Kamis, 14 Mei 2020

Petruk (Ora) Dadi Ratu


NggerPetruk anakku!” Semar berujar pelan, suaranya serak dan berat seperti biasanya, “Jangan kau kira aku tidak mengenalimu, Ngger!”

“Apa yang kau lakukan, Thole? Apa yang kau inginkan? Apakah kau merasa hina menjadi kawula alit? Apakah kau merasa lebih mulia menjadi raja?”
“Sadarlah Ngger, jadilah dirimu sendiri.”

Itulah kisah akhir lakon Petruk dadi ratu. Kisah yang menunjukkan jika Petruk memang tak selamanya bisa menjadi ratu. Dan, sang bapanya (Semar) harus turun tangan menyadarkan putranya yang tak mampu ngemban wahyu keprabon.

Semar pula yang menyadarkan sekaligus menggebrak hatinya Petruk: apakah menjadi kawula alit itu hina? Bersama akhirnya ucapan sang bapa, Petruk yang bergelar Prabu Bel Geduwel Beh seketika berubah menjadi wujud aslinya.

Lakon Petruk dadi ratu memang bukan hal asing ditelinga penikmat wayang. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dalam rangkain dies natalies-nya ke-49 juga menggelar lakon ini, dengan menampilkan dalang Ki Hadi Suseno. Berkaitan dengan acara tersebut, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya, kenapa UNY menggelar lakon Petruk dadi ratu? Sebab, dan biasanya, di kalangan khalayak jika ada hajatan besar lakon wayang yang digelar selalu bersinggungan dengan wahyu keprabon, misalnya Wahyu Mahkatharama. Lantas, pesan moral yang bagaimana jika dikaitkan dengan lakon tersebut?

Banyak kalangan yang mempercayai jika lakon Petruk dadi ratu merupakan lakon gugat, cerita pembangkangan. Jika dikaitkan dengan tata kelola negara, ceritanya adalah kisah subversiv, makar. Namun, kita juga boleh bertanya, siapa yang digugat Petruk? Dari segi apa lakon ini bisa dikategorikan lakon makar? Bukankah “pemimpin” adalah hak setiap manusia? Atau, jangan-jangan, lakon ini tak lain sebagai pesanan sang penguasa rezim?

Petruk dan punokawan lainnya, dalam kisah wayang semalam suntuk, selalu tampil sebagai abdi, pelayan. Mereka tak lebih dari itu. Bentuknya yang lucu, aneh dan tak lazim jika dibanding dengan tokoh wayang lainnya, seakan menegaskan jika perannya memang bukan sebagai ksatria, raja, melainkan sebagai “pelawak”, penghibur. Dan, tak ada cela peran pelawak karena tak semua wayang bisa tampil sebagai penghibur, sebagai peran yang mencairkan suasana.

Dan, petruk jika ditelusuri asal muasalnya bukanlah tokoh sembarangan. Dia anak Begawan Salantara, seorang pertapa dan begawan raksasa, yang pilih tanding ilmunya, baik olah rasa, olah raga, maupun olah batinnya. Tokoh yang bernama asli Bambang Pecruk Panyukilan ini kemudian diambil sebagai anak angkat oleh Semar Bodroyono setelah berkelahi dengan Bambang Sukodadi. Bersama Semar, dan saudara angkatnya yang lain, Petruk kemudian menjalani “jalan hidup”nya sebagai embanpamomong bagi para kesatria.

Ketika petruk jadi raja banyak yang mengatakan itu hanya lakon impian, lamunan kawula nggayuh kamulyan. Lakon itu bak terjadi hanya terjadi di wilayah imaji, sekadar bayang-bayang rakyat jelata yang telah lama tak pernah mencicipi tahta. Maka tak heran, jika Petruk dadi ratu dianggap guyonan semata.

Petruk jadi ratu bukan barang gratis. Dia berjuang menjaga ajian Kalimasada yang telah dicuri oleh Mustakweni dari tangan Pandawa. Tak hanya itu, Petruk pun masih harus perang tanding dengan Adipati Karna demi Ajian itu, supaya tidak pindah tangan. Berawal ingin sekadar menjaga, tetapi karena mengetahui ajian itu merupakan “pulung wahyu”, ia tak menyia-nyiakan kesempatan. Pada akhirnya, Petruk mendeklarasikan dirinya sebagai Raja di Kerajaan Ngrancang Kencana.

Saat menjadi ratu itulah, petruk menjalankan tak lazimnya seorang raja. Dia melabrak main stream yang ada, menjungkir balikan anggapan umum. Bahwa penguasa boleh melakukan apa saja, punya hak untuk berlaku adil atau tidak. Pandawa, yang dulunya adalah tuan bagi punakawan, dituntut sembah bakti pada Prabu Bel Geduwel Beh. Kontan saja, Pandawa tidak berkenan. Namun bagi Prabu Bel Geduwel Beh, itu adalah pembangkangan dan berarti harus diperangi.

Inilah puncak cerita, keonaran Petruk yang dianggap sudah menyalahi aturan. Jika ditelisik dari segi wataknya yang selalu memandang realiatas apa adanya, apa yang dilakukan Petruk merupakan hal lumrah. Petruk memang sengaja ingin menggebrak tatanan yang selama ini dijadikan pakem: para penguasa hanya memandang kawula sebagai bawahan, bukan sebagai mitra. Hanya sayangnya, gebrakan Petruk dianggap hal yang tak wajar, tak tahu sopan santun sebagai penguasa.

Tak ayal, banyak yang mengatakan lakon petruk dadi ratu tak lain aji mumpung para kawula alit. Dia menggunakan status “raja”nya untuk menuntut balik para ndoro-nya. Menuntut bagaimana merasakan menjadi abdi. Bak Ibarat kere munggah bale, Petruk mencak-mencak ke sana kemari. Sudah bisa dipastikan, banyak yang tidak suka. Banyak yang merasa status sosialnya dipreteli oleh Petruk. Mau tak mau ia harus diturunkan, dengan segala cara.

Ada dua hal yang bisa kita petik ini. Pertama, sebagai pepeling. Hal ini berkaitan dengan para jelata yang sekarang duduk disinggasana kekuasaan, yakni jangan sampai lupa daratan. Meski punya kuasa, jangan sampai menggunakan sewenang-wenang, tak perlu menggunakan aji mumpung untuk mengeruk keuntungan.

Beberapa waktu yang lalu sempat muncul wacana yang seharusnya jadi penguasa setidaknya harus dari kalangan orang “punya”, jangan rakyat “kere”. Sebab, kalau dari kalangan “kere” ditakutkan hanya akan menjarah kekakayaan, sebagaimana lakon Petruk. Namun, wacana ini tak selamanya benar dan diterima oleh banyak orang.

Kedua, lakon Petruk dadi ratu tak lain hanya penegasan dari rezim penguasa; dan saya kira ini yang lebih tepat. Petruk yang pakem-nya hanya sebatas “emban”, memang tak pantas menjadi raja. Dia melanggar aturan tata cara menyelenggarakan negara. Dengan kata lain, secara tidak langsung Petruk sebagai perwujudan dari rakyat kecil memang tak becus mengurus negara.

Rakyat jelata pantasnya hanya hanya sebagai abdi yang menyenangkan penguasa, tak lebih dari itu. Maka dalam kisah tersebut, penyelenggaraan negara selalu mengalami kekacuan.
Raja, presiden, atau penguasa dalam skala sektor yang lebih kecil masih diyakini hanya berpihak pada orang-orang tertentu. Ini tak lain selalu menjurus pada “trah biru”, orang yang masih mempunyai tali kekerabatan dengan keluarga “orang-orang besar”.

Penegasan semacam ini akan mudah dijumpai pada kondisi negara yang rakyatnya masih mengagungkan cara berpikir “wahyu keprabon”. Dan, oleh pihak-pihak yang berkepentingan mencoba mengail di dalamnya. Pihak-pihak ini kemudian membuat semacam mitologi tentang dirinya: dialah yang pantas menjadi penguasa karena punya pertalian dengan keluarga besar yang pernah hidup di Tanah Air.

Pada akhirnya, Petruk dadi ratu adalah pemadaman nyala impi rakyat kecil. Menjadi raja, atau menaikkan strata sosial bagi rakyat kecil memang impian. Namun, impian itu sudah dibuyarkan lewat lakon petruk dadi ratu. Lakon yang menggambarkan seorang abdi memang pada kenyataan, lewat lakon tersebut, tak lihai mengatur sistem kenegaraan. Inilah lakon pesanan penguasa.

Kita, sebagai rakyat kecil, harus kembali menulis ulang lakon tersebut: melakonkan Petruk yang mumpuni membawa negara pada kehidupan loh jinawi, bukan sekedar ontran-ontran yang mengurungkan ke-raja-annya tersebut. Namun, apakah kita berani membuat cerita lain dari yang sudah ada? []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar