Selasa, 19 Mei 2020

Kembang Titipan 25-26


*KEMBANG TITIPAN  25*

"Apa katanya ?"
"Kita harus menunggu."
"Menunggu apa?"
"Jelas kita tak bisa bekerja sendiri, tadi aku bermaksud mencari orang yang mau membantu, minimal yang punya mobil.. Tapi ternyata juragan mau datang kemari."

"Baguslah, kalau ada dia pasti semuanya beres. Kalau begitu aku mau tidur lagi saja."
"Sebentar, aku akan mengirimkan alamat tempat ini, biar dia datang kemari."

"Tak bisa cepat, memakan waktu dua atau tiga jam dari rumah juragan kemari. "
"Biar saja, berarti kita bisa melanjutkan tidur kita lagi pagi ini. Cepek berhari-hari memburu orang. Aku heran pada juragan kita. Banyak orang cantik, mengapa mengejar seorang gadis dusun yang tampak lugu dan tidak tau apa-apa."

"Justru yang lugu itu yang menarik So, juragan bosan sama gadis-gadis cantik yang bawaannya manja, banyak menuntut. Kalau Sri ini sangat sederhana, dan barangkali itu yang menarik."
"Mungkin juga, kalau aku sih, nggak sempat mikir perempuan cantik, bini saja jarang ditengok, karena macam-macam tugas dari juragan."

"Yang penting kan sudah dikirim uang. Perempuan itu kalau sudah dikasih uang, sudah pasti langsung diam dan menurut."
"Iya, kamu bener. Sekarang kita istirahat dulu, lumayan bisa merem, sambil menunggu juragan datang. Ini kan masih pagi, lihat diluar masih remang. Matahari juga belum tampak."

***

"Mas Timan mau ke pasar?' tanya Sri.
"Iya Sri, mau ikut?"

"Mau, mbak Mery maukah ke pasar? Aku sambil belajar jadi tukang jual buah."
"Mau, masa aku dirumah sendiri, lagi pula siapa tau aku bisa  belajar  berjualan dari mas Timan. Aku masih punya uang beberapa, barangkali cukup untuk modal."

"Bagus mbak Mery, nanti saya bantu. Banyak peluang kalau mau berusaha. Kadang agak susah sih, tapi namanya berusaha yang ada pasang surutnya."
"Nggak apa-apa mas, apapun itu kalau kita punya usaha kan lumayan bisa untuk menyambung hidup. Jadi ini nanti sekalian mau lihat-lihat ya Sri."

"Iya. Hari masih pagi."
"Ini sudah agak kesiangan. Tapi nggak apa-apa, beberapa hari aku tinggal daganganku, jangan-jangan ada yang busuk."

"Ayo, aku sama mbak Mery juga sudah mandi."
"Bapak sama simbah mau jalan-jalan?"
"Daripada bengong dirumah ya nggak apa-apa jalan-jalan dikota ya Min?" tanya mbah Kliwon.
"Iya, berangkat bareng nak Timan saja, nggak apa-apa aku duduk dibelakang." Jawab pak Darmin.
"Benar nggak apa-apa mbah?"

 "Nggak apa-apa, wong cuma sebentar saja. Lagian masih pagi jadi nggak terlalu panas."
"Nanti kalau ada apa-apa simbah telepone saya ya?"
"Iya, baiklah."
"Ayo kita berangkat sekarang," ajak Timan. 

Sri memberikan sejumlah uang untuk bapaknya dan simbahnya. Sesungguhnya uang itu dari Timan, tapi Sri yang disuruh memberikannya. Takutnya kalau Timan yang memberikan nanti pak Darmin sama mbah Kliwon jadi merasa sungkan.

"Ini uang untuk apa nduk?"
"Kalau nanti dijalan bapak sama simbah ingin sesuatu."
"Banyak sekali."

"Sudah mbah, terima saja, kan dikota banyak barang-barang yang mungkin bapak sama simbah ingin membelinya, misal nya baju.. atau celana.. atau sarung... Sudah dibawa saja. Ayo kita berangkat, nanti mas Timan kesiangan.Oh ya mbah, nanti kalau simbah sama bapak pulang duluan, kuncinya tergantung di saka teras itu."

Mau tak mau mbah Kliwon dan Darmin menerimanya. mBah Kliwon punya uang sih, kan dia mendapat gaji dari pak lurah. Sebenarnya ia akan membaginya dengan menantunya, tapi karena Sri memberinya, keinginan itu diurungkannya.

Pagi itu mereka berangkat bersama Timan. Mery dan Sri berdesakan didepan.
"Nggak apa-apa sempit ya mbak, kan cuma sebentar. Nggak ada setengah jam kita sampai."
"Nggak apa-apa mas, begini-begini aku senang kok. Ini dunia saya yang baru, saya sedang menikmatinya."

" Besok kalau usaha mbak Mery jadi,  beli mobil yang bagus ya mbak," kata Sri.
"O iya... nanti buat jalan-jalan sama Sri."
"Wah.. senangnya."

"Tapi sebentar lagi kamu kan mau menikah, sebaiknya aku cari kontrakan saja."
"Mengapa harus cari kontrakan segala mbak, rumah saya kan cukup besar. Rumah kampung sih, tapi sayang kalau  uangnya buat ngontrak, mending dipakai buat modal saja."

"Tapi kalau kalian sudah menikah kan nggak enak aku menumpang disini."
"Nggak ada yang nggak enak, kita sekarang bersaudara, susah dan senang akan kita pikul bersama," kata Timan.

Mery terharu atas kebaikan Timan. Ini benar-benar dunia yang indah, banyak teman, banyak saudara, banyak perhatian dan kasih sayang. Sangat berbeda dengan kehidupannya ketika bersama Basuki. Tidak ada lelah, tidak ada pemikiran untuk sesuatu, yang ada hanya gelimang kesenangan dan harta. Mery benar-benar menikmati dunia barunya dan yang dianggapnya sangat indah. Inilah hidup, ada gerakan untuk mencapai sesuatu, ada yang harus dipikirkannya, dan ini membuatnya bersemangat.
***

Ketika tiba dipasar, Sri dan Mery melihat pasar itu sudah ramai. Timan langsung mengajak keduanya kekios miliknya, dan membantu Timan menata dagangannya.
Sedangkan pak Darmin dan mbah Kliwon hanya turun didepan pasar, lalu berjalan-jalan sendiri.

"Ada beberapa jeruk yang sudah kurang bagus Sri, bisa minta tolong memilih-milih? Yang sudah busuk atau yang busuk buang saja kesini, ada tempat sampahnya," kata Timan.
"Iya Sri, mari aku bantu," kata Mery.

Keduanya asyik memilih buah-buah yang masih pantas ditata dan yang harus disortir. Tiba-tiba Mery merasa bahwa ini benar-benar menyenangkan.
Beberapa pedagang kasak-kusuk, yang didengar Timan sambil tersenyum.

"Itu sepertinya calon isterinya Timan," kata tukang buah disampingnya.
"Iya, yang baju kuning itu kan?" kata yang lainnya.
"Cantik."
"Syukurlah Timan sudah menemukan jodohnya."

"Kalau sudah begitu kan nggak ada lagi gadis-gadis yang selalu mengganggu."
"Iya, cah bagus alus.. siapa yang nggak suka. Kalau aku punya anak gadis juga mau menjadikannya menantu."
"Kalau aku masih perawan aku juga mau," 

Lalu disambut beberapa orang tertawa lucu. Timan bukannya tidak mendengar celotehan ibu-ibu pedagang itu, tapi ia menanggapinya sambil tersenyum.

"Orang pasar pada sibuk ngomongin kamu Sri," bisik Mery sambil menata apel ditempatnya.
"Jadi malu aku." bisik Sri tersipu.
"Nanti kalau sudah selesai, aku kenalkan kamu pada mereka," kata Timan.
"Ibu-ibu pada suka sama mas Timan," kata Sri.

"Iya, kan sederet ini akulah yang paling ganteng," kata Timan berseloroh.
"Iya lah mas, yang lainnya kan ibu-ibu, mana ada ibu-ibu ganteng," kata Sri.

"Mas Timan, kok lama nggak kelihatan?" tiba-tiba seorang ibu mendekat dan memilik jeruk yang selesai ditata.
"Bu, mas Timan lagi cari calon isteri, tapi sekarang sudah dapat lho." celetuk ibu disebelah Timan.

"Oh gitu ya, mana isterinya? Ini ya, yang baju kuning mas?"
"Baru calon bu, do'akan ya," kata Timan.
"Duuh, pinternya, cari isteri cantik bener."
"Terimakasih bu."

"Aku minta dua kilo saja, harganya nggak naik kan?"
"Untuk ibu harga biasa, Dua kilo saja?"
"Ya, pilihkan yang seger ya," kata ibu itu sambil terus mengawasi Sri yang menundukkan muka sambil masih memilih-milih.

"Ini bu, ada yang lain?" kata Timan sambil mengulurkan bungkusan jeruk.
"Ini saja dulu. Selamat ya mas, besok aku diundang lho, kalau nikahan."
"Mohon do'anya ya bu."
"Ini uangnya mas." ibu itu tersenyum dan berlalu.

"Hari ini benar-benar heboh," gumam Timan.
"Heboh ya mas, lama tidak kelihatan, begitu kelihatan sudah membawa calon isteri," goda Mery.
"Hebohnya lagi, hari ini ada yang ngebantuin menata dagangan saya, mbak Mery, kalau sendirian pasti repot sekali."
"Ternyata saya senang melakukannya."
"Oh ya?"

"Saya ingin membuka kios buah, mungkin ngontrak dulu, lalu ambil buah dari mas Timan."
"Bagus mbak, nanti saya bantu."
"Mas, pisangnya sudah masak semua," teriak Sri.
"Taruh didepan sini,.. bagus, itu beberapa hari yang lalu saya beli masih mentah."

"Pisang kepok ini enak kalau dibuat kolak." kata Sri.
"Jadi pengin," seru Mery.
"Nanti kaau pulang bawa dua sisir, kamu yang masak ya Sri."
"Siap mas, nanti saya beli bumbunya."

"Apa sih bumbu kolak?" tanya Mery.
"Bumbu kolak itu gula jawa, kayu manis, boleh ditambah vanili atau daun pandan. Lalu dikasih santan," jawab Sri.
"Wah, Sri itu belum menikah sudah pinter masak ya. Aku harus belajar banyak dari kamu Sri."

"Nanti kita belajar sama-sama mbak. Saya kan bisanya masakan desa."
"Justru itu yang enak." 
"Aku yang senang nih, ada yang masakin.." kata Timan.
"Makanya cepet menikah mas, jadi Sri nggak usah pulang ke desanya."
"Siaaap mbak, tunggu waktu.."

***

Setelah membantu menata dagangan Timan, Sri mengajak jalan-jalan diseputar pasar. Banyak orang jualan makanan. Mery heran melihat semuanya. Selamanya dia belum pernah pergi kepasar.

"Itu jual apa, kelihatannya aneh, ayo kita mendekat," kata Mery sambil menarik tangan Sri.
"Bu, itu apa?"
"Ini namanya gempol pleret. Cah ayu bukan dari Solo ?"
"Bukan bu, enakkah ?"
"Ayo kita beli mbak, diminum disini ya bu?
"Iya, itu ada dingkliknya, duduk disitu dulu cah ayu."

Keduanya duduk dibangku pendek. Penjual gempol itu menamakannya dingklik. Dua mangkok diterima Sri dan Mery.
"Ini apa bu?"
Yang bulat-bulat putih itu namanya gempol, lha pleretnya itu yang kecolatan digulung kecil-kecil itu."

"Hm, enak, manis-manis gurih." kata Mery.
"Boleh dibungkus bu?"
"Boleh, Mau berapa bungkus?"
"Tiga ya bu." kata Sri.
"Eh, lima.. nanti aku masih mau lagi .." kata Mery tersipu.
Sri tertawa. 
"Iya aku juga mau. Jadi lima ya  bu."

Mery begitu senang ber-putar-putar dipasar. Lalu ia mengajak Sri makan disebuah warung. Mery heran melihat nama warung itu.

"Timlo itu apa ?"
"Ayo kita masuk, aku juga pengin timlo. Kalau tidak salah timlo itu sayur berkuah, isinya wortel, so'un, kentang goreng tipis, ada telur rebus, sama irisan sosis."
"Kelihatannya enak."

Keduanya masuk kedalam warung, dan memilih duduk didekat jalan. Sri mengabari Timan bahwa mereka makan diwarung supaya Timan tidak menunggu mereka.

*** 

"Mau beli hem batik itu ya pak, kok murah harganya, barangnya bagus." kata Darmin kepada mertuanya, ketika mereka sedang melewati sebuah pertokoan.
"Beli saja mana yang kamu suka, mumpung masih disini."

"Kapan kita pulang pak?"
"Kamu tidak kerasan tinggal dirumah calon menantumu?"
"Bukannya tidak kerasan, tapi sungkan kalau lama-lama."
"Ya nanti bilang saja, besok ingin pulang, gitu. Tapi nggak usah diantar kan nggak apa-apa, yang penting kita naik kendaran umum ke Sarangan, pasti sampai dirumah."

"Saya juga mau tanya pak lurah tentang menikahkan Sri itu, kan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi."
"Benar, itu harus difikirkan, jangan kelamaan, kasihan nak Timan tampaknya ingin  buru-buru menikah."

"Iya pak, nanti sampai dirumah kita fikirkan. Ayo ke toko itu pak, saya kok pengin beli hem batiknya."
"Ayo, kalau ada yang cocog warnanya aku juga mau."
"Setelah ini kita cari makan, lalu pulang. Aku sudah tau harus naik angkutan kearah mana supaya sampai dirumaah nak Timan."

Hari itu mbah KLiwon, pak Darmin Sri dan Mery menikmati jalan-jalan dikota. Tapi tanpa mereka sadari, bahaya sedang mengancam.
***

Basuki sudah bersama kedua anak buahnya, berhenti didepan rumah Timan.
"Inikah rumahnya?"
"Iya tuan, disini rumahnya."
"Kamu yakin ?"
"Sangat yakin. Saya melihat pak tua itu turun dari mobil. Saya yakin tidak akan keliru. Lalu apa yang akan kita lakukan?"

"Aku akan memajukan mobilku, kamu turun saja, pura-pura menanyakan sesuatu."
"Jangan saya tuan, Marso saja, kan dulu itu saya sudah pernah bertemu pak tua itu, nanti belum-belum ketahuan kalau kita punya maksud tertentu karena tau bahwa saya mengikuti dia."
"Ya, turun So..! Tapi kok sepi ya, seperti nggak ada orang."

Basuki memajukan mobilnya, tidak persis didepan pintu pagar. Salah seorang anak buahnya memasuki halaman.
"Sepi.." gumamnya.

Ia naik keteras, lalu mengetuk pintu perlahan. Tak ada jawaban, tentu saja, karena Timan mengajak tamu-tamunya jalan-jalan dikota.

"Permisi..." sapanya sambil mengetuk pintu lebih keras.
Ia kemudian berjalan dari samping rumah. Ada dua buah jendela, tertutup rapat. Kearah belakang, sama saja, pintunya tertutup rapat.

"Berarti mereka pergi. Celaka kalau Sri tidak ditemukan disini, pasti juragan marah-marah."
Marso kembali keluar dari halaman., berdebar karena tak menemui siapapun. Pasti Basuki akan mendampratnya.

"Bagaimana ?" Hampir terlonjak Marso karena bentakan itu.
"Tidak ada tuan?"
"Tidak ada bagaimana? Kamu itu kalau memberi informasi yang jelas !"
"Kalau rumahnya benar ini tuan, cuma rumahnya kosong. Mungkin mereka sedang pergi."

"Bagaimana ini, kalau kamu cari pondokan didekat sini, pasti kamu bisa tau mereka pergi atau tidak."
"Ma'af tuan."
"Ya sudah, aku mau menunggu disini saja. Kalian keluar, carikan aku makan dan minum."

"Tuan mau makan apa?"
"Terserah, minumnya apa kan kalian sudah tau yang aku suka. Minta yang dingin. Makannya pokoknya ada ikan. Cepat, aku akan mengawasi rumah itu."
Keduanya bergegas pergi, khawatir akan ada dampratan lain yang akan didengarnya.
***

Hari sudah siang, Basuki setengah mengantuk dibelakang kemudi, ketika tiba-tiba dilihatnya dua orang berjalan kearahnya. Ia mengenal salah satunya adalah Darmin. 

"Itu kan Darmin. Sudah bebas dia rupanya. Mana Sri? Kok tidak bersama bapaknya? Yang tua itu kan simbahnya?? gumam Basuki.

Matanya berbinar. Ada satu cara untuk mengambil Sri. Dibiarkannya Darmin dan mbah Kliwon masuk kehalaman rumah. Basuki turun, berdiri disudut pagar. Ada pohon perdu disitu, yang bisa dipergunakan Basuki untuk sembunyi, sambil mengamati keduanya. Dilihatnya kedua masuk kerumah dan menutupnya kembali.
Basuki bergegas mendekat, lalu mengetuk pintu.
***
besok lagi ya


*KEMBANG TITIPAN  26*

 

mBah Kliwon sedang memegang baju yang baru dibelinya, agak kebesaran, ia mencari gunting untuk membuka jahitan pada bajunya, lalu kemudian akan dijahitnya sedikit. Ketika mendengar ketukan itu, mbah Kliwon segera berdiri, dan gunting yang dipegangnya dimasukkannya kedalam sakunya.

 

Basuki mengetuk lagi. Lalu terdengar langkah mendekat, dan seseorang membuka pintu.

"Selamat sore."

 

mBah Kliwon terkejut bukan alang kepalang. Ia pernah melihat Basuki sebelum Sri diculik. Dan sekarang laki-laki jahat itu sekarang berdiri didepannya? mBah Kliwon ingin menutupkan kembali pintunya, tapi sebelah kaki Basuki mengganjalnya.

 

"mBah, kan saya datang baik-baik, mengapa pintunya mau ditutup?"

"Kamu kan orang jahat yang telah menculik cucuku ?"

"Saya berniat baik mbah, ingin membahagiakan Sri, mengapa dihalangi?"

 

"Darmiiin," mbah Kliwon berteriak, tapi Basuki menariknya keluar, dan memegang lengannya kuat, lalu membawanya turun kehalaman. Darmin yang waktu itu masih dikamar mandi terkejut mendengar teriakan mertuanya.

 

Bergegas Darmin menuju depan rumah dan melihat mertuanya sedang ditarik-tarik Basuki. mBah Kliwon meronta, tapi mana bisa melawan kekuatan laki-laki tinggi besar yang dengan erat mencengkeram lengannya ?

 

"Basuki !! Lepaskan dia !!" Teriak Darmin marah.

Basuki menoleh, menghentikan langkahnya.

 

"Haa, Darmin.. kamu sudah berani menentang aku. Lupa kalau aku ini disebut tuan, Darmin?"

"Bagiku kamu adalah setan yang merusak !! Tak akan ada hormat untuk manusia rendah seperti kamu. Lepaskan ayah mertuaku !!"

 

Basuki tertawa gelak-gelak.

"Darmin.. Darmin! Darimana kamu mendapat keberanian seperti itu? Diamlah, bukankah anakmu sudah kamu berikan kepadaku ?"

"Tidak manusia laknat ! Tidak akan aku berikan anakku kepada manusia rendah seperti kamu. Lepaskan dia!"

 

Darmin semakin mendekati Basuki, betapapun kurus badannya, tak ada ketakutan dimatanya. Ia terus mendekati Basuki, dan siap bertarung melawannya. Basuki hanya tertawa. Ia tak hendak melepaskan mbah Kliwon yang terus meronta-ronta.

 

Darmin mengayunkan tangannya kearah wajah Basuki, dan dengan mudah Basuki menepisnya dengan sebelah tangan. Justru Darmin  terhuyung-huyung.

 

"Tuaaan.." tiba-tiba salah seorang anak buahnya yang tadi membeli makanan sudah datang dan melihat Basuki ada dipelataran rumah Timan.

"Kemari kamu, pegang pak tua ini !!"

 

Marso mendekat, lalu menarik tangan mbah Kliwon sehingga mengikuti langkah Marso. mBah Kliwon sudah terlalu tua untuk bisa melakukan perlawanan.  Ia pasrah ketika anak buah Basuki itu menariknya.

 

"Tolooong," mbah Kliwon berteriak dengan suara serak, berharap ada tetangga yang mendengarnya. Tapi rumah Timan jauh dari tetangga. Disebelahnya adalah kebun-kebun, dan beberapa ratus meter lagi baru ada rumah orang lain.

 

"Tolooong..." mbah Kliwon berteriak lagi.

"Diam atau aku sumpal mulut kamu, pak tua."

 

Kecuali tetangga agak jauh dari rumah Timan, teriakan mbah Kliwon juga tidak begitu keras, ditambah oleh rasa gemetar ketakutan yang menghinggapinya, karenanya tak seorangpun bisa mendengarnya.

Basuki masih menghadapi Darmin yang mengamuk, namun berkali-kali Darmin jatuh tersungkur.

 

"Tuaan, ada telephone dari Supri! teriak Marso tiba-tiba."

"Biarkan saja, mau apa dia?"

"Katanya rumah disatroni polisi."

 

Basuki tertegun. Ia lupa bahwa Darmin masih kuat melawannya. Sebuah pukulan menghampiri tengkuknya dan membuatnya terhuyung. Basuki meninggalkan Darmin sambil mengelus tengkuknya. Kata-kata polisi menyatroni rumahnya membuatnya terkejut.

 

"Mana ponselmu !!"

"Ini tuan, Supri menghubungi tuan tidak bisa."

Basuki mengganti nomor kontaknya dan lupa berpesan pada Supri.

 

"Ada apa?" tanya Basuki.

"Polisi sedang menggeledah rumah tuan, ia membawa dua wanita pelayan dan beberapa penjaga."

 

Basuki menutup ponsel itu dan bergegas menuju mobil, diikuti kedua bawahannya yang salah satunya menarik tubuh mbah Kliwon.

 

"Berhentiiii...! Lepaskan bapakku !!" teriak Darmin yang sudah kelelahan dan tertatih memburu kearah mobil Basuki. Namun dilihatnya mereka telah membawa mbah Kliwon dan pergi begitu saja.

"Ya Tuhan.. ya Tuhan.. lindungilah mertuaku.." keluhnya lemas. 

 

Darmin bingung akan melakukan apa. Ia masuk kerumah, mencari ponsel mbah Kliwon, barangkali tidak dibawa, karena dia sendiri tidak mempunyai ponsel. Ia merasa  lega ketika melihat ponsel mbah Kliwon tergeletak diatas meja. Dibukanya ponsel itu dan dicarinya nama Timan.

 

***

 

Tanpa menyadari apa yang terjadi dirumah, Timan mengajak Mery dan Sri mampir kesebuah mal untuk belanja.

Sri tampak sangat takjub, karena seumur-umur baru sekali ini memasuki mal. Kali ini Mery lah yang menuntun Sri ketika ia ingin membeli sesuatu. 

 

"Balanjalah apa saja Sri, untuk memasak besok, membuat kolak, disini semua ada."

"Ya mas, aku bingung jadinya, ada pasar sebagus ini, sebersih ini dan selengkap ini."

 

Sebenarnya Timan lebih suka belanja dipasar, serba murah dan tidak perlu mengantri setiap kali mau membayar belanjaan. Tapi ia ingin menunjukkan kepada Sri, bahwa ada pasar seperti ini. Sri harus tau, walau untuk selanjutnya tidak suka belanja disitu.

 

Selesai membawa belanjaan, Timan menyuruhnya menitipkan di penitipan barang, lalu mengajak keduanya naik kelantai dua, dengan melalui eskalator. Sri ketakutan ketika Mery menuntunnya menaiki tangga berjalan itu. Ia berpegang erat pada Mery, kemudian melompat tiba-tiba ketika sudah sampai diujungnya. Sri mengelus dada karena berdebar-debar.

 

"Ya ampuun, aku takut sekali mas.."

"Kalau mau lewat tangga juga bisa, tapi capek. jadi lebih baik lewat eskalator. Baru sekali pasti kamu sedikit takut, tapi lama kelamaan akan terbiasa."

"Ah, lebih gampang belanja dipasar ya.."

"Setidaknya kamu harus tau Sri, supaya pada suatu hari nanti kalau diajak ke mal tidak akan merasa canggung."

"Terimakasih mas, telah memberi aku banyak pengalaman."

 

Dilantai dua ada banyak baju-baju bagus dipajang. Mery sudah biasa beli baju bagus, bahkan yang harganya jutaan. Dia sama sekali tidak tertarik untuk membeli. Ia sudah berjanji akan menjalani hidup dengan cara yang sederhana. Toh banyak baju bagus dan pantas, dan harganya tidak harus menjulang tinggi.

 

"Sri, kamu mau membeli baju?"

"mBak Mery saja."

"Nggak Sri, disini semua mahal."

 

"Iya ya mbak, bukan main, ratusan ribu hanya untuk selembar baju. Nggak ah, beli dipasar lebih murah." kata Sri yang terus terheran-heran melihat pajangan barang-barang bagus disana.

"Kalau kamu mau, ambil saja." 

"Ayo mbak Mery, ambil saja.. sekali-sekali pengin belanja barang mahal.." kata Timan sambil tertawa.

 

Lalu keduanya memilih membeli blouse...  dengan model yang sama tapi warna berbeda.

"Ini saja, tidak terlalu mahal, hanya 70.000 an."

"Iya mbak, biar mas Timan senang," bisik Sri.

 

Lalu mereka melihat-lihat counter sepatu...

"Aduuh, tidak.. aku sudah punya sepatu. Ini apa.. sepatu tigaratus ribu... "

Mery tersenyum, jangankan ratusan ribu, sepatu seharga jutaan dia pernah punya, tapi tak satupun dibawanya.

 

"Yang diatas itu apa?" tanya Sri sambil menunjuk kelantai diatasnya.

"Itu ada arena bermain untuk anak-anak, dan ada gedung bioskup."

"Gedung bioskup? Itu untuk melihat film-film begitu?"

"Iya Sri, pada suatu hari nanti kita jalan-jalan kemari lagi untuk melihat bioskup." kata Timan.

Sri mengangguk senang.

 

"Sebentar, ini kelihatannya mbah Kliwon menelpone ber-kali-kali. Ayo ke kasir dan segera pulang. Disini terlalu ramai, tidak enak untuk menelpone," kata Timan.

 

Mereka pergi ke kasir, antri lumayan panjang. Sri kembali terheran-heran, mau bayar saja pakai ngantri begitu panjang, padahal ada beberapa kasir berjajar.

 

"Sri, kamu tidak lupa memberi tahu bapak atau simbah bahwa kuncinya ada dibalik saka kan?"

"Iya, sudah aku beri tahu," jawab Sri.

"Ya sudah, berarti simbah menelpone bukan karena tidak bisa membuka pintu.

 

Begitu keluar, Timan menelpone mbah Kliwon, yang menerima pak Darmin, dan apa yang dikatakannya membuatnya terkejut bukan alang kepalang.

Segera ditariknya Sri dan Meri agar cepat-cepat naik ke mobil.

***

 

"Ada apa sih mas, kok kelihatan seperti bingung begitu?" tanya Sri yang heran melihat sikap Timan.

"Ini gawat Sri.."

"Gawat kenapa mas?" tanya Mery ikut kaget.

"Basuki bisa sampai kerumah."

"Apa? Kerumahnya mas Timan?" pekik Sri dan Mery hampir bersamaan.

Timan mengangguk.

 

"Lalu apa yang dilakukannya?"

Timan tak menjawab, ia memacu mobilnya kencang, menyelinap diantara lalu lalang kendaraan disore hari.

"Pelan-pelan mas."

"Ada apa sih mas?" tanya Sri lagi.

 

Timan belum menjawab, kalau dia menjawab pasti Sri langsung menangis menjerit-jerit. 

"Maaas..." 

"Sebentar Sri, jalanan lagi ramai nih," Timan memberi alasan.

"Mengapa sih pakai ngebut segala? Seperti lagi diburu macan saja." keluh Sri. Tapi ada perasaan tak enak melihat sikap Timan. Hatinya berdebar-debar, apalagi katanya Basuki datang kerumah Timan. Bagaimana bisa tau rumah mas Timan? pikir Sri. 

 

Mery juga merasa  cemas, kalau Basuki datang, tak mungkin dia tak melakukan apa-apa.

Disebuah perempatan Timan harus berhenti karena lampu merah. Dipergunakannya kesempatan itu untuk menulis pesan singkat kapada Bayu, tentang kedatangan Basuki yang membawa mbah Kliwon.

***

 

Bayu tekejut menerima pesan singkat dari Timan. Ia mencoba menelpone Timan tapi tidak diangkat. Timan sedang memburu waktu, ia berharap Bayu akan menghubungi polisi. Ia yakin tak akan bisa menyelesaikannya sendiri.

 

Ponsel berdering lagi. Dari pak lurah Mardi.

"Hallo pak lurah, saya baru saja mau menelpone," sapa Bayu.

"Saya tadi menelpone mas Timan tapi tidak diangkat. Teman saya di kepolisian mengabari saya bahwa rumah Basuki sedang digeledah, tapi Basuki tak ditemukan disana."

"Iya pak lurah, Basuki menyatroni rumah mas Timan sore ini."

"Apa?"

 

"Mas Timan baru saja mengirimkan pesan singkat, tapi ketika saya mencoba menelpone tidak diangkat. Saya bermaksud mau kerumahnya sekarang, tapi mau menghubungi teman saya dulu."

"Baiklah mas, langsung saja dilaporkan."

 

"Tapi dia membawa mbah Kliwon bersamanya,"

"Ya Tuhan. Segera laporkan mas, mas Bayu yang lebih dekat kan."

"Baik, lalu saya akan menyusul kerumah mas Timan, tampaknya ketika mengirim pesan dia masih dijalan, mungkin baru keluar dari pasar."

***

 

Begitu memasuki pekarangan, dilihatnya pak Darmin sedang duduk di tangga teras. Wajahnya babak belur. Sri berlari mendekati.

 

"Bapak, ada apa?" kata Sri sambil menubruk ayahnya. Dielusnya wajah ayahnya yang sudah dibubuhi obat merah.

"Aku berusaha mencegah, tak berhasil, simbahmu dibawanya."

 

Sri menangis meraung-raung. Mery mendekati dan memeluknya. 

"Sabar Sri."

"Bagaimana dia bisa sampai kemari?" tanya Timan heran.

"Aku juga heran, bagaimana dia bisa tau bahwa Sri ada disini."

"Sri, sudahlah, mas Bayu pasti sudah melapor ke polisi, simbah akan selamat."

 

"Jangan-jangan dia!" tiba-tiba Darmin menuding Mery  dengan pandangan penuh curiga.

Sri terkejut.

"mBak Mery menolong aku, mana mungkin dia melakukannya?"

"Nyatanya Basuki tau kalau kita ada disini."

 

"Basuki punya banyak anak buah, siapa tau ada yang mengikuti ketika simbah menuju kemari," kata Mery dengan suara bergetar. Dia benar-benar takut kalau orang-orang tak mempercayainya.

Sri memeluk  Mery.

 

"Aku percaya pada mbak Mery. Dia tak mungkin melakukannya. Mungkin benar, ada yang mengikuti  ketika pak lurah bersama bapak dan simbah datang kemari," kata Sri masih dengan menangis.

 

Tapi tampaknya pak Darmin masih curiga. Demikian juga Timan. 

Tapi kemudian Timan bisa berfikir lebih jernih, kalau memang Mery mau mencelakai Sri dirumah ini, mana mungkin dia bersusah payah membawa Sri kabur dari sana.

 

Bayu kemudian sudah datang, bersama dua orang temannya. Mereka polisi berpakaian preman.

Timan segera mendekat dan menceritakan semuanya. Ia juga menyesal tadi mampir ke mal dan belanja disana.

"Kemana mereka pergi?" tanya salah seorang polisi.

"Kearah sana," jawab Darmin. Kecurigaannya pada Mery masih belum hilang.

 

Ketika Bayu dan temannya mau pergi, Sri dan Mery berkeras mengikutinya.

***

 

mBah Kliwon bukan penakut, tapi kalau Basuki menawannya untuk kemudian ditukar dengan Sri, itu adalah bencana

 

Salah satu anak buah Basuki duduk didepan, satunya lagi duduk disamping mbah Kliwon.

"Bolehkah saya duduk dibelakang saja?

"Mana bisa? Kamu mau kabur kan?"

"Tidak, saya ini gampang mabuk, lebih baik dibelakang saja, dan tolong dibuka jendelanya biarpun hanya sedikit."

 

"Bagaimana tuan, pak tua minta dibelakang."

"Kalau aku tidak boleh duduk dibelakang, jangan salahkan kalau aku muntah-muntah didalam mobil."

 

Basuki merasa  jijik membayangkan ada orang yang muntah didalam mobilnya.

"Baiklah, suruh dia duduk dibelakang, tapi awasi terus."

 

mBah Kliwon dibiarkannya duduk dibelakang, dan dibukanya jendela sedikit saja., 

mBah Kliwon menyandarkan kepalanya, tapi begitu anak buah Basuki mau ikut duduk dibelakang, mbah Kliwon pura-pura mau muntah.

 

"Huuaackkkkh..". Lalu anak buah Basuki mengurungkan niyatnya duduk dibelakang mendaampingi mbah Kliwon. mBah Kliwon merasa sedikit lega. Ia berfikir untuk kabur, tapi bagaimana caranya? Melompat turun adalah tak mungkin. Bisa-bisa dia terpelanting jatuh, lalu tergilas mobil yang ada dibelakangnya.

 

"Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini.."  do'anya dengan bibir bergetar.

"Beri minyak angin, adakah?" teriak Basuki.

"Tidak punya tuan.."

 

"Awas ya, kalau mau muntah bilang, supaya jendela bisa dibuka lebih lebar, dan kamu bisa muntah keluar. Kalau sampai muntah didalam mobil, aku hajar kamu pak tua," ancam Basuki tanpa belas.

mBah Kliwon terus memutar otaknya, lalu diingatnya ia membawa gunting disakunya.

***

besok lagi ya




2 komentar:

  1. Mengapa ada naskah ini disini tanpa nama penulisnya? Mohon penjelasan. Ma'af. Terimakasih

    BalasHapus
  2. Ini tulisan saya. Bagaimana bisa ada tanpa mencantumkan nama?

    BalasHapus