*KEMBANG TITIPAN 15*
Sri
membuka matanya, menatap seseorang yang mendekatinya. seorang laki-laki
dengan pakaian yang mirip seragam restoran, atau entahlah, menurut Sri itu
seperti tidak wajar, membawa nampan masuk sambil membungkuk kearahnya, lalu
meletakkan dua gelas minuman. Gelas-gelas yang antik yang apik. Sri tak
perduli, ia terus menerus menelusuri bagaimana terjadi keadaan seperti ini, dan
terus menerus merasa bermimpi.
"Mas
Timan..." bisiknya pelan.
"Bu,
ini obat yang harus diminum lagi," kata laki-laki itu sambil mengulurkan
sebuah cawan kecil. Tapi Sri hanya menerimanya dengan tangan kanan sambil
tiduran.
Laki-laki
itu membungkuk lagi dan keluar dari kamar. Sri mengamati sebutir pil
warna biru muda yang diberikan laki-laki tadi, tapi ia tidak meminumnya. Ia
meletakkan kembali cawan itu dimeja, dan membuat pil berwarna biru itu
tergelincir jatuh ke lantai.
Sri
memejamkan matanya.
"Apa
ini? Dimana aku...? Mana mas Timan?" hanya itu yang diingatnya.. seorang
laki-laki ganteng dengan mata teduh dan senyum yang menyejukkan.
Sri
memejamkan matanya kembali. kepalanya masih berdenyut. Apa obat yang terjatuh
tadi obat untuk pusing kepalanya? Tiba-tiba Sri merasa bahwa obat-obat yang
diberikan oleh wanita cantik tadi sama sekali tidak mengurangi denyut sakit
dikepalanya.. Jadi tak apa walau pil warna biru tadi terjatuh. Sri hanya
memejamkan matanya sambil terus memegangi kepalanya.
"Mas..
aku dimana mas? Mas Timaan... mas Timaaan.." Sri terus menerus membisikkan
nama Timan.
Kemudian ia
tak ingat apa-apa lagi.
Senyap
sekelilingnya, seperti membiarkan Sri terlelap tanpa terganggu.
***
Seseorang
memasuki kamar, diikuti seorang lainnya. Yang masuk lebih dulu adalah laki-laki
gagah yang langsung menatap kearah ranjang dengan wajah berseri. Yang satunya
adalah wanita cantik yang tadi menemani dan mendandani Sri.
"Kerja
bagus, Mery.." kata Basuki, si laki-laki gagah itu.
"Huh,
mengapa kali ini kamu begitu tergila-gila?" tanya yang dipanggil Mery
dengan wajah cemberut. Ada nada cemburu disana.
"Mery,
kamu adalah perempuanku yang terhebat. Jangan iri kepada gadis ingusan yang
belum tau apa-apa ini."
"Justru
belum tau apa-apa, lugu dan pastinya masih perawan ini kamu seakan sudah akan
meninggalkan aku, bukan?"
"Tidak
Mery, jangan khawatir. Kamu tetap nomor satu bagiku," kata Basuki sambil
memeluk Mery erat-erat. Mery menyandarkan kepalanya didada bidang itu, sambil
memeluk erat tubuh gempal yang sesungguhnya amat dicintainya.
Kemudian
mereka duduk berdampingan disofa yang ada dikamar itu, sambil mata mereka
memandangi tubuh molek yang tampak pulas diatas ranjang.
"Kamu
bohong bukan?"
"Tidak,
tanpa kamu aku tidak bisa apa-apa."
"Tanpa
aku kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis dusunmu itu, ya kan?"
Basuki
tertawa.
"Dia
hanya gadis desa. Takut bersaing dengannya?"
"Dia
masih muda, perawan dan menawan. Lihat tubuhnya, begitu menarik dan sudah
membuatmu tergila-gila."
"Aku
menunggunya selama puluhan tahun. Sejak aku masih muda dan dia masih
kanak-kanak. Aku hanya suka, tapi tidak cinta."
"Kamu
memang tak pernah memiliki cinta."
"Huuh...
siapa bilang?"
"Aku
yang bilang. Berapa banyak perempuan simpanan kamu, yang kemudian kamu buang
begitu saja."
"Mereka
membosankan."
"Kalau
aku?"
"Kamu
berbeda. Kamu selalu membuat aku bergairah dan sulit melepaskan kamu."
"Bohong!!"
"Kok
bohong?"
"Memang
bohong kan? Buktinya kamu masih mengejar dia," kata Mery sambil menunjuk
kearah ranjang.
"Dia
simpanan aku sejak masih kecil, aku titipkan pada bapaknya."
Mery
cemberut. Lalu Basuki meraih tubuhnya, dan Mery meletakkan kepalanya dibahu
Basuki.
"Aku
mencintai kamu sejak bertahun-tahun lalu, tapi kamu tidak pernah mengambil aku
sebagai isteri."
"Sesungguhnya
untuk apa status isteri itu? Kamu mendapatkan aku, memiliki harta sebanyak yang
kamu mau, bisa melakukan apa saja. Apa bedanya?"
"Ya
beda, orang bisa memanggil aku nyonya Basuki, si ganteng yang kaya raya.."
Basuki
tertawa terbahak,
"Besok
aku akan suruh semua orang memanggil kamu nyonya Basuki."
"Apa
itu cukup?"
"Mery,
sudahlah, jangan mimpi terlalu tinggi. Bersamaku apa yang kamu inginkan bisa
kamu dapatkan."
Namun Mery
merasa bahwa adanya Sri akan merupakan ancaman bagi dirinya, lalu kisah
cintanya bersama Basuki akan berakhir.
Tapi
karena tawa Basuki yang kelewat keras itu tiba-tiba Sri terjaga dari tidurnya.
Masih setengah sadar dibukanya matanya.
"Mas
Timaan.." kata itu lagi yang dibisikkannya.
Basuki
mendorong tubuh Mery pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati si Sri.
"Hallo..
Cinderrela.. sudah terbangun ?"
Sri
mengernyitkan dahinya. Suara siapa disampingnya?
"Mas
Timaan.."
"Heiii...
lihat aku.. bukan Timan yang kumal dan lusuh.."
Sri
membuka matanya lebih lebar..
Dalam
keadaan setengah sadar yang diingatnya hanya Timan dan Basuki. Timan yang
dicarinya selalu, tidak muncul. Yang muncul adalah Basuki, orang yang dia
benci.
"Sri..
masih ingat aku kan?"
"Dimana
aku? Mana mas Timan?"
Tiba-tiba
Sri sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kehadiran Basuki menyiratkan adanya
bahaya itu. Sri menjauhkan tubuhnya dari samping ranjang, agak ketengah supaya
tidak terlalu dekat dengan Basuki. Lalu dia bangkit. Rasa pening itu sudah
banyak berkurang dan Sri mengerti bahwa dia bukan sedang bermimpi.
"Sri,
kamu seperti takut melihat aku.." Basuki naik keatas ranjang. Sri
ketakutan.
"Pergi...
pergi..." teriaknya.
"Ya Tuhan,
kamu berdandan sangat cantik. Kamu benar-benar seperti Cinderela yang sedang
menunggu pangeranmu. Ini aku, sang pangeran tampan."
"Pergiiii..."
teriak Sri lebih keras, ketika tangan Basuki mencoba menjamah wajahnya. Sri
merosot turun dari sisi ranjang yang lain. Lalu berlari mendekati Mery yang
masih duduk diatas sofa.
"Tolong
aku... antar aku pulang.." tangisnya.
"Ada
apa ini? Apa obat itu tidak kamu berikan?" tanya Basuki sambil menatap
Mery kesal, dengan masih duduk diatas ranjang.
"Sudah,
pelayan yang memberikannya," jawab Mery. Ia membiarkan Sri duduk
disampingnya dengan wajah pucat pasi.
"Tolong
aku, tolong antar aku pulang." katanya sambil menggoyang-goyangkan lengan
Mery.
Basuki
turun dari ranjang dengan wajah muram.
"Rupanya
kamu sudah sadar, tapi kamu tidak minum obat itu bukan? Kalau kamu meminumnya
pasti kamu akan menyambut aku dengan hangat."
Sri
mengingat ingat tentang obat. Kesadarannya semakin pulih. Apakah obat itu
adalah obat yang diberikan laki-laki yang memberikannya diatas cawan kecil? Pil
berwarna biru itu, yang kemudian terjatuh entah kemana? Sri mencoba mencerna
kata-kata Basuki, kalau dia meminumnya maka dia akan menyambut Basuki dengan
hangat? Sri pernah mendengar tentang obat perangsang, yang konon bisa
menimbulkan birahi. Ya Tuhan, aku hampir meminumnya, dan aku akan celaka
ditangan Basuki. Mungkin diperkosa. Kata batin si Sri.
Tapi dia
masih heran, mengapa dirinya tadi mengikuti wanita cantik yang sekarang ada
disampingnya.
Basuki
menengok kearah meja marmer disamping ranjang. Ada cawan obat yang sudah
kosong, berarti Sri sudah meminumnya. Mengapa tak ada reaksi apapun? Atau
belumkah bereaksi?
"Apa
yang terjadi? Jawab Mery !" Basuki mendekat kearah sofa. Sri berdiri
menjauh.
"Kamu
harus sabar." kata Mery.
"Aku
tidak suka memaksa. Aku mau perempuan-perempuan tunduk dan takluk kepadaku. Aku
benci perlawanan." kata Basuki sambil menuding kearah Sri, lalu melangkah
keluar dari kamar itu.
Sri
menghela nafas lega, tapi kemudian dia memandang wanita itu dengan marah.
"Mengapa
saya dibawa kemari?"
"Kamu
beruntung, Basuki menyukai kamu. Kalau tidak kamu sudah dibuang ketempat
sampah." kata Mery tanpa menjawab pertanyaan Sri.
"Mengapa
saya dibawa kemari? mBak yang membawa saya kemari kan? Ini dimana, antarkan
saya pulang."
"Tidak
bisa Sri, kamu sudah disini dan tak akan bisa kembali."
"Apa?"
"Kamu
berada ditangan Basuki."
"Tolong,
antarkan aku pulang.. tolonglah, mas Timan dan simbah akan mencari
aku," kata Sri memelas.
"Sebaiknya
kamu tenang dulu disini, aku akan menemani kamu nanti."
"Tidak,
aku mau pulang.."
"Tak
mungkin bisa pulang. Diluar banyak penjaga.."
"Penjaga?
Ini rumah apa? Mengapa mbak bawa saya kemari?"
"Karena
aku kekasihnya Basuki.."
Sri
terpana, seorang wanita.. kekasihnya Basuki.. menculik gadis untuk Basuki ?
"Kamu
tidak percaya ? Aku.. karena sangat cinta dia, maka aku penuhi semua
keinginannya, termasuk membawa gadis-gadis yang dia sukai kemari."
Sri
menutup mulutnya.
"Basuki
sangat menginginkan kamu."
"Tidak,
aku sudah punya calon suami..." katanya lirih sambil matanya berkaca-kaca.
Sekarang dia baru sadar sepenuhnya, bahwa dia telah diculik demi Basuki.
Mery
membuka jendela besar yang ada dikamar itu. Gelap... Kalau saja Sri bisa
melompati jendela itu, tapi tidak, jendela itu berterali besi. Angin dingin
yang menerobos melalui terali itu membuatnya menggigil. Bukan hanya oleh
dinginnya malam, tapi juga oleh kecemasan yang mencekam.
"Aku
ingin pergi dari sini.. tolonglah aku mbak.." kata Sri setelah Mery
kembali duduk.
Pintu
kamar terbuka setelah terdengar ketukan halus. Sri berdebar. Tapi bukan Basuki
.yang masuk. Seorang pelayan mendorong sebuah meja kecil berisi makanan dan
minuman
Sa'atnya
makan malam," kata Mery
Pelayan
itu mendorong meja penuh makanan kedekat sofa setelah Mery melambaikan
tangannya. Lalu pelayan itu pergi.
"Ayo
kita makan."
"Tidak,
aku tidak mau makan. Tidak.."
"Manusia
harus makan, kalau tidak kamu akan lemas, lalu mati," kata Mery sambil
mengambil piring dan menyendok nasi untuk Sri, yang kemudian diulungkannya
kepada Sri.
Sri
menggeleng-geleng. Ia masih teringat tentang pil biru yang menggelinding jatuh,
dan ternyata dimaksudkan untuk membuat Sri terlena lalu mau melayani nafsu
bejat Basuki.
"Sri,
kamu takut makanan ini beracun? Tidak Sri, lihatlah aku akan memakannya, dan
aku tidak akan mati," kata Mery yang lalu menyendok sayur dan mencomot
sepotong ikan lalu dimakannya dengan lahap.
Sri
menatapnya. Sesungguhnya dia lapar, tapi dia tak ingin makan. Ia hanya ingin
pergi dari sana. Pikirannya yang gundah membuat ia melupakan rasa lapar itu.
Gundah dan khawatir.
"Enak,
benar kamu nggak mau makan?"
Sri hanya
menatapnya. Sungguh ia takut kalau didalam makanan itu terkandung sesuatu
yang membuatnya lupa segalanya, seperti ketika Mery menyuruhnya turun dari
mobil, lalu mengajaknya pergi bersamanya. Ketika itu ia hanya mencium aroma
aneh, wangi yang memabokkan ketika Mery berdiri didepan jendela mobil Timan.
"Bener,
nggak mau makan? Dengar Sri, kalau aku mau membuat kamu mabuk dan lupa
segalanya, aku bisa melakukannya tanpa menyuruhmu makan. Aku punya sesuatu dan
kamu pernah merasakannya. Hanya mencium harum yang aku tebarkan didepan
hidungmu maka kamu akan menuruti semua keinginanku. "
Sri masih
diam menatap. Lalu ia berfikir, kalau ada kesempatan untuk lari dari situ, ia
harus kuat. Kalau perutnya tak kemasukan sesuatu maka ia akan lemas dan tak
mampu berbuat apapun.
"Ayo,
sedikit juga tak apa-apa, aku tak mau kamu mati disini."
Lalu
perlahan Sri menyendok nasi dan sayur.
"Bagus
Sri, ini ikannya juga enak, koki disini bisa memasak sangat enak. Bahkan hampir
semua yang dimasaknya terasa enak"
Sri
mengunyah makannya pelan, seenak apapun kalau hatinya tidak tenang, akan enak
dari mana?
"Basuki
itu orangnya aneh. Dia suka perempuan, tapi tak suka perempuan yang
melawan. Ia lebih suka perempuan yang mau menerimanya dengan manis, lembut dan
membuatnya terbang ke awang."
Sri tidak
menjawab, tidak sepenuhnya bisa mengerti. Ia sangat awam dalam arti hubungan
antara perempuan dan laki-laki seperti yang dimaksud Mery. Ia masih gadis lugu
yang tak mengenal hubungan diluar nikah. Ia hanya ketakutan ketika Basuki
mendekat, dan merasa bahwa ini semua tidak benar.
"Itu
sebabnya dia tidak mau memaksamu."
"Lalu
dia memberiku obat tadi supaya aku menurut?"
"Ya..
obat.. tapi aneh, kamu tidak terpengaruh obat itu. Kamu bahkan tampak lebih
sehat dari sebelumnya."
Sri diam
saja. Ia juga tak ingin mengatakan bahwa dia sama sekali tak meminum obat itu.
"Tuhan
melindungi orang yang baik," gumam Sri pelan sambil masih mengunyah
makanannya.
"Oh,
ya.. bagus kalau orang masih mengenal Tuhan."
Sri
menatap Mery. Dia merasa tak membutuhkan Tuhan karena semua yang diingininya
selalu terpenuhi. Sri merinding memikirkannya. Mery lupa bahwa Tuhan sedang
menenggelamkannya kedalam gelimang kenikmatan dunia. Lalu entah apa yang
terjadi nanti, barangkali Mery tak memikirkannya.
Sri
meletakkan piringnya.
"Sudah
cukup? Kamu makan seperti kucing. Pantas badanmu kecil. Tapi Basuki suka tubuh
mungil seperti kamu."
Mery
memencet sesuatu dibawah meja, lalu pelayan muncul dan membawa pergi sisa makanan
itu.
Sri
benar-benar takjub. Kehidupan yang serba mudah, tinggal memencet sesuatu lalu
pelayang datang melayani.
Sri meraih
gelas yang masih ada dimeja itu. Memagangnya hati-hati.
"Minum
saja, jangan khawatir, Bukan melalui makanan dan minuman kalau Basuki ingin
meracuni atau menaklukkan kamu."
Sri
meneguk minumannya. Sangat berat masuk kedalam kerongkongannya, walau itu hanya
air.
"Basuki
menyuruh aku tidur disini, aku mau tidur di sofa saja. Kamu ingin melihat
televisi?"
Sri
menggeleng.
"Tidurlah,
ini sudah malam,"
"Kalau
mbak itu kekasihnya Basuki, mengapa mbak biarkan Basuki menyukai perempuan
lain?" tanya Sri tanpa beranjak dari tempat duduknya.
"Itu
kesenangan dia, kalau aku menghalangi, dia akan marah."
"Apa
mbak suka sama Basuki?"
"Aku
cinta sama dia, bukan hanya suka."
"Kalau
cinta, mbak harus bisa memilikinya hanya untuk mbak seorang."
"Apa
maksudmu?"
"Jangan
biarkan ada wanita lain kecuali mbak dihati Basuki."
Mery
tampak merenung. Selama ini ia sangat mencintai Basuki, tapi ia harus rela membiarkan
Basuki bersenang-senang dengan perempuan lain. Basuki beralasan hanya untuk
kesenangan, Mery masih segalanya. Benarkah? Lalu Mery mulai merasa ragu.
Jangan-jangan Basuki mengatakan bahwa dirinya adalah segalanya, karena hanya
dia yang bisa dipercaya, yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginannya. Jadi
dia hanyalah tangan kanan Basuki, yang terkadang bisa menikmati alunan asmara
bersamanya, tapi bukan karena cinta.
"Apakah
mbak bahagia?"
Bahagia?
Dimana bahagia itu? Ketika Basuki menghamburkan uang untuk membelikan
perhiasan, baju-baju mahal, mobil mewah yang bisa dipergunakannya kapan dia
mau? Atau kepuasan diatas ranjang yang karena kobaran nafsu belaka? Itukah
bahagia?
"Saya
hidup miskin, orang desa sederhana, tak ada harta berimpah, tapi saya bahagia.
Saya memiliki calon suami yang ,mencintai saya, dan rela berkorban apa saja
untuk saya, dan itulah yang membuat saya bahagia. Sangat bahagia, bisa memiliki
dan dimiliki. Bisa tertawa dalam ketulusan, tersenyum dalam hati yang damai dan
tidak neka-neka. Itulah kebahagiaan saya mbak. Lalu mbak mengusiknya, membuat
saya terpuruk dan meraba-raba, dimana cinta saya berada."
Berkedip
mata Mery menatap gadis cantik dihadapannya. Gadis sederhana ini memiliki cinta
dan bahagia. Lalu apakah yang dimilikinya? Tiba-tiba Mery merasa bahwa dirinya
tidak pernah merasa bahagia. Tawa dan senyum yang tersungging adalah
kebahagiaan semu, bukan bahagia yang sesungguhnya. Lalu Mery merasakan bahwa
hidupnya hambar, tak punya makna. Cukupkah harta, cukupkah segala kemewahan,
cukupkah pelukan yang diberikan Basuki setiap dia merajuk? Tidak, ternyata itu
tidak cukup. Ternyata itu bukan kebahagiann yang dicarinya.
Mery
meneguk segelas minuman yang ada didepannya untuk menenangkan batinnya.
Tiba-tiba
pintu terbuka, dan Basuki sudah berdiri disana.
Sri pucat
pasi. Apa lagi yang akan dilakukannya?
***
besok lagi
ya
*KEMBANG TITIPAN 16*
Sri
membuang muka ketika Basuki menatapnya dengan mata penuh gairah. Mata itu
selalu menjijikkan. Basuki mendekati Mery, lalu membisikkan sesuatu.
"Ya
aku tau. Kamu harus bersabar," kata Mery dengan wajah kurang senang. Entah
mengapa setelah berbincang dengan Sri perasaannya menjadi lain. Ia merasa bahwa
sesungguhnya ia tak memiliki apa-apa. Ia hanyalah sepotong daging dan tulang
yang memiliki nyawa tapi ntak punya rasa.
"Mengapa
wajahmu cemberut?" kata Basuki sambil mengelus pipi Mery.
"Aku
letih, pergilah.."
"Ayo
ikutlah kekamarku," ajak Basuki sambil menarik tangan Mery, tapi Mery
melepaskannya.
"Aku
sudah bilang letih, aku ingin segera tidur."
"Baiklah."
"Pergilah.."
"Aku
menyerahkan semuanya kepadamu," bisik Basuki ditelinga Mery.
Mery hanya
mengangguk, lalu membiarkan Basuki keluar lagi tanpa mengucapkan apapun .
"Kamu
tidurlah, ini sudah malam," kata Mery.
Sri tak
bergerak. Mana mungkin ia berani tidur? Bagaimana kalau ketika dia tidur lalu
Basuki masuk dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap dirinya?
"Tidurlah,
aku akan menjagamu."
"Menjaga
aku?"
"Percayalah,
Basuki tak akan datang malam ini."
Malam ini,
bagaimana dengan besok, pagi, siang, atau malamnya? Sri bergidik. Diam-diam
dicarinya akal agar bisa keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana ?
Mery
menutupkan kembali jendela yang tadi terbuka, karena angin begitu kencang,
membuat gorden tipis yang menyelimuti jendela itu melambai-lambai.
"Tidurlah.."
lalu Mery merebahkan begitu saja tubuhnya disofa panjang.
"Tidurlah
diranjang, bukankah ranjang itu terlalu besar untuk aku sendirian? Lagipula
mana bisa aku tidur.. " kata Sri.
"Tidur
saja, jangan membuat dirimu kelelahan."
Sri memang
sangat lelah, tapi mana bisa dia tidur?
"Bagaimana
keadaan mas Timan, simbah.. pasti mereka bingung karena aku menghilang."
Mery
menatap Sri yang masih saja duduk disofa. Mata bening itu berlinangan air mata.
Pasti ia sedih sekali. Bagaimana rasanya sedih? Mery selalu merasa apa
yang diinginkannya pasti terlaksana. Ia tidak kekurangan apapun. Ia tak pernah
sedih, apalagi mengeluarkan air mata. Yang ada hanyalah rasa kesal dan marah
apabila Basuki mengecewakannya.
Bagaimana
sih caranya mengeluarkan air mata? Seperti linglung Mery mengerjap-ngerjapkan
matanya, berharap akan ada air mata yang keluar, tapi tak bisa. Mery sama
sekali tak mengerti, bahwa air mata ada hubungannya dengan emosi jiwa,
Kegembiraan yang meluap, atau kesedihan yang mengiris, bisa membuat orang
menangis.
"Sri.."
Sri
menatap Mery yang masih berbaring disofa panjang. Ia mengusap air matanya
dengan ujung bajunya.
Mery
mengulurkan tissue.
"Kamu
sedih ?"
Sri tak
menjawab.
Wanita
cantik dihadapannya seperti tidak mengerti, bahwa dipisahkan dari orang-orang
yang dikasihi pasti membuat hati merasa sedih. Ia melakukan apa saja
semaunya, tanpa perduli bagaimana perasaan orang.
"Tidurlah,
besok aku akan menceritakan sesuatu."
"Mana
bisa saya tidur?"
Sri
menatap kearah pintu. Tatapan itu menyiratkan sebuah kekhawatiran. Mery tau,
Sri takut Basuki tiba-tiba masuk.
"Dia
tidak akan datang malam ini, mungkin besok.." kata Mery sambil memejamkan
matanya.
Mungkin
besok ? Sri ingin menjerit sekeras-kerasnya. Bagaimana caranya bisa keluar dari
sini? Sri berjingkat menuju pintu, ia memutar gerendel pintu itu dan berusaha
membukanya. Tapi tak bisa.
"Kalau
kamu keluar, bisa-bisa ketemu Basuki, dan dilahapnya kamu mentah-mentah."
kata Mery tiba-tiba.
Sri surut
dengan hati bergidik. Kata-kata Mery sangat membuatnya ngeri.
"Mau
mencoba? Aku bisa membukanya dari sini kok."
Mencoba?
Lalu bertemu Basuki dijalan? Aduuh, bisa mati berdiri dia.
"Basuki
sangat tergila -gila sama kamu. Dia akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan kamu."
"Ya
Tuhan.. tidak.. " Sri terduduk lagi disofa.
"Lebih
baik kamu tidur, tenang saja. Malam ini kamu bisa tidur dengan nyenyak. Basuki
sedang punya permainan baru."
Permainan
baru? Sri tidak mengerti, ia hanya meraba-raba. Apakah ada perempuan lain yang
menjadi mangsanya?
"Tapi
dia akan terus mengejar kamu, karena kamu sulit ditundukkan, tidak gampang
menyerah seperti yang lainnya."
Meremang
bulu kuduk Sri mendengarnya.
"Mas
Timaaan, tolong aku...." bisiknya lirih, penuh ketakutan.
Mery
membuka matanya, kemudian bangkit dan duduk sambil membenahi rambut sebahunya
yang acak-acakan.
"Kamu
nggak mau tidur?"
"Saya
nggak akan bisa tidur.."
Mery
menghela nafas. Ternyata dia juga sama, nggak bisa tidur walau mata
terpejam.
"Aku
mau pulang, tolong mbak.. " rintih Sri.
"Sri,
ketika kamu sudah masuk kemari, susah untuk bisa keluar lagi. Rumah ini berada
jauh diluar kota. Tak seorangpun tau ini rumah siapa. Dan kalaupun kamu keluar,
kamu tak akan tau arah kemana yang bisa membawa kamu pulang."
"Ya
Tuhan.... tolonglah hambamu ini..."
Tiba-tiba
Mery merasa, Sri selalu menyebutl Tuhan-nya. Dan itu sesuatu yang tidak
dimegertinya.
"Mengapa
kamu selalu menyebut Tuhan?"
"Dalam
sedih dan suka, saya selalu menyebutNya. Semoga Dia mendengr jeritku, dan
menolongku."
"Dulu
aku seorang yang sebatang kara. Bapak dan ibuku sudah meninggal sejak aku masih
kanak-kanak, lalu aku tinggal disebuah panti asuhan. Ketika aku menjadi gadis
remaja, aku bertemu seorang priya yang menurutku sangat ganteng dan menarik.
Pertemuan itu terjadi ketika aku sedang berjalan sendirian sehabis belanja,
lalu sebuah mobil menghampiriku."
"Hallo
cantik, sendirian saja ?" sapanya begitu turun dari mobil.
Aku
terpesona oleh ketampanannya. Aku tersenyum dan mengangguk.
"Rumahnya
dimana ?" tanyanya.
"Aku
nggak punya rumah."
"Lho,
kamu tinggal dimana?"
"Di
panti asuhan."
"Dimana?"
"Tuh,
didekat situ, "
Pria
tampan itu melihat kearah yang aku tunjukkan.
"Mau
ikut aku?"
"Kemana
?"
"Kerumahku."
"Haris
ijin dulu sama kepala panti."
"Iya,
aku pasti meminta ijin nanti. Ayo aku antar.."
"Jalan
kaki saja, sudah dekat tuh."
Lalu dia
mengantar aku, lalu setelah itu sering datang dan mengajakku jalan, lalu dia
meminta ijiin kepala panti bahwa aku akan dibawa kerumahnya. Dia memberi
imbalan uang yang banyak, dan berjanji akan menikahi aku.
"Kamu
tau Sri, aku benar-benar jatuh cinta pada dia."
Sri
menebak-nebak, apakah laki-laki itu adalah Basuki ?
"Aku
dibawa kerumah mewah ini, diberi pakaian bagus, lalu dia juga memberikan apa
saja yang aku minta. Beberapa bulan aku bergelimang harta dan cinta,
menyerahkan tubuh dan segala yang aku miliki demi cinta itu. Lalu aku kemudian
tau bahwa dia sering berganti-ganti wanita."
"mBak
tidak sakit hati ?"
"Dia
selalu menghiburku bahwa aku adalah yang nomor satu baginya, karena aku
istimewa. Aku bahkan sering membantunya membawa gadis-gadis yang
disukainya."
Sri
menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Berkali-kali
aku menuntut agar dia menikahi aku, tapi dia selalu mengelak, katanya apa
artinya pernikahan kalau semua yang aku inginkan bisa aku dapatkan."
Sri
menatap wajah cantik yang seakan bicara dengan dirinya sendiri.
"Dan
itu benar. Tapi sungguh aku mencintainya, sejak belasan tahun lalu."
Mery
menyandarkan tubuhnya, menatap kearah langit-langit kamar.
"Mengapa
mbak tidak memperjuangkan cinta itu?"
"Apa
maksudmu?"
"Kalau
cinta, milikilah dia seutuhnya. Jangan berbagi dengan siapapun juga."
Mery
menegakkan tubuhnya, menatap Sri tanpa berkedip.
"Apakah
berbagi cinta itu tidak sakit?" tanya Sri pelan.
Sakit itu
apa, Mery tidak menyadarinya. Sakitkah ia ketika Basuki memaksa ingin memiliki
Sri, menatap Sri dengan pandangan penuh gairah, memberikan ranjangnya untuk
diberikan kepada Sri, dengan harapan akan bisa menikmati hari-hari bersama Sri.
Lalu dia.. hanya disuruh menjaganya, merayunya, membuatnya takluk dan
berusaha agar Sri menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang dicintainya.
Tiba-tiba
dada Mery berdesir. Ada rasa tak senang ketika melakukan itu, ada rasa cemburu
karena Basuki tampak tergila-gila pada Sri. Itukah sakit? Sebuah ucapan si
polos dari dusun itu cukup membuat Mery kemudian menjelajahi hari-harinya,
sejak dia masih remaja sampai belasan tahun berjalan dan hanya menjadi pemuas
nafsu bagi laki-laki yang sesungguhnya amat dicintainya.
Apakah
Basuki mencintainya? Cinta yang bagaimana ketika belasan tahun tak berujung dan
hanya menjadi pelayan baginya?
Mery
berjalan kearah jendela dan membukanya lebar-lebar. Sri menoleh kearah sana dan
melihat remang pagi mulai membayang. Rupanya dia dan Sri tidak tidur semalaman.
***
mBah
Kliwon bangun dengan bingung, ia berjalan kesana kemari seperti sedang
mencari-cari.
"mBah.."
Timan yang ternyata tidur dirumah itu melihat kegelisahan mbah Kliwon, karena
memang hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata.
"Sri..
ini jam berapa Sri... dimana kamu?" kata mbah Kliwon masih dengan mondar
mandir.
Timan
bangkit, lalu menghampiri mbah Kliwon, mengajaknya duduk.
"Nak
Timan ?" mbah Kliwon baru sadar bahwa ada Timan dirumahnya.
"Ya
mbah..."
"Aku
bingung, aku mencari si Sri... . Ya Tuhan, si Sri kan diculik si keparat
itu?"
"Sabar
mbah, nanti saya akan mencarinya, saya berjanji akan membawanya pulang,"
kata Timan sambil menepuk-nepuk bahu mbah Timan.
"Dosa
apa yang aku lakukan, sehingga cucuku mengalami nasib seperti ini?" ratap
mbah Timan.
"Bukan
karena dosa siapa mbah, Allah sedang menguji kita. Kita harus bersabar dan
selalu berdo'a agar Sri selamat."
"Bagaimana
kalau Basuki mencelakai Sri?"
"Semoga
saja tidak, mbah sudah.. sekarang simbah tidur saja lagi, pak lurah sudah
menyuruh orang untuk menggantikan tugas mbah Kliwon dan Sri selama Sri belum
kembali. mBah Kliwon jangan memikirkannya terlalu berat. Banyak yang akan
membantu Sri."
"Ini
sudah pagi, bagaimana bisa tidur lagi? Biasanya Sri sudah datang.."
"Biar
saya menjerang air ya mbah, oh ya, simbah kan suka wedang jahe? Saya biasa buat
kalau dirumah, biar saya membuatnya," kata Timan sambil berdiri,
meninggalkan mbah Kliwon tercenung dikursi."
Tiba-tiba
terdengar langkah kaki mendekat.
"mBah,
sudah bangun mbah?" suara Marni terdengar diluar pintu. mBah Kliwon
berdiri lalu membuka pintu.
"Bu
lurah..."
"Mas
Timan masih tidur ?"
"Tidak,
sedang dibelakang."
"Ini
saya bawakan sarapan untuk simbah dan mas Timan ya," kata Marni sambil
meletakkan rantang yang dibawanya diatas meja.
"Apa
aku bisa menelan makanan, sementara hatiku sedang gelisah seperti ini?"
"Simbah
harus makan, harus kuat. Semuanya akan membantu Sri. Percayalah mbah, Sri akan
selamat. Jangan sampai tidak makan, nanti malah jatuh sakit."
mBah
Kliwon menghela nafas panjang, lalu kembali duduk. Badan rasanya lemas.
"mBah
Kliwon jangan memikirkan pekerjaan. Mas Mardi sudah menyuruh orang untuk
menggantikan tugas simbah dan Sri. "
"Terimakasih
Marni."
"Sekarang
simbah harus makan."
Timan
tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa nampan.
"Bu
lurah..."
"Mas
Timan bikin apa?"
"Buat
wedang jahe untuk simbah. Ini mbah, diminum biar anget badannya."
"Itu
saya bawakan sarapan mas, dimakan dulu sama mbah Kliwon. Dari kemarin pada
nggak doyan makan semua."
"Terimakasih
bu lurah. Nanti saya temani simbah makan, sebelum saya pergi."
"Mas
Timan jangan memberi tau pak Darmin dulu, nanti dia juga malah bertambah
bingung."
"Ya,
saya ditunggu mas Bayu untuk melakukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Tapi
untuk melapor ke polisi saya kira jangan dulu, demi keselamatan Sri."
"Semoga
segera menemukan jalan terbaik ya mas."
"Terimakasih
bu lurah. Ayo mbah, diminum dulu. Bu lurah mau menemani?"
"Tidak.
Saya harus segera kembali karena Jarot tadi tidak saya ajak. Takutnya dia
rewel."
"Baiklah,
terimakasih bu lurah."
mBah
Kliwon memegang gelas wedangnya, tangannya gemetar. Timan membantu memegangnya.
"Masih
panas mbah?"
"Tidak,
biar saja saya meminumnya pelan."
Perlahan
mbah Kliwon minum, lalu Timan memaksanya agar mau makan.
"Simbah
harus makan dulu, lalu saya akan pamit, semoga segera bisa menemukan Sri, ya
mbah?"
***
"Kamu
harus mandi, biar terasa segar. Aku siapkan baju gantinya," kata
Mery.
Agak lama
dia berdiri didepan jendela itu, menatap kebun luas yang menghijau, dan
burung-burung kecil berterbangan kesana kemari.
"Alangkah
senangnya burung-burung itu. Bisa terbang bebas sesuka hatinya," desis Sri
yang menyusul Mery berdiri didepan jendela.
"Ini
istana, tapi seperti penjara," sambung Sri lagi.
Mery
menatap Sri, tanpa ekspresi. Lalu duduk disofa lagi.
"Mandilah,
setelah itu baru aku. Aku akan menyiapkan ganti bajumu."
"Tidak,
mana baju saya yang kemarin, saya mau memakai baju saya sendiri."
"Sudah
aku buang."
Sri
terbelalak.
"Dibuang?
Itu baju yang masih bagus," katanya kesal.
"Nanti
aku ganti dengan yang lebih bagus. Sudahlah mandi, dan tenangkan hati
kamu."
Sri
bersungut, berjalan menuju kamar mandi setelah Mery mengambilkan handuk. Kimono
handuk yang lain lagi, masih bersih dan baru dikeluarkan dari dalam
lemari.
Sri tak
perduli, ia masuk kekamar mandi dan segera mengguyur tubuhnya dengan air
dingin. Beribu rasa berkecamuk dalam dirinya. Dan itu semua adalah rasa cemas.
Apa yang akan terjadi pada diriku? Akan celakakah aku ditangan Basuki? Kalau
sedikit saja dia berani menjamah tubuhku, aku lebih baik mati.
Lalu air
matanya bercucuran, teringat Timan yang sangat mencintainya dan sudah banyak
berkorban untuk dirinya. Derasnya air yang mengguyur seakan berpacu dengan
derasnya air matanya. Lama ia membiarkan dirinya disana, menumpahkan air matanya
dalam sedu sedan yang tak terbendung.
Tiba-tiba
terdengar ketukan keras dipintu kamar mandi. Tercekat hati Sri, apakah Mery
yang mengetuk pintunya, atau jangan-jangan Basuki.
***
besok pagi
ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar