*KEMBANG TITIPAN 13*
Timan
terus menjalankan mobilnya dengan bingung.
"Ada
apa Sri? Itu mobil pak lurah sudah sampai disana, pasti kita ditungguin."
"Jangan
mas, aku takut."
"Kenapaa?
Sri.. jangan membuat aku bingung. Ada apa?"
"Ada Basuki
disana."
"Apa?
Dimana ?"
"Lagi
ngomong sama pak lurah.."
"Masa
sih? Lalu mengapa kamu takut? Kan ada aku. Biar aku temui dia supaya semuanya
menjadi jelas."
Tiba-tiba
Timan menghentikan mobilnya agak ketepi.
"Ya
ampun mas, jangan.."
Sri
benar-benar ketakutan, wajahnya pucat pasi.
"Sri,
kalau benar dia Basuki, aku justru ingin menemui dia. Nggak apa-apa ada aku,
kita kembali kesana ya?"
"Demi
Tuhan, aku takut mas.."
"Kan
ada aku ?"
"Tidak
mas, jangan... sungguh aku takut."
"Aku
akan menghadapinya Sri, aku tidak takut."
"Tapi
aku takut mas... " suara Sri serak, hampir menangis, lalu Timan merasa
kasihan.
"Ya
sudah, jangan menangis, aku akan kirim pesan singkat ke pak lurah bahwa kita
tidak akan kesana."
Timan
sebenarnya ingin ketemu Basuki, kalau perlu bicara langsung dan apapun ingin
dihadapinya. Tapi melihat keadaan Sri, ia mengalah. Lalu dikirimnya pesan
singkat ke pak lurah.
PAK LURAH,
MA'AF, SRI TIDAK JADI MENEMUI BAPAKNYA. ADA KEPERLUAN LAIN.
Dan pak
lurah yang membaca pesan itu kemudian bisa mengerti, karena tadi dia sempat
melihat mobil Timan melintas tanpa ada tanda-tanda mau berhenti.
***
Basuki
mondar mandir didepan kantor polisi itu, lalu kembali kearah pak lurah.
"Mana
dia ? Mengapa belum sampai juga?" tanyanya dengan wajah kesal.
"Baru
saja dia mengabari, bahwa tak jadi datang kemari."
"Apa?
Mengapa nggak jadi?" keras suara Basuki. Seperti kebiasaan dia bicara sama
bawahannya, lupa bahwa dihadapannya adalah orang asing, seorang kepala
desa pula.
"Saya
tidak tau pak. Mungkin ada keperluan lain, atau ... “
Lurah
Mardi seperti sedang berfikir mencari jawaban yang tepat..
"Atau
apa?"
"Waktu
dia datang kemari untuk yang pertama kali, pak Darmin sangat marah pada Sri.
Dinilainya Sri tidak patuh atau bagaimana, pokoknya kedatangan Sri tidak ditanggapi.
Mungkin sekarang Sri takut, lalu mengurungkan niyatnya. Kan pak Darmin itu
kalau marah nggak perduli apapun.. walau ada banyak orang tetap saja dia
teriak-teriak. tanpa mengenal malu. Nah Sri yang malu."
Tampaknya
jawaban pak lurah bisa diterima Basuki. Namun ketika Basuki hendak berlalu,
lurah Mardi mencegahnya.
"Tunggu
pak, saya ingin bicara, bisakah kita masuk sebentar?"
"Dengan
siapa Sri pergi? Saya lupa menanyakan." tanya Basuki mengalihkan
pembicaraan.
"Dengan
temannya."
"Perempuan,
atau laki-laki? Mengapa kalian bisa berpisah? Bukankah tadi pak lurah nyamperin
kerumah mbahnya, oh.. itukah mbahnya Sri?" kata Basuki sambil menuding
kearah mbah Kliwon.
mBah
Kliwon tak menjawab. Sebel banget melihat tingkah orang yang sedikitpun tak
menaruh hormat kepada orang lain padahal baru dikenalnya.
"Temannya,
perempuan, tadi bertemu dijalan lalu dia minta berhenti, dan bilang mau
menyusul kemari, ternyata tidak jadi. Tapi sebentar, saya tadi bilang ingin
bicara sama pak Basuki kan? Bisakah kita masuk sambil menemui pak Darmin?"
"Tidak,
mau bicara apa, langsung disini saja."
"Nggak
enak pak, masa dipinggir jalan begini?"
"Tidak
apa-apa, siapa bilang nggak enak, ayo bicaralah, aku sedang tergesa-gesa."
"Baiklah,
apa boleh buat kalau pak Basuki ingin kita berbicara disini. Begini, waktu saya
datang sebelum ini, saya bilang pada pak Darmin, bahwa ada seorang pemuda
yang ingin mengambil isteri anaknya."
"Maksudnya
si Sri?"
"Ya,
si Sri.."
"Tidak.
Tidak mungkin, Sri itu milikku." hardik Basuki dengan wajah merah padam.
"Ya,
pak Darmin juga bilang begitu. Dia bilang Sri itu dititipkan oleh pak Basuki,
sejak dia masih kecil, dengan imbalan pak Basuki membayar semua
hutangnya."
"Itu
benar, dan tidak sedikit aku mengeluarkan uang untuk itu."
"Baiklah,
bagaimana kalau uang pak Basuki yang telah digunakan untuk membayar hutang pak
Darmin itu dikembalikan?"
"Aahaaa...
maksudnya dengan begitu Sri harus saya kembalikan?"
"Begitu
kira-kira pak."
"Tidak
! Tidak.. dan tidak !!" teriak Basuki sambil mengacungkan jari telunjuknya
kearah wajah pak lurah. Lalu Basuki membalikkan tubuhnya dan pergi menuju ke
mobilnya. Terdengar deruman keras ketika Basuki memacu mobilnya dan seperti
melayang melintasi mobil pak lurah.
"Ya
Tuhan, apa dia manusia?" keluh mbah Kliwon menahan amarah.
Lurah
Mardi terpaku ditempatnya, belum pernah seseorang bersikap begitu kasar
terhadapnya. Kalau menuruti kemauannya ingin dia mengayunkan bogem kewajah
ganteng yang tak punya sopan santun itu. Tapi dia seorang kepala desa yang
harus bisa menahan emosinya. Ia hanya mengelus dada, sambil menghela nafas
panjang.
"Orang
yang begitu mau jadi suami cucuku? Darmin benar-benar sudah gila."
"Jadi
gimana ini mbah, jadi ketemu pak Darmin tidak?"
"Atau
kita minta Sri kemari saja? Tiba-tiba membatalkan niatnya kemari, pasti karena
melihat Basuki."
"Tadi
dia bilang apa?"
"Mas
Timan yang bilang melalui pesan singkat, katanya Sri nggak jadi kemari karena
ada keperluan. Cuma gitu. Tapi saya tadi melihat mobilnya melintas, tidak
berhenti. Pasti karena melihat Basuki lalu Sri minta supaya mas Timan tidak
berhenti. Coba saya telephone dulu ya."
"Hallo
mas Timan," sapa lurah Mardi ketika telephonenya diangkat.
"Hallo
pak lurah, disitu masih ada Basuki?"
"Tuh
kan, nggak berhenti karena melihat dia ya?"
"Iya,
Sri ketakutan sampai menangis tuh."
"Kasihan
Sri, tapi dia sudah pergi. Cuma saya tadi sudah sempat bicara sama
Basuki."
"So'al
uang pengganti itu?"
"Ya,
dia menolak mentah-mentah."
"Menolak?
Tidak mau seandainya uangnya diganti? Dengan nilai sekarang?"
"Dia
marah-marah, maunya bukan uang, tapi Sri."
"Ya
ampuun.. lalu bagaimana ini?"
"Mau
kesini nggak mas, saya tungguin nih sama mbah Kliwon."
"Ya
pak lurah, kalau dia sudah pergi saya mau kesitu, tadi kan Sri ketakutan."
***
Dan tanpa
dinyana, sambutan Darmin siang itu begitu menyenangkan. Ia langsung memeluk Sri
dengan air mata yang tak terbendung. Sejagad penyesalan merubungi hatinya,
membuat sesak dadanya dan yang kemudian ditumpahkannya dalam isak yang
berkepanjangan.
"Mengapa
bapak menangis ?" tanya Sri yang tentu saja ikut terisak.
"Bapak
merasa sakit. Sakit oleh ulah bapak selama berpuluh tahun. Bergelimang dosa dan
maksiat, tak pernah merasa jadi pelindung yang baik bagi anak isteri."
"Ya
sudah pak, jangan terlalu tenggelam dalam sesal. Bukankah rasa penyesalan itu
adalah nikmat menuju kebaikan? Mari kita jalani semua ini bersama-sama."
"Bapak
tak mengira kamu bisa mengatakan semua ini. Sri kecil yang teraniaya karena
ulah bapaknya. Ma'afkan bapak, ma'afkan bapak ya nduk."
"Sri
sudah mema'afkan sebelum bapak memintanya."
"Bapak,
ma'afkan juga saya ya pak," kata Darmin sambil mencium tangan bapak
mertuanya."
"Sudah..
sudah, bapak sudah mema'afkannya. Bapak senang kamu menyadari semuanya. Ayo
sekarang duduklah, akan bapak perkenalkan ini, nak Timan."
Timan mendekat
dan meraih tangan Darmin. Kali itu Darmin tak menolaknya. Ia menepuk punggu
punggung Timan dengan hangat.
"Pak
lurah, ma'afkan saya yang selalu berlaku kasar, dan terimakasih atas
perhatiannya kepada saya yang banyak dosa ini." kata Darmin yang juga
menyalami pak lurah.
"Tidak
apa-apa pak Darmin, banyak orang bisa mengakui kesalahan, tapi tak banyak yang
menyadarinya. Saya senang pak Darmin bisa menyadarinya."
"Tapi
nasib Sri sungguh buruk. Basuki tak mau uangnya dikembalikan. Ia hanya minta
Sri, seperti janji saya pada puluhan tahun lalu, ketika Basuki membayar
hutang-hutang saya."
"Nanti
kita akan mencari jalan terbaik untuk itu, kita akan memikirkannya bersama.
Tadi saya ketemu pak Basuki diluar sana."
"Jadi
dia belum pergi ?"
"Tadi
sudah kesini?'
"Sudah,
saya menemuinya sebentar karena bicaranya ngaco tidak karuan. Lalu dia pergi
karena saya bilang sedang nggak enak badan. Ternyata dia masih menunggu
diluar?"
"Mungkin
dia masih berada disekitar, karena tau bahwa Sri akan datang kemari. Begitu saya
datang, dia langsung mendekat dan mencari-cari si Sri. Untunglah Sri belum
datang."
"Jadi
tadi ketemu Sri juga?"
"Tidak,
karena Sri yang bersama nak Timan melihat ada Basuki sedang bicara sama saya,
kemudian Sri tidak jadi berhenti. Baru setelah Basuki pergi, saya panggil Sri
kemari."
"Pak
lurah bicara apa sama dia?"
"Tentang
keinginan nak Timan akan mengganti uang yang sudah diberikan Basuki kala itu.
Tapi dia menolaknya mentah-mentah."
"Tadi
dia sudah mengatakannya. Saya jadi bingung pak lurah. Dia terus menuntut agar
Sri segera diserahkan."
"Baiklah,
nanti hal itu kita bicarakan lagi. Sekarang ada kabar baik sementara, tentang
orang yang pak Darmin pukul waktu itu."
"Matikah
dia?" tanya Darmin dengan wajah cemas.
"Tidak,
justru kabar baik, dia selamat dan mungkin hari ini sudah pulang. Kabar baiknya
lagi dia berjanji tidak akan menuntut."
"Berarti
saya tidak akan lama lagi ditahan disini?"
"Mungkin
tak lama lagi bisa pulang pak."
"Syukurlah,
tapi bagaimana dia bisa bilang tidak akan menuntut?"
"Mas
Timan membayar semua biaya selama dia dirumah sakit, dan juga memberinya
sejumlah uang."
"Ya
Tuhan, nak.. perlakuanku terhadapmu tidak baik, tapi kamu melakukan hal yang
luar biasa untuk aku, ma'afkan bapak ya nak." kata Darmin sambil memeluk
Timan.
"Jangan
hal itu difikirkan pak, yang penting bapak selamat, dan Sri juga segera
terbebas dari cengkeraman Basuki. Kami sedang mengusahakannya."
"Apakah
nak Timan juga yang mau mengganti uang Basuki ?"
"Ya,
tapi sementara ini dia masih belum mau menerima."
"Ya
Tuhan, mengapa sejak dulu aku tidak bergaul dengan orang-orang baik ini?"
kata Darmin yang kembali berlinangan air mata.
***
"Mas,
bagaimana kabarnya Sri ? Mas sudah menelpon kang Mardi tadi kan?"
"Iya,
baru saja selesai bicara, bagaimana kamu, masih mual?"
"Sudah
agak berkurang. Tadi kang Mardi bilang apa?"
"Kamu
itu lagi sakit masih mikir yang macam-macam, istirahat dulu lah Tri."
"Aku
sakit apa? Kata mas aku sakit menyenangkan."
"Iya,
tapi kamu muntah-muntah terus."
"Enggak
mas, sudah enggak. Aku sekarang ingin tau kabarnya Sri bagaimana. Prihatin aku
mas."
"Ya
belum sepenuhnya selesai. Basuki tidak mau uangnya dikembalikan. Dia
tetep minta Sri, tidak yang lainnya."
"Kok
gitu ya mas, bukankah yang penting uangnya kembali?"
"Dia
orang kaya, uang tak ada artinya. Suka atau tidak dia harus mendapatkan
Sri,"
"Kalau
Sri nggak mau?"
"Jelas
nggak mau lah.. dia kan cintanya sama mas Timan."
"Waduh,
bisa kacau ya mas... lalu bagaimana caranya melepaskan Sri dari ikatan
yang rumit itu?"
"Kalau
aku ya.. larinya ke jalur hukum saja.."
"Bisa
ya mas ?"
"Ya
bisa lah.."
"Tapi
kan perjanjiannya pakai surat.. ditandatangani pula oleh pak Darmin."
"iya,
tapi bisalah, itu kan menyangkut tindakan asusila, dan melanggar hak azasi
manusia."
"Kalau
bisa aku bersyukur mas. Tapi.. aduh mas, aku mau dibeliin rujak dong.."
"Tuh
kan.."
"Tapi
rujaknya harus yang pakai mangga.."
"Lhah,
kan ini lagi nggak musim mangga...?"
"Pokoknya
aku mau yang pakai mangga... buruan mas, mau muntah nih..."
Aduh,
susah ya punya isteri ngidam. Bayu baru mengganti bajunya karena
sebentar-sebentar memang ia harus ganti baju. Lastri nggak suka bau
keringatnya. Kalau berani mendekat dengan tubuh keringatan pasti Lastri
mengusirnya. Aduhai..
"Buruan
mas.."
"Iya..iya..
aku cari dulu, ini lagi ganti baju nih... Pengin tau deh, kayak apa nakalnya
anakku ini nanti.. semoga tidak rewel seperti ibunya," kata Bayu sambil
mencium perus isterinya.
"Iih,,
aku nggak rewel ya, justru anak mas ini yang rewel," kata Lastri sambil
cemberut.
***
Sri dan
Timan serta lurah Mardi agak lama ketemuan sama Darmin. Ada bahagia dihati Sri
karena bapaknya tak lagi menolak Timan. Mereka malah kelihatan akrab dan cocog
satu sama lain.
"Ya
sudah, kayaknya sa'atnya pulang ya, sudah kelaman kita disini," ajak lurah
Mardi.
"Bapak
sabar ya, kami akan mengurus semuanya agar bapak bisa segera pulang," kata
Timan sambil menyalami pak Darmin.
"Iya
nak, terimakasih banyak atas semuanya, bapak tak akan bisa membalasnya."
"Tak
usah difikirkan pak, selalu berdo'a agar semua ini akan segera berakhir baik."
"Ya
nak.. ya, terimakasih pak lurah, bapak.. jaga Sri baik-baik ya.."
Darmin
melepas kepergian mereka dengan perasaan mengharu biru. Masih ada yang harus
difikirkannya, yaitu melepaskan si Sri dari genggaman Basuki.
"Mas
Timan langsung mengantar si Sri atau kembali ke Solo?" tanya pak lurah.
"Biar
saya antar sampai kerumah pak. Oh ya, mas Bayu tadi telephone akan mencari
lawyer .. kayaknya Basuki harus diselesaikan melalui jalur hukum, Tadi saya
belum bicara takutnya pak Darmin akan khawatir. Nanti malam saya akan menemui
mas Bayu, biar lebih jelas bicaranya." kata Timan sambil menuju kearah
mobilnya.
"Ya
mas, saya siap membantu apapun dan kapanpun. Ini saya sama mbah Kliwon ya. Mas
Timan sama Sri."
"Baik
pak lurah, mobil saya pickup, nggak enak kalau berdesakan."
Ketika Sri
sudah naik keatas mobil dan Timan siap membuka pintu, tiba-tiba sebuah mobil
berhenti, tepat dihadapan mobil Timan. Timan terkejut, wajah Sri berubah pucat.
Seorang
laki-laki gagah keluar dari mobil mewah yang nyaris menabrak mobil Timan,
lalu berjalan kearah Timan. Timan berdiri terpaku, lalu tiba-tiba Timan
merasa bahwa dia adalah Basuki. Dengan kepala ditegakkan Timan menunggu.
Dua orang
laki-laki berhadapan, mata saling memandang dengan sorot mata berapi-api.
Masing-masing segera menyadari wahwa yang berdiri dihadapannya adalah lawan
yang harus disingkirkan.
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAN 14*
Tangan
Timan sudah mengepal. Tak ada rasa takut walau dihadapannya ada laki-laki yang
lebih tegap dan lebih tinggi dari dirinya. Cinta itu luar biasa. Cinta itu
adalah rela untuk berkorban demi orang yang dicintainya. Kalau perlu
nyawa akan dipertaruhkannya. Aduhai...
Tapi
Basuki, sama sekali tak memperebutkan cinta Sri, ia menggenggam harga diri dan
kesombongannya. Mana mungkin dia mundur hanya karena iming-iming uang
dikembalikan? No, Basuki tak terkalahkan. Basuki merasa tak akan ada yang
mengalahkannya. Ia diatas semua orang, dia berkuasa karena dia banyak harta.
Mata
Basuki menyipit. Tanpa rasa sungkan apalagi hormat, dia menuding kearah muka
Timan.
"Kamu
siapa?"
"Saya
Timan, dan saya tidak perlu bertanya siapa anda karena dari sikap anda saya
sudah tau bahwa anda adalah Basuki," kata Timan tegas, setegas kemauannya
melindungi si Sri.
"Saya
melihat anda membawa Sri. Sri itu milikku. Jangan coba-coba mendekati
dia."
"Bagaimana
kalau saya menolak keinginan anda? Sri lebih mencintai saya, bukan
laki-laki yang walau banyak harta tapi tidak memiliki tata krama."
Mata
Basuki terbelalak, merah menyala seperti naga siap melalap mangsanya. Tapi
Timan tak gentar. Tangannya sudah mengepal, siap membela diri seandainya Basuki
memukulnya.
Sementara
itu pak lurah dan mbah Kliwon yang menyaksikan perdebatan kedua lelaki itu
mendekat.
"Mengapa
disini? Bagaimana kalau kita masuk kedalam, ada polisi yang siap menjadi saksi
kalau terjadi apa-apa," kata lurah Mardi.
"Baiklah,
kita akan ketemu dimana?" tantang Basuki.
"Tidak
pak Basuki, kita ini manusia yang harusnya punya tata krama. Kita juga bukan
anak kecil yang harus menyelesaikan perdebatan dengan pergumulan. Mari kita
cari jalan terbaik."
Tiba-tiba
Basuki membalikkan tubuhnya, menuju mobilnya. Ia memundurkan beberapa langkah
sebelum melaju dengan kecepatan tinggi.
"Sabar
mas, ada wadah untuk berdebat, bukan dengan kekerasan. Kita akan
menyelesaikannya melalui jalur yang lebih santun. Ayo kita pulang dan
menenangkan pikiran," ajak lurah Mardi.
Timan
kembali kemobilnya, tapi alangkah terkejutnya ketika melihat Sri tak ada
disana.
Ia
menoleh kearah mobil pak lurah, yang sudah menstarter mobilnya, lalu Timan
melambaikan tangannya, minta untuk berhenti.
"Ada
apa mas Timan?"
"Sri
ada disini ?"
"Lho,
bukannya tadi ada di mobil mas Timan?"
"Nggak
ada tuh..." jawab Timan bingung.
Lurah
Mardi turun, diikuti mbah Kliwon. Mereka mencari kesana kemari, tapi tak
ditemukannya si Sri. Timan masuk kedalam kantor polisi, barangkali karena
ketakutan Sri masuk dan bersembunyi disitu. Tapi tak ada. Lurah Mardi bertanya
kepada seorang petugas yang ada disana ketika mereka bertemu Basuki,
"Seorang
gadis?" tanya petugas itu.
"Ya,
yang tadi duduk dimobil saya ini.."
"Baju
coklat ?"
"Ya
benar."
"Tadi
turun dari mobil, lalu pergi bersama seorang wanita."
Semuanya
terkejut.
Pergi
dengan seorang wanita? Mengapa Sri diam saja dan tidak bilang apa-apa kepada
mereka? Apakah karena Sri ketakutan? Mereka kebingungan. Timan
memukul-mukul kepalanya. Menyesal karena terbakar emosi ketika melihat Basuki,
lalu melupakan si Sri yang ada didalam mobil sendirian.
"Bagaimana
ini?" tanya Timan panik.
"Kita
laporkan saja sekalian. Jangan-jangan ini juga karena ulah Basuki."
"Tapi
kan Basuki tadi bersama saya?"
"Siapa
tau dia punya anak buah yang disuruh melakukan sesuatu.."
"Ya
Tuhan... dibawa kemana cucuku ?" keluh mbah Kliwon bingung.. ia berjalan
mondar mandir kesana kemari. sambil memanggil-manggil nama si Sri.
"Sri...
Sri.. dimana kamu Sri..."
"Pantesan
tadi tiba-tiba dia pergi, pasti dia sudah tau kalau anak buahnya atau temannya
berhasil membawa Sri, kata Timan penuh sesal.
Timan
membuka lagi mobilnya, barangkali ia salah lihat dan ternyata Sri masih ada
didalam. Tak ada, Lalu Timan melihat sesuatu, secarik kertas bertuliskan
spidol merah.
JANGAN
SEKALI-SEKALI LAPOR POLISI, SRI ADA DITANGANKU, KESELAMATANNYA TERGANTUNG ANDA.
Timan
tercekat, ia melambaikan tangan kearah lurah Mardi yang sudah siap masuk
kekantor polisi.
Timan
mendekat dan menunjukkan kertas itu.
"Benar-benar
kurangajar orang itu!!" umpat lurah Mardi.
Mbah
Kliwon lemas mengetahui bahwa Sri benar-benar dibawa kabur Basuki, entah
bagaimana caranya.
"mBah,
tenang dan jangan panik. Mari kita kerumah saja dan bicara. Kalau polisi tau
dan menjadi urusan, takutnya Sri akan di apa-apain," kata lurah Mardi yang
sudah lebih tenang.
***
"Maas,
enak banget rujaknya..." kata Lastri sambil meletakkan mangkuk bekas rujak
keatas meja, dalam keadaan kosong.
"Ya
ampun, segitu banyak... kamu habiskan sendiri?" tanya Bayu sambil melotot.
"Cuma
segitu aja .. mas pengin? Mengapa tadi belinya cuma satu bungkus?"
"Bukan
satu, dua bungkus tuh, yang satu aku masukin kulkas. Takutnya malam-malam kamu
nyuruh aku beli.. pusing aku."
"Kok
pusing sih mas, ini kan yang minta anakmu."
"Bagaimana
nggak pusing? Malam-malam minta rujak, yang jual sudah tidur mendengkur, yang
minta merengek-rengek sambil mukulin aku."
Lastri
tertawa.
"Jangan
ngeluh dong mas, ini yang minta kan si jabangbayi, kalau nggak diturutin nanti
ngiler lho.."
"Yang
ngiler ibunya 'kali.."
"Eh
mas, sana ih.. jangan deket-deket, keringatmu bau banget .." kata Lastri
ketika Bayu mendekatinya.
"Aku
tadi pulang beli rujak sudah ganti baju lho.. mana.. nggak bau.. bau sedap
nih."
"Mas
Bayu ... bauu ! Tau?!"
"Hm,
dulu aja.. waktu masih cinta-cintanya, ditinggalin sebentar aja diteriakin,
nempel nih di ketiak, katanya keringatku sedap. Sekarang.. baru sejam ganti
baju sudah dibilang bau."
"Mas,
sekarangpun aku juga tetap cinta. Tapi baunya itu bikin aku mual, bener.."
kata Lastri sambil menutup hidung dan mulutnya.
Bayu
mengalah, kembali melepaskan baju dan menggantinya yang bersih, kemudian duduk
disampung Lastri sambil mengelus perutnya lembut.
"Ayo,
sekarang bilang aku masih bau.." kata Bayu sambil cemberut.
"Nggak,
mas.. sekarang wangi, kan aku yang kasih pewangi di baju-baju mas."
"Oh
ya, gimana kabarnya mas Timan ya?"
"Telephone
dong mas.."
"Ya
udah, aku mau telepone dulu, penasaran. Kalau susah aku kan janji mau carikan
lawyer biar urusan uang dan utang pak Darmin sama Basuki segera diselesaikan
menurut hukum. Masa manusia bisa jadi jaminan."
"Disini
saja telephone nya mas, biar aku dengar."
"Hallo,
mas Bayu," suara Timan dari seberang ketika Bayu menelpone.
"Gimana
kabarnya, semua baik-baik saja?"
"Enggak
mas," kata Timan lesu.
"Enggak
gimana ?"
"Nggak
ada yang baik mas, si Sri diculik."
"Apa?
Sri diculik ?"
Lastri
yang duduk disebelah Bayu membelalakkan matanya.
"Ya
mas.. tadi ketika kami mau ketemu pak Darmin, didepan kantor polisi
Basuki tiba-tiba mendekati saya seperti menantang. Saya siap menghadapi mas,
demi cinta saya pertaruhkan nyawa saya. Sementara itu Sri saya tinggal dimobil
dalam ketakutan pastinya. Tapi tiba-tiba Basuki pergi begitu saja meninggalkan
saya yang masih marah. Tidak disangka mas, tampaknya dia menyuruh orang lain
membawa Sri pergi. Ketika saya balik ke mobil Sri sudah tidak ada."
"Bagaimana
Sri bisa diculik? Bukankah itu didepan kantor polisi "
"Kami,
saya pak lurah dan mbah Kliwon terpaku pada kelakuan Basuki yang kurangajar
dan menjengkelkan, tidak perhatian sama sekali pada si Sri yang ada
didalam mobil saya. Ketika Basuki pergi dan saya kembali ke mobil, Sri sudah
tidak ada."
"Bagaimana
bisa Sri menurut begitu saja, tidak berteriak atau apa?"
"Kata
polisi yang ada didepan waktu itu, seorang wanita menghampiri dan mengajaknya
pergi. Nggak tau wanita itu siapa. Pasti Basuki menyuruh orang, dan semua sudah
dipersiapkannya."
"Kalau
begitu langsung saja kita lapor ke polisi mas. Mas dimana, saya mau
kesitu."
"Saya
masih di Sarangan mas. Jangan lapor, dia meninggalkan tulisan yang isinya
mengancam, kalau kita lapor polisi maka Sri taruhannya."
"Ya
Tuhan.. harus dengan cara apa kalau begini caranya."
"Saya
akan mencari disetiap rumah milik Basuki, pak lurah tau beberapa
diantaranya."
"Baiklah
mas, nanti kalau mas Timan sudah pulang kita ketemuan ya."
Ketika
pembicaraan itu ditutup, Bayu tampak terduduk lemas, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kok
bisa sampai seperti ini ya mas, kasihan Sri. Dibawa kemana dia? Segera lapor
saja mas."
"Basuki
meninggalkan surat ancaman. Sri taruhannya, sehingga belum ada yang berani
bertindak."
"Sri..
Sri... kasihan kamu Sri.."
***
Sri
tiba-tiba membuka matanya, dan mendapati dirinya berada disebuah kamar yang
sangat apik. Dengan kasur empuk, kamar yang luas, berbau harum, berseprei merah
jambu dengan motif bunga-bunga. Ada almari besar disudut ruangan. Kaca hias
yang indah dengan ukiran-ukiran manis, dan banyak alat-alat make up yang Sri
tidak mengerti itu apa saja.
Sri
mengedip-ngedipkan matanya, merasa seperti mimpi. Tak ada siapapun disitu. Ia
ingin bangkit. tapi kepalanya terasa berdenyut.
"Bagaimana
aku bisa berada ditempat ini? Ini rumah siapa? Bagus sekali."
Lalu
Sri memegangi kepalanya karena tiba-tiba ia merasa semakin pusing. Ia
mencoba mengingat ingat apa yang tadi dialaminya.
Ia
mencobanya terus. Sekilas terbayang wajah Timan.
"Oh
ya, bukankah aku tadi bersama mas Timan?" bisiknya pelan sambil terus
memegangi kepalanya.
"Lalu
orang gila itu datang, mendekati mas Timan.."
Sri
terus mengingat ingat. Lalu apa.. dimana mas Timan, dimana orang gila itu? Lalu
terbayang wajah seorang perempuan cantik yang tidak lagi muda, mungkin tujuh
atau sepuluh tahun diatasnya, tapi berdandan begitu apik.
Lalu
Sri mencium sebuah aroma yang sangat wangi, begitu menusuk hidungnya, menyeruak
melalui jendela kaca yang terbuka. Iapun merasa pusing, dan mendiamkannya
ketika wanita itu membuka pintu mobilnya.
"Kenapa
dik? Sakit?" wanita itu bertanya.
Sri
mengangguk.
"Ayo
turunlah, dimobilku ada obat.. nanti pasti sembuh."
Lalu
Sri yang merasa lemas menurut, turun dan mengikuti ketika wanita itu
menggandengnya. Lalu Sri tak ingat apa-apa lagi.
"Lalu
apa... aku ikut siapa tadi, mana wanita cantik itu? Mana mas Timan..."
bisik Sri, lalu ia berusaha bangkit lagi, tak kuat, lalu menjatuhkan lagi
tubuhnya diatas ranjang, yang seperti mengayunkan tubuhnya ketika ia
menghempaskannya dengan keras.
"Adduh..."
keluh Sri yang lagi-lagi memegangi kepalanya.
Tiba-tiba
pintu kamar itu terbuka. Pintu besar berwarna putih dengan garis emas
disekeliignya, lalu Sri memejamkan matanya.
"Pasti
aku sedang bermimpi, ini istana ?"
Tiba-tiba
Sri merasa seseorang memegangi dahinya.
Sri
membuka matanya, dan wajah cantik itu berada tepat disampingnya. Ya, dia wanita
yang mengajaknya pergi.
"Pusing?"
tanya wanita itu.
"Pusing,
saya dimana ?"
"Dirumahku."
"Oh,
mana mas Timan?"
"Kamu
harus minum obat dulu, lalu mandi dan berganti pakaian."
"Apa?"
Wanita
itu ternyata sudah menyiapkan obat dan minuman diatas meja. Meja marmer
berbentuk oval yang ditengahnya berdiri sebuah vas penuh bunga. Sri tidak
memperhatikannya karena terletak persis disamping dia berbaring.
"Minumlah,
supaya pusingnya hilang."
Sri
menurut, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut. Kesadarannya seperti
belum pulih benar. Ia masih seperti bermipi.
Aku
akan menyiapkan baju ganti sebentar. Lalu kamu harus mandi.
Sri
terdiam.Kepalanya masih berdenyut, tapi ia belum sadar benar. Ia biarkan
saja wanita cantik itu meletakkan setumpuk baju diatas ranjangnya.
"Coba
bangunlah, masih pusingkah?"
Sri
mencoba bangun. Kira-kira setengah jam sejak ia minum obat itu, rasa pusingnya
sudah berkurang.
"Mandilah,
itu kamar mandi. Ada kran yang bisa mengucurkan air hangat kalau kamu merasa
kedinginan."
Sri
sudah duduk ditepi pembaringan. Wanita itu mengulurkan handuk yang tebal
berwarna biru muda. Harumnya...Lalu Sri menciumnya berkali-kali. Ia menurut
ketika wanita itu menuntunnya kekamar mandi.
"Itu...
apa?"
Tanya
Sri ketika ada seperti kolam kecil panjang dikamar mandi itu.
"Itu
namanya bathtub. Kamu bisa masuk kesitu dan mandi didalamnya, lepas
bajumu dan masuklah."
"Lepas
?"
Sri
menangkupkan kedua tangannya didadanya tanda menolak untuk melepas bajunya.
"Baiklah,
aku akan keluar dan mandilah sesuka hati kamu dengan cara apa yang kamu nyaman.
Ini ada kran, ini ada shower.. kalau begini air yang keluar hangat. Nih..
cobain.. Lalu Sri terkejut ketika tiba-tiba dari shower itu mengucur air hangat
yang membuat dirinya basah kuyup.
Wanita
itu terkekeh.
"Tuh,
sudah basah kuyup begitu masih mau kamu pakai juga, sekarang aku mau keluar dan
mandilah sesukamu. Ini sabun cair, pencet saja akan keluar sabun nya."
Lalu
wanita itu keluar.
Sri
kebingungan, ia sudah berada dikamar mandi, bajunya basah kuyup, jadi mau tidak
mau ia harus melepasnya. Ia tak mau masuk kedalam 'kolam' kecil itu, ia lebih
suka mengguyur tubuhnya setelah menggosoknya dengan sabun.
Seperti
mimpi juga ketika ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk yang tadi diberikan
wanita itu. Eit, ini bukan sekedar handuk. Seperti baju, lalu bisa ditalikan.
Sri besyukur karena keluar dari kamar mandi bukan hanya berbalutkan handuk yang
pasti membuat bahu dan sebagian dadanya kelihatan.
"Sudah
selesai?"
Sri
hampir terlonjak ketika mendengar suara itu. Wanita yang tadi ternyata masih
menungguinya dikamar.
Sri
belum benar-benar sadar. Tapi ia meronta ketika wanita itu akan membuka kimono
pembalut tubuhnya.
"Baiklah,
aku akan menghadap kesana dan kenakanlah pakaian ini. Ini, celana dalam,
kutang, sudah bisa kan memakainya? Lalu ini hanya pakaian rumahan, daster tapi
bahannya sangat halus, kamu akan nyaman memakainya. Ada talinya biar kelihatan
bentuk tubuh indahmu.
Wanita
itu duduk dikursi lalu memutar kursi itu sehingga membelakanginya.
Sri
mengenakan pakaian ganti itu. Hm, bahan bajunya halus, enak dipakainya. Tanpa
sadar Sri menghadap kearah cermin.
"Aku
ini dimana? Aku bingung? Apa yang terjadi?" katanya lirih, lalu menalikan
tali yang terpasang dibaju itu.
Wanita
itu memutar kursinya dan kembali menghadapi Sri.
"Wauw,
kamu memang cantik. Cantik dan masih polos. Tapi duduklah didepan cermin itu,
aku akan mendandanimu," katanya sambil mendekati Sri dan mendudukkannya
didepan cermin itu.
"Apa
yang terjadi? Anda siapa?"
"Diam
dulu, aku akan mendandanimu ya."
Wanita
itu menyisir rambut Sri yang tergerai panjang,
"Masih
basah, biar begini saja, nanti aku keringkan."
Lalu
wajah Sri dibersihkan, dipoles alas bedak yang harum.
"Kamu
memang cantik Sri.. tak heran banyak orang tergila-gila sama kamu," gumam
wanita itu sambil mendandani Sri.
"Mana
mas Timan?"
"Diamlah.."
"Apa
aku bermimpi? Kepalaku masih pusing.."
"Nanti
kamu boleh tiduran lagi..
Sri
merasa lelah, hampir setengah jam entah diapakan wajahnya, yang tak bisa
ditolaknya.
"Nah,
lihat wajahmu, kamu seperti bidadari," kata wanita itu sambil berdiri
dibelakang Sri, membiarkan Sri menatap wajahnya sendiri.
"Itu..
bukan aku.." bisiknya lirih..
"Itu
kamu, baru sadar kalau kamu cantik?"
"Aku
lelah.. aku mau tidur lagi.."
"Baiklah,
ayo tidurlah, aku akan membawa baju-baju kotormu ini kebelakang, atau mungkin
dibuang saja ya?"
"Apa?"
Wanita
itu keluar, membawa semua baju kotornya. Sri kembali merasa pusing. Ia
berbaring sambil memegangi lagi kepalanya.. Obat yang diberikan wanita itu
hanya sebentar mengurangi pusingnya, sekarang mengapa menjadi bertambah berat
begini? Pikir Sri.
"Mimpi
apa aku ini? Mengapa seperti ini? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba
pintu itu terbuka. Sri segan membuka matanya yang terasa berat. Tapi ia
terkejut ketika mendengar suara berdehem.
***
besok
lagi ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar