Sabtu, 09 Mei 2020

Kembang Titipan 15-16


*KEMBANG TITIPAN  15*

Sri membuka matanya, menatap seseorang yang mendekatinya.  seorang laki-laki dengan pakaian yang mirip seragam restoran, atau entahlah, menurut Sri itu seperti tidak wajar, membawa nampan masuk sambil membungkuk kearahnya, lalu meletakkan dua gelas minuman. Gelas-gelas yang antik yang apik. Sri tak perduli, ia terus menerus menelusuri bagaimana terjadi keadaan seperti ini, dan terus menerus merasa bermimpi. 

"Mas Timan..." bisiknya pelan.
"Bu, ini obat yang harus diminum lagi," kata laki-laki itu sambil mengulurkan sebuah cawan kecil. Tapi Sri hanya menerimanya dengan tangan kanan sambil tiduran.

Laki-laki itu  membungkuk lagi dan keluar dari kamar. Sri mengamati sebutir pil warna biru muda yang diberikan laki-laki tadi, tapi ia tidak meminumnya. Ia meletakkan kembali cawan itu dimeja, dan membuat pil berwarna biru itu tergelincir jatuh ke lantai.
Sri memejamkan matanya.

"Apa ini? Dimana aku...? Mana mas Timan?" hanya itu yang diingatnya.. seorang laki-laki ganteng dengan mata teduh dan senyum yang menyejukkan. 

Sri memejamkan matanya kembali. kepalanya masih berdenyut. Apa obat yang terjatuh tadi obat untuk pusing kepalanya? Tiba-tiba Sri merasa bahwa obat-obat yang diberikan oleh wanita cantik tadi sama sekali tidak mengurangi denyut sakit dikepalanya.. Jadi tak apa walau pil warna biru tadi terjatuh. Sri hanya memejamkan matanya sambil terus memegangi kepalanya.

"Mas.. aku dimana mas? Mas Timaan... mas Timaaan.." Sri terus menerus membisikkan nama Timan.

Kemudian ia tak ingat apa-apa lagi.
Senyap sekelilingnya, seperti membiarkan Sri terlelap tanpa terganggu.

***

Seseorang memasuki kamar, diikuti seorang lainnya. Yang masuk lebih dulu adalah laki-laki gagah yang langsung menatap kearah ranjang dengan wajah berseri. Yang satunya adalah wanita cantik yang tadi menemani dan mendandani Sri.

"Kerja bagus, Mery.." kata Basuki, si laki-laki gagah itu.
"Huh, mengapa kali ini kamu begitu tergila-gila?" tanya yang dipanggil Mery dengan wajah cemberut. Ada nada cemburu disana.

"Mery, kamu adalah perempuanku yang terhebat. Jangan iri kepada gadis ingusan yang belum tau apa-apa ini."

"Justru belum tau apa-apa, lugu dan pastinya masih perawan ini kamu seakan sudah akan meninggalkan aku, bukan?"

"Tidak Mery, jangan khawatir. Kamu tetap nomor satu bagiku," kata Basuki sambil memeluk Mery erat-erat. Mery menyandarkan kepalanya didada bidang itu, sambil memeluk erat tubuh gempal yang sesungguhnya amat dicintainya.

Kemudian mereka duduk berdampingan disofa yang ada dikamar itu, sambil mata mereka memandangi tubuh molek yang tampak pulas diatas ranjang.

"Kamu bohong bukan?"
"Tidak, tanpa kamu aku tidak bisa apa-apa."
"Tanpa aku kamu tidak akan bisa mendapatkan gadis dusunmu itu, ya kan?"
Basuki tertawa.

"Dia hanya gadis desa. Takut bersaing dengannya?"
"Dia masih muda, perawan dan menawan. Lihat tubuhnya, begitu menarik dan sudah membuatmu tergila-gila."

"Aku menunggunya selama puluhan tahun. Sejak aku masih muda dan dia masih kanak-kanak. Aku hanya suka, tapi tidak cinta."
"Kamu memang tak pernah memiliki cinta."
"Huuh... siapa bilang?"

"Aku yang bilang. Berapa banyak perempuan simpanan kamu, yang kemudian kamu buang begitu saja."
"Mereka membosankan."
"Kalau aku?"
"Kamu berbeda. Kamu selalu membuat aku bergairah dan sulit melepaskan kamu."
"Bohong!!"
"Kok bohong?"

"Memang bohong kan? Buktinya kamu masih mengejar dia," kata Mery sambil menunjuk kearah ranjang.
"Dia simpanan aku sejak masih kecil, aku titipkan pada bapaknya."

Mery cemberut. Lalu Basuki meraih tubuhnya, dan Mery meletakkan kepalanya dibahu Basuki.
"Aku mencintai kamu sejak bertahun-tahun lalu, tapi kamu tidak pernah mengambil aku sebagai isteri."

"Sesungguhnya untuk apa status isteri itu? Kamu mendapatkan aku, memiliki harta sebanyak yang kamu mau, bisa melakukan apa saja. Apa bedanya?"
"Ya beda, orang bisa memanggil aku nyonya Basuki, si ganteng yang kaya raya.."

Basuki tertawa terbahak, 
"Besok aku akan suruh semua orang memanggil kamu nyonya Basuki."
"Apa itu cukup?"
"Mery, sudahlah, jangan mimpi terlalu tinggi. Bersamaku apa yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan."

Namun Mery merasa bahwa adanya Sri akan merupakan ancaman bagi dirinya, lalu kisah cintanya bersama Basuki akan berakhir.

Tapi karena tawa Basuki yang kelewat keras itu tiba-tiba Sri terjaga dari tidurnya. Masih setengah sadar dibukanya matanya.

"Mas Timaan.." kata itu lagi yang dibisikkannya.

Basuki mendorong tubuh Mery pelan, lalu berdiri dan berjalan mendekati si Sri.
"Hallo.. Cinderrela.. sudah terbangun ?"

Sri mengernyitkan dahinya. Suara siapa disampingnya?
"Mas Timaan.."
"Heiii... lihat aku.. bukan Timan yang kumal dan lusuh.."

Sri membuka matanya lebih lebar..
Dalam keadaan setengah sadar yang diingatnya hanya Timan dan Basuki. Timan yang  dicarinya selalu, tidak muncul. Yang muncul adalah Basuki, orang yang dia benci.

"Sri.. masih ingat aku kan?"
"Dimana aku? Mana mas Timan?"

Tiba-tiba Sri sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kehadiran Basuki menyiratkan adanya bahaya itu. Sri menjauhkan tubuhnya dari samping ranjang, agak ketengah supaya tidak terlalu dekat dengan Basuki. Lalu dia bangkit. Rasa pening itu sudah banyak berkurang dan Sri mengerti bahwa dia bukan sedang bermimpi.

"Sri, kamu seperti takut melihat aku.." Basuki naik keatas ranjang. Sri ketakutan.

"Pergi... pergi..." teriaknya.
"Ya Tuhan, kamu berdandan sangat cantik. Kamu benar-benar seperti Cinderela yang sedang menunggu pangeranmu. Ini aku, sang pangeran tampan."

"Pergiiii..." teriak Sri lebih keras, ketika tangan Basuki mencoba menjamah wajahnya. Sri merosot turun dari sisi ranjang yang lain. Lalu berlari mendekati Mery yang masih duduk diatas sofa.

"Tolong aku... antar aku pulang.." tangisnya.
"Ada apa ini? Apa obat itu tidak kamu berikan?" tanya Basuki sambil menatap Mery kesal, dengan masih duduk diatas ranjang.

"Sudah, pelayan yang memberikannya," jawab Mery. Ia membiarkan Sri duduk disampingnya dengan wajah pucat pasi.

"Tolong aku, tolong antar aku pulang." katanya sambil menggoyang-goyangkan lengan Mery.
Basuki turun dari ranjang dengan wajah muram.

"Rupanya kamu sudah sadar, tapi kamu tidak minum obat itu bukan? Kalau kamu meminumnya pasti kamu akan menyambut aku dengan hangat."

Sri mengingat ingat tentang obat.  Kesadarannya semakin pulih. Apakah obat itu adalah obat yang diberikan laki-laki yang memberikannya diatas cawan kecil? Pil berwarna biru itu, yang kemudian terjatuh entah kemana? Sri mencoba mencerna kata-kata Basuki, kalau dia meminumnya maka dia akan menyambut Basuki dengan hangat? Sri pernah mendengar tentang obat perangsang, yang konon bisa menimbulkan birahi. Ya Tuhan, aku hampir meminumnya, dan aku akan celaka ditangan Basuki. Mungkin diperkosa. Kata batin si Sri.

Tapi dia masih heran, mengapa dirinya tadi mengikuti wanita cantik yang sekarang ada disampingnya. 
Basuki menengok kearah meja marmer disamping ranjang. Ada cawan obat yang sudah kosong, berarti Sri sudah meminumnya. Mengapa tak ada reaksi apapun? Atau belumkah bereaksi?

"Apa yang terjadi? Jawab Mery !" Basuki mendekat kearah sofa. Sri berdiri menjauh.
"Kamu harus sabar." kata Mery.

"Aku tidak suka memaksa. Aku mau perempuan-perempuan tunduk dan takluk kepadaku. Aku benci perlawanan." kata Basuki sambil menuding kearah Sri, lalu melangkah keluar dari kamar itu.

Sri menghela nafas lega, tapi kemudian dia memandang wanita itu dengan marah.
"Mengapa saya dibawa kemari?"
"Kamu beruntung, Basuki menyukai kamu. Kalau tidak kamu sudah dibuang ketempat sampah." kata Mery tanpa menjawab pertanyaan Sri.

"Mengapa saya dibawa kemari? mBak yang membawa saya kemari kan? Ini dimana, antarkan saya pulang."
"Tidak bisa Sri, kamu sudah disini dan tak akan bisa kembali."

"Apa?" 
"Kamu berada ditangan Basuki."

"Tolong, antarkan aku pulang..  tolonglah, mas Timan dan simbah akan mencari aku," kata Sri memelas.

"Sebaiknya kamu tenang dulu disini, aku akan menemani kamu nanti."
"Tidak, aku mau pulang.."
"Tak mungkin bisa pulang. Diluar banyak penjaga.."
"Penjaga? Ini rumah apa? Mengapa mbak bawa saya kemari?"
"Karena aku kekasihnya Basuki.."

Sri terpana, seorang wanita.. kekasihnya Basuki.. menculik gadis untuk Basuki ?
"Kamu tidak percaya ? Aku.. karena sangat cinta dia, maka aku penuhi semua keinginannya, termasuk membawa gadis-gadis yang dia sukai kemari."
Sri menutup mulutnya. 

"Basuki sangat menginginkan kamu."
"Tidak, aku sudah punya calon suami..." katanya lirih sambil matanya berkaca-kaca. Sekarang dia baru sadar sepenuhnya, bahwa dia telah diculik demi Basuki. 

Mery membuka jendela besar yang ada dikamar itu. Gelap...  Kalau saja Sri bisa melompati jendela itu, tapi tidak, jendela itu berterali besi. Angin dingin yang menerobos melalui terali itu membuatnya menggigil. Bukan hanya oleh dinginnya malam, tapi juga oleh kecemasan yang mencekam.

"Aku ingin pergi dari sini.. tolonglah aku mbak.." kata Sri setelah Mery kembali duduk.

Pintu kamar terbuka setelah terdengar ketukan halus. Sri berdebar. Tapi bukan Basuki .yang masuk. Seorang pelayan mendorong sebuah meja kecil berisi makanan dan minuman 
Sa'atnya makan malam," kata Mery

Pelayan itu mendorong meja penuh makanan kedekat sofa setelah Mery melambaikan tangannya. Lalu pelayan itu pergi.

"Ayo kita makan."
"Tidak, aku tidak mau makan. Tidak.."

"Manusia harus makan, kalau tidak kamu akan lemas, lalu mati," kata Mery sambil mengambil piring dan menyendok nasi untuk Sri, yang kemudian diulungkannya kepada Sri.

Sri menggeleng-geleng. Ia masih teringat tentang pil biru yang menggelinding jatuh, dan ternyata dimaksudkan untuk membuat Sri terlena lalu mau melayani nafsu bejat Basuki.

"Sri, kamu takut makanan ini beracun? Tidak Sri, lihatlah aku akan memakannya, dan aku tidak akan mati," kata Mery yang lalu menyendok sayur dan mencomot sepotong ikan lalu dimakannya dengan lahap.

Sri menatapnya. Sesungguhnya dia lapar, tapi dia tak ingin makan. Ia hanya ingin pergi dari sana. Pikirannya yang gundah membuat ia melupakan rasa lapar itu. Gundah dan khawatir.

"Enak, benar kamu nggak mau makan?"

Sri hanya menatapnya. Sungguh ia takut kalau didalam makanan itu terkandung  sesuatu yang membuatnya lupa segalanya, seperti ketika Mery menyuruhnya turun dari mobil, lalu mengajaknya pergi bersamanya. Ketika itu ia hanya mencium aroma aneh, wangi yang memabokkan ketika Mery berdiri didepan jendela mobil Timan.

"Bener, nggak mau makan? Dengar Sri, kalau aku mau membuat kamu mabuk dan lupa segalanya, aku bisa melakukannya tanpa menyuruhmu makan. Aku punya sesuatu dan kamu pernah merasakannya. Hanya mencium harum yang aku tebarkan didepan hidungmu maka kamu akan menuruti semua keinginanku. "

Sri masih diam menatap. Lalu ia berfikir, kalau ada kesempatan untuk lari dari situ, ia harus kuat. Kalau perutnya tak kemasukan sesuatu maka ia akan lemas dan tak mampu berbuat apapun.

"Ayo, sedikit juga tak apa-apa, aku tak mau kamu mati disini."
Lalu perlahan Sri menyendok nasi dan sayur.

"Bagus Sri, ini ikannya juga enak, koki disini bisa memasak sangat enak. Bahkan hampir semua yang dimasaknya terasa enak"

Sri mengunyah makannya pelan, seenak apapun kalau hatinya tidak tenang, akan enak dari mana?

"Basuki itu orangnya aneh.  Dia suka perempuan,  tapi tak suka perempuan yang melawan. Ia lebih suka perempuan yang mau menerimanya dengan manis, lembut dan membuatnya terbang ke awang."

Sri tidak menjawab, tidak sepenuhnya bisa mengerti. Ia sangat awam dalam arti hubungan antara perempuan dan laki-laki seperti yang dimaksud Mery. Ia masih gadis lugu yang tak mengenal hubungan diluar nikah. Ia hanya ketakutan ketika Basuki mendekat, dan merasa bahwa ini semua tidak benar.

"Itu sebabnya dia tidak mau memaksamu."
"Lalu dia memberiku obat tadi supaya aku menurut?"

"Ya.. obat.. tapi aneh, kamu tidak terpengaruh obat itu. Kamu bahkan tampak lebih sehat dari sebelumnya."

Sri diam saja. Ia juga tak ingin mengatakan bahwa dia sama sekali tak meminum obat itu.
"Tuhan melindungi orang yang baik," gumam Sri pelan sambil masih mengunyah makanannya.
"Oh, ya.. bagus kalau orang masih mengenal Tuhan."

Sri menatap Mery. Dia merasa tak membutuhkan Tuhan karena semua yang diingininya selalu terpenuhi. Sri merinding memikirkannya. Mery lupa bahwa Tuhan sedang menenggelamkannya kedalam gelimang kenikmatan dunia. Lalu entah apa yang terjadi nanti, barangkali Mery tak memikirkannya. 

Sri meletakkan piringnya.
"Sudah cukup? Kamu makan seperti kucing. Pantas badanmu kecil. Tapi Basuki suka tubuh mungil seperti kamu."

Mery memencet sesuatu dibawah meja, lalu pelayan muncul dan membawa pergi sisa makanan itu.
Sri benar-benar takjub. Kehidupan yang serba mudah, tinggal memencet sesuatu lalu pelayang datang melayani. 

Sri meraih gelas yang masih ada dimeja itu. Memagangnya hati-hati.
"Minum saja, jangan khawatir, Bukan melalui makanan dan minuman kalau Basuki ingin meracuni atau menaklukkan kamu."
Sri meneguk minumannya. Sangat berat masuk kedalam kerongkongannya, walau itu hanya air. 

"Basuki menyuruh aku tidur disini, aku mau tidur di sofa saja. Kamu ingin melihat televisi?"
 Sri menggeleng.

"Tidurlah, ini sudah malam,"
"Kalau mbak itu kekasihnya Basuki, mengapa mbak biarkan Basuki menyukai perempuan lain?" tanya Sri tanpa beranjak dari tempat duduknya.
"Itu kesenangan dia, kalau aku menghalangi, dia akan marah."

"Apa mbak suka sama Basuki?"
"Aku cinta sama dia, bukan hanya suka."
"Kalau cinta, mbak harus bisa memilikinya hanya untuk mbak seorang."
"Apa maksudmu?"
"Jangan biarkan ada wanita lain kecuali mbak dihati Basuki."

Mery tampak merenung. Selama ini ia sangat mencintai Basuki, tapi ia harus rela membiarkan Basuki bersenang-senang dengan perempuan lain. Basuki beralasan hanya untuk kesenangan, Mery masih segalanya. Benarkah? Lalu Mery mulai merasa ragu. Jangan-jangan Basuki mengatakan bahwa dirinya adalah segalanya, karena hanya dia yang bisa dipercaya, yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginannya. Jadi dia hanyalah tangan kanan Basuki, yang terkadang bisa menikmati alunan asmara bersamanya, tapi bukan karena cinta.

"Apakah mbak bahagia?"

Bahagia? Dimana bahagia itu? Ketika Basuki menghamburkan uang untuk membelikan perhiasan, baju-baju mahal, mobil mewah yang bisa dipergunakannya kapan dia mau? Atau kepuasan diatas ranjang yang karena kobaran nafsu belaka? Itukah bahagia?

"Saya hidup miskin, orang desa sederhana, tak ada harta berimpah, tapi saya bahagia. Saya memiliki calon suami yang ,mencintai saya, dan rela berkorban apa saja untuk saya, dan itulah yang membuat saya bahagia. Sangat bahagia, bisa memiliki dan dimiliki. Bisa tertawa dalam ketulusan, tersenyum dalam hati yang damai dan tidak neka-neka. Itulah kebahagiaan saya mbak. Lalu mbak mengusiknya, membuat saya terpuruk dan meraba-raba, dimana cinta saya berada."

Berkedip mata Mery menatap gadis cantik dihadapannya. Gadis sederhana ini memiliki cinta dan bahagia. Lalu apakah yang dimilikinya? Tiba-tiba Mery merasa bahwa dirinya tidak pernah merasa bahagia. Tawa dan senyum yang tersungging adalah kebahagiaan semu, bukan bahagia yang sesungguhnya. Lalu Mery merasakan bahwa hidupnya hambar, tak punya makna. Cukupkah harta, cukupkah segala kemewahan, cukupkah pelukan yang diberikan Basuki setiap dia merajuk? Tidak, ternyata itu tidak cukup. Ternyata itu bukan kebahagiann yang dicarinya.

Mery meneguk segelas minuman yang ada didepannya untuk menenangkan batinnya.
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Basuki sudah berdiri disana.
Sri pucat pasi. Apa lagi yang akan dilakukannya?

***

besok lagi ya



*KEMBANG TITIPAN  16*

Sri membuang muka ketika Basuki menatapnya dengan mata penuh gairah. Mata itu selalu menjijikkan. Basuki mendekati Mery, lalu membisikkan sesuatu. 

"Ya aku tau. Kamu harus bersabar," kata Mery dengan wajah kurang senang. Entah mengapa setelah berbincang dengan Sri perasaannya menjadi lain. Ia merasa bahwa sesungguhnya ia tak memiliki apa-apa. Ia hanyalah sepotong daging dan tulang yang memiliki nyawa tapi ntak punya rasa.

"Mengapa wajahmu cemberut?" kata Basuki sambil mengelus pipi Mery.
"Aku letih, pergilah.."

"Ayo ikutlah kekamarku," ajak Basuki sambil menarik tangan Mery, tapi Mery melepaskannya.
"Aku sudah bilang letih, aku ingin segera tidur."
"Baiklah."

"Pergilah.."
"Aku menyerahkan semuanya kepadamu," bisik Basuki ditelinga Mery.

Mery hanya mengangguk, lalu membiarkan Basuki keluar lagi tanpa mengucapkan apapun .
"Kamu tidurlah, ini sudah malam," kata Mery.

Sri tak bergerak. Mana mungkin ia berani tidur? Bagaimana kalau ketika dia tidur lalu Basuki masuk dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap dirinya?
"Tidurlah, aku akan menjagamu."
"Menjaga aku?"
"Percayalah, Basuki tak akan datang malam ini."

Malam ini, bagaimana dengan besok, pagi, siang, atau malamnya? Sri bergidik. Diam-diam dicarinya akal agar bisa keluar dari tempat ini. Tapi bagaimana ?

Mery menutupkan kembali jendela yang tadi terbuka, karena angin begitu kencang, membuat gorden tipis yang menyelimuti jendela itu melambai-lambai.

"Tidurlah.." lalu Mery merebahkan begitu saja tubuhnya disofa panjang.
"Tidurlah diranjang, bukankah ranjang itu terlalu besar untuk aku sendirian? Lagipula mana bisa aku tidur.. " kata Sri.
 
"Tidur saja, jangan membuat dirimu kelelahan."
Sri memang sangat lelah, tapi mana bisa dia tidur? 

"Bagaimana  keadaan mas Timan, simbah.. pasti mereka bingung karena aku menghilang."

Mery menatap Sri yang masih saja duduk disofa. Mata bening itu berlinangan air mata. Pasti ia sedih sekali. Bagaimana rasanya sedih? Mery selalu merasa  apa yang diinginkannya pasti terlaksana. Ia tidak kekurangan apapun. Ia tak pernah sedih, apalagi mengeluarkan air mata. Yang ada hanyalah rasa kesal dan marah apabila Basuki mengecewakannya.

Bagaimana sih caranya mengeluarkan air mata? Seperti linglung Mery mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap akan ada air mata yang keluar, tapi tak bisa. Mery sama sekali tak mengerti, bahwa air mata ada hubungannya dengan emosi jiwa, Kegembiraan yang meluap, atau kesedihan yang mengiris, bisa membuat orang menangis. 

"Sri.."
Sri menatap Mery yang masih berbaring disofa panjang. Ia mengusap air matanya dengan ujung bajunya.

Mery mengulurkan tissue.
"Kamu sedih ?"
Sri tak menjawab.

Wanita cantik dihadapannya seperti tidak mengerti, bahwa dipisahkan dari orang-orang yang dikasihi  pasti membuat hati merasa sedih. Ia melakukan apa saja semaunya, tanpa perduli bagaimana perasaan orang.

"Tidurlah, besok aku akan menceritakan sesuatu." 
"Mana bisa saya tidur?"

Sri menatap kearah pintu. Tatapan itu menyiratkan sebuah kekhawatiran. Mery tau, Sri takut Basuki tiba-tiba masuk.

"Dia tidak akan datang malam ini, mungkin besok.." kata Mery sambil memejamkan matanya.

Mungkin besok ? Sri ingin menjerit sekeras-kerasnya. Bagaimana caranya bisa keluar dari sini? Sri berjingkat menuju pintu, ia memutar gerendel pintu itu dan berusaha membukanya. Tapi tak bisa.

"Kalau kamu keluar, bisa-bisa ketemu Basuki, dan dilahapnya kamu mentah-mentah." kata Mery tiba-tiba.

Sri surut dengan hati bergidik. Kata-kata Mery sangat membuatnya ngeri.
"Mau mencoba? Aku bisa membukanya dari sini kok."

Mencoba? Lalu bertemu Basuki dijalan? Aduuh, bisa mati berdiri dia.

"Basuki sangat tergila -gila sama kamu. Dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kamu."

"Ya Tuhan.. tidak.. " Sri terduduk lagi disofa.

"Lebih baik kamu tidur, tenang saja. Malam ini kamu bisa tidur dengan nyenyak. Basuki sedang punya permainan baru."

Permainan baru? Sri tidak mengerti, ia hanya meraba-raba. Apakah ada perempuan lain yang menjadi mangsanya?

"Tapi dia akan terus mengejar kamu, karena kamu sulit ditundukkan, tidak gampang menyerah seperti yang lainnya."
Meremang bulu kuduk Sri mendengarnya. 

"Mas Timaaan, tolong aku...." bisiknya lirih, penuh ketakutan. 
Mery membuka matanya, kemudian bangkit dan duduk sambil membenahi rambut sebahunya yang acak-acakan.

"Kamu nggak mau tidur?"
"Saya nggak akan bisa tidur.." 

Mery menghela nafas. Ternyata dia juga sama, nggak bisa tidur walau mata terpejam. 
"Aku mau pulang, tolong mbak.. "  rintih Sri.

"Sri, ketika kamu sudah masuk kemari, susah untuk bisa keluar lagi. Rumah ini berada jauh diluar kota. Tak seorangpun tau ini rumah siapa. Dan kalaupun kamu keluar, kamu tak akan tau arah kemana yang bisa membawa kamu pulang."

"Ya Tuhan.... tolonglah hambamu ini..."

Tiba-tiba Mery merasa, Sri selalu menyebutl Tuhan-nya. Dan itu sesuatu yang tidak dimegertinya. 

"Mengapa kamu selalu menyebut Tuhan?"
"Dalam sedih dan suka, saya selalu menyebutNya. Semoga Dia mendengr jeritku, dan menolongku."

"Dulu aku seorang yang sebatang kara. Bapak dan ibuku sudah meninggal sejak aku masih kanak-kanak, lalu aku tinggal disebuah panti asuhan. Ketika aku menjadi gadis remaja, aku bertemu seorang priya yang menurutku sangat ganteng dan menarik. Pertemuan itu terjadi ketika aku sedang berjalan sendirian sehabis belanja, lalu sebuah mobil menghampiriku."

"Hallo cantik, sendirian saja ?" sapanya begitu turun dari mobil.
Aku terpesona oleh ketampanannya. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Rumahnya dimana ?" tanyanya.
"Aku nggak punya rumah."
"Lho, kamu tinggal dimana?"
"Di panti asuhan."
"Dimana?"
"Tuh, didekat situ, "

Pria tampan itu melihat kearah yang aku tunjukkan.
"Mau ikut aku?"
"Kemana ?"
"Kerumahku."

"Haris ijin dulu sama kepala panti."
"Iya, aku pasti meminta ijin nanti. Ayo aku antar.."
"Jalan kaki saja, sudah dekat tuh."

Lalu dia mengantar aku, lalu setelah itu sering datang dan mengajakku jalan, lalu dia meminta ijiin kepala panti bahwa aku akan dibawa kerumahnya. Dia memberi imbalan uang yang banyak, dan berjanji akan menikahi aku. 

"Kamu tau Sri, aku benar-benar jatuh cinta pada dia."
Sri menebak-nebak, apakah laki-laki itu adalah Basuki ?

"Aku dibawa kerumah mewah ini, diberi pakaian bagus, lalu dia juga memberikan apa saja yang aku minta. Beberapa bulan aku bergelimang harta dan cinta, menyerahkan tubuh dan segala yang aku miliki demi cinta itu. Lalu aku kemudian tau bahwa dia sering berganti-ganti wanita."

"mBak tidak sakit hati ?"
"Dia selalu menghiburku bahwa aku adalah yang nomor satu baginya, karena aku istimewa. Aku bahkan sering membantunya membawa gadis-gadis yang disukainya."

Sri menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Berkali-kali aku menuntut agar dia menikahi aku, tapi dia selalu mengelak,  katanya apa artinya pernikahan kalau semua yang aku inginkan bisa aku dapatkan."

Sri menatap wajah cantik yang seakan bicara dengan dirinya sendiri.

"Dan itu benar. Tapi sungguh aku mencintainya, sejak belasan tahun lalu."
Mery menyandarkan tubuhnya, menatap kearah langit-langit kamar. 

"Mengapa mbak tidak memperjuangkan cinta itu?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau cinta, milikilah dia seutuhnya. Jangan berbagi dengan siapapun juga."

Mery menegakkan tubuhnya, menatap Sri tanpa berkedip.
"Apakah berbagi cinta itu tidak sakit?" tanya Sri pelan.

Sakit itu apa, Mery tidak menyadarinya. Sakitkah ia ketika Basuki memaksa ingin memiliki Sri, menatap Sri dengan pandangan penuh gairah, memberikan ranjangnya untuk diberikan kepada Sri, dengan harapan akan bisa menikmati hari-hari bersama Sri. Lalu dia.. hanya disuruh  menjaganya, merayunya, membuatnya takluk dan berusaha agar Sri menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang dicintainya.

Tiba-tiba dada Mery berdesir. Ada rasa tak senang ketika melakukan itu, ada rasa cemburu karena Basuki tampak tergila-gila pada Sri. Itukah sakit? Sebuah ucapan si polos dari dusun itu cukup membuat Mery kemudian menjelajahi hari-harinya, sejak dia masih remaja sampai belasan tahun berjalan dan hanya menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki yang sesungguhnya amat dicintainya.

Apakah Basuki mencintainya? Cinta yang bagaimana ketika belasan tahun tak berujung dan hanya menjadi pelayan baginya?

Mery berjalan kearah jendela dan membukanya lebar-lebar. Sri menoleh kearah sana dan melihat remang pagi mulai membayang. Rupanya dia dan Sri tidak tidur semalaman.

***

mBah Kliwon bangun dengan bingung, ia berjalan kesana kemari seperti sedang mencari-cari.

"mBah.." Timan yang ternyata tidur dirumah itu melihat kegelisahan mbah Kliwon, karena memang hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata.

"Sri.. ini jam berapa Sri... dimana kamu?" kata mbah Kliwon masih dengan mondar mandir.

Timan bangkit, lalu menghampiri mbah Kliwon, mengajaknya duduk.
"Nak Timan ?" mbah Kliwon baru sadar bahwa ada Timan dirumahnya.

"Ya mbah..."
"Aku bingung, aku mencari si Sri... . Ya Tuhan, si Sri kan diculik si keparat itu?"

"Sabar mbah, nanti saya akan mencarinya, saya berjanji akan membawanya pulang," kata Timan sambil menepuk-nepuk bahu mbah Timan.

"Dosa apa yang aku lakukan, sehingga cucuku mengalami nasib seperti ini?" ratap mbah Timan.

"Bukan karena dosa siapa mbah, Allah sedang menguji kita. Kita harus bersabar dan selalu berdo'a agar Sri selamat."

"Bagaimana kalau Basuki mencelakai Sri?"
"Semoga saja tidak, mbah sudah.. sekarang simbah tidur saja lagi, pak lurah sudah menyuruh orang untuk menggantikan tugas mbah Kliwon dan Sri selama Sri belum kembali. mBah Kliwon jangan memikirkannya terlalu berat. Banyak yang akan membantu Sri."

"Ini sudah pagi, bagaimana bisa tidur lagi? Biasanya Sri sudah datang.."
"Biar saya menjerang air ya mbah, oh ya, simbah kan suka wedang jahe? Saya biasa buat kalau dirumah, biar saya membuatnya," kata Timan sambil berdiri, meninggalkan mbah Kliwon tercenung dikursi."

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat.
"mBah, sudah bangun mbah?" suara Marni terdengar diluar pintu. mBah Kliwon berdiri lalu membuka pintu.

"Bu lurah..."
"Mas Timan masih tidur ?"
"Tidak, sedang dibelakang."

"Ini saya bawakan sarapan untuk simbah dan mas Timan ya," kata Marni sambil meletakkan rantang yang dibawanya diatas meja.

"Apa aku bisa menelan makanan, sementara hatiku sedang gelisah seperti ini?"
"Simbah harus makan, harus kuat. Semuanya akan membantu Sri. Percayalah mbah, Sri akan selamat. Jangan sampai tidak makan, nanti malah jatuh sakit."

mBah Kliwon menghela nafas panjang, lalu kembali duduk. Badan rasanya lemas.

"mBah Kliwon jangan memikirkan pekerjaan. Mas Mardi sudah menyuruh orang untuk menggantikan tugas simbah dan Sri. "

"Terimakasih Marni."
"Sekarang simbah harus makan."

Timan tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa nampan.
"Bu lurah..."
"Mas Timan bikin apa?"

"Buat wedang jahe untuk simbah. Ini mbah, diminum biar anget badannya."
"Itu saya bawakan sarapan mas, dimakan dulu sama mbah Kliwon. Dari kemarin pada nggak doyan makan semua."

"Terimakasih bu lurah. Nanti saya temani simbah makan, sebelum saya pergi."
"Mas Timan jangan memberi tau pak Darmin dulu, nanti dia juga malah bertambah bingung."

"Ya, saya ditunggu mas Bayu untuk melakukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Tapi untuk melapor ke polisi saya kira jangan dulu, demi keselamatan Sri."
"Semoga segera menemukan jalan terbaik ya mas."

"Terimakasih bu lurah. Ayo mbah, diminum dulu. Bu lurah mau menemani?"
"Tidak. Saya harus segera kembali karena Jarot tadi tidak saya ajak. Takutnya dia rewel."
"Baiklah, terimakasih bu lurah."

mBah Kliwon memegang gelas wedangnya, tangannya gemetar. Timan membantu memegangnya.
"Masih panas mbah?"
"Tidak, biar saja saya meminumnya pelan."

Perlahan mbah Kliwon minum, lalu Timan memaksanya agar mau makan.
"Simbah harus makan dulu, lalu saya akan pamit, semoga segera bisa menemukan Sri, ya mbah?"

***

"Kamu harus mandi, biar terasa segar. Aku siapkan baju gantinya," kata Mery. 

Agak lama dia berdiri didepan jendela itu, menatap kebun luas yang menghijau, dan burung-burung kecil berterbangan kesana kemari. 

"Alangkah senangnya burung-burung itu. Bisa terbang bebas sesuka hatinya," desis Sri yang menyusul Mery berdiri didepan jendela.

"Ini istana, tapi seperti penjara," sambung Sri lagi.
Mery menatap Sri, tanpa ekspresi. Lalu duduk disofa lagi.

"Mandilah, setelah itu baru aku. Aku akan menyiapkan ganti bajumu."
"Tidak, mana baju saya yang kemarin, saya mau memakai baju saya sendiri."
"Sudah aku buang."

Sri terbelalak.
"Dibuang? Itu baju yang masih bagus," katanya kesal.

"Nanti aku ganti dengan yang lebih bagus. Sudahlah mandi, dan tenangkan hati kamu."

Sri bersungut, berjalan menuju kamar mandi setelah Mery mengambilkan handuk. Kimono handuk yang lain lagi, masih bersih dan baru dikeluarkan dari dalam lemari.  

Sri tak perduli, ia masuk kekamar mandi dan segera mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Beribu rasa berkecamuk dalam dirinya. Dan itu semua adalah rasa cemas. Apa yang akan terjadi pada diriku? Akan celakakah aku ditangan Basuki? Kalau sedikit saja dia berani menjamah tubuhku, aku lebih baik mati.

Lalu air matanya bercucuran, teringat Timan yang sangat mencintainya dan sudah banyak berkorban untuk dirinya. Derasnya air yang mengguyur seakan berpacu dengan derasnya air matanya. Lama ia membiarkan dirinya disana, menumpahkan air matanya dalam sedu sedan yang tak terbendung.

Tiba-tiba terdengar ketukan keras dipintu kamar mandi. Tercekat hati Sri, apakah Mery yang mengetuk pintunya, atau jangan-jangan Basuki.

 ***
besok pagi ya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar