Minggu, 26 April 2020

Lastri (15-16)


*LASTRI  15*

Lastri berlari, mencari arah suara ponselnya. Ia lupa tadi meletakkannya dimana. Ahaa, ternyata ada diruang tengah, pantesan tadi suaranya terdengar sampai diluar. Ia ingat  tadi Bayu telah mengisi pulsa untuknya, lalu meletakkan ponselnya diruang tengah. Dering itu terus berbunyi, Lastri mengangkatnya. Dari Timan ternyata.

"Hallo mas, ada apa?"
"Nggak apa-apa, kok tadi nggak ke pasar?"
"Nggak mas, majikan pergi semua ke Surabaya."
"Oh, pantesan, ada jeruk baru datang, masih segar dan maniis... kayak kamu," canda Timan.
"Lhaa.. kan kemarin sudah beli, tadi tinggal empat biji dibawa mas Bayu," jawab Lastri sambil tertawa. Masa manisnya kayak jeruk?
"Kamu sama siapa dirumah?"
"Ya sendiri lah mas, mau sama siapa lagi?"
"Mau nggak saya antar jeruknya kerumah?"
"Nggak usah mas, tadi nggak ada pesan untuk beli jeruk, jadi besok saja kalau mereka sudah pada pulang."
"Maksudnya untuk kamu."
"Ya ampuun, nggak mas, nggak usah.. masa dikasih terus."

"Cuma beberapa butir. Ini lagi banyak penyakit lho, kamu harus banyak makan buah."
"Iya aku tau, tapi setiap hari sudah makan buah terus. Setiap kali ibu beli, pasti Lastri juga harus ikut makan."
"Tapi kan sekarang habis karena sudah dibawa mas Bayu semua."
"Mas Timan kok ngeyel ya, nggak usah mas, besok saja kalau ibu sudah pulang."
"Hm, susah ya ngerayu kamu," keluh Timan.
Lastri tertawa.
"Ngrayunya pakai jeruk sih, ya susah."
"Haa... jadi kamu mau dirayu pakai apa?Berlian sebongkah? Atau emas segunung?"
Lalu keduanya tertawa terbahak.
"Nggak mas, aku hanya bercanda."
"Baiklah, jadi gagal nih, rencana pengiriman jeruk kerumah?"

"Ma'af mas, mas Timan baiiiik sekali, tapi besok saja kalau ibu sudah pulang ya?"
"Ya sudah, kamu hati-hati ya dirumah sendiri. Lebih baik kunci semua pintu, dan nggak usah bukain pintu walau ada yang mengetuknya kalau kamu nggak kenal siapa dia."
"Baik mas, terimakasih perhatiannya."
"Satu Lagi Tri, kalau ada apa-apa jangan segan menelpon aku ya."
"Ya mas, sekali lagi terimakasih."

Lastri tersenyum sendiri ketika sudah berada didalam kamarnya, setelah mengunci semua pintu. Timan sangat baik, berkawan sejak Lastri masih baru datang dari desa, belum bisa membaca dan menulis sampai sekarang sudah lulus SMA, menjadi gadis dewasa.

"Alangkah senangnya punya kakak seperti mas Timan," gumam Lastri.
Dibaringkannya tubuhnya, dipejamkannya matanya. Hari belum siang benar, tapi Lastri ingin tidur sebentar. Semalam tidurnya agak larut, karena membantu mengepak barang-barang yang akan dibawa majikannya.

Hari ini Lastri merasa, betapa sunyi dunianya. Sesungguhnyalah bahwa dia sebatang kara. Tak mengenal orang tuanya, lalu ditinggal mati neneknya, lalu ikut orang asing yang bukan siapa-siapa bagi dirinya.  Benar-benar sunyi, lalu mata bening itu terpejam, lelap dalam sunyi yang menderanya. Lastri merasa seperti berjalan sendirian, disebuah taman penuh bunga. Aroma segar menyentuh hidungnya, lalu terdengar suara memanggilnya.

"Lastriii... Lastri..."
Lastri berhenti dibalik serumpun pohon perdu. Matanya mencari-cari, darimana arah suara itu. Ia terkejut ketika sebuah dekapan hangat merengkuh erat tubuhnya dari belakang. Ia tak bisa bergerak, 
"Lastri," suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut, menusuk telinga kanannya. Lastri menoleh dan terkejut, sosok yang dikenalnya masih memeluknya. Lastri meronta, membalikkan tubuhnya sehingga mereka berhadapan. 
"Lastri," bisik itu terdengar seperti sebuah desah yang menggetarkan.
"Aku mencintai kamu Lastri," bisik itu kembali terdengar, serasa menghembus wajahnya seperti  siraman angin yang menyejukkan.
"Aku juga mencintai mas.." Lastri merebahkan kepalanya didada bidang yang merengkuhnya. Hanyut dalam alunan cinta yang menggelora.

Lastri terkejut ketika tiba-tiba terdengar dering dari ponselnya. Ia membuka matanya, terhempas kedalam alam nyata yang senyap sepeti sebelumnya.
"Ya Tuhan, aku bermimpi.." gumam Lastri, sementara dering itu bergema memenuhi ruang kamarnya.
Lastri meraih ponselnya. Lalu ia hampir melonjak kegirangan ketika membaca siapa yang mengontaknya.
"Hallo mas Bayu,"
"Lastri, kamu tidur ?"
"Eh.. mmh.. iya, ma'af, saya ngantuk sekali," jawabnya takut-takut. Bagaimanapun sungguh memalukan seorang pembantu tidur disiang hari bolong seperti itu.

"Nggak apa-apa Lastri, lebih baik tidur daripada enggak, kalau nggak tidur..  paling-paling kamu juga akan melamunkan aku," goda Bayu.
"Mas Bayu tuh..." Lastri tersipu. Kalau saja Bayu melihatnya, pasti akan tampak olehnya wajah cantik itu kemerahan menahan malu. Malu, atau mau? Bibir Lastri merekah oleh bahagia yang membuncah.
"Lastri, "
"Ya mas."
"Nanti malam kamu tidur sendiri, nggak takut?"
Sebenarnya Lastri heran. Bagaimana Bayu bisa menelponnya dengan sesantai itu, apa tidak takut pak Marsudi mendengarnya?
 "Takut nggak?"
"Eh, takut? Nggak mas, kan tiap malam juga Lastri tidur sendiri."

"Masa, padahal aku selalu menemani kamu lho."
"Bohong !"
"Iya, dalam mimpi.." lalu Bayu tertawa.
"Mas Bayu ngomongnya jangan kelamaan, nanti bapak marah."
"Ini lagi mampir makan di restoran, aku keluar untuk menelpone kamu."
"Oh, pantesan."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaan apa mas?"
"Kamu tidur sendirian apa nggak takut?"
"Nggak takut, kan tadi sudah dijawab. Setiap hari juga tidur sendiri."
"Tapi kan dirumah ada beberapa orang, aku, ibu, bapak."
"Sama saja."
"Maksud kamu ada aku atau tidak sama saja?"

"Mas Bayu pertanyaannnya yang aneh-aneh saja. Nggak, Lastri nggak mau jawab."
 "Pasti malu menjawabnya."
"Ada-ada saja.." Lastri tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba dari jauh terdengaar suara pak Marsudi memanggil.
"Bayu.... ngapain kamu? Itu kamu belum makan!!" teriaknya dari jauh.
"Ya..ya.." jawab Bayu, tapi belum mau melepaskan pembicaraannya dengan Lastri.

"Sudah mas, sana."
"Kok ngusir?"
"Nanti bapak marah, bagaimana ?"
"Ya sudah, sekarang satu lagi pertanyaanku."
"Apa lagi sih?"
"Apa kamu cinta sama aku?"
"Mas, jangan bertanya seperti itu."
"Kenapa? Nggak boleh?"
"Mas tau nggak, aku ini siapa? Aku hanya gadis dusun yang sebatang kara, mana mungkin mas, aku ini seperti pungguk merindukan bulan."

"Itu bukan jawaban Lastri..."
"Sungguh mas, jangan begitu.." sekarang Lastri hampir menangis. Ia harus mengatakan hal yang berlawanan dengan isi hatinya. Ia merasa tertekan, sedih, lumpuh.
"Lastri, tinggal ya atau enggak saja, dimana susahnya?"
"Jangan memaksa saya mas."
"Bukan memaksa, aku ingin jawaban iya atau enggak. Enggak ya? Enggakkah?"
"Mas Bayu..." lalu Bayu mendengar isakan lirih. Hati Bayu seperti teriris.
"Lastri, aku membuatmu sedih?"
" Bayuuu !!!" Itu teriakan pak Marsudi lagi.
"Baiklah Lastri, nanti kalau ada kesempatan aku pasti menelpon kamu lagi. Jangan menangis Lastri, jangan sedih."

Lastri benar-benar menangis begitu Bayu menutup ponselnya.
"Ya Tuhanku, aku harus jawab apa? Ya mas, aku cinta kamu, itu kan dalam mimpiku barusan. Alangkah indahnya mimpi itu, hanya berdua, diantara taman bunga, diantara semerbak yang menghanyutkan, diantara  desah cinta yang membuatku melayang. Tapi itu kan mimpi,Tuhan, aku tidak berani. Apalah aku ini, hanya selembar nyawa tanpa derajat, mungkinkah bisa mendapatkan cinta itu? Tuhan, jangan meninggalkan aku, bimbinglah selalu aku, Sesembahanku.. aku juga mencintainya... aku juga mencintainya...."

Lalu Lastri terguguk dalam derai tangis. Dibiarkannya tangis itu meledak-ledak, biarlah membubung sampai ke langit, biarlah angin membawanya berkeliling dunia, agar berkurang pilu itu, agar berkurang pedih perih yang menderanya. 
*

Sore hari itu Lastri tetap mengerjakan apa yang menjadi tugasnya setiap hari. Bersih-bersih rumah, lalu menjerang air untuk membuat teh. Tapi sore itu tak ada yang dibuatkannya teh hangat. Lastr membuat hanya untuk dirinya sendiri. Duduk dimeja dapur, lalu menghirup teh yang baru dibuatnya, Lastri merasa aneh. Suasana hari itu benar-benar berbeda. Duduk sendirian, uwutak ada suara apapun. Biasanya ada yang menyetel televisi, lalu suaranya terdengar sayup dari dapur.

Lastri enggan menghidupkan televisi. Ia menghirup lagi teh hangatnya, lalu dibukanya tudung saji didepannya. Oh ya, masih ada tahu goreng sisa pagi dimeja itu, Lastri mengambilnya lalu menggigitnya perlahan. Sudah dingin, tak seenak ketika masih hangat. Tapi Lastri tak memperdulikan semua itu. Sepotong tahu sudah habis ditelannya. Lalu dihabiskannya sekalian sisa teh yang sudah tak sehangat tadi.

Lalu Asri masuk kekamarnya. Sa'atnya mandi. Lastri menyiapkan baju ganti diatas tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi. Kamar mandinya ada diluar, dekat dapur, bukan didalam kamar tidur seperti kamar majikannya. 

Ketika selesai mandi itu didengarnya ponsel berdering. Masih dengan lilitan hannduk ditubuhnya, Lastri meraih ponselnya.
"Mas Bayu?"
"Lastri, lagi ngapain kamu?"
"Baru habis mandi mas."
"Hm, wangi tubuhmu sampai kesini."
"Mas Bayu ada apa, saya ganti baju dulu lalu mas Bayu menelpon lagi."
"Nggak usah ganti baju dulu, biar begitu saja."
"Nggak ah, malu dong."
"Kok malu, memangnya kelihatan dari sini?"
"Tapi nggak bagus, sebentar.." Lastri meletakkan ponselnya dan melepas semua pakaiannya untuk menggantikannya dengan baju yang tadi sudah disiapkannya. Nggak enak menerima telephone dalam keadaan setengah telanjang begitu.

"Hallo, mas Bayu masih disitu.?" tanya Lastri setelah barpakaian rapi.
"Nggak, kelamaan, aku sudah pergi," jawab Bayu menggerutu.
Lastri tertawa keras.

"Sudah pergi kok bisa menjawab.."
"Kmu sudah cantik, dan wangi.."
"Mas, ini dimana, kok bisa menelphone?"
"Sudah sampai dirumah tanteku, aku didalam kamar, sendiri."
"Oh, pantesan."
"Sedih aku, diluar ramai sekali, aku kan harus menelphone kamu."
"Siapa yang mengharuskan?"
"Aku sendiri."
"Tri, kamu sudah nggak menangis lagi kan?"
"Nggak, saya baik-baik saja."
"Oh ya Tri, sebentar lagi hari gelap, kamu harus mengunci semua pintu."
"Sudah daari tadi mas."
"Bagus, dan jangan sampai kamu membukakan pintu untuk orang asing. Maksudnya orang yang tidak kamu kenal, atau siapa saja yang kira-kira mempunyai makssud tidak baik."
"Ya mas."
Lastri mendengar  suara orang mendekat.

"Bayu, mengapa dikamar saja," suara seorang wanita.
"Ya tante, sebentar lagi, baru ada perlu sama.. teman."
"Baiklah, banyak yang nunggu kamu diluar. Ada putranya om Haryo yang cantik itu, ingin kenal sama kamu lho."
"Ah, tante.."
"Bener Yu, kamu harus memikirkannya, kamu itu sudah menjadi perjaka tua, tau."
Bayu tertawa.
"Oke Yu, buruan, banyak yang nungguin tuh."
"Baik tante, sebentar lagi."

Lalu suara langkah menjauh terdengar. Lastri menghela nafas panjang. Ada yang menawarkan seorang gadis, aduhai.. Lastri nggak boleh sakit hati, bisik batinnya.
"Lastri, kamu masih disitu?"
"Sudah pergi," jawab Lastri membalas gurauan Bayu tadi. Lalu didengarnya Bayu tertawa keras.
"Ngebalas ya?"

"Mas, sudah, itu ditungguin banyak orang, ada gadis yang ingin kenal.."
"Hm... cemburu ya?"
"Nggak ah, mengapa juga harus cemburu, memangnya aku ini siapa?"
"Kamu kan calon isteri aku."
Lalu ponsel Lastri terlepas dari pegangan, jatuh kelantai. Dan mati.
"Aduhh.. rusakkan?"keluh Lastri sedih. Ia mencoba mengotak-atik ponselnya, tapi tak berhasil.
"Lastri... Lastri..." Bayu berteriak-teriak tak ada jawaban.
*

Hari sudah malam, Lastri masih memegangi ponselnya, membukanya, memasang kembali batery yang tadi dilepasnya. 
"Semoga bisa... semoga bisa..."
Lastri masih tenggelam dalam kesibukannya mencoba ponselnya ketika didengarnya suara dari arah depan. Lastri mengangkat kepalanya dan mendengarkan lebih jelas. Ada langkah diluar pintu.
"Hm, siapapun dia aku tak akan membuka pintu untuknya."
Lastri mencoba lagi ponselnya."Ah ya, menelpon mas Timan saja."

Lastri memutar nomor tilpun Timan. Haa... ada nada sambung..
"Hallo," suara Timan dari seberang.
"Hallo mas, aku Lastri."
"Iya aku tau, ada apa?"
"Tadi sore ponselku jatuh, ambyar.."
"Lha ini bisa menelpon?"
"Iya, aku mengotak-atiknya kok bisa, tapi memasangnya kembali susah, jadi ini masih terbuka. Besok saja aku kepasar tolong dibenerin ya mas."
Lastri menutup pembicaraan itu dan menaruh ponsel yang belum tertutup sempurna. Lastri mendengar suara pintu terbuka. Lastri terkejut. Ia merasa sudah menguncinya.
*
Bersambung


&&&&&


*LASTRI  16*

Sementara itu Bayu sejak sore gelisah bukan alang kepalang. Dicobanya menghubungi Lastri selalu tak berhasil. Itu setelah dia mengatakan bahwa Lastri adalah calon isterinya. Lalu apa yang terjadi dengan kecintaannya? Seperti ada perasaan tak enak, seperti sebuah isyarat bahwa Lastri dalam keadaan yang tidak baik.Mungkinkah dia pingsan setelah mendengar kata-katanya? Atau tiba-tiba sakit. Atau apa? 
"Ya Tuhan, lindungilah Lastriku," bisiknya sambil merangkapkan kedua tangannya. Ia tak ingin ikut beramai ramai diluar. Resepsi masih besok siang, Bayu tak ingin menunggu. Ia harus pulang.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, dan kini ibunya yang masuk.
"Bayu, apa yang kamu lakukan sehingga sejak tadi nggak keluar dari kamar?"
"Bayu pusing bu," jawab Bayu. Memang kepalanya tiba-tiba pusing. Pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya tak juga menemukan jawab.
"Kamu kan bawa obat, yang tadi diberikan Lastri?"
"Iya, sudah Bayu minum," jawab Bayu berbohong. Itu bukan obat yang diperlukannya. Yang diperlukannya adalah jawaban atas apa yang telah terjadi pada Lastri.

"Belum berkurang ya pusingnya? Itu, tantemu bertanya terus. Dengar, ada anaknya kerabat tantemu, dia sangat cantik, dia ingin berkenalan sama kamu. Keluar yuk .. siapa tau kamu tertarik." bujuk bu Marsudi.
"Nanti saja bu, Bayu masih pusing, jawab Bayu sambil membaringkan tubuhnya diranjang.
"Ya sudah, nanti kalau sudah baikan kamu segera keluar ya? Kamu sudah mandi kan?"
"Ya bu. Sudah sejak tadi."
"Ya sudah, nanti cepet keluar ya," Kata bu Marsudi sambil meninggalkan kamar Bayu.

Bayu enggan keluar, dilihatnya arloji tangannya, jam lima kurang sedikit, masih adakah penerbangan dari Surabaya ke Solo? Bayu nekat, ia harus kembali ke Solo, tak perduli ayahnya akan marah, ia harus pulang. Kekhawatiran akan Lastri sangat menyiksa perasaannya.

Ia mengbubungi bandara.  Lalu bernafas lega, ada penerbangan jam 7 nanti, eh.. setengah tujuh. Bisakah terkejar? Bayu meloncat dari ranjang, dikenakannya sepatunya, dompet.. mana dompet... Lalu dimasukkannya ke saku begitu saja. Bayu harus cepat. Ia keluar dari kamar.

Suara musik dari organ tunggal terdengar memekakkan telinga, bercampur dengan hiruk pikuk suara saudara-saudaranya yang bercanda. Ia berjalan kebelakang, dilihatnya orang-orang menata hidangan. Bayu menyisir ruang belakang dan pura-pura kekamar mandi. Ada pintu keluar dari rumah. Beberapa orang sedang sibuk dengan tugas mereka. Tak ada yang mengenal Bayu, mereka adalah orang orang lain. Ia terus berendap-endap mencari pintu keluar. Ia melihat sopir ayahnya duduk agak ketengah halaman, sedikit gelap. Bayu melambaikan tangannya. Hanya sang sopir yang bisa menolongnya. Kalau memanggil taksi akan lebih lama.

Pak Darmo, sopir itu, mendekat.
"Pak, tolong antar saya ya."
"Kemana mas?"
"Sudah, ikut saja, dimana mobilnya?"
"Itu, didekat pintu."
"Ayo cepat," kata Bayu sambil menggandeng pak Darmo yang keheranan melihat kelakuan Bayu. Tapi ia tak bisa menolaknya. Bayu kan anak pimpinan kantor tempatnya bekerja.
Mobil itu melaju, ke bandara. Dalam hati Bayu berdo'a, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat.
*

Lastri menunggu dengan hati berdebar. Benarkah apa yang didengarnya? Suara pintu terbuka, atau suara lain? Rumah itu sepi. Kalau ada suara televisi pasti Lastri akan mengira itu suara dari televisi. Tapi tidak, ia tak pernah menyalakan televisi. Lalu terdengar langkah kaki perlahan, Lastri pucat pasi, ia yakin ada orang jahat memasuki rumah majikannya. Kalau tamu, tak mungkin bisa masuk kedalam rumah. Ia pasti merusak kunci depan.

Lastri berdiri, lalu melangkh ke ruang tengah. Ada almari besar disana, Lalu Lastri berdiri dibelakangnya. Tak lupa ia menggenggam ponselnya yang belum tertutup rapi.  Ia mencoba menelpon Bayu, atau mengirim pesan singkat. Tapi celakanya ponsel itu mati lagi. Dia tidak bisa membetulkannya dengan sempurna.

Langkah itu mendekat dan semakin dekat, pelan sekali, pasti maling itu sedang melihat kekiri dan kekanan untuk meyakinkan bahwa gerakannya aman. Hati Lastri semakin menciut. Ia hampir tak berani bernafas, Takut orang jahat mendengar desah ketakutan yang menderanya.

Langkah itu berhenti didepan sebuah kamar. Itu kamarnya Bayu. Ia memegang gerendel pintu, berusaha membukanya, tapi tak berhasil.

Lasri bisa melihatnya, seorang laki-laki tinggi tegap, tapi ia tak bisa melihat wajahnya. Laki-laki itu terus kebelakang, mungkin akan membuka kamar lain dan menguras semua barang berharga yang ada disana. Nah, sekarang orang itu masuk lebih kedalam, Lastri berendap endap ingin lari keluar, kemudian akan berteriak minta tolong kepada para tetangga.

Lastri sudah keluar dari balik almari. Rumah majikannya lumayan besar, agak begitu jauh kalau dia lari keluar, padahal kedua kakinya gemetar, tapi itu harus dilakukannya, ketika penjahat itu masih ada didalam.
Tapi Lastri hampir pingsan ketika mendengar suara memanggilnya.
"Lastri !!"

Lastri menghentikan langkahnya. Hampir jatuh kalau tidak berpegang pada almari lain yang dilewatinya.
Terdengar langkah mendekat.
Aduh, bagaimana penjahat ibu bisa tau namanya?"
Langkah itu tepat ada dibelakangnya. Lastri tak berani menoleh, tapi sepasang tangan memegang bahunya. Lastri membalikkan tubuhnya agar pegangan itu terlepas.

"Ya Tuhan... ya Tuhan... mas Sapto?" pekiknya dengan gemetar. 
"Lastri, mengapa kamu ketakutan seperti itu?"
Lastri tak menjawab, matanya berlinang.
"Lastri... jangan menangis," katanya lembut.
Tapi mata berkaca itu bukan tangisan ketakutan.

"Keluarlah dari sini !! Keluarr!!" teriak Lastri ketika sedikit bisa menata hatinya. Apapun yang terjadi ia harus bisa menghadapinya. Lastri hanya seorang diri, melihat siapa yang masuk tanpa diundang, rasa takut yang tadi menderanya berubah  menjadi kemarahan tak terhingga dan itu membuatnya berani membentaknya.

Sapto tertegun. Mata indah bak bintang itu menyala, seperti mengeluarkan api. Sejenak hatinya surut. Perempuan ini luar biasa. Seorang pembantu, kalangan rendahan menurutnya, tak sebanding dengan dirinya yang punya kedudukan, terpelajar dan ganteng, dan kaya, tak ada cacat celanya, tapi berani membentaknya dengan mata yang ber api-api. Tangis itu lenyap, ketakutan itu sirna. Telunjuk kanannya menuding kearah pintu keluar, menatapnya penuh kebencian. 
"Lastri,"
"Keluaaarrr!!!" 

Wajah cantik itu tampak merah padam. Diluar sana udara mulau meredup. Malam akan segera tiba. Barangkali keinginan yang semula memenuhi hatinya itu akan lebih menyenangkan dengan datangnya malam. Tapi nafsu itu tiba-tiba hilang. Yang didepannya bukan perempuan yang selalu bersedia ia permainkan. Menikmati kesenangan duniawi dengan imbalan uang, atau memberikan kesenangan lainnya. Rasa penasaran karena merasa dihina, dan keinginan membalas kesombongan Lastri, lenyap seketika.

Lastri sang pembantu, bukan perempuan biasa. Bukan gadis gunung yang akan menjerit jerit ketika akan disiksanya dengan nafsu kotor yang memenuhi benaknya. Lalu dia akan tertawa bangga sambil mereguk kepuasan yang ia dapatkan. Tidak, Sapto bahkan merasa lebih rendah dari Lastri. Terkulai jiwanya melihat jari telunjuk yang lentik itu masih menuding kearah pintu keluar.
Yang terjadi adalah, Sapto kemudian bersimpuh dihadapan Lastri.

"Lastri, ma'afkanlah aku,"
Lastri tertegun. Mata nakal yang dibencinya itu berlinangan. Bagai mimpi ia menatapnya. Runtuh kemarahannya. Tapi ia masih ragu-ragu, benarkah dia meminta ma'af, atau hanya siasat supaya dia mendapatkan simpatinya? Lastri masih tegak berdiri. Tapi jari yang menunjuk itu sudah diturunkannya. 

"Aku minta ma'af."
"Berdirilah, saya tak pantas disembah sembah. Kalau mau meminta ma'af, memohonlah kepada Tuhan. Bukan kepada saya.."
Sapto berdiri. 

"Aku manusia kotor. Bersimbah dosa dan perbuatan maksiat, mengira semua perempuan itu sama. Aku tak pernah ditolak perempuan manapun, aku penasaran karena kamu sombong dan tak mengacuhkan aku. Hatiku dipenuhi dendam, dan kemarahan. Aku ingin membalasnya, menghancurkan harga mahalmu malam ini juga. Tapi aku terbentur pada tembok tinggi yang maha kokoh. Aku tak mengira kau berani menentang aku. Aku mengira kamu akan menangis-nangis meminta ampun. Ya Tuhan, Darimana datangnya perempuan yang tiba-tiba dengan sekali bentakan bisa menyadarkan aku?"

"Terlalu merendahkan wanita, terlalu menganggap bahwa wanita  hanya mainan, itu menjijikkan. Saya benci mas Sapto karena mas Sapto selalu menatap saya dengan pandangan kurangajar. Saya mengira perlakuan itu adalah karena saya hanyalah orang rendahan, tapi ternyata mas Sapto banyak mempermainkan wanita lain. Ya Tuhan, semoga Engkau mengampuni dosa laki-laki ini." kata Lastri seperti kepada dirinya sendiri.

Ia kemudian duduk dikursi yang ada diruangan itu. Ia merasa lemas. Ia belum percaya Sapto benar-benar menyadari kesalahannya. Ia sedang mencari sesuatu, mungkin benda keras yang panjang yang bisa dijangkaunya, sehingga bisa dipergunakan untuk melawan seandainya Sapto nekat melakukan hal-hal yang membuatnya terluka. Bukan luka lahirnya saja, tapi juga batinnya.

"Ma'af Lastri.." 
 Sapto mendekati Lastri, Lastri hanya melihat asbak besar ditengah meja itu, tangannya siap meraihnya lalu melemparkannya ke wajah Sapto. Tapi Sapto merangkapkan kedua telapak tangannya.

"Saya sungguh minta ma'af. Sekarang saya mohon pamit. Ini kunci rumah ini," katanya yang kemudian merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah kunci. Lastri terkejut, dia belum sempat bertanya tadi, bagaimana dia bisa masuk. Lastri mengira Sapto merusak kunci pintu, tapi ternyata dia punya kuncinya, atau kunci duplikatnya, karena kunci yang asli masih tergantung ditempatnya setelah dia menguncinya.

"Ini, kunci darimana?"
"Pak Marsudi memberikannya."
Mata Lastri terbelalak. Pak Marsudi memberikan kunci duplikat dan diberikan kepada Sapto untuk memasuki rumahnya? Memberinya kesempatan untuk memperkosanya? Merinding bulu kuduk Lastri.
"Saya minta ma'af."
Sapto membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi, tapi tiba-tiba seseorang muncul.

"Lastri !! Apa yang terjadi? Mengapa pintu depan tidak terkunci?"
"Mas Timan !" teriak Lastri.
Tapi melihat laki-laki asing mau keluar dari ruangan itu, dan melihat Lastri terpaku diatas kursi, Timan curiga.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Tiba-tiba Timan mencengkeram leher Sapto. Sebelah tangannya siap memukul wajahnya.
Lastri berteriak.
"Jangan mas, biarkan dia pergi," teriak Lastri lagi.
 Timan dengan heran melepaskan cengkeramannya. Sapto tak bereaksi, dia melangkah keluar dengan lesu, seperti tentara kalah perang. Ia menghampiri mobilnya dan pergi dari sana.

"Lastri, siapa dia?"
Tiba-tiba Lastri sadar bahwa dia baru saja lolos dari sebuah malapetaka. Ia berdiri dan menghambur kearah Timan dan memeluknya erat.
"Lastri, ada apa? Atau aku akan kejar laki-laki itu?"
"Jangan mas, ayu duduk diteras, aku akan mengatakan semuanya."

Lastri adalah seorang wanita yang baik. Dia sendirian dirumah itu, dan merasa tak pantas berbincang dengan laki-laki didalamnya.
Mereka duduk diteras, dan dengan suara tersendat ia menceritakan semuanya. Timan heran dengan kejadian itu. Majikannya memberi kesempatan kepada orang untuk memperkosa Lastri? Apakah dia manusia? Ada apa semua ini?"

"Lastri tau, pak Marsdi kurang suka sama aku."
"Kenapa Tri?"
"Aku juga nggak tau mas."
"Ya sudah, sekarang kamu masuklah kedalam, dan tenangkan pkiranmu, aku akan menjagamu diluar sini."
"Jangan mas, kasihan, mas Timan pulang saja, aku tak apa-apa."
"Tidak Lastri, mungkin saja dia akan kembali dan mencelakaimu. Masuklah kedalam, tak baik dilihat orang malam-malam kamu menemui orang asing disini. Beda halnya kalau aku disini sendirian, dan kamu istirahatlah didalam."
"Ya ampun mas, terimakasih banyak, mas Timan selalu memperhatikan aku."
"Sudah, masuk saja sana."
Lasti menurut, ia masuk kedalam dan mengunci pintunya, sementara Timan duduk diteras sendirian. Lastri terharu atas kebaikan Timan. Ia benar-benar pantas menjadi kakakku, pikir Lastri. 
*

Pak Marsudi yang mencari cari Bayu sangat kesal, tak menemukan Bayu dikamarnya. Dihampirinya isterinya yang sedang berbincang dengan saudara-saudaranya.
"Bu, Bayu mana?"
"Masih dikamar pak, katanya kepalanya pusing, tapi tadi sudah minum obat."
"Tapi aku baru saja dari kamarnya."
"Dia tidur kan ?"
"Kalau dia tidur masa aku bertanya sama ibu." 
Bu Marsudi berdiri, lalu berdua memasuki kamar Bayu.

"Lho, kok nggak ada? Dikamar mandi barangkali, dia tadi tidur disini."
Pak Marsudi memasuki kamar mandi, kosong. Lalu keduanya keluar, mencari barangkali Bayu sudah bergabung dengan anak-anak muda lainnya dihalaman.

"Bayu ?"
Tapi tak seorangpun melihat Bayu.  Melihat majikannya mencari-cari Bayu, pak Darmo yang duduk sendirian kemudian mendekat.
"Bapak mencari mas Bayu?"
"Iya, dikamarnya nggak ada."
"Lho, apa tadi tidak berpamit sama bapak?"
"Berpamit bagaimana?
"Dia sedang keluar?"
"O, mungkin membeli sesuatu," sambung bu Marsudi.
"Tidak bu, tadi menyuruh saya mengantar ke bandara."
Pak Marsudi dan isterinya terkejut.
"Bandara?" katanya hampir bersamaan.
"Iya, sudah tadi sore pak," kata pak Darmo lagi. 
"Tadi sore? Mengapa kamu nggak bilang sama aku?" kata pak Marsudi hampir berteriak.
"Ma'af pak, saya kan tidak tau apa-apa. Saya pikir perginya mas Bayu sudah atas sepengetahuan bapak," jawab pak Darmo takut-takut.
"Bocah kurangajar !! Mana ponselku bu?"

"Dilkamar pak, ayo kekamar saja, jangan marah-marah disini, nanti diperhatikan banyak orang," kata bu Marsudi sambil menggandeng suaminya kembali kekamar.
Tapi telephone itu tidak dijawab oleh Bayu. Pak Marsudi marah sekali. 
"Dia nggak mau mengangkatnya," kata pak Marsudi dengan wajah merah padam.
"Coba ibu yang menelpone, pakai ponsel ibu saja," kata bu Marsudi  sambil memutar nomor kontak anaknya.
Tapi sama saja, Bayu tak mengangkatnya.
"Pasti dia pulang ke Solo." kata pak Marsudi yang kemudian pergi keluar. Dia menelpon seseorang.

"Lagi dimana sekarang?" tanya pak Marsudi kepada seseorang itu.
"Apa? Dirumah? Bagaimana ini? Apa? Nggak jadi? Ini kok bisa lolos dari rencana?"
"Pak, siapa yang bapak telphone?" tiba-tiba bu Marsudi menyela, karena suaminya ternyata tidak bicara dengan Bayu.
"Ya sudah, nanti bapak telephone lagi."
"Siapa pak?" tanya bu Marsudi mendesak.
"Bukan siapa-siapa, ini urusan lain."
"Urusan lain bagaimana?"
"Urusan kantor. Sudah, jangan banyak tanya, hubungi terus anakmu, sampai dia menjawabnya."
*

Bayu turun dari taksi yang membawanya dari bandara. Ia tak mau menjawab telephone dari ayah atau ibunya. Percuma saja, pasti dia akan dimarahinya. Bayu tak perduli apapun, bahkan kemarahan ayahnya juga diacuhkannya. Dia terus memasuki halaman rumahnya. Lampu teras tampak remang. Bayu berdebar, ia ingin segera masuk kerumah dan melihat bagaimana keadaan Lastri. Tapi ia tak membawa kunci, jadi harus mengetuk pintu. Tapi ini baru jam delapan lebih, mudah-mudahan Lastri masih terjaga. Tapi bagaimana kalau.... Lamunan Bayu terhenti ketika langkahnya tiba didepan teras. Seorang lelaki tampak duduk sambil menyandarkan kepalanya, mungkin tertidur karena tak mendengar kedatangannya.

Kemarahan Bayu memuncak, apa yang dilakukan laki-laki itu disini?  Melukai Lastri, atau melakukan hal buruk terhadap Lastri?
Bayu naik ke teras, didekatinya laki-laki itu.
"Hei !! Siapa kamu?" bentaknya." Timan terkejut, ia membuka matanya, tapi belum sempat dia mengatakan sesuatu, Bayu menarik tubuhnya dan menghajarnya.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar