Sabtu, 09 Mei 2020

Kembang Titipan 11-12


*KEMBANG TITIPAN  11*

Darmin terkejut, tak mengira semarah itu Basuki mendengar perkataannya. 
"Tapi tuan.."

"Tidak ada tapi-tapi, kamu sudah janji, dan kamu harus menepati. Ingat itu. Dan ingat juga, aku bisa melakukan apa saja. Sayangi nyawa tuamu." kata Basuki sambil berdiri lalu melangkah keluar dan tak perduli pada Darmin yang duduk melongo. Tapi tiba-tiba Basuki kembali.

"Jadi Min, jelas bukan, batalnya perjanjian adalah ketika nywamu terlepas dari tubuh tuamu yang tidak berguna itu!!  Tak lama lagi aku akan membawa anakmu, mau atau tidak aku akan tetap membawanya."  kata Basuki yang dibisikkannya  ketelinga Darmin, kemudian dia benar-benar keluar dari ruangan itu.

Tak ada amplop diatas meja, tak ada tawaran untuk membebaskannya dari tahanan. Dan tiba-tiba Darmin merasa muak pada Basuki, yang dinilainya sombong dan ugal-ugalan. Dan tiba-tiba juga Darmin merasa menyesal telah  menukar nyawa nya dengan imbalan anak gadisnya.  Lalu ia teringat akan perkataan lurah Mardi.

"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minuman keras."
"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa menutupi penderitaan saya. Sekarang saya merasa bahwa ada yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."

"Pak Darmin sadar bahwa langkah pak Darmin itu salah? Bertobatlah,  bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka hati."

Darmin menghela naafas.
"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.”

Lalu Darmin benar-benar merasa menderita. Tapi bagaimana caranya menebus kesalahan masa lalu? Ini menyangkut uang dan yang bersangkutan tak sudi seandainya uang dikembalikan. Apa yang harus Darmin lakukan? 

'Kasihan Sri, dia sangat menderita', kembali kata-kata itu terngiang ditelinganya. 

Derita, ia sekarang merasa menderita. Berada dalam tahanan dan tak bisa melakukan apa-apa. Sangat menyiksa. Dan jika Sri menderita.. alangkah sakit rasa hatinya.  Aduhai, benarkah anakku menderita? Bisiknya ber-kali-kali. Jadi begitu sakit rasanya menderita.. seperti aku sekarang ini, sendirian dalam ruang yang pengap. Tak ada minuman kesukaanku. Tapi tidak, aku tak akan meminumnya lagi. aku benci semuanya, benci minuman itu, benci uang yang diberikan Basuki, benci .. bahkan kepada dirinku sendiri.

Berapa lamakah aku akan ada ditempat ini, lalu akan diadili dan dipenjara. Apakah orang yang aku pukul akan mati, atau selamat? Bagaimana kalau mati lalu aku dihukum lebih lama? Kata batin Darmin yang selalu menyiksanya.

Darmin memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, yang ditumpukannya diatas meja. Hatinya bagai tercabik menyadari betapa kejamnya Basuki. Betapa buruk nasibnya, betapa buruk kelakuannya, betapa menyiksa semua perasaan itu. Mengapa baru sekarang dia menyadari? Ia terus meratapi keadaan dirinya sampai petugas mengajaknya kembali masuk ke ruang tahanan.

***

"Sri, jangan kebanyakan melamun .. ayo sini duduk sama simbah," kata mbah Kliwon ketika  mereka sudah selesai melakukan semua tugasnya.
Sri mendekat kearah simbahnya, duduk bersandar di kursi bambu itu, matanya menerawang kelangit-langit.

"Apa yang kamu pikirkan?"
"Apakah bapak benar-benar benci sama Sri?" 
"Bapakmu sedang tidak waras. Jangan kamu pikirkan. Nanti pada sa'atnya dia akan menyadari kesalahannya."

"Kapan bapak menyadari kesalahannya?"
"Pada suatu hari nanti, mungkin sekarang ini belum sa'atnya. Kamu harus sabar, ya nduk?"

"Sri memikirkan cara mengembalikan uang Basuki , mas Timan mengatakan sanggup membayarnya, Sri jadi sedih. "
"Itu wujud cinta kasihnya Timan sama kamu, kamu harus mensyukurinya nduk."

"Rasanya sulit menerima kenyataan ini. Sedih bukan menjadi orang yang seperti Sri ini? Bahkan Sri sekarang merasa bahwa tubuh Sri ini juga bukan milik Sri lagi."
"Semuanya akan ada akhirnya, dan percayalah bahwa kebenaran akan menang. Suatu hari nanti bapakmu akan sadar."

"Simbah, biarpun bapak seperti benci sama Sri, tapi Sri ingin menjenguknya lagi. "
"Simbah maklum, bagaimanapun dia adalah bapakmu, ikatan itu tak akan bisa terputus sampai kapanpun. Kamu anak baik, walau disakiti masih memiliki rasa sayang."

"Semalam Sri bermimpi, dipeluk bapak dengan kasih sayang. Bapak menangis sambil mengelus kepala Sri."
"Mungkin bapakmu juga sedang kangen sama kamu."

Sri merenung lagi, alangkah senangnya kalau  bapaknya benar kangen sama dirinya. Selama ini ia merasa  bapaknya tak pernah memperdulikannya.

"Sri juga teringat kata mas Mardi.. eh.. pak lurah, bahwa orang yang dipukul Bapak masih ada dirumah sakit. Bisakah kita menjenguknya? Sri ingin melihat keadaannya dan meminta ma'af atas kelakuan bapak."

"Besok kita tanya pak lurah, dimana dia dirawat."
"Kata pak lurah, kalau orang itu sampai meninggal maka hukuman bapak akan lebih berat."

"Ya, itu benar nduk, karena dengan demikian bapakmu dianggap telah membunuh orang. Tapi sudahlah, jangan terlalu memikirkan itu, besok bisa saja kita kerumah sakit, baru menjenguk bapakmu. Ya kan?"

"Ya mbah, begitu ya?"
"Nanti simbah akan bertanya kepada pak lurah dulu, dimana orang itu dirawat.

"Ya, mbah?"
"Sudah, jangan sedih, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, karena disana letak segala kemurahan dan kebesaranNya. Dan kepadaNya kamu harus selalu memohon. Jangan lupakan itu. Ayuk..ini sudah dhuhur, sa'atnya bersujud. Nanti hatimu akan lebih terasa ringan.
"Baiklah mbah."

*** 

 "mBah, kalau Sri mau membezuk ayahnya dan orang yang menjadi korban, saya antar saja. Tapi saya mau ke kantor dulu.”
"Waduh, jangan pak lurah, jangan sampai merepotkan dan mengganggu pak lurah. Tidak apa-apa saya sama Sri saja. Kan banyak angkutan umum," kata mbah Kliwon buru-buru.

"Tidak apa-apa, saya juga butuh ketemu pak Darmin. Kemarin pernah mencari rumah Basuki tapi belum ketemu, barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran kira-kiranya dimana."

"Tapi mengganggu tugas pak lurah juga kan."
"Tidak mbah, sama sekali tidak mengganggu, besok setelah ke kantor sebentar saya langsung nyamperin mbah Kliwon."

"Wah, terimakasih banyak pak lurah. Maksudnya cuma mau bertanya, malah jadi merepotkan."

"Tidak mbah, saya kan juga punya kepentingan. Saya sudah janji sama mas Timan bahwa saya akan membantunya. Kemarin itu dimana Basuki tinggal masih belum ketemu. Beberapa rumah yang saya datangi hanya ditungguin oleh orang yang tidak tau dimana persisnya Basuki tinggal. Barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran. Soalnya ketika saya kesana, dia juga tidak bisa mengatakan apa-apa. "

"Tapi kalau kemarin sudah mengatakan tidak tau, apa besok dia bisa ditanya lagi?"
"Mungkin dia hanya pura-pura tidak tau. Kan saya juga belum bisa menebak, rasa penyesalan yang tampak waktu itu, benar-benar sesal atau pura-pura."

"Benar pak lurah, orang seperti Darmin itu sangat susah ditebak isi hatinya."
"Semoga dengan ber bicara pelan nanti kita akan mendapatkan sesuatu. Yang penting kita kesana dulu."

"Iya pak lurah, Sri juga bilang kepengin ketemu bapaknya. Katanya semalam bermimpi ketemu bapaknya dan merangkulnya sambil menangis."

"Semoga itu sebuah ikatan yang tak tampak antara pak Darmin dan anaknya, yang tergambar dalam sebuah mimpi. Mungkin nanti pak Darmin sudah mau menerima Sri dengan baik, tidak seperti pertemuan mereka yang lalu. Karena sesungguhnya pak Darmin juga mencintai si Sri."

"Baiklah pak lurah, terimakasih banyak. Saya mohon diri. Karena Sri itu sesungguhnya takut kalau sendirian dirumah. Ya karena Basuki sering mendatangi ayahnya akhir-akhir ini."

"Ya mbah, bisa dimengerti. Karena merasa  memiliki lalu dia bisa mengambilnya kapan saja. Hati-hati ya mbah.."
"

"Jam segini kok belum pulang ya mas Timan? Tuh rumahnya masih terkunci." kata Lastri ketika bersama suaminya ingin berbincang dengan Timan.

"Tadi nggak telephone dulu."
"Kan sekalian mau belanja. Tapi aneh kalau sudah sore begini belum pulang."

"Coba deh ditelephone Tri."
"Jangan-jangan ke Sarangan.  Nggak aktif nih ponselnya."

"Bisa jadi. Aku sebenarnya pengin tau, bagaimana kelanjutan ceritanya, tentang uang yang harus dibayar itu. Bagaimanapun aku ingin membantu. Kalau terlalu banyak kasihan ms Timan."

"Iya mas, aku setuju. Dulu dia juga mati-matian berkorban mempertemukan kita. Kalau nggak ada mas Timan, sampai sekarang mas Bayu belum menemukan isteri, ya kan? Maksudnya isteri yang seperti aku. Kalau gadis cantik sih banyak."

"Kok larinya jadi ke gedis cantik banyak, aku kan nggak mau punya isteri selain kamu. Susah nyari isteri kayak kamu."
"Karena aku cantik kan?"

"Hm, kalau mau bilang jelek, takut dicubit, kalau mau bilang cantik.. aku juga harus dikasih upah. Gimana ya..."
"O, jadi memuji isteri harus ada upahnya?"

"Iya dong, setiap sa'at."
"Mau upah berapa sih, coba bilang."

"Upahnya bukan uang, jadi jangan bilang berapa..."
"O, gitu.. larinya kesana lagi nih.."
"Kesana tuh kemana?"
"Kayak nggak tau aja apa yang dipikirkan mas Bayu. Taulah aku.."

"Baguslah kalau tau, jadi aku sekarang mau  bilang kalau isteriku memang cantik. Nggak usah sekarang lho upahnya,Boleh nanti.. tapi dobel ya.."

"Iih.. apaan sih, lagi dijalan ngomongin yang enggak-enggak aja. Ayo pulang kalau begitu."
"Tapi belum bisa nyambung mas Timan, bagaimana?"

"Gimana kalau kang Mardi saja. Dia pasti tau."
"Ya sudah, kamu saja yang telephone."

Lastri memutar nomor Mardi.
"Hallo Tri, ada apa?" tanya lurah Mardi dari seberang.

"Ini, aku sama mas Bayu kerumah mas Timan, tapi sudah sore begini kok belum pulang ya?"
"Lho, sekarang mas Timan tiap sore kan kemari, ketemu si Sri."

"Aaah, sudah aku duga. Ini mas, mas Bayu kepengiin tau, kemarin kang Mardi bilang mau ketemu pak Darmin. Sudah ada angka yang disebutkan pak Darmin? Tentang uang yang harus dibayarkan ? Apa pak Darmin mau mengatakannya?"

"Mau sih, tapi angka persisnya tidak disebutkan. Lumayan banyak. Katanya hutang pak Darmin waktu itu sama dengan harga sebuah rumah bagus."

"Wauuu... bisa ratusan juta dong."
"Benar, tapi mas Timan menyanggupinya. Cuma saja saya belum bisa ketemu Basuki. Entah dimana dia tinggal. Tak seorangpun tau.  Maksud saya mau bicara juga sama Basuki tentang uang itu. Karena bagaimanapun namanya hutang kan harus dibayar?"

"Benar kang, ini tadi aku coba menghubungi mas Timan  belum bisa."
"Iya lah, orang lagi asyik pacaran.. " kata lurah Mardi sambil tertawa.

"Nanti saja saya coba menghubbungi lagi kang/."
"Besok rencananya aku mau mengantarkan Sri ketemu bapaknya, sama Sri ingin ketemu orang yang dipukul bapaknya itu. Mau minta ma'af katanya."

"Baguslah, memang itu seharus nya yang kita lakukan, supaya nanti dia tidak banyak menuntut."
"Sekalian mau mencoba lagi bicara sama pak Darmin, barangkali akan ada perkembangan. Karena kunci dari semua ini hanyalah Basuki."

"Ya mas, nanti kabari aku kalau ada perkembangan. Mas Bayu bilang ingin membantu."
"Baiklah, nanti aku kabari."

"Bagaimana? Apa kata pak lurah?" tanya Bayu ketika pembicaraan sudah selesai.
"Nanti saja sampai rumah aku ceritain mas, kenapa ya tiba-tiba aku kok merasa mual."

"Kamu lapar barangkali? Makan dulu yuk, coba cari enaknya dimana?"
"Nggak mas, aku pengin segera pulang dan tidur, nggak enak nih perutku."

***

Mobil lurah Mardi berhenti didepan pagar rumah mbah Kliwon. Ketika pak lurah turun, mbah Kliwon dan si Sri sudah siap didepan pintu. mBah Kliwon mengunci pintu rumahnya.

"Merepotkan ya pak lurah?" sapa Sri sungkan.
"Tidak apa-apa Sri, kan aku juga punya kepentingan. Sudah siap ?"

"Sudah, tinggal nungguin simbah, tuh lagi mengunci pintu."
"Bawa apa itu Sri?"

"Cuma pisang,  dua haru yang lalu sudah matang pohon. Nanti saya juga nitip untuk yu Marni. Yang ini ya pak."
"Oh ya, pasti ibunya Jarot suka. Ayo masuk, itu simbah sudah selesai."

Sri berjalan mengitari mobil, tetangga didepan rumah menyapanya.
"Mau kemana Sri?"
"Ini kang, mau nengokin bapak."
"Masih belum keluar?"
"Belum kang, do'akan ya." kata Sri lalu masuk kedalam mobil.

***

Siang itu sebuah mobil berhenti didepan pagar rumah Lastri. Mobilnya bagus, semua orang lewat menatap kearah mobil itu. Seorang laki-laki gagah turun  dari mobil. Jalannya tegap, memakai kaca mata hitam yang keren banget. Bercelana jean dan memakai t-shirt ketat yang  menutupi dada bidangnya.  Laki-laki itu masuk kehalaman kecil rumah Lastri dan berdiri didepan pintunya.

Perlahan ia mengetuk, lalu semakin keras karena tak ada yang menjawabnya dari dalam.
"Permisi... permisi.. assalamu'alaikum... "
Tak ada jawaban sampai beberapa sa'at lamanya.

"Kemana dia? Tadi dirumah Darmin juga tidak ada. Jangan-jangan dia kabur dari aku, awas kamu Darmin," gerutunya dengan wajah kesal.

Ia kemudian berbalik dan kembali kejalan. Seseorang yang rumahnya didepan melihatnya dan mendekati laki-laki gagah itu.

"Tuan mencari siapa?"
"Si Sri ada ?"
"O, Sri sedang pergi sama simbahnya."
"Pergi kemana?"

"Nggak tau, tadi disamperin mobil pak lurah. Dengar-dengar mau nyambangin bapaknya Sri yang masih ditahan.."
"Oh, terimakasih."

Laki-laki itu naik keatas mobilnya. setelah ia tau harus mencari kemana.

***

besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  12*

 

Namun ketika Basuki tiba dirumah  tahanan dimana Darmin ditahan, tak ditemukannya siapapun. Darmin menemuinya dengan wajah kesal, dan itu membuat Basuki marah.

 

"Mengapa wajahmu sepeti itu? Kamu tidak suka aku datang? O.. ya, karena aku tidak memberi kamu uang? " kata Basuki dengan wajah sinis.

 

"Bukan tuan, saya sedang tidak enak badan, setiap malam tak bisa tidur nyaman."

"Memang ini rumah tahanan, bukan istana atau hotel, mau tidur nyaman yang bagaimana? Salah kamu sendiri, begitu goblog melakukan sesuatu yang beresiko." omel Basuki panjang pendek.

 

"Ya, tuan," jawab Darmin lesu.

"Mana si Sri?" 

"Tuan bagaimana, saya disini, mana bisa tau si Sri dimana?"

 

"Jangan bohong, aku sudah kerumah kamu, juga kerumah simbahnya si Sri, kata tetangga, Sri lagi nengokin kamu disini."

"Tapi dia tidak kemari."

 

"Bohong !! "

"Kalau tidak percaya, tanyakan pada petugas disitu, apa tadi ada orang yang menemui saya."

 

"Kamu tampak tidak suka melihat aku datang, tampaknya kamu mulai tidak menyukai aku. Oo.. aku tau, karena ada yang mau memberi uang untuk menggantikan hutang-hutang kamu, lalu kamu bgitiu angkuh sama aku?"

 

"Tidak tuan, saya biasa saja, sungguh saya sedang tidak enak badan."

"Ingat Darmin, aku tidak akan sudi seandainya ada yang mau membayar aku untuk membatalkan perjanjian itu. Aku hanya mau si Sri, tak ada yang lain."

 

Darmin terdiam. Sungguh ia merasa enggan bicara dengan laki-laki yang kali ini berdandan begitu perlente dan tampak lebih gagah. Mungkin karena tadi maunya ketemu si Sri, lalu berdandan agak berlebihan supaya Sri tertarik. Entahlah.. Yang jelas Darmin ingin agar Basuki segera berlalu.

 

"Tuan, saya minta ma'af, sungguh saya sedang nggak enak badan." 

Lalu Darmin berdiri, menemui petugas dan bilang bahwa dirinya ingin istirahat karena nggak enak badan.

 

Petugas menghampiri Basuki.

"Pak, mohon ma'af, pak Darmin sedang tidak enak badan, jadi sebaiknya lain kali saja bapak datang kembali," kata petugas itu.

 

Basuki mendengus kesal, kemudian berlalu.

***

 

Sementara itu pak lurah Mardi dan Sri serta mbah Kliwon sudah tiba dirumah sakit, dimana korban pemukulan oleh Darmin itu dirawat. Pak lurah segera menemui petugas rumah sakit dan mencari keterangan.

 

"Aku sudah menanyakannya, disana kamarnya," kata lurah Mardi kemudian.

mBah Kliwon dan si Sri mengikutinya. Namun tiba-tiba..

 

"Sri !!" sebuah panggilan mengejutkan semuanya. Sri menoleh dengan hati berdebar, karena menganali suara itu.

"Mas Timan !!" pekiknya pelan. Ia tampak gembira.

 

Timan melangkah cepat mendekati mereka. Sri menyalaminya lebih dulu, dan Timan menepuk tangan itu lembut.

 

"Kok mas Timan bisa tau kami ada disini?" tanya Sri.

Timan tersenyum, tapi matanya melirik kearah lurah Mardi.

 

Rupanya lurah Mardi mengabari Timan bahwa hari itu mereka mau membezuk korban pemukulan oleh pak Darmin  dan pulangnya akan mampir menemui pak Darmin di tahanan.

 

"O, pak lurah rupanya yang mengabari nak Timan?" kata mbah Kliwon gembira. Gembira karena melihat cucunya juga tampak gembira.

 

"Iya , mbah."

"Mas Timan nggak kepasar?"

"Nggak, aku pilih kesini aja, bisa ketemu kamu," kata Timan sambil menatap Sri.

"Aah, mesti gitu mas Timan nih."

 

"Itu betul.."

"Iya, aku percaya..." kata Sri sambil melangkah cepat, karena lurah Mardi dan mbah Kliwon meninggalkan mereka berdua.

 

"Dimana kamarnya?"

"Disana, ngikutin pak lurah saja."

"Sebenarnya tadi mas Bayu mau ikut.."

"Ikut, apa dia libur?"

 

"Ya mau ijin sehari gitu, karena pengin tau juga perkembangan cerita kita ini.."

"Hm, cerita kita ya?" kata Sri, tersenyum.

"Iya, terutama  cerita kamu, si kembang titipan Basuki."

Sri merengut.

 

"Ah, merengut juga nggak apa-apa, kan cantiknya nggak akan hilang."

"Oh ya, tadi mas Bayu mau ikut, trus kenapa? Ceritanya bisa melenceng kemana-mana."

"Lastri sakit."

"Oh, yu Lastri sakit? Sakit apa?"

 

"Ini tadi baru mau ke dokter, katanya semalam muntah-muntah  terus."

"Waah, jangan-jangan yu Lastri hamil."

"Benarkah? Kamu kayak yang pernah hamil saja."

"Bukan aku dong mas, yu Marni dulu waktu awal-awal hamil juga begitu, muntah-muntah terus. Berhenti muntah kalau sudah dikasih makan rujak."

 

"Wah, semoga itu benar. Pasti mereka sangat bahagia."

"Aku juga akan ikut bahagia. Eh, mana mereka? Kita ngobrol sendiri, nggak tau tadi belok kemana?"

 

Timan dan Sri celingukan, di persimpangan diujung lorong itu, barulah mereka melihat lurah Mardi dan mbah Kliwon. Mereka menunggu, karena rupanya sudah sampai didepan kamar yang dituju.

 

"Disini pak lurah, kamarnya?" tanya Timan.

"Iya, namanya Karsono. Ayo kita masuk," ajak pak lurah sambil masuk kedalam.

Pelan mereka mengikuti. Seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan. Laki-laki itu masih muda, menerima mereka dengan heran karena belum pernah melihat mereka.

 

"Mas Karsono, saya kemari mengantarkan Sri. Dia ini anaknya pak Darmin yang sudah memukul mas Karsono sampai mas Karsono dirawat disini."

 

"Iya, dia itu mabuk, saya tidak mengira dia melakukannya. Tapi saya ngomong sembarangan juga, dan membuat dia marah."

 

Sri maju mendekat, menyalami Karsono.

"Saya Sri, anaknya pak Darmin. Saya kemari mau minta ma'af atas kesalahan bapak saya."

"Sudah, lupakan saja. Semuanya sudah terjadi. Dan ini sudah ditangani oleh pihak yang berwajib."

 

Sri tercekat mendengar kata-kata Karsono.

"Kapan mas Karsono bisa pulang? Tampaknya sudah sehat."

" Saya menunggu kakak saya. Mereka akan kemari untuk mengurus administrasinya, hari ini saya boleh pulang."

 

Tiba-tiba Timan mendekat.

"Mas, saya datang kemari untuk membantu menyelesaikan semuanya. Berapa beaya mas Karsono selama dirawat?"

 

Sri dan mbah Kliwon terkejut. Tadi tidak ada rencana untuk itu.

"Saya tidak tau persis, tapi syukurlah kalau anda mau memikirkan hal itu. Selama ini tidak ada keluarga Darmin yang datang dan perduli atas keadaan saya," keluh Karsono.

 

"Itu sebabnya kami datang kemari. Pak Darmin tidak punya keluarga, hanya Sri ini satu-satunya keluarganya. Dia juga terguncang, tapi hari ini kami sudah datang." kata lurah Mardi.

"Oh, iya, terimakasih banyak."

 

Timan keluar menuju ke kantor administrasi, diikuti Sri yang berlinang air mata.

"Mengapa menangis Sri, sudah besar kok masih suka menangis?"

"Mas Timan mengapa melakukan semua ini? Tadinya aku tidak berfikir sejauh ini. Aku hanya mau minta ma'af saja dengan membawa oleh-oleh pisang. Tapi mas Timan sanggup membayar semua biaya yang mungkin tidak sedikit."

 

"Sudah, kamu tenang saja. Kita tidak sekedar membantu dia, tapi juga mau minta agar dia bersedia mencabut tuntutannya."

 

Sri menatap Timan tak percaya. Sungguh tadinya hal itu tak terpikirkan.

"Saya sudah merencanakan semuanya dengan pak lurah."

"Ya ampun, bapakku menyusahkan banyak orang," kata Sri sedih.

 

"Sudah, usap air matamu, lalu duduk menunggu disitu, aku mau ke kasir," kata Timan sambil mengulurkan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya.

 

Si Sri duduk disebuah bangku, diantara lalu lalang orang yang mau membezuk kerabat atau saudaranya yang lagi sakit, dan para perawat yang mendorong gerobag berisi obat .. juga dokter-dokter yang bertugas visite.. Hatinya terasa nyeri, karena ulah bapaknya lalu merepotkan banyak orang. Bukan hanya menyita waktu dan tenaga, tapi juga uang yang tiba-tiba harus terkucur. 

 

"Dengan apa aku harus membalasnya?" bisik Sri dalam hati, sambil mengusap lagi titik air matanya. 

Sri merasa hidupnya menjadi beban. Dan terus saja dia meratapi nasibnya sambil sesekali menyeka air matanya, sampai Timan sudah selesai dan kembali mendekati Sri.

 

"Ada apa? Kok sedih begitu?" tanya Timan sambil duduk disampingnya.

"Sedih mas... sungguh .. hidupku ini mengapa menjadi beban orang lain?"

 

"Sri, kok ngomong begitu, aku ini bukan orang lain, aku ini calon suami kamu," kata Timan sambil merangkul pundak si Sri.

"Dengan apa aku membalasnya mas?"

"Dengan cinta, dengan kasih sayang... gimana.. gampang kan?"

 

Sri tersenyum tipis.. ada bahagia tersungging disana, dan sederet gigi pitih yang sedikit menyembul, selalu membat Timan berdebar.  Alangkah manisnya kembang titipan ini, bisik hatinya.

 

"Ayo kita kesana lagi," ajak Timan sambil menarik tangan Sri.

 

Pertemuan dirumah sakit itu selesai. Karsono sang korban sudah mau menerima. Beaya rumah sakit sudah terbayar, dan amplop yang diberikan Timan kemudian cukup membuatnya bersedia mencabut tuntutannya. Ia menandatangi surat yang sudah disiapkan oleh pak lurah.

***

 

"Kita menemui bapak sekarang. Kamu harus sabar seandainya bapak masih belum suka menerima kedatangan kita. Ya," ujar Timan dalam perjalanan menemui Darmin.

 

"Ya mas."

"Tapi sedikit melegakan karena urusan dengan mas Karsono sudah selesai, semoga bapak bisa segera dibebaskan."

"Aamiin."

 

"Mengapa kamu tampak sedih?"

"Bukan sedih, membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."

 

"Kan aku sudah bilang, kamu harus bersabar dan siap menerima apapun dan bagaimanapun nanti sikap bapak, ka yan?"

 

Tiba-tiba ponsel Timan berdering.

"Tolong Sri, dari mas Bayu, bilang aku lagi nyetir."

"Hallo.."

"Ini Sri ?"

"Iya mas Bayu, mas Timan lagi nyetir."

 

"Sudah mau pulang?"

"Baru dari rumah sakit, ini mau ketemu bapak.."

 

"Oh, baiklah, nanti aku telepon lagi saja, takut mengganggu mas Timan."

"Bagaimana kabarnya yu Lastri? Katanya ke rumah sakit?"

"Iya, ini baru saja pulang,"

 

"Yu Lastri sakit apa?"

"Sakit yang menyenangkan," jawab Bayu gembira.

"Yu Lastri hamil ?"

 

"Iya Sri, atas do'amu.. baru lima minggu.. "

"Syukurlah, aku ikut senang mas.. Ini lagi dimana ?"

 

"Tiduran dikamar, sudah nggak muntah muntah tapi masih mual katanya."

"Iya mas, dulu yu Marni juga begitu. Sampaikan salam untuk yu Lastri ya mas, pokoknya aku ikut senang."

 

"Terimakasih Sri, nanti aku sampaikan."

"Lastri hamil beneran?" tanya Timan ketika ponselnya sudah ditutup."

"Iya mas, senengnya.."  

 

"Sebentar lagi kamu akan menyusul Sri.." canda Timan.

"Iih.. belum-belum sudah mau menyusul..." Sri cemberut.

 

"Nanti, sebentar lagi, aku nggak mau lama-lama lho, sudah nggak betah nih.."

"Nggak betah apaan ?"

"Nggak betah kelamaan jadi bujang."

"Bisa aja mas Timan nih.."

"Apa kamu nggak suka?"

Sri tersenyum..

"Semoga semuanya segera selesai ya mas.."

 

Dengan sebelah tangannya Timan menepuk-nepuk tangan Sri. Ada bahagia merekah, oleh pengharapan yang semoga tidak sia-sia.

***

 

Mobil pak lurah Mardi sudah sampai didepan kantor polisi. Ia hanya bersama mbah Kliwon, karena Sri ada dimobil Timan. Mereka belum turun. Lurah Mardi mengawasi spion untuk melihat, apakah Timan sudah dekat.

 

"Kok jaraknya bisa lama sih?" ujar mbah Kliwon.

"Iya mbah, maklum, sambil pacaran," canda pak lurah.

 

"Hm, anak-anak muda. Tapi saya senang pak lurah, kalau ada nak Timan si Sri bisa tersenyum dan tertawa. Kalau dirumah bawaannya murung melulu."

"Maklumlah mbah, memang Sri kan lagi banyak pikiran. Semoga semuanya segera berakhir."

 

"Aamiin. Saya bersyukur banyak yang membantu Sri agar segera terlepas dari beban ini. Sesungguhnya saya sungkan."

 

"Tidak apa-apa mbah, Sri kan sahabat saya, ia juga banyak membantu dalam usaha yang dirintis Lastri dan saya sejak lama. Sudah sepantasnya saya juga ikut membantu ketika dia dalam kesulitan."

 

Tiba-tiba dari arah depan berhenti sebuah mobil. Berhenti tepat didepan mobil pak lurah.  Seorang laki-laki turun, lalu melangkah mendekati mobil pak lurah.

Pak lurah membuka kaca mobilnya karena laki-laki itu berhenti didepan pintunya.

 

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya lurah Mardi.

Laki-laki itu melongok kedalam mobil, mengamati barangkali ada yang dicarinya.

"Ma'af, saya kira ada si Sri," kata laki-laki tersebut.

 

"Tunggu pak, apakah anda yang bernama pak Basuki ?"

Laki-laki yang memang Basuki itu urung membalikkan tubuhnya. Menatap laki-laki yang semula duduk dibelakang setir. mBah Kliwon mulai menduga-duga.

 

Lurah Mardi turun, mengulurkan tangannya kepada Basuki.

"Saya Mardi, pak Basuki."

"Oh, bagaimana anda bisa mengenali nama saya?"

 "Saya lurah desa yang...."

 

"Haa... bukankah tadi anda pergi bersama si Sri? Mana dia?" tiba-tiba Basuki langsung menebaknya karena tetangga mbah Kliwon sudah memberitahu dengan siapa Sri pergi.

 

"Mari masuk kedalam, saya ingin bicara."

"Sri mana?" Basuki mengulang pertanyaannya.

"Dia akan segera datang."

 

Basuki mengangguk tapi ntak beranjak dari tempatnya berdiri. Tampaknya ia ingin menunggu kedatangan Sri.

 

Sementara itu mobil Timan hampir sampai disana. Timan nyaris menghentikan mobilnya ketika Sri berteriak.

"Terus mas ! Jangan berhenti !!"

 

***

 

besok lagi ya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar