“Ngger, Petruk anakku!” Semar
berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti biasanya, “Jangan kau kira aku
tidak mengenalimu, Ngger!”
“Apa yang kau lakukan, Thole? Apa
yang kau inginkan? Apakah kau merasa hina menjadi kawula alit?
Apakah kau merasa lebih mulia menjadi raja?”
“Sadarlah Ngger, jadilah dirimu
sendiri.”
Itulah kisah akhir lakon Petruk dadi
ratu. Kisah yang menunjukkan jika Petruk memang tak selamanya bisa menjadi
ratu. Dan, sang bapanya (Semar) harus turun tangan menyadarkan putranya yang
tak mampu ngemban wahyu keprabon.
Semar pula yang menyadarkan sekaligus
menggebrak hatinya Petruk: apakah menjadi kawula alit itu hina? Bersama
akhirnya ucapan sang bapa, Petruk yang bergelar Prabu Bel Geduwel Beh seketika
berubah menjadi wujud aslinya.
Lakon Petruk dadi ratu memang bukan hal asing
ditelinga penikmat wayang. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam
rangkain dies natalies-nya ke-49 juga menggelar lakon ini, dengan
menampilkan dalang Ki Hadi Suseno. Berkaitan dengan acara tersebut, saya jadi
berpikir dan bertanya-tanya, kenapa UNY menggelar lakon Petruk dadi ratu?
Sebab, dan biasanya, di kalangan khalayak jika ada hajatan besar lakon wayang
yang digelar selalu bersinggungan dengan wahyu keprabon, misalnya Wahyu
Mahkatharama. Lantas, pesan moral yang bagaimana jika dikaitkan dengan
lakon tersebut?
Banyak kalangan yang mempercayai jika lakon
Petruk dadi ratu merupakan lakon gugat, cerita pembangkangan. Jika dikaitkan
dengan tata kelola negara, ceritanya adalah kisah subversiv, makar.
Namun, kita juga boleh bertanya, siapa yang digugat Petruk? Dari segi apa lakon
ini bisa dikategorikan lakon makar? Bukankah “pemimpin” adalah hak setiap
manusia? Atau, jangan-jangan, lakon ini tak lain sebagai pesanan sang penguasa
rezim?
Petruk dan punokawan lainnya, dalam kisah
wayang semalam suntuk, selalu tampil sebagai abdi, pelayan. Mereka tak lebih
dari itu. Bentuknya yang lucu, aneh dan tak lazim jika dibanding dengan tokoh
wayang lainnya, seakan menegaskan jika perannya memang bukan sebagai ksatria,
raja, melainkan sebagai “pelawak”, penghibur. Dan, tak ada cela peran pelawak
karena tak semua wayang bisa tampil sebagai penghibur, sebagai peran yang
mencairkan suasana.
Dan, petruk jika ditelusuri asal muasalnya
bukanlah tokoh sembarangan. Dia anak Begawan Salantara, seorang pertapa dan
begawan raksasa, yang pilih tanding ilmunya, baik olah rasa, olah raga, maupun
olah batinnya. Tokoh yang bernama asli Bambang Pecruk Panyukilan ini kemudian
diambil sebagai anak angkat oleh Semar Bodroyono setelah berkelahi dengan
Bambang Sukodadi. Bersama Semar, dan saudara angkatnya yang lain, Petruk
kemudian menjalani “jalan hidup”nya sebagai emban, pamomong bagi
para kesatria.
Ketika petruk jadi raja banyak yang mengatakan
itu hanya lakon impian, lamunan kawula nggayuh kamulyan. Lakon itu
bak terjadi hanya terjadi di wilayah imaji, sekadar bayang-bayang rakyat jelata
yang telah lama tak pernah mencicipi tahta. Maka tak heran, jika Petruk dadi
ratu dianggap guyonan semata.
Petruk jadi ratu bukan barang gratis. Dia
berjuang menjaga ajian Kalimasada yang telah dicuri oleh Mustakweni dari tangan
Pandawa. Tak hanya itu, Petruk pun masih harus perang tanding dengan Adipati
Karna demi Ajian itu, supaya tidak pindah tangan. Berawal ingin sekadar
menjaga, tetapi karena mengetahui ajian itu merupakan “pulung wahyu”, ia
tak menyia-nyiakan kesempatan. Pada akhirnya, Petruk mendeklarasikan dirinya
sebagai Raja di Kerajaan Ngrancang Kencana.
Saat menjadi ratu itulah, petruk menjalankan
tak lazimnya seorang raja. Dia melabrak main stream yang ada,
menjungkir balikan anggapan umum. Bahwa penguasa boleh melakukan apa saja,
punya hak untuk berlaku adil atau tidak. Pandawa, yang dulunya adalah tuan bagi
punakawan, dituntut sembah bakti pada Prabu Bel Geduwel Beh. Kontan saja,
Pandawa tidak berkenan. Namun bagi Prabu Bel Geduwel Beh, itu adalah
pembangkangan dan berarti harus diperangi.
Inilah puncak cerita, keonaran Petruk yang
dianggap sudah menyalahi aturan. Jika ditelisik dari segi wataknya yang selalu
memandang realiatas apa adanya, apa yang dilakukan Petruk merupakan hal lumrah.
Petruk memang sengaja ingin menggebrak tatanan yang selama ini dijadikan pakem:
para penguasa hanya memandang kawula sebagai bawahan, bukan sebagai mitra.
Hanya sayangnya, gebrakan Petruk dianggap hal yang tak wajar, tak tahu sopan
santun sebagai penguasa.
Tak ayal, banyak yang mengatakan lakon petruk
dadi ratu tak lain aji mumpung para kawula alit.
Dia menggunakan status “raja”nya untuk menuntut balik para ndoro-nya.
Menuntut bagaimana merasakan menjadi abdi. Bak Ibarat kere munggah bale,
Petruk mencak-mencak ke sana kemari. Sudah bisa dipastikan,
banyak yang tidak suka. Banyak yang merasa status sosialnya dipreteli oleh
Petruk. Mau tak mau ia harus diturunkan, dengan segala cara.
Ada dua hal yang bisa kita petik ini. Pertama,
sebagai pepeling. Hal ini berkaitan dengan para jelata yang
sekarang duduk disinggasana kekuasaan, yakni jangan
sampai lupa daratan. Meski punya kuasa, jangan sampai menggunakan
sewenang-wenang, tak perlu menggunakan aji mumpung untuk
mengeruk keuntungan.
Beberapa waktu yang lalu sempat muncul wacana
yang seharusnya jadi penguasa setidaknya harus dari kalangan orang “punya”,
jangan rakyat “kere”. Sebab, kalau dari kalangan “kere” ditakutkan hanya akan
menjarah kekakayaan, sebagaimana lakon Petruk. Namun, wacana ini tak selamanya
benar dan diterima oleh banyak orang.
Kedua, lakon Petruk dadi ratu tak lain hanya
penegasan dari rezim penguasa; dan saya kira ini yang lebih tepat. Petruk
yang pakem-nya hanya sebatas “emban”, memang tak pantas
menjadi raja. Dia melanggar aturan tata cara menyelenggarakan negara. Dengan
kata lain, secara tidak langsung Petruk sebagai perwujudan dari rakyat kecil
memang tak becus mengurus negara.
Rakyat jelata pantasnya hanya hanya sebagai
abdi yang menyenangkan penguasa, tak lebih dari itu. Maka dalam kisah tersebut,
penyelenggaraan negara selalu mengalami kekacuan.
Raja, presiden, atau penguasa dalam skala
sektor yang lebih kecil masih diyakini hanya berpihak pada orang-orang
tertentu. Ini tak lain selalu menjurus pada “trah biru”, orang yang
masih mempunyai tali kekerabatan dengan keluarga “orang-orang besar”.
Penegasan semacam ini akan mudah dijumpai pada
kondisi negara yang rakyatnya masih mengagungkan cara berpikir “wahyu
keprabon”. Dan, oleh pihak-pihak yang berkepentingan mencoba mengail di
dalamnya. Pihak-pihak ini kemudian membuat semacam mitologi tentang dirinya:
dialah yang pantas menjadi penguasa karena punya pertalian dengan keluarga
besar yang pernah hidup di Tanah Air.
Pada akhirnya, Petruk dadi ratu adalah
pemadaman nyala impi rakyat kecil. Menjadi raja, atau menaikkan strata sosial
bagi rakyat kecil memang impian. Namun, impian itu sudah dibuyarkan lewat lakon
petruk dadi ratu. Lakon yang menggambarkan seorang abdi memang pada kenyataan,
lewat lakon tersebut, tak lihai mengatur sistem kenegaraan. Inilah lakon
pesanan penguasa.
Kita, sebagai rakyat kecil, harus kembali menulis
ulang lakon tersebut: melakonkan Petruk yang mumpuni membawa negara pada
kehidupan loh jinawi, bukan sekedar ontran-ontran yang
mengurungkan ke-raja-annya tersebut. Namun, apakah kita berani membuat cerita
lain dari yang sudah ada? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar