*KEMBANG TITIPAN 19*
Mery
berdebar, harusnya air dalam gelas itu diminum dulu, tapi ternyata malah ada
telephone, dan Basuki sepertinya marah-marah.
"Iya
aku tau, mengapa tidak kamu tanya siapa mereka, dan apa maksudnya? Apa?
Dia bilang temanku? Aku nggak punya teman. Mobilnya apa? Jok terbuka? Yaaah,
jangan-jangan dia, orang kampung yang namanya Timan. Baiklah, aku tunggu kamu,
kita bicara disini."
Sri yang
mendengar pembicaraan terakhir itu terkejut. Sepertinya entah siapa, atau mungkin
anak buahnya Basuki, bertemu Timan, atau apa, lalu bagaimana kelanjutannya? Sri
berdebar-debar. Bisakah Mery menanyakan masalah mobil colt terbuka itu, dan ada
apa?
Basuki
menutup pembicaraan itu dengan uring-uringan.
"Ada
apa?" tanya Mery.
"Ada
orang yang mencari-cari aku."
"Siapa?
"
"Dua
orang laki-laki, mengendarai mobil colt terbuka. Pasti si bocah dusun
itu," kata Basuki yang kemudian berdiri lalu beranjak keluar kamar.
"Bas,
kemana?"
"Menunggu
orang-orang, mau bicara didepan."
"Jadi..?"
"Sudah,
aku kehilangan selera. Lain kali saja," katanya sambil menuju pintu, lalu
keluar dan menutupkannya.
Sri
menghela nafas lega.
"Hm,
ada-ada saja... hampir kena dia."
"Cari
jalan lain saja mbak."
"Kamu
itu.. Kalau rencana kita itu berjalan, barangkali sekarang kita sudah ada
diperjalanan dan tak akan kembali lagi kemari."
Ada kecewa
karena belum bisa kabur, tapi ada lega karena Sri tak jadi berpura-pura suka
didekati Basuki.
"Lalu
apa mbak?"
"Tunggu
ada kesempatan lain."
"Semoga
jalannya juga lain, jangan sampai aku bersentuhan dengannya."
Mery
menghela nafas. Tampaknya ia menemukan cara lain. Kemudian ia memanggil pelayan
yang biasa melayaninya.
"Bawa
semua gelas kotor ini," perintah Mery.
"Ini
masih utuh bu?"
"Nggak
apa-apa, buang saja."
Pelayan
itu mengangguk dan membawa keluar dua atau tiga gelas yang sudah tidak
dipergunakan.
***
"Jangan
bodoh Herman, kamu itu ceroboh !"
"Tapi
saya tidak mengatakan apapun tuan, saya bilang tidak pernah bertemu tuan."
"Kamu
kira mereka tidak berbuat sesuatu?"
"Saya
keluar ketika mereka sudah pergi. Tidak mungkin mereka mengikuti saya sampai
kemari."
"Kamu
kira mereka tak melakukan sesuatu? Mereka mencatat plat nomor mobil kamu."
"Benarkah
?"
"Dengar
Herman, kalau sampai kamu ditangkap polisi, jangan sekali-kali melibatkan
aku, jangan bilang pernah bertemu aku. Kalau itu kamu lakukan, maka ingatlah
keluarga kamu. Kamu akan menyesal !" kata Basuki mengancam.
Herman
merinding. Basuki tak pernah membatalkan ancamannya. Basuki sangat kuat karena
tak pernah muncul disembarang tempat.
"Ya,
saya mengerti. Saya akan segera mengganti plat nomor mobil saya."
"Sudah
terlambat 'kali," kata Basuki kesal.
"Ah..
iya, benar.. tapi saya tak melihat mereka mencatat sesuatu."
"Mereka
tidak perlu mengatakan atau memperlihatkan, bagaimana mencatat plat nomor mobil
kamu."
Herman
terdiam. Ia tak percaya apa yang dikatakan Basuki.
"Kamu
boleh pergi, dan ingat apa yang aku katakan. Kamu tak pernah mengenal aku,
mengerti?"
"Baik,
saya mengerti."
***
Mobil
Timan kembali menyusuri sebuah jalan yang disekitarnya ditumbuhi tanaman
cengkeh. Udara sejuk terasa menembus kedalam mobil karena Timan dan Bayu memang
tak menutup jendela.
"Semoga
disini kita mendapatkan apa yang kita cari."kata Timan sedih.
"Mas
Timan tadi mencatat plat nomor mobil Herman kan?"
"Ya
mas.. sudah saya catat."
"Nanti
bisa kita jadikan bahan untuk melapor ke polisi. Mereka akan bisa menemukan
Herman dan mungkin bisa mengorek keterangan darinya."
"Tapi
harus hati-hati mas, kalau Basuki tau kita menghubungi polisi, keselamatan Sri
akan terancam."
"Ya,
nanti kita atur bagaimana sebaiknya. Polisi kan bisa bergerak diam-diam."
"Lihat
mas, didepan ada portal yang dijaga beberapa orang."
"Iya
benar, ada apa ya kira-kira?"
Timan
menghentikan mobil didepan portal yang dipalangkan. Seseorang mendekati mobil
Timan.
"Mau
kemana mas ?"
"Mau
kesana. Mm.. ada apa ya, kenapa jalannya dipalang?"
"Mas
tidak bisa terus, didepan ada tanah longsor."
"Oh,
tanah longsor?"
"Ada
jalan putar yang bisa langsung kesana?"
"Sebenarnya
mas mau kemana?"
"Mau..
mengunjungi teman saja. Tapi sebenarnya saya juga belum tau rumahnya sih, hanya
ancar-ancar saja."
"Rumah
siapa ya mas?"
"Namanya
Basuki..."
Orang itu
menatap Timan tajam.
"Bapak
tau? Rumahnya ada didepan sana kan ?"
"Tidak
ada. Saya penduduk sini dan mengetahui siapa saja yang tinggal disini. Nama
Basuki tidak dikenal. Barangkali mas salah mencatat alamat."
"Saya
kira tidak."
"Saya
minta ma'af, disini tidak ada nama itu. "
Timan
memandang kearah Bayu. Dan Bayu memberi isyarat untuk kembali saja.
"Kita
kembali?" tanya Timan.
"Sebaiknya
kembali, anda tak akan bisa meneruskan perjalanan kesana. Bahaya." kata
orang itu tadi.
TIman
memundurkan mobilnya, mencari tikungan untuk bisa memutar balik.
***
"Mas,
untunglah mas Mardi segera pulang, lihat ini." kata Marni kepada suaminya
sambil menunjukkan selembar amplop.
"Apa
ini ?"
"Dilempar
dipelataran sana. Seseorang memakai sepeda motor melemparkannya kemudian memacu
motornya pergi."
"Kamu
melihatnya?"
"Aku
kebetulan sedang berada didepan, tiba-tiba seorang pengendara motor lewat, tadi
nya cuma berjalan perlahan, lalu melempar sesuatu ke pelataran, habis itu
langsung dipacunya motornya, nggak tau pergi entah kemana. Itu surat yang
dilempar tadi, ada batu didalamnya."
"Ada
batu supaya bisa dilempar, kalau enggak ya pasti kabur terbawa angin,"
kata lurah Mardi sambil membuka amplop- itu. Selembar kertas bertulikan spidol
merah.
SAYA SUDAH
PERINGATKAN, JANGAN MELAPOR KE POLISI KALAU INGIN SRI SELAMAT.
"Apa
mas Bayu lapor ke polisi?" tanya Marni cemas.
"Dia
sama mas Timan mencari alamat yang aku berikan kemarin. Nanti saya hubungi, apa
dia sudah melapor ke polisi atau belum."
"Hebat
mas Bayu ya, bela-belain nggak masuk kerja hanya untuk menemani mas Timan,
sementara Lastri lagi ngidam."
"Benar,
persahabatan mereka sangat erat. Sebentar bu, aku ganti baju dulu lalu
menelpone mas Timan atau mas Bayu."
"Ya
mas, jangan sampai belum cuci kaki tangan sudah pegang-pegang anakmu."
"Iya..
iya, aku tau..." kata pak lurah sambil menjauh.
Marni
sangat gelisah. Sri dalam ancaman. Apa yang terjadi pada dirinya sekarang, tak
seorangpun tau. Tak ada yang bisa menghubungi, apalagi mengetahui dimana Sri
berada.
Tiba-tiba
ponsel Mardi berdering, Marni menghampirinya karena Mardi masih ada dibelakang.
Ternyata dari Lastri.
"Hallo
Tri, ini aku."
"Walah
yu, kang Mardi belum pulang?"
"Sudah,
lagi dikamar mandi. Bagaimana keadaanmu? Masih muntah-muntah terus ?"
"Tidak
yu.. beberapa hari ini anakku tidak rewel. Ada obat, dan hanya ingin yang
asem-asem. Kalau sudah makan rujak atau apalah, yang asem-asem gitu,
mualnya langsung hilang."
"Bagus
Tri, semoga selalu sehat ya. Oh ya, menelphone mas Mardi ada apa? Sebentar aku
lihat kebelakang, sudah selesai atau belum."
"Nggak
yu, sama saja sama yu Marni atau kang Mardi. Cuma mau nanya, mas Bayu kemari
nggak?"
"Enggak,
kan pergi sama mas Timan ?"
"Oh,
ya sudah yu, so'alnya dari tadi aku hubungi kok nggak bisa."
"Mungkin
didaerah pedesaan, nggak ada sinyal 'kali."
"Mungkin
yu."
"Kamu
nggak apa-apa ditinggal mas Bayu lama-lama?"
"Nggak
apa-apa yu, semuanya lagi prihatin memikirkan Sri, aku juga sedih yu, kasihan
dia itu."
"Iya,
tapi ingat lho Tri, kamu lagi hamil, jangan terlalu memikirkan yang
berat-berat. Nanti anakmu ikutan sedih lho."
"Masak
sih yu?"
"Iya,
bayi dalam kandungan itu selalu terpengaruh pada apa yang dipikirkan ibunya.
Jadi kamu jangan terlalu memikirkannya, karena kami semua juga sedang
berusaha."
Marni
sebenarnya ingin mengatakan tentang surat ancaman itu, tapi khawatir akan
menambah beban pikiran Lastri, jadi diurungkannya.
"Jadi
belum ada berita apa-apa ya yu?"
"Belum
Tri, kalau ada apa-apa pasti kamu aku kabari."
"Ya
sudah yu, aku cuma mau menanyakan itu, salam untuk kang Mardi ya."
"Iya,
nanti aku sampaikan."
Begitu
ponsel ditutup, Mardi muncul dari belakang.
"Mana
ponselku?"
"Ini,
barusan Lastri menelphone."
"Ada
apa?"
"Cuma
menanyakan suaminya, dikiranya ada disini."
"Kamu
nggak bilang tentang surat ancaman itu kan?"
"Nggak,
aku sudah tau, kalau aku bilang pasti akan menambah beban pikiran Lastri,
kasihan dia lagi hamil muda."
"Ya sudah,
aku mau menelphone mas Timan dulu."
"Tadi
Lastri bilang bahwa susah menghubungi mereka."
"Iya...
ini nggak bisa nyambung...lagi dimana mereka ya."
"Mungkin
didaerah yang agak masuk kedesa, lalu nggak dapat sinyal.."
"Mungkin
juga."
"Ya
sudah, makan dulu saja mas, nanti dicoba menelpone lagi."
"Tolong
simpan surat ancaman tadi bu, pada suatu hari nanti bisa dijadikan alat
bukti."
"Iya,
akan aku simpan mas."
***
"mBak,
apa yang harus kita lakukan ?" tanya Sri ketika dilihatnya Mery diam sejak
tadi. Tampaknya ada yang sedang difikirkannya.
"Tenang
saja Sri, aku sedang memikirkannya. Tampaknya kali ini Basuki sedang sibuk
dengan anak buahnya. Kabarnya jalan kearah rumah ini sudah dipasang palang
sehingga tak akan ada orang asing bisa masuk kemari."
"Dipasang
palang bagaimana?"
"Ada
penjaga yang berjaga diujung desa. Kalau ada orang asing yang mau masuk
disuruhnya kembali. Mereka disuruh berbohong dengan mengatakan jalan ditutup
karena ada tanah longsor."
"Padahal
tidak ?"
"Tidak,
itu perintah Basuki yang aku dengar, katanya setelah ada dua orang mencari-cari
Basuki di rumah Basuki yang lain."
"mBak,
tadi itu, aku dengar dua orang mengendarai pickup terbuka, jangan-jangan itu
mas Timan mencari aku ya yu."
"Mungkin
juga. Mobil itu ya.. yang aku ketemu kamu lalu aku ajak kamu pergi?"
"Iya
mbak, aduh.. gimana caranya bilang sama mas Timan bahwa aku ada disini ?"
"Kamu
tau nomor telephone pacar kamu itu?"
"Tidak
mbak, aku kan tidak punya ponsel. Mana bisa menghafal nomor kontak mas
Timan?"
Tiba-tiba
pintu diketuk dari luar. Sri menatap pintu dengan cemas.
"Bukan
Basuki, tak mungkin dia mengetuk pintu dulu sebelum masuk."
Mery
memencet sesuatu dibawah meja dan pintu itu terbuka. Seorang pelayan masuk,
tapi bukan yang biasanya. Ia mendorong meja kecil untuk makan siang.
"Kok
kamu? Mana yang biasanya melayani kamar ini ?" tanya Mery.
"Manto
tidur bu, seperti terkena bius, sudah sejak sejam yang lalu, kami mengusungnya
kekamarnya dan dia seperti orang mati."
Mery
terkejut. Jangan-jangan pelayan goblog itu minum minuman yang
sedianya mau diberikan pada Basuki.
"Dengar,
biarkan dia tidur dan jangan sampai hal ini terdengar oleh tuan Basuki,
mengerti?"
"Mengerti
bu."
Pelayan
itu pergi.
"Ada
apa mbak?"
"Pelayan
itu benar-benar bodoh, pasti dia meminum minuman yang sedianya harus diminum
Basuki, jadi dia pulas selama berjam-jam."
"Ya
ampun, mengapa mbak tidak membuangnya terlebih dulu?"
"Ya,
tidak terfikir olehku. Ayo makan dulu," kata Mery sambil mengambil piring
yang sudah disediakan.
"Nggak
mbak, aku nggak lapar."
"Kamu
jangan bandel, enak atau tidak, nyaman atau tidak perasaanmu, kamu harus
mengisi perutmu. Ingat, siapa tau kita bisa kabur hari ini. Dan kalau
kamu lemas lalu tak punya tenaga, bagaimana?"
Sri
menurut. Iming-iming untuk segera bisa kabur membuatnya kemudian meraih piring
dan mengisinya dengan sesendok nasi.
"Yang
banyak.."
***
Setelah
makan itu Mery memasuki kamar Basuki. Dilihatnya Basuki baru saja selesai
menelphone.
"Dari
siapa?"
"Orang-orang
yang berjaga mengatakan baru saja dua laki-laki dengan colt terbuka itu mau
masuk kemari."
Mery
terkejut.
"Apakah
itu colt terbuka milik.. calon suaminya Sri?"
"Haahh..
milik laki-laki dusun itu, bukan calon suaminya Sri, akulah calon
suaminya."
Mery
merasa batinnya teriris. Bertahun-tahun dia mengabdi, dan Basuki tak mau
mengambilnya sebagai isteri, sekarang dia mengatakan bahwa dirinya calon
suaminya Sri. Tapi tidak, Mery tak akan sakit hati, dia bertekat akan
menghilangkan rasa cintanya kepada Basuki. Laki-laki itu tak pantas dicintai.
Dia hanya mengejar nafsu dan merasa bahwa dirinyalah orang berkuasa.
Mery
tersenyum, atau tepatnya mencoba tersenyum.
"Kamu
nggak usah cemburu, bagi aku, kamu tetap nomor satu."
Kata-kata
itu selalu diperdengarkannya ditelinganya.
"Bagaimana
Sri, aduh.. aku sampai melupakannya, banyak urusan hari ini yang membuat aku
pusing. Menata ini, menata itu.."
"Sri
sudah pulas tertidur. Mungkin tadi dia menunggu kamu."
"Ahaa..
sayang sekali. Lakukan lagi malam nanti."
"Tapi
sekarang ini aku sedang ingin bersama kamu Bas."
"Benarkah
?"
"Aku
akan membuatkan minuman dulu untuk kamu ya."
"Baiklah.."
"Kamu
tiduran dulu saja, aku akan menyusulmu sambil membawakan minuman segar untuk
kamu." kata Mery sambil mendorong Basuki pelan kearah ranjangnya.
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAAN 20*
Mery
melangkah kearah bangku dimana berjajar sederet minuman kesukaan Basuki. Kamar
yang luas itu dilengkapi dengan semacam bar kecil, dimana ia bisa melepaskan
dahaga dengan memilih mana yang disukainya. Tapi Mery tidak hanya menuangkan
segelas minuman. Ada sesuatu yang tadi disembunyikan dibalik bajunya yang
kemudian dibubuhkan pada minuman itu., Kali ini ia harus berhasil.
Dengan
senyum paling manis yang pernah disunggingkan dibibirnya, Mery mendekati
Basuki. Basuki menatapnya sambil berbaring.
"Silahkan
sayang, bangunlah dulu, jangan seperti bayi dong," kata Mery sambil
mengacungkan minumannya.
"Aku
suka dilayani seperti bayi," canda Basuki. Mery hanya tersenyum, candaan
itu tak terasa lucu karena hatinya sedang berdebar.
Tiba-tiba
ponsel Basuki berdering.
"Jangan
hiraukan Bas, itu akan mengganggu keasyikan kita. Ayo minumlah dulu," kata
Mery sambil mendekatkan gelas diwajah Basuki. Basuki bangkit duduk.
"Jangan-jangan
penting," gumamnya.
"Adakah
yang lebih penting dari ini?" Mery merayu sambil mendekatkan tubuhnya.
Basuki
meneguk minuman yang diberikan Mery. Mery berdebar. Ia yakin usahanya akan
berhasil.
"Segar
sekali."
"Kamu
tampak sangat tampan, Taukah kamu bahwa aku sangat mencintai kamu?"
"Benarkah?
" Basuki tersenyum sambil mengelus rambut Mery.
"Kamu
saja yang tidak memperdulikan aku," kata Mery sambil berbaring disisi
Basuki.
Ponsel
itu berdering tak henti-hentinya.
"Ponselku.."
"Biarkan
saja, jangan sampai kesenangan kita terganggu , biar aku matikan ya," kata
Mery sambil kembali turun untuk mematikan ponsel itu.
Basuki
menatapnya dengan pandangan sayu.
"Mery..."
bisik Basuki.
"Sebentar..."
Mery
mematikan ponsel Basuki. Lalu ia kembali mendekati ranjang.
"Mengapa
kepalaku ini.." tiba-tiba Basuki memegangi kepalanya.
"Pusing?
Mengapa tiba-tiba pusing?" Mery mengelus kepala Basuki, Basuki meraih
tubuh Mery, tapi tiba-tiba Basuki terkulai lemas.
"Bas..."
"Hm..."
jawab Basuki pelan, ia mulai memejamkan matanya, tangannya terkulai.
"Apa
kamu sudah mampus?"
"Hm..."
suara itu semakin lemah. Lalu tubuh tegap itu terdiam.
Mery
merasa lega, bergegas ia keluar dari kamar dan menguncinya.
***
Sri
terkejut ketika tiba-tiba Mery muncul.
"Ayo
kita siap-siap," kata Mery.
"Apa?"
"Atau
kamu mau tetap tinggal disini?"
Mery
mengambil sebuah bungkusan dibawah bangku sofa.
"Ini,
kenakan pakaian ini dan jangan banyak bertanya," katanya sambil
melemparkan bungkusan itu.
Sri
menangkapnya, lalu membukanya.
"Baju..
seragam pelayan?"
"Pakailah
cepat sebelum dia tersadar."
Mery
mengenakan jacket, lalu meraih tas yang sejak tadi sudah disiapkannya.
"Dia
sudah... "
"Sudah
setengah mampus, ayo kita pergi."
"Pri,
siapkan mobilku didepan ya," pesannya kepada sopir Basuki.
Lalu
Sri dengan tergesa mengenakan baju pelayan. Hanya seperti jas berwarna putih
dengan setrip biru. Tak memakan waktu lama untuk mengenakannya. Ada topi
berwarna putih yang harus dikenakannya juga.
"Sekarang
?" tanyanya begitu selesai.
"Nggaaak,
bulan depan..!" kata Mery sambil melangkah menuju pintu.
Sri
bergegas mengikuti.. Sebelum membuka pintu Mery berpesan.
"Bersikaplah
biasa sampai menaiki mobilku, seakan akan kamu pelayan yang mengikuti majikan.
Jadi jalannya di belakangku dan jangan mengucapkan apapun. Jangan tampak gugup
dan jangan menoleh kesana kemari."
Aduuh,
banyak banget pesannya. Tapi Sri mencoba mengerti. Ia mengikuti keluar ketika
Mery sudah diluar.
"Bawakan
tasnya," katanya sambil mengulurkan tasnya. Tas agak besar yang berisi
pakaian yang tadi disiapkannya.
Sri
mencoba bersikap biasa. Ternyata dari kamar Mery untuk sampai didepan rumah
memerlukan waktu cukup lama. Rumah itu lumayan besar, dan beberapa kamar tampak
berjajar sebelum sampai ke teras. Entah untuk apa kamar-kamar itu. Diujung
teras seorang penjaga mengangguk hormat. Hm, benar-benar seperti pembesar. Dan
rasanya baru beberapa sa'at lalu Mery berpesan, mobil Mery sudah
siap didepan teras.
Mery
membuka pintu samping dan menyuruh Sri masuk kedalamnya, lalu dia sendiri
berjalan memutar untuk duduk dibelakang kemudi.
Mobir
melaju cepat keluar dari halaman rumah megah yang terletak jauh terpencil dari
keramaian.
Tapi
Mery sudah biasa melewatinya. Sebelum tampak perkebunan cengkeh didepan, Mery
benar-benar melihat palang yang menghalangi jalan. Mery membuka kaca mobil, dan
beberapa penjaga mengangguk. Mereka tau siapa Mery, kekasih dan tangan kanan
Basuki. Lalu dengan penuh hormat mereka membuka palang itu.
"Hati-hati
bu, beberapa jam yang lalu ada dua orang laki-laki mau memasuki daerah kita,
untung saya bisa melarangnya, lalu dia kembali,"
Mery
urung menjalankan mobilnya.
"Siapa
mereka?"
"Dua
orang laki-laki muda, mencari rumah tuan Basuki. Mereka mengendarai pickup
terbuka."
Sri
hampir saja memekikkan nama Timan, tapi Mery memelototinya.
"Ya
sudah, hati-hati kalian berjaga ya, jangan sampai ada yang bisa masuk kecuali
orang kita sendiri."
"Siap
bu."
Mery
menjalankan mobilnya. Tak bisa ia memacunya karena jalannya berbatu.
"Ya
ampun mbak, itu pasti mas Timan, dia hampir ketemu aku."
"Siapa
bilang? Dia nggak akan bisa masuk, kamu tau sendiri kan, banyak orang berjaga
disitu?"
"Iya
juga sih, lalu kemana dia sekarang ya mbak."
"Kalau
kamu tau nomor kontaknya, kita bisa menghubunginya."
"Sayangnya
tidak," keluh Sri sedih.
"Ya
sudah, toh kita sudah akan bertemu dia kan?"
Mobil
Mery terus menyusuri perkebunan cengkeh yang luas. Beberapa orang yang
kebetulan lewat, mengangguk hormat begitu melihat mobil Mery.
"mBak
Mery seperti ibu pejabat," gumam Sri.
"Hanya
seperti, sebentar lagi aku akan menjadi wanita biasa. Mungkin aku akan kembali
ke panti dimana dulu aku dibesarkan."
"Bagus
mbak, barangkali mbak Mery akan lebih merasa tenang disana."
"Aku
ingin kembali mengenal Tuhan, sudah lama aku melupakannya."
"Syukurlah
mbak."
"Kamu
tau bagaimana menguhungi lurah desamu ?"
"Mestinya
di kantor kelurahan mbak."
"Nanti
kalau sudah keluar dari area ini aku akan mengabarkan kepada lurah desa agar
tau bahwa kamu sudah bebas. Mereka harus segera melapor ke polisi, dan tak
perlu takut akan ancaman Basuki."
"Basuki
mengancam apa?"
"Ya,
dia mengancam akan mencelakai kamu kalau mereka berani lapor polisi."
"Oh,
ya Tuhan..."
Mobil
melaju, ketika jalanan berbatu sudah lewat, tapi mereka masih berada
dilingkungan perkebunan itu.
"Kita
sudah bebas?" tanya Sri dengan mata berbinar.
"Hampir.
Masih jauh kita berjalan untuk mencapai kota."
Sri
bernafas lega.
"Boleh
aku lepas pakaian pelayan ini?"
"Lepas
saja, sudah nggak ada gunanya.Tapi kita belum aman benar, perkebunan ini milik
Basuki, dan orang-orang Basuki ada disekitar sini. Untungnya mereka mengenal
aku. Selama Basuki belum sadar, kmudian menginstruksikan agar kita dihentikan,
kita aman, karenanya begitu memasuki kota mobil ini akan aku tinggalkan."
"Ditinggalkan?"
"Ya,
aku tidak butuh mobil lagi. Dan dengan mobil ini akan gampang Basuki menemukan
aku lalu aku dibantainya."
Merinding
Sri mendengarnya.
"Tenangkan
hatimu, kamu akan segera bertemu calon suami kamu."
"Aku
boleh memakai jacketnya? Pakaian ini terlalu terbuka, risih rasanya kalau nanti
kita sampai ditempat yang banyak orang."
"Ada
jacket didalam tas, ambillah."
***
Timan
mengendarai mobilnya dengan perasaan yang mengharu biru. Rasa khawatir akan
keselamatan Sri terus menghantui dirinya.
"Sekarang
ada sinyal mas.." seru Bayu ketika mereka menyusuri jalanan menuju
kota.
"Iya,
dari tadi macet."
"Beberapa
telephone tak terjawab dari pak lurah. Dan ada pesan singkat nih."
"Apa
pesannya mas?" tanya Timan.
BASUKI
MELEMPARKAN SURAT ANCAMAN LAGI
"Nah,
ini pak lurah memfoto surat ancaman itu. Kurangajar bandit yang satu ini."
Surat
ancaman dari Basuki terbaca oleh Bayu dengan geram.
"Kalau
kita melapor polisi keselamatan Sri akan terancam. Dia mengingatkannya lagi,
atau sudah ada yang melapor bahwa kita mencari-cari dia?"
"Aku
curiga pada Herman."
"Benar,
dia tampak tak suka melihat kita datang. Dan dia bilang belump ernah bertemu
Basuki sementara dia adalah anak buahnya. Percaya mas?"
"Aku
nggak percaya."
"Nanti
aku akan bicara dengan teman dikepolisian, mungkin plat nomor itu bisa kita
pergunakan untuk mencari orangnya kemudian memaksanya untuk mengaku."
"Saya
sudah tak sabar mas, takut Sri kenapa-kenapa."
"Sama
mas, saya juga prihatin nih."
Tapi
tiba-tiba ponsel Bayu berdering.
"Dari
pak lurah."
Bayu
membuka ponselnya, dan memencet speaker agar Timan juga bisa mendengarnya.
"Hallo
pak lurah,"
"Susah
menghubungi mas Bayu sama mas Timan."
"Iya,
tadi tidak ada sinyal. Baru saja membuka pesan pak lurah."
"Syukurlah,
ini tadi saya mendapat pesan dari penjaga piket di kelurahan, katanya ada yang
menelpone, dan mengatakan bahwa Sri bisa kabur dari cengkeraman Basuki."
"Alhamdulillah..."
"Siapa
mengabarkannya? seru Timan sambil menyetir.
"Sayangnya
penjaga itu tidak menanyakan namanya, katanya seorang wanita," kata pak
lurah lagi.
"Mungkinkan
Sri?" tanya Bayu
"Ya
itulah, karena sudah lewat jam kerja jadi saya tidak bisa menerimanya dan
menjelaskannya. Penjaga itu juga hanya menerima pesannya. Katanya suruh bilang
ke pak lurah bahwa Sri sudah bisa lolos dari cengkeraman Basuki. Cuma
itu."
"Lumayan
melegakan, tapi sekarang Sri dimana?"
"Itulah
mas, informasi nggak jelas, jangan-jangan informasi bohong."
"Begini
saja, Kita langsung lapor ke polisi."
"Sebaiknya
begitu mas, tidak usah berandai-andai, kelamaan."
***
Basuki
membuka matanya, tubuhnya terasa lemas, dengan bingung ia melihat kesekeliling,
tak ada siapapun.
"Mery..."
panggilnya pelan. Tak ada jawaban.
Basuki
bangkit lalu duduk ditepi ranjang.
"Mery..
" dengan heran dia turun, dan terhuyung langkahnya menuju sofa.
Basuki
mencoba mengingat ingat apa yang tadi terjadi. Ia merasa sedang bersama Mery,
lalu Mery merayunya, lalu memberinya minum, lalu... apa yang
dilakukannya? Bajunya masih utuh, tak ada yang terbuka, berarti tak ada
yang dilakukannya. Ranjang itu masih rapi tanpa kusut. Apa yang terjadi? Ia
melihat kearah jam besar tang tegak disudut ruangan.
"Astaga...
jam empat lebih sepuluh menit.. ini sudah sore?"
Basuki
memencet sesuatu dibawah meja, lalu muncul seorang pelayan. Dirumah itu setiap
kamar memiliki pelayan masing-masing. Mana yang melayani Mery, mana yang
melayani Basuki.
"Aku
mau kopi panas, perintahnya."
Pelayan
membungkuk dan berlalu. Sambil menunggu pelayan membawakan kopi yang
dipesannya, Basuki mengingat ingat. Ia meraih ponselnya, ingin memanggil Mery,
tapi ponsel itu mati..
"Oh
ya, aku ingat, tadi Mery mematikannya karena katanya tak ingin diganggu,"
gumamnya sambil menyalakan lagi ponselnya.
Ia
meneguk dulu kopi panasnya ketika pelayan datang membawakan pesanannya itu.
Ia
memencet nomor Mery, tapi jawabannya adalah..'nomor yang anda panggil sedang
dialihkan.'
"Gila
Mery. Tidurkah dia?"
Lalu
pelayan yang hampir menutupkan pintu dipanggilnya.
"Coba
panggilkan Mery," perintahnya.
"Tapi
bu Mery pergi sejak siang tuan," jawab pelayan itu.
"Pergi?"
mata Basuki melotot.
"Sudah
siang tadi, sama salah satu pelayan."
"Kemana
dia pergi, mengapa tidak bilang?"
Basuki
menenggak habis kopinya, lalu berdiri dan bergegas menuju kekamar Mery.
"Mengapa
Sri ditinggalkannya? Sangat perlukah ?" gumamnya sambil berjalan.
Namun
dengan terkejut didapatinya Sri tidak ada didalam.
"Sriii!!"
teriaknya.
Lalu
dia masuk kekamar mandi.
"Sriii
!" teriaknya kalap, ketika tak didapatinya Sri dikamar mandi.
Basuki
kembali menelpon Mery, tetap tak ada jawaban. Ponselnya mati. Basuki pergi
kearah depan. Tapi penjaga didepan mengatakan hal yang sama. Mery pergi dengan
salah seorang pelayan.
"Apa
Mery menghianati aku??" Basuki semakin kalap.
Ditelponnya
penjaga palang.
"Bu
Mery pergi dengan salah seorang pelayan, sudah sejak siang tadi," jawaban
yang sama dan membuat Basuki semakin geram.
"Mery
menghianati aku!! Apa salahku? Perempuan laknat !! Yang dikira pelayan itu
pastilah Sri.!!" Basuki berteriak-teriak, dan teriakannya menggema
diseluruh ruangan, membuat para pelayan bergidik.
Ia
kembali memasuki ruangan Mery dan mengobrak abrik hampir seluruh isi ruangan.
Mery tak membawa alat-alat make up yang dibelikannya dengan harga mahal. Ia
mengacak semua alat make up itu dan membuatnya berserakan dilantai. Gelas
diatas meja juga berhamburan, hancur berkeping keping.
Basuki
membuka almari, masih banyak pakaian bergantung, sepatu masih penuh di rak, apa
yang dibawanya? Dan apa maksudnya? Semua pakaian dikeluarkannya, sepatu, tas
yang bagus dan semuanya keluaran luar negeri, dihambur-hamburkannya ke lantai.
"Bedebah
! Laknat! Penghianat kamu Mery !! Apa maksudmu !!"
Basuki
mencoba menelpone lagi, 'nomor yang anda putar, salah"
"Orang
gila!! Perempuan keparatt!!
Basuki
bergegas kedepan.
"Prii!!
Kejar Mery dan bawa dia kembali!!" perintahnya kepada Supri, orang
kepercayaan yang terkadang menjadi sopir pribadinya.
***
Basuki
duduk diteras depan. Rambutnya awut-awutan. Kemarahannya sudah sampai di
ubun-ubun. Ancaman-ancaman mengerikan terbayang dikepalanya.
"Awas
kamu Mery, kalau kamu kembali, akan aku hancurkan wajahmu, aku patahkan kaki
tanganmu agar kamu tak bisa melakukan apa-apa."
Seorang
pelayan membawakan minuman dingin, tapi dengan sebelah tangan Basuki
memendorongnya sehingga nampan itu terjatuh dan gelas pecah berantakan.
Pelayan
bergegas kebelakang untuk mencari alat pembersih pecahan kaca.
Basuki
tak perduli, ia meninggalkan pelayan itu dan berjalan kembali kekamar.
"Mana
ponselku ?" teriaknya.
"Ada
disini tuan," kata pelayan yang melihat ponsel majikannya terletak dimeja.
Basuki
menghampiri ponselnya, mengambilnya dengan kasar, sehingga ponsel itu justru
terpelanting jatuh.
"Setan
!! Kamu juga mau aku hancurkan?" matanya mendelik kearah ponel yang
dipungutnya.
Basuki
hampir benar-benar membanting ponselnya ketika tiba-tiba ponsel itu
berdering.
Basuki
memelototi ponsel itu dan melihat siapa yang menelpone.
"Herman
? Ada apa? Aku hampir memanggil kamu dan memaki-maki kamu !" hardiknya
menjawab telephone itu.
"Ma'af,
saya isterinya Herman."
"Kamu
? Mana Herman?"
"Saya
ingin memberi tau, baru saja mas Herman ditangkap polisi."
Gemetar
tangan Basuki menahan kemarahan yang tak terbendung.
***
besok
lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar