*KEMBANG
TITIPAN 17*
Air masih
mengucur deras, rintih dan tangisnya terhenti, berganti rasa was-was akan
bahaya yang mengancamnya. Ia menoleh kekiri kanan, dan mencoba mencari sesuatu
yang barangkalibisa dipergunakan untuk membela diri. Tapi tak ada apapun
disana, ada sikat dengan gagang yang tak begitu panjang, disudut yang
tersembunyi.
Sri
mematikan keran, lalu mendengat ketukan semakin keras. Ia melangkah kearah
sikat itu dan memegangnya erat. Asal saja dipegangnya, walau tak yakin apakah
sikat itu bisa melindunginya. Sri mendekat kearah pintu. Ia sudah mengenakan
kimono dan menalikannya erat.Lalu lamat terdengar suara memanggilnya.
"Sri..
kamu masih hidup kan?"
Sri
bernafas lega, itu suara Mery. Ia meletakkan sikat itu kembali ketempatnya,
lalu berjalan kepintu dan membukanya.
"Lama
sekali,.." kata Mery sambil menuntun Sri keluar.
"Ganti
pakaianmu, sekarang aku mau mandi," kata Mery yang sudah melepas hampir
seluruh pakaiannya dan hanya membalutkan handuk ditubuhnya, lalu berjalan
kearah kamar mandi dan menguncinya.
Sri
mengamati baju yang disiapkan Mery, dan mengenakannya tergesa-gesa. Ia takut
kalau tiba-tiba seseorang masuk dan melihatnya setengah telanjang.
"Aduuh...
mengapa baju ini terbuka sekali?" Belahan dada sangat lebar dan Sri tidak
suka. Tapi tak ada yang lain, Sri ingin membuka almari dimana tadi Mery
mengambilnya, tapi tidak berani.
Akhirnya
tetap dipakainya sambil ditariknya agak kebelakang. Nanti kalau Mery selesai
mandi ia akan minta agar Mery memberikan yang lain.
Lalu Sri
menuju kedepan kaca, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang sebatas lutut.
Ada bermacam alat make up disitu, tapi Sri tak menyentuhnya. Yang mana bedak,
yang mana alas bedak saja Sri tidak tau. Lalu Sri duduk disofa, sambil
sebentar-sebentar matanya menatap kearah pintu. dengan rasa khawatir.
"Mas
Timaaan, aku disini mas, tolong akuu..." rintihnya lirih, lalu matanya
kembali berlinang.
Lalu Sri
berjalan kearah jendela. Angin pagi menerobos masuk ketika korden disilangkan.
Rambut Sri yang masih basah tergerai dan dibiarkan angin mengelusnya. Remang
pagi itu memberikan bayang-bayang dedaunan yang melambai . Sri memegangi jeruji
besi yang menutup jendela itu. Ia mencoba menggoyangkannya, tak bergeming.
Basuki membuat teralis yang kokoh melingkupi jendela kamar itu. Barangkali ia
sudah menduga kalau suatu sa'at akan ada perempuan yang kabur karena tidak suka
pada perlakuannya.
"Mas
Timan... semoga angin ini membawa pesanku... bahwa aku ada disini.. "
bisiknya sendu.
Bau harum
yang menyeruak tercium, Sri menoleh, Mery keluar dari kamar mandi dengan
menyarungkan kanduk pada tubuhnya. Sedikit dada yang tertutup,. Sri merinding.
Ia tak akan sampai hati melakukannya. Sesuatu yang harus ditutupi, tak harus
terbuka agar orang lain bisa menikmatinya.
"mBak,
aku nggak mau baju yang ini," kata Sri begitu Mery membuka almari.
"Apa?"
Mery menoleh heran.
"Ini,
aku nggak mau, belahannya terlalu rendah," kata Sri sambil menunjuk kearah
dadanya.
"Oh,
ya ampuun..."
Lalu
Sri membuka-buka baju yang berderet digantungan. Hampir semuanya tak
disukai Sri.
"Aku
mau bajuku sendiri saja.."
"Kan
aku sudah bilang bahwa bajumu sudah aku buang?"
Sri merasa
kesal. Lalu dilihatnya selembar scraft tersampir, Sri mengambilnya.
Ditalikannya kedua ujungnya dan dibiarkannya bagian yang lebar terletak
didepan.
"Nah,
ini bagus." Sri menata bajunya agar berada diluar scraft itu. Dan selesai,
bagaian yang terbuka tak tampak lagi.
Mery
tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Gadis
desa ini sangat santun.." bisiknya dalam hati.
Mery
selesai berdandan, sedikit lama, lalu wajahnya sudah terpoles oleh bedak dan
kawan-kawannya. Memang Mery cantik. Tanpa make up pun sudah cantik.
Lalu Mery
melambaikan tangannya kearah Sri.
"Sini
aku dandanin.."
Sri
menggeleng. Kalau kemarin dia menurut itu karena dia berada dalam kondisi
setengah sadar.. Tapi kini ia sudah sadar sesadar-sadarnya.
"Sini...!
ulang Mery.
"Nggak,
aku begini saja."
"Ya
sudah, bedak sama lipstick tipis saja dan.."
"Aku
begini saja."
Mery
membiarkannya.
Lalu
keduanya duduk diatas sofa.
"Membosankan
bukan?"
"Biarkan
aku pergi, tolonglah aku mbak.."
Mery
menghela nafas.
"Mas
Timan .... aku disini..." rintih Sri lagi.
"Mas
Timan mencintai kamu?"
"Dia
melakukan apa saja untuk aku. Bukan hanya tenaga, juga harta.. Ia ingin
menggantikan uang yang telah dibayarkan Basuki untuk melunasi hutang ayahku,
tapi Basuki menolak."
"Walau
nilainya sangat banyak?"
Sri
megangguk. Lalu Sri juga bercerita tentang ayahnya yang ditahan gara-gara
memukul orang, dan Timan menyelesaikan semua urusan dengan membayar semua
beaya."
"Itukah
cinta?"
"Bukan
pengorbanan uangnya, tapi perhatian dan kasih sayang yang ada."
"Kamu
pernah tidur bersamanya?" Pertanyaan ini membuat Sri terperanjat.
"Bagaimana
mungkin tidur bersama lawan jenis yang belum menjadi suami isteri? Itu tidak
boleh, tidak benar."
"Siapa
melarang?"
"Norma
susila yang ada dinegeri ini bukan ? Saya orang desa, tapi saya sering melihat
dan membaca. Saya mengerti mana yang bisa dan benar dilakukan, dan mana yang
tidak."
Mery
terbelalak. Dia tau semuanya karena ketika di panti ada pelajaran budi pekerti
dan tata susila. Tapi Basuki merusak semuanya. Pesonanya membuat dia lupa
segala-galanya, dan membuatnya mengabdi sepenuh hati. Dia mengira itu jugalah
yang dilakukan Timan dan Sri. Ternyata tidak ya?
Terdengar
pintu diketuk, lalu terbuka, Sri kehilangan ketenangannya ketika berbincang
dengan Mery., berganti rasa emas yang menyesak dadanya. Tapi yang datang
adalah pelayan dengan mendorong meja, seperti semalam, berisi makanan dan
minuman.
"Sa'atnya
makan pagi," kata Mery.
Sri
menyandarkan tubuhnya. Sungguh ia tak memiliki selera makan. Hidupnya serasa
diujung tanduk. Ia merasa, Mery mengajaknya berbincang agar dia melupakan
kecemasan yang terus menderanya. Terkadang sedikit terlupa, tapi kembali ia
menyadari keberadaannya yang seakan sebagai pesakitan. Seperti sekarang ini. Ia
teringat kata Mery bahwa semalam Basuki tak akan mengganggunya, tapi ini sudah
esok hari. Setiap sa'at Basuki akan datang.
"Makanlah.."
kata Mery ketika pelayan itu pergi.
Tapi Sri
tak menjawabnya. Kecemasan mulai menggerayangi jiwanya. Ia diam tak bergerak
dan tak ingin menyentuh nasi goreng udang yang dihidangkan diatas meja.
"Sri..
makan saja, dan tenangkan hatimu."
Dari
kemarin selalu kata 'tenang' itu yang dilontarkan Mery. Bagaimana dia bisa
tenang? Tiba-tiba Sri melihat ada buah apel terletak dimeja itu. Bukan buah
apelnya yang membuatnya tertarik, tapi pisau yang ada disebelahnya.
Sri
pura-pura mengambil sebutir apel berikut pisaunya. Ia mengiris sedikit apel,
mengunyahnya pelan, tapi tidak mengembalikan pisau itu ketempatnya. Sri merasa
bahwa pisau itu akan ada gunanya.
***
Bayu
merasa kasihan melihat Timan datang dengan wajah lesu.
"Mas
Timan, semua yang terjadi harus dihadapi dengan tenang. Jangan sedih, kami
semua akan membantu."
"Pak
lurah memberikan tiga buah alamat yang katanya milik Basuki, tapi tak
seorangpun diantara penjaga itu yang tau dimana sebenarnya Basuki
menetap."
"Benar,
kabarnya Basuki memiliki banyak rumah dan banyak perusahaan. Tapi tempat
tinggalnya yang jelas tidak ada yang tau."
"Saya
bingung mas, kalau lapor polisi nanti Sri di apa-apain, atau bisa juga nyawanya
terancam, kalau tidak lapor, bagaimana.."
"Saya
sudah menghubungi teman saya, polisi akan bergerak diam-diam. "
"Tapi
bisakah kita menemukan dimana dia menyembunyikan Sri?"
"Pasti
nanti bisa. Tunggu, ini ada pesan singkat dari pak lurah."
Bayu
membuka pesan itu.
"Lihat
mas, pak lurah mengabarkan ada tiga rumah lagi yang belum pernah
didatangi. Aku akan mengantar mas Timan kesana. Ini ada alamatnya, tapi
hanya nama desanya. Rupanya beberapa rumahnya ada di pedesaan."
"Saya
mau kesana sekarang saja."
"Jangan
sendirian mas, saya akan mengajak beberapa teman. Sebentar saya akan menelpone
nya."
Timan
berdebar. Dia berharap disalah satu tempat itu dia bisa menemukan Sri.
"Tapi
kita harus ber-hati-hati, karena sedikit saja Basuki mengetahui bahwa kita
sedang mengejarnya, nyawa Sri jadi taruhannya."
Meremang
bulu kuduk Timan.
***
Mery
memasuki kamar Basuki karena Basuki memanggilnya. Tapi kali itu Mery langsung
duduk disofa, tidak perlu memeluk dan menciumnya seperti yang biasa dia
lakukan. Basuki heran, ada yang aneh pada kekasihnya.
"Ada
apa?"
"Kamu
yang memanggil aku, harusnya aku yang bertanya."
"Kamu
datang tanpa mencium aku."
"Aku
lelah sekali, semalam tidak bisa tidur," katanya sambil menyandarkan
kepalanya disandaran sofa.
"Bagaimana
dia?"
"Apanya
yang bagaimana? Dia baik-baik saja, hanya nangis ingin pulang."
Basuki
tersenyum.
"Dia
tak akan pulang.Dia milikku, dia lain daripada yang lain, aku harus
mendapatkannya," kata Basuki sambil tersenyum. Senyuman iti tiba-tiba
tampak sama sekali tak menarik seperti biasanya.
Mery
menatap Basuki. Heran, ada cemburu yang menyesak dadanya.Mengapa aku ini? Kata
batin Mery. Apakah karena perbincangannya dengan Sri?
"Aku
tak tahan lagi...gemas setiap kali melihatnya." gumam Basuki tanpa menatap
Mery.
Wajah Mery
muram, ia ingin menangis. Haa... menangis? Sejak kapan aku memiliki air mata?
kata batin Mery lagi. Air mata itu baru mengambang dimatanya, dan membuat
dadanya sedikit sesak. Laki-laki ganteng ini dicintainya setengah mati, dan
sekarang mendengar dia tak tahan lagi untuk memiliki perempuan lain?
"Mery,
kamu sakit?" tanya Basuki ketika melihat Mery tak bereaksi.
"Sakit..
" bisiknya pelan.
"Haa..
ini luar biasa... kekasihku bisa sakit?"
Mery tak
menjawab. Tapi Basuki seperti tak memperdulikannya mendengar dia mengeluh
sakit. Minumlah obat misalnya, tidak sama sekali. Batin Mery teriris. Ini
perasaan yang luar biasa.
"Dengar
Mery. Bagaimana caranya terserah kamu.. tapi aku ingin hari ini
terlaksana," kata Basuki tandas sambil menyerahkan sebuah botol kecil
kepada Mery.
Mery
menerimanya dengan mata terpejam. Kepalanya masih terkulai di sandaran sofa.
"Heiii...
buka matamu...," kata Basuki sambil mengacak rambut Mery
"Kalau
kamu berhasil, aku akan mengajak kamu jalan-jalan keluar negri."
Biasanya
kalau mendengar iming-iming seperti itu, Mery pasti langsung bersemangat, tapi
tidak kali itu.
"Sekarang
kamu boleh kembali. Urus dia baik-baik dan jangan mengecewakan aku."
Mery
berdiri dan keluar dari kamar dengan langkah gontai.
***
Sri
gelisah dikamar sendiri.
"Mas
Timaaan... " ia merintih tak henti-hentinya sambil berdiri didepan jendela
kamar.
"Wahai
angin, sampaikan kepada kekasihku, bahwa aku ada disini..." bisiknya lagi.
Terdengar
pintu terbuka, Sri meraba sesuatu yang disimpan didalam sakunya. Pisau pengiris
apel itu. Tapi yang muncul adalah Mery.
Mery
membanting tubuhnya begitu saja diatas sofa.
Sri
mendiamkannya.
Mery
merasa dirinya bukanlah Mery yang sebelumnya. Ia punya rasa yang aneh, ingin
menangis, ingin berteriak sekerasnya karena marah.
Dan
tiba-tiba juga ia kemudian menangis. Menumpahkan air mata yang tadi ditahannya.
Sri
membalikkan tubuhnya ketika mendengar isak tertahan, dan dengan heran melihat
Mery menangis. Betapapun sedih hati Sri, ia tetap tak sampai hati melihat orang
lain menangis.
"Ada
apa?"
"Sri,
aku senang bisa menangis.."
Sri
menatap heran.
"Aku
ternyata juga manusia, punya hati dan rasa."
Sri tak
mengerti, ia mendekat dan duduk didepan Mery.
"Setelah
bertemu kamu, aku benar-benar menjadi manusia."
"Apa?"
"Aku
tidak pernah sedih, tidak pernah kecewa, dan tidak pernah mengeluarkan air
mata. Tapi sekarang aku merasakannya."
Mery
mengusap air matanya, lalu meletakkan sebotol kecil yang entah berisi apa,
diatas meja.
"Itu
apa?"
"Itu
obat perangsang."
Sri
menggeser tubuhnya menjauh dari Mery. Wajahnya pucat pasi. Akhirnya hal itu
akan terjadi, diberinya dia obat agar memenuhi semua keinginan Basuki.
Mery
melihat ketakutan diwajah Sri, dan tiba-tiba juga ia merasa tak rela Basuki
melakukannya.
"Aku
mohon, jangan lakukan itu. Aku memiliki cinta dari calon suamiku, dan aku akan
menjaganya."
Alangkah
indahnya cinta Sri, dan Mery tidak memilikinya. Tiba-tiba ia merasa benci
kepada Basuki. Sangat benci.
"Sri,
aku mendapat perintah untuk meminumkan obat ini .."
"Untuk
aku ?"
Mery
mengangguk. Sri berdiri, menjauh. Wajahnya pucat, air mata mengucur deras, membasahi
pipinya.
"Sri,
aku harus melakukannya, karena kalau tidak aku bisa dihukum berat."
"Tolong
aku.. tolong aku mbak.." rintihnya.
"Kamu
takut?"
"Kalau
dia melakukannya, lebih baik aku mati," kata Sri setengah berteriak.
Mery
terpana, demi menjaga kehormatan, Sri rela mati. Lalu apakah dirinya yang
dengan suka rela menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki yang sesungguhnya hanya
mempergunakannya sebagai pemuas nafsu? Ia harus mati beribu-ribu kali.
Mery
nerdiri, melangkah mendekati Sri. Sri mundur beberapa langkah.
"Jangan
mendekat. Mbak mau memaksa aku agar minum obat itu? Sebelum mbak melakukannya
aku akan bunuh diri." Sambil menangis Sri mengeluarkan pisau dari dalam
sakunya.
Mery
terkejut. Ini benar-benar diluar dugaannya.
"Mengapa
ketakutan Sri, aku tidak membawa obat itu, lihat masih diatas meja."
Sri
menatap botol kecil itu, lalu membiarkan Mery mendekatinya. Sri heran ketika
Mery memeluknya.
"Sri,
aku belajar menjadi manusia dari kamu. Aku merasa hina, kotor dan nista,"
bisik Mery ditelinga Sri.
Sri heran,
belajar apa yang dimaksud Mery?
"Jangan
takut Sri, aku tak akan melakukannya."
Sri
mendorong tubuh Mery, dan menatap kesungguhan pada matanya.
"Benarkah
?"
“Ayo
duduk, dan mari kita berencana memperdaya Basuki.”
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar