*KEMBANG TITIPAN 03*
mBah
Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. Wajahnya berseri begitu melihat
siapa yang datang.
"Sri..
tuh ada tamu.. kamu malah bengong disitu?" tegur mbah Kliwon.
Sri
tiba-tiba merasa gugup. Bukannya jalan kearah depan, malah menuju kebelakang.
"mBah
Kliwon, apa kabar?" sapa Timan yang kemudian lebih suka memanggil 'mbah',
"Aduh
nak Timan, iya.. kabar baik. Sendirian saja?"
"Iya
mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari."
"Ayo
masuk nak.. silahkan.."
"Kangen
sama ketela rebusnya," kata Timan sambil duduk di kursi bambu, kursi yang
pernah didudukinya, bahkan pernah tidur disitu ketika mencari Lastri.
"Ketela
rebus, ada.. jangan khawatir nak, nanti juga boleh membawa ketika pulang, yang
masih mentah juga banyak."
"Kursi
ini masih seperti dulu."
"Iya
nak, tidak berubah sejak setahun lalu. Ingat ketika nak Timan tiduran diisitu
sa'at mencari Lastri."
"Benar
mbah," jawab Timan, sambil matanya mencari-cari.
"Sriiii..
ada tamu kok malah sembunyi," teriak mbah Kliwon.
Si
Sri bukan sembunyi. Ia sedang menata batinnya sambil membuat minuman.
"Sriiii.."
mbah Kliwon mengulangi teriakannya.
"Yaaa..
" jawab si Sri dari arah belakang.
Berdebar
hati Timan mendengar suaranya. Hm, kalau orang lagi jatuh cinta tuh ya, baru mendengar
suaranya saja sudah dag dig dug.
Tak
lama kemudian si Sri keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.
"Apa
kabar Sri?" sapa Timan sambil terus menatap kearah si Sri.
"Kabar
baik mas Timan," jawab Sri sambil meletakkan gelasnya dimeja. Tersipu
dipandangi Timan seperti itu. Pandangan yang membuatnya berdebar, bukan
pandangan kurangajar seperti Basuki melakukannya.
"Masih
ada ketela rebus didalam?"
"Ada
mbah, sedikit, mas Timan mau?"
"Ya
mau, kan aku kesini karena kangen ketela rebusnya mbah Kliwon," kata Timan
sambil tersenyum.
Aduh,
si Sri kecewa berat nih, ternyata datang hanya untuk ketela, bukan untuk
dirinya, Sri melangkah kebelakang, dan mengambil ketela rebus yang hanya
tinggal beberapa potong.
"Ini,
tinggal sedikit mas," kata Sri ketika kembali dengan membawa ketela rebus.
"Sudah
dingin nak..ayo silahkan diminum dulu."
"Terimakasih,
ketelanya dingin nggak apa-apa mbah, yang penting sambutan dirumah ini begitu
hangat," kata Timan sambil menghirup tehnya.
"Benarkah?"
"Iya
mbah, saya makan ketelanya ya.."
"Silahkan
nak, tinggal beberapa potong, nanti kalau pulang boleh membawa, masih ada
sekarung kecil yang masih mentah."
"Waduh..
terimakasih banyak ya mbah."
"Sri,
duduk disini, kamu itu gimana, lagi ada tamu.. main kabur aja.." tegur mbah
Kliwon ketika Si Sri mau beranjak kebelakang.
"Iya
ta Sri, aku jauh-jauh kemari kok malah ditinggal pergi," sambung Timan.
Si
Sri membalikkan tubuhnya, lalu duduk dikursi didepan Timan. Baguslah, pikir
Timan, sehingga aku bisa puas memandangi kamu.
Tapi
si Sri itu gadis pemalu, setidaknya itulah yang ditangkap Timan dari sikapnya.
Iya lah malu, orang siapa-siapa mengatakan kalau dia suka sama dirinya.
Jadi deg-degan kan.
"Sri,
kok diam sih.. ngomong dong.."
Si
Sri tersenyum. Timan menelan ludah.. alangkah manis gadis ini pikirnya. Dulu
ketika melihat pertama kali, hari sudah malam. Temaram lampu memantulkan wajah
cantik yang hanya sekilas. Sekarang, sa'at siang, Timan bisa menikmati wajah
itu sepuasnya. Lalu batinnya berkata, aku jatuh cinta sama gadis ini. Akankah
bersambut?
"Sri...
kamu tuh biasanya cerewet, kok tiba-tiba jadi pendiam?" tegur mbah Kliwon
lagi.
Kemudian
mbah Kliwon berdiri.
"Aku
mau memilihkan ketela yang bagus dulu, temani mas Timan ya nduk," kata
mbah Kliwon sambil berlalu.
"Ayo
ngomong dong Sri." kata Timan sambil mengupas ketela yang dicomotnya lagi,
bukan karena lapar, tapi karena ingin menenangkan debar jantungnya.
"Nggak
tau mau ngomong apa.." kata Sri pelan sambil mengangkat wajahnya
yang semula menunduk.
"Ngomong
aja tentang diri kamu.. kesukaan kamu..." kata Timan.
"Nggak
ada yang pantas diceritakan tentang diri saya."
"Masak
sih?"
"Saya
hanya gadis dusun yang bodoh. Tidak berpendidikan," katanya masih dengan
suara pelan. Matanya menatap kearah Timan, dan Timan juga sedang menatapnya.
Ada getar dihati masing-masing kedua insan itu ketika mata mereka bertatapan.
"Terus..
mengapa kalau gadis dusun.. mengapa kalau tidak berpendidikan?"
"Apa
yang pantas diceritakan?"
"Bahwa
kamu pemalu, pendiam, suka merendahkan diri.."
"Saya
kan memang dari kalangan rendah."
"Wadouww..
coba berdiri deh, serendah apa kamu? Kalau berdiri sejajar sama aku, ya jelas
lebih rendah kamu. Tapi kalau aku duduk, lalu kamu berdiri, nah. baru
rendah aku."
Si
Sri tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Timan suka melihat tawa
itu, sederet gigi putih kelihatan, menambah manis sang pemilik wajah lugu itu.
"Kenapa
ditutup pakai tangan? Bukankah tawa itu indah?"
"Mas
Timan lucu."
"Iya,
aku memang pelawak."
Sri
masih tertawa.
"Dengar
Sri, aku juga orang desa. Hanya kebetulan saja kemudian aku tinggal dikota,
karena pekerjaanku kan penjual buah dipasar. Apa hebatnya seorang penjual
buah? Bukan kalangan orang yang punya derajat. Aku orang biasa saja."
"Apakah
penjual buah itu pekerjaan rendah? Kalau saja saya punya modal, saya mau jadi
penjual sayur dipasar."
"Benar?"
Sri
mengangguk.
"Kalau
begitu kamu harus ikut aku."
"Apa?"
Sri membesarkan bola matanya. Sepasang mata bening yang membuat Timan terpana.
"Ikut
bersama aku, atau menjadi isteri aku." kata Timan tiba-tiba. Entah
darimana datangnya keberanian itu, Timan terkejut sendiri, tapi kata itu sudah
terlanjur terlontar dan tentu saja Si Sri mendengarnya.
Mata
bulat itu bertambah membulat.
"Ap...apa?"
"Ah,
ma'af.. "
"Jangan
bercanda dong mas."
Aduh,
mengapa Sri mengira bahwa dirinya bercanda?
"Kalau
itu benar, apa kamu marah?"
"Marah?
Saya.. "
"Barangkali
kamu sudah punya pacar, atau calon.. saya lancang bukan?"
"Tidak.."
"Tidak
apa?"
"Tidak
punya itu.."
"Itu
apa?"
"Itu..
calon.. siapa mau ?"
"Jangan
suka merendah, jangan merasa jadi orang rendah. Bukankah derajat seseorang
dilihat dari kelakuan dan budi yang disandangnya?"
Si
Sri terdiam. Keberanian Timan mengatakan hal yang mendebarkannya membuatnya
kagum.
"Sri,
kamu tidak marah saya mengatakan hal itu?"
"Hal
apa..?" ah,, si Sri kan sudah tau, pakai nanya lagi.
"Maukah
kamu menjadi isteriku,,:" sudah kepalang tangung, dan Timan juga nggak
ingin kelamaan memendam rasa. Dia sudah bukan anak muda lagi.
"Begitu
cepat? Mas Timan belum tau siapa saya."
"Kamu
si Sri kan? Siapa kepanjangan nama kamu?"
"Bukan
itu, mas Timan belum tau keluarga saya."
"Kamu
kan cucunya mbah Kliwon ?
"Bapak
saya?"
"Iya,
lain kali aku akan menemui bapak kamu."
"Dia
bukan orang baik."
"Maksudnya?"
"Nanti
mas Timan bisa bertanya pada simbah."
mBah
Kliwon sebenarnya sudah selesai memilih ketela yang akan dibawakannya pada
Timan, tapi dia memang memberi kesempatan pada Timan untuk bicara. Laki-laki
tua itu mendengar bagaimana Timan mengutarakan isi hatinya. Lega rasanya,
karena Timan tidak berlama-lama mengatakannya.
"Buat
aku, yang penting kamu. Apa kamu menolak aku?"
"Mas
Timan tanya pada simbah."
"Ini
kan perasaan kamu, masa aku tanyanya sama simbah?"
"Simbah
sudah tau bagaimana jawaban saya."
"Oh
ya?"
Timan
menatap lagi wajah itu, mata bening itu, hidung mancung dan bibir tipis itu.
Semuanya indah dalam kesederhanaan. Dia mirip Lastri yang pernah dikaguminya.
Semuanya mirip. Ia lugu, ia sedikit malu disa'at pertama berbincang, Lalu bisa
banyak bicara ketika ada yang memulainya.
"Minggu
depan aku akan datang lagi, dan aku harap sudah ada jawaban yang pasti dari
kamu. Setelah itu aku akan menemui bapak kamu."
Si
Sri menunduk. Laki-laki baik ini sudah lama singgah dihatinya. Tak mungkin dia
menolaknya, tapi ketika Timan bilang mau menemui bapaknya, Sri jadi ragu.
Maukah bapaknya menerima Timan sebagai menantu? Tak mudah menjajagi hati
Darmin.
***
Pagi
itu Lastri pergi kepasar. Ia sudah membeli beberapa sayur dan daging yang tadi
sudah dicatatnya. Tiba-tiba dilihatnya Timan melambaikan tangannya. Lastri jadi
ingat, ia harus membeli buah. Didekatinya Timan.
"Aku
mau jeruknya saja mas, tapi janji ya, aku nggak mau gratis, nanti mas Bayu
marah."
Timan
tertawa.
"Iya..
iya, aku kasih harga mahal kamu nanti."
"Boleh
memilih ya mas."
"Iya,
pilih aja. Masih baru semuanya."
"Pisangnya
mas, tapi aku mau pisang kepok kuning yang sudah matang. Ibu mau membuat
kolak."
"Beres,
ini matang dipohon semuanya."
"Tapi
ngomong-ngomong wajah mas Timan kok tampak beda dari biasanya ya?"
"Wajahku
kenapa sih? Berlepotan angus? Padahal aku tidak memasak pakai kuali yang banyak
angusnya."
"Bukan,
kelihatan berseri-seri. Lagi bahagia ya?"
"Kemarin
aku ketemu si Sri."
"Haaa...
sudah berani berangkat sendiri ya?"
"Iya
lah, nungguin kamu, kelamaan."
"Baiklah,
aku senang mendengarnya, terus.. gimana mas, sekalian melamarnya? Harusnya
begitu, keburu tua mas."
"Iya,
aku sudah melamarnya."
"Waaauuuw...
hebat mas... lalu kapan peresmiannya?"
"Belum-belum
peresmian..."
"Katanya
sudah melamar.."
"Baru
ngomong sama Sri. "
"Sudah
dijawab kan? Beres kalau begitu, ayo cepet mas.."
"Aku
baru mau kesana seminggu lagi. Sri jawabnya belum jelas. Tapi dia tidak
menolak."
"Ya
udah, itu sudah 90 persen mau."
"Do'akan
ya Tri.."
"Iyalah..
aku do'akan, nanti pas melamar aku sama mas Bayu akan mengantar kamu."
"Ya,
siip lah. Ini pisangnya, langsung enak buat kolak."
"Sama
jeruknya jadi berapa?"
"Berapa
lah terserah."
"Gimana
sih, orang jualan kok nggak mau kasih harga. Ya sudah, ini saja, mana, saya
bawa sekalian."
"Kamu
sama siapa?"
"Sendiri
lah, biasanya kan juga sendiri."
"Pengantin
baru kan kemana-mana harus berdua."
"Ya
enggak, mas Bayu sudah harus bekerja. Saya dirumah sama ibu saja. Ya sudah mas,
terimakasih banyak," kata Lastri sambil berlalu.
"Eit..
kembaliannya.." teriak Timan.
"Nggak
usaaah.." dan Lastri mempercepat langkahnya, takut Timan mengejarnya.
***
"Hayo,
ngelamun saja dari tadi," tegur mbah Kliwon ketika melihat si
Sri banyak melamun pagi itu.
"Enggak
mbah.."
"Simbah
mendengar apa yang dikatakan mas Timan kemarin. Kamu bagaimana?"
"Itu
mbah.. so'al......"
"Dia
ingin menjadikan kamu isterinya.. kamu suka kan?"
"mBah..
saya takut bapak menolaknya.."
"Nanti
aku mau bicara sama bapakmu. Dia tak bisa memaksakan kehendak. Ini demi hidup
kamu Sri, simbah tau kamu sangat menderita, apalagi setelah mbokmu
meninggal," kata mbah Kliwon sendu.
Berlinang
air mata si Sri. Ingatan akan ibunya membuatnya sangat membenci ayahnya.
Kalau saja waktu itu ayahnya mau membawanya kerumah sakit, barangkali ibunya
masih ada sampai sekarang.
"Tapi
ya sudah nduk, nggak ada yang perlu disesali, karena manusia hidup itu
kan hanya bisa berpasrah diri. Jadi ya memang harus beginilah jalannya, kita
harus ikhlas menerimanya."
"Iya
mbah."
“Nanti
aku akan ikut kamu sa'at pulang, aku akan bicara sama bapakmu."
Si
Sri hanya mengangguk,
Namun
sore itu Darmin tampak sedang mabuk. Ketika mbah Kliwon datang bersama si Sri,
dia sama sekali tak berdiri untuk menyambutnya.
"Sri..
mengapa kamu belum juga memakai baju-baju bagus itu? Nanti bapak akan bakar
semua baju kumal kamu!!" hardik Darmin begitu melihat si Sri pulang. Si
Sri tak menjawab, langsung melangkah kebelakang.
"Min,
ini aku Min.." kata mbah Kliwon/
"O..
bapak.."
Tanpa
menunggu dipersilahkan mbah Kliwon langsung duduk dikursi.
"Jangan
teriak-teriak begitu. Apa nggak malu didengar tetangga?"
"Ada
apa, tumben bapak datang kemari," kata Darmin tanpa mengacuhkan apa yang
dikatakan mertuanya.
"Ada
perlu, duduklah disini, didekatku," kata mbah Kliwon karena melihat Darmin
masih duduk didepan kamarnya sambil merokok, tanpa perduli pada kedatangan
mertuanya.
Kemudian
Darmin mendekat, duduk dihadapan mbah Kliwon.
"Aku
mau bicara penting."
"Ya,
ada apa?" tanya Darmin dingin.. Tak ada rasa hormat sedikitpun walau mbah
Kliwon adalah mertuanya, bahkan yang memberinya tempat bernaung, dan juga
berbagi makanan kalau mbah Kliwon punya lebih.
"Ini
tentang anakmu."
"Kenapa
dia?"
"Anakmu
kan sudah dewasa, sudah sa'atnya berkeluarga."
Mata
Darmin menyala kemerahan, terbawa oleh minuman keras yang belum lama diminumnya,
dan rasa kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan mbah Kliwon.
"Ada
seorang laki-laki, baik, mapan, mau mengambilnya sebagai isteri."
"Apa?
Ada yang mau memperisteri si Sri?
Tangan
Darmin terkepal, lalu dipukulkannya ke meja.
"Tidaaaakkk!
Tidak boleh !!""
mBah
Kliwon terkejut. Ia sudah tua, dan suara keras membuat dadanya sakit.
***
besok
lagi ya
*KEMBANG TITIPAAN 04*
mBah
Kliwon tak bisa menjawab. Matanya memancarkan kemarahan. Bukan karena penolakan
Darmin atas lamaran yang diutarakannya, tapi atas sikap menantunya yang tak
menaruh hormat.
mBah
Kliwon merasa dadanya sesak. Lalu nafasnya terengah-engah. Sri yang sejak tadi
mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, melongok keluar, dan melihat
wajah simbahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Si Sri mengambil air yang
ada diatas meja, dituangkan kedalam gelas, lalu tergopoh menghampiri simbahnya.
"mBah,
minum dulu mbah.."
mBah
Kliwon minum seteguk air lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Nafasnya
masih terengah-engah. Si Sri menatap bapaknya penuh kebencian.
Melihat
keadaan mertuanya, Darmin mengendorkan suaranya.
"Pak,
Si Sri itu anakku, biar aku yang mengurusnya. Bapak itu sudah tua, jangan
banyak pikiran."
"Ya
sudah, simbah mau pulang dulu Sri," kata mbah Kliwon yang kemudian
berdiri.
"Saya
antar pulang mbah," kata si Sri sambil menggandeng lengan simbahnya.
Darmin
memelototi anaknya, ingin melarang, tapi si Sri tak perduli, ia terus
menggandeng mbah Kliwon keluar dari rumah.
"Sudah
Sri, nanti kamu dimarahin bapakmu," kata mbah Kliwon masih dengan nafas
tersengal.
"Biar
saja bapak marah mbah. Si Sri tidak takut."
"Heran....
dia nggak bisa diajak bicara.."
"Sri
sudah menduganya mbah.. sabar ya mbah, dan jangan difikirkan. Nanti biar si Sri
sendiri yang bicara, tak perduli bapak akan marah."
"Kasihan
sekali hidupmu ini nduk, anak baik, dilahirkan di keluarga kasar seperti
itu."
"Tidak
apa-apa mbah. Sudah jangan difikirkan. Nanti sampai rumah, Sri akan membuatkan
wedang jahe buat simbah."
"O
alah nduk.. nduk.. semoga nanti kamu bisa mendapatkan hidup enak, bahagia,
mulia, dunia dan akhirat ya nduk."
"Aamiin,
mbah..
Mereka
sudah sampai dirumah Lastri. Memang sejak Lastri kembali kekota, mbah Kliwon
diminta untuk tinggal saja dirumah itu, daripada kosong.
Si Sri
menuntun mbah Kliwon kekamarnya.
"Simbah
berbaring saja dulu, Sri akan membuat wedang jahe, dikasih sereh sama daun
jeruk ya mbah?"
mBah
Kliwon mengangguk angguk.
Mata
tuanya menyipit, berusaha menahan air mata yang mengambang disana. Mata tua
yang penuh dengan derita, tapi selalu diterimanya dengan pasrah.
"Aku
boleh menderita, tapi janganlah cucuku juga merasakan derita yang begitu berat,
ya Allah ya Tuhanku.. berilah kebahagiaan pada hidupnya, entaskanlah dari
kehidupan yang membuatnya tersiksa.."
Tak urung
air mata itu runtuh. mengaliri pipi yang mulai keriput dimakan usia.
"mBah,
ini wedangnya sudah siap.. hm.. baunya sedap banget ya mbah, tadi si Sri kasih
gula batu."
"Iya
nduk, terimakasih ya nduk, taruh dulu disitu, biar dingin."
"Ini
saya tuang di cawan saja ya mbah, biar cepat dingin, biar bisa segera diminum
oleh simbah."
Si Sri
kebelakang, mangambil cawan, lalu menuang sedikit wedang itu ke cawan. Si Sri
menyendokkannya sedikit demi sedikit kemulut mbah Kliwon.
"Segar
Sri, simbah mau duduk saja, seperti orang sakit kalau disuapi begini,"
kata mbah Kliwon sambil bangkit.
Dia
kemudian menyendokkan wedang jahe itu sendiri.
"Sudah
nduk, nanti lagi."
"Sudah
merasa enakan mbah?"
"Sudah
nduk," kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala cucunya.
"Semoga
kamu mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa membahagiakanmu ya nduk. Jangan
jodoh seperti bapakmu. Dulu simbokmu tergila-gila karena bapakmu tampan, dan
menjadi pekerja dikebun milik tuan Cokro. Tapi ternyata semuanya tidak seperti
yang diharapkan. Kehidupan itu, kamu menyaksikannya bukan?"
Sri
mengangguk, ia duduk ditepi pembaringan, kemudian menyandarkan kepalanya dibahu
simbahnya. Hanya mbah Kliwon tempatnya bersandar, tempatnya mengadu, tempatnya
mencari ketenangan.
"Ya
sudah, kamu pulang saja, nanti bapakmu bertambah marah kalau kamu kelamaan
disini."
"Saya
ambilkan simbah makan dulu, baru pulang."
"Kalau
begitu kita makan bersama saja ya nduk, tenang rasanya kalau ada kamu,"
kata mbah Kliwon sambil merosot turun. Rasa sesak didadanya sudah berkurang
banyak. Ia menghirup lagi sisa wedang jahe yang ada digelas.
"Enak,
nduk.."
"Rasanya
bagaimana sekarang mbah, sudah lebih baik?"
"Sudah
nduk, ayo kita makan, sebelum kamu pulang."
Sri
menuntun mbah Kliwon keluar dari kamar. Menuju dapur.
"Aku
sudah tidak apa-apa, mengapa harus dituntun-tuntun?"
Sri
mengambil piring, meletakkan nasi dan sisa asem-asem buncis ddimeja. Ada dadar
telur sisa tadi siang.
"Ayo
mbah, makanlah,"
Sri
menyendokkan nasi dipiring simbahnya, dan asem-asem, serta seiris telur dadar.
Sesungguhnya
mbah Kliwon tidak lapar. Ia hanya ingin si Sri ikut makan, karena belum tentu
kalau dirumah bisa makan dengan rasa nyaman.
"Simbah
sedikit saja nduk."
Si Sri
ikut makan, juga bukan karena lapar. Ia ingin simbahnya makan walau hanya
sedikit saja.
"Besok
Sri akan masak sayur gori ya mbah."
"Iya,
terserah kamu saja."
"Benarkah
simbah sudah merasa enakan?"
"Sudah
nduk, tadi simbah agak merasa sesak nafas, karena kaget. Simbah tidak mengira
bapakmu bisa bersikap sekasar itu pada ayah mertuanya."
"Bapak
itu sering kemasukan setan. Apalagi kalau sudah minum-minum. Entah berapa
banyak laki-laki kurangajar itu memberi uang pada bapak, sehingga setiap hari
bisa beli makanan enak dan minuman yang memabokkan itu.
"Sekarang
simbah merasa khawatir nduk."
"Khawatir
kenapa mbah?"
"Khawatir
kalau bapakmu akan menjual kamu."
"Menjual
saya bagaimana mbah?"
"Dia
minta banyak uang pada Basuki, lalu memberikan kamu agar jadi isterinya."
Si Sri
berhenti mengunyah nasinya. Kata-kata mbah Kliwon sangat membuatnya takut.
"Sudah,
semoga saja tidak, ayo habiskan makananmu."
Sri
meneguk air digelas yang sudh dipersiapkannya, karena nasi yang belum selesai
dikunyahnya tak bisa tertelan olehnya. Terbayang lagi bagaimana Basuki menowel
pipinya.
Wajah Sri
mendadak muram.
"Kamu
harus bersiap menerimanya kalau itu terjadi."
"Tidak
mbah, Sri tidak sudi. Laki-laki itu sangat kurangajar. Sri benci sekali sama
dia."
"Semoga
Allah melindungi kamu nduk."
"Simbah
tidak apa-apa kalau saya pulang?"
"Tidak
nduk, simbah sudah merasa baik. Maklumlah orang tua, mendengar barang jatuh
agak keras saja dada rasanya seperti ditendang, apalagi suara dari mulut,
ditambah gebrakan meja. Untunglah ada kamu Sri, kamulah yang menguatkan simbah.
Semoga simbah tidak akan mati dulu sebelum kamu hidup bahagia," kata mbah
Kliwon sambil berlinang air mata.
"Jangan
begitu mbah, simbah harus tetap menemani Sri, sampai kapanpun, kata si Sri
sambil memeluk simbahnya.
***
Si Sri
pulang kerumah ketika hari sudah gelap. Ia membuka pintu, dan mendengar suara ayahnya
terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sebenarnya Sri tak ingin menemui ayahnya,
ia ingin langsung masuk kekamar dan tidur. Tapi mendengar ayahnya terbatuk tak
henti-hentinya, miris juga hati si Sri. Perlahan ia mendekati kamar ayahnya,
membuka sedikit pintunya. Dilihatnya ayahnya duduk dipinggir ranjang, sambil
memegangi botol minuman keras.
"Bapak
sudah terbatuk batuk seperti itu, masih minum begituan juga," tegur Sri
sambil masuk, lalu mengambil botol dari tangan ayahnya.
"Heeiii...
mana botolku... kembalikaaan.." teriaknya marah.
"Jangan
lagi pak, bapak sakit.."
Darmin
kembali terbatuk-batuk, sampai terbungkuk-bungkuk
Sri masuk
kebelakang dan mengambil air yang dicampurnya dengan air panas dari termos lalu
masuk kedalam kamar bapaknya.
"Minum
air hangat ini saja pak.. biar batuknya reda."
"Nggak
mau, mana botolnya tadii?"
"Coba
bapak minum ini dulu," kata Sri memaksa.
Darmin
meneguk minuman yang setengah panas itu, dihabiskannya satu gelas besar yang
diulurkan anaknya.
Batuk itu
mereda. Sri keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Kesal dan marah kepada
bapaknya, tapi dia adalah orang tuanya, yang mengukir jiwa raganya. Sri
terbaring dikamarnya, dengan perasaan tak menentu.
***
Pagi itu
bu lurah Marni seperti biasa menggendong Jarot, berjalan membawa rantang
kerumah Lastri. Tapi dengan heran dia melihat beberapa keranjang sayuran menumpuk
diluar rumah, sementara rumah itu masih tertutup.
Marni
mengetuk pintunya pelan.
"mBah,
mbah Kliwon... mbah.."
Agak lama
Marni mengetuk, lalu didengarnya langkah mendekat dibelakangnya.
"Yu
Marni?"
"Oh,
Sri.. kamu juga baru datang? Heran aku Sri, mengapa pintunya masih
tertutup?"
"Iya,
apa simbah sakit?"
Sri ikutan
mengetuk pintu.
"mBah..
simbah..."
Diketuknya
terus pintu itu. Ada rasa khawatir menyelinap dihatinya. Kemarin simbahnya
tampak sakit, nafasnya terengah, lalu diketuknya pintu lebih keras. Terdengar
langkah menyeret sandal, mendekati pintu, lalu pintu itu terbuka.
"mBah,
sakitkah?" tegur bu lurah khawatir.
"Tidak,
tidak, saya baik-baik saja. Hanya semalam nggak bisa tidur, jadi bangun
kesiangan.
Ma'af bu
lurah. Sri.. masuklah.. benar-benar simbah kesiangan."
Bu lurah
Marni masuk kedalam, diikuti Sri. Bau minyak gosok menyeruak. Tampaknya mbah
Kliwon memakai obat gosok semalam.
"Simbah
sakit?" tanya Sri meyakinkan.
"Tidak...
aduh, tolong bantuin mengurus barang-baramg itu Sri.."
"Bau
minyak gosok, mau dikerokin mbah?"
"Enggak,
semalam simbah menggosok dada dan perut pakai minyak gosok, sekarang sudah baik
kok."
"Baiklah
mbah." jawab Sri sambil melangkah kedepan. Dilihatnya mobil pick up
bertuliskan LASTRI sudah siap mengangkut sayuran.
"mBah,
ini Marni bawakan nasi buat sarapan," kata bu lurah sambil meletakkan
rantang dimeja.
"Setiap
hari dikasih sarapan, duuh.. terimakasih lho .. "
"Itu
nasi sama oseng sawi, ada tahu goreng sama kerupuk."
"Terimakasih
banyak bu lurah.. nanti bisa buat sarapan sama si Sri. Rantangnya nanti saya
titipkan sopir... kan lewat sana, seperti biasanya."
"Iya
mbah, sekarang saya pamit dulu, mau memandikan thole," kata Marni sambil
keluar dari rumah.
mBah
Kliwon duduk di kursi bambu. Memang dirasanya badannya kurang enak. Mungkin
karena semalam nggak bisa tidur, atau memang sedang masuk angin.
Ia pergi
kebelakang, merebus jahe dan sereh yang selalu siap didapur,
Sedikit
segar ketika wedang jahe diteguknya, mbah Kliwon duduk menyandarkan tubuhnya
dikursi bambu itu. Ingatan tentang penolakan Darmin atas lamaran yang diajukan
Timan membuatnya sedih.
Ia belum
mengatakan siapa orangnya, Darmin sudah menolaknya dengan kasar. Memang benar
Sri hanyalah cucunya, yang lebih berhak adalah bapaknya, tapi kalau bapaknya
membuat cucunya menderita haruskah dia diam saja?
"mBah,
Sri sudah selesai, lho simbah sudah buat wedang jare sendiri?" tanya Sri
sambil mendekati simbahnya.
"Sudah,
itu masih sisa kalau kamu mau, tinggal disaring saja."
"Simbah
sarapan dulu ya.. saya tata dimeja saja."
"Ya,
simbah mau mandi dulu, tadi sudah menjerang air."
"Baiklah.saya
bersih-bersih rumah ya mbah."
***
Hari itu
tak banyak yang dikerjakan mbah Kliwon. Sri melarangnya, karena mbah Kliwon
tampak kurang sehat. Selesai mengurus barang-barang, Sri memasak didapur.
Kemarin sudah bilang mau masak sayur gori. Ada balur yang dibelinya beberapa
hari lalu, yang kemudian digoreng. mBah Kliwon suka sekali sayur gori sama
ikan asin.
Ketika
selesai memasak, dilihatnya mbah Kliwon duduk di kursi bambu. Sri mendekati
lalu menawarkan makan siang.
"Nanti
saja Sri, simbah belum lapar. Kalau kamu lapar, makan saja dulu."
Sri duduk
didepan mbahnya. Ditatapnya wajah tua itu dengan rasa iba. Tampaknya ia sedang
memikirkan sesuatu. Pasti sikap ayahnya sangat menyakiti perasaannya. Ia
sudah berbuat banyak untuk menantu yang sejatinya nyaris tak berguna. Tapi
balasan yang diterimanya sungguh membuat sakit. Bukan hanya hatinya, tapi
raganya ikut terguncang.
Tubuh tua
itu seharusnya sudah beristirahat, dilayani dan dituruti apa yang menjadi
keinginannya. Tapi mbah Kliwon tidak merasakannya. Seakan ada beban berat yang
disandangnya.
"mBah.."
pelan Sri memanggil simbahnya.
mBah
Kliwon menatap cucunya.
"Mengapa
kamu tidak makan saja duluan?"
"Sri
juga belum lapar mbah, nanti saja kita makan bersama-sama."
"Ya
sudah.."
"Kalau
simbah agak kurang enak badan, tiduran saja dahulu. Atau mau Sri kerokin?"
"Nggak
usah, simbah baik-baik saja."
Tapi Sri
tau bahwa simbahnya tidak sedang baik baik saja. Mungkin tubuhnya tidak
merasakan sakit, tapi dari sorot matanya, ada yang terasa menyiksa. Sri sedih,
ia tau ayahnya lah yang membuat semua ini.
"Apa
yang dikatakan bapak, simbah nggak usah memikirkannya. Dia memang begitu, susah
diajak bicara, tak pernah mau mendengar kata orang."
mBah
Kliwon menatap cucunya dengan iba. Sesungguhnya bukan menantunya yang dia
pikirkan, tapi justru cucunya. mBah Kliwon sangat menghawatirkan nasib si Sri.
Kalau si Sri sengsara, mbah Kliwon tak akan terima. Anak perempuannya sudah
meninggal dalam kehidupan yang tidak bahagia. Bagaimana kalau si Sri juga
merasakannya?
"mBah,
apa simbah memikirkan sesuatu?" tanya Sri karena mbah Kliwon tak
mengatakan apa-apa, hanya memandanginya dengan perasaan yang tak dimengertinya.
"Simbah
menghawartirkan kamu Sri.."
"Mengapa
simbah menghawatirkan Sri? Sri tidak apa-apa."
"Kamu
tak akan bisa melawan bapakmu."
Sri
termenung. Selama ini dia selalu patuh pada bapaknya, tapi sejak mendengar
bapaknya membentak simbahnya, sakit hati si Sri. Dia sangat menyayangi
simbahnya. Dia membenci ayahnya karena kelakuannya yang sangat buruk.
"Kali
ini Sri akan melakukannya. Sudah lama Sri memendam rasa kesal pada bapak."
"Sesungguhnya
melawan orang tua itu dosa."
"Tapi
bagaimana dengan kelakuan orang tua yang tidak benar?"
"Simbah
berharap, kamu akan kuat Sri."
"Simbah
jangan khawatir. Sri bisa menjaga diri. Simbah jangan menghawatirkan Sri. Sri
akan kuat, percayalah mbah."
Tiba-tiba
terdengar teriakan dari luar rumah.
"Srii!!
Srii !!" itu suara Darmin. mbah Kliwon mengangkat kepalanya.
"Simbah
tidak usah keluar, biar Sri saja."
Sri
berdiri dan keluar, didepan pagar dilihatnya bapaknya sedang berdiri sambil
berkacak pinggang.
"Ada
apa?"
"Kamu
harus pulang sekarang, bapak mau bicara."
"Pekerjaanku
belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. Ia sudah
membulatkan tekat, tidak semua perintah ayahnya harus dipatuhi.
"Sekarang
kataku !!"
"Tidak,
simbah sedang tak enak badan, Sri tak bisa meninggalkannya."
"Kamu
mulai berani menentang bapakmu?" hardik Darmin sambil matanya melotot.
Mata merah yang disebabkan oleh banyaknya minum minuman keras.
"Bukan
menentang. Ini sa'atnya Sri masih bekerja."
"Ada
hal penting yang kamu harus tau ! Pulang tidak??!
Sri
menggeleng. Ia ingin kembali masuk kerumah, tapi kemudian Darmin mendekat dan
menarik tangannya.
Sri
menjerit.
"Tidak
bapak, lepaskaaan!! Sri berteriak. Tapi Darmin terus saja menariknya.
mBah
Kliwon yang mendengarnya segera berdiri dan melangkah keluar, tapi bersamaan
dengan itu, sebuah mobil berhenti, tepat didepan pagar.
***
besok lagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar