Minggu, 03 Mei 2020

Kembang Titipan 03-04


*KEMBANG TITIPAN  03*

 

mBah Kliwon yang juga mendengar bergegas keluar. Wajahnya berseri begitu melihat siapa yang datang.

 

"Sri.. tuh ada tamu.. kamu malah bengong disitu?" tegur mbah Kliwon.

Sri tiba-tiba merasa gugup. Bukannya jalan kearah depan, malah menuju kebelakang.

 

"mBah Kliwon, apa kabar?" sapa Timan yang kemudian lebih suka memanggil 'mbah',

"Aduh nak Timan, iya.. kabar baik. Sendirian saja?"

"Iya mbah, sekaian cari dagangan, trus mampir kemari."

"Ayo masuk nak.. silahkan.."

 

"Kangen sama ketela rebusnya," kata Timan sambil duduk di kursi bambu, kursi yang pernah didudukinya, bahkan pernah tidur disitu ketika mencari Lastri.

 

"Ketela rebus, ada.. jangan khawatir nak, nanti juga boleh membawa ketika pulang, yang masih mentah juga banyak."

"Kursi ini masih seperti dulu."

 

"Iya nak, tidak berubah sejak setahun lalu. Ingat ketika nak Timan tiduran diisitu sa'at mencari Lastri."

"Benar mbah," jawab Timan, sambil matanya mencari-cari.

"Sriiii.. ada tamu kok malah sembunyi," teriak mbah Kliwon.

 

Si Sri bukan sembunyi. Ia sedang menata batinnya sambil membuat minuman.

 

"Sriiii.." mbah Kliwon mengulangi teriakannya.

"Yaaa.. " jawab si Sri dari arah belakang.

 

Berdebar hati Timan mendengar suaranya. Hm, kalau orang lagi jatuh cinta tuh ya, baru mendengar suaranya saja sudah dag dig dug.

Tak lama kemudian si Sri keluar sambil membawa nampan berisi dua gelas teh.

 

"Apa kabar Sri?" sapa Timan sambil terus menatap kearah si Sri.

"Kabar baik mas Timan," jawab Sri sambil meletakkan gelasnya dimeja. Tersipu dipandangi Timan seperti itu. Pandangan yang membuatnya berdebar, bukan pandangan kurangajar seperti Basuki melakukannya.

 

"Masih ada ketela rebus didalam?"

"Ada mbah, sedikit, mas Timan mau?"

 

"Ya mau, kan aku kesini karena kangen ketela rebusnya mbah Kliwon," kata Timan sambil tersenyum.

 

Aduh, si Sri kecewa berat nih, ternyata datang hanya untuk ketela, bukan untuk dirinya,  Sri melangkah kebelakang, dan mengambil ketela rebus yang hanya tinggal beberapa potong.

 

"Ini, tinggal sedikit mas," kata Sri ketika kembali dengan membawa ketela rebus.

"Sudah dingin nak..ayo silahkan diminum dulu."

 

"Terimakasih, ketelanya dingin nggak apa-apa mbah, yang penting sambutan dirumah ini begitu hangat," kata Timan sambil menghirup tehnya. 

 

"Benarkah?"

"Iya mbah, saya makan ketelanya ya.."

 

"Silahkan nak, tinggal beberapa potong, nanti kalau pulang boleh membawa, masih ada sekarung kecil yang masih mentah."

"Waduh.. terimakasih banyak ya mbah."

 

"Sri, duduk disini, kamu itu gimana, lagi ada tamu.. main kabur aja.." tegur mbah Kliwon ketika Si Sri mau beranjak kebelakang.

 

"Iya ta Sri, aku jauh-jauh kemari kok malah ditinggal pergi," sambung Timan.

 

Si Sri membalikkan tubuhnya, lalu duduk dikursi didepan Timan. Baguslah, pikir Timan, sehingga aku bisa puas memandangi kamu.

 

Tapi si Sri itu gadis pemalu, setidaknya itulah yang ditangkap Timan dari sikapnya. Iya lah  malu, orang siapa-siapa mengatakan kalau dia suka sama dirinya. Jadi deg-degan kan.

 

"Sri, kok diam sih.. ngomong dong.."

 

Si Sri tersenyum. Timan menelan ludah.. alangkah manis gadis ini pikirnya. Dulu ketika melihat pertama kali, hari sudah malam. Temaram lampu memantulkan wajah cantik yang hanya sekilas. Sekarang, sa'at siang, Timan bisa menikmati wajah itu sepuasnya. Lalu batinnya berkata, aku jatuh cinta sama gadis ini. Akankah bersambut?

 

"Sri... kamu tuh biasanya cerewet, kok tiba-tiba jadi pendiam?" tegur mbah Kliwon lagi.

 

Kemudian mbah Kliwon berdiri.

"Aku mau memilihkan ketela yang bagus dulu, temani mas Timan ya nduk," kata mbah Kliwon sambil berlalu.

 

"Ayo ngomong dong Sri." kata Timan sambil mengupas ketela yang dicomotnya lagi, bukan karena lapar, tapi karena ingin menenangkan debar jantungnya.

 

"Nggak tau mau ngomong apa.." kata Sri  pelan sambil mengangkat wajahnya yang semula menunduk. 

 

"Ngomong aja tentang diri kamu.. kesukaan kamu..." kata Timan.

"Nggak ada yang pantas diceritakan tentang diri saya."

 

"Masak sih?"

"Saya hanya gadis dusun yang bodoh. Tidak berpendidikan," katanya masih dengan suara pelan. Matanya menatap kearah Timan, dan Timan juga sedang menatapnya. Ada getar dihati masing-masing kedua insan itu ketika mata mereka bertatapan.

 

"Terus.. mengapa kalau gadis dusun.. mengapa kalau tidak berpendidikan?" 

"Apa yang pantas diceritakan?"

 

"Bahwa kamu pemalu, pendiam, suka merendahkan diri.."

"Saya kan memang  dari kalangan rendah."

 

"Wadouww.. coba berdiri deh, serendah apa kamu? Kalau berdiri sejajar sama aku, ya jelas lebih rendah kamu.  Tapi kalau aku duduk, lalu kamu berdiri, nah. baru rendah aku."

 

Si Sri tertawa, menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Timan suka melihat tawa itu, sederet gigi putih kelihatan, menambah manis sang pemilik wajah lugu itu.

 

"Kenapa ditutup pakai tangan? Bukankah tawa itu indah?"

"Mas Timan lucu."

"Iya, aku memang pelawak."

Sri masih tertawa. 

 

"Dengar Sri, aku juga orang desa. Hanya kebetulan saja kemudian aku tinggal dikota, karena  pekerjaanku kan penjual buah dipasar. Apa hebatnya seorang penjual buah? Bukan kalangan orang yang punya derajat. Aku orang biasa saja."

 

"Apakah penjual buah itu pekerjaan rendah? Kalau saja saya punya modal, saya mau jadi penjual sayur dipasar."

"Benar?"

Sri mengangguk.

 

"Kalau begitu kamu harus ikut aku."

"Apa?" Sri membesarkan bola matanya. Sepasang mata bening yang membuat Timan terpana.

 

"Ikut bersama aku, atau menjadi isteri aku." kata Timan tiba-tiba. Entah darimana datangnya keberanian itu, Timan terkejut sendiri, tapi kata itu sudah terlanjur terlontar dan tentu saja Si Sri mendengarnya. 

 

Mata bulat itu bertambah membulat. 

"Ap...apa?"

"Ah, ma'af.. "

 

"Jangan bercanda dong mas."

Aduh, mengapa Sri mengira bahwa dirinya bercanda?

 

"Kalau itu benar, apa kamu marah?" 

"Marah? Saya.. "

"Barangkali kamu sudah punya pacar, atau calon.. saya lancang bukan?"

"Tidak.."

 

"Tidak apa?"

"Tidak punya itu.."

"Itu apa?"

"Itu.. calon.. siapa mau ?"

 

"Jangan suka merendah, jangan merasa jadi orang rendah. Bukankah derajat seseorang dilihat dari kelakuan dan budi yang disandangnya?"

 

Si Sri terdiam. Keberanian Timan mengatakan hal yang mendebarkannya membuatnya kagum.

 

"Sri, kamu tidak marah saya mengatakan hal itu?"

"Hal apa..?" ah,, si Sri kan sudah tau, pakai nanya lagi.

 

 "Maukah kamu menjadi isteriku,,:" sudah kepalang tangung, dan Timan juga nggak ingin kelamaan memendam rasa. Dia sudah bukan anak muda lagi.

 

"Begitu cepat? Mas Timan belum tau siapa saya."

"Kamu si Sri kan? Siapa kepanjangan nama kamu?"

"Bukan itu, mas Timan belum tau keluarga saya."

"Kamu kan cucunya mbah Kliwon ?

 

"Bapak saya?"

"Iya, lain kali aku akan menemui bapak kamu."

 

"Dia bukan orang baik."

"Maksudnya?"

"Nanti mas Timan bisa bertanya pada simbah."

 

mBah Kliwon sebenarnya sudah selesai memilih ketela yang akan dibawakannya pada Timan, tapi dia memang memberi kesempatan pada Timan untuk bicara. Laki-laki tua itu mendengar bagaimana Timan mengutarakan isi hatinya. Lega rasanya, karena Timan tidak berlama-lama mengatakannya.

 

"Buat aku, yang penting kamu. Apa kamu menolak aku?"

"Mas Timan tanya pada simbah."

 

"Ini kan perasaan kamu, masa aku tanyanya sama simbah?"

"Simbah sudah tau bagaimana jawaban saya."

"Oh ya?"

 

Timan menatap lagi wajah itu, mata bening itu, hidung mancung dan bibir tipis itu. Semuanya indah dalam kesederhanaan. Dia mirip Lastri yang pernah dikaguminya. Semuanya mirip. Ia lugu, ia sedikit malu disa'at pertama berbincang, Lalu bisa banyak bicara ketika ada yang memulainya.

 

"Minggu depan aku akan datang lagi, dan aku harap sudah ada jawaban yang pasti dari kamu. Setelah itu aku akan menemui bapak kamu."

 

Si Sri menunduk. Laki-laki baik ini sudah lama singgah dihatinya. Tak mungkin dia menolaknya, tapi ketika Timan bilang mau menemui bapaknya, Sri jadi ragu. Maukah bapaknya menerima Timan sebagai menantu?  Tak mudah menjajagi hati Darmin.

 

***

 

Pagi itu Lastri pergi kepasar. Ia sudah membeli beberapa sayur dan daging yang tadi sudah dicatatnya. Tiba-tiba dilihatnya Timan melambaikan tangannya. Lastri jadi ingat, ia harus membeli buah. Didekatinya Timan.

 

"Aku mau jeruknya saja mas, tapi janji ya, aku nggak mau gratis, nanti mas Bayu marah."

Timan tertawa.

 

"Iya.. iya, aku kasih harga mahal kamu nanti."

"Boleh memilih ya mas."

"Iya, pilih aja. Masih baru semuanya."

 

"Pisangnya mas, tapi aku mau pisang kepok kuning yang sudah matang. Ibu mau membuat kolak."

"Beres, ini matang dipohon semuanya."

 

"Tapi ngomong-ngomong wajah mas Timan kok tampak beda dari biasanya ya?"

"Wajahku kenapa sih? Berlepotan angus? Padahal aku tidak memasak pakai kuali yang banyak angusnya."

 

"Bukan, kelihatan berseri-seri. Lagi bahagia ya?"

"Kemarin aku ketemu si Sri."

"Haaa... sudah berani berangkat sendiri ya?"

"Iya lah, nungguin kamu, kelamaan."

 

"Baiklah, aku senang mendengarnya, terus.. gimana mas, sekalian melamarnya? Harusnya begitu, keburu tua mas."

"Iya, aku sudah melamarnya."

 

"Waaauuuw... hebat mas... lalu kapan peresmiannya?"

"Belum-belum peresmian..."

"Katanya sudah melamar.."

 "Baru ngomong sama Sri. "

 

"Sudah dijawab kan? Beres kalau begitu, ayo cepet mas.."

"Aku baru mau kesana seminggu lagi. Sri jawabnya belum jelas. Tapi dia tidak menolak."

 

"Ya udah, itu sudah 90 persen mau."

"Do'akan ya Tri.."

 

"Iyalah.. aku do'akan, nanti pas melamar aku sama mas Bayu akan mengantar kamu."

"Ya, siip lah. Ini pisangnya, langsung enak buat kolak."

 

"Sama jeruknya jadi berapa?"

"Berapa lah terserah."

 

"Gimana sih, orang jualan kok nggak mau kasih harga. Ya sudah, ini saja, mana, saya bawa sekalian."

"Kamu sama siapa?"

 

"Sendiri lah, biasanya kan juga sendiri."

"Pengantin baru kan kemana-mana harus berdua."

 

"Ya enggak, mas Bayu sudah harus bekerja. Saya dirumah sama ibu saja. Ya sudah mas, terimakasih banyak," kata Lastri sambil berlalu.

"Eit.. kembaliannya.." teriak Timan.

 

"Nggak usaaah.." dan Lastri mempercepat langkahnya, takut Timan mengejarnya.

 

***

 

"Hayo, ngelamun saja dari tadi," tegur mbah Kliwon ketika melihat  si Sri  banyak melamun pagi itu.

"Enggak mbah.."

 

"Simbah mendengar apa yang dikatakan mas Timan kemarin. Kamu bagaimana?"

"Itu mbah.. so'al......"

 

"Dia ingin menjadikan kamu isterinya.. kamu suka kan?"

"mBah.. saya takut bapak menolaknya.."

 

"Nanti aku mau bicara sama bapakmu. Dia tak bisa memaksakan kehendak. Ini demi hidup kamu Sri, simbah tau kamu sangat menderita, apalagi setelah mbokmu meninggal," kata mbah Kliwon sendu.

 

Berlinang air mata si Sri. Ingatan akan ibunya membuatnya sangat membenci ayahnya.  Kalau saja waktu itu ayahnya mau membawanya kerumah sakit, barangkali ibunya masih ada sampai sekarang.

 

"Tapi ya sudah nduk, nggak ada yang perlu disesali, karena  manusia hidup itu kan hanya bisa berpasrah diri. Jadi ya memang harus beginilah jalannya, kita harus ikhlas menerimanya."

"Iya mbah."

 

“Nanti aku akan ikut kamu sa'at pulang, aku akan bicara sama bapakmu."

Si Sri hanya mengangguk,

 

 

Namun sore itu Darmin tampak sedang mabuk. Ketika mbah Kliwon datang bersama si Sri, dia sama sekali tak berdiri untuk menyambutnya.

 

"Sri.. mengapa kamu belum juga memakai baju-baju bagus itu? Nanti bapak akan bakar semua baju kumal kamu!!" hardik Darmin begitu melihat si Sri pulang. Si Sri tak menjawab, langsung melangkah kebelakang.

 

"Min, ini aku Min.." kata mbah Kliwon/

"O.. bapak.."

 

Tanpa menunggu dipersilahkan mbah Kliwon langsung duduk dikursi.

"Jangan teriak-teriak begitu. Apa nggak malu didengar tetangga?"

"Ada apa, tumben bapak datang kemari," kata Darmin tanpa mengacuhkan apa yang dikatakan mertuanya.

 

"Ada perlu, duduklah disini, didekatku," kata mbah Kliwon karena melihat Darmin masih duduk didepan kamarnya sambil merokok, tanpa perduli pada kedatangan mertuanya.

 

Kemudian Darmin mendekat, duduk dihadapan mbah Kliwon.

"Aku mau bicara penting."

 

"Ya, ada apa?" tanya Darmin dingin.. Tak ada rasa hormat sedikitpun walau mbah Kliwon adalah mertuanya, bahkan yang memberinya tempat bernaung, dan juga berbagi makanan kalau mbah Kliwon punya lebih.

 

"Ini tentang anakmu."

"Kenapa dia?"

"Anakmu kan sudah dewasa, sudah sa'atnya berkeluarga."

 

Mata Darmin menyala kemerahan, terbawa oleh minuman keras yang belum lama diminumnya, dan rasa kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan mbah Kliwon.

 

"Ada seorang laki-laki, baik, mapan, mau mengambilnya sebagai isteri."

"Apa? Ada yang mau memperisteri si Sri? 

 

Tangan Darmin terkepal, lalu dipukulkannya ke meja.

"Tidaaaakkk! Tidak boleh !!""

 

mBah Kliwon terkejut. Ia sudah tua, dan suara keras membuat dadanya sakit.

 

***

 

besok lagi ya




*KEMBANG TITIPAAN 04*

mBah Kliwon tak bisa menjawab. Matanya memancarkan kemarahan. Bukan karena penolakan Darmin atas lamaran yang diutarakannya, tapi atas sikap menantunya yang tak menaruh hormat.

mBah Kliwon merasa dadanya sesak. Lalu nafasnya terengah-engah. Sri yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu dari balik pintu, melongok keluar, dan melihat wajah simbahnya pucat dan nafasnya terengah-engah. Si Sri mengambil air yang ada diatas meja, dituangkan kedalam gelas, lalu tergopoh menghampiri simbahnya.

"mBah, minum dulu mbah.."

mBah Kliwon minum seteguk air lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Nafasnya masih terengah-engah. Si Sri menatap bapaknya penuh kebencian.

Melihat keadaan mertuanya, Darmin mengendorkan suaranya.
"Pak, Si Sri itu anakku, biar aku yang mengurusnya. Bapak itu sudah tua, jangan banyak pikiran."

"Ya sudah, simbah mau pulang dulu Sri," kata mbah Kliwon yang kemudian berdiri.
"Saya antar pulang mbah," kata si Sri sambil menggandeng  lengan simbahnya.

Darmin memelototi anaknya, ingin melarang, tapi si Sri tak perduli, ia terus menggandeng mbah Kliwon keluar dari rumah.

"Sudah Sri, nanti kamu dimarahin bapakmu," kata mbah Kliwon masih dengan nafas tersengal.
"Biar saja bapak marah mbah. Si Sri tidak takut." 

"Heran.... dia nggak bisa diajak bicara.."
"Sri sudah menduganya mbah.. sabar ya mbah, dan jangan difikirkan. Nanti biar si Sri sendiri yang bicara, tak perduli bapak akan marah."

"Kasihan sekali hidupmu ini nduk, anak baik, dilahirkan di keluarga kasar seperti itu."
"Tidak apa-apa mbah. Sudah jangan difikirkan. Nanti sampai rumah, Sri akan membuatkan wedang jahe buat simbah."

"O alah nduk.. nduk.. semoga nanti kamu bisa mendapatkan hidup enak, bahagia, mulia, dunia dan akhirat ya nduk."
"Aamiin, mbah..

Mereka sudah sampai dirumah Lastri. Memang sejak Lastri kembali kekota, mbah Kliwon diminta untuk tinggal saja dirumah itu, daripada kosong.

Si Sri menuntun mbah  Kliwon kekamarnya.
"Simbah berbaring saja dulu, Sri akan membuat wedang jahe, dikasih sereh sama daun jeruk ya mbah?"
mBah Kliwon mengangguk angguk.  

Mata tuanya menyipit, berusaha menahan air mata yang mengambang disana. Mata tua yang penuh dengan derita, tapi selalu diterimanya dengan pasrah. 

"Aku boleh menderita, tapi janganlah cucuku juga merasakan derita yang begitu berat, ya Allah ya Tuhanku.. berilah kebahagiaan pada hidupnya, entaskanlah dari kehidupan yang membuatnya tersiksa.."

Tak urung air mata itu runtuh. mengaliri pipi yang mulai keriput dimakan usia.

"mBah, ini wedangnya sudah siap.. hm.. baunya sedap banget ya mbah, tadi si Sri kasih gula batu."
"Iya nduk, terimakasih ya nduk, taruh dulu disitu, biar dingin."

"Ini saya tuang di cawan saja ya mbah, biar cepat dingin, biar bisa segera diminum oleh simbah."

Si Sri kebelakang, mangambil cawan, lalu menuang sedikit wedang itu ke cawan. Si Sri menyendokkannya sedikit demi sedikit kemulut mbah Kliwon.

"Segar Sri, simbah mau duduk saja, seperti orang sakit kalau disuapi begini," kata mbah Kliwon sambil bangkit.
 Dia kemudian menyendokkan wedang jahe itu sendiri.

"Sudah nduk, nanti lagi."
"Sudah merasa enakan mbah?"
"Sudah nduk," kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala cucunya. 

"Semoga kamu mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa membahagiakanmu ya nduk. Jangan jodoh seperti bapakmu. Dulu simbokmu tergila-gila karena bapakmu tampan, dan menjadi pekerja dikebun milik tuan Cokro. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang diharapkan. Kehidupan itu, kamu menyaksikannya bukan?"

Sri mengangguk, ia duduk ditepi pembaringan, kemudian menyandarkan kepalanya dibahu simbahnya. Hanya mbah Kliwon tempatnya bersandar, tempatnya mengadu, tempatnya mencari ketenangan.

"Ya sudah, kamu pulang saja, nanti bapakmu bertambah marah kalau kamu kelamaan disini."
"Saya ambilkan simbah makan dulu, baru pulang."

"Kalau begitu kita makan bersama saja ya nduk, tenang rasanya kalau ada kamu," kata mbah Kliwon sambil merosot turun. Rasa sesak didadanya sudah berkurang banyak. Ia menghirup lagi sisa wedang jahe yang ada digelas.

"Enak, nduk.."
"Rasanya bagaimana sekarang mbah, sudah lebih baik?"
"Sudah nduk, ayo kita makan, sebelum kamu pulang."

Sri menuntun mbah Kliwon keluar dari kamar. Menuju dapur.
"Aku sudah tidak apa-apa, mengapa harus dituntun-tuntun?"

Sri mengambil piring, meletakkan nasi dan sisa asem-asem buncis ddimeja. Ada dadar telur sisa tadi siang.
"Ayo mbah, makanlah,"

Sri menyendokkan nasi dipiring simbahnya, dan asem-asem, serta seiris telur dadar.
Sesungguhnya mbah Kliwon tidak lapar. Ia hanya ingin si Sri ikut makan, karena belum tentu kalau dirumah bisa makan dengan rasa nyaman.

"Simbah sedikit saja nduk."
Si Sri ikut makan, juga bukan karena lapar. Ia ingin simbahnya makan walau hanya sedikit saja.

"Besok Sri akan masak sayur gori ya mbah."
"Iya, terserah kamu saja."

"Benarkah simbah sudah merasa enakan?"
"Sudah nduk, tadi simbah agak merasa sesak nafas, karena kaget. Simbah tidak mengira bapakmu bisa bersikap sekasar itu pada ayah mertuanya."

"Bapak itu sering kemasukan setan. Apalagi kalau sudah minum-minum. Entah berapa banyak laki-laki kurangajar itu memberi uang pada bapak, sehingga setiap hari bisa beli makanan enak dan minuman yang memabokkan itu.

"Sekarang simbah merasa khawatir nduk."
"Khawatir kenapa mbah?"
"Khawatir kalau bapakmu akan menjual kamu."
"Menjual saya bagaimana mbah?"

"Dia minta banyak uang pada Basuki, lalu memberikan kamu agar jadi isterinya."

Si Sri berhenti mengunyah nasinya. Kata-kata mbah Kliwon sangat membuatnya takut.

"Sudah, semoga saja tidak, ayo habiskan makananmu."

Sri meneguk air digelas yang sudh dipersiapkannya, karena nasi yang belum selesai dikunyahnya tak bisa tertelan olehnya. Terbayang lagi bagaimana Basuki menowel pipinya.
Wajah Sri mendadak muram.

"Kamu harus bersiap menerimanya kalau itu terjadi."
"Tidak mbah, Sri tidak sudi. Laki-laki itu sangat kurangajar. Sri benci sekali sama dia."
"Semoga Allah melindungi kamu nduk."
"Simbah tidak apa-apa kalau saya pulang?"

"Tidak nduk, simbah sudah merasa baik. Maklumlah orang tua, mendengar barang jatuh agak keras saja dada rasanya seperti ditendang, apalagi suara dari mulut, ditambah gebrakan meja. Untunglah ada kamu Sri, kamulah yang menguatkan simbah. Semoga simbah tidak akan mati dulu sebelum kamu hidup bahagia," kata mbah Kliwon sambil berlinang air mata.

"Jangan begitu mbah, simbah harus tetap menemani Sri, sampai kapanpun, kata si Sri sambil memeluk simbahnya.

***

Si Sri pulang kerumah ketika hari sudah gelap. Ia membuka pintu, dan mendengar suara ayahnya terbatuk-batuk dengan sangat keras. Sebenarnya Sri tak ingin menemui ayahnya, ia ingin langsung masuk kekamar dan tidur. Tapi mendengar ayahnya terbatuk tak henti-hentinya, miris juga hati si Sri. Perlahan ia mendekati kamar ayahnya, membuka sedikit pintunya. Dilihatnya ayahnya duduk dipinggir ranjang, sambil memegangi botol minuman keras.

"Bapak sudah terbatuk batuk seperti itu, masih minum begituan juga," tegur Sri sambil masuk, lalu mengambil botol dari tangan ayahnya.

"Heeiii... mana botolku... kembalikaaan.." teriaknya marah.
"Jangan lagi pak, bapak sakit.."

Darmin kembali terbatuk-batuk, sampai terbungkuk-bungkuk
Sri masuk kebelakang dan mengambil air yang dicampurnya dengan air panas dari termos lalu masuk kedalam kamar bapaknya.

"Minum air hangat ini saja pak..  biar batuknya reda."
"Nggak mau, mana botolnya tadii?"
"Coba bapak minum ini dulu," kata Sri memaksa.

Darmin meneguk minuman yang setengah panas itu, dihabiskannya satu gelas besar yang diulurkan anaknya.

Batuk itu mereda. Sri keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Kesal dan marah kepada bapaknya, tapi dia adalah orang tuanya, yang mengukir jiwa raganya. Sri terbaring dikamarnya, dengan perasaan tak menentu.
***

Pagi itu bu lurah Marni seperti biasa menggendong Jarot, berjalan membawa rantang kerumah Lastri. Tapi dengan heran dia melihat beberapa keranjang sayuran menumpuk diluar rumah, sementara rumah itu masih tertutup.

Marni mengetuk pintunya pelan.
"mBah, mbah Kliwon... mbah.."
Agak lama Marni mengetuk, lalu didengarnya langkah mendekat dibelakangnya.

"Yu Marni?"
"Oh, Sri.. kamu juga baru datang? Heran aku Sri, mengapa pintunya masih tertutup?"
"Iya, apa simbah sakit?"

Sri ikutan mengetuk pintu.
"mBah.. simbah..."

Diketuknya terus pintu itu. Ada rasa khawatir menyelinap dihatinya. Kemarin simbahnya tampak sakit, nafasnya terengah, lalu diketuknya pintu lebih keras. Terdengar langkah menyeret sandal, mendekati pintu, lalu pintu itu terbuka.

"mBah, sakitkah?" tegur bu lurah khawatir.
"Tidak, tidak, saya baik-baik saja. Hanya semalam nggak bisa tidur, jadi bangun kesiangan.

Ma'af bu lurah. Sri.. masuklah.. benar-benar simbah kesiangan."

Bu lurah Marni masuk kedalam, diikuti Sri. Bau minyak gosok menyeruak. Tampaknya mbah Kliwon memakai obat gosok semalam.

"Simbah sakit?" tanya Sri meyakinkan.
"Tidak... aduh, tolong bantuin mengurus barang-baramg itu Sri.."

"Bau minyak gosok, mau dikerokin mbah?"
"Enggak, semalam simbah menggosok dada dan perut pakai minyak gosok, sekarang sudah baik kok."

"Baiklah mbah." jawab Sri sambil melangkah kedepan. Dilihatnya mobil pick up bertuliskan LASTRI sudah siap mengangkut sayuran.

"mBah, ini Marni bawakan nasi buat sarapan," kata bu lurah sambil meletakkan rantang dimeja.
"Setiap hari dikasih sarapan, duuh.. terimakasih lho .. "
"Itu nasi sama oseng sawi, ada tahu goreng sama kerupuk."

"Terimakasih banyak bu lurah.. nanti bisa buat sarapan sama si Sri. Rantangnya nanti saya titipkan sopir... kan lewat sana, seperti biasanya."
"Iya mbah, sekarang saya pamit dulu, mau memandikan thole," kata Marni sambil keluar dari rumah.

mBah Kliwon duduk di kursi bambu. Memang dirasanya badannya kurang enak. Mungkin karena semalam nggak bisa tidur, atau memang sedang masuk angin.

Ia pergi kebelakang, merebus jahe dan sereh yang selalu siap didapur, 
Sedikit segar ketika wedang jahe diteguknya, mbah Kliwon duduk menyandarkan tubuhnya dikursi bambu itu. Ingatan tentang penolakan Darmin atas lamaran yang diajukan Timan membuatnya sedih.

Ia belum mengatakan siapa orangnya, Darmin sudah menolaknya dengan kasar. Memang benar Sri hanyalah cucunya, yang lebih berhak adalah bapaknya, tapi kalau bapaknya membuat cucunya menderita haruskah dia diam saja?

"mBah, Sri sudah selesai, lho simbah sudah buat wedang jare sendiri?" tanya Sri sambil mendekati simbahnya.
"Sudah, itu masih sisa kalau kamu mau, tinggal disaring saja."

"Simbah sarapan dulu ya.. saya tata dimeja saja."
"Ya, simbah mau mandi dulu, tadi sudah menjerang air."
"Baiklah.saya bersih-bersih rumah ya mbah."

***

Hari itu tak banyak yang dikerjakan mbah Kliwon. Sri melarangnya, karena mbah Kliwon tampak kurang sehat. Selesai mengurus barang-barang, Sri memasak didapur. Kemarin sudah bilang mau masak sayur gori. Ada balur yang dibelinya beberapa hari  lalu, yang kemudian digoreng. mBah Kliwon suka sekali sayur gori sama ikan asin.  

Ketika selesai memasak, dilihatnya mbah Kliwon duduk di kursi bambu. Sri mendekati lalu menawarkan makan siang.
"Nanti saja Sri, simbah belum lapar. Kalau kamu lapar, makan saja dulu."

Sri duduk didepan mbahnya. Ditatapnya wajah tua itu dengan rasa iba. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Pasti sikap ayahnya sangat menyakiti  perasaannya. Ia sudah berbuat banyak untuk menantu yang sejatinya nyaris tak berguna. Tapi balasan yang diterimanya sungguh membuat sakit. Bukan hanya hatinya, tapi raganya ikut terguncang.

Tubuh tua itu seharusnya sudah beristirahat, dilayani dan dituruti apa yang menjadi keinginannya. Tapi mbah Kliwon tidak merasakannya. Seakan ada beban berat yang disandangnya.

"mBah.." pelan Sri memanggil simbahnya. 
 mBah Kliwon menatap cucunya.

"Mengapa kamu tidak makan saja duluan?"
"Sri juga belum lapar mbah, nanti saja kita makan bersama-sama."
"Ya sudah.."

"Kalau simbah agak kurang enak badan, tiduran saja dahulu. Atau mau Sri kerokin?"
"Nggak usah, simbah baik-baik saja."

Tapi Sri tau bahwa simbahnya tidak sedang baik baik saja. Mungkin tubuhnya tidak merasakan sakit, tapi dari sorot matanya, ada yang terasa menyiksa. Sri sedih, ia tau ayahnya lah yang membuat semua ini.

"Apa yang dikatakan bapak, simbah nggak usah memikirkannya. Dia memang begitu, susah diajak bicara, tak pernah mau mendengar kata orang."

mBah Kliwon menatap cucunya dengan iba. Sesungguhnya bukan menantunya yang dia pikirkan, tapi justru cucunya. mBah Kliwon sangat menghawatirkan nasib si Sri. Kalau si Sri sengsara, mbah Kliwon tak akan terima. Anak perempuannya sudah meninggal dalam kehidupan yang tidak bahagia. Bagaimana kalau si Sri juga merasakannya?

"mBah, apa simbah memikirkan sesuatu?" tanya Sri karena mbah Kliwon tak mengatakan apa-apa, hanya memandanginya dengan perasaan yang tak dimengertinya.

"Simbah menghawartirkan kamu Sri.."
"Mengapa simbah menghawatirkan Sri? Sri tidak apa-apa."
"Kamu tak akan bisa melawan bapakmu."

Sri termenung. Selama ini dia selalu patuh pada bapaknya, tapi sejak mendengar bapaknya membentak simbahnya, sakit hati si Sri. Dia sangat menyayangi simbahnya. Dia membenci ayahnya karena kelakuannya yang sangat buruk.

"Kali ini Sri akan melakukannya. Sudah lama Sri memendam rasa kesal pada bapak."
"Sesungguhnya melawan orang tua itu dosa."

"Tapi bagaimana dengan kelakuan orang tua yang tidak benar?"
"Simbah berharap, kamu akan kuat Sri."

"Simbah jangan khawatir. Sri bisa menjaga diri. Simbah jangan menghawatirkan Sri. Sri akan kuat, percayalah mbah."

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah. 
"Srii!! Srii !!" itu suara Darmin. mbah Kliwon mengangkat kepalanya.
"Simbah tidak usah keluar, biar Sri saja."

Sri berdiri dan keluar, didepan pagar dilihatnya bapaknya sedang berdiri sambil berkacak pinggang.

"Ada apa?"
"Kamu harus pulang sekarang, bapak mau  bicara."

"Pekerjaanku belum selesai, bicara nanti sore saja," kata Sri dingin. Ia sudah membulatkan tekat, tidak semua perintah ayahnya harus dipatuhi.

"Sekarang kataku !!"
"Tidak, simbah sedang tak enak badan, Sri tak bisa meninggalkannya."

"Kamu mulai berani menentang bapakmu?" hardik Darmin sambil matanya melotot. Mata merah yang disebabkan oleh banyaknya minum minuman keras.

"Bukan menentang. Ini sa'atnya Sri masih bekerja."
"Ada hal penting yang kamu harus tau ! Pulang tidak??!

Sri menggeleng. Ia ingin kembali masuk kerumah, tapi kemudian Darmin mendekat dan menarik tangannya.
Sri menjerit.

"Tidak bapak, lepaskaaan!! Sri berteriak. Tapi Darmin terus saja menariknya.

mBah Kliwon yang mendengarnya segera berdiri dan melangkah keluar, tapi bersamaan dengan itu, sebuah mobil berhenti, tepat didepan pagar.
***

besok lagi ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar