Jumat, 15 Mei 2020

Kembang Titipan 23-24


*KEMBANG TITIPAN  23*

Laki-laki asing itu kemudian berdiri setelah meneguk habis air didalam gelas yang disuguhkan mbah Kliwon.
"Lho nak, mau kemana ?"
"Mau melanjutkan perjalanan kek."

"Oh ya, kita sudah ngomong banyak, tapi belum saling memperkenalkan diri. Saya mbah Kliwon, anak ini siapa dan darimana? Tampaknya bukan penduduk desa ini kan?"
"Iya, saya hanya lewat kek, tadi kehausan terus singgah disini. Kebetulan kakek baik sekali. Terimakasih banyak ya kek," kata laki-laki asing itu tanpa menyebutkan namanya dan bergegas pergi.

mBah Kliwon melongo.
"Orang ditanya namanya kok malah langsung pergi. O.. anak muda jaman sekarang sering tidak memiliki tata krama," keluh mbah Kliwon sambil meengambil gelas dan piring berisi ketela yang masih tersisa.

"Lha ini, ketela sudah digigit kok dikembalikan ke piring. Hm.. benar-benar bikin kesal," kata mbah Kliwon yang kemudian meletakkan piring itu lagi, lalu membuang sisa ketela bekas gigitan tamunya.

"Makanan enak begini kok tidak dihabiskan," gumamnya sambil bergegas kebelakang

  ***

Sri dan Mery sudah selesai berkemas. Hanya sebuah tas yang berisi baju-baju baru yang dibelinya dipasar dekat losmen. Baju-baju sederhana bukan baju-baju bermodel seronok seperti baju-baju Mery sebelumnya. Sedangkan beberapa baju yang dibawanya dari rumah Basuki sudah diberikannya kepada seseorang yang kebetulan ditemui mereka didepan losmen.

"Benar nih, nggak apa-apa ikut kamu?" tanya Mery yang sesungguhnya merasa sungkan harus ikut Timan kerumahnya.
"Nggak apa-apa mbak, Mas Timan itu orangnya baik, suka menolong, percayalah."

Ketika Mery dan Sri menunggu didepan losmen, dilihatnya sebuah mobil berhenti.
"Itukah mobil mas Timan?"
"Bukan mbak, mas Timan mobilnya colt terbuka, karena sering dipakai mengangkut buah-buahan dagangannya.

Tapi ketika seseorang turun dari mobil, Sri hampir melonjak kegirangan. Seorang laki-laki ganteng turun dari mobil itu. Berdebar Sri menyambutnya. Beberapa hari dia tidak melihat mata teduh yang menghanyutkan itu.

"Itu mas Timan mbak," serunya.
Timan tersenyum lebar melihat Sri. Dipeluknya erat kekasihnya, dengan rasa syukur yang teramat sangat. Berlinang air mata Sri karena terharu.

"Terimakasih mas."
"Kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja mas. Itu mbak Mery," kata Sri memperkenalkan Mery kepada Timan.

Timan menghampiri Mery dan mengulurkan tangannya dengan wajah ramah.
"mBak Mery, saya Timan, calonnya Sri," katanya.
"Terimakasih banyak mas, tapi apa saya tidak merepotkan ?"

"Tidak, saya senang mbak Mery ikut. Tapi rumah saya tidak bagus lho mbak, rumah orang kampung."
"Tidak apa-apa mas, yang penting aman."

"Mas Timan mobilnya ganti?" tanya Sri.
"Ini mobil mas Bayu dipinjamkan, karena tau bahwa aku akan menjemput dua orang."
"Oh, mobil mas Bayu."

"Sudah siap? Bisa berangkat sekarang ?"
"Sudah siap  mas, sebentar aku mau menelpone simbah."
***

mBah Kliwon sedang mencuci gelas bekas tamu asingnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
 "Ee.. siapa lagi itu, sebentaaaar," teriak mbah Kliwon sambil meletakkan gelas dan piring yang sudah dicucinya didapur.

Lalu mbah Kliwon mengangkat ponselnya.
"Hallooo..."
"mBah, ini Sri ..."
"Weee.. nduk,  gimana, sudah ketemu nak Timan?"
"Sudah mbah, ini Sri sudah siap mau berangkat."

"Syukurlah Sri, bilang sama nak Timan, hati-hati, gitu ya."
"Hallo mbah," sapa Timan setelah Sri mengulurkan  ponselnya.
"Nak Timan?"
"Iya mbah, simbah sehat?"

"Sehat sekali nak. Terimakasih ya nak, sudah mau menjemput Sri. Saya titip cucu saya, tolong dijaga baik-baik."
"Pasti mbah, saya akan menjaganya."
"Sebetulnya saya sudah kangen sama Sri. Ingin segera bertemu."
"Besok saya akan menjemput simbah, supaya simbah ketemu Sri."

"Benarkah ? Sepertinya bu lurah juga ingin kerumah nak Timan."
"Nanti saya akan bicara dengan pak lurah, kapan mau datang kerumah saya."
"Iya nak."

"Sudah ya mbah, Sri mau berangkat dulu," kata Sri setekah meminta ponselnya dari Timan.
"Hati-hati ya nduk."
mBah Kliwon menutup ponselnya dengan hati gembira. 
"Syukurlah Sri... semoga semuanya segera berlalu." gumamnya dengan wajah berseri.

***

Basuki sedang ingin memejamkan mata setelah sehari semalam tidak sedikitpun beristirahat, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

"Ada apa? Jangan sebentar-sebentar telephone kalau tidak membawa berita yang menyenangkan." hardiknya sengit.
"Ma'af tuan, ini berita bagus," suara dari seberang.

"Haa, kamu sudah berhasil menangkap keduanya?"
"Belum tuan.."
"Kalau belum mengapa bilang berita baik? Jangan asal bicara dan membuang-buang waktuku saja."

"Tuan, saya belum selesai bicara."
"Cepat bicara !!"
"Saya sudah bertemu dengan mbah Kliwon, simbahnya si Sri, tuan."
"Bukan mbahnya yang aku mauuuuu...!"

"Ya, tuan, dari mbahnya itu saya mendapat keterangan tentang Sri."
"Keterangan yang bagaimana ?"
"Dimana Sri bersembunyi."
"Haa, bersembunyi, seperti tikus?"
"Dia ada dirumah calon suaminya."

"Bagus, dimana rumahnya, segera selesaikan tugasmu dan kamu akan mendapat bonus dua kali lipat!"
"Sa'at ini saya belum tau dimana rumah calon suaminya itu, tuan."
"Goblog, kalau begitu untuk apa kamu bicara sama aku?"

"Saya sedang menunggu tuan. mBah Kliwon mau ketemu Sri dirumah calon suaminya, tapi menunggu dijemput, saya akan mengawasi terus kemudian kalau mereka berangkat saya akan mengikutinya, dengan demikian saya akan tau dimana Sri bersembunyi."

"Hahaaa..." Basuki tertawa senang.
"Kamu ternyata tidak segoblog yang aku kira. Cepat lakukan tugasmu dan jangan sampai gagal. Kalau kamu gagal, jangan salahkan aku kalau kamu akan sengsara seumur hidupmu."
"Siap.. tuan."

Basuki meletakkan ponselnya dan tersenyum lega. Anak buahnya sudah mendapat titik terang. Tinggal menunggu waktu. Itu bagus. Lalu Basuki memejamkan matanya dan pulas tak lama kemudian, tertelentang begitu saja disofa didalam kamarnya.
***

Mobil yang dikendarai Timan memasuki halaman yang agak luas, sedikit dipinggiran kota. Pelataran yang teduh karena beberapa pohon besar tumbuh disana. Ada pohon jambu yang sedang berbuah, pohon sawo yang rindang dan mangga talijiwa yang sedang berbunga.
Timan menghentikannya didepan teras rumahnya. Ia turun lebih dulu kemudian membukakan pintu depan untuk Sri, lalu pintu belakang untuk Mery.

"Silahkan, ini gubug sederhana milik orang kampung," kata Timan sambil mengiringkan kedua tamunya menaiki teras.
"Sejuk sekali udaranya disini." seru Mery sambil menarik nafas panjang.

Timan membuka pintu rumah dan langsung mengajak mereka masuk.
"Ada dua kamar kosong yang sudah saya bersihkan dan saya tata sebisa saya. Ini agak besar, bisa untuk berdua, ini yang satunya agak kecil. Terserah Sri sama mbak Mery mau memilih yang mana, yang bisa berdua atau sendiri-sendiri," kata Timan ramah.

"mBak Mery mau yang mana?" tanya Sri kepada Mery.
"Bagaimana kalau kita berdua sekamar? Nggak enak sendiri-sendiri."
"Baiklah, aku juga suka kita sekamar."
"Kalau begitu silahkan .."

Sri dan Mery memasuki kamar itu. Ada dua tempat tidur yang sudah diberi alas baru, dua meja dan dua lemari serta ada kaca untuk berhias. Semuanya barang-barang kuna yang tidak gemerlap seperti rumah Basuki.

"Ma'af mbak Mery, hanya seperti ini rumah saya."
"Mas Timan, ini sangat menyenangkan. Begitu masuk saya merasa adem. Sungguh saya akan kerasan  berada disini."
"Alhamdulillah," kata Timan senang.
"Tapi hanya ada satu kamar mandi disini, dan tidak didalam kamar."
"Tidak apa-apa mas. Terimakasih banyak ya."

"Kalau begitu silahkan mandi dulu, atau perlu air panas?"
"Tidak, tidak.. lebih segar air dingin."
"Silahkan mbak. Sri.. tata barang-barangmu didalam almari, ada dua, mbak Mery dan kamu masing-masing satu almari."

"Ya mas, barang kami tidak banyak, hanya beberapa lembar pakaian."
"Ya sudah, saya buatkan minum dulu, sementara kedua tamu saya mandi," kata Timan sambil menjauh.
Sri menutup pintu kamar.

"mBak Mery suka kamar ini?"
"Sangat suka Sri, ini luar biasa. Aku tidak pernah merasa senyaman ini."
"Syukurlah. Sekarang mbak Mery mandi dulu sana, saya mau membantu mas Timan buat minuman."

Sri keluar dari kamar, menuju dapur. Dilihatnya Timan sedang menyiapkan gelas dan mengambil botol sirup dari dalam kulkas.

"Mas, biar aku saja yang buat, mas Timan kan capek."
"Tidak Sri, kalau aku bersamamu tidak akan merasa capek."

"Ah, mas Timan bisa saja," kata Sri sambil meraih botol sirup dari tangan Timan, tapi Timan tidak mau melepaskannya sehingga tangan mereka bersentuhan. Ada getar aneh terasa disana. Mereka berpandangan, lalu Sri tersenyum sambil menundukkan muka.

"Sri..."
"Ya.." kata Sri setelah botol sirup dipegangnya, lalu siap menuangkannya kedalam gelas.
"Aku takut sekali kehilangan kamu. Aku bahagia bisa menemukan kamu."
"Aku hampir kehilangan akal mas, untunglah mbak Mery tiba-tiba berbalik menolongku."

"Apa yang membuat mbak Mery tiba-tiba berfihak kepadamu?"
"Entahlah, aku hanya bercerita tentang cinta kita, tentang hidupku yang penuh derita."

"Pasti ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba bersikap begitu."
"Dia sangat mencintai Basuki."
"Ooo ?"

"Aku bilang, kalau cinta, milikilah dia, jangan membiarkannya mencumbu wanita lain."
"Mungkin tadinya dia kesal karena Basuki menginginkan aku, lalu tiba-tiba dia membenci Basuki."

"Bagaimana caranya kalian bisa pergi dengan tanpa halangan sementara katanya rumah Basuki banyak penjaganya?"
"mBak Mery memberinya minuman yang dibubuhi obat tidur, sehingga dia terlelap sampai beberapa jam."

"Lalu kalian pergi dan tak ada yang menghalangi?"
"Disana semua orang menghormati mbak Mery. Mereka mengira mbak Mery mau belanja atau apa bersama salah seorang pelayan. Oh ya, mbak Mery memberi aku baju seragam pelayan sebelumnya," kata Sri yang  tak bisa menahan tertawanya.
 Timan ikut tertawa. 

"Pelayan cantik, tak adakah yang curiga?"
"Semua pelayan menghormati mbak Mery, mungkin tak ada yang memperhatikan wajahku, yang penting aku berpakaian pelayan."

Sri meletakkan tiga gelas sirup yang sudah selesai dibuatnya, dibawanya ke meja tamu. Timan mengikuti dibelakangnya.
"Pengalaman yang mendebarkan. Lalu... mmm..." Timan seperti ragu-ragu mengatakannya.

"Lalu apa?"
"Apa Basuki... mm... sempat menjamah... kamu?"
"Oh, tidak mas, untunglah mbak Mery selalu melindungi aku."
"Syukurlah."

Sri dan Timan duduk berhadapan, menunggu Mery selesai mandi.
"Kalian keluar dari sana naik apa?"
"mBak Mery punya mobil, maksudnya ada mobil yang khusus dipakai mbak Mery disana."
"Lalu mobil itu?"

"mBak Mery meninggalkannya didepan sebuah warung ketika kami makan. Lalu kami naik bis umum yang untungnya masih ada.
"Ya ampun Sri, pengalamanmu benar-benar membuat aku takut."
"Aku bersyukur sudah ketemu mas Timan. Tapi aku kangen simbah."

"Besok pak Darmin bisa pulang kerumah. Nanti aku akan menjemput simbah dan pak Darmin agar datang kemari.
"Wah, senangnya."

"Sri, aku sudah selesai," teriak Mery dari dalam kamar."
Sri bangkit.
"Aku mandi dulu ya mas, nanti omong-omong lagi." kata Sri sambil bergegas menuju kamarnya.
"Suruh mbak Mery minum disini."
***

Tapi hari itu yang menjemput mbah Kliwon dan pak Darmin bukan Timan, karena pak lurah melarangnya.

"Mas Timan tidak usah menjemput kemari, biar saya saja yang mengantar pak Darmin dan mbah Kliwon kerumah mas Timan." kata lurah Mardi waktu itu.

Hari masih pagi ketika mobil pak lurah sudah ada didepan rumah mbah Kliwon. Darmin sudah ada disana menunggu didepaan rumah dan berpakaian sangat rapi.
"Pak Darmin sudah siap?"
"Sudah pak lurah, terimakasih banyak telah bersedia repot-repot mengantar kami."
"Tidak apa-apa pak Darmin, Marni juga sudah kangen sama Sri."

"Saya tidak tau ada peristiwa yang membuat cemas semua orang ini, tak ada yang memberi tau kepada saya," sesal pak Darmin.
"Memang kita sepakat tidak memberi tau pak Darmin, takutnya pak Darmin yang masih berada didalam tahanan akan kepikiran."
"Iya, terimakasih banyak kepada semuanya."

"Mana mbah Kliwon?" tanya lurah Mardi sambil menjenguk kedalam rumah.
"Sebentar, ini membawa ketela dua karung, untuk nak Bayu dan nak Timan," teriak mbah Kliwon dari dalam. Darmin segera bergegas kedalam membantu mengangkat hasil kebun yang mau dibawanya kepada calon cucu mantunya.

Lurah Mardi hanya tertawa, dan membiarkan mbah Kliwon dan pak Darmin memasukkan dua karung ketela kedalam bagasi mobilnya.

Mobil lurah Mardi segera meluncur, meninggalkan rumah mbah Kliwon. Wajah-wajah ceria memenuhi isi mobil itu.
Namun kira-kira sepuluh meter dibelakangnya, dua orang mengikutinya. Mereka berboncengan dengan sepeda motor tanpa mau melepaskan pandangannya kearah mobil didepannya.
***
besok lagi ya


*KEMBANG TITIPAN  24*

 

Disepanjang perjalanan itu tak henti-hentinya pak Darmin mengucap syukur karena Sri selamat dari cengkeraman Basuki.

 

"Saya sungguh menyesal atas perbuatan saya, tapi sungguh banyak pertolongan ketika saya ingin berbuat  baik," kata Darmin memelas.

"Benar, dan itu akan membuat hidup kamu lebih tenang," kata mbah Kliwon yang duduk disamping menantunya itu.

 

"Sekarang saya tinggal berfikir, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan," keluh pak Darmin.

"Pak Darmin bisa membantu mbah Kliwon,  banyak yang bisa dikerjakan disana pak," sela lurah Mardi sambil menyetir.

 

"Benar pak, apapun itu, yang penting bisa mendapatkan penghasilan yang halal," sambung Marni.

"Baiklah, apapun akan saya lakukan. Selama ini saya menjadi ayah yang tidak pantas disebut ayah, karena memeras tenaga Sri agar aku bisa makan dan mendapatkan kesukaan saya."

"Yang penting sekarang sudah sadar, pak Darmin."

 

"Saya akan melakukan yang terbaik untuk hidup saya dan  untuk anak saya, Sri, harusnya saya yang mencari nafkah, bukan Sri."

"Dan jangan lupa, pak Darmin akan segera punya gawe lho," sambung Marni lagi.

 

"Apa itu bu lurah?"

"Lho, mas Timan akan segera melamar Sri, dan pak Darmin kan harus siap-siap menikahkan Sri?"

 

"Oh iya, saya sampai lupa. Syukurlah Sri mendapat jodoh seorang laki-laki yang baik seperti nak Timan."

 

"Dia sudah berkorban banyak untuk kamu Darmin, kalau tidak ada dia kamu pasti masih mendekam ditahanan, dan segera masuk penjara," sambung mbah Kliwon.

 

"Dan tadinya dia juga mau menggantikan uang Basuki lho. " sambung Marni lagi.

"Bagaimana kelanjutannya tentang uang pengganti itu pak lurah?"

"Tidak usah, kami sudah mengajukan tuntutan atas perlakuan Basuki. Dia harus melupakan uang yang sudah dibayarnya dan membebaskan Sri."

 

"Saya pasti juga akan kena hukuman karena perbuatan itu," kata Darmin sedih.

"Nanti dibicarakan lagi, tergantung Sri, tak mungkin dia membiarkan ayahnya dipenjara."

"Kabar anak  buah Basuki yang tertangkap itu bagaimana mas?" tanya Marni kepada suaminya.

 

"Kabarnya belum mau mengaku kalau pernah bertemu Basuki. Tapi mana mungkin polisi percaya begitu saja? Lama kelamaan dia pasti juga akan mengaku."

 

"Semoga Basuki segera tertangkap."

"Aamiin.." seru mbah Kliwon dan Darmin hampir bersamaan.

 

"Mas, ini kita mampir kerumah mas Bayu dulu kan?"

"Iya, alamatnya sudah diberikan, nanti kita berangkat bersama-sama."

***

 

"Bagaimana So, sudah ada titik terang?" tanya Basuki penuh harap. Kali ini tak sabar menunggu laporan.

 

"Ini kami sedang mengikuti mobil yang menuju kesana tuan."

"Benar itu mau menuju ketempat Sri bersembunyi?"

 

"Iya tuan, kan saya sudah mendapat informasi dari pak tua itu, setelahnya saya terus mengawasi situasi disitu. Pagi ini ada mobil menjemput pak tua, arahnya kekota, pastilah kesana."

 

"Baiklah, segera laporkan perkembangannya."

"Siap tuan."

 

Basuki menutup ponselnya sambil tersenyum senang. Ia yakin anak buahnya tak akan gagal, entah bagaimana caranya.

 

Tiba-tiba ponselnya berdering lagi, nomornya tak dikenal. Basuki enggan mengangkatnya, tapi ponsel itu terus berdering. Terpaksa dia mengangkatnya dengan hati-hati.

 

"Hallo, tuan," suara perempuan dari seberang.

"Bu Herman ?"

"Iya tuan"

"Ada apa lagi?"

"Tadi polisi datang kemari tuan."

 

"Polisi datang untuk apa? Herman sudah ada dirumah?"

"Belum tuan, katanya setiap hari ditanya tentang tuan Basuki."

"Herman jawab apa?"

"Tetap menjawab tidak tau, tapi tadi polisi datang kemari, memaksa saya untuk bicara."

 

"Apa? Lalu kamu bicara apa?"

"Saya tetap bilang tak tau apa-apa tuan, tapi ponsel milik mas Herman diminta oleh polisi."

"Lalu kamu berikan?"

"Mereka memaksa tuan, saya takut sekali."

 

"Dasar bodoh !!" Disitu kan ada nomor kontakku? Sudah dihapus belum?"

"Belum tuan, saya tidak tau cara menghapusnya."

"Bodoh !!"

 

"Setiap hari saya menjenguk mas Herman ditahanan, mas Herman tidak bilang apa-apa tentang ponsel itu."

"Dia itu lebih bodoh lagi, goblog malah."

 

Lalu Basuki menutup ponselnya, membukanya dan membuang simcard yang ada didalamnya. Tampaknya ia ingin melakukan sesuatu. Ia merasa hidupnya dalam bahaya. Ada kegelisahan yang tiba-tiba menyentak.

 

Ia keluar masuk kamar, bingung akan apa yang sebaiknya dilakukan. Tetap dirumah saja, atau harus pergi. Bagaimana kalau polisi menyatroni tempat tinggalnya? O, ternyata Basuki punya rasa takut. Bertumpuk dosa yang dibuatnya, baru kali ini membuatnya takut. 

 

"Kalau sampai Herman ditekan terus, pastilah dia akan membuka mulutnya. Orang eddan, gendeng.. sembrono.. ceroboh !!" umpatnya berkali-kali.

 

Lalu dia mamsukkan nomor lain kedalam ponselnya, ia harus menelpon bandara. Satu-satunya jalan adalah kabur keluar negri. Tapi bagaimana dengan Sri? Basuki benar-benar jatuh hati pada Sri. Apakah itu cinta? Bukankah cinta itu tidak menyakiti?

 

Tapi Basuki sungguh-sungguh ingin memiliki. Itu bukan cinta, tapi nafsu. Bukan nafsu, nafsu bisa terlampiaskan dengan siapa saja. Begitu gampang dia mendekati seorang gadis, lalu memintanya melayani apa yang diinginkan. Jadi apa yang dirasakan Basuki sa'at ini terhadap Sri? Pertanyaan itu juga berkecamuk dalam diri Basuki. Sambil memegangi kepalanya disandarkannya tubuhnya ke sandaran sofa.

 

"Sri... Sri.. Sri.... mengapa kamu membuatku seperti ini?" keluhnya pilu.

 

Basuki urung menelpone bandara. Kalau polisi sudah mencurigai dirinya, Basuki yakin justru di bandara dia akan ditangkap, karena prediksi lari keluar negri sudah pasti ada.

Wajah Sri yang lugu sangat membuatnya tergila-gila. Banyak wanita dengan suka rela menyerahkan tubuhnya karena dia ganteng dan banyak harta, tapi Sri  berbeda, itu membuatnya jatuh bangun. 

 

"Sri.. kembalilah padaku Sri, aku tak akan menyakiti kamu, dan percayalah setelah ada kamu aku tak akan mencari perempuan lain," gumamnya pelan.

 

Aduhai.. benarkah cinta bisa merubah segalanya? Tapi luka dan noda yang tergores telah merusak segalanya. Merusak citranya dan tak ada yang menganggapnya sebagai laki-laki terhormat.

 

"Mengapa Marso belum menelpone juga? Jauhkah jarak desanya Sri dengan rumah laki-laki yang katanya calon suami Sri?"

 

Basuki lupa bahwa dia telah mengganti nomor kontaknya.

 

***

 

Mobil pak lurah Mardi sudah memasuki halaman rumah Bayu. Kedua pengikut itu mengira disitulah rumah calon suami Sri.

Mereka bergegas pergi dengan wajah puas, dan pujian majikannya yang galak dan diktator sudah terbayang di angan-angan mereka.

 

Tapi mengapa ponsel sang majikan malah mati? Berkali-kali dicobanya tidak berhasil. Keduanya merasa aneh.

 

"Kita berhenti dulu untuk makan. Aku haus dan lapar," kata anak buah Basuki yang tadi memboncengkan temannya. Jarak dari Sarangan ke Solo tidak dekat, apalagi mereka hanya bersepeda motor.

 

Mereka berhenti disebuah warung, tak seberapa jauh dari rumah Bayu. Mereka memesan makan dan minum.

 

"Mengapa ya tuan Basuki susah dihubungi?"

"Lupa di cas 'kali."

"Hm, kalau tidak melapor nanti dimarahi, kalau mau melapor ponselnya mati. Jadi orang rendahan memang susah, semuanya serba salah."

 

Tapi sebelum pesanan mereka dihidangkan dimeja, salah satu dari mereka melihat mobil yang tadi diikutinya melintas didepan mereka.

"Haaa? Itu.. itu..."

"Apa..?"

"Mobil yang kita ikuti... ayo cepat !!

 

Persis ketika pesanan sampai dimeja, keduanya kabur dan langsung menaiki sepeda motor mereka dengan tergesa-gesa. Tak perduli pelayan warung berteriak-teriak. 

 

"Eeeh... gimana nih paak.. paaak.."

 

 ***

 

"Kemana mereka?  Celaka, jalan ini sangat ramai, awas, terus amati, jangan sampai kita kehilangan jejak"

"Berarti bukan disitu rumahnya."

 

"Mereka hanya mampir, atau apa, salah kita, tergesa mengikuti kata hati."

"Bukan mengikuti kata hati, tapi kata tenggorokan nih, dan juga perut."

 

Udara panas dan perjalanan yang lumayan jauh memang membuat mereka kehausan, dan juga kelaparan. Mereka terus mencari, dan mencari.

 

"Haa, itu bukan?"

"Benar, itu mobilnya, syukurlah, kita tidak kehilangan jejak."

"Jangan jauh-jauh dibelakangnya,"

"Nggak bisa, kalau terlalu dekat nanti mereka curiga, dan pasti merasa diikuti. Biar segini saja, yang jelas dia tetap ada didepan kita."

 

"Baiklah, asalkan kita masih bisa mengawasi mereka."

 Mobil yang mereka ikuti terus melaju, kearah selatan. 

"Jauh banget rumahnya, jangan-jangan masuk ke desa-desa lagi."

 

Tapi mobil Bayu kemudian memasuki sebuah halaman luas, diikuti mobil lurah Mardi.

 

"Tuh, mereka sudah sampai rupanya."

"Pelankan motormu sambil mengawasi mereka. "

"Terus saja dulu, lalu kita balik lagi."

 

Mereka melewati rumah Timan, tapi belum kelihatan siapa yang turun, tapi ketika mereka berbalik, mereka melihat kakek tua yang telah memberinya minum.

 

"Nah, itu kakek tua, kakeknya Sri."

Keduanya berjingkrak kegirangan.

 

"Sekarang ayo cari minum sambil mencoba menelpone juragan lagi."

 

Dengan perasaan lega mereka kemudian mencari sebuah warung. Agak jauh warung itu dari rumah Timan, tapi mereka tak perduli . Yang penting mereka sudah yakin bahwa rumah yang menjadi sasaran mereka sudah mereka ketahui. Tinggal bagaimana nanti mereka harus bertindak.

 

Mereka sudah duduk diwarung, dan benar-benar menikmati segelas es kelapa muda yang dipesannya.

 

"Mengapa ya, juragan tidak bisa dihubungi?"

"Nanti pasti dia menghubungi kita, ayo kita makan dulu dan cari penginapan."

 

***

 

Sri benar-benar gembira melihat ayahnya dan kakeknya datang. Dipeluknya mereka satu persatu dengan linangan air mata. 

 

"Bapak sehat? Simbah juga sehat?"

"Sangat sehat nduk, senang melihatmu selamat tak kurang suatu apa," kata mbah Kliwon bersahutan dengan Darmin, dengan jawaban yang sama.

"Kang.. eh.. pak lurah, yu Marni...aduh.. Jarot kok tidur, mari aku tidurkan dikamarku, hm, tidurnya nyenyak sekali."

 

"Sri, kamu lupa memeluk aku?" sergah Lastri yang belum juga mendapat pelukan Sri.

"Eh, ya ampun yu Lastri, ini, keburu melihat Jarot sampai lupa. Yu, sini aku peluk, gimana kabar keponakanku ini?" kata Sri sambil mengelus perut Lastri. 

"Ia merengek ingin melihat buliknya yang hilang," kata Lastri sambil tertawa.

"Mas Bayu, terimakasih banyak sudah ikut bersusah payah karena saya," kata Sri menyapa Bayu.

 

"Tidak apa-apa Sri, yang penting kamu sudah kembali."

"mBak Mery, aduh mana mbak Mery. Sini yu, biar Jarot aku tidurkan dikamar," kata Sri sambil mengambil Jarot dari gendongan Marni, lalu dibawanya masuk kekamar, sementara Timan segera mempersilahkan tamu-tamunya duduk.

 

"mBak Mery kok masih dikamar, ayo keluar, aku perkenalkan sama bapak, simbah, dan sahabat-sahabat aku."

"Anak siapa ini? Aduuh, ganteng sekali," seru Mery sambil mendekati Sri yang perlahan menidurkan Jarot di kasurnya.

 

"Ini anak pak lurah," jawab Sri pelan, takut Jarot terbangun. Ia meletakkan guling disisi Jarot, untuk menjaga agar dia tak terjatuh.

"Ayo mbak, keluar," kata Sri sambil menarik tangan Mery.

 

Ketika Sri dan Mery keluar,  mereka sedang berbincang tentang dirinya.

"Perkenalkan, ini mbak Mery, yang telah menyelamatkan aku.." kata Sri, lalu Mery menyalami mereka satu persatu.

 

"Kami atas nama keluarganya Sri, mengucapkan terimakasih atas semua kebaikan mbak Mery, sehingga Sri bisa kembali kepada keluarganya." kata lurah Mardi setelah Mery duduk disamping Sri.

 

"Terimakasih kembali, saya hanya melakukan karena saya juga ingin keluar dari sana. Saya justru berterimakasih kepada mas Timan yang sudah memberi saya tumpangan. Saya tidak punya siapa-siapa," kata Mery sendu.

 

"mBak Mery kan  punya saya sekarang, jangan pernah merasa sendirian," kata Sri sambil memeluk Mery.

 

Pertemuan yang penuh keramahan dan suka cita. Mereka juga disuguhin makan siang dengan lauk yang dimasak oleh Sri.

 

 

"Ini semua masakan Sri, saya baru belajar dari dia," kata Mery sambil membantu melayani tamu-tamu.

"Ada rujak untuk yu Lastri," kata Sri sambil menyodorkan mangkuk berisi rujak. Lastri menerimanya dengan wajah berseri. Hampir saja ia memarahi suaminya karena lupa membawa bekal rujak.

 

"Nanti bapak sama simbah jangan pulang dulu, tidur disini dulu barang sehari dua hari, ya?" kata Timan disela sela makan.

"Nanti merepotkan, ya Min?"

 

"Iya, nanti merepotkan, Lagi pula kami tidak membawa ganti." sambung Darmin.

"So'al ganti gampang pak, saya punya beberapa baju yang belum pernah saya pakai, kalau bapak sama simbah nggak suka nanti beli, didekat situ ada tuko baju lho."

 

"Lebih merepotlan lagi tuh."

"Tidak pak, rumah ini kalau saya kepasar hanya ada Sri dan mBak Mery, tidak apa-apa kalau bapak sama simbah mau menginap disini beberapa hari lagi." kata Timan.

"Bagaimana pak lurah?"

 

"Itu terserah mbah Kliwon saja. Disana kan sudah ada yang mengurus, jadi mbah KLiwon istirahat disini dulu sama pak Darmin."

"Iya mbah, katanya kangen sama Sri," timpal si Sri.

 

"Nanti kalau simbah sama bapak ingin pulang, saya yang mengantar." kata Timan.

"Lagi pula kan pak Darmin sama simbah juga ingin bicara tentang hubungannya mas Timan sama Sri?" kata lurah Mardi.

 

 

"Iya pak, ini sebenarnya kurang sopan, harusnya saya menghadap pak Darmin dirumahnya sana, tapi karena keadaan,  saya mengatakannya disini saja ya pak," kata Timan sambil tersipu.

"Mas Timan kok kelihatan malu-malu, bilang saja sekarang, mau ngelamar, gitu lho," kata Bayu menggoda sahabatnya.

 

"Iya pak, kalau diijinkan, saya ingin minta agar Sri boleh menjadi isteri saya, menjadi pendamping saya selamanya."

Pak Darmin tersenyum.

 

"Tidak apalah melamar disini, berhubung keadaan memang sedang tidak mengijinkan, tapi kan bapak tidak bisa menjawab, bagaimana Sri, maukah kamu menjadi isteri nak Timan?" tanya Darmin sambil memandang Sri yang tersipu malu.

 

"Ayo Sri, jawab, ini disaksikan orang banyak lho."

"Terserah bapak saja," kata Sri pelan.

 

"Kok terserah aku, memangnya yang mau menikah itu kamu apa bapak?"

"Jawab Sri.." kata Marni dan Latri hampir bersamaan.

 

"Iya.."

"Iya apa?" goda Bayu.

"Iya, saya mau.."

 

Lalu yang hadir bertepuk tangan riuh sekali. Tiba-tiba terdengar rengekan dari dalam kamar. Sri berlari kekamar, dan melihat Jarot sudah duduk sambil menangis.

"Ouw, sayang.. kamu sudah bangun? Kaget ya ada suara ramai?"

Sri menggendong Jarot, yang kemudian disambut Marni dengan sebotol susu yang sudah disiapkannya. 

 

"Berarti acara lamar melamar sudah selesai, dan berakhir bahagia karena calon mempelai perempuan sudah setuju." kata lurah Mardi.

 

"Menikah disini saja Sri.. dirumah mas Timan," kata Lastri.

"Bagus, aku juga setuju," seru pak lurah.

"Baiklah, itu so'al gampang, yang penting keadaan harus benar-benar aman dulu, ya kan?" kata Marni.

***

 

"Ayo kita melihat keadaan. Apakah kakek tua itu sudah pulang atau menginap disitu?" 

Sebelum mereka berangkat, ponsel mereka berdering.

 

"Kamu sedang dimana?" tiba-tiba suara lantang mengejutkannya.

"Saya sudah di Solo tuan, sejak kemarin menghubungi tuan tidak bisa."

 

"Aku ganti nomor. Kalian di Solo?"

"Iya tuan, rumahnya didaerah Solo, kami sudah menemukannya."

 

"Kamu yakin, itu rumah tempat persembunyian mereka?"

"Yakin tuan, saya melihat kakek tua itu disana."

"Baiklah, berikan alamatnya, aku akan menyusul kesana dengan membawa mobil." 

 

***

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar