Jumat, 15 Mei 2020

Kembang Titipan 17-18


*KEMBANG TITIPAN  17*

Air masih mengucur deras, rintih dan tangisnya terhenti, berganti rasa was-was akan bahaya yang mengancamnya. Ia menoleh kekiri kanan, dan mencoba mencari sesuatu yang barangkalibisa dipergunakan untuk membela diri. Tapi tak ada apapun disana, ada sikat dengan gagang yang tak begitu panjang, disudut yang tersembunyi.

Sri mematikan keran, lalu mendengat ketukan semakin keras. Ia melangkah kearah sikat itu dan memegangnya erat. Asal saja dipegangnya, walau tak yakin apakah sikat itu bisa melindunginya. Sri mendekat kearah pintu. Ia sudah mengenakan kimono dan menalikannya erat.Lalu lamat terdengar suara memanggilnya.

"Sri.. kamu masih hidup kan?"
Sri bernafas lega, itu suara Mery. Ia meletakkan sikat itu kembali ketempatnya, lalu berjalan kepintu dan membukanya.

"Lama sekali,.." kata Mery sambil menuntun Sri keluar.
"Ganti pakaianmu, sekarang aku mau mandi," kata Mery yang sudah melepas hampir seluruh pakaiannya dan hanya membalutkan handuk ditubuhnya, lalu berjalan kearah kamar mandi dan menguncinya.

Sri mengamati baju yang disiapkan Mery, dan mengenakannya tergesa-gesa. Ia takut kalau tiba-tiba seseorang masuk dan melihatnya setengah telanjang.

"Aduuh... mengapa baju ini terbuka sekali?" Belahan dada sangat lebar dan Sri tidak suka. Tapi tak ada yang lain, Sri ingin membuka almari dimana tadi Mery mengambilnya, tapi tidak berani.
Akhirnya tetap dipakainya sambil ditariknya agak kebelakang. Nanti kalau Mery selesai mandi ia akan minta agar Mery memberikan yang lain.

Lalu Sri menuju kedepan kaca, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang sebatas lutut. Ada bermacam alat make up disitu, tapi Sri tak menyentuhnya. Yang mana bedak, yang mana alas bedak saja Sri tidak tau. Lalu Sri duduk disofa, sambil sebentar-sebentar matanya menatap kearah pintu. dengan rasa khawatir.

"Mas Timaaan, aku disini mas, tolong akuu..." rintihnya lirih, lalu matanya kembali berlinang.

Lalu Sri berjalan kearah jendela. Angin pagi menerobos masuk ketika korden disilangkan. Rambut Sri yang masih basah tergerai dan dibiarkan angin mengelusnya. Remang pagi itu memberikan bayang-bayang dedaunan yang melambai . Sri memegangi jeruji besi yang menutup jendela itu. Ia mencoba menggoyangkannya, tak bergeming. Basuki membuat teralis yang kokoh melingkupi jendela kamar itu. Barangkali ia sudah menduga kalau suatu sa'at akan ada perempuan yang kabur karena tidak suka pada perlakuannya. 

"Mas Timan... semoga angin ini membawa pesanku... bahwa aku ada disini.. " bisiknya sendu.

Bau harum yang menyeruak tercium, Sri menoleh, Mery keluar dari kamar mandi dengan menyarungkan kanduk pada tubuhnya. Sedikit dada yang tertutup,. Sri merinding. Ia tak akan sampai hati melakukannya. Sesuatu yang harus ditutupi, tak harus terbuka agar orang lain bisa menikmatinya.

"mBak, aku nggak mau baju yang ini," kata Sri begitu Mery membuka almari.
"Apa?" Mery menoleh heran.

"Ini, aku nggak mau, belahannya terlalu rendah," kata Sri sambil menunjuk kearah dadanya.
"Oh, ya ampuun..." 

Lalu Sri  membuka-buka baju yang berderet digantungan. Hampir semuanya tak disukai Sri. 
"Aku mau bajuku sendiri saja.."
"Kan aku sudah bilang bahwa bajumu sudah aku buang?"

Sri merasa kesal. Lalu dilihatnya selembar scraft tersampir, Sri mengambilnya. Ditalikannya kedua ujungnya dan dibiarkannya bagian yang lebar terletak didepan. 
"Nah, ini bagus." Sri menata bajunya agar berada diluar scraft itu. Dan selesai, bagaian yang terbuka tak tampak lagi.

Mery tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Gadis desa ini sangat santun.." bisiknya dalam hati.

Mery selesai berdandan, sedikit lama, lalu wajahnya sudah terpoles oleh bedak dan kawan-kawannya. Memang Mery cantik. Tanpa make up pun sudah cantik.
Lalu Mery melambaikan tangannya kearah Sri.

"Sini aku dandanin.."
Sri menggeleng. Kalau kemarin dia menurut itu karena dia berada dalam kondisi setengah sadar.. Tapi kini ia sudah sadar sesadar-sadarnya. 

"Sini...! ulang Mery.
"Nggak, aku begini saja."
"Ya sudah, bedak sama lipstick tipis saja dan.."
"Aku begini saja."

Mery membiarkannya.
Lalu keduanya duduk diatas sofa.

"Membosankan bukan?"
"Biarkan aku pergi, tolonglah aku mbak.."
Mery menghela nafas. 

"Mas Timan .... aku disini..." rintih Sri lagi.
"Mas Timan mencintai kamu?"

"Dia melakukan apa saja untuk aku. Bukan hanya tenaga, juga harta.. Ia ingin menggantikan uang yang telah dibayarkan Basuki untuk melunasi hutang ayahku, tapi Basuki menolak."

"Walau nilainya sangat banyak?"
Sri megangguk. Lalu Sri juga bercerita tentang ayahnya yang ditahan gara-gara memukul orang, dan Timan menyelesaikan semua urusan dengan membayar semua beaya."

"Itukah cinta?"
"Bukan pengorbanan uangnya, tapi perhatian dan kasih sayang yang ada."

"Kamu pernah tidur bersamanya?" Pertanyaan ini membuat Sri terperanjat.
"Bagaimana mungkin tidur bersama lawan jenis yang belum menjadi suami isteri? Itu tidak boleh, tidak benar."

"Siapa melarang?"
"Norma susila yang ada dinegeri ini bukan ? Saya orang desa, tapi saya sering melihat dan membaca. Saya mengerti mana yang bisa dan benar dilakukan, dan mana yang tidak."

Mery terbelalak. Dia tau semuanya karena ketika di panti ada pelajaran budi pekerti dan tata susila. Tapi Basuki merusak semuanya. Pesonanya membuat dia lupa segala-galanya, dan membuatnya mengabdi sepenuh hati. Dia mengira itu jugalah yang dilakukan Timan dan Sri. Ternyata tidak ya? 

Terdengar pintu diketuk, lalu terbuka, Sri kehilangan ketenangannya ketika berbincang dengan Mery., berganti rasa  emas yang menyesak dadanya. Tapi yang datang adalah pelayan dengan mendorong meja, seperti semalam, berisi makanan dan minuman.
"Sa'atnya makan pagi," kata Mery.

Sri menyandarkan tubuhnya. Sungguh ia tak memiliki selera makan. Hidupnya serasa diujung tanduk. Ia merasa, Mery mengajaknya berbincang agar dia melupakan kecemasan yang terus menderanya. Terkadang sedikit terlupa, tapi kembali ia menyadari keberadaannya yang seakan sebagai pesakitan. Seperti sekarang ini. Ia teringat kata Mery bahwa semalam Basuki tak akan mengganggunya, tapi ini sudah esok hari. Setiap sa'at Basuki akan datang.

"Makanlah.." kata Mery ketika pelayan itu pergi.
Tapi Sri tak menjawabnya. Kecemasan mulai menggerayangi jiwanya. Ia diam tak bergerak dan tak ingin menyentuh nasi goreng udang yang dihidangkan diatas meja. 

"Sri.. makan saja, dan tenangkan hatimu."

Dari kemarin selalu kata 'tenang' itu yang dilontarkan Mery. Bagaimana dia bisa tenang? Tiba-tiba Sri melihat ada buah apel terletak dimeja itu. Bukan buah apelnya yang membuatnya tertarik, tapi pisau yang ada disebelahnya.

Sri pura-pura mengambil sebutir apel berikut pisaunya. Ia mengiris sedikit apel, mengunyahnya pelan, tapi tidak mengembalikan pisau itu ketempatnya. Sri merasa bahwa pisau itu akan ada gunanya.

***

Bayu merasa kasihan melihat Timan datang dengan wajah lesu.
"Mas Timan, semua yang terjadi harus dihadapi dengan tenang. Jangan sedih, kami semua akan membantu."

"Pak lurah memberikan tiga buah alamat yang katanya milik Basuki, tapi tak seorangpun diantara penjaga itu yang tau dimana sebenarnya Basuki menetap."

"Benar, kabarnya Basuki memiliki banyak rumah dan banyak perusahaan. Tapi tempat tinggalnya yang jelas tidak ada yang tau."
"Saya bingung mas, kalau lapor polisi nanti Sri di apa-apain, atau bisa juga nyawanya terancam, kalau tidak lapor, bagaimana.."

"Saya sudah menghubungi teman saya, polisi akan bergerak diam-diam. "
"Tapi bisakah kita menemukan dimana dia menyembunyikan Sri?"
"Pasti nanti bisa. Tunggu,   ini ada pesan singkat dari pak lurah."

Bayu membuka pesan itu.
"Lihat mas,  pak lurah mengabarkan ada tiga rumah lagi yang belum pernah didatangi. Aku akan mengantar mas Timan kesana.  Ini ada alamatnya, tapi hanya nama desanya. Rupanya beberapa rumahnya ada di pedesaan."

"Saya mau kesana sekarang saja."
"Jangan sendirian mas, saya akan mengajak beberapa teman. Sebentar saya akan menelpone nya."

Timan berdebar. Dia berharap disalah satu tempat itu dia bisa menemukan Sri.

"Tapi kita harus ber-hati-hati, karena sedikit saja Basuki mengetahui bahwa kita sedang mengejarnya, nyawa Sri jadi taruhannya."

Meremang bulu kuduk Timan.

***

Mery memasuki kamar Basuki karena Basuki memanggilnya. Tapi kali itu Mery langsung duduk disofa, tidak perlu memeluk dan menciumnya seperti yang biasa dia lakukan. Basuki heran, ada yang aneh pada kekasihnya.

"Ada apa?"
"Kamu yang memanggil aku, harusnya aku yang bertanya."

"Kamu datang tanpa mencium aku."
"Aku lelah sekali, semalam tidak bisa tidur," katanya sambil menyandarkan kepalanya disandaran sofa.

"Bagaimana dia?"
"Apanya yang bagaimana? Dia baik-baik saja, hanya nangis ingin pulang."
Basuki tersenyum.

"Dia tak akan pulang.Dia milikku, dia lain daripada yang lain, aku harus mendapatkannya," kata Basuki sambil tersenyum. Senyuman iti tiba-tiba tampak sama sekali tak menarik seperti biasanya.

Mery menatap Basuki. Heran, ada cemburu yang menyesak dadanya.Mengapa aku ini? Kata batin Mery. Apakah karena perbincangannya dengan Sri?

"Aku tak tahan lagi...gemas setiap kali melihatnya." gumam Basuki tanpa menatap Mery.

Wajah Mery muram, ia ingin menangis. Haa... menangis? Sejak kapan aku memiliki air mata? kata batin Mery lagi. Air mata itu baru mengambang dimatanya, dan membuat dadanya sedikit sesak. Laki-laki ganteng ini dicintainya setengah mati, dan sekarang mendengar dia tak tahan lagi untuk memiliki perempuan lain?

"Mery, kamu sakit?" tanya Basuki ketika melihat Mery tak bereaksi.
"Sakit.. " bisiknya pelan.
"Haa.. ini luar biasa... kekasihku bisa sakit?"

Mery tak menjawab. Tapi Basuki seperti tak memperdulikannya mendengar dia mengeluh sakit. Minumlah obat misalnya, tidak sama sekali. Batin Mery teriris. Ini perasaan yang luar biasa.

"Dengar Mery. Bagaimana caranya terserah kamu.. tapi aku ingin hari ini terlaksana," kata Basuki tandas sambil menyerahkan sebuah botol kecil kepada Mery.

Mery menerimanya dengan mata terpejam. Kepalanya masih terkulai di sandaran sofa.
"Heiii... buka matamu...," kata Basuki sambil mengacak rambut Mery

"Kalau kamu berhasil, aku akan mengajak kamu jalan-jalan keluar negri."
Biasanya kalau mendengar iming-iming seperti itu, Mery pasti langsung bersemangat, tapi tidak kali itu. 

"Sekarang kamu boleh kembali. Urus dia baik-baik dan jangan mengecewakan aku."
Mery berdiri dan keluar dari kamar dengan langkah gontai.

***

Sri gelisah dikamar sendiri. 
"Mas Timaaan... " ia merintih tak henti-hentinya sambil berdiri didepan jendela kamar.  
"Wahai angin, sampaikan kepada kekasihku, bahwa aku ada disini..." bisiknya lagi.

Terdengar pintu terbuka, Sri meraba sesuatu yang disimpan didalam sakunya. Pisau pengiris apel itu. Tapi yang muncul adalah Mery. 

Mery membanting tubuhnya begitu saja diatas sofa.
Sri mendiamkannya. 
Mery merasa dirinya bukanlah Mery yang sebelumnya. Ia punya rasa yang aneh, ingin menangis, ingin berteriak sekerasnya karena marah.

Dan tiba-tiba juga ia kemudian menangis. Menumpahkan air mata yang tadi ditahannya.
Sri membalikkan tubuhnya ketika mendengar isak tertahan, dan dengan heran melihat Mery menangis. Betapapun sedih hati Sri, ia tetap tak sampai hati melihat orang lain menangis.

"Ada apa?"
"Sri, aku senang bisa menangis.."
Sri menatap heran.

"Aku ternyata juga manusia, punya hati dan rasa."
Sri tak mengerti, ia mendekat dan duduk didepan Mery.

"Setelah bertemu kamu, aku benar-benar menjadi manusia."
"Apa?"

"Aku tidak pernah sedih, tidak pernah kecewa, dan tidak pernah mengeluarkan air mata. Tapi sekarang aku merasakannya."

Mery mengusap air matanya, lalu meletakkan sebotol kecil yang entah berisi apa, diatas meja.
"Itu apa?"
"Itu obat perangsang."

Sri menggeser tubuhnya menjauh dari Mery. Wajahnya pucat pasi. Akhirnya hal itu akan terjadi, diberinya dia obat agar memenuhi semua keinginan Basuki. 
Mery melihat ketakutan diwajah Sri, dan tiba-tiba juga ia merasa tak rela Basuki melakukannya.

"Aku mohon, jangan lakukan itu. Aku memiliki cinta dari calon suamiku, dan aku akan menjaganya."

Alangkah indahnya cinta Sri, dan Mery tidak memilikinya. Tiba-tiba ia merasa benci kepada Basuki. Sangat benci.

"Sri, aku mendapat perintah untuk meminumkan obat ini .."
"Untuk aku ?"
Mery mengangguk. Sri berdiri, menjauh. Wajahnya pucat, air mata mengucur deras, membasahi pipinya.

"Sri, aku harus melakukannya, karena kalau tidak aku bisa dihukum berat."
"Tolong aku.. tolong aku mbak.." rintihnya.
"Kamu takut?"
"Kalau dia melakukannya, lebih baik aku mati," kata Sri setengah berteriak.

Mery terpana, demi menjaga kehormatan, Sri rela mati. Lalu apakah dirinya yang dengan suka rela menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki yang sesungguhnya hanya mempergunakannya sebagai pemuas nafsu? Ia harus mati beribu-ribu kali.

Mery nerdiri, melangkah mendekati Sri. Sri mundur beberapa langkah.
"Jangan mendekat. Mbak mau memaksa aku agar minum obat itu? Sebelum mbak melakukannya aku akan bunuh diri." Sambil menangis Sri mengeluarkan pisau dari dalam sakunya.

Mery terkejut. Ini benar-benar diluar dugaannya.
"Mengapa ketakutan Sri, aku tidak membawa obat itu, lihat masih diatas meja."

Sri menatap botol kecil itu, lalu membiarkan Mery mendekatinya. Sri heran ketika Mery memeluknya.

"Sri, aku belajar menjadi manusia dari kamu. Aku merasa hina, kotor dan nista," bisik Mery ditelinga Sri.
Sri heran, belajar apa yang dimaksud Mery?

"Jangan takut Sri, aku tak akan melakukannya."
Sri mendorong tubuh Mery, dan menatap kesungguhan pada matanya.

"Benarkah ?"
“Ayo duduk, dan mari kita berencana memperdaya Basuki.”

***

besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  18*

 

Sri tak percaya apa yang didengarnya. Sri takut, terlalu banyak berharap lalu ia kembali bermimpi atau berhalusinasi.

 

"Sri, duduklah dulu."

Sri melangkah mendekati sofa, tapi matanya melirik kearah meja. Obat itu masih terletak manis disana, suatu sa'at akan dipaksanya memasuki kerongkongannya, kemudian apapun bisa terjadi. 

 

"Jangan hiraukan ini." kata Sri sambil meraih botol itu. Sri kembali berdiri, tapi kemudian dilihatnya Mery berjalan kearah jendela, dan membuang isi botol itu.

 

Sri kembali duduk setelah Mery meletakkan botol kosong itu kembali.

"Aku mengerti, sekaranglah sa'atnya membalas semua perlakuannya."

"Apa yang akan kita lakukan?"

 

"Kamu harus menurut apa yang aku katakan nanti."

"Nurut bagaimana? Aku takut mbak.."

"Jangan takut, kamu tidak sendiri..."

 

Lalu Mery membuka almari.

"Bantu aku Sri," kata Mery sambil menurunkan tas besar dari atas almari.

 

Sri mendekat.

"Bawa beberapa baju ini, tolong masukkan kedalam tas."

"Semuanya?"

 

"Tidak, hanya beberapa, barangkali dijalan kita memerlukan berganti pakaian. Ini uang, beberapa, barangkali kita kelaparan dijalan. Masukkan semuanya, dompetnya taruh dikantong samping."

 

"Sudah ?"

"Nah, taruh disudut sini supaya nggak kelihatan. KIta akan lari bersama-sama."

"Begitu mudahkah?"

"Mintalah kepada Tuhanmu agar memudahkan usaha kita ini," kata Mery.

 

"Itu juga Tuhanmu mbak, mohon ampunlah dan mohon pertolonganNya..  mBak harus percaya."

"Baiklah, aku percaya."

 

***

 

"Bener ya.. ini alamatnya? Masuk ke lorong-lorong sempit begini? " tanya Timan ketika bersama Bayu mendatangi salah satu alamat yang diberikan pak lurah.

 

"Iya, tuh, nama desanya benar.. coba terus mas, mungkin diujung sana ada orang yang bisa kita tanya tentang rumah Basuki. Atau perkebunan milik Basuki. Atau bisa juga sebuah pabrik."

 

Bayu dan Timan terus menyusuri jalanan berbatu dan berdebu.. memasuki sebuah dusun terpencil yang disana sini ditumbuhi semak pohon-pohon perdu. Tak banyak rumah disetiap ujung semak, kalaupun ada seperti tak berpenghuni. Mungkin penghuninya sedang bekerja disawah atau dikebun yang letaknya jauh.Debu mengepul tinggi begitu mobil Timan melintasi tanah kering karena lama tak turun hujan. Kalaupun hujan pasti lumpur menggenang dan akan lebih sulit dilalui.

 

"Lihat mas, ada orang didepan sana. Kita bisa bertanya nanti," seru Timan.

"Benar."

"Untunglah tadi memakai mobil saya mas, kalau saja pakai mobilnya mas Bayu, sayang dipakai melewati jalanan berbatu seperti ini."

"Nggak apa-apa sebenarnya, yang penting kan bisa sampai ditempat tujuan."

 

Ditengah perkebunan tebu mobil  Timan berhenti karena melihat seseorang sedang berjalan.  Bayu melongok keluar jendela.

 

"Ma'af pak, apaka didaerah sini ada rumah atau pabrik atau apa.. yang miliknya pak Basuki?"

Orang itu laki-laki setengah tua memakai caping dan membawa semacam arit, senjata untuk membersihkan rumput. Ia berhenti dan menatap Bayu dengan heran.

 

"Sampeyan ini siapa?".

"Saya ini orang dari kota pak, saya temannya pak Basuki. Bapak tau rumah Basuki dimana?"

 

"Saya menunggu rumahnya tuan Basuki."

"Haa, bagus kalau begitu, dimana rumahnya?"

 

"Agak jauh dari sini. Saya mau bersih-bersih kebun, ini tadi baru pulang mengambil arit."

"Baiklah, bapak naiklah ke belakang mobil saya, antar saya sampai kerumahnya ya."

 

"Lha untuk apa bapak mau kesana? Rumah itu kosong, tak ada penghuninya."

"Kosong? Apa dia tidak pernah pulang kemari?"

"Tidak, rumah itu hanya dipakai untuk gudang, kalau sa'at panen tiba."

"Jadi hanya setiap panen pak Basuki datang?"

"Tidak juga. Ada orang yang bertugas mengurusi semuanya."

 

"Siapa dia ?" 

"Namanya pak Herman, tapi saya juga tidak tau dia tinggal dimana. Hanya kalau sa'at panen dia datang, menjual hasil panen dan menyetorkannya. Tapi dia juga tidak pernah bertemu tuan Basuki. "

Bayu dan Timan saling pandang. Bayu mengangkat bahunya.

 

"Ada lagi rumah rumah pak Basuki yang lain?"

"Banyak pak, dia orang kaya."

"Didaerah sini?"

"Hanya satu. Bapak mau melihat rumahnya? Tapi itu bukan rumah, hanya gudang."

 

Bayu menoleh kearah Timan.

"Mau melihatnya?"

"Saya kira nggak ada gunanya mas, kita ke alamat yang lainnya saja.,"

"Baiklah pak, saya permisi dulu," kata Bayu.

 

Timan mencari tikungan didepan, untuk memutar balik mobilnya. Tapi  tiba-tiba ada mobil menuju kearahnya. Mobilnya bagus, Timan sudah memundurkan mobilnya ke tikungan agar bisa berbalik arah ketika mobil itu berhenti disamping pak tua dimana tadi Bayu bertanya-tanya.

 

Timan belum jadi memutar balik mobilnya. Lagipula jalanan sempit susah untuk bersimpangan.

"Jangan-jangan itu Basuki." kata Bayu.

"Kita kesana ?"

 

"Sebentar, Dia berbicara dengan pak tua itu. Nah dia berjalan terus."

"Kalau jendela tertutup mana bisa melihat wajahnya."

"Kita samperin pak tua itu lagi saja. Kita bisa bertanya dia itu siapa."

 

Mobil itu sudah melintas didepan mobil Timan. Lalu Timan berbalik arah, lalu berhenti didekat pak tua itu tadi. 

"Pak..pak, numpang tanya lagi pak," teriak Timan.

Pak tua itu mendekat.

 

"Ya.."

"Itu tadi bukan pak Basuki?"

"Oh, bukan, itu pak Herman, mau mampir sebentar kegudang."

"Kita temui dia?"

"Ya, kepalang tanggung, kita sudah sampai disini," kata Bayu.

 

"Pak, saya mau ketemu pak Herman, bapak naiklah, supaya bisa menunjukkan dimana tempatnya."

"Baiklah."

 

Timan turun, lalu membuka penutup jok belakang, agar pak tua bisa naik lebih gampang. 

"Balik kesana ya pak?"

"Iya, arahnya kesana, masih agak lumayan."

 

Timan harus memutar lagi mobilnya. Tak apa, mereka berharap mendapat keterangan dari orang yang namanya pak Herman.

 

Namun ketika akhirnya mereka bertemu, pak Herman tak bisa mengatakan apapun tentang Basuki. Laki-aki bertubuh pendek dan berwajah tambun, tubuhnya gemuk penuh lemak, menemui Timan dan Bayu dengan wajah kurang ramah.

 

"Tuan Basuki itu majikan saya, tapi saya tidak bisa berhubungan langsung dengan dia. Saya tidak tau dimana rumahnya,"

"Berarti ada nomor kontaknya kan?"

"Saya tidak bisa menghubungi kalau bukan tuan Basuki yang menghubungi saya" kata pak Herman dengan wajah kurang senang.

 

"Dimana dia tinggal, bapak juga tidak tau?"

"Apa lagi itu. Ma'af, saya sedang terburu-buru, dan saya kira tak banyak keterangan tentang tuan Basuki yang bisa anda dapatkan dari saya."

Timan dan Bayu berpandangan. Itu isyarat mengusir dengan halus.

 

"Ayo kita pergi," ajak Bayu. 

Timan mengangguk, tapi diam-diam dia mencatat nomor polisi mobil Herman.

***

 

Sri masih menunggu apa yang nanti akan dilakukannya bersama Mery. Tampaknya Mery merasa bahwa akan dengan mudah mereka pergi dari tempat itu. Tapi Sri berdebar. Ini perjuangan yang bukan main-main. Mereka harus melumpuhkan Basuki terlebih dulu sebelum bisa pergi. Dan caranya sungguh membuat Sri pucat pasi.

 

"Nanti kamu pura-pura menyerah pada Basuki," kata Mery enteng.

"Apa?" Sri terkejut setengah mati.

 

"Pura-pura saja. Pura-pura itu tidak sungguhan."

"Tapi pura-pura menyerah itu kan berarti aku harus bersentuhan dengan dia? Tidak mbak, aduh.. jangan membuatku takut."

 

"Sri, apa kamu mau selamanya tinggal disini? Percayalah bahwa tak akan mudah bagi kita untuk keluar dari sini tanpa tipu daya seperti yang aku rencanakan ini."

 

 "Aduuh... bagaimana ini..." gemetar Sri lalu terduduk lemas.

"Dengar Sri, Basuki menyuruh aku memberi kamu obat perangsang, artinya, ketika Basuki datang kamu tidak akan melawan."

 

"Ya Tuhaan.. ya Tuhaan...' Sri hampir menangis.

"Sri, ini tergantung kamu..."

 

"mBak, kalau aku pura-pura menyerah, lalu dia terlanjur ngapa-ngapin aku bagaimana? Aku hanya perempuan, dia laki-laki, tinggi besar dan pasti kuat, mana bisa aku menghindar? Carilah cara yang lain mbak, aku tidak akan sanggup."

 

"Dasar bodoh !" kata Mery kesal.

"mBak, tolonglah ... cari cara yang lain."

 

"Nggak ada cara yang lain Sri, kalau kamu tidak sanggup ya sudah, aku mau pergi sekarang dan terserah kamu mau  ngapain disini," kata Mery sambil berdiri.

Sri menubruknya sambil menangis.

 

"Dengar, Basuki nanti paling hanya sesa'at menjamah kamu."

Sri merinding.. 

 

"Huh, kamu belum-belum sudah ketakutan. Basuki akan minum obat buatanku. Itu obat yang akan membuatnya pulas selama beberapa jam. "

"Nah, itu saja mbak, segera lakukan."

 

"Ya nggak bisa  begitu saja Sri, kamu harus pura-pura sudah meminum obat yang dia berikan,  Kalau tidak dia tak akan mau meminum minuman yang aku berikan."

 

"Mas Timaaan..." rintih Sri.

"Jangan gila Sri, mas Timanmu tak akan mendengar suaramu. Panggil mas Basuki, baru dia akan datang," kata Mery kesal.

 

"Jangan begitu mbak."

"Ya sudah. Sekarang kamu tiduran dulu disana,,"

"mBak..."

 "Cepat Sri, sudah sa'atnya dia datang kemari."

 

Mery menyiapkan gelas minuman dimeja. Minuman yang sudah dibubuhi racun untuk menidurkan Basuki beberapa sa'at lamanya.

 

Sri duduk dipinggir ranjang, wajahnya pucat pasi.

"mBak..." rintihnya cemas.

"Diamlah Sri..."

 

"Aku kan nggak tau, bagaimana caranya orang bersikap kalau sudah minum obat perangsang. Ia akan memejamkan matanya, diam, atau..."

"Tidak, ia akan menari-nari seperti kuda lumping." kata Mery seenaknya.

 

"mBak Mery... aku benar-benar nggak ngerti.

"Kamu berbaring, ketika dia datang kamu senyumlah, raih tangannya..lalu..."

"Tidaaaak..." pekik Sri. "Masa aku harus begitu..."

 

"Sri, ya sudah, aku sudah capek memberi tau kamu. Kalau kamu tidak mau berarti kita akan gagal."

 

Sri terisak. Berat rasanya kalau harus melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya. Ia belum pernah bersentuhan dengan lelaki, dalam arti bersentuhan pada suasana sedang terbakar asmara. Ini sungguh beban yang berat. Tapi ia harus melakukannya. Aduhai..

 

"Nah, minuman Basuki sudah siap." 

Mery mendekati Sri.

 

"Begini, aku ajari kamu, tidurlah, lalu senyum. Ini aku pura-pura jadi Basuki ya, nah.. gimana dong senyumnya, kok mewek sih? Senyum Sri.. aduh, itu sih bukan senyum, itu mencibir. Senyumnya begini.. ayolah, berkorban sedikit saja Sri. Nah, kalau Basuki mendekati kamu, kamu harus pura-pura mau .. dan raih tangannya..."

 

"Ya.. Tuhaan.."

"Berkorban sebentar saja Sri, jangan bawel."

 

"mBak, aku tuh belum pernah merasakan yang begitu-begitu. Susah.."

"Sekarang ayo latihan dulu.. begini.. lalu kamu tarik Basuki agar tidur disamping kamu.."

"Ampuuun..."

"Tarik aku, kuat..."

 

Sri menarik tangan Mery lalu Mery melompati tubuh Sri dan terkapar disamping Sri.

 

"Gampang kan?"

"Lha dia tidur disamping Sri begini, lalu aku bagaimana?"

 

"Sa'at itu dia sudah tak mampu mem buka matanya."

"Masa?"

"Benar, aku tidak bohong. "

"Ya Tuhan..."

 

"Buat agar ini hari terakhir dikamar ini, semua sudah aku siapkan, nanti kita lari dengan mobilku, tak akan ada yang menghalangi karena semua penjaga tau siapa aku."

 

Seperti begitu mudah. Pura-pura terpengaruh obat, lalu pura-pura tersenyum, lalu menarik tubuh Basuki, dan Basuki terkapar. Benarkah?

 

"Sri, kamu sudah siap?"

Sri mengangguk ragu-ragu.

 

"Sri..!!"

"Iya... iya.."

"Kamu mau pergi dari sini nggak?"

"Iya, aku mau.."

 

"Ya sudah, kamu siap kan, aku akan memanggil Basuki agar datang kemari."

"Adduuh... " Sri merintih. Alangkah berat jalan yang harus dilewati. 

 

Mery sudah keluar dari kamar, Sri ingin menjerit sekuat-kuatnya. Tapi jangan sampai ia berurai air mata agar Basuki tak curiga.

 

***

 

Mery menarik Basuki masuk kedalam kamarnya.

"Sudah oke ?"

Mery membentuk bulatan dengan ibu jari dan telunjuknya. Mery melirik kearah pembaringan. Sri terbaring sambil memeluk guling.

 

"Minumlah dulu, supaya kamu bisa melakukannya dengan baik."

"Kamu memang kekasihku yang paling cantik," kata Basuki sambil mencium pipi Mery. Mery tersenyum, senyum yang sangat masam, untunglah Basuki tidak melihatnya.

 

"Minum dulu, setelah itu aku akan keluar."

"Setelah ini kamu mau hadiah apa? Ohooo.. bagaimana kalau kamu, aku dan dia jalan-jalan keluar negeri?"

"Terserah kamu saja. Sekarang sebaiknya kamu minum dulu, supaya tenagamu kuat seperti kuda."

Basuki terbahak. “Aku selalu kuat, apa kamu lupa?"

 

"Minumlah, jangan mengecewakan aku yang sudah menyiapkan semua ini untuk kamu," 

"Oke..." 

 

Basuki meraih gelas dimeja, Mery menatapnya dengan berdebar.

Namun tiba-tiba ponsel Basuki berdering.

 

"Aduh, siapa ini mengganggu saja..."

Basuki meletakkan gelas yang sudah dipegangnya.

 

"Ada apa Herman? Siapa? Dua orang? Kamu tanya nggak siapa mereka? Goblog !! Mengapa tidak tanya siapa namanya?"

 

***

 

besok lagi ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar