*KEMBANG TITIPAN 01*
(Tien
Kumalasari)
Timan
menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh
yang datang, bersama rombongan pak lurah Mardi. Ini pestanya Bayu dan
Lastri. Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku
peristiwa yang sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia
itu akhirnya datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang
digelar oleh keluarga Marsudi.
Timan
terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu
lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan
Lastri. Lalu mBah Kliwon. Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya,
dikiri kanannya, atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.
"Nak
Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak
segera menyapanya.
"Eh,
pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu,
banyak sekali yang datang bersama."
Timan
menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud
saya, dik Sri ?"
"Oh...
si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."
Ada yang
tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu mempersilahkan
tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.
Rasa
kecewa menyelimuti hatinya, karema yang diharapkan datang ternyata tak
ada. Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana
yang nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini.
Ah,
sudahlah, Timan kemudian menghibur dirinya dengan beramah tamah bersama pak
lurah Mardi dan isterinya, yang kali itu juga membawa anaknya yang masih bayi.
"Tidak
terasa, belum sempat menengok bu lurah waktu melahirkan, tau-tau sudah segede
ini bayinya," kata Timan sambil mengelus pipi Jarot, anak pak lurah.
"Iya
mas Timan, ini sudah lima bulan lebih."
"Wah,
lumayan lama tidak kesana saya."
"Kapan
mas Timan menyusul?" goda lurah Mardi.
Timan
tertawa.
"Belum
ada yang mau, pak lurah.."
"Masa
sih.."
"Iya,
benar, carikan deh pak."
"Benar,
mau saya carikan? Gadis desa mau?"
Timan
tertawa.
"Ya
mau dong pak, kan Timan juga orang desa. Memangnya kenapa kalau orang desa?
"
"Baguslah,
nanti kita carikan ya bu," kata pak lurah sambil menoleh kearah isterinya
yang sejak tadi diam saja.
"Itu
lho mas, si Sri.. dia cantik kan?" tiba-tiba kata bu lurah yang tentu saja
membuat Timan berdebar-debar.
"Haa...
iya...itu cucunya mbah Kliwon."
"Ada
apa, nyebut-nyebut nama saya," tiba-tiba mbah Kliwon yang duduk dikursi
belakangnya nyeletuk. Pak lurah tertawa.
"Ini
mbah, mas Timan, ingin cari jodoh gadis desa. mBah Kliwon kan punya cucu yang
sudah dewasa dan cantik."
mBah
Kliwon tertawa.
"Jodoh
itu kan Gusti Allah yang menentukan. Kalau memang jodohnya pasti juga nanti
akan kesampaian. Ya kan nak Timan."
"Mengapa
tidak diajak pak?" tanya Timan. Ia lupa tadi sudah menanyakannya.
"Anaknya
ingin ikut, sudah menyiapkan baju bagus. Bapaknya itu susah. Nggak diijinin
tadi."
"Oh..."
Timan
hanya mengangguk-angguk. Jawaban itu sudah didengarnya, rasa kecewa itu juga
sudah dirasakannya.
Gempita
penuh bahagia itu masih berlangsung. Timan menoleh kearah pelaminan. Dilihatnya
Lastri dan Bayu dengan wajah berseri seri menerima ucapan selamat dari para
tamu undangan. Timan mengehela nafas. Ada do'a dipanjatkannya. Semoga aku akan
segera menyusulnya. Lalu terbayang wajah lugu dengan senyum malu-malu ketika
bertemu untuk pertama kalinya, tapi membuat dadanya bedebar debar.
***
Si Sri
duduk dilincak depan rumahnya, memandangi bulan sepotong yang mengambang
diawang. Ada rasa kecewa ketika ayahnya melarang dirinya ikut bersama mbah
Kliwon untuk datang kepesta pernikahan Lastri.
"Tidak
Sri, kamu nggak boleh ikut."
"Tapi
aku bersama simbah pak."
"Biar
bersama mbahmu, tetap saja nggak boleh ikut. Kamu itu sudah dewasa, nggak
pantas pergi kemana mana." kata pak Darmin sengit.
Si Sri tak
menjawab. Ia tak tau mengapa kalau sudah dewasa kemudian nggak boleh pergi
kemana-mana..
"Perempuan
kalau sudah dewasa harusnya tinggal dirumah saja. Bapak memberi kamu ijin untuk
membantu mbahmu, karena Lastri memberi kamu gaji yang bagus. Bisa menambah uang
buat kita makan. Tapi selain kesitu, kamu nggak boleh pergi kemana-mana."
kata pak Darmin lagi sore itu.
Si Sri
termangu. Ia tetap saja tak bisa mencerna apa yang dikatakan ayahnya. Apa dia
gadis pingitan? Dia punya banyak teman sebaya, tapi orang tuanya tidak begitu
mengikat anaknya sampai nggak boleh keluar kemana-mana.
"Bagaimana
ya, pengantin orang kota? Seramai pengantin disini? Lalu menanggap wayang?
Mertua yu Lastri kan orang berada. Atau ada joged-joged seperti ketika
pak lurah Mardi menikah?" gumam si Sri sambil terus memandangi rembulan.
Terkadang segumpal awan lewat, menutupi rembulan itu, sekilas, kemudian
bersinar lagi dengan sangat cemerlang.
"Enaknya
jadi rembulan, bisa menatap gumpalan mega, menatap bumi dan sekitarnya, dan
mungkin juga dia sedang menatap aku," lagi-lagi si Sri bergumam.
Terdengar
pintu berderit, lalu pak Darmin melongok keluar.
"Sri,
kamu itu masih diluar ta?"
"Iya
pak, belum ngantuk."
"Ini
sudah malam, nggak bagus anak gadis sudah malam masih duduk diluar rumah."
Si Sri
menghela nafas. Anak gadis nggak boleh pergi kecuali bekerja, nggak boleh ada
diluar sa'at malam, lalu apa lagi? Tapi si Sri seorang anak yang patuh
kepada orang tuanya, atau lebih tepatnya takut, karena ayahnya sangat
keras dalam bersikap. Tapi sesungguhnya dia kurang suka pada sikap ayahnya. Ia
merasa, ibunya meninggal karena ayahnya kurang memperhatikannya.
Si Sri
masih ingat, ketika ibunya sakit keras, kemudian sampai meninggal, sedih
rasanya.
Darmin
adalah seorang penjudi. Harta dan rumahnya sudah habis terjual, dan
meninggalkan banyak hutang. Kemudian ibunya sakit-sakitan. O, sedihnya ketika
itu.
"Bapak,
tolonglah, simbok sakit, ayo kita bawa ke dokter." kata si Sri yang waktu
itu masih kira-kira berumur 6 tahun.
"Enak
saja ke dokter, memangnya ke dokter itu tidak bayar? Besok bawa saja ke mbah
Kerto, tukang pijat. Dia itu juga orang pintar. Pasti bisa menyembuhkan
mbokmu," kate Darmin yang baru saja pulang menjelang pagi, lalu langsung
masuk kekamarnya dan tak lama kemudian terdengar dengkurnya yang keras.
"Sudah
Sri, kamu tidak usah bilang apa-apa pada bapakmu, simbok tidak apa-apa.,
kembalilah tidur," kata ibunya lemah.
Si Sri
membaringkan tubuhnya disamping ibunya, memegangi keningnya yang terasa
panas."
"Simbok
panas sekali."
"Tidak
apa-apa. Besok carilah daun dadap serep untuk mengompres simbokmu ini. Pasti
panasnya turun."
Si Sri
kecil belum bisa berfikir jauh. Ia tidak tau apa benar daun dadap bisa
menyembuhkan ibunya. Pagi-pagi dia berjalan menyusuri kampung dan bertanya
kepada setiap orang apa ada yang mempunyai pohon dadap. Lalu pohon itu
ditemukannya. Si Sri minta beberapa lembar lalu dibawanya pulang. Dirumah
bapaknya belum bangun. Ibunya masih tergolek ditempat tidur. Si Sri membawa
daun dadap itu kepada ibunya.
"mBok,
ini daun dadapnya," katanya sambil menunjukkan daun yang sudah dicucinya.
"Remas-remas
dan tempelkan dikening simbok ini."
Si Sri
menurut, suara ibunya sangat lemah, panasnya masih tinggi. ia menempelkan daun
yang sudah diremasnya di kening ibunya. Kemudian ia pergi kedapur untuk
membuatkan minuman hangat, dan merebus ketela untuk sarapan.
Tapi hari
itu juga sang simbok meninggal. Si Sri menangis tak henti-hentinya.
Terdengar
lagi pintu berderit.
"Sri...masih
disitu? Masuklah..."
"Kali
itu si Sri menurut. Udara dingin menusuk tulang. Si Sri hampir menggigil. Ia
masuk kekamarnya dan mencoba merebahkan dirinya. Tapi ingatan akan simbok
membuatnya tak bisa tidur. Lalu rasa kesal terhadap ayahnya kembali meliputi
hatinya.
***
Darmin
juga sudah masuk kedalam kamarnya. Ia merasa semakin tua, dan tak mampu
bekerja. Ia tak merasa sungkan makan dari jerih payah si Sri, dan terkadang diberi
oleh ayah mertuanya.
Ia ingat,
dulu ketika muda dia amat kuat dan perkasa. Ia bekerja dikebun tuan Cokro dan
dipercaya membawahi pekerja-pekerja disana. Namun Darmin punya kebiasaan buruk.
Ia suka berjudi dan minum minuman keras. Kalau saja dia bisa memanfa'atkan
gajinya, ia bisa hidup layak bersama isteri dan seorang anaknya. Tapi tidak,
uang dihabiskannya dimeja judi.
Rumah
pemberian mertuanya sudah masuk gadai. Lalu dia tak mampu menebusnya, lalu
rumah itu hilang, lalu isterinya meninggal, lalu hidupnya terlilit utang.
Ia kembali
ke desa Sarangan dan mertuanya membuatkan gubug sederhana untuk dirinya dan Si
Sri. Beruntung kemudian si Sri bisa membantu mbah Kliwon untuk mencatat
barang-barang yang diperdagangkan. Karena Lastri, dia bersama ayahnya bisa
makan sehari tiga kali.
Terkadang
mbah Kliwon membantunya, memberi beras dan sayuran. Darmin tak mampu bekerja,
atau mungkin juga sedikit malas. Sebenarnya bisa saja dia membantu para petani,
menggarap kebun mereka dan mendapatkan sedikit upah, tapi dia tidak
melakukannya.
Badannya
yang kurus membuat dia merasa lemah. Yang dikerjakannya dirumah hanya duduk,
dilayani oleh anak semata wayangnya sebelum berangkat kerumah mbah Kliwon.
Selebihnya dia hanya tiduran, dan masih merokok pula.
Si Sri
membiarkannya. Mungkin segan menegur ayahnya, atau justru takut dihardiknya.
Jadi sepenuhnya dialah yang mencari makan untuk dirinya dan ayahnya.
mBak
Kliwon bukannya tak tau kelakuan menantunya, tapi dia seorang tua yang tidak
banyak bicara. Ia melakukan apa yang bisa dilakukan. Tak pernah sekalipun dia
menegurnya.
***
Jam
sembilan malam, pesta pernikahan Bayu dan Lastri sudah usai. Bayu dan Lastri
menemui pak Lurah dengan wajah berseri.
"Teruimakasih
pak lurah, sudah bersusah payah datang menghadiri pernikahan kami," kata
Bayu.
"Sudah
seharusnya kami datang. Ini pesta yang sangat luar biasa. Saya ikut merasakan
suka dukanya Lastri ketika jauh dari mas Bayu," kata lurah Mardi sambil
melirik kearah Lastri.
"Tapi
sekarang mereka sudah bahagia mas, yang lalu nggak usah diingat ingat lagi, iya
kan Tri?" sambung Marni yang sudah menjadi bu lurah.
"Iya
yu, aduh.. Jarot sudah gede, lucunya, kok enak sekali tidurnya, nggak terusik
keramaian yang begini memekakkan telinga," kata Lastri sambil mengelus
kepala Jarot kecil, yang lelap dalam gendongan ibunya.
"Dia
kalau sudah tidur nggak perduli suara apapun . Semoga kamu segera dapat
momongan ya Tri."
"Iya
yu, do'akan ya yu."
"Mana
mbah KLiwon?" kata Lastri lagi sambil mencari-cari.
"Itu,
disana, sama mas Timan."
"Oh..
iya, mengapa Si Sri tidakikut?"
"Katanya
tadi juga mau ikut, tapi dilarang oleh bapaknya," kata Marni.
"Kok
dilarang, memangnya kenapa?"
"Nggak
tau tuh, kan kamu tau sendiri, pak Darmin itu orangnya susah."
"Iya,
aku belum pernah berbincang sama dia. Kayaknya jarang keluar rumah ya
yu."
"Iya,
kapan-kapan datang kerumah Tri."
"Iya
yu, nanti kalau sudah selesai semuanya."
"Mas
Timaaan," teriak Lastri.
Timan
sedang berbincang dengan mbah Kliwon.
"Baiklah
nak, nanti akan saya sampaikan. Tadi juga mau saya ajak, tapi bagaimana lagi,
bapaknya susah diajak bicara."
"Mas
Timaan !" Lastri berteriak lagi.
TIman bergegas
mendekat, diikuti mbah Kliwon.
"Pasti
ada pesan khusus yang dititipkan mbah Kliwon, ya kan?" goda Lastri.
"Tau
aja kamu.." kata Timan tersipu.
"Ya
taulah, tapi baguslah, si Sri gadis yang baik."
"Saya
dukung mas Timan kalau mau mendekati si Sri," kata pak lurah.
Semua
tertawa, dan Timan hanya tersipu.
***
Pagi itu
si Sri seperti biasa menyiapkan minum teh hangat dan sarapan untuk bapaknya,
sebelum berangkat bekerja.
Ada teh
hangat dan kimpul rebus yang diletakkan di piring. Darmin belum bangun,
tapi si Sri telah menanak nasi dan oseng kangkung yang diletakkannya dimeja.
Ada sepotong ikan asin sisa kemarin yang sudah digoreng ulang.
Si Sri
bersiap untuk berangkat ketika tiba-tiba pak Darmin memanggilnya.
"Sri..!"
"Ya
pak, ada apa, si Sri mau berangkat," kata si Sri sambil menghentikan
langkahnya.
"Hari
masih pagi. Masih gelap begini," kata pak Darmin sambil melangkah keluar
dari kamarnya.
"Biasanya
Sri juga berangkat ketika hari masih gelap. Keburu banyak barang yang datang
dan nanti simbah kebingungan sendiri."
"Tunggu
sebentar."
"Ada
apa?"
"Rokok
bapak habis nduk," kata pak Darmin tanpa sungkan.
Si Sri
menghela nafas. Ia membuka dompet kecilnya dan mengeluarkan selembar puluhan
ribu."
"Mengapa
cuma sepuluh ribu?"
"Uang
Sri tinggal duapuluh ribu pak."
"Ya
sudah mana yang duapuluh ribu itu sekalian, nanti bapak akan beli sekalian
untuk persediaan."
Si Sri
mengambil lagi puluhan ribu yang tertinggal, diserahkan ayahnya lalu dia
melangkah keluar rumah.
Pak Darmin
meletakkan uang pemberian si Sri diatas meja, menghirup tehnya, menyantap tiga
potong kimpul yang disediakannya. Ia menghabiskannya dengan lahap, lalu
menutupkan pintu depan, kemudian kembali kekamarnya, tidur.
***
"Aku
kesiangan ya mbah ?" kata si Sri sambul memasuki ruangan, dimana mbah
Kliwon sedang menerima beberapa keranjang sayuran dirumah Lastri.
"Enggak,
sudah simbah pilah-pilah semuanya, kamu tinggal mencatat."
"Oh..
ya."
"Kamu
sudah sarapan?"
"Nanti
saja mbah."
"Sarapan
saja dulu, ada nasi jagung sama sambal teri pemberian bu lurah baru saja."
"Wah,
enaknya.. yu Marni rajin ya mbah, jam segini sudah masak."
"Iya
benar, hampir setiap pagi simbah dikirimi sarapan."
"Rajin
dan baik hatinya."
"Ya sudah
sarapan dulu."
"Ayo
sama simbah kalau begitu."
Selama
sarapan itu, mbah Kliwon menatap wajah cucunya. Ada duka disembunyikannya.
Pasti karena ulah bapaknya.
"Kamu
kenapa?"
"Apanya
mbah?"
"Wajahmu
kusut begitu.."
Si Sri
meneguk air putih yang ada didekatnya, sambel buatan yu Marni sangat pedas.
"Kenapa?"
"Sambelnya
pedas sekali mbah, tapi enak."
"Maksud
simbah, wajahmu kusut begitu, ada apa?"
"Nggak
apa-apa mbah."
"Dimarahi
bapakmu lagi?"
"Enggak
mbah.."
"Jangan
bohong."
Si Sri
terdiam.
"Kamu
masih kecewa karena kemarin nggak boleh ikut ke pesta pernikahannya
Lastri?"
"Iya
sih mbah, kecewa. Bagaimana yu Lastri? Pasti cantik sekali dengan pakaian
pengantinnya."
"Iya
lah, kan Lastri memang cantik."
"Alangkah
beruntungnya dia."
"Kamu
sudah pengin nikah?"
"Ah,
simbah.. enggak.. "
"Enggak
gimana, kamu itu sudah dewasa, sudah sa'atnya disunting priya. Lagian kalau
kamu sudah menikah bapakmu tidak akan mengganggu kamu lagi. Yaah, mungkin masih
menjadi beban kamu karena memang dia nggak becus mencari nafkah, tapi setidakn
ya kalau sudah nggak lagi kumpul sama kamu, tidak setiap hari dia mengganggu
kamu."
Si Sri
termenung. Benarkah dia sudah pantas menikah? Siapa yang mau sama gadis miskin
yang anak bekas penjudi?
"Kamu
dapat salam Sri.."
"Salam,
dari siapa?"
"Kamu
ingat mas Timan kan?"
"O,
mas Timan yang temannya yu Lastri itu."
"Iya..
"
Si Sri
tersenyum. Ia ingat cara Timan menatapnya ketika malam-malam dia
mengantarkannya pulang bersama simbahnya. Tatapan yang menurutnya aneh, tapi si
Sri menyukainya. Dalam remang malam itu, tersirat wajah tampan dan ramah, serta
sangat baik hati. Aduhai. Si Sri tersedak-sedak.
"Pelan-pelan,
minum dulu," kata mbah Kliwon.
Si Sri
minum, wajah itu terbayang lagi.
"Tampaknya
dia suka sama kamu."
Si Sri
terbatuk lebih keras,
"Kenapa
kamu itu, dapat salam dari mas Timan, malah tersedak, terbatuk.."
"Sayang
Sri nggak ikut ya mbah,"
"Menyesal
kan, tidak bertemu dia?"
"Simbah
ada-ada saja, cuma titip salam saja dibilang suka. Mana ada laki-laki suka sama
si Sri?"
Lalu si
Sri berdiri, menumpuk piring-piring yang sudah kosong, dibawanya kebelakang.
mBah
Kliwon tersenyum, setidaknya tidak ada penolakan dari cucunya. mBah Kliwon
berharap Timan bisa menjadi jodohnya si Sri. mBah Kliwon tau, Timan laki-laki
yang baik.
***
Sore itu
si Sri pulang dengan membawa rantang berisi lauk. Ada sayur sawi dan tahu bacem
yang tadi siang dimasaknya dirumah mbahnya, lalu sebagian disuruhnya si Sri
membawanya pulang. Hampir setiap hari begitu karena mbah Kliwon tau bahwa beban
kebutuhannya dan ayahnya ada dipundak si Sri.
Hari masih
terang ketika si Sri memasuki pagar rumahnya. Ada mobil diluar sana, yang entah
milik siapa. Ketika dia masuk rumah, dilihatnya ayahnya sedang duduk bersama
seorang laki-laki. Laki-laki itu tinggi besar dan tidak muda lagi. Barangkali
sudah empatpuluh tahunan atau lebih umurnya. Si Sri merasa pernah melihat
laki-laki itu, tapi lupa kapan dan dimana. Si Sri mau langsung masuk
kebelakang ketika laki-laki itu memanggilnya.
"Kamu
si Sri kecil itu kan?"
Si Sri
berhenti sebentar, lalu mengangguk. Ia ingin segera berlalu, karena risih
melihat tatapan laki-laki itu. Itu tatapan yang tidak menyenangkan. Menatap
sambil bibirnya tersenyum nakal. Si Sri terus melangkah masuk.
Tapi
tiba-tiba ayahnya memanggilnya.
"Sri,
sini dulu, kamu lupa ini siapa?"
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar