*LASTRI 17*
"Tunggu,,, augh..
adduh... tunggu mas...aku.. bukan..."
Bayu tak mau mendengar
teriakan Timan. Yang dia tau adalah.. bahwa ada seorang laki-laki asing duduk
diteras rumahnya, sementara Lastri tak terdengar kabar beritanya. Pasti dia
melakukan sesuatu yang buruk pada Lastri. Pasti dia tau bahwa pemilik rumah
sedang pergi dan tak mungkin kembali malam itu. Lampu teras yang remang
menghalangi Bayu untuk mengenal jelas siapa laki-laki itu.
"Tunggu .. aduh..
saya bukan..."
Sebuah pukulan lagi
mengenai rahang Timan, sehingga dia jatuh tersungkur, tubuhnya terantuk pintu,
dan menimbulkan suara keras.
"Mana Lastri !!
Kejahatan apa yang kamu lakukan !! Apaaa?" hardik Bayu sambil sekali lagi
memukul dan mengenai tangan Timan karena sambil terbaring itu Timan melindungi
tubuhnya dengan kedua tangannya.
Timan tak mampu
membalas, tubuhnya kalah besar, dan dia tak bersiap untuk bertarung. Tiba-tiba
saja bertubi-tubi pukulan mengenai tubuhnya.
"Mana Lastri !! Kau
apakan dia !!"
"Lastriiii !!"
teriak Timan. Hanya Lastri yang bisa menghentikannya.
Dan Lastri memang
mendengar suara gaduh diluar pintu depan. Hatinya menjadi ciut. Apakah Sapto
kembali untuk melakukan hal buruk lalu Timan menghalangi sehingga terjadi
pertarungan? Lastri sudah sampai didepan pintu.
"Mana Lastri ! Kau
apakan dia??"
Lastri terkejut. Suara
itu sangat dikenalnya. Apakah dia bermimpi? Baru pagi tadi mereka pergi, bagaimana
mungkin bisa sampai dirumah?
"Lastriii !!"
Timan berteriak lagi.
Lastri membuka pintu,
dilihatnya Timan terjatuh dilantai dan Bayu siap memukulnya lagi.
"Mas Bayu
!!Jangan!!" teriak Lastri kemudin menubruk Timan yang bergulung didepan
pintu.
"Lastri !"
Bayu memekik marah, ada rasa cemburu melihat Lastri justru membantu penjahat
itu berdiri.
"Apa-apaan ini
?"
Lastri membantunya
berdiri lalu menuntunnya agar duduk dikursi. Lastri menekan tombol lampu teras
agar terlihat lebih benderang. Dilihatnya luka memar Timan diwajahnya.
Pelipisnya, pipinya, dan bibirnya berdarah. Lastri berlari kebelakang,
mengambil kotak PPPK yang ada dialmari obat. Bayu mengikutinya dari belakang.
"Lastri, apa-apaan
ini ?" tanya Bayu, yang ketika lampu dinyalakan kemudian bisa mengenali
wajah Timan si penjual buah.
"Mas Bayu telah
memukul orang yang tidak bersalah," kata Lastri sambil terus membawa kotak
itu kedepan. Ia mengambil kapas, membersihkan darah dibibir Timan, lalu
dia pergi kebelakang lagi. Diambilnya serbet, lalu es batu di almari es. Lastri
mengompres luka lebam diwajah Timan.
"Lastri !!"
kesal sekali Bayu karena Lastri didak menggubrisnya.
"Mas, nanti Lastri
akan menceritakan semuanya. Ini mas Timan, tukang buah yang sudah lama Lastri
kenal. Dia orang baik, dia melindungi Lastri dari orang yang hampir melakukan
kejahatan."
Bayu menatap Lastri.
Acara kompres mengompres luka lebam itu sudah selesai. Timan meminta serbet
berisi es itu dan mengmpres sendiri lebam diwajahnya. Lastri kembali masuk
kedalam.
"Mas Timan, ma'af
kalau saya telah melukai mas Timan, saya menghawatirkan Lastri," akhirnya
Bayu meminta ma'af dan merasa bersalah ketika Lastri mengatakan bahwa Timan
melindunginya.
"Saya bisa
mengerti, ma'af, saya permisi pulang," kata Timan sambil maih memegangi
serbet berisi es batu yang tadi diberikan Lastri.
"Tunggu mas Timan,
sebenarnya ada apa?"
"Biar nanti Lastri
saja yang cerita, saya permisi pulang dulu," kata Timan sambil berdiri.
Bayu mencegahnya namun
Timan memaksa pulang. Mungkin kepalanya terasa pusing.
"Tunggu mas,
tolong, saya akan mengantarkan ms Timan kerumah sakit malam ini juga."
"Tak usah, nggak
apa-apa mas.."
"Mas Timan, jangan
pergi dulu," teriak Lastri dari dalam. Ia membawa nampan berisi dua
cangkir teh panas.
Timan berhenti, ia ingin
terus tapi tak sampai hati melihat Lastri sudah bersusah payah membuatkan teh
panas.
"Duduklah
dulu."
Timan menurut.
"Lastri, ayo kita
kerumah sakit, mas Timan harus dibawa kerumah sakit," kata Bayu.
Lastri merasa lega, Bayu
tidak lagi marah.
"Jangan mas.."
kata Timan.
"Nggak, mas Timan
harus menurut. Lastri ikut, saya ganti baju dulu, tolong diminum tehnya, mas
Timan, mas Bayu," kata Lastri sambil bergegas kebelakang.
Timan tak bisa menolak
lagi, apalagi ketika dirasanya kepalanya berdenyut denyut.
*
Sambil menunggu Timan
yang sedang mendapat perawatan di UGD, Lastri menceritakan kejadian yang
dialaminya sejak menjelang malam tadi. Bayu merasa geram kepada ayahnya yang
telah bersekongkol dengan Sapto untuk menghancurkan Lastri. Ia marah kepada
Sapto yang hampir saja melakukan hal buruk terhadap Lastri.
"Aku akan menghajar
dia besok," ancamnya penuh kemarahan.
"Jangan mas, tak
usah melakukan kekerasan ketika hati penuh amarah."
"Kamu hampir
dicelakainya, tapi kamu masih membelanya?"
"Bukan membelanya,
tapi saya mohon mas Bayu tidak melakukan kekerasan pada mas Sapto. Di sudah
minta ma'af, dan menyesal. Sungguh."
"Apa dia sempat
menyentuh kamu? Melecehkan kamu?"
"Tidak. Sama sekali
tidak."
"Sungguh ?"
"Sungguh mas.
Begitu saya membentak dia, dia langsung surut. Dia pasti tak mengira kalau saya
berani menghadapinya. Mas Timan juga hampir menghajarnya waktu dia sudah mau
pergi."
"Tapi bagaimana
Timan tiba-tiba bisa datang?" tanya Bayu curiga.
"Oh, iya, Saya juga
sampai lupa menanyakannya mengapa dia datang ketika ada kejadian itu. Tapi
mungkin dia sebenarnya ingin membantu saya memperbaiki ponsel saya yang rusak.
Malah belum disentuhnya ponsel itu."
"Ponsel kamu
rusak?"
"Terjatuh ketika
masih bicara sama mas Bayu, ambyar mas, saya sedih. Nah waktu itu saya mencoba
mengotak atik, lalu saya pakai untuk menelpon mas Timan. Ternyata bisa, saya
minta tolong mas Timan untuk memperbaikinya. Tapi setelah itu mati lagi. Malah
ketika mas Sapto datang, lalu saya ingin menghubungi mas Bayu, benar-benar
nggak bisa nyambung lagi. "
"Besok kita lihat
apakah masih bisa diperbaiki, kalau enggak, beli lagi saja."
"Jangan mas, aduh..
mas Bayu main beli saja."
"So'alnya itu
penting buat aku, karena setiap sa'at aku harus bisa berkomunikasi sama
kamu."
"Sebentar mas, saya
mau tanya, kok tiba-tiba mas Bayu pulang sendiri ? Apa sudah diijinkan sama
bapak? Kemarin-kemarin kan bapak maksa supaya mas Bayu harus ikut?"
"Aku pulang
diam-diam."
"Apa? Bagaimana
bisa?"
"Ya bisa, aku
tiba-tiba ingat kamu. Apalagi ketika menghubungi kamu sejak sore nggak bisa.
Tiba-tiba pembicaraan terputus dan itu membuat aku khawatir."
"Iya, kan Lastri
sudah bilang kalau ponselnya rusak. Tapi pulang diam-diam, pasti bapak akan
marah."
"Ya aku tau."
"Saya jadi takut
mas."
"Mengapa kamu yang
takut?"
"Kalau bapak
marah-marah dirumah, Lastri kan bisa mendengarnya."
"Nggak usah takut
Lastri, bapak juga punya salah, perbuatannya memberikan duplikat kunci rumah
itu akan aku protes. Aku nggak terima bapak mencelakakan kamu."
"Kenapa nggak
terima mas, Lastri itu siapa.."
"Lastri itu calon
isteri Bayu."
"Mas Bayu, jangan
ngomong sembarangan."
"Aku serius."
Nggak.. jangan begitu
mas, itu membuat Lastri tersiksa."
"Kamu nggak suka
sama aku? Nggak cinta sama aku?" suara Bayu lebih keras, Lastri menutup
mulutnya dengan jari telunjuk. "
"Mas, jangan
keras-keras, malu didengar orang."
"Mengapa harus
malu? Orang jatuh cinta nggak usah malu."
Lastri menghela nafas.
Bagaimanapun pernyataan itu membuat hatinya bergetar. Ada bahagia melintas,
tapi ada kesedihan mendera. Itu sesuatu yang tak mungkin, pasti akan membuatnya
menderita
Sementara itu Timan
sudah bisa berjalan keluar, dan tidak harus opname. Bayu akan mengantarkannya
pulang, dan berjanji akan mengantarkan mobilnya kerumah besok pagi.
"Nggak usah mas,
biar saya bawa sendiri saja malam ini juga."
"Nggak,.. mas Timan
harus saya antar pulang malam ini. Malam sudah larut, dan tadi masih pusing
kan? Jangan menyetir mobil sendiri dalam keadaan seperti ini."
"Iya mas, mas Timan
harus nurut, dan besok nggak usah jualan dulu, istirahat sampai pulih."
"Kalau mas Timan
tidak mau menurut, saya akan menyesal seumur hidup. Saya yang telah membuat mas
Timan seperti ini, saya akan terus mengawasi kesehatan mas Timan sampai
benar-benar pulih. Saya mohon jangan menolak."
"Baiklah, saya akan
membayar biaya perawatan ini dulu."
"Saya sudah
membayarnya, mas Timan ngak usah memikirkannya."
"Aduh, bagaimana
ini.. terimakasih banyak mas Bayu."
"Jangan
berterimakasih, saya yang minta ma'af telah membuat mas Timan seperti
ini."
"Ya sudah, ayo kita
antar mas Timan dulu, biar dia segera bisa istirahat."kata Lastri/
*
Ketika bu Marsudi keluar
dari kamar mandi, dilihatnya pak Marsudi sedang menelpon seseorang.
"Bagaimana bisa
terjadi? Apa? Ketemu Bayu tidak? Tidak? Mengapa mundur? Ya ampuun, aku sudah
bersusah payah membantu, bagaimana ini. Ya sudah, besok kalau aku pulang kita
bicara lagi."
Pak Marsudi meghentikan
pembicaraan ketika isterinya mendekat dan mendengarkannya.
"Bapak menelpon
siapa?"
"Orang
kantor."
"Kok bapak
menyebut-nyebut nama Bayu?"
"Iya, namanya
sedang mencari Bayu, siapapun bisa bapak tanya."
"Kalau itu orang
kantor, mana bisa ketemu Bayu."
"Sudahlah bu, bapak
lagi pusing. Jangan tanya yang macam-macam."
"Ibu yakin Bayu
pulang kerumah. Sejak awal kan dia nggak mau ikut?"
"Ini semua
gara-gara Lastri. Mengapa sih, seorang pembantu bisa diperhatikan begitu rupa?
Bayu itu apa nggak ingat, dirinya itu siapa, sedangkan Lastri itu siapa?"
Bu Marsudi terdiam.
Sejak awal memang sudah nggak suka, sampai kapanpun juga nggak bakalan
suka.
"Bapak sudah
memperingatkan Bayu, supaya jangan dekat-dekat sama pembantu. Bukankah ada
pepatah Jawa, witing tresna jalaran saka kulina? Dia ini diperingatkan kok
nggak mau dengar. Lha orang kalau sudah jatuh cinta itu kan susah dipisahkan.
Harusnya ya dipaksa berpisah."
"Apa maksud bapak
?"
"Sudah bu, jangan
banyak tanya. Besok setelah resepsi kita harus langsung pulang. Nggak usah
menunggu sore hari atau bahkan ada yang minta supaya kita menginap lagi. Aku
nggak mau."
"Iya, terserah bapak
saja, ibu ngikut apa kemauan bapak, daripada kalau disini rame terus."
"Rame terus gimana,
bapak ini memikirkan anakmu bu."
"Bayu itu kan sudah
dewasa, harusnya biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri. Dia pasti tau mana
yang terbaik bagi dirinya."
"Jadi ibu setuju
kalau Bayu itu suka sama Lastri?"
"Bapak sudah pernah
menanyakan hal itu, tapi sekarang ibu nggak mau jawab. Pusing ibu, mau tidur
saja, ini sudah larut malam. Besok bisa bangun kesiangan. Padahal bapak harus
dandan pagi-pagi, bapak kan jadi saksi nikah?"
Pak Marsudi diam.
Dilihatnya isterinya sudah memejamkan mata dan memeluk guling, tapi pak Marsudi
gelisah bukan alang kepalang. Ia tidak mengerti, bagaimana Sapto sampai gagal
menjalankan rencananya, malah kelihatan pasrah dan tak bersemangat. Ia mengira
karena
Bayu tiba-tiba datang,
tapi ternyata tidak. Pak Marsudi ingin segera pulang, memarahi anaknya, dan
berbicara dengan Sapto.
*
Malam sudah larut, tapi
Lastri belum bisa memejamkan matanya. Kejadian sejak sore tadi sangat mengganggu
perasaannya.
Harusnya dia mersa
tenang, karena Bayu sudah ada dirumah ini. Tak akan ada lagi yang
mengganggunya. Lalu Lastri memejamkan matanya, mencoba tidur dan melupakan
semuanya. Ia memyangkan kalau besok pak Marsudi datang, lalu marah besar kepada
anaknya karena pulang diam-diam. Jangan-jangan Lastri nanti yang akan
disalahkan.
Lastri semakin susah
memejamkan mata. Ia keluar dari kamar, menuju dapur, untuk mencari seteguk air
dingin.
Lastri membuka almari
es, mengambil sebotol air dingin lalu menuangkannya kedalam gelas. Ia duduk
dikursi dapur, meletakkan gelasnya dimeja, lalu meneguknya perlahan.
"Lastri.."
Lastri terkejut,
tiba-tiba saja Bayu sudah ada disampingnya. Menarik kursi dan duduk sangat
dekat disampingnya.
"Mas Bayu kok belum
tidur, "
"Kamu sendiri kan
juga belum tidur?"
"Iya, saya haus,
lalu mengambil air minum."
"Aku juga
haus.."
"Mau saya
buatkan teh hangat ?"
"Boleh, "
"Mas Bayu duduk
disana saja, nanti saya antar kesana."
"Nggak, aku duduk
disini saja."
Lastri membuatkan teh hangat,
dan diletakkannya dimeja.
Lastri membalikkan tubuh
bermaksud kembali kekamarnya.
"Lastri, masa aku
minum sendiri."
"Saya ngantuk mas,
biarkan saya tidur ya."
"Temani aku
sebentar saja, nggak enak minum sendirian."
Lastri kembali duduk,
tapi agak jauh dari Bayu.
"Kok menjauh
begitu? Sini lho Tri."
Tapi Lastri
menggelengkan kepalanya. Ia merasa badannya sudah panas dingin, karena Bayu
selalu berusaha mendekatinya. Ia harus menghindar supaya tak terjadi sesuatu
yang tak diinginkan. Lastri tau, setan ada dimana mana.
"Lastri, kamu
sendiri nggak membuat teh panas?"
"Saya sudah minum,
dan itu cukup."
Bayu meneguk tehnya,
pandangannyzza tak lepas dari wajah Lastri yang tampak cantik dibawah sinar
lampu dapur yang temaram.
Lastri tak tahan lagi.
Ia merasa luluh dalam pandangan majikan gantengnya. Ia berdiri dan masuk
kekamarnya. Tapi tiba-tiba Bayu menahan pintunya, sehingga Lastri gagal
mengunci pintunya.
Dirumah itu hanya ada
mereka berdua. Berhasilkah setan meruntuhkan iman yang semula kokoh digenggamnya?
*
Bersambung
&&&&&
*LASTRI
18*
Malam semakin larut,
Lastri terkulai lemas. Bayu masih terduduk dikursi dekat ranjang, Tak beranjak
sejak dia memaksa masuk kekamar Lastri. Ia tak menyangka Bayu senekat itu.
Hampir saja kesucian itu terkoyak. Gelora yang menggelegak dan darah muda yang
mendidih nyaris terlampiaskan.
Lastri menatap Bayu
dengan getar yang tak kunjung padam. Itu sebabnya tubuhnya lunglai. Susah payah
mereka mendinginkan kawah yang nyaris memuntahkan lahar. Beruntung ada iman
yang masih tergenggam erat. Beruntung setan-setan keparat berhasil terusir
minggat.
"Aku mencintai kamu
Lastri," bisik itu terdengar berulang kali. Lastri tenggelam dalam derita
yang menyengat. Apakah ia menyesal terlahir dari rahim seorang perempuan dari
kasta rendahan? Menyesal terlahir dilingkungan kumuh tak bersinar, dan
dibesarkan diantara kerak kemiskinan?
"Tidak.."
bisik Lastri lemah.
"Mengapa
tidak?"
"Mas Bayu tersesat
dalam cinta yang salah."
"Cinta tak pernah
salah. Ia datang mengisi jiwa manusia setiap dia inginkan. Cintaku berlabuh
dihati seorang perempuan dusun yang sederhana, tapi cantik bagai bidadari.
Cantik wajahnya, cantik hatinya. Karena kamulah perempuan itu, maka dosa yang
seharusnya menoreh kehidupan yang mulia ini tersingkirkan. Aku semakin
mencintai kamu Lastri."
Lastri menghela nafas.
Ia tak ingin mengatakan bahwa dia juga mencintai Bayu. Ia selalu merasa tak
pantas memiliki perasaan itu.
"Lastri,"
"Saya mohon,
keluarlah mas.. ini tidak pantas. Ini kamar seorang gadis.. dan mas Bayu sudah menguakkan
pintu dengan paksa."
"Tapi aku tidak
menguakkan kesucian kamu, karena kamulah perempuan yang aku impikan."
"Saya mohon,
keluarlah.." suara Lastri bergetar, menahan isak.
"Aku hanya mau
keluar setelah kamu mengatakan isi hati kamu."
"Saya sudah
mengatakannya."
"Tidak, ini tentang
cinta seorang Bayu. Jawabanmu akan menguatkan aku."
"Mas, saya
mohon."
"Jawab dulu, kamu
belum pernah menjawabnya, apakah kamu mencintai aku?"
"Tidak mas..."
bisik Lastri yang kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Kamu bohong
Lastri..."
"Sunggguh, sekarang
keluarlah, jangan menunggu setan-setan mengipasi hati mas lagi."
"Jangan membohongi
hati kamu Lastri. Tak ada yang melarang orang jatuh cinta."
"Tidak mas, ini
lebih baik."
"Tidak, ini buruk,
aku akan memintamu agar menjadi isteriku."
Lastri terguguk dalam
tangis yang mengharu biru. Bayu merasa trenyuh, ia berdiri dan mendekati Lastri
yang masih duduk ditepi ranjang. Ia merangkulnya erat. Lastri gemetar dalam
rangkulan orang yang dicintainya, tapi kemudian dia mendorongnya perlahan.
"Keluarlah mas,
saya mohon, ini tidak baik," pinta Lastri sambil merangkapkan kedua
telapak tangan.
Bayu surut kebelakang,
membalikkan tubuh, tapi sebelum keluar dari pintu, dipandanginya lagi Lastri
yang masih berlinangan air mata.
"Yang penting aku
sudah mengucapkan kata hatiku, dan aku sudah yakin bahwa kamu juga mencintai
aku."
Lalu ditutupnya pintu
itu, meninggalkan Lastri yang masih tenggelam dalam tangis. Bahagiakah Lastri?
Tidak, dia seperti tenggelam kedalam lautan yang dia tak mampu muncul
kepermukaan, terombang ambing oleh deru ombak yang menghantam jiwanya.
*
Lastri tak bisa tidur
semalaman, ketika ayam berkokok terdengar dikejauhan, dia keluar dari kamarnya.
Melakukan tugasnya, menjerang air, kemudian bersih-bersih rumah. Setelah itu
membuat roti bakar kesukaan Bayu lalu menyiapkan teh hangat dan roti itu
ditempat biasanya.
Ketika ia berbalik
kebelakang, dilihatnya Bayu sudah keluar dari kamarnya, Matanya sembab. Pasti
sama dengan dirinya, tak bisa tidur semalaman.
Tapi kemudian dia duduk
dan menghirup teh hangat buatan Lastri. Pikirannya melayang kearah peristiwa
semalam, dimana di hampir saja merobek masa gadis Lastri dengan perbuatan
nekatnya. Ia bersyukur, perempuan itu adalah Lastri, yang teguh memegang
kedudukannya sebagai wanita. Wanita dusun sederhana yang memiliki hati bersih
seputih melati. Cinta dihati Bayu semakin membara.
"Minumlah disini
Tri, temani aku," pinta Bayu.
"Saya sudah minum
dibelakang mas. Mas minumlah dulu dan nikmati roti bakarnya, saya mau mandi
lalu kepasar. Mas Bayu mau dimasakin apa?"
"Tidak, nggak usah
kepasar Tri, kita akan mengembalikan mobilnya mas Timan, lalu kita sarapan
diluar."
"Saya harus
ikut?"
"Ikut saja Tri,
daripada dirumah sendirian."
Lastri mengangguk,
kemudian meneruskan langkahnya kebelakang.
Bayu menikmati roti
bakar buatan Lastri, meneguk teh hangat yang juga buatan Lastri. Itu seperti
biasa dialaminya setiap pagi, namun pagi itu terasa lain. Ia seperti menjadi
seorang tuan rumah dan Lastri adalah isterinya. Bahagianya bangun pagi sudah
dilayani isteri. Bayu melamun kemana-mana. Akankah hal itu bisa terjadi? Bayu
juga memiliki mimpi, yang harus diraihnya. Ia tersenyum sendiri, kemudian
menghabiskan sepotong roti yang sudah digigitnya, lalu berdiri dan bersiap
untuk mandi.
*
Hari itu Minggu, tapi
Sapto belum ingin mandi. Ia duduk diteras rumah dan menyandarkan kepalanya
dengan lesu. Kejadian semalam membuatnya seperti terjatuh dari ketinggian, meluluh
lantakkan semua angan dan keinginannya. Ada yang mengherankan, seorang
perempuan desa, pembantu, memiliki hati yang kokoh, mampu membuatnya surut,
lalu menyadari semua sepak terjangnya yang tak terkendali.
Sapto menyadari bahwa
masa mudanya direguk sia-sia. Tak ada yang didapatkan. Kesenangan yang
dilaluinya hanyalah kepuasan semu yang tak membuatnya bahagia. Ia terpuruk
dalam kegelapan yang meliputi nuraninya. Bagaimana bangkit dari semua ini?
Sapto memejamkan
matanya, dan mata itu masih juga terpejam ketika didengarnya langkah-langkah
mendekat. Dibukanya matanya lalu dilihatnya dua orang yang dikenalnya,
menatapnya dengan pandangan gusar. Sapto berdiri.
"Bayu, Lastri,
silahkan masuk," sapanya kaku. Ia tau Bayu akan sangat marah, mungkin akan
menghajarnya, membuatnya jatuh bangun penuh luka. Tapi Sapto berjanji tak akan
melawannya.
"Silahkan
masuk.." ulangnya.
Tapi Bayu tak bergeming.
Ia berdiri didepan tangga teras, Lastri disampingnya, agak kebelakang.
"Aku disini saja
dan hanya sebentar."
Sapto melihat sosok
laki-laki sahabatnya itu tidak sedang bersiap mengayunkan bogemnya.
"Bayu, aku minta
ma'af. Aku khilaf, dan aku siap menerima hukumannya. Kau boleh menghajarku,
bahkan membunuhku."
"Aku tak mengira
kau memiliki niat busuk. Kau lupa bahwa aku adalah temanmu, sahabatmu."
"Aku khilaf, aku
menyesal. Ma'af Bayu, ma'af Lastri."
"Aku berharap kau
akan menjadi baik,"
"Aku berjanji, aku
akan berubah."
Mata nyalang itu tak
tampak lagi, Sapto tampak lesu tak bersemangat. Diam-diam Lastri merasa iba. Ia
harus mema'afkannya, karena dia berjanji akan berubah. Tapi Lastri tak
mengucapkan apapun. Ketika memasuki halaman rumah Sapto, Lastri sudah bersiap
menghalangi seandainya Bayu akan mengamuk dan menghajar Sapto, tapi Lastri
merasa lega karena Bayu tidak melakukannya.
"Aku akan memegang
janjimu. Ingat persahabatan kita Sapto, jangan sampai ternoda oleh kelakuan
burukmu. Kamu harus tau, aku mencintai Lastri."
Sapto mengangguk, dia
sudah menduga. Dilihatnya Lastri yang kemudian menundukkan kepalanya. Tampaknya
ia malu, atau entah apa yang difikirkannya.
"Sekali lagi
ma'afkanlah aku."
Lastri menggamit lengan
Bayu, mengajaknya segera pergi.
"Baiklah, aku
permisi," kata Bayu yang kemudian menggandeng Lastri untuk pergi.
"Mengapa bilang
begitu dihadapan mas Sapto?" protes Lastri sambil berjalan keluar.
"Nggak apa-apa,
biar Sapto tau, kalau enggak, dia juga bisa jatuh cinta beneran sama
kamu."
Lastri mencibir, dan Bayu
ingin mencubit bibir itu.
Sapto berdiri diteras,
memandangi kepergian sahabatnya. Agak heran ketika melihat Bayu mengendarai
colt terbuka. Dalam hati dia bertanya, bukankah itu colt yang aku lihat ketika
aku pergi dari rumah keluarga Marsudi?. Sapto tak mau tau apa yang terjadi, ia
merasa lebih lega, lalu memasuki rumah dan mandi. Ia harus mengguyur tubuhnya
agar merasa segar, sesegar perasannya ketika kedatangan Bayu bukan untuk
menghajarnya.
Tapi sungguh ia berjanji
pada dirinya, bahwa langkah yang dilaluinya akan berubah. Dan langkah pertama
yang akaan dilakukannya adalah mengganti nomor kontaknya. Banyak gadis-gadis
menelponnya hampir setiap hari, mungkin merindukaan dirinya, mungkin
mengajaknya kencan atau makan disebuah restoran. Sekarang tak ada lagi. Hari
ini juga langkah itu akan dilakukannya.
*
Ketika sampai dirumah
Timan, dilihatnya Timan sudah duduk dikursi depan. Rumah kuna yang
ditinggalinya adalah peninggalan kedua orang tuanya. Timan hanya membenahi apa
yang sudah aus, tapi tak merubah bentuknya. Teras depan yang terbuka, lalu
ruangan dalam yang luas, dipenuhi perabot-perabot tua yang masih terawat
rapi.Tak ada kesan mewah, tapi nyaman untuk ditinggali.
Menyenangkan duduk-duduk
diteras yang sejuk oleh semilir angin yang menyentuh dedaunan. Kebunnya
yang luas, dipenuhi pohon-pohon buah. Ada mangga dan jambu. Ah ya, Lastri
pernah ditawari buah jambu itu. Ketika melihat kearah pohon itu Lastri tak
melihat lagi ada buah disana.
"Jambunya sudah
habis ya mas?" tanya Lastri.
"Ya, sudah habis."
"Kita pernah
memakannya kan mas?"
"Iya, enak dan
segar," jawab Bayu sambil tersenyum. Ia lebih mengamati wajah Timan
yang masih tampak sembab. Bayu merasa sangat bersalah.
"Bagaimana perasaan
mas Timan? Mana yang masih terasa sakit?"
"Sudah baik, kan
sudah dikasih obat?"
"Masih nyeri
?"
"Nggak juga. Bibir
yang terluka sudah diberi salep. Ini sudah nggak terasa perih. Mungkin sehari
dua hari akan pulih."
"Saya minta ma'af
ya mas?"
"Lupakanlah, saya
bisa mengerti, sebentar, saya ambilkan jeruk ya... sama mau minum apa?"
"Sudah, jangan
repot-repot mas, duduk saja, kami hanya mau mengantarkan mobil mas Timan,"
kata Bayu.
"Terimakasih banyak
mas, sebenarnya saya bisa mengambilnya sendiri."
"Ya nggak boleh
begitu, saya berkewajiban mengantarkan mobil itu. Kan saya sudah berjanji tadi
malam?"
"Kalau begitu saya
bawakan jeruk saja. Saya sudah bilang sama Lastri, jeruknya masih segar dan
manis," kata Timan sambil beranjak kebelakang. Timan tersenyum
sendiri. Kemarin sore dia mengatakan bahwa jeruknya manis kayak Lastri. Tapi
tadi ia sungkan mengucapkannya.
Timan merasa seperti ada
apa-apa antara Bayu dan Lastri. Patah hati deh aku, kalau itu benar, bisik
batin Timan. Oh ya, rupanya Timan juga jatuh hati sama Lastri. Tapi rasa itu
surut. Timan tak mau terjerumus dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Cukuplah Lastri akan tetap menjadi sahabat
baginya. Betapa mulia hati Timan.
Bayu dan Lastri saling pandang
begitu Timan keluar dan membawa sebungkus buah jeruk.
"Ya ampun
mas, banyak sekaliiiii... sedikit saja," teriak Bayu.
"Iya mas Timan tuh,
saya sisakan disini separo ya."
"Jangan, biar saja.
Nggak bagus lho menolak rejeki."
"Padahal kami mau
pulang lho," kata Lastri.
"Iya, supaya mas
Timan bisa istirahat lebih banyak."
"Lha nanti pulang
naik apa? Biar saya antar, kata Timan sambil berdiri.
"Jangan mas, kami
mau naik taksi saja, kami masih mau mampir-mampir." kata Bayu yang
kemudian menggamit lengan Lastri mengajaknya segera berpamit.
"Lha kalau begitu
panggil taksi saja dulu dan ditunggu disini."
"Nggak usah mas,
kami bisa sambil jalan.
"Terimakasih
jeruknya lho mas," kata Lastri.
"Oh ya, ponselmu
bagaimana ?" tanya Timan.
"Belum sempat
diperbaiki mas, ini kami bawa, kalau sudah nggak bisa diperbaiki lebih baik
beli saja, nanti gampang, jawab Bayu.
Lalu keduanya melangkah
keluar dari halaman rumah Bayu.
Timan memandangi kedua
sejoli itu dengan perasaan lega.
"Baguslah kalau
Lastri mendapatkan suami seperti mas Bayu. Sepertinya dia baik, dan bisa
melindunginya. Aku akan bahagia kalau kamu bahagia Lastri," bisik Timan
yang kemudian masuk kedalam rumah.
*
Hari itu Bayu mengajak
Lastri berkeliling kota. Tak apa walau naik taksi. Mereka sarapaan disebuah
warung pecel, yang terletak dipinggiran kota, lalu ketoko ponsel dan membeli
yang baru untuk Lastri. Lastri sudah melarangnya, tapi Bayu nekat. Terpaksa
Lastri menyerah. Setelah itu mereka duduk-duduk ditaman, seperti sepasang
sejoli yang sedang dimabuk cinta. Tapi Lastri tetap tak mau berbicara tentang
cinta.
"Baiklah, cukup aku
mengatakan bahwa aku cinta kamu, dan aku juga tau bagaimana perasaanmu
terhadapku," kata Bayu mengulang kata-katanya semalam.
Bayu yakin, Lastri hanya
merasa tak sepadan dengan dirinya, tapi Bayu tak perduli.
Lastri tak menjawabnya,
walau itu benar.
Ketika lelah
berputar-putar, mereka makan siang disebuah restoran, dan sore hari baru
beranjak pulang.
Namun mereka terkejut
melihat pintu rumah terbuka. Bayu melangkah cepat kerumah, diikuti Lastri yang
setengah berlari tersaruk-saruk.
Bayu berendap-endap
begitu sampai dipintu masuk, perkiraannya adalah ada penjahat memasuki
rumahnya. Tapi Bayu tak melihat pintu itu rusak. Berarti sang penjahat masuk
dengan memiliki kunci yang sama. Ya Tuhan, apakah itu Sapto? Bukankah dia
memiliki kunci duplikat yang katanya diberi sama ayahnya? Pikir Bayu.
Ia menoleh kearah Lastri
dan berbisik: " Sapto lah yang memiliki kunci duplikat bukan?"
Tapi Lastri menggeleng.
"Kunci itu sudah
diberikan sama saya," katanya.
Bayu masuk dengan
hati-hati.
"Kamu diluar
saja," kata Bayu pelan. Ia khawatir penjahat itu akan menyerangnya dan itu
adalah bahaya bagi Lastri yang seorang gadis.
"Hati-hati
mas," bisik Lastri khawatir.
Bayu mengangguk dan
terus melangkah kedalam. Ia belum menemukan siapa-siapa. Tapi ketika ia tiba
diruang tengah, didengarnya suara orang bercakap, dan suara itu amat
dikenalnya. Bayu langsung masuk dan melihat ayah ibunya sedang berdebat, dan
juga menyebut-nyebut namanya.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar