Jumat, 01 Mei 2020

Cerpen : Kembang Titipan 01-02


*KEMBANG TITIPAN  01*
(Tien Kumalasari)

Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh yang  datang, bersama rombongan pak lurah Mardi. Ini pestanya Bayu dan Lastri. Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku peristiwa yang sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia itu akhirnya datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang digelar oleh keluarga Marsudi.

Timan terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan Lastri. Lalu mBah Kliwon. Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya, atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.

"Nak Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak segera menyapanya.
"Eh, pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu, banyak sekali yang datang bersama."

Timan menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud saya, dik Sri ?"
"Oh... si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."

Ada yang tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.

Rasa kecewa menyelimuti hatinya, karema yang diharapkan datang ternyata tak  ada. Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini. 

Ah, sudahlah, Timan kemudian menghibur dirinya dengan beramah tamah bersama pak lurah Mardi dan isterinya, yang kali itu juga membawa anaknya yang masih bayi.

"Tidak terasa, belum sempat menengok bu lurah waktu melahirkan, tau-tau sudah segede ini bayinya," kata Timan sambil mengelus pipi Jarot, anak pak lurah.
"Iya mas Timan, ini sudah lima bulan lebih."
"Wah, lumayan lama tidak kesana saya."
"Kapan mas Timan menyusul?" goda lurah Mardi.
Timan tertawa.

"Belum ada yang mau, pak lurah.."
"Masa sih.."
"Iya, benar, carikan deh pak."
"Benar, mau saya carikan? Gadis desa mau?"
Timan tertawa.
"Ya mau dong pak, kan Timan juga orang desa. Memangnya kenapa kalau orang desa? "

"Baguslah, nanti kita carikan ya bu," kata pak lurah sambil menoleh kearah isterinya yang sejak tadi diam saja.
"Itu lho mas, si Sri.. dia cantik kan?" tiba-tiba kata bu lurah yang tentu saja membuat Timan berdebar-debar.

"Haa... iya...itu cucunya mbah Kliwon."
"Ada apa, nyebut-nyebut nama saya," tiba-tiba mbah Kliwon yang duduk dikursi belakangnya nyeletuk. Pak lurah tertawa.

"Ini mbah, mas Timan, ingin cari jodoh gadis desa. mBah Kliwon kan punya cucu yang sudah dewasa dan cantik."
mBah Kliwon tertawa.

"Jodoh itu kan Gusti Allah yang menentukan. Kalau memang jodohnya pasti juga nanti akan kesampaian. Ya kan nak Timan."
"Mengapa tidak diajak pak?" tanya Timan. Ia lupa tadi sudah menanyakannya.

"Anaknya ingin ikut, sudah menyiapkan baju bagus. Bapaknya itu susah. Nggak diijinin tadi."
"Oh..." 
Timan hanya mengangguk-angguk. Jawaban itu sudah didengarnya, rasa kecewa itu juga sudah dirasakannya. 

Gempita penuh bahagia itu masih berlangsung. Timan menoleh kearah pelaminan. Dilihatnya Lastri dan Bayu dengan wajah berseri seri menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Timan mengehela nafas. Ada do'a dipanjatkannya. Semoga aku akan segera menyusulnya. Lalu terbayang wajah lugu dengan senyum malu-malu ketika bertemu untuk pertama kalinya, tapi membuat dadanya bedebar debar. 

***

Si Sri duduk dilincak depan rumahnya, memandangi bulan sepotong yang mengambang diawang. Ada rasa kecewa ketika ayahnya melarang dirinya ikut bersama mbah Kliwon untuk datang kepesta pernikahan Lastri.

"Tidak Sri, kamu nggak boleh ikut."
"Tapi aku bersama simbah pak."
"Biar bersama mbahmu, tetap saja nggak boleh ikut. Kamu itu sudah dewasa, nggak pantas pergi kemana mana." kata pak Darmin sengit.

Si Sri tak menjawab. Ia tak tau mengapa kalau sudah dewasa kemudian nggak boleh pergi kemana-mana..

"Perempuan kalau sudah dewasa harusnya tinggal dirumah saja. Bapak memberi kamu ijin untuk membantu mbahmu, karena Lastri memberi kamu gaji yang bagus. Bisa menambah uang buat kita makan. Tapi selain kesitu, kamu nggak boleh pergi kemana-mana." kata pak Darmin lagi sore itu.

Si Sri termangu. Ia tetap saja tak bisa mencerna apa yang dikatakan ayahnya. Apa dia gadis pingitan? Dia punya banyak teman sebaya, tapi orang tuanya tidak begitu mengikat anaknya sampai nggak boleh keluar kemana-mana. 

"Bagaimana ya, pengantin orang kota? Seramai pengantin disini? Lalu menanggap wayang? Mertua yu Lastri kan  orang berada. Atau ada joged-joged seperti ketika pak lurah Mardi menikah?" gumam si Sri sambil terus memandangi rembulan. Terkadang segumpal awan lewat, menutupi rembulan itu, sekilas, kemudian bersinar lagi dengan sangat cemerlang. 

"Enaknya jadi rembulan, bisa menatap gumpalan mega, menatap bumi dan sekitarnya, dan mungkin juga dia sedang menatap aku," lagi-lagi si Sri bergumam.
Terdengar pintu berderit, lalu pak Darmin melongok keluar.

"Sri, kamu itu masih diluar ta?"
"Iya pak, belum ngantuk."
"Ini sudah malam, nggak bagus anak gadis sudah malam masih duduk diluar rumah."

Si Sri menghela nafas. Anak gadis nggak boleh pergi kecuali bekerja, nggak boleh ada diluar sa'at malam, lalu apa lagi? Tapi si Sri seorang anak yang patuh kepada  orang tuanya, atau lebih tepatnya takut, karena ayahnya sangat keras dalam bersikap. Tapi sesungguhnya dia kurang suka pada sikap ayahnya. Ia merasa, ibunya meninggal karena ayahnya kurang memperhatikannya.

Si Sri masih ingat, ketika ibunya sakit keras, kemudian sampai meninggal, sedih rasanya.
Darmin adalah seorang penjudi. Harta dan rumahnya sudah habis terjual, dan meninggalkan banyak hutang. Kemudian ibunya sakit-sakitan. O, sedihnya ketika itu. 

"Bapak, tolonglah, simbok sakit, ayo kita bawa ke dokter." kata si Sri yang waktu itu masih kira-kira berumur 6 tahun.
"Enak saja ke dokter, memangnya ke dokter itu tidak bayar? Besok bawa saja ke mbah Kerto, tukang pijat. Dia itu juga orang pintar. Pasti bisa menyembuhkan mbokmu," kate Darmin yang baru saja pulang menjelang pagi, lalu langsung masuk kekamarnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya yang keras.

"Sudah Sri, kamu tidak usah bilang apa-apa pada bapakmu, simbok tidak apa-apa., kembalilah tidur," kata ibunya lemah.
Si Sri membaringkan tubuhnya disamping ibunya, memegangi keningnya  yang terasa panas."
"Simbok panas sekali."

"Tidak apa-apa. Besok carilah daun dadap serep untuk mengompres simbokmu ini. Pasti panasnya turun."

Si Sri kecil belum bisa berfikir jauh. Ia tidak tau apa benar daun dadap bisa menyembuhkan ibunya. Pagi-pagi dia berjalan menyusuri kampung dan bertanya kepada setiap orang apa ada yang mempunyai pohon dadap. Lalu pohon itu ditemukannya. Si Sri minta beberapa lembar lalu dibawanya pulang. Dirumah bapaknya belum bangun. Ibunya masih tergolek ditempat tidur. Si Sri membawa daun dadap itu kepada ibunya.

"mBok, ini daun dadapnya," katanya sambil menunjukkan daun yang sudah dicucinya.
"Remas-remas dan tempelkan dikening simbok ini."

Si Sri menurut, suara ibunya sangat lemah, panasnya masih tinggi. ia menempelkan daun yang sudah diremasnya di kening ibunya. Kemudian ia pergi kedapur untuk membuatkan minuman hangat, dan merebus ketela untuk sarapan.
Tapi hari itu juga sang simbok meninggal. Si Sri menangis tak henti-hentinya. 

Terdengar lagi pintu berderit.
"Sri...masih disitu? Masuklah..."
"Kali itu si Sri menurut. Udara dingin menusuk tulang. Si Sri hampir menggigil. Ia masuk kekamarnya dan mencoba merebahkan dirinya. Tapi ingatan akan simbok membuatnya tak bisa tidur. Lalu rasa kesal terhadap ayahnya kembali meliputi hatinya.
***

Darmin juga sudah masuk kedalam kamarnya. Ia merasa semakin tua, dan tak mampu bekerja. Ia tak merasa sungkan makan dari jerih payah si Sri, dan terkadang diberi oleh ayah mertuanya.

Ia ingat, dulu ketika muda dia amat kuat dan perkasa. Ia bekerja dikebun tuan Cokro dan dipercaya membawahi pekerja-pekerja disana. Namun Darmin punya kebiasaan buruk. Ia suka berjudi dan minum minuman keras. Kalau saja dia bisa memanfa'atkan gajinya, ia bisa hidup layak bersama isteri dan seorang anaknya. Tapi tidak, uang dihabiskannya dimeja judi.

Rumah pemberian mertuanya sudah masuk gadai. Lalu dia tak mampu menebusnya, lalu rumah itu hilang, lalu isterinya meninggal, lalu hidupnya terlilit utang.

Ia kembali ke desa Sarangan dan mertuanya membuatkan gubug sederhana untuk dirinya dan Si Sri. Beruntung kemudian si Sri bisa membantu mbah Kliwon untuk mencatat barang-barang yang diperdagangkan. Karena Lastri, dia bersama ayahnya bisa makan sehari tiga kali.

Terkadang mbah Kliwon membantunya, memberi beras dan sayuran. Darmin tak mampu bekerja, atau mungkin juga sedikit malas. Sebenarnya bisa saja dia membantu para petani, menggarap kebun mereka dan mendapatkan sedikit upah, tapi dia tidak melakukannya. 

Badannya yang kurus membuat dia merasa lemah. Yang dikerjakannya dirumah hanya duduk, dilayani oleh anak semata wayangnya sebelum berangkat kerumah mbah Kliwon. Selebihnya dia hanya tiduran, dan masih merokok pula.
Si Sri membiarkannya. Mungkin segan menegur ayahnya, atau justru takut dihardiknya. Jadi sepenuhnya dialah yang mencari makan untuk dirinya dan ayahnya.

mBak Kliwon bukannya tak tau kelakuan menantunya, tapi dia seorang tua yang tidak banyak bicara. Ia melakukan apa yang bisa dilakukan. Tak pernah sekalipun dia menegurnya.
***

Jam sembilan malam, pesta pernikahan Bayu dan Lastri sudah usai. Bayu dan Lastri menemui pak Lurah dengan wajah berseri.

"Teruimakasih pak lurah, sudah bersusah payah datang menghadiri pernikahan kami," kata Bayu.
"Sudah seharusnya kami datang. Ini pesta yang sangat luar biasa. Saya ikut merasakan suka dukanya Lastri ketika jauh dari mas Bayu," kata lurah Mardi sambil melirik kearah Lastri.

"Tapi sekarang mereka sudah bahagia mas, yang lalu nggak usah diingat ingat lagi, iya kan Tri?" sambung Marni yang sudah menjadi bu lurah.
"Iya yu, aduh.. Jarot sudah gede, lucunya, kok enak sekali tidurnya, nggak terusik keramaian yang begini memekakkan telinga," kata Lastri sambil mengelus kepala Jarot kecil, yang lelap dalam gendongan ibunya.

"Dia kalau sudah tidur nggak perduli suara apapun . Semoga kamu segera dapat momongan ya Tri."
"Iya yu, do'akan ya yu."

"Mana mbah KLiwon?" kata Lastri lagi sambil mencari-cari.
"Itu, disana, sama mas Timan."
"Oh.. iya,  mengapa Si Sri tidakikut?"
"Katanya tadi juga mau ikut, tapi dilarang oleh bapaknya," kata Marni.
"Kok dilarang, memangnya kenapa?"
"Nggak tau tuh, kan kamu tau sendiri, pak Darmin itu orangnya susah."
"Iya, aku belum pernah  berbincang sama dia. Kayaknya jarang keluar rumah ya yu."
"Iya, kapan-kapan datang kerumah Tri."
"Iya yu, nanti kalau sudah selesai semuanya."

"Mas Timaaan," teriak Lastri.
Timan sedang berbincang dengan mbah Kliwon.
"Baiklah nak, nanti akan saya sampaikan. Tadi juga mau saya ajak, tapi bagaimana lagi, bapaknya susah diajak bicara."

"Mas Timaan !" Lastri berteriak lagi.
TIman bergegas mendekat, diikuti mbah Kliwon.
"Pasti ada pesan khusus yang dititipkan mbah Kliwon, ya kan?" goda Lastri.
"Tau aja kamu.." kata Timan tersipu.
"Ya taulah, tapi baguslah, si Sri gadis yang baik."
"Saya dukung mas Timan kalau mau mendekati si Sri," kata pak lurah.
Semua tertawa, dan Timan hanya tersipu.
***

Pagi itu si Sri seperti biasa menyiapkan minum teh hangat dan sarapan untuk bapaknya, sebelum berangkat bekerja.
Ada teh hangat dan kimpul rebus yang diletakkan di piring.  Darmin belum bangun, tapi si Sri telah menanak nasi dan oseng kangkung yang diletakkannya dimeja. Ada sepotong ikan asin sisa kemarin yang sudah digoreng ulang.

Si Sri bersiap untuk berangkat ketika tiba-tiba pak Darmin memanggilnya.
"Sri..!"
"Ya pak, ada apa, si Sri mau berangkat," kata si Sri sambil menghentikan langkahnya.
"Hari masih pagi. Masih gelap begini," kata pak Darmin sambil melangkah keluar dari kamarnya.

"Biasanya Sri juga berangkat ketika hari masih gelap. Keburu banyak barang yang datang dan nanti simbah kebingungan sendiri."
"Tunggu sebentar."
"Ada apa?"
"Rokok bapak habis nduk," kata pak Darmin tanpa sungkan.
Si Sri menghela nafas. Ia membuka dompet kecilnya dan mengeluarkan selembar puluhan ribu."

"Mengapa cuma sepuluh ribu?"
"Uang Sri tinggal duapuluh ribu pak."
"Ya sudah mana yang duapuluh ribu itu sekalian, nanti bapak akan beli sekalian untuk persediaan."

Si Sri mengambil lagi puluhan ribu yang tertinggal, diserahkan ayahnya lalu dia melangkah keluar rumah.

Pak Darmin meletakkan uang pemberian si Sri diatas meja, menghirup tehnya, menyantap tiga potong kimpul yang disediakannya. Ia menghabiskannya dengan lahap, lalu menutupkan pintu depan, kemudian kembali kekamarnya, tidur.
***

"Aku kesiangan ya mbah ?" kata si Sri sambul memasuki ruangan, dimana mbah Kliwon sedang menerima beberapa keranjang sayuran dirumah Lastri.
"Enggak, sudah simbah pilah-pilah semuanya, kamu tinggal mencatat."
"Oh.. ya."

"Kamu sudah sarapan?"
"Nanti saja mbah."
"Sarapan saja dulu, ada nasi jagung sama sambal teri pemberian bu lurah baru saja."
"Wah, enaknya.. yu Marni rajin ya mbah, jam segini sudah masak."
"Iya benar, hampir setiap pagi simbah dikirimi sarapan." 
"Rajin dan baik hatinya."
"Ya sudah sarapan dulu."
"Ayo sama simbah kalau begitu."

Selama sarapan itu, mbah Kliwon menatap wajah cucunya. Ada duka disembunyikannya. Pasti karena ulah bapaknya.
"Kamu kenapa?" 
"Apanya mbah?"
"Wajahmu kusut begitu.."
Si Sri meneguk air putih yang ada didekatnya, sambel buatan yu Marni sangat pedas.

"Kenapa?"
"Sambelnya pedas sekali mbah, tapi enak."
"Maksud simbah, wajahmu kusut begitu, ada apa?"
"Nggak apa-apa mbah."
"Dimarahi bapakmu lagi?"
"Enggak mbah.."
"Jangan bohong."
Si Sri terdiam.

"Kamu masih kecewa karena kemarin nggak boleh ikut ke pesta pernikahannya Lastri?"
"Iya sih mbah, kecewa. Bagaimana yu Lastri? Pasti cantik sekali dengan pakaian pengantinnya."
"Iya lah, kan Lastri memang cantik."
"Alangkah beruntungnya dia."

"Kamu sudah pengin nikah?"
"Ah, simbah.. enggak.. "
"Enggak gimana, kamu itu sudah dewasa, sudah sa'atnya disunting priya. Lagian kalau kamu sudah menikah bapakmu tidak akan mengganggu kamu lagi. Yaah, mungkin masih menjadi beban kamu karena memang dia nggak becus mencari nafkah, tapi setidakn ya kalau sudah nggak lagi kumpul sama kamu, tidak setiap hari dia mengganggu kamu."

Si Sri termenung. Benarkah dia sudah pantas menikah? Siapa yang mau sama gadis miskin yang anak bekas penjudi?

"Kamu dapat salam Sri.."
"Salam, dari siapa?"
"Kamu ingat mas Timan kan?"
"O, mas Timan yang temannya yu Lastri itu."
"Iya.. "

Si Sri tersenyum. Ia ingat cara Timan menatapnya ketika malam-malam dia mengantarkannya pulang bersama simbahnya. Tatapan yang menurutnya aneh, tapi si Sri menyukainya. Dalam remang malam itu, tersirat wajah tampan dan ramah, serta sangat baik hati. Aduhai. Si Sri tersedak-sedak.

"Pelan-pelan, minum dulu," kata mbah Kliwon.
Si Sri minum, wajah itu terbayang lagi.
"Tampaknya dia suka sama kamu."
Si Sri terbatuk lebih keras,

"Kenapa kamu itu, dapat salam dari mas Timan, malah tersedak, terbatuk.."
"Sayang Sri nggak ikut ya mbah,"
"Menyesal kan, tidak bertemu dia?"
"Simbah ada-ada saja, cuma titip salam saja dibilang suka. Mana ada laki-laki suka sama si Sri?"

Lalu si Sri berdiri, menumpuk piring-piring yang sudah kosong, dibawanya kebelakang.
mBah Kliwon tersenyum, setidaknya tidak ada penolakan dari cucunya. mBah Kliwon berharap Timan bisa menjadi jodohnya si Sri. mBah Kliwon tau, Timan laki-laki yang baik.
***

Sore itu si Sri pulang dengan membawa rantang berisi lauk. Ada sayur sawi dan tahu bacem yang tadi siang dimasaknya dirumah mbahnya, lalu sebagian disuruhnya si Sri membawanya pulang. Hampir setiap hari begitu karena mbah Kliwon tau bahwa beban kebutuhannya dan ayahnya ada dipundak si Sri.

Hari masih terang ketika si Sri memasuki pagar rumahnya. Ada mobil diluar sana, yang entah milik siapa. Ketika dia masuk rumah, dilihatnya ayahnya sedang duduk bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu tinggi besar dan tidak muda lagi. Barangkali sudah empatpuluh tahunan atau lebih umurnya. Si Sri merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi lupa kapan dan dimana.  Si Sri mau langsung masuk kebelakang ketika laki-laki itu memanggilnya.

"Kamu si Sri kecil itu kan?"
Si Sri berhenti sebentar, lalu mengangguk. Ia ingin segera berlalu, karena risih melihat tatapan laki-laki itu. Itu tatapan yang tidak menyenangkan. Menatap sambil bibirnya tersenyum nakal. Si Sri terus melangkah masuk.

Tapi tiba-tiba ayahnya memanggilnya.
"Sri, sini dulu, kamu lupa ini siapa?"
***

besok lagi ya


*KEMBANG TITIPAN  02*

 

Namun si Sri sungguh tidak ingat, dimana pernah mengenal laki-laki ini. Wajahnya bersih, tubuhnya tegap, barangkali sih, so'alnya ketika duduk tampak badannya besar dan tegap. Bukan anak muda, tapi wajahnya lumayan ganteng. Hanya saja Si Sri benci melihat mata dan senyumnya. Si Sri belum banyak bergaul dengan laki-laki, tapi pandangan matanya sungguh membuatnya muak. Sepertinya dia laki-laki penyuka perempuan. 

 

Mendengar panggilan bapaknya, si Sri mendekat.

"Duduklah."

Si Sri duduk.kepalanya menunduk.

 

"Kamu sungguh pemalu Sri, coba tatap mataku.," kata laki-laki itu.

Tapi si Sri masih tetap menunduk.

Laki-laki itu terbahak. Tertawanya sangat  membuat Si Sri merinding.

 

"Sri, ini namanya tuan Basuki. Ia anaknya tuan Cokro yang dulu memperkerjakan bapak diperkebunan miliknya.".

 

Si Sri baru ingat Benar, namanya Basuki, anaknya tuan Cokro. Ketika dia dan bapaknya pindah kedesa itu, Basuki masih remaja. Tapi si Sri sering melihat dia membawa banyak teman-teman wanita, diajaknya bersenang senang dirumahnya. Basuki juga sering mengganggunya setiap kali dia datang kerumah bapaknya. Menowel lengannya, mengelus kepalanya, sungguh menyebalkan.

 

Tak disangka sore itu dia datang, dan berbincang akrab dengan bapaknya.

Si Sri ingin pergi kebelakang. Risih berada dihadapan tamu menyebalkan itu berlama-lama. Ia bangkit berdiri.

 

"Hei.. mau kemana cantik?"

"Kemana nduk?"

"Buat minuman," jawab si Sri sekenanya. Menurutnya lebih baik dia pergi, dengan alasan apapun.

 

"Tidak Sri, aku tidak ingin minum. Aku hanya datang sebentar, untuk mengingatkan bapakmu. Bagus, si Sri sudah tumbuh dewasa, aku suka.  Tapi sekarang aku harus pergi."

"Syukurlah, syukurlah, lebih cepat lebih baik," bisik hati si Sri.

 

Laki-laki bernama Basuki itu berdiri. Ya, tinggi sekali, pak Darmin yang berdiri disampingnya hanya setinggi pundaknya. Si Sri masih berdiri didepan kursi yang semula didudukinya.

 

"Sri, antarkan tuan Basuki kedepan," perintah pak Darmin.

"Hiih.. ngapain harus mengantarkan? Kayak anak kecil saja," kata hati si Sri dengan wajah cemberut.

"Sri..."

 

Si Sri melangkah pelan, tuan Basuki sudah sampai didepan pintu, ia harus menunduk kalau tak ingin kepalanya terantuk kepintu yang tidak begitu tinggi.

"Aku pergi dulu, cantik," kata Basuki, sambil menowel pipi si Sri.

 

Wajah si Sri pucat, Bencinya tak tertahankan. Mengapa bapaknya diam saja? Banyak batasan-batasan yang harus dipatuhinya. Tidak boleh keluar rumah kecuali bekerja, jangan lama -lama berada diluar, tidak belh datang ke pesta.. tapi mengapa dibiarkannya laki-laki asing menjamah wajahnya?

 

Si Sri berlari masuk kedalam. Membasuh wajahnya berkali-kali. Jijik pipinya dijamah laki=laki itu.

"Sriiiii..." teriak bapaknya.

 

Sri mengelap wajahn ya dengan handuk. Ia  ingin mandi, tapi lebih dulu menghampiri bapaknya, karena kalau tidak akan bertambah keras teriakannya.

 

"Kamu itu bagaimana, ada tuan Basuki tidak menyambutnya dengan baik,"

"Memangnya mengapa? Sri kan dilrang bergaul dengan sembarang orang?"

 

"Dia itu lain. Lihat, buka bungkusan besar itu," kata pak Darmin sambil menunjuk keatas meja. Sri menoleh kearah yang ditunjuk bapaknya. Karena kesal dia tak memperhatikan. Ternyata diatas meja ada sebuah bungkusan besar. Dari laki-laki kurangajar itu?

 

"Buka isinya, kata tuan Basuki itu buat kamu."

"Buat Sri?" 

"Iya, buat kamu, bukalah."

"Nggak pak, Sri mau mandi dulu."

"Eeeh... mandinya nanti saja. Buka dulu."

 

Itu sebuah perintah, dan si Sri tak berani membantahnya. Dengan muka cemberut dibukanya bungkusan itu. Sri terkejut. Isinya baju-baju perempuan. Ada banyak. Ada celana panjang, blouse dari kaos, rok dengan aksen yang mewah,  Celana lagi, yang ini jean, ada atasan berwarna biru muda, pokoknya ada banyak. Sri sama sekali tak tertarik.

 

"Dia minta kamu memakainya."

"Nggak ah, Sri nggak suka."

"Apa katamu? Itu pemberian orang kaya, pasti bukan barang murah."

"Ini pakaian orang kota, mana pantas Sri memakainya?"

"Jangan bandel! Kamu harus memakainya, dan buang baju-baju kamu yang lusuh dan kumal."

 

Si Sri membalikkan tubuhnya, tak memperdulikan baju-baju yang terserak diatas meja.

"Eeeh... Sriii!!"

"Si Sri berhenti melangkah."

"Simpan dulu barang-barang ini kedalam kamar kamu!"

Sri membalikkan badan, dengan satu raupan dibawanya tumpukan baju itu kekamarnya, lalu  disebarnya dilantai.

***

 

Pagi itu Marni mengajak anaknya jalan-jalan. Ditangannya menjinjing rantang. Berisi nasi dan balur dimasak pedas. Ia akan memberikannya kepada mbah Kliwon. Pagi masih remang, Marni berjalan seenaknya. Tiba-tiba ia berpapasan dengan si Sri.

 

"Sri...!" panggilnya

"Eh, yu Marni.. eh.. bu lurah..."

"Ya sudah, yu Marni saja seperti biasanya, pakai diralat segala."

"Hehee.. iya yu. Aduuh.. Jarot, sini digendong yu Sri ya..."

Si Sri meminta Jarot yang berada dalam gendongan Marni.

 

"Kamu sudah pengin punya anak Sri?"

"Wah... seneng banget aku kalau punya anak, tapi kan aku belum bersuami, mana bisa punya anak?"

 

"Sudah pengin punya suami?"

"Nggak ah, belum mikirin suami yu. Gendong Jarot aja aku mau.. ya le?" katanya sambil menciumi pipi Jarot dengan gemes."

 

"Wong ya sudah pantes gitu lho..."

"Pantes ngapain yu?"

"Itu, pantes gendong anak."

"Ah, yu Marni ada-ada saja."

"Tapi diam-diam ada yang suka sama kamu lho."

"Haaa... ada yang suka sama aku?"

"Iya, bener."

 

"Siapa to yu, yang suka sama gadis seperti si Sri?"

"Ada pokoknya."

"Siapa yu? Jadi penasaran."

"Orangnya ganteng, sudah mapan pokoknya."

"Hm... siapa sih?"

"Tapi memang umurnya sama kamu terpaut agak jauh sih, cuma saja apa pentungnya umur? Yang lebih penting adalah, bahwa dia bisa mencintai kamu apa adanya, bisa membahagiakan kamu. Ya kan?"

 

"Iya sih, tapi siapa?"

"Kamu ingat mas Timan ?"

 

Berdegup dada si Sri mendengar nama itu. Beberapa hari yang lalu mbah Kliwon mengatakan bahwa ada salam dari mas Timan. Aduhai...

"Oh, ya ampun.. dia.. ingat sih."

"Mau nggak kamu jadi isterinya dia?"

"Ya ampun yu..  aku ini siapa .. takut aku yu."

"Takut apa? Sudah besar pakai takut segala."

 

"Aku ini siapa yu, apalagi kalau nanti dia tau bagaimana bapakku, pasti dia akan kecewa."

"Yang jelas kamu itu gadis yang baik. Dan kamu juga sudah sa'atnya punya suami lho Sri."

"Nggak taulah yu, aku bingung. Lha ini yu Marni mau kemana?"

"Lha ini, mau ketemu mbahmu, aku bawakan nasi buat sarapan."

 

"Wah, yu Marni tiap hari kok mesti kirim makanan buat simbah. Lha itu yang makan aku juga lho yu."

"Ya nggak apa-apa, memang itu untuk kamu berdua."

"Yu Marni rajin ya, jam segini sudah masak."

"Aku tuh masak sore hari Sri, jadi kalau mas Mardi keburu harus berangkat pagi-pagi, sarapan sudah siap."

"Oh, pantesan. Nah, itu simbah sudah sibuk didepan rumahnya yu Lastri." kata si Sri sambil menunjuk kearah mbah Kliwon yang sedang menerima beberapa petani sayur.

 

"Iya, mbah Kliwon memang rajin. Sudah tua masih giat mengerjakan apapun."

"Kapan yu Lastri kesini yu, sekarang sudah jadi isteri orang,  pasti akan jarang datang kemari."

"Iya, semuanya diserahkan pada mas Mardi untuk mengurusnya, dibantu mbahmu itu."

"Aku sedih kemarin pas perikahannya yu Lastri nggak bisa ikut."

"Iya, Lastri juga menanyakan kamu. Mas Timan juga."

Si Sri tersenyum.

 

"Itu lagi.."

"Memang iya. Mas Mardi bilang akan mengundang mas Timan kemari."

"Oh ya, kapan?"

"Belum tau waktunya, maksudnya biar bisa ketemu kamu."

 

Si Sri berdebar. Wajah tampan ramah itu terbayang lagi. Apakah dia suka?

"Sini, Jarot sama ibu dulu, yu Sri mau bekerja, ya le?" kata Marni sambil mengulurkan  tangannya untuk menggendong Jarot, lalu menyerahkan rantangnya kepada si Sri.

 

"Ini Sri, nanti dimakan sama simbah ya."

"Terimakasih ya yu. Hm, baunya enak."

"Itu balur dimasak pedas."

"Waah, belum-belum sudah ngiler aku yu."

 

Mereka berpisah, karena si Sri harus membantu mbah Kliwon. Tapi kata-kata Marni masih membekas dihatinya. Benarkah Timan suka sama dia? Diam-diam si Sri merasa senang, aduhai, seandainya itu benar.

 

"Bawa apa Sri?" tiba-tiba pertanyaan mbah Kliwon mengejutkan si Sri. Dia sedang membayangkan laki-laki tampan dengan pandangan teduh dan mendebarkan itu.

"Oh, ini mbah, ketemu bu lurah disana."

"Dari bu lurah?"

"Iya, simbah sarapan dulu."

"Ayo, sarapan sama kamu, setelah itu baru bekerja."

***

 

Begitu memasuki rumah, pak Darmin marah-marah karena si Sri tidak memakai pakaian yang diberikan Basuki.

 

"Apa maksud kamu Sri,  sudah diberi barang-barang bagus, tapi kamu tidak mau memakainya."

"Si Sri kan mau bekerja, pekerjaannya itu kadang mengangkat sayur yang mungkin masih kotor oleh tanah, jadi untuk apa memakai pakaian bagus?"

 

"Biar nanti jadi kotor, tapi kan kamu harus menghargai pemberian orang. "

"Iya, lain kali Sri akan pakai." jawab Sri kesal, lalu langsung masuk kedalam rumah.

 

Ketika si Sri berangjkat, pak Darmin masih tidur, itulah sebabnya dia tidak tau kalau si Sri tetp memakai bajunya sendiri.

"Buang baju-baju kamu yang kumal itu."

Si Sri tidak menjawab

 

Ketika mau memasuki kamar, hidungnya mencium sesuatu. Sesuatu yang sudah lama tidak tercium dirumahnya. Bau minuman keras. Si Sri melongok kekamar bapaknya, dan melihat beberapa botol minuman keras terletak dimeja. Beberapa botol kosong terserak dilantai. . Si Sri geram, apa laki-laki kurangajar itu yang memberinya?

 

"Ada apa kamu melongok kekamarku?" tanya pak Darmin yang tampak gusar.

"Bapak beli minuman keras lagi?"

"Jangan kamu kira aku memakai duitmu untuk membelinya. Ini, aku kembalikan uang yang kamu berikan kemarin. Masih utuh duapuluh ribu," katanya sambil melemparkan dua lembar puluhan ribu kewajah si Sri.

 

"Lalu dengan apa bapak membelinya?"

"Kamu tidak usah tanya, apa kamu nggak suka kalau bapak senang?"

"Aku tidak suka bapak minum-minum lagi."

"Berani kamu melarang aku?"

 

"Pak, bapak itu sudah sering sakit. Batuk nggak berhenti-berhenti, kenapa masih suka merokok dan sekarang ditambah minum-minuman keras?"

"Minuman ini tidak membuat aku sakit, justru membuat aku sehat. Lihat, hari ini aku sangat bersemangat."

 

Si Sri tak menjawab, ia masuk kekamarnya, lalu menguncinya dari dalam.  Sedih hatinya memikirkan perangai bapaknya yang ternyata belum berubah juga, walau kemiskinan sudah menderanya.

"Pasti laki-laki itu telah memberi uang pada bapak," gumamnya kesal.

 

Sore itu si Sri tidak melayani bapaknya makan. Ia melihat beberapa bungkusan makanan terserak dimeja, berarti bapaknya sudah makan,  tapi si Sri enggan membersihkannya. Kira-kira berapa banyak laki-laki itu memberi bapak uang sehingga bisa membeli makanan dan minuman keras begitu banyak? pikir si Sri dengan wajah kusut.

"Tak mungikin bapak mau mendengarkan kata-kataku."

***

 

Beberapa hari ini wajah si Sri tampak kusut. mBah Kliwon sudah tau, pasti karena ulah bapaknya.

 

"Sri, kamu kan sudah tau tabiat bapak kamu, jadi sebaiknya kamu tak usah memikirkannya. Biarkan saja dia mau melakukan apa, agar tidak menjadikan beban buat kamu." kata mbah Kliwon ketika mereka sedang istrirahat siang.

 

"Sedih si Sri mbah. Beberapa hari yang lalu ada tamu, bapak memanggilnya tuan Basuki. Hanya sebentar si Sri melihatnya, karena ketika si Sri datang sore itu, dia sudah mau pulang. Tampaknya laki-laki itu memberi bapak uang. Dia juga memberi si Sri banyak pakaian."

 

"O, apakah itu Basuki anaknya tuan Cokro?'

"Ya, mbah. Tapi yang membuat si Sri sedih, bapak akhir-akhi ini  jadi sering membeli minuman keras."

"Masa nduk?"

"Iya mbah, sudah Sri peringatkan, tapi justru bapak marah. Sri jadi sedih mbah."

 

mBak Kliwon menghela nafas panjang. Ia teringat anak perempuannya, mboknya si Sri, yang akhirnya meninggal karena suaminya tak memperhatikannya ketika dia sakit. Tapi mbah Kliwon bisa menerimanya dengan ikhlas. Ia hanya mengingat cucunya yang hanya satu-satunya.


"Ya sudah, seperti kata simbah tadi, nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu berangkat kerja pagi hari, pulang sore, lakukan apa yang menjadi tugasmu dan jangan hiraukan bapakmu."

Si Sri mengangguk. Hanya mbah Kliwon yang bisa menghiburnya.

Si Sri mau melanjutkan pekerjaannya mencatat pemasukan hari itu, ketika tiba-tiba didengarnya sebuah mobil berhenti  didepan rumah.

Si Sri melongok keluar, dan dadanya berdebar kencang begitu melihat siapa yang datang.

 

***

 

besok lagi ya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar