Jumat, 15 Mei 2020

Kembang Titipan 19-20


*KEMBANG TITIPAN  19*

Mery berdebar, harusnya air dalam gelas itu diminum dulu, tapi ternyata malah ada telephone, dan Basuki sepertinya marah-marah.

"Iya aku  tau, mengapa tidak kamu tanya siapa mereka, dan apa maksudnya? Apa? Dia bilang temanku? Aku nggak punya teman. Mobilnya apa? Jok terbuka? Yaaah, jangan-jangan dia, orang kampung yang namanya Timan. Baiklah, aku tunggu kamu, kita bicara disini."

Sri yang mendengar pembicaraan terakhir itu terkejut. Sepertinya entah siapa, atau mungkin anak buahnya Basuki, bertemu Timan, atau apa, lalu bagaimana kelanjutannya? Sri berdebar-debar. Bisakah Mery menanyakan masalah mobil colt terbuka itu, dan ada apa?

Basuki menutup pembicaraan itu dengan uring-uringan.
"Ada apa?" tanya Mery.
"Ada orang yang mencari-cari aku."
"Siapa? "

"Dua orang laki-laki, mengendarai mobil colt terbuka. Pasti si bocah dusun itu," kata Basuki yang kemudian berdiri lalu beranjak keluar kamar.

"Bas, kemana?"
"Menunggu orang-orang, mau bicara didepan."
"Jadi..?"
"Sudah, aku kehilangan selera. Lain kali saja," katanya sambil menuju pintu, lalu keluar dan menutupkannya.

Sri menghela nafas lega.
"Hm, ada-ada saja... hampir kena dia."
"Cari jalan lain saja mbak."

"Kamu itu.. Kalau rencana kita itu berjalan, barangkali sekarang kita sudah ada diperjalanan dan tak akan kembali lagi kemari."

Ada kecewa karena belum bisa kabur, tapi ada lega karena Sri tak jadi berpura-pura suka didekati Basuki.

"Lalu apa mbak?"
"Tunggu ada kesempatan lain."
"Semoga jalannya juga lain, jangan sampai aku bersentuhan dengannya."

Mery menghela nafas. Tampaknya ia menemukan cara lain. Kemudian ia memanggil pelayan yang biasa melayaninya.

"Bawa semua gelas kotor ini," perintah Mery.
"Ini masih utuh bu?"
"Nggak apa-apa, buang saja."

Pelayan itu mengangguk dan membawa keluar dua atau tiga gelas yang sudah tidak dipergunakan.

*** 

"Jangan bodoh Herman, kamu itu ceroboh !"
"Tapi saya tidak mengatakan apapun tuan, saya bilang tidak pernah bertemu tuan."

"Kamu kira mereka tidak berbuat sesuatu?"
"Saya keluar ketika mereka sudah pergi. Tidak mungkin mereka mengikuti saya sampai kemari."

"Kamu kira mereka tak melakukan sesuatu? Mereka mencatat plat nomor mobil kamu."
"Benarkah ?"

"Dengar Herman, kalau sampai  kamu ditangkap polisi, jangan sekali-kali melibatkan aku, jangan bilang pernah bertemu aku. Kalau itu kamu lakukan, maka ingatlah keluarga kamu. Kamu akan menyesal !" kata Basuki mengancam.

Herman merinding. Basuki tak pernah membatalkan ancamannya. Basuki sangat kuat karena tak pernah muncul disembarang tempat.

"Ya, saya mengerti. Saya akan segera mengganti plat nomor mobil saya."
"Sudah terlambat 'kali," kata Basuki kesal.

"Ah.. iya, benar.. tapi saya tak melihat mereka mencatat sesuatu."
"Mereka tidak perlu mengatakan atau memperlihatkan, bagaimana mencatat plat nomor mobil kamu."
Herman terdiam. Ia tak percaya apa yang dikatakan Basuki. 

"Kamu boleh pergi, dan ingat apa yang aku katakan. Kamu tak pernah mengenal aku, mengerti?"
"Baik, saya mengerti."

***

Mobil Timan kembali menyusuri sebuah jalan yang disekitarnya ditumbuhi tanaman cengkeh. Udara sejuk terasa menembus kedalam mobil karena Timan dan Bayu memang tak menutup jendela.

"Semoga disini kita mendapatkan apa yang kita cari."kata Timan sedih.
"Mas Timan tadi mencatat plat nomor mobil Herman kan?"

"Ya mas.. sudah saya catat."
"Nanti bisa kita jadikan bahan untuk melapor ke polisi. Mereka akan bisa menemukan Herman dan mungkin bisa mengorek keterangan darinya."

"Tapi harus hati-hati mas, kalau Basuki tau kita menghubungi polisi, keselamatan Sri akan terancam."
"Ya, nanti kita atur bagaimana sebaiknya. Polisi kan bisa bergerak diam-diam."

"Lihat mas, didepan ada portal yang dijaga beberapa orang."
"Iya benar, ada apa ya kira-kira?"

Timan menghentikan mobil didepan portal yang dipalangkan. Seseorang mendekati mobil Timan.

"Mau kemana mas ?"
"Mau kesana. Mm.. ada apa ya, kenapa jalannya dipalang?"
"Mas tidak bisa terus, didepan ada tanah longsor."
"Oh, tanah longsor?"

"Ada jalan putar yang bisa langsung kesana?"
"Sebenarnya mas mau kemana?"

"Mau.. mengunjungi teman saja. Tapi sebenarnya saya juga belum tau rumahnya sih, hanya ancar-ancar saja."
"Rumah siapa ya mas?"
"Namanya Basuki..."

Orang itu menatap Timan tajam.
"Bapak tau? Rumahnya ada didepan sana kan ?"

"Tidak ada. Saya penduduk sini dan mengetahui siapa saja yang tinggal disini. Nama Basuki tidak dikenal. Barangkali mas salah mencatat alamat."

"Saya kira tidak."
"Saya minta ma'af, disini tidak ada nama itu. "

Timan memandang kearah Bayu. Dan Bayu memberi isyarat untuk kembali saja. 
"Kita kembali?" tanya Timan.
"Sebaiknya kembali, anda tak akan bisa meneruskan perjalanan kesana. Bahaya." kata orang itu tadi.

TIman memundurkan mobilnya, mencari tikungan untuk bisa memutar balik.
***

"Mas, untunglah mas Mardi segera pulang, lihat ini." kata Marni kepada suaminya sambil menunjukkan selembar amplop.
"Apa ini ?"

"Dilempar dipelataran sana. Seseorang memakai sepeda motor melemparkannya kemudian memacu motornya pergi."
"Kamu melihatnya?"

"Aku kebetulan sedang berada didepan, tiba-tiba seorang pengendara motor lewat, tadi nya cuma berjalan perlahan, lalu melempar sesuatu ke pelataran, habis itu langsung dipacunya motornya, nggak tau pergi entah kemana. Itu surat yang dilempar tadi, ada batu didalamnya."

"Ada batu supaya bisa dilempar, kalau enggak ya pasti kabur terbawa angin," kata lurah Mardi sambil membuka amplop- itu. Selembar kertas bertulikan spidol merah.
SAYA SUDAH PERINGATKAN, JANGAN MELAPOR KE POLISI KALAU INGIN SRI SELAMAT.

"Apa mas Bayu lapor ke polisi?" tanya Marni cemas.
"Dia sama mas Timan mencari alamat yang aku berikan kemarin. Nanti saya hubungi, apa dia sudah melapor ke polisi atau belum."

"Hebat mas Bayu ya, bela-belain nggak masuk kerja hanya untuk menemani mas Timan, sementara Lastri lagi ngidam."
"Benar, persahabatan mereka sangat erat. Sebentar bu, aku ganti baju dulu lalu menelpone mas Timan atau mas Bayu."

"Ya mas, jangan sampai belum cuci kaki tangan sudah pegang-pegang anakmu."
"Iya.. iya, aku tau..." kata pak lurah sambil menjauh.

Marni sangat gelisah. Sri dalam ancaman. Apa yang terjadi pada dirinya sekarang, tak seorangpun tau. Tak ada yang bisa menghubungi, apalagi mengetahui dimana Sri berada.

Tiba-tiba ponsel Mardi berdering, Marni menghampirinya karena Mardi masih ada dibelakang. Ternyata dari Lastri.

"Hallo Tri, ini aku."
"Walah yu, kang Mardi belum pulang?"
"Sudah, lagi dikamar mandi. Bagaimana keadaanmu? Masih muntah-muntah terus ?"
"Tidak yu.. beberapa hari ini anakku tidak rewel. Ada obat, dan hanya ingin yang asem-asem.  Kalau sudah makan rujak atau apalah, yang asem-asem gitu, mualnya langsung hilang."

"Bagus Tri, semoga selalu sehat ya. Oh ya, menelphone mas Mardi ada apa? Sebentar aku lihat kebelakang, sudah selesai atau belum."
"Nggak yu, sama saja sama yu Marni atau kang Mardi. Cuma mau nanya, mas Bayu kemari nggak?"

"Enggak, kan pergi sama mas Timan ?"
"Oh, ya sudah yu, so'alnya dari tadi aku hubungi kok nggak bisa."
"Mungkin didaerah pedesaan, nggak ada sinyal 'kali."
"Mungkin yu."

"Kamu nggak apa-apa ditinggal mas Bayu lama-lama?"
"Nggak apa-apa yu, semuanya lagi prihatin memikirkan Sri, aku juga sedih yu, kasihan dia itu."

"Iya, tapi ingat lho Tri, kamu lagi hamil, jangan terlalu memikirkan yang berat-berat. Nanti anakmu ikutan sedih lho."
"Masak sih yu?"

"Iya, bayi dalam kandungan itu selalu terpengaruh pada apa yang dipikirkan ibunya. Jadi kamu jangan terlalu memikirkannya, karena kami semua juga sedang berusaha."

Marni sebenarnya ingin mengatakan tentang surat ancaman itu, tapi khawatir akan menambah beban pikiran Lastri, jadi diurungkannya.

"Jadi belum ada berita apa-apa ya yu?"
"Belum Tri, kalau ada apa-apa pasti kamu aku kabari."
"Ya sudah yu, aku cuma mau menanyakan itu, salam untuk kang Mardi ya."
"Iya, nanti aku sampaikan."

Begitu ponsel ditutup, Mardi muncul dari belakang.
"Mana ponselku?"
"Ini, barusan Lastri menelphone."
"Ada apa?"
"Cuma menanyakan suaminya, dikiranya ada disini."

"Kamu nggak bilang tentang surat ancaman itu kan?"
"Nggak, aku sudah tau, kalau aku bilang pasti akan menambah beban pikiran Lastri, kasihan dia lagi hamil muda."

"Ya sudah, aku mau menelphone mas Timan dulu."
"Tadi Lastri bilang bahwa susah menghubungi mereka."
"Iya... ini nggak bisa nyambung...lagi dimana mereka ya."
"Mungkin didaerah yang agak masuk kedesa, lalu nggak dapat sinyal.."
"Mungkin juga."

"Ya sudah, makan dulu saja mas, nanti dicoba menelpone lagi."
"Tolong simpan surat ancaman tadi bu, pada suatu hari nanti bisa dijadikan alat bukti."
"Iya, akan aku simpan mas."
***

"mBak, apa yang harus kita lakukan ?" tanya Sri ketika dilihatnya Mery diam sejak tadi. Tampaknya ada yang sedang difikirkannya.

"Tenang saja Sri, aku sedang memikirkannya. Tampaknya kali ini Basuki sedang sibuk dengan anak buahnya. Kabarnya jalan kearah rumah ini sudah dipasang palang sehingga tak akan ada orang asing bisa masuk kemari."

"Dipasang palang bagaimana?"
"Ada penjaga yang berjaga diujung desa. Kalau ada orang asing yang mau masuk disuruhnya kembali. Mereka disuruh berbohong dengan mengatakan jalan ditutup karena ada tanah longsor."

"Padahal tidak ?"
"Tidak, itu perintah Basuki yang aku dengar, katanya setelah ada dua orang mencari-cari Basuki di rumah Basuki yang lain."

"mBak, tadi itu, aku dengar dua orang mengendarai pickup terbuka, jangan-jangan itu mas Timan mencari aku ya yu."
"Mungkin juga. Mobil itu ya.. yang aku ketemu kamu lalu aku ajak kamu pergi?"

"Iya mbak, aduh.. gimana caranya bilang sama mas Timan bahwa aku ada disini ?"
"Kamu tau nomor telephone pacar kamu itu?"
"Tidak mbak, aku kan tidak punya ponsel. Mana bisa menghafal nomor kontak mas Timan?"

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Sri menatap pintu dengan cemas. 
"Bukan Basuki, tak mungkin dia mengetuk pintu dulu sebelum masuk."

Mery memencet sesuatu dibawah meja dan pintu itu terbuka. Seorang pelayan masuk, tapi bukan yang biasanya. Ia mendorong meja kecil untuk makan siang.

"Kok kamu? Mana yang biasanya melayani kamar ini ?" tanya Mery.
"Manto tidur bu, seperti terkena bius, sudah sejak sejam yang lalu, kami mengusungnya kekamarnya dan dia seperti orang mati."

Mery terkejut.   Jangan-jangan pelayan goblog itu minum minuman yang sedianya mau diberikan pada Basuki.

"Dengar, biarkan dia tidur dan jangan sampai hal ini terdengar oleh tuan Basuki, mengerti?"
"Mengerti bu."

Pelayan itu pergi.
"Ada apa mbak?"
"Pelayan itu benar-benar bodoh, pasti dia meminum minuman yang sedianya harus diminum Basuki, jadi dia pulas selama berjam-jam."

"Ya ampun, mengapa mbak tidak membuangnya terlebih dulu?"
"Ya, tidak terfikir olehku. Ayo makan dulu," kata Mery sambil mengambil piring yang sudah disediakan.

"Nggak mbak, aku nggak lapar."
"Kamu jangan bandel, enak atau tidak, nyaman atau tidak perasaanmu, kamu harus mengisi perutmu. Ingat, siapa tau kita bisa kabur hari ini. Dan  kalau kamu lemas lalu tak punya tenaga, bagaimana?"

Sri menurut. Iming-iming untuk segera bisa kabur membuatnya kemudian meraih piring dan mengisinya dengan sesendok nasi.
"Yang banyak.."

*** 

Setelah makan itu Mery memasuki kamar Basuki. Dilihatnya Basuki baru saja selesai menelphone.

"Dari siapa?"
"Orang-orang yang berjaga mengatakan baru saja dua laki-laki dengan colt terbuka itu mau masuk kemari."
Mery terkejut.

"Apakah itu colt terbuka milik.. calon suaminya Sri?"
"Haahh.. milik laki-laki dusun itu, bukan calon suaminya Sri, akulah calon suaminya."

Mery merasa batinnya teriris. Bertahun-tahun dia mengabdi, dan Basuki tak mau mengambilnya sebagai isteri, sekarang dia mengatakan bahwa dirinya calon suaminya Sri. Tapi tidak, Mery tak akan sakit hati, dia bertekat akan menghilangkan rasa cintanya kepada Basuki. Laki-laki itu tak pantas dicintai. Dia hanya mengejar nafsu dan merasa bahwa dirinyalah orang berkuasa.

Mery tersenyum, atau tepatnya mencoba tersenyum.
"Kamu nggak usah cemburu, bagi aku, kamu tetap nomor satu." 
Kata-kata itu selalu diperdengarkannya ditelinganya.

"Bagaimana Sri, aduh.. aku sampai melupakannya, banyak urusan hari ini yang membuat aku pusing. Menata ini, menata itu.."
"Sri sudah pulas tertidur. Mungkin tadi dia menunggu kamu."
"Ahaa.. sayang sekali. Lakukan lagi malam nanti."

"Tapi sekarang ini aku sedang ingin bersama kamu Bas."
"Benarkah ?"
"Aku akan membuatkan minuman dulu untuk kamu ya."
"Baiklah.."
"Kamu tiduran dulu saja, aku akan menyusulmu sambil membawakan minuman segar untuk kamu." kata Mery sambil mendorong Basuki pelan kearah ranjangnya.
***
besok lagi ya




*KEMBANG TITIPAAN  20*

 

Mery melangkah kearah bangku dimana berjajar sederet minuman kesukaan Basuki. Kamar yang luas itu dilengkapi dengan semacam bar kecil, dimana ia bisa melepaskan dahaga dengan memilih mana yang disukainya. Tapi Mery tidak hanya menuangkan segelas minuman. Ada sesuatu yang tadi disembunyikan dibalik bajunya yang kemudian dibubuhkan pada minuman itu., Kali ini ia harus berhasil.

 

Dengan senyum paling manis yang pernah disunggingkan dibibirnya, Mery mendekati Basuki. Basuki menatapnya sambil berbaring.

 

"Silahkan sayang, bangunlah dulu, jangan seperti bayi dong," kata Mery sambil mengacungkan minumannya.

"Aku suka dilayani seperti bayi," canda Basuki. Mery hanya tersenyum, candaan itu tak terasa lucu karena hatinya sedang berdebar.

 

Tiba-tiba ponsel Basuki berdering.

"Jangan hiraukan Bas, itu akan mengganggu keasyikan kita. Ayo minumlah dulu," kata Mery sambil mendekatkan gelas diwajah Basuki. Basuki bangkit duduk.

 

"Jangan-jangan penting," gumamnya.

"Adakah yang lebih penting dari ini?" Mery merayu sambil mendekatkan tubuhnya.

 

Basuki meneguk minuman yang diberikan Mery. Mery berdebar. Ia yakin usahanya akan berhasil.

"Segar sekali."

 

"Kamu tampak sangat tampan, Taukah kamu bahwa aku sangat mencintai  kamu?"

"Benarkah? " Basuki tersenyum sambil mengelus rambut Mery.

"Kamu saja yang tidak memperdulikan aku," kata Mery sambil berbaring disisi Basuki.

 

Ponsel itu berdering tak henti-hentinya.

"Ponselku.."

"Biarkan saja, jangan sampai kesenangan kita terganggu , biar aku matikan ya," kata Mery sambil kembali turun untuk mematikan ponsel itu.

 

Basuki menatapnya dengan pandangan sayu.

"Mery..." bisik Basuki.

"Sebentar..."

 

Mery mematikan ponsel Basuki. Lalu ia kembali mendekati ranjang.

"Mengapa kepalaku ini.." tiba-tiba Basuki memegangi kepalanya.

 

"Pusing? Mengapa tiba-tiba pusing?" Mery mengelus kepala Basuki, Basuki meraih tubuh Mery, tapi tiba-tiba Basuki terkulai lemas.

 

"Bas..."

"Hm..." jawab Basuki pelan, ia mulai memejamkan matanya, tangannya terkulai.

"Apa kamu sudah mampus?"

"Hm..." suara itu semakin lemah. Lalu tubuh tegap itu terdiam.

 

Mery merasa lega, bergegas ia keluar dari kamar dan menguncinya.

 

***

 

Sri terkejut ketika tiba-tiba Mery muncul.

"Ayo kita siap-siap," kata  Mery.

"Apa?" 

"Atau kamu mau tetap tinggal disini?"

 

Mery mengambil sebuah bungkusan dibawah bangku sofa.

"Ini, kenakan pakaian ini dan jangan banyak bertanya," katanya sambil melemparkan bungkusan itu.

 

Sri menangkapnya, lalu membukanya.

"Baju.. seragam pelayan?"

"Pakailah cepat sebelum dia tersadar."

 

Mery mengenakan jacket, lalu meraih tas yang sejak tadi sudah disiapkannya.

"Dia sudah... "

"Sudah setengah mampus, ayo kita pergi."

 

"Pri, siapkan mobilku didepan ya," pesannya kepada sopir Basuki.

Lalu Sri dengan tergesa mengenakan baju pelayan. Hanya seperti jas berwarna putih dengan setrip biru. Tak memakan waktu lama untuk mengenakannya. Ada topi berwarna putih yang harus dikenakannya juga.

 

"Sekarang ?" tanyanya begitu selesai.

"Nggaaak, bulan depan..!" kata Mery sambil melangkah menuju pintu.

 

Sri bergegas mengikuti.. Sebelum membuka pintu Mery berpesan.

"Bersikaplah biasa sampai menaiki mobilku, seakan akan kamu pelayan yang mengikuti majikan. Jadi jalannya di belakangku dan jangan mengucapkan apapun. Jangan tampak gugup dan jangan menoleh kesana kemari."

 

Aduuh, banyak banget pesannya. Tapi Sri mencoba mengerti. Ia mengikuti keluar ketika Mery sudah diluar.

 

"Bawakan tasnya," katanya sambil mengulurkan tasnya. Tas agak besar yang berisi pakaian yang tadi disiapkannya.

 

Sri mencoba bersikap biasa. Ternyata dari kamar Mery untuk sampai didepan rumah memerlukan waktu cukup lama. Rumah itu lumayan besar, dan beberapa kamar tampak berjajar sebelum sampai ke teras. Entah untuk apa kamar-kamar itu. Diujung teras seorang penjaga mengangguk hormat. Hm, benar-benar seperti pembesar. Dan rasanya baru beberapa sa'at lalu  Mery berpesan, mobil  Mery sudah siap didepan teras.

 

Mery membuka pintu samping dan menyuruh Sri masuk kedalamnya, lalu dia sendiri berjalan memutar untuk duduk dibelakang kemudi.

Mobir melaju cepat keluar dari halaman rumah megah yang terletak jauh terpencil dari keramaian.

 

Tapi Mery sudah biasa melewatinya. Sebelum tampak perkebunan cengkeh didepan, Mery benar-benar melihat palang yang menghalangi jalan. Mery membuka kaca mobil, dan beberapa penjaga mengangguk. Mereka tau siapa Mery, kekasih dan tangan kanan Basuki. Lalu dengan penuh hormat mereka membuka palang itu.

 

"Hati-hati bu, beberapa jam yang lalu ada dua orang laki-laki mau memasuki daerah kita, untung saya bisa melarangnya, lalu dia kembali," 

 

Mery urung  menjalankan mobilnya.

"Siapa mereka?"

"Dua orang laki-laki muda, mencari rumah tuan Basuki. Mereka mengendarai pickup terbuka."

Sri hampir saja memekikkan nama Timan, tapi Mery memelototinya.

 

"Ya sudah, hati-hati kalian berjaga ya, jangan sampai ada yang bisa masuk kecuali orang kita sendiri."

"Siap bu."

 

Mery menjalankan mobilnya. Tak bisa ia memacunya karena jalannya berbatu.

 

"Ya ampun mbak, itu pasti mas Timan, dia hampir ketemu aku."

"Siapa bilang? Dia nggak akan bisa masuk, kamu tau sendiri kan, banyak orang berjaga disitu?"

 

"Iya juga sih, lalu kemana dia sekarang ya mbak."

"Kalau kamu tau nomor kontaknya, kita bisa menghubunginya."

"Sayangnya tidak," keluh Sri sedih.

"Ya sudah, toh kita sudah akan bertemu dia kan?"

 

Mobil Mery terus menyusuri perkebunan cengkeh yang luas. Beberapa orang yang kebetulan lewat, mengangguk hormat begitu melihat mobil Mery.

 

"mBak Mery seperti  ibu pejabat," gumam Sri.

"Hanya seperti, sebentar lagi aku akan menjadi wanita biasa. Mungkin aku akan kembali ke panti dimana dulu aku dibesarkan."

 

"Bagus mbak, barangkali mbak Mery akan lebih merasa tenang disana."

"Aku ingin kembali mengenal Tuhan, sudah lama aku melupakannya."

"Syukurlah mbak." 

 

"Kamu tau bagaimana menguhungi lurah desamu ?"

"Mestinya di kantor kelurahan mbak."

 

"Nanti kalau sudah keluar dari area ini aku akan mengabarkan kepada lurah desa agar tau bahwa kamu sudah bebas. Mereka harus segera melapor ke polisi, dan tak perlu takut akan ancaman Basuki."

"Basuki mengancam apa?"

 

"Ya, dia mengancam akan mencelakai kamu kalau mereka berani lapor polisi."

"Oh, ya Tuhan..."

 

Mobil melaju, ketika jalanan berbatu sudah lewat, tapi mereka masih berada dilingkungan perkebunan itu.

"Kita sudah bebas?" tanya Sri dengan mata berbinar.

"Hampir. Masih jauh kita berjalan untuk mencapai kota."

 

Sri bernafas lega.

"Boleh aku lepas pakaian pelayan ini?"

 

"Lepas saja, sudah nggak ada gunanya.Tapi kita belum aman benar, perkebunan ini milik Basuki, dan orang-orang Basuki ada disekitar sini. Untungnya mereka mengenal aku. Selama Basuki belum sadar, kmudian menginstruksikan agar kita dihentikan, kita aman, karenanya begitu memasuki kota mobil ini akan aku tinggalkan."

 

"Ditinggalkan?"

"Ya, aku tidak butuh mobil lagi. Dan dengan mobil ini akan gampang Basuki menemukan aku lalu aku dibantainya."

 

Merinding Sri mendengarnya.

 

"Tenangkan hatimu, kamu akan segera bertemu calon suami kamu."

"Aku boleh memakai jacketnya? Pakaian ini terlalu terbuka, risih rasanya kalau nanti kita sampai ditempat yang banyak orang."

"Ada jacket didalam tas, ambillah."

 

***

 

Timan mengendarai mobilnya dengan perasaan yang mengharu biru. Rasa khawatir akan keselamatan Sri terus menghantui dirinya.

 

"Sekarang ada sinyal  mas.." seru Bayu ketika mereka menyusuri jalanan menuju kota.

"Iya, dari tadi macet."

"Beberapa telephone tak terjawab dari pak lurah. Dan ada pesan singkat nih."

 

"Apa pesannya mas?" tanya Timan.

BASUKI MELEMPARKAN SURAT ANCAMAN LAGI 

 

"Nah, ini pak lurah memfoto surat ancaman itu. Kurangajar bandit yang satu ini."

Surat ancaman dari Basuki terbaca oleh Bayu dengan geram.

 

"Kalau kita melapor polisi keselamatan Sri akan terancam. Dia mengingatkannya lagi, atau sudah ada yang melapor bahwa kita mencari-cari dia?"

 

"Aku curiga pada Herman."

"Benar, dia tampak tak suka melihat kita datang. Dan dia bilang belump ernah bertemu Basuki sementara dia adalah anak buahnya. Percaya mas?"

"Aku nggak percaya."

 

"Nanti aku akan bicara dengan teman dikepolisian, mungkin plat nomor itu bisa kita pergunakan untuk mencari orangnya kemudian memaksanya untuk mengaku."

"Saya sudah tak sabar mas, takut Sri kenapa-kenapa."

"Sama mas, saya juga prihatin nih."

 

 Tapi tiba-tiba ponsel Bayu berdering.

"Dari pak lurah."

Bayu membuka ponselnya, dan memencet speaker agar Timan juga bisa mendengarnya.

 

"Hallo pak lurah,"

"Susah menghubungi mas Bayu sama mas Timan."

"Iya, tadi tidak ada sinyal. Baru saja membuka pesan pak lurah."

 

"Syukurlah, ini tadi saya mendapat pesan dari penjaga piket di kelurahan, katanya ada yang menelpone, dan mengatakan bahwa Sri bisa kabur dari cengkeraman Basuki."

"Alhamdulillah..."

 

"Siapa mengabarkannya? seru Timan sambil menyetir.

"Sayangnya penjaga itu tidak menanyakan namanya, katanya seorang wanita," kata pak lurah lagi.

 

"Mungkinkan Sri?" tanya Bayu

"Ya itulah, karena sudah lewat jam kerja jadi saya tidak bisa menerimanya dan menjelaskannya. Penjaga itu juga hanya menerima pesannya. Katanya suruh bilang ke pak lurah bahwa Sri sudah bisa lolos dari cengkeraman Basuki. Cuma itu."

 

"Lumayan melegakan, tapi sekarang Sri dimana?"

"Itulah mas, informasi nggak jelas, jangan-jangan informasi bohong."

 

"Begini saja, Kita langsung lapor ke polisi."

"Sebaiknya begitu mas, tidak usah berandai-andai, kelamaan."

***

 

Basuki membuka matanya, tubuhnya terasa lemas, dengan bingung ia melihat kesekeliling, tak ada siapapun.

 

"Mery..." panggilnya pelan. Tak ada jawaban.

Basuki bangkit lalu duduk ditepi ranjang.

 

"Mery.. " dengan heran dia turun, dan terhuyung langkahnya menuju sofa.

 

Basuki mencoba mengingat ingat apa yang tadi terjadi. Ia merasa sedang bersama Mery, lalu Mery merayunya, lalu memberinya minum, lalu... apa yang dilakukannya?  Bajunya masih utuh, tak ada yang terbuka, berarti tak ada yang dilakukannya. Ranjang itu masih rapi tanpa kusut. Apa yang terjadi? Ia melihat kearah jam besar tang tegak disudut ruangan. 

"Astaga... jam empat lebih sepuluh menit.. ini sudah sore?"

 

Basuki memencet sesuatu dibawah meja, lalu muncul seorang pelayan. Dirumah itu setiap kamar memiliki pelayan masing-masing. Mana yang melayani Mery, mana yang melayani Basuki.

 

"Aku mau kopi panas, perintahnya."

Pelayan membungkuk dan berlalu. Sambil menunggu pelayan membawakan kopi yang dipesannya, Basuki mengingat ingat. Ia meraih ponselnya, ingin memanggil Mery, tapi ponsel itu mati..

 

"Oh ya, aku ingat, tadi Mery mematikannya karena katanya tak ingin diganggu," gumamnya sambil menyalakan lagi ponselnya.

 

Ia meneguk dulu kopi panasnya ketika pelayan datang membawakan pesanannya itu.

Ia memencet nomor Mery, tapi jawabannya adalah..'nomor yang anda panggil sedang dialihkan.'

 

"Gila Mery.  Tidurkah dia?"

Lalu pelayan yang hampir menutupkan pintu dipanggilnya.

 

"Coba panggilkan Mery," perintahnya.

"Tapi bu Mery pergi sejak siang tuan," jawab pelayan itu.

 

"Pergi?" mata Basuki  melotot.

"Sudah siang tadi, sama salah satu pelayan."

"Kemana dia pergi, mengapa tidak bilang?"

 

Basuki menenggak habis kopinya, lalu berdiri dan bergegas menuju kekamar Mery.

"Mengapa Sri ditinggalkannya? Sangat perlukah ?" gumamnya sambil berjalan.

 

Namun dengan terkejut didapatinya Sri tidak ada didalam.

"Sriii!!" teriaknya.

 

Lalu dia masuk kekamar mandi.

"Sriii !" teriaknya kalap, ketika tak didapatinya Sri dikamar mandi.

 

Basuki kembali menelpon Mery, tetap tak ada jawaban. Ponselnya mati. Basuki pergi kearah depan. Tapi penjaga didepan mengatakan hal yang sama. Mery pergi dengan salah seorang pelayan.

 

"Apa Mery menghianati aku??" Basuki semakin kalap.

Ditelponnya penjaga palang.

 

"Bu Mery pergi dengan salah seorang pelayan, sudah sejak siang tadi," jawaban yang sama dan membuat Basuki semakin geram.

 

"Mery menghianati aku!! Apa salahku? Perempuan laknat !! Yang dikira pelayan itu pastilah Sri.!!" Basuki berteriak-teriak, dan teriakannya menggema diseluruh ruangan, membuat para pelayan bergidik.

 

Ia kembali memasuki ruangan Mery dan mengobrak abrik hampir seluruh isi ruangan. Mery tak membawa alat-alat make up yang dibelikannya dengan harga mahal. Ia mengacak semua alat make up itu dan membuatnya berserakan dilantai. Gelas diatas meja juga berhamburan, hancur berkeping keping. 

 

Basuki membuka almari, masih banyak pakaian bergantung, sepatu masih penuh di rak, apa yang dibawanya? Dan apa maksudnya? Semua pakaian dikeluarkannya, sepatu, tas yang bagus dan semuanya keluaran luar negeri, dihambur-hamburkannya ke lantai.

 

"Bedebah ! Laknat! Penghianat kamu Mery !! Apa maksudmu !!"

Basuki mencoba menelpone lagi, 'nomor yang anda putar, salah"

 

"Orang gila!! Perempuan keparatt!!

Basuki bergegas kedepan. 

 

"Prii!! Kejar Mery dan bawa dia kembali!!" perintahnya kepada Supri, orang kepercayaan yang terkadang menjadi sopir pribadinya.

***

 

Basuki duduk diteras depan. Rambutnya awut-awutan. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun. Ancaman-ancaman mengerikan terbayang dikepalanya.

 

"Awas kamu Mery, kalau kamu kembali, akan aku hancurkan wajahmu, aku patahkan kaki tanganmu agar kamu tak bisa melakukan apa-apa."

 

Seorang pelayan membawakan minuman dingin, tapi dengan sebelah tangan Basuki memendorongnya sehingga nampan itu terjatuh dan gelas pecah berantakan.

Pelayan bergegas kebelakang untuk mencari alat pembersih pecahan kaca.

Basuki tak perduli, ia meninggalkan pelayan itu dan berjalan kembali kekamar. 

 

"Mana ponselku ?" teriaknya.

"Ada disini tuan," kata pelayan yang melihat ponsel majikannya terletak dimeja.

 

Basuki menghampiri ponselnya, mengambilnya dengan kasar, sehingga ponsel itu justru terpelanting jatuh.

 

"Setan !! Kamu juga mau aku hancurkan?" matanya mendelik kearah ponel yang dipungutnya.

 

Basuki hampir benar-benar membanting ponselnya ketika  tiba-tiba ponsel itu berdering.

Basuki memelototi ponsel itu dan melihat siapa yang menelpone.

 

"Herman ? Ada apa? Aku hampir memanggil kamu dan memaki-maki kamu !" hardiknya menjawab telephone itu.

 

"Ma'af, saya isterinya Herman."

"Kamu ? Mana Herman?"

 

"Saya ingin memberi tau, baru saja mas Herman ditangkap polisi."

Gemetar tangan Basuki menahan kemarahan yang tak terbendung.

 

***

besok lagi ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar