Sabtu, 09 Mei 2020

Kembang Titipan 13-14


*KEMBANG TITIPAN  13*

Timan terus menjalankan mobilnya dengan bingung.
"Ada apa Sri? Itu mobil pak lurah sudah sampai disana, pasti kita ditungguin."
"Jangan mas, aku takut."

"Kenapaa? Sri.. jangan membuat aku  bingung. Ada apa?"
"Ada Basuki disana."
"Apa? Dimana ?"
"Lagi ngomong sama pak lurah.."

"Masa sih? Lalu mengapa kamu takut? Kan ada aku. Biar aku temui dia supaya semuanya menjadi jelas."

Tiba-tiba Timan menghentikan mobilnya  agak ketepi.
"Ya ampun mas, jangan.."

Sri benar-benar ketakutan, wajahnya pucat pasi.
"Sri, kalau benar dia Basuki, aku justru ingin menemui dia. Nggak apa-apa ada aku, kita kembali kesana ya?"

"Demi Tuhan, aku takut mas.."
"Kan ada aku ?"
"Tidak mas, jangan... sungguh aku takut."
"Aku akan menghadapinya Sri, aku tidak takut."

"Tapi aku takut mas... " suara Sri serak, hampir menangis, lalu Timan merasa kasihan.
"Ya sudah, jangan menangis, aku akan kirim pesan singkat ke pak lurah bahwa kita tidak akan kesana."

Timan sebenarnya ingin ketemu Basuki, kalau perlu bicara langsung dan apapun ingin dihadapinya. Tapi melihat keadaan Sri, ia mengalah. Lalu dikirimnya pesan singkat ke pak lurah.

PAK LURAH, MA'AF, SRI TIDAK JADI MENEMUI BAPAKNYA. ADA KEPERLUAN LAIN.

Dan pak lurah yang membaca pesan itu kemudian bisa mengerti, karena tadi dia sempat melihat mobil Timan melintas tanpa ada tanda-tanda mau berhenti.

***

Basuki mondar mandir didepan kantor polisi itu, lalu kembali kearah pak lurah.

"Mana dia ? Mengapa belum sampai juga?" tanyanya dengan wajah kesal.
"Baru saja dia mengabari, bahwa tak jadi datang kemari."

"Apa? Mengapa nggak jadi?" keras suara Basuki. Seperti kebiasaan dia bicara sama bawahannya, lupa bahwa dihadapannya adalah orang asing, seorang kepala desa  pula.
"Saya tidak tau pak. Mungkin ada keperluan lain, atau ... “
Lurah Mardi seperti sedang berfikir mencari jawaban yang tepat..

"Atau apa?"
"Waktu dia datang kemari untuk yang pertama kali, pak Darmin sangat marah pada Sri. Dinilainya Sri tidak patuh atau bagaimana, pokoknya kedatangan Sri tidak ditanggapi. Mungkin sekarang Sri takut, lalu mengurungkan niyatnya. Kan pak Darmin itu kalau marah nggak perduli apapun.. walau ada banyak orang tetap saja dia teriak-teriak. tanpa mengenal malu. Nah Sri yang malu."

Tampaknya jawaban pak lurah bisa diterima Basuki. Namun ketika Basuki hendak berlalu, lurah Mardi mencegahnya.

"Tunggu pak, saya ingin bicara, bisakah kita masuk sebentar?"
"Dengan siapa Sri pergi? Saya lupa menanyakan." tanya Basuki mengalihkan pembicaraan.
"Dengan temannya."

"Perempuan, atau laki-laki? Mengapa kalian bisa berpisah? Bukankah tadi pak lurah nyamperin kerumah mbahnya, oh.. itukah mbahnya Sri?" kata Basuki sambil menuding kearah mbah Kliwon.

mBah Kliwon tak menjawab. Sebel banget melihat tingkah orang yang sedikitpun tak menaruh hormat kepada orang lain padahal baru dikenalnya.

"Temannya, perempuan, tadi bertemu dijalan lalu dia minta berhenti, dan bilang mau menyusul kemari, ternyata tidak jadi. Tapi sebentar, saya tadi bilang ingin bicara sama pak Basuki kan? Bisakah kita masuk sambil menemui pak Darmin?"

"Tidak, mau bicara apa, langsung disini saja."
"Nggak enak pak, masa dipinggir jalan begini?"

"Tidak apa-apa, siapa bilang nggak enak, ayo bicaralah, aku sedang tergesa-gesa."
"Baiklah, apa boleh buat kalau pak Basuki ingin kita berbicara disini. Begini, waktu saya datang sebelum ini, saya bilang pada pak Darmin,  bahwa ada seorang pemuda yang ingin mengambil isteri anaknya."

"Maksudnya si Sri?"
"Ya, si Sri.."
"Tidak. Tidak mungkin, Sri itu milikku." hardik Basuki dengan wajah merah padam.

"Ya, pak Darmin juga bilang begitu. Dia bilang Sri itu dititipkan oleh pak Basuki, sejak dia masih kecil, dengan imbalan pak Basuki membayar semua hutangnya."

"Itu benar, dan tidak sedikit aku mengeluarkan uang untuk itu."
"Baiklah, bagaimana kalau uang pak Basuki yang telah digunakan untuk membayar hutang pak Darmin itu dikembalikan?"

"Aahaaa... maksudnya dengan begitu Sri harus saya kembalikan?"
"Begitu kira-kira pak."

"Tidak ! Tidak.. dan tidak !!" teriak Basuki sambil mengacungkan jari telunjuknya kearah wajah pak lurah. Lalu Basuki membalikkan tubuhnya dan pergi menuju ke mobilnya. Terdengar deruman keras ketika Basuki memacu mobilnya dan seperti melayang melintasi mobil pak lurah.

"Ya Tuhan, apa dia manusia?" keluh mbah Kliwon menahan amarah.

Lurah Mardi terpaku ditempatnya, belum pernah seseorang bersikap begitu kasar terhadapnya. Kalau menuruti kemauannya ingin dia mengayunkan bogem kewajah ganteng yang tak punya sopan santun itu. Tapi dia seorang kepala desa yang harus bisa menahan emosinya. Ia hanya mengelus dada, sambil menghela nafas panjang.

"Orang yang begitu mau jadi suami cucuku? Darmin benar-benar sudah gila."
"Jadi gimana ini mbah, jadi ketemu pak Darmin tidak?"

"Atau kita minta Sri kemari saja? Tiba-tiba membatalkan niatnya kemari, pasti karena melihat Basuki."
"Tadi dia bilang apa?" 

"Mas Timan yang bilang melalui pesan singkat, katanya Sri nggak jadi kemari karena ada keperluan. Cuma gitu. Tapi saya tadi melihat mobilnya melintas, tidak berhenti. Pasti karena melihat Basuki lalu Sri minta supaya mas Timan tidak berhenti. Coba saya telephone dulu ya."

"Hallo mas Timan," sapa lurah Mardi ketika telephonenya diangkat.
"Hallo pak lurah, disitu masih ada Basuki?"
"Tuh kan, nggak berhenti karena melihat dia ya?"
"Iya, Sri ketakutan sampai menangis tuh."

"Kasihan Sri, tapi dia sudah pergi. Cuma saya tadi sudah sempat bicara sama Basuki."
"So'al uang pengganti itu?"
"Ya, dia menolak mentah-mentah."
"Menolak? Tidak mau seandainya uangnya diganti? Dengan nilai sekarang?"

"Dia marah-marah, maunya bukan uang, tapi Sri."
"Ya ampuun.. lalu bagaimana ini?"
"Mau kesini nggak mas, saya tungguin nih sama mbah Kliwon."
"Ya pak lurah, kalau dia sudah pergi saya mau kesitu, tadi kan Sri ketakutan."

***

Dan tanpa dinyana, sambutan Darmin siang itu begitu menyenangkan. Ia langsung memeluk Sri dengan air mata yang tak terbendung. Sejagad penyesalan merubungi hatinya, membuat sesak dadanya dan yang kemudian ditumpahkannya dalam isak yang berkepanjangan.

"Mengapa bapak menangis ?" tanya Sri yang tentu saja ikut terisak.
"Bapak merasa sakit. Sakit oleh ulah bapak selama berpuluh tahun. Bergelimang dosa dan maksiat, tak pernah merasa jadi pelindung yang baik bagi anak isteri."

"Ya sudah pak, jangan terlalu tenggelam dalam sesal. Bukankah rasa penyesalan itu adalah nikmat menuju kebaikan? Mari kita jalani semua ini bersama-sama."

"Bapak tak mengira kamu bisa mengatakan semua ini. Sri kecil yang teraniaya karena ulah bapaknya. Ma'afkan bapak, ma'afkan bapak ya nduk."
"Sri sudah mema'afkan sebelum bapak memintanya."

"Bapak, ma'afkan juga saya ya pak," kata Darmin sambil mencium tangan bapak mertuanya."
"Sudah.. sudah, bapak sudah mema'afkannya. Bapak senang kamu menyadari semuanya. Ayo sekarang duduklah, akan bapak perkenalkan ini, nak Timan."

Timan mendekat dan meraih tangan Darmin. Kali itu Darmin tak menolaknya. Ia menepuk punggu punggung Timan dengan hangat.

"Pak lurah, ma'afkan saya yang selalu berlaku kasar, dan terimakasih atas perhatiannya kepada saya yang banyak dosa ini." kata Darmin yang juga menyalami pak lurah.

"Tidak apa-apa pak Darmin, banyak orang bisa mengakui kesalahan, tapi tak banyak yang menyadarinya. Saya senang pak Darmin bisa menyadarinya."

"Tapi nasib Sri sungguh buruk. Basuki tak mau uangnya dikembalikan. Ia hanya minta Sri, seperti janji saya pada puluhan tahun lalu, ketika Basuki membayar hutang-hutang saya."

"Nanti kita akan mencari jalan terbaik untuk itu, kita akan memikirkannya bersama. Tadi saya ketemu pak Basuki diluar sana."
"Jadi dia belum pergi ?"

"Tadi sudah kesini?'
"Sudah, saya menemuinya sebentar karena bicaranya ngaco tidak karuan. Lalu dia pergi karena saya bilang sedang nggak enak badan. Ternyata dia masih menunggu diluar?"

"Mungkin dia masih berada disekitar, karena tau bahwa Sri akan datang kemari. Begitu saya datang, dia langsung mendekat dan mencari-cari si Sri. Untunglah Sri belum datang."

"Jadi tadi ketemu Sri juga?"
"Tidak, karena Sri yang bersama nak Timan melihat ada Basuki sedang bicara sama saya, kemudian Sri tidak jadi berhenti. Baru setelah Basuki pergi, saya panggil Sri kemari."

"Pak lurah bicara apa sama dia?"
"Tentang keinginan nak Timan akan mengganti uang yang sudah diberikan Basuki kala itu. Tapi dia menolaknya mentah-mentah."

"Tadi dia sudah mengatakannya. Saya jadi bingung pak lurah. Dia terus menuntut agar Sri segera diserahkan."

"Baiklah, nanti hal itu kita bicarakan lagi. Sekarang ada kabar baik sementara, tentang orang yang pak Darmin pukul waktu itu."
"Matikah dia?" tanya Darmin dengan wajah cemas.

"Tidak, justru kabar baik, dia selamat dan mungkin hari ini sudah pulang. Kabar baiknya lagi dia berjanji tidak akan menuntut."

"Berarti saya tidak akan lama lagi ditahan disini?"
"Mungkin tak lama lagi bisa pulang pak."

"Syukurlah, tapi bagaimana dia bisa bilang tidak akan menuntut?"
"Mas Timan membayar semua biaya selama dia dirumah sakit, dan juga memberinya sejumlah uang."

"Ya Tuhan, nak.. perlakuanku terhadapmu tidak baik, tapi kamu melakukan hal yang luar biasa untuk aku, ma'afkan bapak ya nak." kata Darmin sambil memeluk Timan.

"Jangan hal itu difikirkan pak, yang penting bapak selamat, dan Sri juga segera terbebas dari cengkeraman Basuki. Kami sedang mengusahakannya."

"Apakah nak Timan juga yang mau mengganti uang Basuki ?"
"Ya, tapi sementara ini dia masih belum mau menerima."
"Ya Tuhan, mengapa sejak dulu aku tidak bergaul dengan orang-orang baik ini?" kata Darmin yang kembali berlinangan air mata.

***

"Mas, bagaimana kabarnya Sri ? Mas sudah menelpon kang Mardi tadi kan?"
"Iya, baru saja selesai bicara,  bagaimana kamu, masih mual?"
"Sudah agak berkurang. Tadi kang Mardi bilang apa?"
"Kamu itu lagi sakit masih mikir yang macam-macam, istirahat dulu lah Tri."

"Aku sakit apa? Kata mas aku sakit menyenangkan."
"Iya, tapi kamu muntah-muntah terus."
"Enggak mas, sudah enggak. Aku sekarang ingin tau kabarnya Sri bagaimana. Prihatin aku mas."

"Ya belum sepenuhnya selesai.  Basuki tidak mau uangnya dikembalikan. Dia tetep minta Sri, tidak yang lainnya."
"Kok gitu ya mas, bukankah yang penting uangnya kembali?"
"Dia orang kaya, uang tak ada artinya. Suka atau tidak dia harus mendapatkan Sri,"

"Kalau Sri nggak mau?"
"Jelas nggak mau lah.. dia kan cintanya sama mas Timan."

"Waduh, bisa kacau ya mas... lalu bagaimana caranya melepaskan Sri dari ikatan  yang rumit itu?"
"Kalau aku ya.. larinya ke jalur hukum saja.."
"Bisa ya mas ?"
"Ya bisa lah.."

"Tapi kan perjanjiannya pakai surat.. ditandatangani pula oleh pak Darmin."
"iya, tapi bisalah, itu kan menyangkut tindakan asusila, dan melanggar hak azasi manusia."

"Kalau bisa aku bersyukur mas. Tapi.. aduh mas, aku mau dibeliin rujak dong.."
"Tuh kan.."
"Tapi rujaknya harus yang pakai mangga.."
"Lhah, kan ini lagi nggak musim mangga...?"

"Pokoknya aku mau yang pakai mangga... buruan mas, mau muntah nih..."
Aduh, susah ya punya isteri ngidam. Bayu baru mengganti bajunya karena sebentar-sebentar memang ia harus ganti baju. Lastri nggak suka bau keringatnya. Kalau berani mendekat dengan tubuh keringatan pasti Lastri mengusirnya. Aduhai..

"Buruan mas.."
"Iya..iya.. aku cari dulu, ini lagi ganti baju nih... Pengin tau deh, kayak apa nakalnya anakku ini nanti.. semoga tidak rewel seperti ibunya," kata Bayu sambil mencium perus isterinya.
"Iih,, aku nggak rewel ya, justru anak mas ini yang rewel," kata Lastri sambil cemberut.
***

Sri dan Timan serta lurah Mardi agak lama ketemuan sama Darmin. Ada bahagia dihati Sri karena bapaknya tak lagi menolak Timan. Mereka malah kelihatan akrab dan cocog satu sama lain.

"Ya sudah, kayaknya sa'atnya pulang ya, sudah kelaman kita disini," ajak lurah Mardi.
"Bapak sabar ya, kami akan mengurus semuanya agar bapak bisa segera pulang," kata Timan sambil menyalami pak Darmin.

"Iya nak, terimakasih banyak atas semuanya, bapak tak akan bisa membalasnya."
"Tak usah difikirkan pak, selalu berdo'a agar semua ini akan segera berakhir baik."
"Ya nak.. ya, terimakasih pak lurah, bapak.. jaga Sri baik-baik ya.."

Darmin melepas kepergian mereka dengan perasaan mengharu biru. Masih ada yang harus difikirkannya, yaitu melepaskan si Sri dari genggaman Basuki. 

"Mas Timan langsung mengantar si Sri atau kembali ke Solo?" tanya pak lurah.

"Biar saya antar sampai kerumah pak. Oh ya, mas Bayu tadi telephone akan mencari lawyer .. kayaknya Basuki harus diselesaikan melalui jalur hukum, Tadi saya belum bicara takutnya pak Darmin akan khawatir. Nanti malam saya akan menemui mas Bayu, biar lebih jelas bicaranya." kata Timan sambil menuju kearah mobilnya.

"Ya mas, saya siap membantu apapun dan kapanpun. Ini saya sama mbah Kliwon ya. Mas Timan sama Sri."
"Baik pak lurah, mobil saya pickup, nggak enak kalau berdesakan."

Ketika Sri sudah naik keatas mobil dan Timan siap membuka pintu, tiba-tiba sebuah mobil berhenti, tepat dihadapan mobil Timan. Timan terkejut, wajah Sri berubah pucat.

Seorang laki-laki gagah keluar dari mobil mewah yang nyaris menabrak mobil Timan, lalu  berjalan kearah Timan. Timan berdiri terpaku, lalu tiba-tiba Timan merasa bahwa dia adalah Basuki. Dengan kepala ditegakkan Timan menunggu.

Dua orang laki-laki berhadapan, mata saling memandang dengan sorot mata berapi-api. Masing-masing segera menyadari wahwa yang berdiri dihadapannya adalah lawan yang harus disingkirkan.

 ***

besok lagi ya





*KEMBANG TITIPAN 14*

 

Tangan Timan sudah mengepal. Tak ada rasa takut walau dihadapannya ada laki-laki yang lebih tegap dan lebih tinggi dari dirinya. Cinta itu luar biasa. Cinta itu adalah rela untuk berkorban demi orang yang dicintainya. Kalau perlu  nyawa akan dipertaruhkannya. Aduhai...

 

Tapi Basuki, sama sekali tak memperebutkan cinta Sri, ia menggenggam harga diri dan kesombongannya. Mana mungkin dia mundur hanya karena iming-iming uang dikembalikan? No, Basuki tak terkalahkan. Basuki merasa tak akan  ada yang mengalahkannya. Ia diatas semua orang, dia berkuasa karena dia banyak harta.

 

Mata Basuki menyipit. Tanpa rasa sungkan apalagi hormat, dia menuding kearah muka Timan.

"Kamu siapa?"

 

"Saya Timan, dan saya tidak perlu bertanya siapa anda karena dari sikap anda saya sudah tau bahwa anda adalah Basuki," kata Timan tegas, setegas kemauannya melindungi si Sri.

 

"Saya melihat anda membawa Sri. Sri itu milikku. Jangan coba-coba mendekati dia."

"Bagaimana kalau saya menolak keinginan anda? Sri lebih mencintai saya,  bukan laki-laki yang walau banyak harta tapi tidak memiliki tata krama."

 

Mata Basuki terbelalak, merah menyala seperti naga siap melalap mangsanya. Tapi Timan tak gentar. Tangannya sudah mengepal, siap membela diri seandainya Basuki memukulnya.

Sementara itu pak lurah dan mbah Kliwon yang menyaksikan perdebatan kedua lelaki itu mendekat.

 

"Mengapa disini? Bagaimana kalau kita masuk kedalam, ada polisi yang siap menjadi saksi kalau terjadi apa-apa," kata lurah Mardi.

"Baiklah, kita akan ketemu dimana?" tantang Basuki.

 

"Tidak pak Basuki, kita ini manusia yang harusnya punya tata krama. Kita juga bukan anak kecil yang harus menyelesaikan perdebatan dengan pergumulan. Mari kita cari jalan terbaik."

 

Tiba-tiba Basuki membalikkan tubuhnya, menuju mobilnya. Ia memundurkan beberapa langkah sebelum melaju dengan kecepatan tinggi.

 

"Sabar mas, ada wadah untuk berdebat, bukan dengan kekerasan. Kita akan menyelesaikannya melalui jalur yang lebih santun. Ayo kita pulang dan menenangkan pikiran," ajak lurah Mardi.

 

Timan kembali kemobilnya, tapi alangkah terkejutnya ketika melihat Sri tak ada disana.

Ia menoleh kearah mobil pak lurah, yang sudah menstarter mobilnya, lalu Timan melambaikan tangannya, minta untuk berhenti.

 

"Ada apa mas Timan?"

"Sri ada disini ?"

"Lho, bukannya tadi ada di mobil mas Timan?"

"Nggak ada tuh..."  jawab Timan bingung.

 

Lurah Mardi turun, diikuti mbah Kliwon. Mereka mencari kesana kemari, tapi tak ditemukannya si Sri. Timan masuk kedalam kantor polisi, barangkali karena ketakutan Sri masuk dan bersembunyi disitu. Tapi tak ada. Lurah Mardi bertanya kepada seorang petugas yang ada disana ketika mereka bertemu Basuki, 

 

"Seorang gadis?" tanya petugas itu.

"Ya, yang tadi duduk dimobil saya ini.."

"Baju coklat ?"

"Ya benar."

"Tadi turun dari mobil, lalu pergi bersama seorang wanita."

Semuanya terkejut.

 

Pergi dengan seorang wanita? Mengapa Sri diam saja dan tidak bilang apa-apa kepada mereka? Apakah karena Sri ketakutan? Mereka kebingungan.  Timan memukul-mukul kepalanya. Menyesal karena terbakar emosi ketika melihat Basuki, lalu melupakan si Sri yang ada didalam mobil sendirian.

 

"Bagaimana ini?" tanya Timan panik.

"Kita laporkan saja sekalian. Jangan-jangan ini juga karena ulah Basuki."

"Tapi kan Basuki tadi bersama saya?"

"Siapa tau dia punya anak buah yang disuruh melakukan sesuatu.."

 

"Ya Tuhan... dibawa kemana cucuku ?" keluh mbah Kliwon bingung.. ia berjalan mondar mandir kesana kemari. sambil memanggil-manggil nama si Sri. 

"Sri... Sri.. dimana kamu Sri..."

 

"Pantesan tadi tiba-tiba dia pergi, pasti dia sudah tau kalau anak buahnya atau temannya berhasil membawa Sri, kata Timan penuh sesal.

 

Timan membuka lagi mobilnya, barangkali ia salah lihat dan ternyata Sri masih ada didalam. Tak ada, Lalu Timan melihat sesuatu, secarik kertas  bertuliskan spidol merah.

 

JANGAN SEKALI-SEKALI LAPOR POLISI, SRI ADA DITANGANKU, KESELAMATANNYA TERGANTUNG ANDA.

 

Timan tercekat, ia melambaikan tangan kearah lurah Mardi yang sudah siap masuk kekantor polisi.

Timan mendekat dan menunjukkan kertas itu.

 

"Benar-benar kurangajar orang itu!!" umpat lurah Mardi.

Mbah Kliwon lemas mengetahui bahwa Sri benar-benar dibawa kabur Basuki, entah bagaimana caranya.

 

"mBah, tenang dan jangan panik. Mari kita kerumah saja dan bicara. Kalau polisi tau dan menjadi urusan, takutnya Sri akan di apa-apain," kata lurah Mardi yang sudah lebih tenang.

***

 

"Maas, enak banget rujaknya..." kata Lastri sambil meletakkan mangkuk bekas rujak keatas meja, dalam keadaan kosong.

"Ya ampun, segitu banyak... kamu habiskan sendiri?" tanya Bayu sambil melotot.

 

"Cuma segitu aja .. mas pengin? Mengapa tadi belinya cuma satu bungkus?"

"Bukan satu, dua bungkus tuh, yang satu aku masukin kulkas. Takutnya malam-malam kamu nyuruh aku beli.. pusing aku."

 

"Kok pusing sih mas, ini kan yang minta anakmu."

"Bagaimana nggak pusing? Malam-malam minta rujak, yang jual sudah tidur mendengkur, yang minta merengek-rengek sambil mukulin aku."

Lastri tertawa.

 

"Jangan ngeluh dong mas, ini yang minta kan si jabangbayi, kalau nggak diturutin nanti ngiler lho.."

"Yang ngiler ibunya 'kali.."

 

"Eh mas, sana ih.. jangan deket-deket, keringatmu bau banget .." kata Lastri ketika Bayu mendekatinya.

"Aku tadi pulang beli rujak sudah ganti baju lho.. mana.. nggak bau.. bau sedap nih."

"Mas Bayu ... bauu ! Tau?!"

 

"Hm, dulu aja.. waktu masih cinta-cintanya, ditinggalin sebentar aja diteriakin, nempel nih di ketiak, katanya keringatku sedap. Sekarang.. baru sejam ganti baju sudah dibilang bau."

"Mas, sekarangpun aku juga tetap cinta. Tapi baunya itu bikin aku mual, bener.." kata Lastri sambil menutup hidung dan mulutnya.

 

Bayu mengalah, kembali melepaskan baju dan menggantinya yang bersih, kemudian duduk disampung Lastri sambil mengelus perutnya lembut.

 

"Ayo, sekarang bilang aku masih bau.." kata Bayu sambil cemberut.

"Nggak, mas.. sekarang wangi, kan aku yang kasih pewangi di baju-baju mas."

"Oh ya, gimana kabarnya mas Timan ya?"

"Telephone dong mas.."

 

"Ya udah, aku mau telepone dulu, penasaran. Kalau susah aku kan janji mau carikan lawyer biar urusan uang dan utang pak Darmin sama Basuki segera diselesaikan menurut hukum. Masa manusia bisa jadi jaminan."

"Disini saja telephone nya mas, biar aku dengar."

 

"Hallo, mas Bayu," suara Timan dari seberang ketika Bayu menelpone.

"Gimana kabarnya, semua baik-baik saja?"

"Enggak mas," kata Timan lesu.

"Enggak gimana ?"

"Nggak ada yang baik mas, si Sri diculik."

"Apa? Sri diculik ?"

 

Lastri yang duduk disebelah Bayu membelalakkan matanya.

 

"Ya mas.. tadi ketika kami mau ketemu pak Darmin, didepan kantor polisi  Basuki tiba-tiba mendekati saya seperti menantang. Saya siap menghadapi mas, demi cinta saya pertaruhkan nyawa saya. Sementara itu Sri saya tinggal dimobil dalam ketakutan pastinya. Tapi tiba-tiba Basuki pergi begitu saja meninggalkan saya yang masih marah. Tidak disangka mas, tampaknya dia menyuruh orang lain membawa Sri pergi. Ketika saya balik ke mobil Sri sudah tidak ada."

 

"Bagaimana Sri bisa diculik? Bukankah itu didepan kantor polisi "

 

"Kami, saya pak lurah dan mbah Kliwon terpaku pada kelakuan Basuki yang kurangajar dan  menjengkelkan, tidak perhatian sama sekali pada si Sri yang ada didalam mobil saya. Ketika Basuki pergi dan saya kembali ke mobil, Sri sudah tidak ada."

 

"Bagaimana bisa Sri menurut begitu saja, tidak berteriak atau apa?"

"Kata polisi yang ada didepan waktu itu, seorang wanita menghampiri dan mengajaknya pergi. Nggak tau wanita itu siapa. Pasti Basuki menyuruh orang, dan semua sudah dipersiapkannya."

 

"Kalau begitu langsung saja kita lapor ke polisi mas. Mas dimana, saya mau kesitu."

"Saya masih di Sarangan mas. Jangan lapor, dia meninggalkan tulisan yang isinya mengancam, kalau kita lapor polisi maka Sri taruhannya."

 

"Ya Tuhan.. harus dengan cara apa kalau begini caranya."

"Saya akan mencari disetiap  rumah milik Basuki, pak lurah tau beberapa diantaranya."

"Baiklah mas, nanti kalau mas Timan sudah pulang kita ketemuan ya."

 

Ketika pembicaraan itu ditutup, Bayu tampak terduduk lemas, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

"Kok bisa sampai seperti ini ya mas, kasihan Sri. Dibawa kemana dia? Segera lapor saja mas."

"Basuki meninggalkan surat ancaman. Sri taruhannya, sehingga belum ada yang berani bertindak."

"Sri.. Sri... kasihan kamu Sri.."

***

 

Sri tiba-tiba membuka matanya, dan mendapati dirinya berada disebuah kamar yang sangat apik. Dengan kasur empuk, kamar yang luas, berbau harum, berseprei merah jambu dengan motif bunga-bunga. Ada almari besar disudut ruangan. Kaca hias yang indah dengan ukiran-ukiran manis, dan banyak alat-alat make up yang Sri tidak mengerti itu apa saja.

 

Sri mengedip-ngedipkan matanya, merasa seperti mimpi. Tak ada siapapun disitu. Ia ingin bangkit. tapi kepalanya terasa berdenyut.

 

"Bagaimana aku bisa berada ditempat ini? Ini rumah siapa? Bagus sekali."

Lalu Sri memegangi kepalanya karena tiba-tiba ia merasa semakin pusing.  Ia mencoba mengingat ingat apa yang tadi dialaminya.

Ia mencobanya terus. Sekilas terbayang wajah Timan.

 

"Oh ya, bukankah aku tadi bersama mas Timan?" bisiknya pelan sambil terus memegangi kepalanya.

"Lalu orang gila itu datang, mendekati mas Timan.."

 

Sri terus mengingat ingat. Lalu apa.. dimana mas Timan, dimana orang gila itu? Lalu terbayang wajah seorang perempuan cantik yang tidak lagi muda, mungkin tujuh atau sepuluh tahun diatasnya, tapi berdandan begitu apik.

 

Lalu Sri mencium sebuah aroma yang sangat wangi, begitu menusuk hidungnya, menyeruak melalui jendela kaca yang terbuka. Iapun merasa pusing, dan mendiamkannya ketika wanita itu membuka pintu mobilnya.

 

"Kenapa dik? Sakit?" wanita itu bertanya.

Sri mengangguk.

 

"Ayo turunlah, dimobilku ada obat.. nanti pasti sembuh."

Lalu Sri yang merasa lemas menurut, turun dan mengikuti ketika wanita itu menggandengnya. Lalu Sri tak ingat apa-apa lagi.

 

"Lalu apa... aku ikut siapa tadi, mana wanita cantik itu? Mana mas Timan..." bisik Sri, lalu ia berusaha bangkit lagi, tak kuat, lalu menjatuhkan lagi tubuhnya diatas ranjang, yang seperti mengayunkan tubuhnya ketika ia menghempaskannya dengan keras.

 

"Adduh..." keluh Sri yang lagi-lagi memegangi kepalanya.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Pintu besar berwarna putih dengan garis emas disekeliignya, lalu Sri memejamkan matanya.

 

"Pasti aku sedang bermimpi, ini istana ?"

Tiba-tiba Sri merasa seseorang memegangi dahinya.

Sri membuka matanya, dan wajah cantik itu berada tepat disampingnya. Ya, dia wanita yang mengajaknya pergi. 

 

"Pusing?" tanya wanita itu.

"Pusing, saya dimana ?"

"Dirumahku."

"Oh, mana mas Timan?"

"Kamu harus minum obat dulu, lalu mandi dan berganti pakaian."

"Apa?"

 

Wanita itu ternyata sudah menyiapkan obat dan minuman diatas meja. Meja marmer berbentuk oval yang ditengahnya berdiri sebuah vas penuh bunga. Sri  tidak memperhatikannya karena terletak persis disamping dia berbaring.

 

"Minumlah, supaya pusingnya hilang."

Sri menurut, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut. Kesadarannya seperti belum pulih benar. Ia masih seperti bermipi.

 

Aku akan menyiapkan baju ganti sebentar. Lalu kamu harus mandi.

Sri terdiam.Kepalanya masih berdenyut, tapi ia belum sadar benar.  Ia biarkan saja wanita cantik itu meletakkan setumpuk baju diatas ranjangnya.

 

"Coba bangunlah, masih pusingkah?"

Sri mencoba bangun. Kira-kira setengah jam sejak ia minum obat itu, rasa pusingnya sudah berkurang.

 

"Mandilah, itu kamar mandi. Ada kran yang bisa mengucurkan air hangat kalau kamu merasa kedinginan."

 

Sri sudah duduk ditepi pembaringan. Wanita itu mengulurkan handuk yang tebal berwarna biru muda. Harumnya...Lalu Sri menciumnya berkali-kali. Ia menurut ketika wanita itu menuntunnya kekamar mandi.

 

"Itu... apa?"

Tanya Sri ketika ada seperti kolam kecil panjang dikamar mandi itu.

 

"Itu namanya bathtub. Kamu bisa masuk kesitu dan mandi didalamnya,  lepas bajumu dan masuklah."

 

"Lepas ?"

Sri menangkupkan kedua tangannya didadanya tanda menolak untuk melepas bajunya.

 

"Baiklah, aku akan keluar dan mandilah sesuka hati kamu dengan cara apa yang kamu nyaman. Ini ada kran, ini ada shower.. kalau begini air yang keluar hangat. Nih.. cobain.. Lalu Sri terkejut ketika tiba-tiba dari shower itu mengucur air hangat yang membuat dirinya basah kuyup.

Wanita itu terkekeh.

 

"Tuh, sudah basah kuyup begitu masih mau kamu pakai juga, sekarang aku mau keluar dan mandilah sesukamu. Ini sabun cair, pencet saja akan keluar sabun nya."

Lalu wanita itu keluar.

 

Sri kebingungan, ia sudah berada dikamar mandi, bajunya basah kuyup, jadi mau tidak mau ia harus melepasnya. Ia tak mau masuk kedalam 'kolam' kecil itu, ia lebih suka mengguyur tubuhnya setelah menggosoknya dengan sabun. 

 

Seperti mimpi juga ketika ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk yang tadi diberikan wanita itu. Eit, ini bukan sekedar handuk. Seperti baju, lalu bisa ditalikan. Sri besyukur karena keluar dari kamar mandi bukan hanya berbalutkan handuk yang pasti membuat bahu dan sebagian dadanya kelihatan.

 

"Sudah selesai?"

Sri hampir terlonjak ketika mendengar suara itu. Wanita yang tadi ternyata masih menungguinya dikamar.

Sri belum benar-benar sadar. Tapi ia meronta ketika wanita itu akan membuka kimono pembalut tubuhnya.

 

"Baiklah, aku akan menghadap kesana dan kenakanlah pakaian ini. Ini, celana dalam, kutang, sudah bisa kan memakainya? Lalu ini hanya pakaian rumahan, daster tapi bahannya sangat halus, kamu akan nyaman memakainya. Ada talinya biar kelihatan bentuk tubuh indahmu.

 

Wanita itu duduk dikursi lalu memutar kursi itu sehingga membelakanginya.

Sri mengenakan pakaian ganti itu. Hm, bahan bajunya halus, enak dipakainya. Tanpa sadar Sri menghadap kearah cermin.

 

"Aku ini dimana? Aku bingung? Apa yang terjadi?" katanya lirih, lalu menalikan tali yang terpasang dibaju itu.

 

Wanita itu memutar kursinya dan kembali menghadapi Sri.

"Wauw, kamu memang cantik. Cantik dan masih polos. Tapi duduklah didepan cermin itu, aku akan mendandanimu," katanya sambil mendekati Sri dan mendudukkannya didepan cermin itu.

 

"Apa yang terjadi? Anda siapa?"

"Diam dulu, aku akan mendandanimu ya."

 

Wanita itu menyisir rambut Sri yang tergerai panjang,

"Masih basah, biar begini saja, nanti aku keringkan."

Lalu wajah Sri dibersihkan, dipoles alas bedak yang harum.

 

"Kamu memang cantik Sri.. tak heran banyak orang tergila-gila sama kamu," gumam wanita itu sambil mendandani Sri. 

"Mana mas Timan?"

"Diamlah.."

 

"Apa aku bermimpi? Kepalaku masih pusing.."

"Nanti kamu boleh tiduran lagi..

 

Sri merasa lelah, hampir setengah jam entah diapakan wajahnya, yang tak bisa ditolaknya.

"Nah, lihat wajahmu, kamu seperti bidadari," kata wanita itu sambil berdiri dibelakang Sri, membiarkan Sri menatap wajahnya sendiri.

 

"Itu.. bukan aku.." bisiknya lirih..

"Itu kamu, baru sadar kalau kamu cantik?"

"Aku lelah.. aku mau tidur lagi.."

 

"Baiklah, ayo tidurlah, aku akan membawa baju-baju kotormu ini kebelakang, atau mungkin dibuang saja ya?"

"Apa?" 

 

Wanita itu keluar, membawa semua baju kotornya. Sri kembali merasa pusing. Ia berbaring sambil memegangi lagi kepalanya.. Obat yang diberikan wanita itu hanya sebentar mengurangi pusingnya, sekarang mengapa menjadi bertambah berat begini? Pikir Sri.

 

"Mimpi apa aku ini? Mengapa seperti ini? Mana mas Timan?"

 

Tiba-tiba pintu itu terbuka. Sri segan membuka matanya yang terasa berat. Tapi ia terkejut ketika mendengar suara berdehem.

***

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar