Senin, 04 Mei 2020

Kembang Titipan 07-08


*KEMBANG TITIPAN  07*

Darmin menoleh kearah wanita itu. Ia merasa tak pernah melihatnya. Kemarahannya memuncak karena ada perempuan berani menentangnya.

"Kamu tidak usah ikut campur. Ini urusanku."

"Tapi saya tidak suka mendengar kata-kata kamu. Dia ini orang tua, harusnya kamu menaruh hormat. Oh ya, apakah kamu bapaknya Sri? Saya heran, Sri yang cantik dan lembut hati bisa terlahir karena seorang ayah yang seperti kamu."

"Tutup mulut kamu ! Atau aku hajar kamu?!"
"Eeh... lancang kamu Darmin. Kamu tidak tau siapa dia. Dia adalah bu lurah!" hardik mbah Kliwon.

Darmin mundur selangkah.
"Aku hanya minta agar Sri pulang ! Tidak pantas seorang gadis tidur disembarang tempat !"

"Ini  bukan sembarang tempat. Ini rumahku, rumah mbahnya si Sri." kata mbah Kliwon tak kalah sengit.

"Mulut kamu bau minuman keras, kamu tidak waras. Aku akan melaporkan kamu agar kamu ditangkap, karena pemabuk adalah penjahat."

Wajah Darmin merah padam, sudah gatal tangannya ingin menampar bu lurah, tapi ada rasa segan. 

"Ada apa pak?" tiba-tiba Sri terbangun mendengar suara ribut.
"Pulang kamu !!" teriak Darmin sambil menuding kearah si Sri.

"Sri akan tetap disini. Dia bekerja untuk pak lurah." kata bu lurah lantang, sambil berdiri dihadapan Sri, seakan khawatir kalau-kalau Sri mendekati ayahnya.

Beberapa pemasok sayur sudah datang, heran ada orang berani bicara lantang dihadapan bu lurah.

Darmin  menuding Sri dengan mata menyala.
"Awas kamu !!"
Lalu dia membalikkan tubuhnya dan berlalu.

Bu lurah menghela nafas kesal. Dia memasuki rumah sambil merangkul pundak si Sri.
"Kasihan kamu Sri, bagaimana bapak kamu bisa melakukan hal seperti itu?"
Sri diam, berlinang air matanya.

"Segeralah menikah dengan mas Timan, dan tinggalkan saja bapakmu."

Alangkah mudah kata itu diucapkan. Semudah itu pulakah dia bisa menikah dengan Timan mengingat sikap bapaknya seperti itu?

"Silahkan duduk bu lurah, saya siapkan minuman hangat," kata mbah Kliwon.

"Terimakasih mbah, tapi saya harus segera kembali. Lagi pula para pemasok sayur sudah pada datang, dan mobilnya juga sudah siap didepan. Saya akan segera melaporkan kejadian ini kepada mas Mardi. Mungkin mas Timan harus segera melamar Sri."

"Terimakasih banyak bu lurah, saya juga sudah tidak tahan menyaksikan penderitaan Sri. Bagaimana mungkin, hidup bersama ayah kandungnya tapi tidak merasa nyaman."

"Semoga semuanya segera berakhir mbah. Oh ya, ini nasi buat sarapan," kata bu lurah kemudian sambil meletakkan rantang diatas meja.

"Sri, bu lurah selalu repot untuk kita,  bawa rantangnya kebelakang dan urus barang-barang itu. Mandinya nanti saja."

"Iya mbah, terimakasih banyak yu Marni," kata Sri sambil beranjak kebelakang.

***

Ketika Marni sampai dirumah, dilihatnya suaminya sudah selesai mandi.
"Aduuh, anak bapak yang ganteng.. enak ya tidurnya?"
"Setiap diajak jalan-jalan pasti dia tidur."

"Segar hawa pagi."
"Tadi ada sedikit keributan dirumah mbah Kliwon."
"Keributan apa ?

"Semalam Sri tidur dirumah mbah Kliwon, karena ketakutan melihat laki-laki itu ada dirumahnya. Darmin tampaknya baru pulang menjelang pagi, kemudian melihat Sri tidak ada dirumah. Nah, dia marah-marah lalu datang kerumah mbah Kliwon. Aduh mas, bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan itu... ngeri aku mas."

"Melakukan apa sih? Kamu ngomongnya nggak jelas."
"Darmin itu lho mas, bukankah mbah Kliwon itu mertuanya? Tapi dia berkata kasar dan sama sekali tidak menghormatinya. Kesal aku mas, aku marah sekali dan memaki-maki dia."

"Berani kamu ?"
"Berani lah. Melihat orang bersikap kasar seperti itu, nggak tahan aku."

"Dia memang susah diatur, aku akan memperingatkannya, belum sempat juga karena di kantor sedang banyak pekerjaan."

"Mas harus segera memperingatkannya. Kasihan Sri mas, anak baik seperti dia mengapa terlahir dari  bapak yang kasarnya seperti setan."

"Nanti akan ada yang bertugas memperingatkan. Sudah.. ayo sarapan dulu."

"Tapi mas, tampaknya mas  Timan harus segera melamar. Biar Sri segera terlepas dari bapaknya."
"Ya, nanti aku juga mau bilang sama mas Timan. Sepertinya kemarin juga sudah ketemu Lastri sama mas Bayu."

"Baiklah, aku  tidurkan thole dulu, lalu menyiapkan sarapan buat mas."

***

Sri sudah menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Tapi hatinya merasa gelisah. Pasti nanti ketika dia pulang, Darmin akan marah-marah. Dan  entah apa yang akan diperbuatnya.

Sri duduk termenung setelah selesai masak. Hanya oseng kangkung dan rempeyek teri yang sesungguhnya menggugah selera. Tapi Sri masih belum ingin makan.

"Simbah mau makan sekarang?"
"Kamu kok malah duduk disitu? Belum lapar?"
"Sri belum lapar, tapi kalau simbah mau makan sekarang akan Sri siapkan."

"Kalau begitu nanti saja kalau kamu juga sudah ingin makan. Nggak enak makan sendiri."
Sri tidak beranjak dari tempatnya duduk. mBah Kliwon mendekati dan duduk dihadapan Sri.

"Kamu sedih memikirkan bapakmu? Takut pulang nanti sore?"
"Nggak tau mbah, Sri bingung."

"Ya sudah, kalau takut pulang ya tidur disini lagi saja."
"Tidak mbah, nanti dia datang kemari dan ngamuk-ngamuk lagi.  Nggak tega mendengar bapak berkata kasar sama simbah."

mBah Kliwon beranjak berdiri karena mendengar dering telephone.
"Hallo... oh.. iya nak.. ada.. sebentar.." suara mbah Kliwon yang kemudian mendekati si Sri.
"Ini, ada telephone untuk kamu," katanya sambil menyerahkan ponselnya.
"Siapa mbah?"
"Terima saja dulu."

"Hallo..."
"Hallo juga, ingat nggak suara siapa ini?"

Mendadak wajah Sri berseri-seri. Wajah ganteng dengan mata teduh itu terbayang dimatanya. 
"Ingat nggak ?"
"Lupa tuh? kata Sri menggoda..

"Aduh, kasihan deh aku, begitu gampang dilupakan rupanya. Ya sudah aku tutup saja kalau begitu," kata Timan balas menggoda.
"Mas Timaaaan!"

"Tuh, pura-pura lupa kan ?"
"Ada apa mas?"
"Kok ada apa sih, kan kemarin aku sudah janji mau menelpone."

"Memangnya nggak jualan ?"
"Jualan sih, sudah agak sepi pasarnya. Sebentar lagi mau mengirim buah ke rumah makan."

"Oh, senangnya seandainya aku bisa membantu.."
"Boleh membantu dong, tapi kan ada syaratnya?"

"Apa tuh?"
"Menjadi isteri aku dulu.."

Sri terdiam, hatinya terguncang. Ia ingat kata bu lurah pagi tadi. Segeralah menikah dengan mas Timan.. aduhai.. seperti semudah membalikkan telapak tangan.

"Heiii.. kok diam? Kamu marah?"
"Nggak... "
"Kok diam?"
"Ngebayangin..."
"Ngebayangin apa?"
"Benarkah itu akan terjadi ?" tanya Sri pilu.

"Mengapa tidak ? Sri, aku serius, sudah lama keinginanku terpendam. Aku jatuh cinta pada pandngan pertama," kata Timan begitu lancar. Entah darimana datangnya keberanian itu. Mungkin karena yakin bahwa Sri tak akan menolaknya. Kelihatan dong dari sikapnya. 
Sri tersenyum, hatinya melambung kelangit bersama seonggok bunga-bunga wangi yang menghiasi seluruh nurani.  Ini pernyataan cinta yang baru didengarnya. Bukan candaan.

"Sri..."
"Ya..."
"Kok diam?"
"Ngebayangin.."
"Dari tadi ngebayangin melulu."

Sri tertawa. Timan menelan ludah. Pasti sederet gigi putih dibalik bibir tipis itu tampak sangat mempesona.

"Sudah mas, katanya mau ngirim buah ke rumah makan.."
"Lhoh, kok ngusir? Lagi asyik-asyiknya nih."

Sri tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya merasa ringan. Beban yang memberatinya terlepaskan. Lagi asyik sih, memang iya, ingin rasanya bicara terus seperti ini.

"Nanti ditungguin orang yang lagi pesan buah lho..."
"Bukan karena sebel sama aku ?"
"Ya enggak lah.. "
"Bener?"
"Bener.."
"Yakiin?"
"Ih.. mas Timan.."

Gemas Timan mendengar celetukan si Sri. Seandainya Sri ada didepannya pasti bisa dilihatnya bibir tipis yang mengucapkan kata-kata, dan mata berbinar yang membuatnya terpana. Benar-benar kembang desa yang telah berhasil merebut hatinya.

Tapi tiba-tiba ada telephone masuk. 
"Sri, sudah dulu ya, tampaknya pak lurah menelphone, aku jawab dulu ya."
"Ya mas."

Sri menutup telephone dengan hati berdebar. Pak lurah menelphone mas Timan, apakah ada sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya?

"Sudah selesai ngomongnya Sri?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan ponselnya.
"Sudah mbah, sepertinya kang Mardi menelpone mas Timan."

"Semoga berbicara tentang kamu Sri."
"Apa iya mbah ?"

"Bu lurah pasti sudah melapor pada suaminya tentang kejadian pagi tadi. Bukankah dia bilang lebih baik mas Timan segera menikahi kamu?"

Sri terdiam. Sungguh dia merasa was-was.
***

Dan sore itu Bayu mengatakan pada Lastri, bahwa hari Minggu besok mereka akan mengantarkan Timan menemui bapaknya.

"Bagus dong mas, seneng aku mendengarnya."
"Kita harus membawakan oleh-oleh Tri, coba pikirkan apa.."
"Parcel buah, sama roti.. yang bagus, sudah pantas itu."

"Bukan yang pakai bahan baju.. atau lain-lain yang ditempatkan di baki-baki berhias itu?"
"Itu kan kalau sudah jadi, trus mau menikah. Kok mas lupa sih?"
"Lho, aku nggak tau ya, kan ibu yang mempersiapkan semuanya."

"Ini kan baru mau ngomong-ngomong, silaturahmi, ya cukup bawa oleh-oleh saja, pokoknya pantas dan tidak memalukan."
"Yang disukai calon mertua juga kan?"

"Apa tuh? Sarung ? Baju bagus?"
"Bukan, wisky.. brendi... kan dia suka minum-minum katanya?"
Lastri tertawa keras.

"Rupanya mas mendukung kesukaan bapaknya Sri ya?""
"Kalau mau membuat dia senang..ya harus membawa apa yang menjadi kesenangannya. Kan kalau bapaknya senang langsung anaknya dikasih."

"Hiih... nggak mau aku.. mas nih ada-ada saja."
"Ya sudah, kalau masalah buah, mas Timan kan ahlinya. Biar dia mengatur parcel buah. Kita akan membawakan makanan atau kue-kue saja."

"Ayuk mas, kita jalan-jalan."
"Tuh, senengnya .."
"Mas Bayu tuh...
"Ini kan demi mas Timan... ayo mas.. "

"Cuma minta jalan-jalan saja apa susahnya sih? Kalau minta turunnya bintang atau rembulan.. wah.. itu baru susah."

Lastri mencubit lengan suaminya dengan mesra.  
"Ayo.. ini masih sore.. jangan cari gara-gara ya?"
"Iih.. mas Bayu.. gara-gara apa sih?"
"Gara-gara cubitan mesra.. "
"Apa tuh?"

"Ini pura-pura nggak tau atau memang bener nggak tau nih?"
"Nggak tau, bicara nggak jelas begitu.."
"Oke, ayo masuk ke kamar,  biar aku jelasin.."

"Maaas, katanya mau jalan-jalan.. mengapa harus masuk kamar?"
 "Lho, masa jalan-jalan pakai baju rumahan begini, ganti baju dong, jangan ngeres ah.."
"Mas Bayu.. jelek ah !! 
"Ayo ganti baju dulu," kata Bayu sambil menarik isterinya.
***

Sri melangkah perlahan memasuki rumah, ada debar didadanya ketika membayangkan akan seperti apa nanti kemarahan ayahnya.
Berderit ketika ia membuka pintu.. Si Sri melangkah perlahan, tapi ketika melewati kamar ayahnya, didengarnya dengkur yang agak keras.
Kebiasaan, kalau malam ngelayap, kalau siang mendengkur. 

Sri melangkah perlahan menuju kamarnya. Kalau melihat kepulangan Sri, kemudian dia memakai baju yang bukan pemberian Basuki, pasti mengomel, dan mengancam akan membakar seluruh baju kumalnya.

Bergegas Sri mandi. Ketika melihat kebelakang, barang-barang-barang tampak berserakan. Gelas dan piring kotor, serta kertas bungkus yang sudah kosong tapi masih belum juga dibuang oleh ayahnya.  Sri menjerang air untuk membuat minum, lalu membersihkan meja dapur. Baru ditinggal sehari saja rumah sudah berantakan seperti kapal pecah. Padahal ayahnya hanya sendiri. Bagaimana kalau nanti Sri sudah mengikuti suaminya?

Membayangkan menjadi isteri, Sri tersenyum sendiri. Tapi ada rasa perih dihati. Entah apa yang terjadi pada hidupnya nanti..

Ketika Sri selesai menuangkan minuman pada cangkir yang biasanya dipakai oleh ayahnya, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diluar pintu depan. Sri bergegas kedepan, dan melihat beberapa laki-laki berseragam berdiri disana. Lalu dua orang berseragam polisi menyusul dibelakangnya. Sri terkesiap.

***

besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  08*

 

Sri menatap mereka satu persatu, ada salah satu yang dikenalnya.

"Mas Jangkung?"

 

"Iya Sri, kami mendapat tugas dari pak lurah, untuk mengantarkan bapak-bapak itu," kata Jangkung sambil menunjuk kearah dua orang polisi yang bersamanya. 

 

"Pak Darmin ada?" lanjutnya.

Tercekat hati Sri. Bagaimanapun Darmin adalah ayahnya. Ada urusan apa dengan para petugas yang juga membawa polisi ini?

 

"Ada kan Sri ?"

"Iy.. iya... ada mas.."

 

Dan tanpa dipersilahkan beberapa orang masuk begitu saja kedalam, tanpa Sri bisa mencegahnya.

 

"Mas Jangkung, ada apa?" tanya Sri cemas.

"Kami mendapat laporan ada peminum dirumah ini, Dan beberapa jam yang lalu telah melakukan penganiayaan disebuah rumah makan." kata Jangkung.

 

"Oh... “ cemas hati Sri, ia tau ayahnya masih ada didalam, dan dua orang sudah masuk kedalam kamar ayahnya. Tapi Sri heran, tak ada suara dari dalam. Tiba-tiba terdengar suara botol jatuh dan tampaknya pecah.

 

Dua orang yang masuk membawa keluar beberapa botol minuman keras keluar dari kamar. Mengapa ayahnya diam saja? Sri cemas sekali, apa yang terjadi dengan ayahnya? Wajah Sri pucat. 

 

"Dimana ayahmu Sri?"

"Bapak ada... did.. dalam kamar..." terbata Sri menjawabnya.

"Nggak ada, kamarnya kosong. "

 

Sri bergegas melongok kedalam kamar ayahnya. Benar-benar tak ada. Bau minuman keras menyeruak memenuhi kamar itu. Ada botol pecah, terserak dilantai.

 

"Bapaaak!" teriak Sri, dan beberapa orang ikut mencari disetiap sudut, dibawah kolong.. didapur.. kamar mandi, tapi yang dicari tak ada.

 

"Kamu bilang ada.."

"Iya, tadi masih tidur dikamar.."

"Berarti dia kabur. "

 

Mereka ke bagian belakang rumah, dekat dapur ada pintu keluar. Mereke melongok, tak ada siapapun. Dibelakang rumah itu ada kebun yang tak begitu luas, tapi pagarnya terbuat dari pohon-pohon perdu.

 

"Dia kabur lewat sana." Seseorang mendekati pagar, melongok kesana kemari, tapi tak ada bayangan orang yang dicarinya.

"Kemana kira-kira bapakmu pergi?"

 

Sri menggeleng-geleng dengan mata berlinang. Dia benar-benar tak tau.

Ketika mereka pergi, Sri terduduk dikursi dengan perasaan gundah. Ia tak bisa menyalahkan mereka. Ayahnya yang salah. Mengapa juga pakai menganiaya orang?

 

Bau minuman keras masih memenuhi ruangan. Kemudian Sri berdiri, masuk kekamar ayahnya dan membersihkan pecahan botol dan tumpahan minuman keras. Lalu ia merasa sendirian.

 

Rumah yang senyap, aroma pengap dan jiwa yang sesat telah melingkupi kehidupan ayahnya.

Tapi dia adalah ayahnya, darahnya mengalir disepanjang nadinya. Betapapun kesal dan bencinya dia, tapi  menyaksikan ayahnya lari entah kemana, diburu aparat yang pasti mengancamnya dengan hukuman sekap di penjara. hatinya bagai teriris. 

 

Gelapnya malam mulai menyelimuti bumi. Sri merasa tak tahan menanggung beban itu seorang diri. Ia menutup semua pintu lalu berjalan kerumah mbah Kliwon.

***

 

"Bagaimana mas? Darmin sudah ditangkap?" tanya Marni kepada suaminya.

"Kabur."

"Kabur? Kok bisa?"

 

"Menurut Sri, tadinya masih tidur di kamar. Mungkin karena mendengar suara gaduh, lalu dia menyelinap melalui pintu belakang dan kabur entah kemana."

"Kasihan Sri.."

 

"Tapi dia tetap diburu. Beberapa botol minuman telah disita sebagai bukti. Orang yang dianiaya masih menginap dirumah sakit karena luka-lukanya."

 

"Mengapa tidak ditangkap sa'at itu juga?"

"Begitu memukuli orang lalu dia kabur, tapi seseorang mengenali dia, lalu dengan mudah aparat menemukan rumahnya. Sayang dia kabur."

 

"Lalu bagaimana rencana lamaran mas Timan?"

"Belum tau aku bu, mungkin bicara dulu sama mbah Kliwon,"

 

"Lalu dimana ya Sri sekarang? Pasti dia sedih. Seburuk apapun Darmin, ia tetap bapaknya bukan?"

 

"Mungkin kemudian dia pergi kerumah mbah Kliwon."

"Mas kesana coba, kasihan si Sri."

"Ini sudah malam, besok pagi saja."

 

"Padahal mas Timan akan siap melamar hari Minggu besok itu."

"Dia harus tertangkap dulu. "

"Ya Tuhan, kasihan kamu Sri.." gumam Marni sedih.

 

***

 

mBah Kliwon terkejut ketika mendengar ketukan pintu, yang ternyata adalah Sri. Dia memang selalu mengunci pintunya ketika hari mulai gelap, karena dia hanya sendirian.

 

"Sri, ada apa?"

Sri tak menjawab, menghambur kedalam pelukan mbah Kliwon, yang kemudian terhuyung-huyung karena tulang tuanya tak sangup menyangga tubuh Sri. Beruntung tak sampai terjatuh.

 

"Ada apa nduk? Bapakmu ngamuk?"

"Bapak kabur, " katanya sambil terisak..

 

"Kabur bagaimana ?"

"Tadi dicari polisi, katanya semalam menganiaya orang disebuah rumah makan."

 "Ya Tuhan... "

 

"Sri bingung mbah... nggak tau harus apa.. bagaimana kalau bapak tertangkap?"

mBah Kliwon menggandeng cucunya agar duduk.

 

"Dengar Sri, bukannya simbah mensyukuri apa yang terjadi dengan bapakmu. Simbah tau pasti kamu sedih, karena bagaimanapun kamu adalah darah dagingnya. Tapi ibarat orang menanam, pasti dia akan menuai. Kelakuan bapakmu sudah tak terkendali, Tuhan memperingatkannya."

 

Sri diam terpaku. Apa yang harus disesalinya? Memang itulah yang seharusnya terjadi. Barangkali dengan kejadian ini ayahnya akan menjadi jera, dan bisa berperilaku lebih baik. Tapi benarkah ?

 

"Sudah, kamu tenangkan dulu hatimu disini. Semoga yang terjadi adalah yang terbaik."

 

Sri belum beranjak dari tempat duduknya. Lelah menyelimuti seluruh tubuhnya, jiwanya, lahir dan batinnya.

 

"Tadi sore setelah kamu pulang, nak Timan menelphone.

 

Sri mengangkat wajahnya, menatap simbahnya. Berita itu tidak menggembirakannya. Kejadian yang menimpa ayahnya jangan sampai Timan mendengarnya. Tapi mana mungkin? Pak lurah pasti sudah mengabarinya. Aduuh, malunya si Sri. Masihkah Timan mencintainya seperti pernah dikatakannya walau tau bahwa dirinya anak seorang pesakitan?

 

"Dia akan datang kemari hari Minggu besok."

"Dua hari lagi?"

"Ya, sedianya akan menemui bapakmu."

"Ya ampun, jangan mbah, jangan.."

 

"Mengapa jangan? Apa yang akan mas Timan lakukan itu adalah sebuah wujud dari kesungguhannya mau memperisteri kamu."

"Tapi kejadian ini bagaimana? Sri malu mbah.."

 

"Hilangkan perasaan malu itu. Sedikit banyak dia pasti sudah tau seperti apa bapakmu itu."

"Tapi kali ini dia harus berurusan dengan polisi mbah."

 

"Nanti kita akan bicara. Kamu tidak usah khawatir,"

 

Namun Sri tetap saja khawatir. Hampir semalam dia tak bisa memejamkan matanya. Membayangkan kedatangan Timan, yang kemudian kecewa ketika mengetahui ayahnya menjadi buruan polisi. Ya Tuhan, ..Akan maukah dia mempunyai keluarga seperti ayahnya?

 ***

 

Pagi itu ketika Sri selesai mengurus para pemasok sayur, Marni datang, tidak sendirian, tapi bersama suaminya.

 

"Rajin sekali Sri," sapa Marni.

"Iya yu, karena semalam nggak bisa tidur."

 

mBah Kliwon mempersilahkan tamunya masuk.

 

"Silahkan pak lurah, ayo Sri, buat minuman hangat."

"Tidak usah Sri, kami kan tidak akan lama. Duduk saja disini Sri," kata pak lurah. Ada rasa iba melihat wajah Sri yang pucat, namun tetap melakukan tugasnya pagi itu.

 

"Sini Sri, duduk dekat aku," kata Marni.

"Mana Jarot?" tanya si Sri.

 

"Dia bersama neneknya tadi. Kamu tampak pucat Sri."

"Masak sih yu?"

 

"Kami datang untuk memberi tau Sri, bahwa ayahmu sudah tertangkap." kata pak lurah.

 

Sri menatap pak lurah. Matanya mulai berkaca-kaca,

 "Kamu tidak usah sedih Sri, mungkin ini sebuah pelajaran bagi bapakmu, agar menyadari kesalahannya."

 

Sri mengusap tetes air matanya dengan ujung baju.

 

"Benar kata pak lurah Sri, semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran bagi bapakmu.Kelakuannya sudah sangat keterlaluan.

 

"Dia ditahan dikota, kalau kamu mau ketemu, nanti kami akan mengantar kamu," lanjut pak lurah.

Sri hanya mengangguk.

 

"Ada lagi yang kamu harus tau, besok Minggu mas Timan tetap akan datang kemari."

"Tidak pak  lurah, jangan," sanggah Sri

 "Mengapa Sri ?"

"Saya malu , sungguh saya malu.." isak Sri

 

Marni merangkul pundaknya.

"Mengapa harus malu?"

"Mas Timan tak akan sudi punya keluarga seorang pesakitan. Lebih baik lupakan saja keinginan mas Timan, daripada lebih menyakiti yu."

 

"Mas Timan sudah tau semuanya."

"Apa?" 

 

"Kamu jangan khawatir. Mas Timan mu sangat mencintai kamu Sri," kata Marni sambil menepuk-nepuk pundak Sri.

 

"Aku malu yu.. aku malu.."

"Nggak perlu malu, dia sudah tau semuanya dan dia tetap ingin melamar kamu."

 

Sri merangkul Marni sambil terisak-isak. mBah Kliwon ikut berlinangan air mata. Ada rasa syukur karena Timan tetap mencintai cucunya. Apa lagi yang harus dikhawatirkan?

 

***

 

Siang itu Timan menelpon mbah Kliwon. mBah Kliwon tau, pasti Sri yang dicarinya.

"Sri... Sri..."

"Apa ini mbah?" Tanya Sri ketika mbah Kliwon mengulurkan ponselnya.

 

"Terima saja..."

"Nggak mau mbah.."

"Sri, jangan begitu, nggak sopan.." tegur mbah Kliwon.

 

Sri mendekatkan ponsel  itu ketelinganya.

"Sri... " Timan sudah menyapanya lebih dulu, karena Sri diam saja.

 

"Ya.."

"Kenapa nggak mau menerima telephoneku Sri.." kata Timan karena mendengar tadi Sri bilang 'tidak mau menerima'.

"Ma'af.. Sri sedang..."

 

"Sri, aku ikut prihatin atas kejadian itu, tapi aku tidak akan terpengaruh Sri, aku tetap mencintai kamu."

 

Gemetar tangan Sri yang memegang ponsel mendengar kata-kata Timan.

 

"Sri, kamu harus percaya sama aku. Aku bukan anak kecil yang suka main-main. Aku sungguh-sungguh ingin menjadikan kamu isteriku."

Sri terisak.

 

"Kenapa menangis?"

"Aku malu mas.."

 

"Kenapa malu? Sama calon suami sendiri kok malu," kata Timan memancing candaan. Tapi Sri tidak tersenyum, apalagi tertawa.

 

"Ya sudah, kamu boleh menenangkan hati kamu dulu. Tapi nanti menjenguk bapak hari Minggu saja ya, aku mau ikut."

 

Sri terkejut. Rupanya pak lurah sudah mengatakan semuanya kepada Timan, Tapi benarkah Timan mau ikut menjenguk bapaknya di tahanan?

 

"Saya serius Sri. Tungguin aku kalau mau menjenguk bapak."

Lalu Timan menutup ponselnya.

 

Sri menangis sedikit keras. Rasa haru, sedih bahagia bercampur aduk dihatinya. Diserahkan kembali ponsel itu kepada mbah Kliwon sambil mengusap air matanya.

 

"Sudah, jangan menangis Sri. Simbah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu, kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala Sri.

 

***

 

 

"Mas Timan sangat baik ya mas, besok mau menjenguk bapaknya Sri di tahanan." kata Lastri kepada suaminya pada suatu malam.

 

"Kita ikut kan?"

"Ya ikut lah mas, walau akhirnya belum melamar resmi, tapi kan nanti bisa kelihatan bagaimana sikap pak Darmin ketika melihat calon menantunya.”

 

"Kamu benar Tri, dan parcel-paarcel itu tetap kita bawa kan?"

"Iya dong mas, kalau nggak masa akan kita habiskan sendiri."

 

"Hm, tiba-tiba aku kok jadi ingat jaman kita masih pacaran dulu ya Tri.."

"Kenapa emang?"

 

"Menunggu bertahun tahun sampai aku berhasil mempersunting kamu. Gadis bodoh."

"Iih, kok bodoh sih..? Kata Lastri cemberut. 

"Bodoh lah, dicintai orang ganteng malah kabur.."

 

"Iih, mana sih gantengnya? Mana..? Jelek gitu.."

"Apa? Aku jelek? Ayo bilang sekali lagi bahwa aku jelek.."

 

"Jeleeek..!! Kata Lastri yang kemudian lari menjauh, dan Bayu mengejarnya.

 

Lastri terkejut ketika hampir saja menabrak bu Marsudi yang baru saja keluar dari kamar.

"Eeeh.. ada apa ini?"

 

Lastri sembunyi dibelakang bu Marsudi.

"Kalian kayak anak kecil saja sih, pakai kejar-kejaran segala," tegur bu Marsudi sambil tersenyum.

 

"Minggir bu, biar aku gelitikin dia sampai menangis."

"Bu.. itu bu.. mas Bayu," rengek Lastri manja.

 

"Bayu..." tegur bu Marsudi.

"Habis aku dikatain jelek bu, coba apa ibu nggak sakit hati anak laki-lakinya dibilang jelek!"

 

"Sudah.. sudah.. aduuh.. kayak anak kecil saja kalian ini. Ayo Tri, kita siapkan makan malam saja."

"Itu bu..mas Bayu.."  rengek Lastri sambil memegangi lengan mertuanya.

"Bayuuu !!"

 

Bayu membalikkan tubuhnya sambil mengancam.

"Awas ya, nanti kalau  nggak ada ibu."

 

Lastri mengikuti ibu mertuanya sambil memeletkan lidahnya kearah suaminya.

***

 

Hari itu Sri jadi menjenguk bapaknya di tahanan. Ada Timan yang selalu berjalan disampingnya, mbah Kliwon, pak lurah Mardi dan isterinya, serta Bayu dan isterinya.

Setelah lurah Mardi berbincang sebentar dengan petugas, mereka diijinkan menunggu sementara petugas yang lain menjemput Darmin, diajaknya menemui keluarganya.

 

Sri sedih, melihat wajah ayahnya cekung, seperti berhari-hari tidak pernah tidur. Dia mendekati ayahnya, lalu mencium tangannya dengan linangan air mata.

 

Darmin tak terpengaruh dengan perhatian anaknya. Ia duduk dan mengamati siapa saja yang datang bersama Sri. Wajahnya muram, matanya melotot marah kepada anaknya.

 

"Jadi kamu katakan kepada semua orang bahwa aku ditangkap polisi ? Iya ?" tuding Darmin kepada anaknya.

 

"Bukan bapak, ini.. pak lurah dan bu lurah.. ini yu Lastri dan suaminya.. dan ini.. mas Timan.."

"Siapa dia?" katanya tanpa nada manis.

 

"Min, ini yang aku pernah bilang sama kamu,. lalu belum-belum kamu sudah marah-marah.."

 

Timan berdiri, mendekati Darmin dan meraih tangannya. bermaksud menciumnya, tapi Darmin mengibaskan tangannya.

 

"Saya Timan, temannya Sri, dan..."

"Tidak.. tidak.. hentikan semua ini. Kamu..  maksudnya mau mengambil Sri sebagi isteri kamu?" 

 

"Benar bapak, saya akan datang lagi ketika suasana sudah lebih baik, untuk melamar secara resmi," kata Timan dengan perasaan yang mulai tidak enak.

 

"Tidak.. tidak.. lebih baik kalian pulang, dan ingat, Sri itu sudah ada yang punya."

 

"Apa maksudmu Min?" kata mbah Kliwon agak keras.

"Sri itu sudah menjadi titipan seseorang. Jadi lupakan keinginan kamu," katanya sambil menuding kearah Timan.

 

"Bapak, apa maksud bapak?"

 

"Kamu itu barang titipan. !! Jangan bertanya lagi dan segera bawa mereka pergi dari sini." kata Darmin kasar, sambil berdiri lalu berjalan masuk.

***

 

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar