*KEMBANG TITIPAN 07*
Darmin
menoleh kearah wanita itu. Ia merasa tak pernah melihatnya. Kemarahannya
memuncak karena ada perempuan berani menentangnya.
"Kamu
tidak usah ikut campur. Ini urusanku."
"Tapi
saya tidak suka mendengar kata-kata kamu. Dia ini orang tua, harusnya kamu
menaruh hormat. Oh ya, apakah kamu bapaknya Sri? Saya heran, Sri yang cantik
dan lembut hati bisa terlahir karena seorang ayah yang seperti kamu."
"Tutup
mulut kamu ! Atau aku hajar kamu?!"
"Eeh...
lancang kamu Darmin. Kamu tidak tau siapa dia. Dia adalah bu lurah!"
hardik mbah Kliwon.
Darmin
mundur selangkah.
"Aku
hanya minta agar Sri pulang ! Tidak pantas seorang gadis tidur disembarang
tempat !"
"Ini
bukan sembarang tempat. Ini rumahku, rumah mbahnya si Sri." kata mbah
Kliwon tak kalah sengit.
"Mulut
kamu bau minuman keras, kamu tidak waras. Aku akan melaporkan kamu agar kamu
ditangkap, karena pemabuk adalah penjahat."
Wajah
Darmin merah padam, sudah gatal tangannya ingin menampar bu lurah, tapi ada
rasa segan.
"Ada
apa pak?" tiba-tiba Sri terbangun mendengar suara ribut.
"Pulang
kamu !!" teriak Darmin sambil menuding kearah si Sri.
"Sri
akan tetap disini. Dia bekerja untuk pak lurah." kata bu lurah lantang,
sambil berdiri dihadapan Sri, seakan khawatir kalau-kalau Sri mendekati
ayahnya.
Beberapa
pemasok sayur sudah datang, heran ada orang berani bicara lantang dihadapan bu
lurah.
Darmin
menuding Sri dengan mata menyala.
"Awas
kamu !!"
Lalu dia
membalikkan tubuhnya dan berlalu.
Bu lurah
menghela nafas kesal. Dia memasuki rumah sambil merangkul pundak si Sri.
"Kasihan
kamu Sri, bagaimana bapak kamu bisa melakukan hal seperti itu?"
Sri diam,
berlinang air matanya.
"Segeralah
menikah dengan mas Timan, dan tinggalkan saja bapakmu."
Alangkah
mudah kata itu diucapkan. Semudah itu pulakah dia bisa menikah dengan Timan
mengingat sikap bapaknya seperti itu?
"Silahkan
duduk bu lurah, saya siapkan minuman hangat," kata mbah Kliwon.
"Terimakasih
mbah, tapi saya harus segera kembali. Lagi pula para pemasok sayur sudah pada
datang, dan mobilnya juga sudah siap didepan. Saya akan segera melaporkan
kejadian ini kepada mas Mardi. Mungkin mas Timan harus segera melamar
Sri."
"Terimakasih
banyak bu lurah, saya juga sudah tidak tahan menyaksikan penderitaan Sri.
Bagaimana mungkin, hidup bersama ayah kandungnya tapi tidak merasa
nyaman."
"Semoga
semuanya segera berakhir mbah. Oh ya, ini nasi buat sarapan," kata bu
lurah kemudian sambil meletakkan rantang diatas meja.
"Sri,
bu lurah selalu repot untuk kita, bawa rantangnya kebelakang dan urus
barang-barang itu. Mandinya nanti saja."
"Iya
mbah, terimakasih banyak yu Marni," kata Sri sambil beranjak kebelakang.
***
Ketika
Marni sampai dirumah, dilihatnya suaminya sudah selesai mandi.
"Aduuh,
anak bapak yang ganteng.. enak ya tidurnya?"
"Setiap
diajak jalan-jalan pasti dia tidur."
"Segar
hawa pagi."
"Tadi
ada sedikit keributan dirumah mbah Kliwon."
"Keributan
apa ?
"Semalam
Sri tidur dirumah mbah Kliwon, karena ketakutan melihat laki-laki itu ada
dirumahnya. Darmin tampaknya baru pulang menjelang pagi, kemudian melihat Sri
tidak ada dirumah. Nah, dia marah-marah lalu datang kerumah mbah Kliwon. Aduh
mas, bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan itu... ngeri aku mas."
"Melakukan
apa sih? Kamu ngomongnya nggak jelas."
"Darmin
itu lho mas, bukankah mbah Kliwon itu mertuanya? Tapi dia berkata kasar dan
sama sekali tidak menghormatinya. Kesal aku mas, aku marah sekali dan
memaki-maki dia."
"Berani
kamu ?"
"Berani
lah. Melihat orang bersikap kasar seperti itu, nggak tahan aku."
"Dia
memang susah diatur, aku akan memperingatkannya, belum sempat juga karena di
kantor sedang banyak pekerjaan."
"Mas
harus segera memperingatkannya. Kasihan Sri mas, anak baik seperti dia mengapa
terlahir dari bapak yang kasarnya seperti setan."
"Nanti
akan ada yang bertugas memperingatkan. Sudah.. ayo sarapan dulu."
"Tapi
mas, tampaknya mas Timan harus segera melamar. Biar Sri segera terlepas
dari bapaknya."
"Ya,
nanti aku juga mau bilang sama mas Timan. Sepertinya kemarin juga sudah ketemu
Lastri sama mas Bayu."
"Baiklah,
aku tidurkan thole dulu, lalu menyiapkan sarapan buat mas."
***
Sri sudah
menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Tapi hatinya merasa gelisah. Pasti nanti
ketika dia pulang, Darmin akan marah-marah. Dan entah apa yang akan
diperbuatnya.
Sri duduk
termenung setelah selesai masak. Hanya oseng kangkung dan rempeyek teri yang
sesungguhnya menggugah selera. Tapi Sri masih belum ingin makan.
"Simbah
mau makan sekarang?"
"Kamu
kok malah duduk disitu? Belum lapar?"
"Sri
belum lapar, tapi kalau simbah mau makan sekarang akan Sri siapkan."
"Kalau
begitu nanti saja kalau kamu juga sudah ingin makan. Nggak enak makan
sendiri."
Sri tidak
beranjak dari tempatnya duduk. mBah Kliwon mendekati dan duduk dihadapan Sri.
"Kamu
sedih memikirkan bapakmu? Takut pulang nanti sore?"
"Nggak
tau mbah, Sri bingung."
"Ya
sudah, kalau takut pulang ya tidur disini lagi saja."
"Tidak
mbah, nanti dia datang kemari dan ngamuk-ngamuk lagi. Nggak tega
mendengar bapak berkata kasar sama simbah."
mBah
Kliwon beranjak berdiri karena mendengar dering telephone.
"Hallo...
oh.. iya nak.. ada.. sebentar.." suara mbah Kliwon yang kemudian mendekati
si Sri.
"Ini,
ada telephone untuk kamu," katanya sambil menyerahkan ponselnya.
"Siapa
mbah?"
"Terima
saja dulu."
"Hallo..."
"Hallo
juga, ingat nggak suara siapa ini?"
Mendadak
wajah Sri berseri-seri. Wajah ganteng dengan mata teduh itu terbayang
dimatanya.
"Ingat
nggak ?"
"Lupa
tuh? kata Sri menggoda..
"Aduh,
kasihan deh aku, begitu gampang dilupakan rupanya. Ya sudah aku tutup saja
kalau begitu," kata Timan balas menggoda.
"Mas
Timaaaan!"
"Tuh,
pura-pura lupa kan ?"
"Ada
apa mas?"
"Kok
ada apa sih, kan kemarin aku sudah janji mau menelpone."
"Memangnya
nggak jualan ?"
"Jualan
sih, sudah agak sepi pasarnya. Sebentar lagi mau mengirim buah ke rumah
makan."
"Oh,
senangnya seandainya aku bisa membantu.."
"Boleh
membantu dong, tapi kan ada syaratnya?"
"Apa
tuh?"
"Menjadi
isteri aku dulu.."
Sri
terdiam, hatinya terguncang. Ia ingat kata bu lurah pagi tadi. Segeralah
menikah dengan mas Timan.. aduhai.. seperti semudah membalikkan telapak tangan.
"Heiii..
kok diam? Kamu marah?"
"Nggak...
"
"Kok
diam?"
"Ngebayangin..."
"Ngebayangin
apa?"
"Benarkah
itu akan terjadi ?" tanya Sri pilu.
"Mengapa
tidak ? Sri, aku serius, sudah lama keinginanku terpendam. Aku jatuh cinta pada
pandngan pertama," kata Timan begitu lancar. Entah darimana datangnya
keberanian itu. Mungkin karena yakin bahwa Sri tak akan menolaknya. Kelihatan
dong dari sikapnya.
Sri
tersenyum, hatinya melambung kelangit bersama seonggok bunga-bunga wangi yang
menghiasi seluruh nurani. Ini pernyataan cinta yang baru didengarnya.
Bukan candaan.
"Sri..."
"Ya..."
"Kok
diam?"
"Ngebayangin.."
"Dari
tadi ngebayangin melulu."
Sri
tertawa. Timan menelan ludah. Pasti sederet gigi putih dibalik bibir tipis itu
tampak sangat mempesona.
"Sudah
mas, katanya mau ngirim buah ke rumah makan.."
"Lhoh,
kok ngusir? Lagi asyik-asyiknya nih."
Sri
tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya merasa ringan. Beban yang memberatinya
terlepaskan. Lagi asyik sih, memang iya, ingin rasanya bicara terus seperti
ini.
"Nanti
ditungguin orang yang lagi pesan buah lho..."
"Bukan
karena sebel sama aku ?"
"Ya
enggak lah.. "
"Bener?"
"Bener.."
"Yakiin?"
"Ih..
mas Timan.."
Gemas
Timan mendengar celetukan si Sri. Seandainya Sri ada didepannya pasti bisa
dilihatnya bibir tipis yang mengucapkan kata-kata, dan mata berbinar yang
membuatnya terpana. Benar-benar kembang desa yang telah berhasil merebut
hatinya.
Tapi
tiba-tiba ada telephone masuk.
"Sri,
sudah dulu ya, tampaknya pak lurah menelphone, aku jawab dulu ya."
"Ya
mas."
Sri
menutup telephone dengan hati berdebar. Pak lurah menelphone mas Timan, apakah
ada sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya?
"Sudah
selesai ngomongnya Sri?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan ponselnya.
"Sudah
mbah, sepertinya kang Mardi menelpone mas Timan."
"Semoga
berbicara tentang kamu Sri."
"Apa
iya mbah ?"
"Bu
lurah pasti sudah melapor pada suaminya tentang kejadian pagi tadi. Bukankah
dia bilang lebih baik mas Timan segera menikahi kamu?"
Sri
terdiam. Sungguh dia merasa was-was.
***
Dan sore
itu Bayu mengatakan pada Lastri, bahwa hari Minggu besok mereka akan
mengantarkan Timan menemui bapaknya.
"Bagus
dong mas, seneng aku mendengarnya."
"Kita
harus membawakan oleh-oleh Tri, coba pikirkan apa.."
"Parcel
buah, sama roti.. yang bagus, sudah pantas itu."
"Bukan
yang pakai bahan baju.. atau lain-lain yang ditempatkan di baki-baki berhias
itu?"
"Itu
kan kalau sudah jadi, trus mau menikah. Kok mas lupa sih?"
"Lho,
aku nggak tau ya, kan ibu yang mempersiapkan semuanya."
"Ini
kan baru mau ngomong-ngomong, silaturahmi, ya cukup bawa oleh-oleh saja,
pokoknya pantas dan tidak memalukan."
"Yang
disukai calon mertua juga kan?"
"Apa
tuh? Sarung ? Baju bagus?"
"Bukan,
wisky.. brendi... kan dia suka minum-minum katanya?"
Lastri
tertawa keras.
"Rupanya
mas mendukung kesukaan bapaknya Sri ya?""
"Kalau
mau membuat dia senang..ya harus membawa apa yang menjadi kesenangannya. Kan
kalau bapaknya senang langsung anaknya dikasih."
"Hiih...
nggak mau aku.. mas nih ada-ada saja."
"Ya
sudah, kalau masalah buah, mas Timan kan ahlinya. Biar dia mengatur parcel
buah. Kita akan membawakan makanan atau kue-kue saja."
"Ayuk
mas, kita jalan-jalan."
"Tuh,
senengnya .."
"Mas
Bayu tuh...
"Ini
kan demi mas Timan... ayo mas.. "
"Cuma
minta jalan-jalan saja apa susahnya sih? Kalau minta turunnya bintang atau
rembulan.. wah.. itu baru susah."
Lastri
mencubit lengan suaminya dengan mesra.
"Ayo..
ini masih sore.. jangan cari gara-gara ya?"
"Iih..
mas Bayu.. gara-gara apa sih?"
"Gara-gara
cubitan mesra.. "
"Apa
tuh?"
"Ini
pura-pura nggak tau atau memang bener nggak tau nih?"
"Nggak
tau, bicara nggak jelas begitu.."
"Oke,
ayo masuk ke kamar, biar aku jelasin.."
"Maaas,
katanya mau jalan-jalan.. mengapa harus masuk kamar?"
"Lho,
masa jalan-jalan pakai baju rumahan begini, ganti baju dong, jangan ngeres
ah.."
"Mas
Bayu.. jelek ah !!
"Ayo
ganti baju dulu," kata Bayu sambil menarik isterinya.
***
Sri
melangkah perlahan memasuki rumah, ada debar didadanya ketika membayangkan akan
seperti apa nanti kemarahan ayahnya.
Berderit
ketika ia membuka pintu.. Si Sri melangkah perlahan, tapi ketika melewati kamar
ayahnya, didengarnya dengkur yang agak keras.
Kebiasaan,
kalau malam ngelayap, kalau siang mendengkur.
Sri
melangkah perlahan menuju kamarnya. Kalau melihat kepulangan Sri, kemudian dia
memakai baju yang bukan pemberian Basuki, pasti mengomel, dan mengancam akan
membakar seluruh baju kumalnya.
Bergegas
Sri mandi. Ketika melihat kebelakang, barang-barang-barang tampak berserakan.
Gelas dan piring kotor, serta kertas bungkus yang sudah kosong tapi masih belum
juga dibuang oleh ayahnya. Sri menjerang air untuk membuat minum, lalu
membersihkan meja dapur. Baru ditinggal sehari saja rumah sudah berantakan
seperti kapal pecah. Padahal ayahnya hanya sendiri. Bagaimana kalau nanti Sri
sudah mengikuti suaminya?
Membayangkan
menjadi isteri, Sri tersenyum sendiri. Tapi ada rasa perih dihati. Entah apa
yang terjadi pada hidupnya nanti..
Ketika Sri
selesai menuangkan minuman pada cangkir yang biasanya dipakai oleh ayahnya,
tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diluar pintu depan. Sri bergegas
kedepan, dan melihat beberapa laki-laki berseragam berdiri disana. Lalu dua
orang berseragam polisi menyusul dibelakangnya. Sri terkesiap.
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAN 08*
Sri
menatap mereka satu persatu, ada salah satu yang dikenalnya.
"Mas
Jangkung?"
"Iya
Sri, kami mendapat tugas dari pak lurah, untuk mengantarkan bapak-bapak
itu," kata Jangkung sambil menunjuk kearah dua orang polisi yang
bersamanya.
"Pak
Darmin ada?" lanjutnya.
Tercekat
hati Sri. Bagaimanapun Darmin adalah ayahnya. Ada urusan apa dengan para
petugas yang juga membawa polisi ini?
"Ada
kan Sri ?"
"Iy..
iya... ada mas.."
Dan
tanpa dipersilahkan beberapa orang masuk begitu saja kedalam, tanpa Sri bisa
mencegahnya.
"Mas
Jangkung, ada apa?" tanya Sri cemas.
"Kami
mendapat laporan ada peminum dirumah ini, Dan beberapa jam yang lalu telah
melakukan penganiayaan disebuah rumah makan." kata Jangkung.
"Oh...
“ cemas hati Sri, ia tau ayahnya masih ada didalam, dan dua orang sudah masuk
kedalam kamar ayahnya. Tapi Sri heran, tak ada suara dari dalam. Tiba-tiba
terdengar suara botol jatuh dan tampaknya pecah.
Dua
orang yang masuk membawa keluar beberapa botol minuman keras keluar dari kamar.
Mengapa ayahnya diam saja? Sri cemas sekali, apa yang terjadi dengan ayahnya?
Wajah Sri pucat.
"Dimana
ayahmu Sri?"
"Bapak
ada... did.. dalam kamar..." terbata Sri menjawabnya.
"Nggak
ada, kamarnya kosong. "
Sri
bergegas melongok kedalam kamar ayahnya. Benar-benar tak ada. Bau minuman keras
menyeruak memenuhi kamar itu. Ada botol pecah, terserak dilantai.
"Bapaaak!"
teriak Sri, dan beberapa orang ikut mencari disetiap sudut, dibawah kolong..
didapur.. kamar mandi, tapi yang dicari tak ada.
"Kamu
bilang ada.."
"Iya,
tadi masih tidur dikamar.."
"Berarti
dia kabur. "
Mereka
ke bagian belakang rumah, dekat dapur ada pintu keluar. Mereke melongok, tak
ada siapapun. Dibelakang rumah itu ada kebun yang tak begitu luas, tapi
pagarnya terbuat dari pohon-pohon perdu.
"Dia
kabur lewat sana." Seseorang mendekati pagar, melongok kesana kemari, tapi
tak ada bayangan orang yang dicarinya.
"Kemana
kira-kira bapakmu pergi?"
Sri
menggeleng-geleng dengan mata berlinang. Dia benar-benar tak tau.
Ketika
mereka pergi, Sri terduduk dikursi dengan perasaan gundah. Ia tak bisa
menyalahkan mereka. Ayahnya yang salah. Mengapa juga pakai menganiaya orang?
Bau
minuman keras masih memenuhi ruangan. Kemudian Sri berdiri, masuk kekamar
ayahnya dan membersihkan pecahan botol dan tumpahan minuman keras. Lalu ia
merasa sendirian.
Rumah
yang senyap, aroma pengap dan jiwa yang sesat telah melingkupi kehidupan
ayahnya.
Tapi
dia adalah ayahnya, darahnya mengalir disepanjang nadinya. Betapapun kesal dan
bencinya dia, tapi menyaksikan ayahnya lari entah kemana, diburu aparat
yang pasti mengancamnya dengan hukuman sekap di penjara. hatinya bagai
teriris.
Gelapnya
malam mulai menyelimuti bumi. Sri merasa tak tahan menanggung beban itu seorang
diri. Ia menutup semua pintu lalu berjalan kerumah mbah Kliwon.
***
"Bagaimana
mas? Darmin sudah ditangkap?" tanya Marni kepada suaminya.
"Kabur."
"Kabur?
Kok bisa?"
"Menurut
Sri, tadinya masih tidur di kamar. Mungkin karena mendengar suara gaduh, lalu
dia menyelinap melalui pintu belakang dan kabur entah kemana."
"Kasihan
Sri.."
"Tapi
dia tetap diburu. Beberapa botol minuman telah disita sebagai bukti. Orang yang
dianiaya masih menginap dirumah sakit karena luka-lukanya."
"Mengapa
tidak ditangkap sa'at itu juga?"
"Begitu
memukuli orang lalu dia kabur, tapi seseorang mengenali dia, lalu dengan mudah
aparat menemukan rumahnya. Sayang dia kabur."
"Lalu
bagaimana rencana lamaran mas Timan?"
"Belum
tau aku bu, mungkin bicara dulu sama mbah Kliwon,"
"Lalu
dimana ya Sri sekarang? Pasti dia sedih. Seburuk apapun Darmin, ia tetap
bapaknya bukan?"
"Mungkin
kemudian dia pergi kerumah mbah Kliwon."
"Mas
kesana coba, kasihan si Sri."
"Ini
sudah malam, besok pagi saja."
"Padahal
mas Timan akan siap melamar hari Minggu besok itu."
"Dia
harus tertangkap dulu. "
"Ya
Tuhan, kasihan kamu Sri.." gumam Marni sedih.
***
mBah
Kliwon terkejut ketika mendengar ketukan pintu, yang ternyata adalah Sri. Dia
memang selalu mengunci pintunya ketika hari mulai gelap, karena dia hanya
sendirian.
"Sri,
ada apa?"
Sri
tak menjawab, menghambur kedalam pelukan mbah Kliwon, yang kemudian
terhuyung-huyung karena tulang tuanya tak sangup menyangga tubuh Sri. Beruntung
tak sampai terjatuh.
"Ada
apa nduk? Bapakmu ngamuk?"
"Bapak
kabur, " katanya sambil terisak..
"Kabur
bagaimana ?"
"Tadi
dicari polisi, katanya semalam menganiaya orang disebuah rumah makan."
"Ya
Tuhan... "
"Sri
bingung mbah... nggak tau harus apa.. bagaimana kalau bapak tertangkap?"
mBah
Kliwon menggandeng cucunya agar duduk.
"Dengar
Sri, bukannya simbah mensyukuri apa yang terjadi dengan bapakmu. Simbah tau
pasti kamu sedih, karena bagaimanapun kamu adalah darah dagingnya. Tapi ibarat
orang menanam, pasti dia akan menuai. Kelakuan bapakmu sudah tak terkendali,
Tuhan memperingatkannya."
Sri
diam terpaku. Apa yang harus disesalinya? Memang itulah yang seharusnya
terjadi. Barangkali dengan kejadian ini ayahnya akan menjadi jera, dan bisa
berperilaku lebih baik. Tapi benarkah ?
"Sudah,
kamu tenangkan dulu hatimu disini. Semoga yang terjadi adalah yang
terbaik."
Sri
belum beranjak dari tempat duduknya. Lelah menyelimuti seluruh tubuhnya,
jiwanya, lahir dan batinnya.
"Tadi
sore setelah kamu pulang, nak Timan menelphone.
Sri
mengangkat wajahnya, menatap simbahnya. Berita itu tidak menggembirakannya.
Kejadian yang menimpa ayahnya jangan sampai Timan mendengarnya. Tapi mana
mungkin? Pak lurah pasti sudah mengabarinya. Aduuh, malunya si Sri. Masihkah
Timan mencintainya seperti pernah dikatakannya walau tau bahwa dirinya anak
seorang pesakitan?
"Dia
akan datang kemari hari Minggu besok."
"Dua
hari lagi?"
"Ya,
sedianya akan menemui bapakmu."
"Ya
ampun, jangan mbah, jangan.."
"Mengapa
jangan? Apa yang akan mas Timan lakukan itu adalah sebuah wujud dari
kesungguhannya mau memperisteri kamu."
"Tapi
kejadian ini bagaimana? Sri malu mbah.."
"Hilangkan
perasaan malu itu. Sedikit banyak dia pasti sudah tau seperti apa bapakmu
itu."
"Tapi
kali ini dia harus berurusan dengan polisi mbah."
"Nanti
kita akan bicara. Kamu tidak usah khawatir,"
Namun
Sri tetap saja khawatir. Hampir semalam dia tak bisa memejamkan matanya.
Membayangkan kedatangan Timan, yang kemudian kecewa ketika mengetahui ayahnya
menjadi buruan polisi. Ya Tuhan, ..Akan maukah dia mempunyai keluarga seperti
ayahnya?
***
Pagi
itu ketika Sri selesai mengurus para pemasok sayur, Marni datang, tidak
sendirian, tapi bersama suaminya.
"Rajin
sekali Sri," sapa Marni.
"Iya
yu, karena semalam nggak bisa tidur."
mBah
Kliwon mempersilahkan tamunya masuk.
"Silahkan
pak lurah, ayo Sri, buat minuman hangat."
"Tidak
usah Sri, kami kan tidak akan lama. Duduk saja disini Sri," kata pak
lurah. Ada rasa iba melihat wajah Sri yang pucat, namun tetap melakukan
tugasnya pagi itu.
"Sini
Sri, duduk dekat aku," kata Marni.
"Mana
Jarot?" tanya si Sri.
"Dia
bersama neneknya tadi. Kamu tampak pucat Sri."
"Masak
sih yu?"
"Kami
datang untuk memberi tau Sri, bahwa ayahmu sudah tertangkap." kata pak
lurah.
Sri
menatap pak lurah. Matanya mulai berkaca-kaca,
"Kamu
tidak usah sedih Sri, mungkin ini sebuah pelajaran bagi bapakmu, agar menyadari
kesalahannya."
Sri
mengusap tetes air matanya dengan ujung baju.
"Benar
kata pak lurah Sri, semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran bagi
bapakmu.Kelakuannya sudah sangat keterlaluan.
"Dia
ditahan dikota, kalau kamu mau ketemu, nanti kami akan mengantar kamu,"
lanjut pak lurah.
Sri
hanya mengangguk.
"Ada
lagi yang kamu harus tau, besok Minggu mas Timan tetap akan datang
kemari."
"Tidak
pak lurah, jangan," sanggah Sri
"Mengapa
Sri ?"
"Saya
malu , sungguh saya malu.." isak Sri
Marni
merangkul pundaknya.
"Mengapa
harus malu?"
"Mas
Timan tak akan sudi punya keluarga seorang pesakitan. Lebih baik lupakan saja
keinginan mas Timan, daripada lebih menyakiti yu."
"Mas
Timan sudah tau semuanya."
"Apa?"
"Kamu
jangan khawatir. Mas Timan mu sangat mencintai kamu Sri," kata Marni
sambil menepuk-nepuk pundak Sri.
"Aku
malu yu.. aku malu.."
"Nggak
perlu malu, dia sudah tau semuanya dan dia tetap ingin melamar kamu."
Sri
merangkul Marni sambil terisak-isak. mBah Kliwon ikut berlinangan air mata. Ada
rasa syukur karena Timan tetap mencintai cucunya. Apa lagi yang harus
dikhawatirkan?
***
Siang
itu Timan menelpon mbah Kliwon. mBah Kliwon tau, pasti Sri yang dicarinya.
"Sri...
Sri..."
"Apa
ini mbah?" Tanya Sri ketika mbah Kliwon mengulurkan ponselnya.
"Terima
saja..."
"Nggak
mau mbah.."
"Sri,
jangan begitu, nggak sopan.." tegur mbah Kliwon.
Sri
mendekatkan ponsel itu ketelinganya.
"Sri...
" Timan sudah menyapanya lebih dulu, karena Sri diam saja.
"Ya.."
"Kenapa
nggak mau menerima telephoneku Sri.." kata Timan karena mendengar tadi Sri
bilang 'tidak mau menerima'.
"Ma'af..
Sri sedang..."
"Sri,
aku ikut prihatin atas kejadian itu, tapi aku tidak akan terpengaruh Sri, aku
tetap mencintai kamu."
Gemetar
tangan Sri yang memegang ponsel mendengar kata-kata Timan.
"Sri,
kamu harus percaya sama aku. Aku bukan anak kecil yang suka main-main. Aku
sungguh-sungguh ingin menjadikan kamu isteriku."
Sri
terisak.
"Kenapa
menangis?"
"Aku
malu mas.."
"Kenapa
malu? Sama calon suami sendiri kok malu," kata Timan memancing candaan.
Tapi Sri tidak tersenyum, apalagi tertawa.
"Ya
sudah, kamu boleh menenangkan hati kamu dulu. Tapi nanti menjenguk bapak hari
Minggu saja ya, aku mau ikut."
Sri
terkejut. Rupanya pak lurah sudah mengatakan semuanya kepada Timan, Tapi
benarkah Timan mau ikut menjenguk bapaknya di tahanan?
"Saya
serius Sri. Tungguin aku kalau mau menjenguk bapak."
Lalu
Timan menutup ponselnya.
Sri
menangis sedikit keras. Rasa haru, sedih bahagia bercampur aduk dihatinya.
Diserahkan kembali ponsel itu kepada mbah Kliwon sambil mengusap air matanya.
"Sudah,
jangan menangis Sri. Simbah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu, kata mbah Kliwon
sambil mengelus kepala Sri.
***
"Mas
Timan sangat baik ya mas, besok mau menjenguk bapaknya Sri di tahanan."
kata Lastri kepada suaminya pada suatu malam.
"Kita
ikut kan?"
"Ya
ikut lah mas, walau akhirnya belum melamar resmi, tapi kan nanti bisa kelihatan
bagaimana sikap pak Darmin ketika melihat calon menantunya.”
"Kamu
benar Tri, dan parcel-paarcel itu tetap kita bawa kan?"
"Iya
dong mas, kalau nggak masa akan kita habiskan sendiri."
"Hm,
tiba-tiba aku kok jadi ingat jaman kita masih pacaran dulu ya Tri.."
"Kenapa
emang?"
"Menunggu
bertahun tahun sampai aku berhasil mempersunting kamu. Gadis bodoh."
"Iih,
kok bodoh sih..? Kata Lastri cemberut.
"Bodoh
lah, dicintai orang ganteng malah kabur.."
"Iih,
mana sih gantengnya? Mana..? Jelek gitu.."
"Apa?
Aku jelek? Ayo bilang sekali lagi bahwa aku jelek.."
"Jeleeek..!!
Kata Lastri yang kemudian lari menjauh, dan Bayu mengejarnya.
Lastri
terkejut ketika hampir saja menabrak bu Marsudi yang baru saja keluar dari
kamar.
"Eeeh..
ada apa ini?"
Lastri
sembunyi dibelakang bu Marsudi.
"Kalian
kayak anak kecil saja sih, pakai kejar-kejaran segala," tegur bu Marsudi
sambil tersenyum.
"Minggir
bu, biar aku gelitikin dia sampai menangis."
"Bu..
itu bu.. mas Bayu," rengek Lastri manja.
"Bayu..."
tegur bu Marsudi.
"Habis
aku dikatain jelek bu, coba apa ibu nggak sakit hati anak laki-lakinya dibilang
jelek!"
"Sudah..
sudah.. aduuh.. kayak anak kecil saja kalian ini. Ayo Tri, kita siapkan makan
malam saja."
"Itu
bu..mas Bayu.." rengek Lastri sambil memegangi lengan mertuanya.
"Bayuuu
!!"
Bayu
membalikkan tubuhnya sambil mengancam.
"Awas
ya, nanti kalau nggak ada ibu."
Lastri
mengikuti ibu mertuanya sambil memeletkan lidahnya kearah suaminya.
***
Hari
itu Sri jadi menjenguk bapaknya di tahanan. Ada Timan yang selalu berjalan
disampingnya, mbah Kliwon, pak lurah Mardi dan isterinya, serta Bayu dan
isterinya.
Setelah
lurah Mardi berbincang sebentar dengan petugas, mereka diijinkan menunggu
sementara petugas yang lain menjemput Darmin, diajaknya menemui keluarganya.
Sri
sedih, melihat wajah ayahnya cekung, seperti berhari-hari tidak pernah tidur.
Dia mendekati ayahnya, lalu mencium tangannya dengan linangan air mata.
Darmin
tak terpengaruh dengan perhatian anaknya. Ia duduk dan mengamati siapa saja
yang datang bersama Sri. Wajahnya muram, matanya melotot marah kepada anaknya.
"Jadi
kamu katakan kepada semua orang bahwa aku ditangkap polisi ? Iya ?" tuding
Darmin kepada anaknya.
"Bukan
bapak, ini.. pak lurah dan bu lurah.. ini yu Lastri dan suaminya.. dan ini..
mas Timan.."
"Siapa
dia?" katanya tanpa nada manis.
"Min,
ini yang aku pernah bilang sama kamu,. lalu belum-belum kamu sudah
marah-marah.."
Timan
berdiri, mendekati Darmin dan meraih tangannya. bermaksud menciumnya, tapi
Darmin mengibaskan tangannya.
"Saya
Timan, temannya Sri, dan..."
"Tidak..
tidak.. hentikan semua ini. Kamu.. maksudnya mau mengambil Sri sebagi
isteri kamu?"
"Benar
bapak, saya akan datang lagi ketika suasana sudah lebih baik, untuk melamar
secara resmi," kata Timan dengan perasaan yang mulai tidak enak.
"Tidak..
tidak.. lebih baik kalian pulang, dan ingat, Sri itu sudah ada yang
punya."
"Apa
maksudmu Min?" kata mbah Kliwon agak keras.
"Sri
itu sudah menjadi titipan seseorang. Jadi lupakan keinginan kamu," katanya
sambil menuding kearah Timan.
"Bapak,
apa maksud bapak?"
"Kamu
itu barang titipan. !! Jangan bertanya lagi dan segera bawa mereka pergi dari
sini." kata Darmin kasar, sambil berdiri lalu berjalan masuk.
***
besok
lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar