Selasa, 28 April 2020

LASTRI (17-18)

*LASTRI  17*

"Tunggu,,, augh.. adduh... tunggu mas...aku.. bukan..."

Bayu tak mau mendengar teriakan Timan. Yang dia tau adalah.. bahwa ada seorang laki-laki asing duduk diteras rumahnya, sementara Lastri tak terdengar kabar beritanya. Pasti dia melakukan sesuatu yang buruk pada Lastri. Pasti dia tau bahwa pemilik rumah sedang pergi dan tak mungkin kembali malam itu. Lampu teras yang remang menghalangi Bayu untuk mengenal jelas siapa laki-laki itu.

"Tunggu .. aduh.. saya bukan..."
Sebuah pukulan lagi mengenai rahang Timan, sehingga dia jatuh tersungkur, tubuhnya terantuk pintu, dan menimbulkan suara keras.

"Mana Lastri !! Kejahatan apa yang kamu lakukan !! Apaaa?" hardik Bayu sambil sekali lagi memukul dan mengenai tangan Timan karena sambil terbaring itu Timan melindungi tubuhnya dengan kedua tangannya.

Timan tak mampu membalas, tubuhnya kalah besar, dan dia tak bersiap untuk bertarung. Tiba-tiba saja bertubi-tubi pukulan mengenai tubuhnya.
"Mana Lastri !! Kau apakan dia !!"

"Lastriiii !!" teriak Timan. Hanya Lastri yang bisa menghentikannya.

Dan Lastri memang mendengar suara gaduh diluar pintu depan. Hatinya menjadi ciut. Apakah Sapto kembali untuk melakukan hal buruk lalu Timan menghalangi sehingga terjadi pertarungan? Lastri sudah sampai didepan pintu.

"Mana Lastri ! Kau apakan dia??"

Lastri terkejut. Suara itu sangat dikenalnya. Apakah dia bermimpi? Baru pagi tadi mereka pergi, bagaimana mungkin bisa sampai dirumah?

"Lastriii !!"
Timan berteriak lagi.

Lastri membuka pintu, dilihatnya Timan terjatuh dilantai dan Bayu siap memukulnya lagi.
"Mas Bayu !!Jangan!!" teriak Lastri kemudin menubruk Timan yang bergulung didepan pintu.

"Lastri !" Bayu memekik marah, ada rasa cemburu melihat Lastri justru membantu penjahat itu berdiri.
"Apa-apaan ini ?" 

Lastri membantunya berdiri lalu menuntunnya agar duduk dikursi. Lastri menekan tombol lampu teras agar terlihat lebih benderang. Dilihatnya luka memar Timan diwajahnya. Pelipisnya, pipinya, dan bibirnya berdarah. Lastri berlari kebelakang, mengambil kotak PPPK yang ada dialmari obat. Bayu mengikutinya dari belakang.

"Lastri, apa-apaan ini ?" tanya Bayu, yang ketika lampu dinyalakan kemudian bisa mengenali wajah Timan si penjual buah.

"Mas Bayu telah memukul orang yang tidak bersalah," kata Lastri sambil terus membawa kotak itu kedepan.  Ia mengambil kapas, membersihkan darah dibibir Timan, lalu dia pergi kebelakang lagi. Diambilnya serbet, lalu es batu di almari es. Lastri mengompres luka lebam diwajah Timan.

"Lastri !!" kesal sekali Bayu karena Lastri didak menggubrisnya.
"Mas, nanti Lastri akan menceritakan semuanya. Ini mas Timan, tukang buah yang sudah lama Lastri kenal. Dia orang baik, dia melindungi Lastri dari orang yang hampir melakukan kejahatan."

Bayu menatap Lastri. Acara kompres mengompres luka lebam itu sudah selesai. Timan meminta serbet berisi es itu dan mengmpres sendiri lebam diwajahnya. Lastri kembali masuk kedalam.

"Mas Timan, ma'af kalau saya telah melukai mas Timan, saya menghawatirkan Lastri," akhirnya Bayu meminta ma'af dan merasa bersalah ketika Lastri mengatakan bahwa Timan melindunginya.

"Saya bisa mengerti, ma'af, saya permisi pulang," kata Timan sambil maih memegangi serbet berisi es batu yang tadi diberikan Lastri.

"Tunggu mas Timan, sebenarnya ada apa?"
"Biar nanti Lastri saja yang cerita, saya permisi pulang dulu," kata Timan sambil berdiri.

Bayu mencegahnya namun Timan memaksa pulang. Mungkin kepalanya terasa pusing.
"Tunggu mas, tolong, saya akan mengantarkan ms Timan kerumah sakit malam ini juga."
"Tak usah, nggak apa-apa mas.."

"Mas Timan, jangan pergi dulu," teriak Lastri dari dalam. Ia membawa nampan berisi dua cangkir teh panas.

Timan berhenti, ia ingin terus tapi tak sampai hati melihat Lastri sudah bersusah payah membuatkan teh panas.

"Duduklah dulu."
Timan menurut.

"Lastri, ayo kita kerumah sakit, mas Timan harus dibawa kerumah sakit," kata Bayu.
Lastri merasa lega, Bayu tidak lagi marah.

"Jangan mas.." kata Timan.
"Nggak, mas Timan harus menurut. Lastri ikut, saya ganti baju dulu, tolong diminum tehnya, mas Timan, mas Bayu," kata Lastri sambil bergegas kebelakang.
Timan tak bisa menolak lagi, apalagi ketika dirasanya kepalanya berdenyut denyut.
*

Sambil menunggu Timan yang sedang mendapat perawatan di UGD, Lastri menceritakan kejadian yang dialaminya sejak menjelang malam tadi. Bayu merasa geram kepada ayahnya yang telah bersekongkol dengan Sapto untuk menghancurkan Lastri. Ia marah kepada Sapto yang hampir saja melakukan hal buruk terhadap Lastri.

"Aku akan menghajar dia besok," ancamnya penuh kemarahan.
"Jangan mas, tak usah melakukan kekerasan ketika hati penuh amarah."
"Kamu hampir dicelakainya, tapi kamu masih membelanya?"

"Bukan membelanya, tapi saya mohon mas Bayu tidak melakukan kekerasan pada mas Sapto. Di sudah minta ma'af, dan menyesal. Sungguh."

"Apa dia sempat menyentuh kamu? Melecehkan kamu?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Sungguh ?"

"Sungguh mas. Begitu saya membentak dia, dia langsung surut. Dia pasti tak mengira kalau saya berani menghadapinya. Mas Timan juga hampir menghajarnya waktu dia sudah mau pergi."

"Tapi bagaimana Timan tiba-tiba bisa datang?" tanya Bayu curiga.
"Oh, iya, Saya juga sampai lupa menanyakannya mengapa dia datang ketika ada kejadian itu. Tapi mungkin dia sebenarnya ingin membantu saya memperbaiki ponsel saya yang rusak. Malah belum disentuhnya ponsel itu."

"Ponsel kamu rusak?"
"Terjatuh ketika masih bicara sama mas Bayu, ambyar mas, saya sedih. Nah waktu itu saya mencoba mengotak atik, lalu saya pakai untuk menelpon mas Timan. Ternyata bisa, saya minta tolong mas Timan untuk memperbaikinya. Tapi setelah itu mati lagi. Malah ketika mas Sapto datang, lalu saya ingin menghubungi mas Bayu, benar-benar nggak bisa nyambung lagi. "

"Besok kita lihat apakah masih bisa diperbaiki, kalau enggak, beli lagi saja."
"Jangan mas, aduh.. mas Bayu main beli saja."
"So'alnya itu penting buat aku, karena setiap sa'at aku harus bisa berkomunikasi sama kamu."

"Sebentar mas, saya mau tanya, kok tiba-tiba mas Bayu pulang sendiri ? Apa sudah diijinkan sama bapak? Kemarin-kemarin kan bapak maksa supaya mas Bayu harus ikut?"

"Aku pulang diam-diam."
"Apa? Bagaimana bisa?"

"Ya bisa, aku tiba-tiba ingat kamu. Apalagi ketika menghubungi kamu sejak sore nggak bisa. Tiba-tiba pembicaraan terputus dan itu membuat aku khawatir."
"Iya, kan Lastri sudah bilang kalau ponselnya rusak. Tapi pulang diam-diam, pasti bapak akan marah."

"Ya aku tau."
"Saya jadi takut mas."
"Mengapa kamu yang takut?"

"Kalau bapak marah-marah dirumah, Lastri kan bisa mendengarnya."
"Nggak usah takut Lastri, bapak juga punya salah, perbuatannya memberikan duplikat kunci rumah itu akan aku protes. Aku nggak terima bapak mencelakakan kamu."

"Kenapa nggak terima mas, Lastri itu siapa.." 
"Lastri itu calon isteri Bayu."
"Mas Bayu, jangan ngomong sembarangan."
"Aku serius."
Nggak.. jangan begitu mas, itu membuat Lastri tersiksa."

"Kamu nggak suka sama aku? Nggak cinta sama aku?" suara Bayu lebih keras, Lastri menutup mulutnya dengan jari telunjuk. "
"Mas, jangan keras-keras, malu didengar orang."
"Mengapa harus malu? Orang jatuh cinta nggak usah malu."

Lastri menghela nafas. Bagaimanapun pernyataan itu membuat hatinya bergetar. Ada bahagia melintas, tapi ada kesedihan mendera. Itu sesuatu yang tak mungkin, pasti akan membuatnya menderita 

Sementara itu Timan sudah bisa berjalan keluar, dan tidak harus opname. Bayu akan mengantarkannya pulang, dan berjanji akan mengantarkan mobilnya kerumah besok pagi.

"Nggak usah mas, biar saya bawa sendiri saja malam ini juga."
"Nggak,.. mas Timan harus saya antar pulang malam ini. Malam sudah larut, dan tadi masih pusing kan? Jangan menyetir mobil sendiri dalam keadaan seperti ini."

"Iya mas, mas Timan harus nurut, dan besok nggak usah jualan dulu, istirahat sampai pulih."

"Kalau mas Timan tidak mau menurut, saya akan menyesal seumur hidup. Saya yang telah membuat mas Timan seperti ini, saya akan terus mengawasi kesehatan mas Timan sampai benar-benar pulih. Saya mohon jangan menolak."

"Baiklah, saya akan membayar biaya perawatan ini dulu."
"Saya sudah membayarnya, mas Timan ngak usah memikirkannya."

"Aduh, bagaimana ini.. terimakasih banyak mas Bayu."
"Jangan berterimakasih, saya yang minta ma'af telah membuat mas Timan seperti ini."
"Ya sudah, ayo kita antar mas Timan dulu, biar dia segera bisa istirahat."kata Lastri/
*

Ketika bu Marsudi keluar dari kamar mandi, dilihatnya pak Marsudi sedang menelpon seseorang.

"Bagaimana bisa terjadi? Apa? Ketemu Bayu tidak? Tidak? Mengapa mundur? Ya ampuun, aku sudah bersusah payah membantu, bagaimana ini. Ya sudah, besok kalau aku pulang kita bicara lagi." 

Pak Marsudi meghentikan pembicaraan ketika  isterinya mendekat dan mendengarkannya.
"Bapak menelpon siapa?"
"Orang kantor."

"Kok bapak menyebut-nyebut nama Bayu?"
"Iya, namanya sedang mencari Bayu, siapapun bisa bapak tanya." 

"Kalau itu orang kantor, mana bisa ketemu Bayu."
"Sudahlah bu, bapak lagi pusing. Jangan tanya yang macam-macam."
"Ibu yakin Bayu pulang kerumah. Sejak awal kan dia nggak mau ikut?"

"Ini semua gara-gara Lastri. Mengapa sih, seorang pembantu bisa diperhatikan begitu rupa? Bayu itu apa nggak ingat, dirinya itu siapa, sedangkan Lastri itu siapa?"

Bu Marsudi terdiam. Sejak awal memang sudah nggak suka, sampai kapanpun juga nggak bakalan suka. 

"Bapak sudah memperingatkan Bayu, supaya jangan dekat-dekat sama pembantu. Bukankah ada pepatah Jawa, witing tresna jalaran saka kulina? Dia ini diperingatkan kok nggak mau dengar. Lha orang kalau sudah jatuh cinta itu kan susah dipisahkan. Harusnya ya dipaksa berpisah."

"Apa maksud bapak ?"
"Sudah bu, jangan banyak tanya. Besok setelah resepsi kita harus langsung pulang. Nggak usah menunggu sore hari atau bahkan ada yang minta supaya kita menginap lagi. Aku nggak mau."

"Iya, terserah bapak saja, ibu ngikut apa kemauan bapak, daripada kalau disini rame terus."
"Rame terus gimana, bapak ini memikirkan anakmu bu."

"Bayu itu kan sudah dewasa, harusnya biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri. Dia pasti tau mana yang terbaik bagi dirinya."
"Jadi ibu setuju kalau Bayu itu suka sama Lastri?"

"Bapak sudah pernah menanyakan hal itu, tapi sekarang ibu nggak mau jawab. Pusing ibu, mau tidur saja, ini sudah larut malam. Besok bisa bangun kesiangan. Padahal bapak harus dandan pagi-pagi, bapak kan jadi saksi nikah?"

Pak Marsudi diam. Dilihatnya isterinya sudah memejamkan mata dan memeluk guling, tapi pak Marsudi gelisah bukan alang kepalang. Ia tidak mengerti, bagaimana Sapto sampai gagal menjalankan rencananya, malah kelihatan pasrah dan tak bersemangat. Ia mengira karena

Bayu tiba-tiba datang, tapi ternyata tidak. Pak Marsudi ingin segera pulang, memarahi anaknya, dan berbicara dengan Sapto.

Malam sudah larut, tapi Lastri belum bisa memejamkan matanya. Kejadian sejak sore tadi sangat mengganggu perasaannya. 

Harusnya dia mersa tenang, karena Bayu sudah ada dirumah ini. Tak akan ada lagi yang mengganggunya. Lalu Lastri memejamkan matanya, mencoba tidur dan melupakan semuanya. Ia memyangkan kalau besok pak Marsudi datang, lalu marah besar kepada anaknya karena pulang diam-diam. Jangan-jangan Lastri nanti yang akan disalahkan.

Lastri semakin susah memejamkan mata. Ia keluar dari kamar, menuju dapur, untuk mencari seteguk air dingin.

Lastri membuka almari es, mengambil sebotol air dingin lalu menuangkannya kedalam gelas. Ia duduk dikursi dapur, meletakkan gelasnya dimeja, lalu meneguknya perlahan.

"Lastri.."
Lastri terkejut, tiba-tiba saja Bayu sudah ada disampingnya. Menarik kursi dan duduk sangat dekat disampingnya.
"Mas Bayu kok belum tidur, "
"Kamu sendiri kan juga belum tidur?" 

"Iya, saya haus, lalu mengambil air minum."
"Aku juga haus.."
"Mau saya buatkan  teh hangat ?"
"Boleh, "

"Mas Bayu duduk disana saja, nanti saya antar kesana."
"Nggak, aku duduk disini saja."
Lastri membuatkan teh hangat, dan diletakkannya dimeja.

Lastri membalikkan tubuh bermaksud kembali kekamarnya.
"Lastri, masa aku minum sendiri."
"Saya ngantuk mas, biarkan saya tidur ya."
"Temani aku sebentar saja, nggak enak minum sendirian."

Lastri kembali duduk, tapi agak jauh dari Bayu.
"Kok menjauh begitu? Sini lho Tri."

Tapi Lastri menggelengkan kepalanya. Ia merasa badannya sudah panas dingin, karena Bayu selalu berusaha mendekatinya. Ia harus menghindar supaya tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Lastri tau, setan ada dimana mana.

"Lastri, kamu sendiri nggak membuat teh panas?"
"Saya sudah minum, dan itu cukup."

Bayu meneguk tehnya, pandangannyzza tak lepas dari wajah Lastri yang tampak cantik dibawah sinar lampu dapur yang temaram. 

Lastri tak tahan lagi. Ia merasa luluh dalam pandangan majikan gantengnya. Ia berdiri dan masuk kekamarnya. Tapi tiba-tiba Bayu menahan pintunya, sehingga Lastri gagal mengunci pintunya.

Dirumah itu hanya ada mereka berdua. Berhasilkah setan meruntuhkan iman yang semula kokoh digenggamnya?
*

Bersambung

&&&&&


*LASTRI  18*

Malam semakin larut, Lastri terkulai lemas. Bayu masih terduduk dikursi dekat ranjang, Tak beranjak sejak dia memaksa masuk kekamar Lastri. Ia tak menyangka Bayu senekat itu. Hampir saja kesucian itu terkoyak. Gelora yang menggelegak dan darah muda yang mendidih nyaris terlampiaskan.

Lastri menatap Bayu dengan getar yang tak kunjung padam. Itu sebabnya tubuhnya lunglai. Susah payah mereka mendinginkan kawah yang nyaris memuntahkan lahar. Beruntung ada iman yang masih tergenggam erat. Beruntung setan-setan keparat berhasil terusir minggat.

"Aku mencintai kamu Lastri," bisik itu terdengar berulang kali. Lastri tenggelam dalam derita yang menyengat. Apakah ia menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan dari kasta rendahan? Menyesal terlahir dilingkungan kumuh tak bersinar, dan dibesarkan diantara kerak kemiskinan? 

"Tidak.." bisik Lastri lemah.
"Mengapa tidak?"
"Mas Bayu tersesat dalam cinta yang salah."

"Cinta tak pernah salah. Ia datang mengisi jiwa manusia setiap dia inginkan. Cintaku berlabuh dihati seorang perempuan dusun yang sederhana, tapi cantik bagai bidadari. Cantik wajahnya, cantik hatinya. Karena kamulah perempuan itu, maka dosa yang seharusnya menoreh kehidupan yang mulia ini tersingkirkan. Aku semakin mencintai kamu Lastri."

Lastri menghela nafas. Ia tak ingin mengatakan bahwa dia juga mencintai Bayu. Ia selalu merasa tak pantas memiliki perasaan itu.

"Lastri,"
"Saya mohon, keluarlah mas.. ini tidak pantas. Ini kamar seorang gadis.. dan mas Bayu sudah menguakkan pintu dengan paksa."

"Tapi aku tidak menguakkan kesucian kamu, karena kamulah perempuan yang aku impikan."
"Saya mohon, keluarlah.." suara Lastri bergetar, menahan isak.

"Aku hanya mau keluar setelah kamu mengatakan isi hati kamu."
"Saya sudah mengatakannya."

"Tidak, ini tentang cinta seorang Bayu. Jawabanmu akan menguatkan aku."
"Mas, saya mohon."

"Jawab dulu, kamu belum pernah menjawabnya, apakah kamu mencintai aku?"
"Tidak mas..." bisik Lastri yang kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Kamu bohong Lastri..."
"Sunggguh, sekarang keluarlah, jangan menunggu setan-setan mengipasi hati mas lagi."
"Jangan membohongi hati kamu Lastri. Tak ada yang melarang orang jatuh cinta."

"Tidak mas, ini lebih baik."
"Tidak, ini buruk, aku akan memintamu agar menjadi isteriku."

Lastri terguguk dalam tangis yang mengharu biru. Bayu merasa trenyuh, ia berdiri dan mendekati Lastri yang masih duduk ditepi ranjang. Ia merangkulnya erat. Lastri gemetar dalam rangkulan orang yang dicintainya, tapi kemudian dia mendorongnya perlahan.

"Keluarlah mas, saya mohon, ini tidak baik," pinta Lastri sambil merangkapkan kedua telapak tangan.

Bayu surut kebelakang, membalikkan tubuh, tapi sebelum keluar dari pintu, dipandanginya lagi Lastri yang masih berlinangan air mata.

"Yang penting aku sudah mengucapkan kata hatiku, dan aku sudah yakin bahwa kamu juga mencintai aku."

Lalu ditutupnya pintu itu, meninggalkan Lastri yang masih tenggelam dalam tangis. Bahagiakah Lastri? Tidak, dia seperti tenggelam kedalam lautan yang dia tak mampu muncul kepermukaan, terombang ambing oleh deru ombak yang menghantam jiwanya.
*

Lastri tak bisa tidur semalaman, ketika ayam berkokok terdengar dikejauhan, dia keluar dari kamarnya. Melakukan tugasnya, menjerang air, kemudian bersih-bersih rumah. Setelah itu membuat roti bakar kesukaan Bayu lalu menyiapkan teh hangat dan roti itu ditempat biasanya.

Ketika ia berbalik kebelakang, dilihatnya Bayu sudah keluar dari kamarnya, Matanya sembab. Pasti sama dengan dirinya, tak bisa tidur semalaman.

Tapi kemudian dia duduk dan menghirup teh hangat buatan Lastri. Pikirannya melayang kearah peristiwa semalam, dimana di hampir saja merobek masa gadis Lastri dengan perbuatan nekatnya. Ia bersyukur, perempuan itu adalah Lastri, yang teguh memegang kedudukannya sebagai wanita. Wanita dusun sederhana yang memiliki hati bersih seputih melati. Cinta dihati Bayu semakin membara.

"Minumlah disini Tri, temani aku," pinta Bayu.
"Saya sudah minum dibelakang mas. Mas minumlah dulu dan nikmati roti bakarnya, saya mau mandi lalu kepasar. Mas Bayu mau dimasakin apa?"

"Tidak, nggak usah kepasar Tri, kita akan mengembalikan mobilnya mas Timan, lalu kita sarapan diluar."
"Saya harus ikut?"
"Ikut saja Tri, daripada dirumah sendirian."
Lastri mengangguk, kemudian meneruskan langkahnya kebelakang.

Bayu menikmati roti bakar buatan Lastri, meneguk teh hangat yang juga buatan Lastri. Itu seperti biasa dialaminya setiap pagi, namun pagi itu terasa lain. Ia seperti menjadi seorang tuan rumah dan Lastri adalah isterinya. Bahagianya bangun pagi sudah dilayani isteri. Bayu melamun kemana-mana. Akankah hal itu bisa terjadi? Bayu juga memiliki mimpi, yang harus diraihnya. Ia tersenyum sendiri, kemudian menghabiskan sepotong roti yang sudah digigitnya, lalu berdiri dan bersiap untuk mandi. 
*

Hari itu Minggu, tapi Sapto belum ingin mandi. Ia duduk diteras rumah dan menyandarkan kepalanya dengan lesu. Kejadian semalam membuatnya seperti terjatuh dari ketinggian, meluluh lantakkan semua angan dan keinginannya. Ada yang mengherankan, seorang perempuan desa, pembantu, memiliki hati yang kokoh, mampu membuatnya surut, lalu menyadari semua sepak terjangnya yang tak terkendali.

Sapto menyadari bahwa masa mudanya direguk sia-sia. Tak ada yang didapatkan. Kesenangan yang dilaluinya hanyalah kepuasan semu yang tak membuatnya bahagia. Ia terpuruk dalam kegelapan yang meliputi nuraninya. Bagaimana bangkit dari semua ini?

Sapto memejamkan matanya, dan mata itu masih juga terpejam ketika didengarnya langkah-langkah mendekat. Dibukanya matanya lalu dilihatnya dua orang yang dikenalnya, menatapnya dengan pandangan gusar. Sapto berdiri.

"Bayu, Lastri, silahkan masuk," sapanya kaku. Ia tau Bayu akan sangat marah, mungkin akan menghajarnya, membuatnya jatuh bangun penuh luka. Tapi Sapto berjanji tak akan melawannya.

"Silahkan masuk.." ulangnya.

Tapi Bayu tak bergeming. Ia berdiri didepan tangga teras, Lastri disampingnya, agak kebelakang.
"Aku disini saja dan hanya sebentar."

Sapto melihat sosok laki-laki sahabatnya itu tidak sedang bersiap mengayunkan bogemnya. 

"Bayu, aku minta ma'af. Aku khilaf, dan aku siap menerima hukumannya. Kau boleh menghajarku, bahkan membunuhku."
"Aku tak mengira kau memiliki niat busuk. Kau lupa bahwa aku adalah temanmu, sahabatmu."

"Aku khilaf, aku menyesal. Ma'af Bayu, ma'af Lastri."
"Aku berharap kau akan menjadi baik,"
"Aku berjanji, aku akan berubah."

Mata nyalang itu tak tampak lagi, Sapto tampak lesu tak bersemangat. Diam-diam Lastri merasa iba. Ia harus mema'afkannya, karena dia berjanji akan berubah. Tapi Lastri tak mengucapkan apapun. Ketika memasuki halaman rumah Sapto, Lastri sudah bersiap menghalangi seandainya Bayu akan mengamuk dan menghajar Sapto, tapi Lastri merasa lega karena Bayu tidak melakukannya.

"Aku akan memegang janjimu. Ingat persahabatan kita Sapto, jangan sampai ternoda oleh kelakuan burukmu. Kamu harus tau, aku mencintai Lastri."

Sapto mengangguk, dia sudah menduga. Dilihatnya Lastri yang kemudian menundukkan kepalanya. Tampaknya ia malu, atau entah apa yang difikirkannya.

"Sekali lagi ma'afkanlah aku."

Lastri menggamit lengan Bayu, mengajaknya segera pergi.
"Baiklah, aku permisi," kata Bayu yang kemudian menggandeng Lastri untuk pergi.

"Mengapa bilang begitu dihadapan mas Sapto?" protes Lastri sambil berjalan keluar.

"Nggak apa-apa, biar Sapto tau, kalau enggak, dia juga bisa jatuh cinta beneran sama kamu."
Lastri mencibir, dan Bayu ingin mencubit bibir itu. 

Sapto berdiri diteras, memandangi kepergian sahabatnya. Agak heran ketika melihat Bayu mengendarai colt terbuka. Dalam hati dia bertanya, bukankah itu colt yang aku lihat ketika aku pergi dari rumah keluarga Marsudi?. Sapto tak mau tau apa yang terjadi, ia merasa lebih lega, lalu memasuki rumah dan mandi. Ia harus mengguyur tubuhnya agar merasa segar, sesegar perasannya ketika kedatangan Bayu bukan untuk menghajarnya.

Tapi sungguh ia berjanji pada dirinya, bahwa langkah yang dilaluinya akan berubah. Dan langkah pertama yang akaan dilakukannya adalah mengganti nomor kontaknya. Banyak gadis-gadis menelponnya hampir setiap hari, mungkin merindukaan dirinya, mungkin mengajaknya kencan atau makan disebuah restoran. Sekarang tak ada lagi. Hari ini juga langkah itu akan dilakukannya.

Ketika sampai dirumah Timan, dilihatnya Timan sudah duduk dikursi depan. Rumah kuna yang ditinggalinya adalah peninggalan kedua orang tuanya. Timan hanya membenahi apa yang sudah aus, tapi tak merubah bentuknya. Teras depan yang terbuka, lalu ruangan dalam yang luas, dipenuhi perabot-perabot tua yang masih terawat rapi.Tak ada kesan mewah, tapi nyaman untuk ditinggali.

Menyenangkan duduk-duduk diteras yang sejuk oleh semilir angin yang menyentuh dedaunan.  Kebunnya yang luas, dipenuhi pohon-pohon buah. Ada mangga dan jambu. Ah ya, Lastri pernah ditawari buah jambu itu. Ketika melihat kearah pohon itu Lastri tak melihat lagi ada buah disana.

"Jambunya sudah habis ya mas?" tanya Lastri.
"Ya, sudah habis."
"Kita pernah memakannya kan mas?"
"Iya, enak dan segar," jawab Bayu sambil tersenyum.  Ia lebih mengamati wajah Timan yang masih tampak sembab. Bayu merasa sangat bersalah.

"Bagaimana perasaan mas Timan? Mana yang masih terasa sakit?"
"Sudah baik, kan sudah dikasih obat?"

"Masih nyeri ?"
"Nggak juga. Bibir yang terluka sudah diberi salep. Ini sudah nggak terasa perih. Mungkin sehari dua hari akan pulih."

"Saya minta ma'af ya mas?"
"Lupakanlah, saya bisa mengerti, sebentar, saya ambilkan jeruk ya... sama mau minum apa?"
"Sudah, jangan repot-repot mas, duduk saja, kami hanya mau mengantarkan mobil mas Timan," kata Bayu.

"Terimakasih banyak mas, sebenarnya saya bisa mengambilnya sendiri."
"Ya nggak boleh begitu, saya berkewajiban mengantarkan mobil itu. Kan saya sudah berjanji tadi malam?" 

"Kalau begitu saya bawakan jeruk saja. Saya sudah bilang sama Lastri, jeruknya masih segar dan manis," kata Timan sambil beranjak kebelakang. Timan  tersenyum sendiri. Kemarin sore dia mengatakan bahwa jeruknya manis kayak Lastri. Tapi tadi ia sungkan mengucapkannya.

Timan merasa seperti ada apa-apa antara Bayu dan Lastri. Patah hati deh aku, kalau itu benar, bisik batin Timan. Oh ya, rupanya Timan juga jatuh hati sama Lastri. Tapi rasa itu surut. Timan tak mau terjerumus dalam cinta yang bertepuk sebelah  tangan. Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Cukuplah Lastri akan tetap menjadi sahabat baginya. Betapa mulia hati Timan.

Bayu dan Lastri saling pandang begitu Timan keluar dan membawa sebungkus buah jeruk.
 "Ya ampun mas, banyak sekaliiiii... sedikit saja," teriak Bayu.
"Iya mas Timan tuh, saya sisakan disini separo ya."
"Jangan, biar saja. Nggak bagus lho menolak rejeki."
"Padahal kami mau pulang lho," kata Lastri.
"Iya, supaya mas Timan bisa istirahat lebih banyak."

"Lha nanti pulang naik apa? Biar saya antar, kata Timan sambil berdiri.
"Jangan mas, kami mau naik taksi saja, kami masih mau mampir-mampir." kata Bayu yang kemudian menggamit lengan Lastri mengajaknya segera berpamit.

"Lha kalau begitu panggil taksi saja dulu dan ditunggu disini."
"Nggak usah mas, kami bisa sambil jalan.
"Terimakasih jeruknya lho mas," kata Lastri.

"Oh ya, ponselmu bagaimana ?" tanya Timan.
"Belum sempat diperbaiki mas, ini kami bawa, kalau sudah nggak bisa diperbaiki lebih baik beli saja, nanti gampang, jawab Bayu. 

Lalu keduanya melangkah keluar dari halaman rumah Bayu.
Timan memandangi kedua sejoli itu dengan perasaan lega.
"Baguslah kalau Lastri mendapatkan suami seperti mas Bayu. Sepertinya dia baik, dan bisa melindunginya. Aku akan bahagia kalau kamu bahagia Lastri," bisik Timan yang kemudian masuk kedalam rumah.

Hari itu Bayu mengajak Lastri berkeliling kota. Tak apa walau naik taksi. Mereka sarapaan disebuah warung pecel, yang terletak dipinggiran kota, lalu ketoko ponsel dan membeli yang baru untuk Lastri. Lastri sudah melarangnya, tapi Bayu nekat. Terpaksa Lastri menyerah. Setelah itu mereka duduk-duduk ditaman, seperti sepasang sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tapi Lastri tetap tak mau berbicara tentang cinta.

"Baiklah, cukup aku mengatakan bahwa aku cinta kamu, dan aku juga tau bagaimana perasaanmu terhadapku," kata Bayu mengulang kata-katanya semalam.

Bayu yakin, Lastri hanya merasa tak sepadan dengan dirinya, tapi Bayu tak perduli. 
Lastri tak menjawabnya, walau itu benar.

Ketika lelah berputar-putar, mereka makan siang disebuah restoran, dan sore hari baru beranjak pulang.

Namun mereka terkejut melihat pintu rumah terbuka. Bayu melangkah cepat kerumah, diikuti Lastri yang setengah berlari tersaruk-saruk.

Bayu berendap-endap begitu sampai dipintu masuk, perkiraannya adalah ada penjahat memasuki rumahnya. Tapi Bayu tak melihat pintu itu rusak. Berarti sang penjahat masuk dengan memiliki kunci yang sama. Ya Tuhan, apakah itu Sapto? Bukankah dia memiliki kunci duplikat yang katanya diberi sama ayahnya? Pikir Bayu.

Ia menoleh kearah Lastri dan berbisik: " Sapto lah yang memiliki kunci duplikat bukan?"
Tapi Lastri menggeleng.

"Kunci itu sudah diberikan sama saya," katanya.

Bayu masuk dengan hati-hati.
"Kamu diluar saja," kata Bayu pelan. Ia khawatir penjahat itu akan menyerangnya dan itu adalah bahaya bagi Lastri yang seorang gadis.
"Hati-hati mas," bisik Lastri khawatir.

Bayu mengangguk dan terus melangkah kedalam. Ia belum menemukan siapa-siapa. Tapi ketika ia tiba diruang tengah, didengarnya suara orang bercakap, dan suara itu amat dikenalnya. Bayu langsung masuk dan melihat ayah ibunya sedang berdebat, dan juga menyebut-nyebut namanya.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar