*KEMBANG TITIPAN 23*
Laki-laki
asing itu kemudian berdiri setelah meneguk habis air didalam gelas yang
disuguhkan mbah Kliwon.
"Lho
nak, mau kemana ?"
"Mau
melanjutkan perjalanan kek."
"Oh
ya, kita sudah ngomong banyak, tapi belum saling memperkenalkan diri. Saya mbah
Kliwon, anak ini siapa dan darimana? Tampaknya bukan penduduk desa ini
kan?"
"Iya,
saya hanya lewat kek, tadi kehausan terus singgah disini. Kebetulan kakek baik
sekali. Terimakasih banyak ya kek," kata laki-laki asing itu tanpa
menyebutkan namanya dan bergegas pergi.
mBah
Kliwon melongo.
"Orang
ditanya namanya kok malah langsung pergi. O.. anak muda jaman sekarang sering
tidak memiliki tata krama," keluh mbah Kliwon sambil meengambil gelas dan
piring berisi ketela yang masih tersisa.
"Lha
ini, ketela sudah digigit kok dikembalikan ke piring. Hm.. benar-benar bikin
kesal," kata mbah Kliwon yang kemudian meletakkan piring itu lagi, lalu
membuang sisa ketela bekas gigitan tamunya.
"Makanan
enak begini kok tidak dihabiskan," gumamnya sambil bergegas kebelakang
***
Sri dan
Mery sudah selesai berkemas. Hanya sebuah tas yang berisi baju-baju baru yang
dibelinya dipasar dekat losmen. Baju-baju sederhana bukan baju-baju bermodel
seronok seperti baju-baju Mery sebelumnya. Sedangkan beberapa baju yang
dibawanya dari rumah Basuki sudah diberikannya kepada seseorang yang kebetulan
ditemui mereka didepan losmen.
"Benar
nih, nggak apa-apa ikut kamu?" tanya Mery yang sesungguhnya merasa sungkan
harus ikut Timan kerumahnya.
"Nggak
apa-apa mbak, Mas Timan itu orangnya baik, suka menolong, percayalah."
Ketika
Mery dan Sri menunggu didepan losmen, dilihatnya sebuah mobil berhenti.
"Itukah
mobil mas Timan?"
"Bukan
mbak, mas Timan mobilnya colt terbuka, karena sering dipakai mengangkut
buah-buahan dagangannya.
Tapi
ketika seseorang turun dari mobil, Sri hampir melonjak kegirangan. Seorang
laki-laki ganteng turun dari mobil itu. Berdebar Sri menyambutnya. Beberapa
hari dia tidak melihat mata teduh yang menghanyutkan itu.
"Itu
mas Timan mbak," serunya.
Timan
tersenyum lebar melihat Sri. Dipeluknya erat kekasihnya, dengan rasa syukur
yang teramat sangat. Berlinang air mata Sri karena terharu.
"Terimakasih
mas."
"Kamu
baik-baik saja?"
"Aku
baik-baik saja mas. Itu mbak Mery," kata Sri memperkenalkan Mery kepada
Timan.
Timan
menghampiri Mery dan mengulurkan tangannya dengan wajah ramah.
"mBak
Mery, saya Timan, calonnya Sri," katanya.
"Terimakasih
banyak mas, tapi apa saya tidak merepotkan ?"
"Tidak,
saya senang mbak Mery ikut. Tapi rumah saya tidak bagus lho mbak, rumah orang
kampung."
"Tidak
apa-apa mas, yang penting aman."
"Mas
Timan mobilnya ganti?" tanya Sri.
"Ini
mobil mas Bayu dipinjamkan, karena tau bahwa aku akan menjemput dua
orang."
"Oh,
mobil mas Bayu."
"Sudah
siap? Bisa berangkat sekarang ?"
"Sudah
siap mas, sebentar aku mau menelpone simbah."
***
mBah
Kliwon sedang mencuci gelas bekas tamu asingnya ketika tiba-tiba ponselnya
berdering.
"Ee..
siapa lagi itu, sebentaaaar," teriak mbah Kliwon sambil meletakkan gelas
dan piring yang sudah dicucinya didapur.
Lalu mbah
Kliwon mengangkat ponselnya.
"Hallooo..."
"mBah,
ini Sri ..."
"Weee..
nduk, gimana, sudah ketemu nak Timan?"
"Sudah
mbah, ini Sri sudah siap mau berangkat."
"Syukurlah
Sri, bilang sama nak Timan, hati-hati, gitu ya."
"Hallo
mbah," sapa Timan setelah Sri mengulurkan ponselnya.
"Nak
Timan?"
"Iya
mbah, simbah sehat?"
"Sehat
sekali nak. Terimakasih ya nak, sudah mau menjemput Sri. Saya titip cucu saya,
tolong dijaga baik-baik."
"Pasti
mbah, saya akan menjaganya."
"Sebetulnya
saya sudah kangen sama Sri. Ingin segera bertemu."
"Besok
saya akan menjemput simbah, supaya simbah ketemu Sri."
"Benarkah
? Sepertinya bu lurah juga ingin kerumah nak Timan."
"Nanti
saya akan bicara dengan pak lurah, kapan mau datang kerumah saya."
"Iya
nak."
"Sudah
ya mbah, Sri mau berangkat dulu," kata Sri setekah meminta ponselnya dari
Timan.
"Hati-hati
ya nduk."
mBah
Kliwon menutup ponselnya dengan hati gembira.
"Syukurlah
Sri... semoga semuanya segera berlalu." gumamnya dengan wajah berseri.
***
Basuki
sedang ingin memejamkan mata setelah sehari semalam tidak sedikitpun
beristirahat, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Ada
apa? Jangan sebentar-sebentar telephone kalau tidak membawa berita yang
menyenangkan." hardiknya sengit.
"Ma'af
tuan, ini berita bagus," suara dari seberang.
"Haa,
kamu sudah berhasil menangkap keduanya?"
"Belum
tuan.."
"Kalau
belum mengapa bilang berita baik? Jangan asal bicara dan membuang-buang waktuku
saja."
"Tuan,
saya belum selesai bicara."
"Cepat
bicara !!"
"Saya
sudah bertemu dengan mbah Kliwon, simbahnya si Sri, tuan."
"Bukan
mbahnya yang aku mauuuuu...!"
"Ya,
tuan, dari mbahnya itu saya mendapat keterangan tentang Sri."
"Keterangan
yang bagaimana ?"
"Dimana
Sri bersembunyi."
"Haa,
bersembunyi, seperti tikus?"
"Dia
ada dirumah calon suaminya."
"Bagus,
dimana rumahnya, segera selesaikan tugasmu dan kamu akan mendapat bonus dua
kali lipat!"
"Sa'at
ini saya belum tau dimana rumah calon suaminya itu, tuan."
"Goblog,
kalau begitu untuk apa kamu bicara sama aku?"
"Saya
sedang menunggu tuan. mBah Kliwon mau ketemu Sri dirumah calon suaminya, tapi
menunggu dijemput, saya akan mengawasi terus kemudian kalau mereka berangkat
saya akan mengikutinya, dengan demikian saya akan tau dimana Sri
bersembunyi."
"Hahaaa..."
Basuki tertawa senang.
"Kamu
ternyata tidak segoblog yang aku kira. Cepat lakukan tugasmu dan jangan sampai
gagal. Kalau kamu gagal, jangan salahkan aku kalau kamu akan sengsara seumur
hidupmu."
"Siap..
tuan."
Basuki
meletakkan ponselnya dan tersenyum lega. Anak buahnya sudah mendapat titik
terang. Tinggal menunggu waktu. Itu bagus. Lalu Basuki memejamkan matanya dan
pulas tak lama kemudian, tertelentang begitu saja disofa didalam kamarnya.
***
Mobil yang
dikendarai Timan memasuki halaman yang agak luas, sedikit dipinggiran kota. Pelataran
yang teduh karena beberapa pohon besar tumbuh disana. Ada pohon jambu yang
sedang berbuah, pohon sawo yang rindang dan mangga talijiwa yang sedang
berbunga.
Timan
menghentikannya didepan teras rumahnya. Ia turun lebih dulu kemudian membukakan
pintu depan untuk Sri, lalu pintu belakang untuk Mery.
"Silahkan,
ini gubug sederhana milik orang kampung," kata Timan sambil mengiringkan
kedua tamunya menaiki teras.
"Sejuk
sekali udaranya disini." seru Mery sambil menarik nafas panjang.
Timan
membuka pintu rumah dan langsung mengajak mereka masuk.
"Ada
dua kamar kosong yang sudah saya bersihkan dan saya tata sebisa saya. Ini agak
besar, bisa untuk berdua, ini yang satunya agak kecil. Terserah Sri sama mbak
Mery mau memilih yang mana, yang bisa berdua atau sendiri-sendiri," kata
Timan ramah.
"mBak
Mery mau yang mana?" tanya Sri kepada Mery.
"Bagaimana
kalau kita berdua sekamar? Nggak enak sendiri-sendiri."
"Baiklah,
aku juga suka kita sekamar."
"Kalau
begitu silahkan .."
Sri dan
Mery memasuki kamar itu. Ada dua tempat tidur yang sudah diberi alas baru, dua
meja dan dua lemari serta ada kaca untuk berhias. Semuanya barang-barang kuna
yang tidak gemerlap seperti rumah Basuki.
"Ma'af
mbak Mery, hanya seperti ini rumah saya."
"Mas
Timan, ini sangat menyenangkan. Begitu masuk saya merasa adem. Sungguh saya
akan kerasan berada disini."
"Alhamdulillah,"
kata Timan senang.
"Tapi
hanya ada satu kamar mandi disini, dan tidak didalam kamar."
"Tidak
apa-apa mas. Terimakasih banyak ya."
"Kalau
begitu silahkan mandi dulu, atau perlu air panas?"
"Tidak,
tidak.. lebih segar air dingin."
"Silahkan
mbak. Sri.. tata barang-barangmu didalam almari, ada dua, mbak Mery dan kamu
masing-masing satu almari."
"Ya
mas, barang kami tidak banyak, hanya beberapa lembar pakaian."
"Ya
sudah, saya buatkan minum dulu, sementara kedua tamu saya mandi," kata
Timan sambil menjauh.
Sri
menutup pintu kamar.
"mBak
Mery suka kamar ini?"
"Sangat
suka Sri, ini luar biasa. Aku tidak pernah merasa senyaman ini."
"Syukurlah.
Sekarang mbak Mery mandi dulu sana, saya mau membantu mas Timan buat
minuman."
Sri keluar
dari kamar, menuju dapur. Dilihatnya Timan sedang menyiapkan gelas dan
mengambil botol sirup dari dalam kulkas.
"Mas,
biar aku saja yang buat, mas Timan kan capek."
"Tidak
Sri, kalau aku bersamamu tidak akan merasa capek."
"Ah,
mas Timan bisa saja," kata Sri sambil meraih botol sirup dari tangan
Timan, tapi Timan tidak mau melepaskannya sehingga tangan mereka bersentuhan.
Ada getar aneh terasa disana. Mereka berpandangan, lalu Sri tersenyum sambil menundukkan
muka.
"Sri..."
"Ya.."
kata Sri setelah botol sirup dipegangnya, lalu siap menuangkannya kedalam
gelas.
"Aku
takut sekali kehilangan kamu. Aku bahagia bisa menemukan kamu."
"Aku
hampir kehilangan akal mas, untunglah mbak Mery tiba-tiba berbalik menolongku."
"Apa
yang membuat mbak Mery tiba-tiba berfihak kepadamu?"
"Entahlah,
aku hanya bercerita tentang cinta kita, tentang hidupku yang penuh
derita."
"Pasti
ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba bersikap begitu."
"Dia
sangat mencintai Basuki."
"Ooo ?"
"Aku
bilang, kalau cinta, milikilah dia, jangan membiarkannya mencumbu wanita
lain."
"Mungkin
tadinya dia kesal karena Basuki menginginkan aku, lalu tiba-tiba dia membenci
Basuki."
"Bagaimana
caranya kalian bisa pergi dengan tanpa halangan sementara katanya rumah Basuki
banyak penjaganya?"
"mBak
Mery memberinya minuman yang dibubuhi obat tidur, sehingga dia terlelap sampai
beberapa jam."
"Lalu
kalian pergi dan tak ada yang menghalangi?"
"Disana
semua orang menghormati mbak Mery. Mereka mengira mbak Mery mau belanja atau
apa bersama salah seorang pelayan. Oh ya, mbak Mery memberi aku baju seragam
pelayan sebelumnya," kata Sri yang tak bisa menahan tertawanya.
Timan
ikut tertawa.
"Pelayan
cantik, tak adakah yang curiga?"
"Semua
pelayan menghormati mbak Mery, mungkin tak ada yang memperhatikan wajahku, yang
penting aku berpakaian pelayan."
Sri
meletakkan tiga gelas sirup yang sudah selesai dibuatnya, dibawanya ke meja
tamu. Timan mengikuti dibelakangnya.
"Pengalaman
yang mendebarkan. Lalu... mmm..." Timan seperti ragu-ragu mengatakannya.
"Lalu
apa?"
"Apa
Basuki... mm... sempat menjamah... kamu?"
"Oh,
tidak mas, untunglah mbak Mery selalu melindungi aku."
"Syukurlah."
Sri dan
Timan duduk berhadapan, menunggu Mery selesai mandi.
"Kalian
keluar dari sana naik apa?"
"mBak
Mery punya mobil, maksudnya ada mobil yang khusus dipakai mbak Mery
disana."
"Lalu
mobil itu?"
"mBak
Mery meninggalkannya didepan sebuah warung ketika kami makan. Lalu kami naik
bis umum yang untungnya masih ada.
"Ya
ampun Sri, pengalamanmu benar-benar membuat aku takut."
"Aku
bersyukur sudah ketemu mas Timan. Tapi aku kangen simbah."
"Besok
pak Darmin bisa pulang kerumah. Nanti aku akan menjemput simbah dan pak Darmin
agar datang kemari.
"Wah,
senangnya."
"Sri,
aku sudah selesai," teriak Mery dari dalam kamar."
Sri
bangkit.
"Aku
mandi dulu ya mas, nanti omong-omong lagi." kata Sri sambil bergegas
menuju kamarnya.
"Suruh
mbak Mery minum disini."
***
Tapi hari
itu yang menjemput mbah Kliwon dan pak Darmin bukan Timan, karena pak lurah
melarangnya.
"Mas
Timan tidak usah menjemput kemari, biar saya saja yang mengantar pak Darmin dan
mbah Kliwon kerumah mas Timan." kata lurah Mardi waktu itu.
Hari masih
pagi ketika mobil pak lurah sudah ada didepan rumah mbah Kliwon. Darmin sudah
ada disana menunggu didepaan rumah dan berpakaian sangat rapi.
"Pak
Darmin sudah siap?"
"Sudah
pak lurah, terimakasih banyak telah bersedia repot-repot mengantar kami."
"Tidak
apa-apa pak Darmin, Marni juga sudah kangen sama Sri."
"Saya
tidak tau ada peristiwa yang membuat cemas semua orang ini, tak ada yang
memberi tau kepada saya," sesal pak Darmin.
"Memang
kita sepakat tidak memberi tau pak Darmin, takutnya pak Darmin yang masih
berada didalam tahanan akan kepikiran."
"Iya,
terimakasih banyak kepada semuanya."
"Mana
mbah Kliwon?" tanya lurah Mardi sambil menjenguk kedalam rumah.
"Sebentar,
ini membawa ketela dua karung, untuk nak Bayu dan nak Timan," teriak mbah
Kliwon dari dalam. Darmin segera bergegas kedalam membantu mengangkat hasil
kebun yang mau dibawanya kepada calon cucu mantunya.
Lurah
Mardi hanya tertawa, dan membiarkan mbah Kliwon dan pak Darmin memasukkan dua
karung ketela kedalam bagasi mobilnya.
Mobil
lurah Mardi segera meluncur, meninggalkan rumah mbah Kliwon. Wajah-wajah ceria
memenuhi isi mobil itu.
Namun
kira-kira sepuluh meter dibelakangnya, dua orang mengikutinya. Mereka
berboncengan dengan sepeda motor tanpa mau melepaskan pandangannya kearah mobil
didepannya.
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAN 24*
Disepanjang
perjalanan itu tak henti-hentinya pak Darmin mengucap syukur karena Sri selamat
dari cengkeraman Basuki.
"Saya
sungguh menyesal atas perbuatan saya, tapi sungguh banyak pertolongan ketika
saya ingin berbuat baik," kata Darmin memelas.
"Benar,
dan itu akan membuat hidup kamu lebih tenang," kata mbah Kliwon yang duduk
disamping menantunya itu.
"Sekarang
saya tinggal berfikir, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan," keluh pak
Darmin.
"Pak
Darmin bisa membantu mbah Kliwon, banyak yang bisa dikerjakan disana
pak," sela lurah Mardi sambil menyetir.
"Benar
pak, apapun itu, yang penting bisa mendapatkan penghasilan yang halal,"
sambung Marni.
"Baiklah,
apapun akan saya lakukan. Selama ini saya menjadi ayah yang tidak pantas
disebut ayah, karena memeras tenaga Sri agar aku bisa makan dan mendapatkan
kesukaan saya."
"Yang
penting sekarang sudah sadar, pak Darmin."
"Saya
akan melakukan yang terbaik untuk hidup saya dan untuk anak saya, Sri,
harusnya saya yang mencari nafkah, bukan Sri."
"Dan
jangan lupa, pak Darmin akan segera punya gawe lho," sambung Marni lagi.
"Apa
itu bu lurah?"
"Lho,
mas Timan akan segera melamar Sri, dan pak Darmin kan harus siap-siap
menikahkan Sri?"
"Oh
iya, saya sampai lupa. Syukurlah Sri mendapat jodoh seorang laki-laki yang baik
seperti nak Timan."
"Dia
sudah berkorban banyak untuk kamu Darmin, kalau tidak ada dia kamu pasti masih
mendekam ditahanan, dan segera masuk penjara," sambung mbah Kliwon.
"Dan
tadinya dia juga mau menggantikan uang Basuki lho. " sambung Marni lagi.
"Bagaimana
kelanjutannya tentang uang pengganti itu pak lurah?"
"Tidak
usah, kami sudah mengajukan tuntutan atas perlakuan Basuki. Dia harus melupakan
uang yang sudah dibayarnya dan membebaskan Sri."
"Saya
pasti juga akan kena hukuman karena perbuatan itu," kata Darmin sedih.
"Nanti
dibicarakan lagi, tergantung Sri, tak mungkin dia membiarkan ayahnya
dipenjara."
"Kabar
anak buah Basuki yang tertangkap itu bagaimana mas?" tanya Marni
kepada suaminya.
"Kabarnya
belum mau mengaku kalau pernah bertemu Basuki. Tapi mana mungkin polisi percaya
begitu saja? Lama kelamaan dia pasti juga akan mengaku."
"Semoga
Basuki segera tertangkap."
"Aamiin.."
seru mbah Kliwon dan Darmin hampir bersamaan.
"Mas,
ini kita mampir kerumah mas Bayu dulu kan?"
"Iya,
alamatnya sudah diberikan, nanti kita berangkat bersama-sama."
***
"Bagaimana
So, sudah ada titik terang?" tanya Basuki penuh harap. Kali ini tak sabar
menunggu laporan.
"Ini
kami sedang mengikuti mobil yang menuju kesana tuan."
"Benar
itu mau menuju ketempat Sri bersembunyi?"
"Iya
tuan, kan saya sudah mendapat informasi dari pak tua itu, setelahnya saya terus
mengawasi situasi disitu. Pagi ini ada mobil menjemput pak tua, arahnya kekota,
pastilah kesana."
"Baiklah,
segera laporkan perkembangannya."
"Siap
tuan."
Basuki
menutup ponselnya sambil tersenyum senang. Ia yakin anak buahnya tak akan
gagal, entah bagaimana caranya.
Tiba-tiba
ponselnya berdering lagi, nomornya tak dikenal. Basuki enggan mengangkatnya,
tapi ponsel itu terus berdering. Terpaksa dia mengangkatnya dengan hati-hati.
"Hallo,
tuan," suara perempuan dari seberang.
"Bu
Herman ?"
"Iya
tuan"
"Ada
apa lagi?"
"Tadi
polisi datang kemari tuan."
"Polisi
datang untuk apa? Herman sudah ada dirumah?"
"Belum
tuan, katanya setiap hari ditanya tentang tuan Basuki."
"Herman
jawab apa?"
"Tetap
menjawab tidak tau, tapi tadi polisi datang kemari, memaksa saya untuk
bicara."
"Apa?
Lalu kamu bicara apa?"
"Saya
tetap bilang tak tau apa-apa tuan, tapi ponsel milik mas Herman diminta oleh
polisi."
"Lalu
kamu berikan?"
"Mereka
memaksa tuan, saya takut sekali."
"Dasar
bodoh !!" Disitu kan ada nomor kontakku? Sudah dihapus belum?"
"Belum
tuan, saya tidak tau cara menghapusnya."
"Bodoh
!!"
"Setiap
hari saya menjenguk mas Herman ditahanan, mas Herman tidak bilang apa-apa
tentang ponsel itu."
"Dia
itu lebih bodoh lagi, goblog malah."
Lalu
Basuki menutup ponselnya, membukanya dan membuang simcard yang ada didalamnya.
Tampaknya ia ingin melakukan sesuatu. Ia merasa hidupnya dalam bahaya. Ada
kegelisahan yang tiba-tiba menyentak.
Ia
keluar masuk kamar, bingung akan apa yang sebaiknya dilakukan. Tetap dirumah
saja, atau harus pergi. Bagaimana kalau polisi menyatroni tempat tinggalnya? O,
ternyata Basuki punya rasa takut. Bertumpuk dosa yang dibuatnya, baru kali ini
membuatnya takut.
"Kalau
sampai Herman ditekan terus, pastilah dia akan membuka mulutnya. Orang eddan,
gendeng.. sembrono.. ceroboh !!" umpatnya berkali-kali.
Lalu
dia mamsukkan nomor lain kedalam ponselnya, ia harus menelpon bandara.
Satu-satunya jalan adalah kabur keluar negri. Tapi bagaimana dengan Sri? Basuki
benar-benar jatuh hati pada Sri. Apakah itu cinta? Bukankah cinta itu tidak
menyakiti?
Tapi
Basuki sungguh-sungguh ingin memiliki. Itu bukan cinta, tapi nafsu. Bukan
nafsu, nafsu bisa terlampiaskan dengan siapa saja. Begitu gampang dia mendekati
seorang gadis, lalu memintanya melayani apa yang diinginkan. Jadi apa yang
dirasakan Basuki sa'at ini terhadap Sri? Pertanyaan itu juga berkecamuk dalam
diri Basuki. Sambil memegangi kepalanya disandarkannya tubuhnya ke sandaran
sofa.
"Sri...
Sri.. Sri.... mengapa kamu membuatku seperti ini?" keluhnya pilu.
Basuki
urung menelpone bandara. Kalau polisi sudah mencurigai dirinya, Basuki yakin
justru di bandara dia akan ditangkap, karena prediksi lari keluar negri sudah
pasti ada.
Wajah
Sri yang lugu sangat membuatnya tergila-gila. Banyak wanita dengan suka rela
menyerahkan tubuhnya karena dia ganteng dan banyak harta, tapi Sri
berbeda, itu membuatnya jatuh bangun.
"Sri..
kembalilah padaku Sri, aku tak akan menyakiti kamu, dan percayalah setelah ada
kamu aku tak akan mencari perempuan lain," gumamnya pelan.
Aduhai..
benarkah cinta bisa merubah segalanya? Tapi luka dan noda yang tergores telah
merusak segalanya. Merusak citranya dan tak ada yang menganggapnya sebagai
laki-laki terhormat.
"Mengapa
Marso belum menelpone juga? Jauhkah jarak desanya Sri dengan rumah laki-laki
yang katanya calon suami Sri?"
Basuki
lupa bahwa dia telah mengganti nomor kontaknya.
***
Mobil
pak lurah Mardi sudah memasuki halaman rumah Bayu. Kedua pengikut itu mengira
disitulah rumah calon suami Sri.
Mereka
bergegas pergi dengan wajah puas, dan pujian majikannya yang galak dan diktator
sudah terbayang di angan-angan mereka.
Tapi
mengapa ponsel sang majikan malah mati? Berkali-kali dicobanya tidak berhasil.
Keduanya merasa aneh.
"Kita
berhenti dulu untuk makan. Aku haus dan lapar," kata anak buah Basuki yang
tadi memboncengkan temannya. Jarak dari Sarangan ke Solo tidak dekat, apalagi
mereka hanya bersepeda motor.
Mereka
berhenti disebuah warung, tak seberapa jauh dari rumah Bayu. Mereka memesan
makan dan minum.
"Mengapa
ya tuan Basuki susah dihubungi?"
"Lupa
di cas 'kali."
"Hm,
kalau tidak melapor nanti dimarahi, kalau mau melapor ponselnya mati. Jadi
orang rendahan memang susah, semuanya serba salah."
Tapi
sebelum pesanan mereka dihidangkan dimeja, salah satu dari mereka melihat mobil
yang tadi diikutinya melintas didepan mereka.
"Haaa?
Itu.. itu..."
"Apa..?"
"Mobil
yang kita ikuti... ayo cepat !!
Persis
ketika pesanan sampai dimeja, keduanya kabur dan langsung menaiki sepeda motor
mereka dengan tergesa-gesa. Tak perduli pelayan warung berteriak-teriak.
"Eeeh...
gimana nih paak.. paaak.."
***
"Kemana
mereka? Celaka, jalan ini sangat ramai, awas, terus amati, jangan sampai
kita kehilangan jejak"
"Berarti
bukan disitu rumahnya."
"Mereka
hanya mampir, atau apa, salah kita, tergesa mengikuti kata hati."
"Bukan
mengikuti kata hati, tapi kata tenggorokan nih, dan juga perut."
Udara
panas dan perjalanan yang lumayan jauh memang membuat mereka kehausan, dan juga
kelaparan. Mereka terus mencari, dan mencari.
"Haa,
itu bukan?"
"Benar,
itu mobilnya, syukurlah, kita tidak kehilangan jejak."
"Jangan
jauh-jauh dibelakangnya,"
"Nggak
bisa, kalau terlalu dekat nanti mereka curiga, dan pasti merasa diikuti. Biar
segini saja, yang jelas dia tetap ada didepan kita."
"Baiklah,
asalkan kita masih bisa mengawasi mereka."
Mobil
yang mereka ikuti terus melaju, kearah selatan.
"Jauh
banget rumahnya, jangan-jangan masuk ke desa-desa lagi."
Tapi
mobil Bayu kemudian memasuki sebuah halaman luas, diikuti mobil lurah Mardi.
"Tuh,
mereka sudah sampai rupanya."
"Pelankan
motormu sambil mengawasi mereka. "
"Terus
saja dulu, lalu kita balik lagi."
Mereka
melewati rumah Timan, tapi belum kelihatan siapa yang turun, tapi ketika mereka
berbalik, mereka melihat kakek tua yang telah memberinya minum.
"Nah,
itu kakek tua, kakeknya Sri."
Keduanya
berjingkrak kegirangan.
"Sekarang
ayo cari minum sambil mencoba menelpone juragan lagi."
Dengan
perasaan lega mereka kemudian mencari sebuah warung. Agak jauh warung itu dari
rumah Timan, tapi mereka tak perduli . Yang penting mereka sudah yakin bahwa
rumah yang menjadi sasaran mereka sudah mereka ketahui. Tinggal bagaimana nanti
mereka harus bertindak.
Mereka
sudah duduk diwarung, dan benar-benar menikmati segelas es kelapa muda yang
dipesannya.
"Mengapa
ya, juragan tidak bisa dihubungi?"
"Nanti
pasti dia menghubungi kita, ayo kita makan dulu dan cari penginapan."
***
Sri
benar-benar gembira melihat ayahnya dan kakeknya datang. Dipeluknya mereka satu
persatu dengan linangan air mata.
"Bapak
sehat? Simbah juga sehat?"
"Sangat
sehat nduk, senang melihatmu selamat tak kurang suatu apa," kata mbah
Kliwon bersahutan dengan Darmin, dengan jawaban yang sama.
"Kang..
eh.. pak lurah, yu Marni...aduh.. Jarot kok tidur, mari aku tidurkan dikamarku,
hm, tidurnya nyenyak sekali."
"Sri,
kamu lupa memeluk aku?" sergah Lastri yang belum juga mendapat pelukan
Sri.
"Eh,
ya ampun yu Lastri, ini, keburu melihat Jarot sampai lupa. Yu, sini aku peluk,
gimana kabar keponakanku ini?" kata Sri sambil mengelus perut
Lastri.
"Ia
merengek ingin melihat buliknya yang hilang," kata Lastri sambil tertawa.
"Mas
Bayu, terimakasih banyak sudah ikut bersusah payah karena saya," kata Sri
menyapa Bayu.
"Tidak
apa-apa Sri, yang penting kamu sudah kembali."
"mBak
Mery, aduh mana mbak Mery. Sini yu, biar Jarot aku tidurkan dikamar," kata
Sri sambil mengambil Jarot dari gendongan Marni, lalu dibawanya masuk kekamar,
sementara Timan segera mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
"mBak
Mery kok masih dikamar, ayo keluar, aku perkenalkan sama bapak, simbah, dan
sahabat-sahabat aku."
"Anak
siapa ini? Aduuh, ganteng sekali," seru Mery sambil mendekati Sri yang
perlahan menidurkan Jarot di kasurnya.
"Ini
anak pak lurah," jawab Sri pelan, takut Jarot terbangun. Ia meletakkan guling
disisi Jarot, untuk menjaga agar dia tak terjatuh.
"Ayo
mbak, keluar," kata Sri sambil menarik tangan Mery.
Ketika
Sri dan Mery keluar, mereka sedang berbincang tentang dirinya.
"Perkenalkan,
ini mbak Mery, yang telah menyelamatkan aku.." kata Sri, lalu Mery
menyalami mereka satu persatu.
"Kami
atas nama keluarganya Sri, mengucapkan terimakasih atas semua kebaikan mbak
Mery, sehingga Sri bisa kembali kepada keluarganya." kata lurah Mardi
setelah Mery duduk disamping Sri.
"Terimakasih
kembali, saya hanya melakukan karena saya juga ingin keluar dari sana. Saya
justru berterimakasih kepada mas Timan yang sudah memberi saya tumpangan. Saya
tidak punya siapa-siapa," kata Mery sendu.
"mBak
Mery kan punya saya sekarang, jangan pernah merasa sendirian," kata
Sri sambil memeluk Mery.
Pertemuan
yang penuh keramahan dan suka cita. Mereka juga disuguhin makan siang dengan
lauk yang dimasak oleh Sri.
"Ini
semua masakan Sri, saya baru belajar dari dia," kata Mery sambil membantu
melayani tamu-tamu.
"Ada
rujak untuk yu Lastri," kata Sri sambil menyodorkan mangkuk berisi rujak.
Lastri menerimanya dengan wajah berseri. Hampir saja ia memarahi suaminya
karena lupa membawa bekal rujak.
"Nanti
bapak sama simbah jangan pulang dulu, tidur disini dulu barang sehari dua hari,
ya?" kata Timan disela sela makan.
"Nanti
merepotkan, ya Min?"
"Iya,
nanti merepotkan, Lagi pula kami tidak membawa ganti." sambung Darmin.
"So'al
ganti gampang pak, saya punya beberapa baju yang belum pernah saya pakai, kalau
bapak sama simbah nggak suka nanti beli, didekat situ ada tuko baju lho."
"Lebih
merepotlan lagi tuh."
"Tidak
pak, rumah ini kalau saya kepasar hanya ada Sri dan mBak Mery, tidak apa-apa
kalau bapak sama simbah mau menginap disini beberapa hari lagi." kata
Timan.
"Bagaimana
pak lurah?"
"Itu
terserah mbah Kliwon saja. Disana kan sudah ada yang mengurus, jadi mbah KLiwon
istirahat disini dulu sama pak Darmin."
"Iya
mbah, katanya kangen sama Sri," timpal si Sri.
"Nanti
kalau simbah sama bapak ingin pulang, saya yang mengantar." kata Timan.
"Lagi
pula kan pak Darmin sama simbah juga ingin bicara tentang hubungannya mas Timan
sama Sri?" kata lurah Mardi.
"Iya
pak, ini sebenarnya kurang sopan, harusnya saya menghadap pak Darmin dirumahnya
sana, tapi karena keadaan, saya mengatakannya disini saja ya pak,"
kata Timan sambil tersipu.
"Mas
Timan kok kelihatan malu-malu, bilang saja sekarang, mau ngelamar, gitu
lho," kata Bayu menggoda sahabatnya.
"Iya
pak, kalau diijinkan, saya ingin minta agar Sri boleh menjadi isteri saya,
menjadi pendamping saya selamanya."
Pak
Darmin tersenyum.
"Tidak
apalah melamar disini, berhubung keadaan memang sedang tidak mengijinkan, tapi
kan bapak tidak bisa menjawab, bagaimana Sri, maukah kamu menjadi isteri nak
Timan?" tanya Darmin sambil memandang Sri yang tersipu malu.
"Ayo
Sri, jawab, ini disaksikan orang banyak lho."
"Terserah
bapak saja," kata Sri pelan.
"Kok
terserah aku, memangnya yang mau menikah itu kamu apa bapak?"
"Jawab
Sri.." kata Marni dan Latri hampir bersamaan.
"Iya.."
"Iya
apa?" goda Bayu.
"Iya,
saya mau.."
Lalu
yang hadir bertepuk tangan riuh sekali. Tiba-tiba terdengar rengekan dari dalam
kamar. Sri berlari kekamar, dan melihat Jarot sudah duduk sambil menangis.
"Ouw,
sayang.. kamu sudah bangun? Kaget ya ada suara ramai?"
Sri
menggendong Jarot, yang kemudian disambut Marni dengan sebotol susu yang sudah
disiapkannya.
"Berarti
acara lamar melamar sudah selesai, dan berakhir bahagia karena calon mempelai
perempuan sudah setuju." kata lurah Mardi.
"Menikah
disini saja Sri.. dirumah mas Timan," kata Lastri.
"Bagus,
aku juga setuju," seru pak lurah.
"Baiklah,
itu so'al gampang, yang penting keadaan harus benar-benar aman dulu, ya
kan?" kata Marni.
***
"Ayo
kita melihat keadaan. Apakah kakek tua itu sudah pulang atau menginap disitu?"
Sebelum
mereka berangkat, ponsel mereka berdering.
"Kamu
sedang dimana?" tiba-tiba suara lantang mengejutkannya.
"Saya
sudah di Solo tuan, sejak kemarin menghubungi tuan tidak bisa."
"Aku
ganti nomor. Kalian di Solo?"
"Iya
tuan, rumahnya didaerah Solo, kami sudah menemukannya."
"Kamu
yakin, itu rumah tempat persembunyian mereka?"
"Yakin
tuan, saya melihat kakek tua itu disana."
"Baiklah,
berikan alamatnya, aku akan menyusul kesana dengan membawa mobil."
***
besok
lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar