Jumat, 15 Mei 2020

Kembang Titipan 21-22


*KEMBANG TITIPAN  21*

Sekarang Basuki benar-benar membanting ponselnya. Hancur berkeping-keping. Pelayan yang melihatnya bergegas pergi, takut kalau ia juga bernasib seperti ponsel itu.

Basuki bergegas kekamar, mencari ponselnya yang lain. Ternyata dia masih butuh berkomunikasi. Dengan mata merah penuh amarah dia menelpon sopirnya.

"Priiii... " teriaknya sa'at menelphone.
"Ya tuan.." jawab Pri gugup karenaa begitu membuka percakapan langsung berteriak.
"Bagaimana? Ketemu tidak?"

"Belum tuan, saya masih mengejarnya, ini belum keluar dari perkebunan."
"Buruaaan !! Temukan dan seret kehadapanku !!
"Baik tuan."

Basuki menghempaskan tubuhnya disofa yang berada didalam kamarnya. Geram memikirkan Mery yang tiba-tiba berbalik menentangnya. Malah minggat bersama Sri, gadis yang diincarnya.

"Mengapa Mery... mengapa kamu lakukan ini? Bodoh ! Goblog! Mencari mati kamu Mer !!" berkali-kali ia berteriak sendiri didalam kamarnya.

"Ditambah lagi Herman ditangkap polisi? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Awas kamu Herman, kalau sampai kamu menyebut namaku disana, habis keluargamu."

Basuki berdiri, mengambil sebotol minuman, lalu ditenggaknya begitu saja.
Tiba-tiba Basuki teringat minuman itu. Minuman yang diberikan Mery.

"Sialan Mery ! Kamu meracuni aku dengan minuman itu ! Kamu pura-pura bersikap manis lalu memberikan minuman itu ! Bedebah ! Setan alas kamu Mery ! Apa yang membuatmu menjadi begitu? Gadis desa bernama Sri itu mempengaruhi kamu?! Tidak, bisa apa dia? Hanya bisa meratap dan menangis. Bagaimana bisa membujukmu untuk melakukan semua ini?Apa Mery? Siapa merubahmu? Setan apa yang menuntunmu sehingga kamu bisa menghianati aku? Aku orang yang mengangkatmu dari comberan Panti itu! Ada apa Mery !!

Ponsel Basuki berdering. Dari Herman lagi? 

"Semoga Herman sudah keluar dari kantor polisi," gumamnya sambil mengangkat ponsel.
"Hallo, Herman, kamu sudah pulang?"
"Ma'af pak, eh.. tuan.. saya isterinya mas Herman."

"Kamu lagi?"
"Saya menghubungi telephone yang satunya tidak bisa,"

"Apa perduli kamu?" hardiknya
"Saya mau bilang, mas Herman ditahan, tidak diperkenankan pulang," kata isteri Herman lemas.
"Biar saja dia mampus disana !!"

Lalu Basuki mematikan ponselnya.
Hari sudah malam, pelayan masuk kekamar membawakan makan malam untuk Basuki, tapi Basuki menghardiknya keras.

"Bawa kembali semua itu ! Aku tidak mau makan !!" teriaknya.
Pelayan itu surut, memutar balik dan keluar dari kamar majikannya dengan wajah kecut.
Basuki benar-benar tak ingin sesuatu. Ia hanya ingin marah dan menghardik semua orang.

Malam itu ia merasa bahwa ketenangan, bahkan keselamatannya terancam. 
Lalu ia mengangkat telephonenya dan memerintahkan kepada seseorang.

"Cari Sri didesanya ! Habisi dia !!"
Lalu dibantingnya ponsel itu kemeja.
***

"Sekarang sudah malam dan aku lapar. Kalau ada rumah makan kita berhenti dulu ya."
"Ya, terserah mbak saja."

"Aku tadi menghubungi lurah desa kamu, eh maksudnya kantor kelurahan desa kamu, apa pesanku sudah disampaikan ke pak lurah ya?"

"Mungkin sudah. Tapi mbak Mery tadi tidak mengatakan berapa nomor kontak mbak Mery?"
"Sayangnya tidak. Iya, pasti mereka bingung ya..Aku juga tidak mengatakan nama. Menurut aku tadi, yang penting mereka tau bahwa kamu sudah lolos dari cengkeraman Basuki."

"Semoga mereka sudah mengabari mas Timan juga."
"Ada warung disitu, kita berhenti sebentar," kata Mery yang langsung menghentikan mobilnya ditepi jalan. Mereka memasuki warung yang tidak begitu besar dan sepi.

"Nggak apa-apa disini, yang penting kita tidak kelaparan."
"Iya mbak, sekarang saya merasa lapar."

Mereka memilih duduk agak disudut, lalu memesan minuman hangat dan nasi ayam. Hanya itu menu yang menarik Mery. Sri mengikutinya.

"Disana kamu hampir tidak makan, pastilah sekarang kelaparan."
"Setelah saya merasa sedikit lega, rasa lapar itu baru terasa."

"Syukurlah, kita sudah keluar dari kawasan perkebunan Basuki. Pasti sekarang Basuki sudah bangun dan marah-marah."
"Pasti dia heran mengetahui bahwa mbak Mery kabur."

"Menurutku, kita tidak akan langsung pulang."
"Mengapa mbak? Mereka pasti menunggu kedatangan kita. Apalagi mas Timan."

"Besok kira-kira pak lurah ada di kelurahan aku akan menelpone lagi, dan mengabarkan keadaanmu. Kamu juga bisa bicara, tapi kamu jangan pulang dulu."
"Mengapa ?"

"Kamu belum tau Basuki. Sa'at ini dia pasti sedang mencari kita. Tapi makanlah, kita tidak boleh berlama-lama disini. Kita bicara sambil makan," kata Mery sambil meneguk minuman hangatnya dan mulai menyantap nasi yang sudah dihidangkan.

"Bukankah akan aman kalau kita sudah dirumah?"
"Belum tentu. Keselamatan kita masih terancam. Basuki tidak akan berhenti, dengan segala cara, dan kalau kita ditemukan, mungkin nyawa kita akan melayang."

"Aduuh..." bergidik Sri mendengarnya.
"Makan cepat. Sri. Setelah ini kita tidak akan naik mobil itu lagi."
"Ditinggal disini ?"
"Ya, kita akan mencari angkutan umum,"

"Lalu ?"
"Bersembunyi disuatu tempat."

Sri melahap makanannya, ia benar-benar merasa lapar.
"Oh, di panti ya ?"
"Tidak Sri, Basuki sudah tau panti itu. Dia pasti langsung mencari kesana."
"Lalu dimana dong?"

"Nanti aku pikirkan. Setelah makan kita akan mencari angkutan umum, menuju Solo."
"Berapa lama kita akan bersembunyi?"

"Haa, kamu sudah sangat rindu sama mas Timanmu ya?" ledek Mery.
"Bukan begitu. Mereka juga pasti cemas kalau aku tidak segera kembali."

"Besok aku akan mengabarkan kepada mereka, bahwa kamu baik-baik saja. Jangan khawatir Sri."
"Semoga besok bisa bicara dengan kang Mardi."

"Siapa kang Mardi?"
"Kang Mardi itu pak lurah. Saya mengenalnya sejak belum jadi lurah, dan memanggilnya kang Mardi. Tapi sekarang tidak."
"Oh," kata Mery sambil memasukkan suapan terakhirnya, lalu meraih minuman yang tersisa setengah gelas.

"Aku habiskan dulu ya mbak, tinggal dua tiga suapan nih."
"Habiskan saja, aku mau menurunkan tas yang masih tertinggal dimobil," kata Mery sambil berdiri dan keluar dari warung itu.

Sri menghabiskan makanannya. Ia tak lagi merasa lapar sekarang. Tapi hatinya masih berdebar. Semua yang dikatakan Mery membuatnya was-was. Basuki pasti memburunya.

"Sudah Sri?"
"Sudah mbak."

Mery membayar makan minumnya dan membeli dua botol minuman yang kemudian dimasukkannya kedalam tas. Mereka berdiri ditepi jalan, menunggu angkutan lewat, kemanapun arah tujuannya. Yang penting semakin menjauh dari Basuki.
 ***

 "Mas, baru pulang?" tanya Lastri ketika malam itu Bayu sampai dirumahnya diantar Timan.
"Ya sudah, kalau nggak pulang nanti kamu kangen.."

"Ih, pasti bercanda deh. Mas Timaaan, ayo masuk dulu," teriak Lastri ketika melihat Timan turun dari mobil.
"Kayaknya aku pulang dulu saja, bau nih badan."

"Aku buatin minum dulu sebentar, sambil cerita, gimana nih petualangan mas Timan sama mas Bayu."
"Nanti mas Bayu akan cerita, aku langsung pulang saja. Yang penting ada titik terang, semoga semuanya lancar," kata Timan sambil menyalami Bayu. Wajah mereka tampak lebih segar, walau letih sekali pastinya, dan itu melegakan Lastri.

"Aku pulang dulu, besok kemari lagi. Tapi mas Bayu apa tidak terganggu dengan terus menerus mendampingi saya?"
"Tidak, saya cuti seminggu mas, jangan khawatir."

"Terimakasih banyak ya mas, sekarang saya permisi. Lastri, pamit dulu.." kata Timan yang langsung naik kemobil dan meluncur perlahan keluar dari halaman.
Bayu memasuki teras.

"Apa kabar anakku?"
"Mas harus mandi dulu sana, lalu ganti baju, aduuh... baunya mas... nggak tahan aku.." teriak Lastri sambil menjauh."

"Ya ampuun, ditinggal seharian bukannya dikangenin malah diusir-usir," sungut Bayu.
"Aku juga kangen banget mas, tapi aku nggak mau bau tubuhmu itu... mandi dulu sementara aku siapkan minum dan makan.."

"Iya.. iya..." kata Bayu sambil melangkah kebelakang.
"Baru pulang Bayu, bagaimana Sri?" tanya bu Marsudi yang berpapasan didepan kamarnya.
"Sudah ada titik terang bu, semoga segera selesai dan Sri akan kembali pulang."
"Syukurlah, ibu ikut prihatin."

"Ya bu, saya mau mandi dulu, tuh.. tuan puteri marah-marah."
"Habisnya tubuhmu benar-benar bau. Sudah mandi sana. Kelihatannya Lastri lagi menyiapkan makan malam. Ibu sama bapak sudah makan tadi, tapi Lastri belum mau, katanya menunggu kamu."
"Iya bu."

Dan setelah makan malam itu Lastri duduk disofa panjang sedangkan Bayu berbaring dipangkuannya sambil mengelus perut isterinya.

"Syukurlah kalau sudah ada anak buah Basuki yang ditangkap mas. Semoga semuanya segera berakhir. Tapi benarkah Sri sudah keluar dari rumah Basuki?"

"Menurut pak lurah sudah ada yang menelpone ke kelurahan, tapi karena pak lurah nggak ada jadi belum jelas benar. Semoga besok ada berita yang lebih melegakan."

"Lastri ikut sedih memikirkan Sri. Tadi Lastri juga menelpone kang Mardi, habis mas Timan sama mas Bayu sama sekali tidak bisa dihubungi."

"Tempatnya di pelosok, tak ada sinyal. "
"Sebuah desa yang jauh dari perkotaan ya?"

"Ya, itu ancar-ancar yang diberikan pak lurah, tapi kami tak bisa masuk ke desa itu, Jalan masuk dipalang, katanya ada tanah longsor."
"Jadi yang kedua tidak bisa menemui siapapun ?"

"Tidak, hanya yang pertama, ketemu rumahnya, tapi katanya itu gudang. Ada anak buah Basuki disana yang katanya tidak pernah bertemu  Basuki, namanya Herman."
"Masa anak buah tidak pernah bertemu majikannya?"

"Katanya begitu, tapi sekarang dia sudah ditangkap polisi. "
"Tiba-tiba polisi tau alamatnya?"

"Mas Timan mencatat plat nomor mobilnya, dari situ polisi bisa melacak alamat rumahnya. Sore tadi kabarnya langsung ditangkap."
"Syukurlah. Semoga semuanya segera berakhir ya mas."

"Anak bapak ini tidak rewel?" kata Bayu sambil terus mengelus perut Lastri.
"Tidak bapak, tadi sepulang dari pasar ibu membawakan rujak."
"Hm, senengnyaaa.."
"Ya sudah, mas istirahat dulu, pasti capek seharian dijalan."

"Aku kan hanya duduk, mas Timan yang nyetir, habis nggak mau aku gantiin."
"Meski begitu kan capek duduk terus seharian."

"Ini aku kan sudah berbaring dipangkuan kamu, biar anak kita mendengar pembicaraan bapak ibunya."
"Ayo berbaring dikamar saja, nanti kalau mas ketiduran disini siapa yang mau mengangkat masuk kekamar?"

"Masa kamu berdua tidak kuat mengangkat?"
"Berdua sama siapa?"

"Ya sama anak kita didalam perut kamu itu."
"Hiih, mas Bayu ada-ada saja."

Bayu tertawa, sambil bangkit kemudian menarik tangan Lastri menuju kamarnya. Sesungguhnya ia memang letih.
***

Belum lama lurah Mardi duduk, telephone kantor berdering. Sekretaris desa mau mengangkatnya, tapi tangan lurah Mardi melambai, memberi isyarat agar dia saja yang mengangkatnya.

"Selamat pagi dengan kantor kelurahan Balerejo."
"Selamat pagi, bisa bicara dengan dengan pak lurah ?"
"Saya sendiri, ada yang bisa saya bantu ?"
"Ada yang mau bicara ini," lalu seseorang menyambung pembicaraan itu.

"Hallo kang Mardi... eh.. pak lurah.."
"Sri, ini kamu Sri?"

"Iya pak lurah," terdengar isak Sri perlahan. 
"Sri? Ya ampun  Sri, kamu baik-baik saja?" suara lurah Mardi bersemangat.

"Baru kemarin siang saya bisa meloloskan diri kang,"  kata Sri masih terisak,terkadang memanggil kang Mardi terkadang juga memanggil pak lurah.
"Alhamdulillah Sri, lalu kamu sekarang ada dimana, mengapa tidak segera pulang?"

"Apa kabar simbah  dan bapak?"
"mBah Kliwon baik-baik saja, sedangkan  bapakmu mungkin besok sudah boleh keluar dari tahanan."

"Alhamdulillah pak, terimakasih atas semuanya.
"Sri, ini kamu dimana? Mengapa tidak segera pulang?" tanya lurah Mardi mengulang pertanyaannya.

"Saya ditolong oleh mbak Mery, tangan kanan Basuki yang sekarang melarikan diri bersama saya. Tapi kata mbak Mery, Basuki masih memburu saya. Kalau saya pulang sekarang takutnya Basuki mengetahui dan saya akan merasa tidak tenang pak lurah. Karenanya saya dengan mbak Mery masih bersembunyi disuatu tempat."

"Sa'at ini tangan kanan Basuki sudah ditahan. Tak lama lagi mereka akan meringkus Basuki."
"Syukurlah, tapi untuk beberapa hari ini saya tidak pulang dulu saja. Yang penting saya baik-baik saja dan pasti akan segera kembali."

"Baiklah, boleh saya minta nomor kontak? Nanti akan saya berikan mas Timan, supaya bisa menghubungi kamu."
"Ya baiklah, sebentar, ini nomor baru, belum hafal, barusan mbak Mery memberi saya ponsel."
"Baik sekali dia, semoga kita segera bisa bertemu."

Pak lurah mencatat nomor Sri dengan wajah yang berseri-seri. Tinggal menunggu kepulangan Sri, dan berharap agar semua baik-baik saja. Ia juga memberikan nomor ponselnya barangkali Sri ingin berkomunikasi dengan isterinya.

***

"Jangan banyak bertanya! Laksanakan semua perintahku." suara Basuki yang selalu terdengar keras dan kasar. 

Lalu ia menelpone lagi.
"Priii!!"

"Ya tuan," jawaban Pri dari seberang.
"Kamu tadi menelpone aku? Aku baru bicara sama orang-orang goblog itu. Ada apa?"

"Saya menemukan mobil bu Mary tuan."
"Bagus, tinggalkan saja mobilnya, masukkan keduanya kedalam mobilmu dan bawa kemari !!"

"Tapi bu Mery tidak ada tuan."
"Apa maksudmu? Kalau tidak ada berarti dia sedang ada dimana, gitu. Ini sudah pagi, mungkin dia menginap disekitar tempat itu.

"Tidak ada tuan, saya sudah mencarinya kesekeliling tempat ini. Didepan ada warung, tapi masih tutup."
"Suruh pemilik warung membukanya, mungkin kedua tikus itu bersembunyi disitu !!"

"Tt..tapi.."
"Tapi apa? Kamu takut? Atau aku sendiri yang harus datang kesitu ?"
"Bba..baiklah tuan, saya akan menanyakannya."
"Cepat, aku tunggu beritanya."

Lalu begitu Basuki selesai menelphone, ponselnya berbunyi lagi.
"Apa So? "

"Saya sudah berada didesa Balerejo tuan, tapi menurut berita, Sri belum kembali sejak dua hari yang lalu."
"Tungguin disitu, kalau Pri tidak menemukan, berarti dia sudah kembali. Kamu tetap mengawasi keadaan, lakukan apa saja supaya kamu bisa membawa Sri kepadaku!!"
***

besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  22*

 

Basuki seperti orang kehilangan akal. Ia lebih marah lagi ketika Pri menelponnya bahwa tak ada Mery di warung itu.

 

"Saya sudah mengetuk pintunya, bu Mery tidak menginap disitu, tuan."

"Goblog! Jangan-jangan dia berbohong?"

 

"Dia sudah menyuruh saya memeriksa seisi warung. Itu warung kecil,  hanya ada satu kamar dan dapur."

"Lalu mengapa bisa menghilang? Mobilnya ada, pasti mereka ada disekitar tempat itu."

 

"Pemilik warung mengatakan bahwa tamu mereka dua orang wanita, meninggalkan mobilnya dan menyetop kendaraan umum, entah kemana."

"Apa?" 

 

"Mereka sudah pergi dengan kendaraan umum tuan."

"Setan alas !!" 

"Saya harus mengejarnya lagi?"

"Tidak, kamu kembali saja, aku yang akan mencari mereka !!"

 

Basuki menutup ponselnya dengan geram. Lalu menelphone lagi.

"Ya tuan," jawab salah seorang anak buahnya.

 

"Mery dan Sri sudah pergi, kemungkinannya mereka kembali kedesa ini. Awasi terus dan laksanakan perintahku."

"Baik tuan."

 

Basuki menghempaskan tubuhnya ke sofa. Minuman dan sarapan pagi masih terhidang dimeja, tapi dia tidak menyentuhnya. Wajahnya kusut, rambut ikallnya awut-awutan.

 

"Mery...Mery..Mery...! Awas kamu Mery !!" gemeretak giginya ketika menyebut nama Mery. Kemarahannya tak tertahankan lagi.

***

 

"mBak, benar, ini ponselnya diberikan untuk saya?"

"Iya, aku punya dua yang bagus, yang satu aku pakai, satunya untuk kamu, supaya kamu bisa berhubungan dengan pacar kamu."

 

"Trimakasih banyak mbak, ini pasti mahal."

"Ada dua lagi aku tinggal dikamar. Nggak ada gunanya punya banyak, aku sekarang mau memulai hidup sederhana."

 

Sri mengangguk terharu. Wanita cantik yang semula bermaksud mencelakakannya, sekarang mulai sadar akan kekeliruannya, dan bermasud menjalani hidup dengan lebih baik.

 

Mereka menginap disebuah losmen yang cukup baik, tapi tidak mewah. Barangkali untuk sementara mereka bisa menenangkan diri disitu.

 

"Oh ya, aku lupa menelpon simbah. Tapi nomornya aku nggak tau."

"Simbah kamu ?"

 

"Simbah saya, namanya Kliwon, orang-orang menyebutnya mbah Kliwon. Dia sangat mangasihi saya, dan prihatin karena ulah bapak saya yang kurang terpuji. Untunglah bapak sudah sadar, dan mungkin besok sudah keluar dari tahanan."

 

"Hidup kamu penuh derita ya Sri, aku merasa selama ini aku lupa diri."

"Sudah mbak, jangan diingat-ingat lagi, bukankah mbak sudah berjanji ingin bertobat?"

 

"Gemerlapnya harta tak ada gunanya untuk hidupku, justru membuatku lupa bahwa aku hanyalah makhluk yang bagai sebutir debu, tak berharga."

 

"Kesalahan yang telah lalu bia ditebus dengan perilaku yang baik.Seperti ayah saya yang sejak muda sudah bergelimang maksiat, akhirnya juga sadar bahwa dunia yang dilaluinya ternyata sangat gelap dan menjerumuskannya kedalam derita berkepanjangan."

 

"Dan hampir mengorbankan gadis semata wayangnya, ya kan Sri?"

"Benar mbak, dan mbak Merylah penyelamatku."

 

"Besok kita jalan-jalan kepasar ya, kita harus beli baju-baju untuk kamu. Baju yang sopan menurut kamu, bukan yang memperlihatkan sebagian tubuh yang seharusnya disembunyikan."

"mBak Mery punya uang?"

 

"Aku membawa uang yang cukup. Basuki memberiku kartu ATM yang biasanya bisa aku pergunakan semau aku, tapi aku yakin dia sudah memblokirnya. Untungnya aku masih menyimpan beberapa uang cash. "

 

"Tapi mbak harus berhemat, kalau sebelum pulang uang itu habis bagamana?"

"Iya, aku sudah mengaturnya, tapi kalau untuk beli beberapa baju sederhana masih cukup. Baju-baju itu perlu, kan kamu nggak punya ganti? Aku juga akan membeli baju-baju yang tertutup."

"Senang mendengarnya mbak.."

 

Ponsel Sri berdering.

"Sri, itu ponsel kamu," tegur Mery karena Sri membiarkannya.

"Oh, aku ya?"

 

Lalu Sri mengangkat ponselnya.

"Hallo..."

"Sri...?"

 

"Mas Timan ya?" Sri berteriak saking gembiranya. Mery tersenyum melihat ulah Sri.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ya, saya baik mas, berkat bantuan mbak Mery, aku bisa lolos ."

"Siapa dia?"

 

"Dia itu sebenarnya yang dulu mengajak aku pergi meninggalkan mas Timan waktu masih bicara sama Basuki. Tapi kemudian dia berbalik menolong aku. Sekarang ini dia kabur bersama aku."

 

"Oh, lalu dimana kamu sekarang ini?"

"Kami menginap disebuah losmen, belum berani pulang karena Basuki sedang mencari-cari kami."

 

"Iya, losmen mana? Di Solo kah?"

"Belum, masih diluar kota."

 

"Bagaimana kalau dirumahku saja. Nanti aku jemput?"

"mBak, mas Timan menawarkan kita tinggal dirumahnya, bagaimana?" Sri menoleh kepada Mery minta pendapatnya.

 

"Nanti aku merepotkan.." kata Mery.

"Mas, mbak Mery bilang, nanti merepotkan."

 

"Tidak, kalau aku dipasar, rumahku kosong. Ada beberapa kamar, kamu dan mbak Mery bisa tinggal disana sementara waktu." kata Timan.

 

"Gimana mbak?"

"Terserah kamu Sri, pokoknya jangan pulang dulu."

 

"Kata mbak Mery terserah aku. Kalau tidak merepotkan ya gak apa-apa mas."

"Baiklah, berikan alamatnya, aku jemput sekarang."

 

"Ya mas, tapi sebelumnya aku mau minta nomor kontaknya simbah dulu, aku harus bicara sama simbah, agar simbah tenang."

 

"Benar Sri, simbah sedih memikirkan kamu. Sebenarnya aku juga mau mengabari simbah, tapi lebih bagus kamu sendiri yang bicara, supaya simbah senang."

 

Ketika pembicaraan itu selesai, wajah Sri tampak berseri-seri.

 

"mBak, aku menelpon simbah dulu ya."

"Terserah kamu Sri, itu kan ponsel kamu."

 

"Mas Timan mau menjemput, setelah menelpon aku mau bersiap-siap ya mbak."

"Sebenarnya aku sungkan, aku kan bukan siapa-siapa," keluh Mery.

 

"Mengapa mbak Mery bicara begitu, saya bisa lepas dari tangan Basuki kan karena mbak Mery. Jadi jangan menganggap kita orang lain. Lagipula apa yang harus kita lakukan nanti kita bicarakan lagi, menurut saya lebih baik mbak Mery tidak usah kembali  ke panti."

 

"Aku ini tidak punya siapa-siapa Sri, sejak kecil aku di panti."

"mBak Mery punya aku. Kita bisa tinggal didesa dengan aman. Rumah yu Lastri juga kosong, hanya simbah yang tinggal disana. Pokoknya nanti kita bicara lagi. Selalu ada tempat buat mbak Mery."

Mery mengangguk-angguk.

 

"Hallo mbah, ini Sri mbah.." teriak Sri begitu menelpon mbah Kliwon.

"Sri, kamu Sri cucuku?"

"Iya mbah, aku Sri.. simbah sehat kan mbah?"

 

"Cucuku ngger, simbah nangis setiap hari memikirkan kamu nduk, kamu baik-baik sajakah?"

"Sangat baik mbah, sekarang simbah tidak boleh nangis lagi, sebentar lagi Sri pulang."

 

"Sekarang kamu dimana nduk?"

"Masih sembunyi mbah, karena Basuki masih mengejar Sri. Yang penting Sri baik-baik saja, dan nanti mas Timan mau menjemput Sri. Barangkali Sri akan tinggal dirumah mas Timan sementara waktu, sampai keadaan aman kembali."

 

"Syukur alhamdulillah nduk, Gusti Allah mendengarkan do'a-do'a simbah. Simbah senang kamu selamat dan baik-baik saja."

 

"Ya sudah ya mbah, Sri mau siap-siap karena mas Timan  mau menjemput Sri."

"Ya nduk, baiklah, pokoknya simbah sudah lega. Kabarnya bapakmu juga sudah boleh bebas hari ini atau besok."

 

"Iya, pak lurah sudah memberi tau Sri, sudah ya mbah."

"Ya nduk.. slamet.. slamet.. slamet nduk.." mbah Kliwon pun mengusap air matanya, dan kali ini air mata bahagia."

***

 

"Lastri, dengar, mas Timan sudah ketemu Sri."

"Apa? Benarkah ?"

 

"Ya, baru saja mas Timan menelpone mau menjemput Sri. Katanya sementara waktu Sri dan penolongnya itu biar tinggal dirumah mas Timan dulu."

 

"Tidak langsung pulang?"

"Basuki masih mengejarnya. Bahaya kalau langsung pulang."

"Syukurlah mas, senang aku mendengarnya."

 

"Tapi mas Timan aku suruh kesini dulu. Biar dia membawa mobil kita. So'alnya yang mau dijemput kan dua orang, mana cukup kalau pakai mobil mas Timan."

"Oh iya mas, baguslah, aku boleh ikut?"

 

"Lastri, kamu itu sedang mengandung, jangan pergi kemana-mana dulu, apalagi tempatnya jauh. Kasihan anak kita."

"Aku pengin ketemu Sri."

 

"Nanti kalau Sri sudah sampai dirumah mas Timan, kita kesana."

"Baiklah kalau begitu. Aku sudah nggak sabar ingin ketemu si Sri."

"Yang penting dia selamat tak kurang suatu apa."

"Tuh orangnya sudah datang mas, panjang umur ya.." pekik Lastri begitu melihat mobil Timan memasuki halaman." 

 

Timan turun dari mobl, wajahnya berseri, tidak kusut seperti beberapa hari sebelumnya. Maklumlah, dia sudah berkomunikasi dengan Sri, dan sebentar lagi mau bertemu.

 

"Baru saja kami membicarakan mas Timan," kata Bayu menyambut sahabatnya.

"Pantesan saya kedutan terus mas," canda Timan.

 

"Wah senengnya yang mau ketemu pacar.." ledek Lastri sambil mengikuti suaminya turun ke halaman.

"Aku benar-benar merasa lega. Semua ini atas jerih payah mas Bayu juga."

 

"Kok saya, mas Timan yang begitu keras berusaha, saya kan hanya membantu."

"Tapi dengan adanya mas Bayu disamping saya, saya merasa lebih kuat. Terimakasih banyak ya mas," kata Timan sambil menggenggam tangan Bayu erat-erat.

 

"Ya sudah, itu mobilnya sudah aku siapkan, nanti Sri kelamaan menunggunya."

"Sebenarnya aku pengin ikut, tapi nggak boleh sama mas Bayu," sela Lastri.

"Nanti kalau dijalan nggak ada yang jual rujak bagaimana?" kata Bayu

"Iih, mas Bayu..."

"Emang iya kan." 

 

"Ini kunci mobil saya mas," kata Timan menyerahkan kunci mobilnya.

"Ya mas, dan itu mobilnya sudah saya siapkan, kuncinya sudah ada didalam. Apa saya perlu ikut?"

 

"Terimakasih banyak mas Bayu, saya sendiri saja, mas Bayu kan sudah capek kemarin seharian. Semoga semuanya lancar."

 

"Njemputnya kemana sih mas ?" tanya Lastri.

"Didaerah Salatiga, lumayan jauh."

 

"Hati-hati, selamat ketemu pacar, eh.. calon isteri."

 

Timan tertawa sambil berjalan menuju mobil Bayu.

Lega rasanya ketika melihat Timan berlalu dengan wajah berseri-seri.

 

"Semoga semuanya segera berlalu, dan Sri segera bisa pulang kerumah ya mas."

"Iya. Dan sebentar lagi akan ada pesta pernikahan nih."

"Wah, senang medengarnya mas." kata Lastri sambil mengikuti suaminya masuk kedalam rumah.

***

 

"Pak lurah.. pak lurah..." tergopoh-gopoh mbah Kliwon mendekati rumah pak lurah. Tapi yang keluar Marni.

 

"Mas Mardi belum pulang mbah, mungkin sebentar lagi, ayo masuk dulu."

mBah Kliwon masuk lalu duduk dibangku depan rumah.

 

"Kok disitu sih mbah, masuk saja, ayo.. Marni buatkan minuman."

"Disini saja bu lurah, cuma mau bilang, tadi Sri menelpone saya."

 

"Oh iya? Mas Mardi juga sudah mengabari kalau Sri baik-baik saja. Cerita apa tadi si Sri?"

"Katanya dia belum berani pulang karena Basuki masih mengancam akan mencari Sri. Katanya hari ini nak Timan mau menjemputnya, tapi untuk sementara mau tinggal dirumah nak Timan dulu."

 

"Bagus mbah, itu lebih baik, demi keselamatan Sri. Saya malah belum bicara sama Sri, mungkin nanti kalau dia sudah merasa lebih tenang."

"Iya, lega rasanya karena ada yang melindungi cucu saya."

 

"Mas Timan sangat mencintai Sri mbah, simbah harus merasa tenang selama Sri sudah bersamanya."

"Iya, benar. Saya bersyukur Sri menemukan laki-laki baik seperti nak Timan."

"Nanti kalau Sri sudah dirumah mas Timan, kita pergi kesana bersama-sama ya mbah?"

 

"Oh ya, saya juga sudah sangat kangen dan ingin mendengar ceritanya. Hanya karena do'a kita maka Sri bisa selamat."

"Iya mbah, kata mas Mardi, wanita yang dulu menculik Sri, berbalik menolong Sri kabur. Jadi mereka kabur bersama. Dia itu sebenarnya orang kepercayaan Basuki."

 

"Sungguh semuanya adalah mujizat Yang Maha Kuasa."

"Benar mbah, sebentar, sambil menunggu mas Mardi, saya akan buatkan minum untuk mbah Kliwon."

"Jangan repot-repot bu lurah."

"Bukannya repot, tinggal mengambil saja kok mbah," kata Marni sambil berjalan kebelakang.

***

 

Basuki sedang menerima laporan dari beberapa anak buahnya yang mendapat tugas memburu Mery dan Sri. Tak satupun membuatnya senang karena tak satupun menemukan titik terang.

 

"Bodoh semua !! Bagaimana mungkin mencari orang kabur yang sudah jelas kemana tujuannya saja tidak bisa?"

"Ma'af tuan, mungkin mereka belum sampai didesanya Sri."

 

"Masa dari kemarin nggak sampai juga? Pokoknya kalian semua itu bodoh, goblog !!"

 

Aduh.. kalau sudah keluar kata-kata kasar begitu, tak seorangpun berani membuka mulut. Lebih baik mendengarkan daripada kena semprot.

Basuki membuka telephone lagi.

 

"So, kamu tetap berjaga-jaga disitu. Awasi rumah Darmin dan rumah simbahnya si Sri. Mau kemana dia kalau tidak kesitu. Mengerti ?? Jangan beranjak dari sana. Bawa kemari kedua betina itu.!!"

 

Tanpa menunggu jawaban Basuki menutup ponselnya.

"Kalian boleh pergi, kalau ada berita apapun cepat melapor."

 

Beberapa anak buah yang tadinya menghadap sang bos perlahan berdiri. Bersyukur karena disuruh pergi.

Basuki menghempaskan tubuhnya disofa. Wajahnya merah padam, nafasnya terasa sesak.

"

 

mBah Kliwon pulang dari kelurahan, wajahnya berseri-seri. Kalau masih pantas rasanya simbah tua itu ingin bernyanyi dan melangkah penuh irama. 

Tapi sebelum sampai dirumahnya, dilihatnya seorang laki-laki yang tampak mengawasi rumah Lastri yang ditinggalinya. mBah Kliwon mendekati.

 

"Nak, mau mencari siapa?"

Laki-laki itu tampak terkejut.

 

"Ss..saya.. kalau.. boleh, hanya ingin minta segelas air. Bolehkah ?"

"Oh, tentu saja boleh, sebentar, duduklah dulu, saya ambilkan sebentar kebelakang," kata mbah Kliwon ramah sambil bergegas kebelakang.

 

Laki-laki itu duduk di lincak depan rumah.

Ketika keluar, mbah Kliwon tidak hanya membawa segelas air, tapi juga sepiring ketela rebus.

 

"Ini nak, silahkan diminum, ini ketela yang saya rebus sejak pagi. Biarpun sudah tidak anget, tapi enak kok."

"Terimakasih kakek. Saya cuma butuh air minum, kok malah diberi makanan."

 

"Tidak apa-apa nak, saya sedang bergembira. Temanilah saya menikmati makanan walau sederhana tapi enak. Ayo nak, maniis.. ketelanya."

 

"Terimakasih kakek. Kakek sedang bergembira? Kenapa? Menang lotre?"

"Ah, lotre itu apa, saya tidak mengenal lotre."

 

"Habisnya kakek tampak sedang senang hati."

"Cucu saya sudah kembali. Itu sebabnya saya bergembira."

 

Laki-laki itu tampak memperhatikan kata-kata mbah Kliwon.

"Kembali dari mana kek?"

"Sebelumnya kan diculik orang jahat, tapi ia berhasil lolos, alhamdulillah," kata mbah Kliwon sambil menadahkan tangannya keatas seperti orang sedang bersyukur.

 

Laki-laki itu menoleh kekanan dan kekiri, seperti mencari sesuatu.

 

"Dimana cucu kakek itu?"

"O, tidak disini nak, disembunyikan oleh calon suaminya, karena si penculik itu masih mengincarnya," mbah Kliwon terus mengoceh tanpa sadar bahwa dia sedang bicara dengan orang asing.

 

"Disembunyikan dimana kek?" laki-laki asing itu terus mendesak. Ketela yang sudah dilahapnya separo diletakkannya lagi dipiring.

"Saya belum tau dimana, tapi nanti saya akan minta calon suaminya itu menjemput saya, agar saya bisa bertemu cucu saya itu."

 

Laki-laki itu tersenyum, dan mengangguk-angguk. Dan mbah Kliwon tetap tersenyum dengan kebahagiaan yang dirasanya hampir sempurna.

***

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar