana."

 

"Tolong, jangan bilang kalau saya melaporkan."

"Mengapa tiba-tiba kamu melaporkan majikan kamu?"

"Saya lelah, lama-lama saya tidak suka apa yang dilakukannya, saya ingin bertobat."

 

"Dimana rumahnya?"

"Yang ada pohon mangga, kiri jalan, cat biru,"

 

Salah seorang polisi menggandeng Marso karena belum sepenuhnya percaya apa yang dikatakan Marso.

 

Sri sudah lari lebih dulu, tapi kemudian Timan mengejarnya.

"Sri, sabar Sri, tunggu dulu, Basuki itu berbahaya, bagaimana kalau kamu ditangkap sekalian?"

 

Sri menurut, ia berjalan dibelakang polisi dengan digandeng Timan. Tak tahan rasanya ingin segera bertemu simbahnya.

 

***

 

"So.. Marso..." " teriak Basuki.

"Marso sedang keluar tuan," jawab salah satu anak buahnya.

 

"Apa? Keluar kemana?" kata Basuki berteriak.

"Katanya mau beli rokok tuan."

 

"Orang gila! Eddan ! Mengapa keluar?" Aku mendengar sirene mobil polisi. Apa kamu tuli dan tidak mendengarnya?"

"Ya tuan, saya mendengarnya."

"Mengapa kamu biarkan Marso keluar?"

"Dia bilang hanya akan membeli rokok."

 

"Sudah lama dia tidak merokok, mengapa tiba-tiba ingin beli rokok?"

"Tadi bilang ingin sekali, begitu tuan."

 

"Mana sekarang, mengapa belum kembali? Tadi aku mendengar sirene mobil polisi, Jangan-jangan dia ditangkap. Celakalah kita."

 

Lalu Basuki memasuki kamar mbah Kliwon. Dilihatnya mbah Kliwon berbaring sambil memejamkan mata.

"Pak Tua, bangun.. kita harus pergi."

"Kemana lagi? Aku capek."

"Tidak boleh capek, pak tua harus mengikuti aku terus. Ayo bangun !!"

 

Basuki menyuruh anak buahnya untuk menarik mbah Kliwon. Terpaksa mbah Kliwon bangun. Tadi mbah Kliwon juga mendengar sirene mobil polisi. Semoga segera ada pertolongan, batin mbah Kliwon berharap.

 

"Mana Marso, mengapa lama sekali ?"

"Iya, saya juga heran mengapa lama sekali. Padahal ada mini market didekat situ."

 

Basuki melangkah kedepan rumah, diikuti anak buahnya yang menggandeng tangan mbah Kliwon.

Ia bermaksud membuka garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Namun tiba-tiba dilihatnya beberapa polisi sudah berdiri dihalaman.

 

Basuki terkesiap. Ia merasa bahwa itu adalah ancaman.

"Berdiri disitu dan jangan bergerak!" hardik salah seorang polisi.

 

Basuki tiba-tiba menarik tubuh mbah Kliwon, lalu ia mengeluarkan sebilah pisau belati yang sebenarnya selalu siap terselip dipinggangnya.

" Biarkan saya pergi, atau saya bunuh orang tua ini !" ancam Basuki dengan mata merah.

 

Sesungguhnya dia ketakutan. Basuki belum pernah berurusan dengan polisi. Ia punya segalanya dan banyak anak buah, tapi tak seorangpun menentangnya karena ia banyak uang. Sekarang ia harus berhadapan dengan polisi, itu membuatnya takut.

 

Tiba-tiba dua orang wanita muncul, Mery dan Sri. Mata Basuki menyala menatap Mery.

"Penghianat busuk !!" umpatnya sambil menudingkan belati itu kearah Mery.

 

"Simbaaah !!" tiba-tiba Sri berlari mendekat ketika melihat simbahnya dalam ancaman. Tapi Timan yang ada dibelakangnya melompat dan memegang lengan Sri.

 

"Sabar Sri, bahaya kalau kamu mendekat," tegur Timan sambil memegangi lengan Sri.

"Aku mau simbah... simbah.."

"Sri, aku baik-baik saja.." kata mbah Kliwon dengan linangan air mata.

Sri menatap Basuki dengan mata berapi-api.

"Laki-laki pengecut !!" hardiknya keras.

 

Basuki menatap Sri dengan sendu. Gadis yang diimpikannya, dicintainya, berdiri dihadapannya dengan kemarahan yang meluap-luap. Sejenak hati Basuki bergetar. Karena gadis itulah semuanya ini terjadi. Basuki yang setengah tua, mencintai gadis belia yang polos dan lugu, Ini dirasakan Basuki. Ia belum pernah mencintai, baru kali ini. Dan ternyata dia tak tau bagaimana seorang pecinta harus bersikap. Ia terlalu sombong dan mengira bahwa semua keinginanya pasti akan tercapai. Sekarang ini, mendengar Sri menghardiknya, seketika kesombongannya tumbang. Gadis idamannya itu mengatakan dirinya pengecut. Teriris batin Basuki.

"Sri, jangan membenciku, aku hanya ingin bertahan."

 

"Kamu laki-laki pengecut ! Tidak berani  menghadapi akibat dari kesalahan yang selama ini kamu lakukan, dan mempergunakan seorang tua sebagai tameng. Benar-benar menjijikkan ! Aku kira kamu laki-laki perkasa yang tak terkalahkan, ternyata bukan, kamu laki-laki lemah tapi merasa kuat!! Kamu tak berdaya! Kamu nista! Kamu hina!!" teriak Sri sambil menangis. Ia juga tak mengerti, darimana datangnya keberanian itu. Barangkali karena sangat marah melihat simbahnya dicengkeram lengannya dan diacungi belati di tengkuknya.

 

Basuki terpana. Tak menyangka gadis polos yang digandrunginya bisa memakinya demikian tajam. Bagai sembilu yang mengiris-iris jantungnya.

Belum pernah selama ini ada yang berani memakinya, semua orang terbungkuk-bungkuk dihadapannya, tunduk takluk akan semua perintahnya. Darimana datangnya sembilu yang ada dibibir tipis menawan itu dan kemudian melukai hatinya?

 

"Lepaskan simbahku kalau kamu memang laki-laki !!" teriak Sri lagi sambil menuding kearah Basuki.

 

Sementara polisi sedang menunggu sa'at baik untuk melumpuhkan Basuki, Sri berhasil melumpuhkannya dengan kata-kata pedasnya. Basuki merasa lemas, tangannya terkulai dan belati ditangannya terlepas.

Dengan sigap polisi melompat kearahnya dan meringkusnya, berikut salah seorang anak buahnya.

 

Sri berlari menubruk simbahnya, merangkulnya sambil menangis haru.

"Cucuku, cucuku yang perkasa, kamu berhasil membebaskan simbah," bisik mbah Kliwon ditelinga Sri.

 

Basuki diringkus dengan pasrah. Sebelum polisi memaksanya pergi, ia menatap Sri dengan pilu. 

 

"Sri, aku mencintai kamu Sri, semua ini karena kamu, aku ingin memiliki dan membahagiakanmu," katanya ketika melewati Sri yang masih merangkul simbahnya.

 

Sri melepaskan pelukannya, menatap laki-laki gagah yang nyaris menyiksa hidupnya, dan melihat air mata mengambang dipelupuknya. Ada rasa iba terbersit dihati Sri ketika melihatnya. Ya Tuhan, cinta bisa membuat hidup seseorang menjadi porak-poranda. Cinta yang melalui jalan sesat. Aduhai.

 

Basuki menurut ketika borgol membelenggu tangannya. Sebelum masuk ke mobil polisi, ia sempat menatap Mery yang memandangnya tak acuh, dan melihat Marso berdiri disana. Oo.. ternyata kamu, kata batin Basuki, tapi dia tak berdaya. Ia duduk terbelenggu dengan salah seorang pembantunya. Merasa seperti mimpi ketika sang tuan sekarang duduk sebagai pesakitan.

 

***

 

Bayu yang semula ikut bersama polisi sekarang mendekati mobil Timan.

"Mas Timan, aku mau duduk dibelakang bersama pak Darmin," kata Bayu.

"Aku juga mau dibelakang bersama simbah," teriak Sri nyaring. Nyaring dan ringan, setelah semua beban terasa lepas.Tangannya terus menggandeng simbahnya.

"Aku juga mau dibelakang kalau begitu." kata Mery.

 

Mobilnya ada sebuah, mobil colt terbuka, tapi mereka dengan riang beramai-ramai duduk dibelakang. Wajah-wajah mereka ceria.

 

"Waduh, aku sebenarnya juga ingin duduk dibelakang kelihatannya rame nih.. Tapi apa mobilnya bisa berjalan sendiri ya?" teriak Timan sambil tertawa.

"Ya sudah, saya didepan menemani calon menantu saya," kata pak Darmin yang kemudian membuka pintu depan. 

 

Yang lain tertawa tawa sambil berdesakan duduk di jok belakang.

Timan mendekati Marso. Tadi polisi sudah mencatat alamat rumah dan ponsel Marso.

 

"Bapak mau pulang sendiri atau bersama saya?"

"Saya pulang sendiri saja pak, banyak angkutan umum."

"Baiklah, ini sekedar buat ongkos ya pak."

Timan memberikan sejumlah uang yang diterima Marso dengan senang hati.

 

"Terimakasih banyak pak,"

"Jangan lupa, suatu sa'at bapak pasti akan dipanggil untuk menjadi saksi. "

"Ya pak, tadi sudah diberi tau."

 

"Saya mengucapkan terimakasih karena bapak telah melakukan hal terbaik, sehingga bisa membebaskan mbah Kliwon."

"Sama-sama pak, saya tergugah untuk melaporkan juga karena mbah Kliwon."

"Oh ya?"

 

"Saya juga mulai jenuh dengan kehidupan yang tidak menentu. Saya ingin terlepas dari semuanya, dan ingin hidup tenang."

"Semoga yang terbaik untuk bapak ya. Hati-hati pak, saya pamit dulu."

"Selamat jalan pak, saya menunggu angkutan umum dulu.

***

 

Dalam perjalanan itu mbah Kliwon banyak bercerita tentang pengalamannya selama disandera Basuki. Ia juga mengatakan bahwa yang menunjukkan rumah Timan pastilah anak buah yang tadi ikut dibawa polisi, karena mbah Kliwon pernah memberinya minum dan menyuguhkan ketela rebus. 

 

"Jadi simbah tidak mengira kalau itu mata-mata Basuki?" tanya Sri.

"Sama sekali tidak. Simbah baru pulang dari rumah pak lurah, melihat dia celingak-celinguk didepan rumah, saya tanya katanya mau minum seteguk air. Lha salahnya mulut orang tua ini, saya ngoceh tentang Sri yang berada dirumah nak Timan, tentang maksud saya akan menengok kerumah nak Timan segala."

 

"Jadi setelah itu dia terus mengawasi simbah lalu mengikuti simbah ketika berangkat kerumah mas Timan bersama pak lurah?"

"Mungkin itulah yang terjadi. Ma'afkan orang tua ini ya, jadi merepotkan banyak orang."

"Tidak apa-apa mbah, bukankah karena itu lalu kita bisa menangkap Basuki?" kata Bayu menimpali.

 

"Iya mbah, jangan merasa bersalah."

"Tertangkapnya Basuki justru karena simbah bicara dengan orang yang salah itu," kata Bayu lagi.

"Yah, barangkali memang inilah jalannya."

 

Mery hanya mendengarkan mereka berbincang. Ia menemukan dunia yang benar-benar belum pernah dialaminya. Persahabatan, persaudaraan, saling dukung dan berbagi, itu terasa indah. Mery tidak menyesal telah pergi dari kehidupannya bersama Basuki, karena ia merasa lebih nyaman sekarang.

 

Namun ada sesuatu yang mengiris, sa'at Basuki mengucapkan cinta kepada Sri. Laki-laki yang dicintainya, yang menemukan banyak wanita tapi tak pernah mengucapkan cinta, sekarang kepada gadis belia yang lugu itu ia benar-benar mengucapkannya. Tapi tidak, Mery tau bahwa ia harus memupus rasa cintanya. Ia yakin cintanya terjatuh pada orang yang salah. Ia ingin melupakannya.

 

"mBak Mery kok diam saja?" tiba-tiba kata Sri mengejutkannya.

"Oh, apa ?"

"mBak Mery melamunkan apa?"

"Tidak ada, aku kan.. mendengarkan cerita mbah Kliwon itu. Seru ceritanya."

 

"Iya mbak, semoga setelah ini kita hidup lebih nyaman ya mbak?"

"Benar Sri. Sudah aku bayangkan apa yang ingin aku lakukan nanti."

"Besok kita pulang kedesaku dulu ya mbak?"

"Iya Sri, kemanapun kamu, aku ikut."

 

"Tapi itu desa lho mbak, sepi dan tidak ramai seperti disini."

"Aku justru ingin merasakan bagaimana kehidupan desa, yang jauh dari hiruk pikuk dan keramaian. Melihat sawah dan kebun yang menghijau, pasti menyenangkan."

 

"Iya mbak, kita nanti tinggal dirumah yu Lastri, boleh kan mas Bayu?" tanya Sri kepada Bayu.

"Tentu saja boleh, kan Lastri sudah menyerahkan rumah itu untuk ditinggali mbah Kliwon."

 

"Iya nak, dari rumah simbah yang reyot dan sekarang sudah dirobohkan, simbah lalu tinggal dirumah Lastri yang lebih bagus. Tidak apa-apa nanti ramai-ramai tinggal disana. Menikmati ketela dan jagung rebus kalau sa'atnya panen." kata mBah Kliwon.

 

"Hm, membayangkannya sudah senang. Jagung rebus ya, atau bakar barangkali lebih nikmat ya mbah." kata Mery.

"Ya, pastinya nak. Apa nak Mery pernah makan jagung juga?" 

 

"Ada tukang masaknya Basuki yang pernah membawakan jagung manis mentah, lalu dibakar, enak sekali.. manis- sangit.. begitu." kata Mery.

"Iya, yang enak kan sangitnya itu," kata Bayu. 

 

Perjalanan itu sungguh perjalanan yang penuh suka cita.

Didepan Timan berbincang dengan pak Darmin. Timan mengatakan ingin segera mengikat Sri secara resmi.

 

"Ya nak, terserah nak Timan saja kapan, tapi seperti nak Timan ketahui, saya ini miskin, tidak punya apa-apa, jadi ya nanti sederhana saja nikahnya." kata pak Darmin.

"Tidak apa-apa pak, bagi saya yang penting adalah resminya. Nanti di Solo akan saya rayakan bersama teman-teman pasar, soalnya sudah pada ribut pengin datang di pernikahan saya nanti.

 

"Ya nak, terserah nak Timan. Ya beginilah nak, kalau orang tidak mampu."

"Yang penting bukan tidak mampu karena hartanya pak, tapi bapak sudah bisa melewati kehidupan buruk yang selama ini bapak jalani."

 

"Saya sudah mertobat nak, sungguh menyakitkan kalau diingat. "

"Semoga dengan kehidupan sekarang kita akan merasa lebih tenang."

"Ya nak, aamiin."

 

“Wah, dibelakang ramai sekali ya, pasti gembira dengan kembalinya simbah."

"Sudah sejak tadi mereka ramai bercanda. Biarkan saja, sudah lama Sri menderita, semoga selanjutnya dia bisa merasa kan hidup tenang dan senang. Saya serahkan Sri kepada nak Timan nanti, jaga dan kasihilah dia karena selama ini saya tidak bisa melakukannya." kata pak Darmin sendu.

"Saya berjanji tak akan membiarkan lagi Sri menderita."

 

Ada telepon dari lurah Mardi yang menanyakan perkembangan pencarian mbah Kliwon. Dengan gembira Timan menjawab kalau sudah selesai.

 

"Sudah ketemu mbah Kliwon?"

"Sudah pak lurah, ceritanya panjang, ini hampir sampai Solo, nanti saya akan cerita lebih lengkap."

 

"Syukurlah, ini saya sudah di Solo, dirumah mas Bayu. Tapi mas Bayu saya telepon tidak diangkat."

"Ooh, mereka duduk dibelakang, dan ramai sekali, mungkin tidak mendengar, pak lurah."

"Ya sudah, saya menunggu saja, hati-hati dijalan mas Timan. Ini saya bersama isteri dan Lastri lagi berbincang. Senang mendengar berita baik ini.

 

*** 

 

Sudah malam ketika mobil Timan memasuki kota Solo. Ia langsung menuju rumah, untuk menurunkan Sri dan lain-lainnya dulu, setelahnya baru akan mengantarkan Bayu. Karena memang lebih dulu melewati rumahnya daripada kerumah Bayu.

 

Namun ketika hampir memasuki halaman, Timan terkejut. Lampu teras sudah menyala, dan ada orang duduk disana, entah siapa karena yang kelihatan hanya kepalanya.

 

Karena khawatir, ia menghentikan mobilnya diluar pagar, kemudian berjalan kearah rumah sendirian. Ia melarang yang lainnya ikut turun.

***

 

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar