*LASTRI
27*
Lastri menunggu didepan
rumah, supaya Marni tak menduga bahwa dia
mendengar perkataan bu lurah terhadap Marni. Namun ketika tiba-tiba
Marni keluar dari rumah itu, ia tak perduli pada Lastri yang sedang menunggu. Ia
langsung bergegas pergi.
"Eh.. yu Marni!!
Yuuu ! Tunggu yu !!" teriak Lastri yang mengejar setengah lari.
"Tunggu yu !!"
teriaknya sambil terus berlari.
Terengah Lastri ketika
sudah sampai didekatnya.
"Yu, kok tiba-tiba
aku kamu tinggalin."
Marni tak termenjawab.
Ia mempercepat langkahnya, lalu ketika tiba dirumah mbah Kliwon, ia masuk dan
menangis diatas lincak didepan rumah. Lastri mengikutinya.
"Ada apa yu? "
Marni masih tetap
terisak. Lastri masuk kedalam, mengambil gelas yang diisinya dengan air putih.
"Minumlah dulu yu, supaya
lebih tenang. Ada apa?"
Marni meneguk sedikit
air yang diberikan Lastri.
"Sekarang yu Marni
harus tenang dulu. Kalau boleh, saya ingin tau, mengapa tiba-tiba yu Marni
bersikap seperti ini ?"
"Ini gara-gara
kamu, Lastri !" kata Marni sambil memandang tajam Lastri, sementara air
mata masih berlinang disana.
"Kok gara-gara aku
yu? Aku salah apa?"
"Karena ada kamu,
bu lurah mau kamulah yang jadi menantunya."
"Ya ampun yu, kok
bisa begitu?"
"Kamu pura-pura
baik sama aku, pura-pura senang kalau aku jadian sama mas Mardi, tapi ternyata
kamu menusuk aku dari belakang !! Kamu culas Lastri."
Lastri berdiri, dan
merangkul pundak Marni.
"Yu, aku bersumpah,
sama sekali aku tak ingin menjadi isterinya kang Mardi. Dia seperti kakakku,
tak ada perasaan apa-apa dihatiku yu."
"Nyatanya bu lurah
bilang begitu sama aku."
"Kalau kemauan bu
lurah, entahlah, tapi aku tidak mau. Aku sudah memiliki seseorang, walau tak
harus menjadi isterinya, tapi hatiku tak akan berpaling yu. Tak ada laki-laki
lain dihatiku."
"Mengapa bu lurah
begitu yakin?"
"Aku nggak tau
yu...tapi percayalah, aku tak akan mau menjadi isterinya kang Mardi. Sungguh.
Tanyakan pada kang Mardi, dia banyak mengetahui tentang aku, keadaanku, kisah
cintaku dengan seseorang. Dia juga tak ingin menjadi suamiku."
"Kata-katanya
sangat menyakitkan aku..." isaknya.
"Sabar yu, pasti
nanti akan ada jalan keluarnya. Ya sudah, ayo bantuin aku, katanya mau
ngebantuin... ," kata Lastri sambil menarik tangan Marni kedalam rumah.
Sebenarnya aku hari ini
mau bikin nagasari, tapi karena kamu sudah membawakan pipis katul, nagasarinya
besok saja. Nah, ini kan? Banyak sekali. Hm.. baunya sedap. Aku boleh ngincipin
satu kan?"
Marni mengangguk, ia
senang ternyata Lastri tak menyukai Mardi.
"Nanti aku bicara
sama kang Mardi. Atau kalau nanti ketemu, kamu bisa bicara langsung, ya
kan?"
"Kamu saja Tri,
sungkan aku."
"Ya sudah, biasanya
kalau sore kami bisa berbincang banyak hal. Nanti aku akan ngomong so'al
kata-kata ibunya tadi. Sudah, sekarang letakkan makanan ini di baki dan taruh
dimeja depan, aku mau buat minuman, lalu menanak nasi."
*
Siang hari itu ketika
pulang kerumah untuk makan, Mardi melihat bungkusan disudut meja dapur, seperti
teronggok begitu saja. Mardi tertarik pada bungkusan-bungkusan itu, ia seperti
mengenali siapa pengirimnya.
"Bu, ini apa? Harum
baunya, ini kan kesukaanku. Dari Marni ya?"
"Sudah, makan saja
dulu, itu sudah ada ikan goreng, sayur asem, sambal terasi, lalapan."
"Ini dari Marni
kan? Kasihan, mengapa ibu tak menempatkannya dipiring," kata Mardi yang
kemudian mengambil piring dan menata bungkusan-bungkusan daun pisang yang
sangat dikenal aromanya, lalu diletakkannya dimeja makan.
Mardi membuka satu
bungkusan dan melahapnya dengan nikmat.
"Disuruh makan
dulu, kok malah makan itu." omel bu lurah.
"Ibu lupa, ini kan
kesukaan Mardi?"
"Kalau kamu suka,
besok ibu akan buatkan. Memangnya hanya Marni yang bisa membuatnya?"
"Lho, kok ibu
seperti sentimen begitu. Sudah dikasih, harusnya kita berterimakasih,"
kata Mardi sambil menyendokkan nasi dipiringnya.
"Siapa yang
sentimen, ibu cuma nggak suka sikap Marni yang kelihatan sekali mengejar-kejar
kamu."
"Marni bukan
mengejar Mardi bu, dia memang baik. Mardi suka kok," katanya sambil
mengiris sedikit ikan, dan mengunyah lalapan yang sudah dibubuhi samba
"Kamu bilang apa?
Suka? Kamu suka sama Marni?"
"Marni itu gadis
yang baik. Mardi sudah kenal lama dan mengerti hatinya."
"Mardi, kamu lupa
bahwa disini ada Lastri. Lastri yang cantik, yang baik, yang tidak suka
menerima sebuah pemberian. Itu sangat menarik. Dia pantas menjadi menantu
ibu."
Mardi diam, ia tampak
menikmati ikan goreng yang gurih ditambah sambal yang pedasnya minta ampun.
"Ibu ingin Lastri
lah yang akan menjadi isterimu."
Mardi masih mengunyah
makanannya pelan, dan menambahkan lagi sesendok nasi.
"Pedasnya minta
ampun bu, tapi Mardi suka sambal buatan ibu."
"Mardi, Marni itu
suka sama kamu karena kamu sudah jadi lurah. Siapa yang nggak suka jadi isteri
lurah yang ganteng kaya anak ibu ini?"
"Bu, bolehkah Mardi
minta diambilkan minum? Kepedasan nih," kata Mardi yang pura-pura tak
mendengar kata-kata ibunya. Ia sibuk menghabiskan makan siangnya yang dinikmati
dengan perasaan yang mengharu biru. Dia tau apa maksud ibunya, tapi belum ingin
menanggapi.
"Ah ya, ibu
lupa," kata bu lurah sambil berdiri, lalu mengambilkan segelas air putih
untuk Mardi.
"Kamu dengar
kata-kata ibu?"
"Terimakasih bu.
Hm, enak sekali makan siang kali ini."
"Kamu tidak
mendengar ibu berkata-kata?"
"Oh ya, yang mana
bu."
"Marni itu suka
kamu karena kamu adalah lurah muda yang ganteng. Siapa sih yang nggak ingin
jadi isteri pejabat?"
"Oh, ibu salah
sangka. Mardi dan Marni sudah lama dekat, jauh sebelum Mardi lulus sekolah.
Jadi dia suka bukan karena Mardi ini lurah."
Bu lurah tak menjawab.
Sesungguhnya itu memang benar. Marni sudah lama dekat dengan Mardi, dan bu
lurah juga mengakui bahwa dulu dia suka melihat kedekatan mereka. Tapi sekarang
ada Lastri, gadis yang jauh lebih sempurna dari Marni. Kalau ada yang lebih
baik, mengapa harus memilih yang kurang baik?
"Sudah ya bu, Mardi
mau kembali ke kelurahan, siang ini ada pak Camat yang mau datang dan meninjau
desa kita."
"Tapi Di, kamu
harus ingat, bahwa Lastri lebih baik dari Marni, Lastri juga punya pendidikan
yang lebih tinggi dari Marni. Biarpun Marni itu anak orang kaya, tapi bukankah
Marni hanya lulusan SMP?" kata bu lurah sambil mengantarkan Mardi berjalan kedepan.
"Yang terbaik itu
adalah apabila hati kita bisa menyatu, kalau tidak, mana mungkin bisa
ketemu?"
"Lastri akan mau,
karena kita baik kepadanya."
"Jadi kita menjual
kebaikan kepada Lastri? Karena ada pamrih?"
Mardi mencium tangan
ibunya dan turun ke halaman, meninggalkan ibunya yang menatapnya dengan kesal.
Masa sih, nggak suka sama Lastri? Gadis secantik dan sepintar itu? Malah dia
menuduh aku ada pamrih segala. Pikir bu lurah. Tapi bahwa itu benar, bu lurah
segan mengakuinya.
*
Malam itu pak Marsudi
hanya duduk berdua dengan isterinya. Baru saja Bayu pergi keluar, katanya hanya
ingin jalan-jalan saja.
"Bu, aku kesal sama
anakmu," keluh pak Marsudi.
"Lha kesal kenapa
lagi pak? mBok ya jangan cari-cari masalah lagi."
"Bukan cari
masalah. Anakmu itu, aku kenalkan sama Reni, bukannya kemudian Reni dekat sama
dia, malah dekat sama Sapto. Bagaimana ini?"
"Bapak itu juga
aneh. Sudah tau kalau Bayu nggak suka dijodoh-jodohin, masih saja berusaha
untuk itu."
"Reni itu kan
cantik. Siapa sing yang nggak suka gadis cantik?"
"Jadi bapak juga
suka sama Reni?"
"Lho, ibu kok terus
cemburu begitu."
"Idiih.. bapak.. kayak
anak muda saja menuduh ibu cemburu. Habisnya bapak bilang semua orang pasti
suka gadis cantik."
"Suka itu kan
macam-macam bu, kalau bapak, suka menjadikannya menantu, bukan untuk bapak
sendiri."
"Sudah pak, jangan
bapak mencari-carikan gadis cantik lagi untuk Bayu, nanti dia malah marah
lho."
"Bagaimana kalau
Lastri tidak bisa ditemukan? Apa dia akan terus begitu ?"
"Entahlah pak,
ibu hanya bisa berdo'a saja, semoga yang
terbaiklah untuk anak kita."
"Bapak bingung pada
selera anak kita, mengapa Lastri.. dan bukan lainnya?"
"Namanya juga
cintanya sama Lastri, mau bagaimana lagi?"
"Keburu tua kita
ini ya bu."
"Sabar pak, nanti
juga Bayu pasti akan ketemu jodohnya. Ayo kita makan malam saja, Bayu nggak
mungkin makan dirumah. Paling dia kerumah nak Sapto, atau nak Timan."
*
"Kalau aku
main kesini mengganggu mas Timan
nggak?" kata Bayu ketika ada dirumah Timan malam itu.
"Ya enggak, malah
seneng lho mas ada yang nemenin ngobrol." jawab Timan sambil menghidangkan
wedang jahe anget dimeja tamunya.
"Saya sering
bingung mau main kemana. Kalau dirumah gelisah terus rasanya."
"Kalau mas Bayu
sedang ingin mencari teman berbincang, datang saja kemari. Saya kan cuma
sendirian, jadi kalau ada yang menemani malah senang. Itu wedang jahenya mas,
mumpung masih anget."
"Terimakasih ya.
Tadi sedianya mau kerumah Sapto, tapi ternyata Sapto nggak ada dirumah.
Sekarang dia sibuk dengan pacar barunya."
"Oo, biar saya
tebak, pacarnya pasti itu, yang ketemu ketika bu Marsudi ulang tahun itu
kan?"
"Benar, tampaknya semakin
dekat dia, semoga dia serius kali ini."
"Memangnya dulu
sering nggak serius mas?"
"Dulu dia sering
ganti-ganti pacar, nyebelin ."
"Orangnya ganteng
sih pasti banyak yang suka."
"Benar mas, dia itu
ganteng, royal.. tapi aku berharap kali ini dia serius. Kasihan kalau hanya
untuk main-main juga."
"Semoga ya
mas."
"Dia sudah berjanji
akan kapok bermain-main, semoga ini adalah jodohnya."
"Aamin. Omong-omong
belum ada berita tentang Lastri?"
"Belum mas, bapak
sudah pasang iklan terus. Masa dia nggak membaca ya mas?"
"Mungkin tidak
berlangganan koran, atau sekitarnya nggak ada yang suka baca-baca koran."
"Mungkinkah aku tak
akan bisa menemukan Lastri?" kata Bayu sedih.
"Jangan patah
semangat mas, kita harus tetap berharap, percayalah kalau memang Lastri itu
jodohnya mas Bayu, pasti suatu hari akan ketemu."
"Aku akan terus
berharap."
"Dan saya akan
terus mendo'akan agar Lastri dan mas Bayu bisa bersatu."
"Terimakasih ya
mas."
*
"Kang, aku mau
bicara," kata Lastri sepulang kerja.
Ia sengaja duduk dipelataran
yang agak jauh dari rumah supaya bu lurah tak mendengar pembicaraannya. Ada
sebuah pohon sawo yang dibawahnya ada lincak tempat bersantai, dekat jalanan.,
disitulah mereka duduk.
"Ada apa ya,
penting sekali?"
"Sangat
penting."
"Baiklah, ada apa?
Tapi begini, biar aku dulu yang ngomong, keeburu lupa. Aku sebenarnya sedang
memikirkan sebuah usaha untuk kamu. Aku akan membantu."
"Usaha apa?"
Lastri menghentikan keinginannya bicara tentang Marni, karena kata-kata Mardi
lebih menarik hatinya.
"Sebenarnya sudah
lama aku memikirkannya, jauh sebelum kamu datang."
"Katakan apa itu
kang."
"Dusun kita ini kan
kaya akan sayur dan buah, tapi masih banyak petani miskin karena mereka hanya
menjual kesekitar dusun ini. Kebanyakan mereka membawa pulang sisa sayur yang
sudah layu dan akhirnya dibuang begitu saja."
"Iya benar kang ,
ketahuilah, aku juga memikirkannya."
"Jadi harus ada
yang mau memborong lalu menjualnya kekota. Artinya kita akan membeli sayuran
atau buah-buahan itu, lalu kita menjualnya kekota yang agak jauh dari
sini."
"Ada semacam wadah
untuk mengumpulkan hasil panen mereka ya kang."
"Nah, itu benar
Tri."
"Tapi harus ada
modal untuk membelinya."
"Kita akan
punya."
"Aku punya uang
sedikit."
"Ayo kita
kumpulkan, uang kamu berapa, uangku berapa."
"Bagaimana kita
membawanya kekota?"
"Pasti aku tidak
akan menyuruh kamu menggendongnya Lastri,
Nanti akan ada sebuah colt terbuka yang akan bisa dipakai untuk
mengangkut harta karun dusun ini."
Wajah Lastri
berseri-seri. Sebuah usaha, yang semoga menguntungkan sehingga dia bisa segera
mengembalikan uang bu lurah. Sa'at ini hanya itu yang Lastri pikirkan.
"Hei, kok malah
melamun?"
"Iya mas, aku
melamunkan sesuatu, karena aku punya hutang banyak."
"Hutang apa
sih?"
"Mas, aku sudah
bilang akan mengembalikan uang bu lurah yang dipakai untuk membangun rumah itu.
Karenanya aku bersemangat untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan.
Usaha kita ini akan
meringankan beban para pemilik kebun, karena mereka tidak akan susah susah menggendongnya
sendiri kekota. Nanti dirumahku saja ngumpulinnya ya kang, mudah-mudahan segera
jadi."
"Bagus Tri. Ya
sudah, ini sebuah gagasan yang mudah-mudahan akan berhasil."
"Ya mas, aku
tertarik, nanti kita akan memikirkan kelanjutannya. Aduh, aku bersemangat
sekali kang."
"Baiklah, sekarang
katakan, kamu tadi mau mengatakan sesuatu kan?"
"Oh, iya kang, ini tentang yu
Marni."
"Lho,. kok tentang
Marni?"
"Memang iya, tadi
pagi yu Marni merasa sedih sekali kang, kasihan aku melihatnya."
"Kenapa dengan
dia?"
Lalu Lastri menceritakan
kedatangan Marni kerumah dengan membawa oleh-oleh, tapi malah disakiti hatinya
oleh bu lurah.
"Masa kang, bu
lurah bilang bahwa aku ini adalah bakal menantunya, ya sakit dong hatinya yu
Marni."
Mardi menghela nafas.
Dia sudah tau bahwa itu keinginan ibunya, tapi Mardi tak mengira ibunya akan
mengatakan itu pada Marni.
"Apa Marni marah
sama kamu?"
"Tadinya iya kang,
menuduh aku menusuk dari belakang segala. Tapi kemudian aku mengatakan bahwa
aku tidak cinta sama kang Mardi."
"Karena sudah ada
seseorang kan?" goda Mardi.
Lastri yang tersipu
kemudian mencubit lengan Mardi, yang kemudian membuat Mardi berteriak
kesakitan.
"Auuww... sakit tau
!"
Tapi pada sa'at itu
sepasang mata memperhatikan keduanya dengan darah mendidih. Serta merta dia masuk kehalaman rumah bu
lurah, langsung menuju kearah lincak yang ada dibawah pohon sawo, dan menuding
Lastri dengan penuh amarah.
"Penghianat kamu
Lastri !!" teriaknya.
*
&&&&&&
*LASTRI 28*
Lastri dan Mardi
terkejut setengah mati. Didepannya berdiri seorang gadis dengan amarah yang
meluap luap. Jari telunjuknya mengarah kewajah Lastri yang kemudian mundur
beberapa langkah kebelakang.
"Yu, sabar yu...
sabar.." kata Lastri sambul berusaha menurunkan tangan Marni.
"Sabar.. sabar !
Kamu itu manusia berbulu domba, tau. Kelihatannya baik, ternyata kamu culas.
Kamu membohongi aku!!" ucapan Marni masih disertai darah yang mendidih.
Mardi maju, menghalangi
Marni menghujat Lastri dengan kata-kata pedas.
"Sabar Marni, sabar
dulu.. Lastri tidak punya salah apa-apa."
"Iya mas, aku tau,
pasti kamu akan membela dia. Sikap manismu hanya pura-pura. Setelah kedatangan
perempuan ini semuanya jadi berubah. Kamu, ibumu, semua tidak seperti
dulu."
"Kamu salah Marni,
Dengar dulu penjelasanku. Sini, duduklah dulu aku mau bicara."
Marni mengibaskan tangan
Mardi yang menggamit lengannya dan mengajaknya duduk. Ia tetap berdiri dan
menuding-nuding wajah Lastri. Lastri menjauh, dalam keadaan seperti itu sangat
susah mengajaknya bicara.
"Baiklah, kalau
nggak mau duduk dan biccara, ayo aku antar pulang. Nanti sambil jalan aku akan
jelaskan."
"Tidak ada
penjelasan apapun. Sikap kaliyan tadi sudah jelas bagiku, sudah jelas
sejekas-jelasnya."
"Ada apa
ribut-ribut ini?"
Tiba-tiba bu lurah turun
kehalaman dan mendekati mereka. Melihat kedatangan bu lurah, Marni kemudian
membalikkan tubuhnya dan keluar dari halaman, sambil menangis terisak-isak.
"Kang, kejar dia
kang !!" kata Lastri.
Mardi segera berlari
mengejar.
"Ada apa ini? tanya
bu lurah setelah dekat dengan Lastri.yang masih terbengong-bengong.
"Itu...
tadi..." sesungguhnya Lastri ragu untuk bicara.
"Itu tadi Marni
bukan ? Kenapa dia? Seperti marah-marah, begitu?"
"Anu bu, dia..
mungkin.. salah faham.."
"O, aku tau, dia
marah karena kamu duduk berduaan dengan Mardi bukan?"
"Itu... tadi..
hanya.. salah faham, nggak apa-apa kok bu."
"Terus kenapa Mardi
mengejar dia?"
"Mung.. mungkin untuk
menjelaskan, tapi nggak apa-apa kok bu," jawab Lastri seakan menutupi
kejadian yang sesungguhnya.Tapi dia bingung akan berkata apa, karena ia tau bu
lurah melihat sekilas adegan itu. Harapannya adalah agar bu lurah tidak marah
pada Lastri. Tapi...
"Memang Marni itu
begitu. Kalau ngomong suka seenaknya. Dia itu mengejar-kejar Mardi terus,
padahal Mardi tidak suka sama dia," omelnya.
Lastri tak menjawab, dia
kemudian melangkah masuk kedalam rumah, diikuti bu lurah dari belakang.
"Mengapa juga tadi
Mardi mengejarnya? Gadis yang tak tau malu dia itu," omel bu lurah.
Lastri tak menjawab.
Kalau dia menjawab pasti omelannya akan bertambah panjang.
*
"Marni, tunggu Marni.
Kamu terburu nafsu. Kamu salah sangka."
"Mengapa kamu
mengikuti aku mas? Aku kira kamu tak usah lagi memperdulikan aku, toh aku bukan
gadis cantik yang pintar.. Marni gadis desa, tidak punya pendidikan seperti
layaknya gadis kota. Lastri itu berbeda."
"Kamu ngomongnya
ngelantur Marni."
Mereka sudah sampai
didepan rumah Marni. Mardi memaksa masuk karena belum bisa berbicara dengan
Marni.
"Mau apa kamu ini
mas?"
"Marni, tadi itu
Lastri baru membicarakan kamu. Kamu dan aku. Jangan mengira kami sedang pacaran."
"Oh ya? Baik hati
benar dia?" katanya sinis.
"Dia memprihatinkan
hubungan kita, dia juga mengatakan bahwa tadi pagi ibu menyakiti kamu. Aku
terkejut. Sedianya besok pagi aku akan menemui kamu dan menjelaskan
semuanya.Tapi keburu kamu marah-marah."
"Oh ya, kalau
memang bicara tentang hubungan kita, mengapa pake cubit-cubitan segala?"
"Ya ampun, itu tadi
karena aku menggodanya tentang pacar yang ditinggalkannya dikota. Dia kesal
karena aku meledeknya."
"Benarkah ?"
Marni terdiam. Mardi
merasa lega karena nada suara Marni mulai menurun.
"Besok kita akan
bicara banyak. Intinya hatiku tak akan berubah. Sekarang sudah malam, nggak
enak dilihat orang kita berduaan disini."
Marni mengangguk. Pak
lurah muda tak boleh tercemar gara-gara menyambangi rumah seorang gadis. Dia
lega karena Mardi mengatakan bahwa hatinya tak berubah. Senyum yang tersungging
dihatinya tak terbaca dibibirnya karena malu dan sungkan. Masa tadi marah-marah
lalu tiba-tiba tersenyum? Tapi ketika Mardi pulang, Marni bersenandungkan lagu
cinta sambil masuk kedalam kamarnya.
*
Malam itu bu lurah duduk
menunggu kembalinya Mardi. Kemarahannya memuncak melihat Mardi mengejar Marni.
Bu lurah harus mengatakan bahwa dia tak rela bermenantukan Marni.
Mardi naik kerumah dari
halaman, dan dilihatnya ibunya masih menunggu di lincak diteras rumah.
"Ibu kok belum
tidur?" sapanya pelan. Ia sudah tau bahwa ibunya pasti akan menegurnya,
dan kali ini lebih keras.
"Dari mana
kamu?" tegur bu lurah dengan nada kaku.
"Dari...."
"Dari rumah Marni
kan?" tanya bu lurah memotong jawaban Mardi yang belum tersampaikan.
"Iya bu."
"Apa sebenarnya
maksudmu ?"
"Ibu, Mardi
mengantarkan Marni pulang."
"Dia datang sendiri
kemari, mencari keributan, mengapa kamu harus mengantarnya?"
"Ada yang harus
Mardi katakan. Mengapa ibu seakan benci saama dia? Dia tidak bersalah, hanya
salah faham."
"Dengar Mardi,
walau kamu membelanya ibu tetap saja tidak suka.. Ada yang lebih baik, maka
pilihlah yang lebih baik itu." tajam kata bu lurah.
Mardi terdiam beberapa
sa'at.
"Kamu sudah dekat
sama Lastri, lanjutkan saja, dia itu yang terbaik untuk kamu kok."
"Ibu, biarkan Mardi
bicara. sebuah hubungan itu akan baik, apabila disertai rasa saling suka. Kalau
ibu suka, Mardi suka tapi Lastri tidak suka, bagaimana? Bisakah terjadi?"
"Tentu saja bisa,
habisnya kamu tidak berusaha, kamu sudah tergila-gila sama Marni."
"Tidak bu, ada
sebuah cerita yang disembunyikan Lastri.Yaitu tentang kisah cintanya dengan
seseorang dikota sana."
"Iya, ibu sudah
menduga, dia cinta sama juragan kaya, atau pejabat tinggi, dan ditolak tentu
saja, memangnya dia itu siapa?"
"Ibu jangan
begitu.Lastri justru menghindari kekasihnya karena merasa dirinya rendah. Dia sangat menderita bu, dia tak bisa
melupakan kekasihnya, dia tak akan berpaling, walau ibu memberikan banyak
iming-iming."
"Mardi, kamu tidak
mau berusaha?"
"Lastri seorang
gadis yang keras. Mardi maupun ibu tak akan bisa meluluhkannya, apalagi tentang
cintanya."
"Ibu sudah habis
berpuluh-puluh juta.." kata bu lurah agak keras.
"Ibu, pelankan suara
ibu," kata Mardi khawatir.
"Itu benar
kan?"
"Itu kemauan ibu,
dan membuat Lastri tersinggung kan?"
Bu lurah mendengus
kesal.
"Tolong mengertilah
ibu, Mardi suka sama Marni, dia gadis yang baik," pinta Mardi.
Bu lurah tidak menjawab,
ia langsung berdiri, masuk kedalam dan langsung kekamarnya.
Mardi menghela nafas,
sedikit lega karena sudah mengutarakan semuanya. Ia berharap, ibunya akan
menyadari kesalahannya.
*
Sa'at istirahat siang
Mardi kerumah Marni untuk memenuhi janjinya. Kemarahan Marni sudah mereda,
hanya karena ucapan 'hatiku masih seperti dulu'. Lalu disambutnya Mardi dengan
suguhan makan siang yang katanya dimasaknya sendiri.
Dipandanginya Marni yang
sibuk melayani dia makan. Marni sendirian karena bapak ibunya berjualan
dipasar. Mereka berangkat pagi dan pulang ketika sore harinya. Benar kata bu
lurah bahwa Marni memang anak orang kaya. Orang tuanya adalah satu-satunya
penjual barang-barang kelontong, semua kebutuhan rumah tangga.
"Kok memandangi
Marni terus sih mas, ada angus di wajah Marni?"
"Tidak, kamu
manis."
Marni tersipu. Ia hanya
tersenyum malu sambil mengemasi sisa-sisa makan setelah acara makan siang itu
selesai.
Selama kedekatan mereka
memang tak pernah ada kata cinta. Sikap mereka sudah mengatakan semuanya.
Bukankah cinta adalah rasa yang tak perlu didengar dari sebuah lisan? Bagi
Mardi dan Marni semua itu sudah cukup. Tapi sekarang ini Marni ragu-ragu karena
bu lurah lebih memilih Lastri sebagai menantunya.
Keduanya kemudian duduk
diteras depan. Pohon mangga yang sedang berbuah tampak mengundang selera.
Sayang mangga itu belum masak.
"Itu mangga muda,
kok dipandangi terus? Mas Mardi pengin? Tapi itu belum sa'atnya, mungkin
sebulan lagi."
"Nggak, cuma seneng
aja, buahnya sangat lebat. Besok kalau kamu ngidam pasti suka mangga muda. Tak
usah membeli kalau berbarengan pohon itu berbuah kan?"
Marni tertawa. Ia merasa
lucu karena tiba-tiba Mardi bicara so'al ngidam.
"Kok tertawa
sih?"
"Kamu itu lho mas,
Marni ini dilamar saja belum kok sudah bicara so'al ngidam." kata Marni yang
tiba-tiba wajahnya menjadi muram.
"Marni, suatu hari
nanti kamu pasti aku lamar."
Marni hampir melonjak
kegirangan, tapi ingatannya akan sikap bu lurah membuat kegembiraan itu surut.
"Kapan mas? Bu
lurah nggak suka sama aku.. mana bisa kesampaian? Padahal bapak sama simbok
sudah bertanya terus tentang kita. Bagi orang-orang dusun, aku ini sudah
dibilang perawan tua."
"Iya aku tau, nanti
aku pasti bicara sama ibu."
"Semoga bu lurah
bisa mengerti."
"Oh ya, kemarin aku
sama Lastri juga bicara tentang sebuah usaha."
"Usaha apa mas
?"
Kemudian Mardi
menceriterakan tentang rencananya bersama Lasti tadi malam. Marni mendengarnya
dengan penuh perhatian.
"Wah, aku tertarik
mas. Biar Marni akan bantu. Apa yang bisa Marni lakukan?"
"Kita menunggu
rumah Lastri jadi, rumah itu akan digunakan sebagai tempat pengumpulan sayur
dan buah dari para petani. Tapi kita butuh mobil untuk mengangkut barang-barang
itu kekota."
"Haa.. mobil, itu
aku punya mas, pakai mobilku saja, mobil colt terbuka yang biasanya dipakai
bapak mengusung barang dagangannya."
"Ya jangan
mengganggu bapak, nggak enak dong."
"Bapak masih punya
satu lagi mobil. Itu gampang, nanti aku bicara sama bapak, pasti
diijinkan."
"Terimakasih banyak
Marni, ya sudah, sudah sa'atnya aku kembali ke kantor, terimakasih atas makan
siangnya. Masakanmu enak," puji Mardi sambil tersenyum.
"Datanglah setiap
hari kemari mas, aku akan masak apa saja yang menjadi kesukaan kamu."
"Bukan sekarang,
nanti akan tiba waktunya. Kalau aku nggak pernah pulang makan, nanti ibu
marah."
"Baiklah, semoga
waktu itu akan tiba. Sebentar mas, aku juga mau kerumah mbah Kliwon, aku harus
ketemu Lastri dan minta ma'af, aku merasa bersalah tadi malam."
*
Lastri gembira menerima
kedatangan Marni. Gadis yang suka ceplas ceplos itu juga terang-terangan minta
ma'af. Begitu gampang dia marah, tapi begitu ikhlas dia meminta ma'af.
Kata-kata sederhana yang terkadang sulit diucapkan. Seperti sulitnya mengakui
kesalahan.
Lastri juga gembira
mendengar Marni bersedia membantu menyediakan mobil untuk mengangkut barang
kekota.
"Dengar Lastri, aku
nanti yang akan membawa mobil itu."
"Kamu? Berani
membawa mobil kekota?"
"Lho, aku sering
mengambil dagangan bapak kekota, aku sendiri yang membawa mobilnya lho."
"Wah, hebat kamu
yu. Baiklah, nanti aku yang menjadi keneknya."
Kedua gadis cantik dan
manis itu tertawa-tawa gembira, sambil mengemasi sisa makan para pekerja
bangunan.
"Kapan ya kira-kira
rumah kamu ini jadi?"
"Kata mbah Kliwon
kira-kira sebulan. Cuma rumah sederhana saja. Sebenarnya aku sungkan menerima
pemberian bu lurah ini, tapi aku berjanji akan mengembalikannya. Padahal kan
bukan uang yang sedikit ya yu."
"Kita akan punya
usaha, aku akan bantu kamu mengembalikannya."
"Terimakasih banyak
ya yu, aku jadi merasa lebih kuat karena disekitarku banyak orang-orang yang
mau membantu."
"Pasti kita akan
berhasil. Rencana kamu dan mas Mardi itu benar-benar hebat, bisa aku bayangkan
para petani akan merasa lebih senang dengan penjualan hasil kebun mereka."
"Kang Mardi lurah
yang hebat ya yu."
"Aku juga merasa
begitu."
"Bahagianya kamu
besok kalau sudah menjadi isterinya."
Marni tersenyum, ada
pilu yang masih disimpannya, karena bukankah bu lurah tidak suka padanya?
"Kamu jangan
berkecil hati yu, kang Mardi akan berbicara sama ibunya. Aku do'akan kamu akan
bahagia bersamanya."
"Terimakasih
Lastri. Pada suatu hari nanti aku akan minta agar kamu menceriterakan kekasih
kamu yang kamu tinggalkan itu. Seperti apa dia? Lebih ganteng mana dia sama mas
Mardi?"
Lastri tersenyum tapi ia
merasa ada rasa teriris dihatinya. Marni menangkap kesedihan itu. Ia merangkul
Lastri erat.
"Aku juga akan
mendo'akan agar kamu bertemu lagi sama sang arjunamu itu."
"Nggak mungkin yu,
itu hanyalah mimpiku."
"Mengapa kamu
berkecil hati?"
"Karena aku memang
kecil yu, tak sepadan dengan dia."
"Lastri.."
Marni kembali memeluk sahabatnya.
*
Sore hari ketika Mardi
pulang, Bu lurah menegur Mardi karena tidak pulang makan siang.
"Mardi agak kurang
enak badan, tadi hanya makan cemilan yang dihidangkan bu carik."
"Ibu sudah masak
enak, kamu malah nggak makan."
"Nanti malam Mardi
habiskan bu."
"Baiklah, tapi
nanti ibu akan bicara dulu sama Lastri. Sebentar lagi pasti dia pulang."
"Bicara so'al apa
lagi bu?"
"So'al perjodohan
itu."
"Aduh bu, sudahlah,
Mardi justru merasa sungkan, sudah jelas Lastri tidak mau, Mardi sudah bicara
sama dia."
"Kamu pernah
melamarnya?"
"Bukan melamarnya
bu, berbicara tentang masa lalunya, keinginannya. Pokoknya tidak ada ruang
untuk Mardi dan Mardi sudah menerima itu."
Bu lurah menghela nafas.
"Ibu aku mohon, lamarlah
Marni untuk Mardi."
"Apa?"
"Itu pilihan Mardi,
Marni gadis yang baik."
Bu lurah terdiam,
tampaknya memikirkan sesuatu, tapi seperti yang sudah-ssudah, bu lurah belum
juga mengatakan 'ya'.
*
Waktu terus berjalan,
rumah itu hampir selesai, tinggal memasang pintu-pintu, dan mengecat disana
sini. Lastri senang karena dia sudah siap melakukan usahanya bersama lurah
Mardi dan tentu saja Marni. Sayang rumah itu bukan dari uang yang
disediakannya. Tapi Lastri berjanji akan mengembalikannya.
Lastri agak heran karena
hari itu Marni tidak membantunya. Tapi tak apa, karena bukankah Lastri sudah
biasa melakukannya sendiri?
Ia sedang meletakkan
porong berisi air dimeja depan, barangkali para pekerja masih membutuhkan
minum, ketika tiba-tiba didengarnya suara mobil mendekat.
Lastri keluar, dan
melihat sebuah colt terbuka berwarna kuning telur, berdiri didepan rumah yang
sedang dibangun.
Seseorang turun dari
balik kemudi.
"Yu Marni !! Ya
ampuun.. kamu nih!" teriak Lastri gembira.
"Ini mobil untuk
kita nanti. Lihat dipintu itu !" Kata Marni sambil menutup pintunya.
Lastri terpana. Lalu
Marni menarik Lastri kepintu yang sebelah kiri. Lastri tak mampu berkata-kata.
Di masing-masing pintu itu ada sebuah lukisan indah, bertuliskan hurup besar
LASTRI.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar