Selasa, 28 April 2020

LASTRI (27-28)

*LASTRI 27*

Lastri menunggu didepan rumah, supaya Marni tak menduga bahwa dia  mendengar perkataan bu lurah terhadap Marni. Namun ketika tiba-tiba Marni keluar dari rumah itu, ia tak perduli pada Lastri yang sedang  menunggu. Ia  langsung bergegas pergi.

"Eh.. yu Marni!! Yuuu ! Tunggu yu !!" teriak Lastri yang mengejar setengah lari.
"Tunggu yu !!" teriaknya sambil terus berlari.

Terengah Lastri ketika sudah sampai didekatnya.
"Yu, kok tiba-tiba aku kamu tinggalin."

Marni tak termenjawab. Ia mempercepat langkahnya, lalu ketika tiba dirumah mbah Kliwon, ia masuk dan menangis diatas lincak didepan rumah. Lastri mengikutinya.
"Ada apa yu? "

Marni masih tetap terisak. Lastri masuk kedalam, mengambil gelas yang diisinya dengan air putih.

"Minumlah dulu yu, supaya lebih tenang. Ada apa?"
Marni meneguk sedikit air yang diberikan Lastri.

"Sekarang yu Marni harus tenang dulu. Kalau boleh, saya ingin tau, mengapa tiba-tiba yu Marni bersikap seperti ini ?"

"Ini gara-gara kamu, Lastri !" kata Marni sambil memandang tajam Lastri, sementara air mata masih berlinang disana.

"Kok gara-gara aku yu? Aku salah apa?"
"Karena ada kamu, bu lurah mau kamulah yang jadi menantunya."

"Ya ampun yu, kok bisa begitu?"
"Kamu pura-pura baik sama aku, pura-pura senang kalau aku jadian sama mas Mardi, tapi ternyata kamu menusuk aku dari belakang !! Kamu culas Lastri."

Lastri berdiri, dan merangkul pundak Marni.
"Yu, aku bersumpah, sama sekali aku tak ingin menjadi isterinya kang Mardi. Dia seperti kakakku, tak ada perasaan apa-apa dihatiku yu."

"Nyatanya bu lurah bilang begitu sama aku."
"Kalau kemauan bu lurah, entahlah, tapi aku tidak mau. Aku sudah memiliki seseorang, walau tak harus menjadi isterinya, tapi hatiku tak akan berpaling yu. Tak ada laki-laki lain dihatiku."

"Mengapa bu lurah begitu yakin?"
"Aku nggak tau yu...tapi percayalah, aku tak akan mau menjadi isterinya kang Mardi. Sungguh. Tanyakan pada kang Mardi, dia banyak mengetahui tentang aku, keadaanku, kisah cintaku dengan seseorang. Dia juga tak ingin menjadi suamiku."

"Kata-katanya sangat menyakitkan aku..." isaknya.
"Sabar yu, pasti nanti akan ada jalan keluarnya. Ya sudah, ayo bantuin aku, katanya mau ngebantuin... ," kata Lastri sambil menarik tangan Marni kedalam rumah.

Sebenarnya aku hari ini mau bikin nagasari, tapi karena kamu sudah membawakan pipis katul, nagasarinya besok saja. Nah, ini kan? Banyak sekali. Hm.. baunya sedap. Aku boleh ngincipin satu kan?"
Marni mengangguk, ia senang ternyata Lastri tak menyukai Mardi.

"Nanti aku bicara sama kang Mardi. Atau kalau nanti ketemu, kamu bisa bicara langsung, ya kan?"
"Kamu saja Tri, sungkan aku."

"Ya sudah, biasanya kalau sore kami bisa berbincang banyak hal. Nanti aku akan ngomong so'al kata-kata ibunya tadi. Sudah, sekarang letakkan makanan ini di baki dan taruh dimeja depan, aku mau buat minuman, lalu menanak nasi."
*

Siang hari itu ketika pulang kerumah untuk makan, Mardi melihat bungkusan disudut meja dapur, seperti teronggok begitu saja. Mardi tertarik pada bungkusan-bungkusan itu, ia seperti mengenali siapa pengirimnya.

"Bu, ini apa? Harum baunya, ini kan kesukaanku. Dari Marni ya?"
"Sudah, makan saja dulu, itu sudah ada ikan goreng, sayur asem, sambal terasi, lalapan."

"Ini dari Marni kan? Kasihan, mengapa ibu tak menempatkannya dipiring," kata Mardi yang kemudian mengambil piring dan menata bungkusan-bungkusan daun pisang yang sangat dikenal aromanya, lalu diletakkannya dimeja makan.

Mardi membuka satu bungkusan dan melahapnya dengan nikmat.

"Disuruh makan dulu, kok malah makan itu." omel bu lurah.
"Ibu lupa, ini kan kesukaan Mardi?"

"Kalau kamu suka, besok ibu akan buatkan. Memangnya hanya Marni yang bisa membuatnya?"
"Lho, kok ibu seperti sentimen begitu. Sudah dikasih, harusnya kita berterimakasih," kata Mardi sambil menyendokkan nasi dipiringnya.

"Siapa yang sentimen, ibu cuma nggak suka sikap Marni yang kelihatan sekali mengejar-kejar kamu."
"Marni bukan mengejar Mardi bu, dia memang baik. Mardi suka kok," katanya sambil mengiris sedikit ikan, dan mengunyah lalapan yang sudah dibubuhi samba

"Kamu bilang apa? Suka? Kamu suka sama Marni?"
"Marni itu gadis yang baik. Mardi sudah kenal lama dan mengerti hatinya."

"Mardi, kamu lupa bahwa disini ada Lastri. Lastri yang cantik, yang baik, yang tidak suka menerima sebuah pemberian. Itu sangat menarik. Dia pantas menjadi menantu ibu."

Mardi diam, ia tampak menikmati ikan goreng yang gurih ditambah sambal yang pedasnya minta ampun.

"Ibu ingin Lastri lah yang akan menjadi isterimu."
Mardi masih mengunyah makanannya pelan, dan menambahkan lagi sesendok nasi.
"Pedasnya minta ampun bu, tapi Mardi suka sambal buatan ibu."
"Mardi, Marni itu suka sama kamu karena kamu sudah jadi lurah. Siapa yang nggak suka jadi isteri lurah yang ganteng kaya anak ibu ini?"

"Bu, bolehkah Mardi minta diambilkan minum? Kepedasan nih," kata Mardi yang pura-pura tak mendengar kata-kata ibunya. Ia sibuk menghabiskan makan siangnya yang dinikmati dengan perasaan yang mengharu biru. Dia tau apa maksud ibunya, tapi belum ingin menanggapi.

"Ah ya, ibu lupa," kata bu lurah sambil berdiri, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Mardi.
"Kamu dengar kata-kata ibu?"

"Terimakasih bu. Hm, enak sekali makan siang kali ini."
"Kamu tidak mendengar ibu berkata-kata?"
"Oh ya, yang mana bu."

"Marni itu suka kamu karena kamu adalah lurah muda yang ganteng. Siapa sih yang nggak ingin jadi isteri pejabat?"
"Oh, ibu salah sangka. Mardi dan Marni sudah lama dekat, jauh sebelum Mardi lulus sekolah. Jadi dia suka bukan karena Mardi ini lurah."

Bu lurah tak menjawab. Sesungguhnya itu memang benar. Marni sudah lama dekat dengan Mardi, dan bu lurah juga mengakui bahwa dulu dia suka melihat kedekatan mereka. Tapi sekarang ada Lastri, gadis yang jauh lebih sempurna dari Marni. Kalau ada yang lebih baik, mengapa harus memilih yang kurang baik?

"Sudah ya bu, Mardi mau kembali ke kelurahan, siang ini ada pak Camat yang mau datang dan meninjau desa kita."

"Tapi Di, kamu harus ingat, bahwa Lastri lebih baik dari Marni, Lastri juga punya pendidikan yang lebih tinggi dari Marni. Biarpun Marni itu anak orang kaya, tapi bukankah Marni hanya lulusan SMP?" kata bu lurah sambil  mengantarkan Mardi berjalan kedepan.

"Yang terbaik itu adalah apabila hati kita bisa menyatu, kalau tidak, mana mungkin bisa ketemu?"

"Lastri akan mau, karena kita baik kepadanya."
"Jadi kita menjual kebaikan kepada Lastri? Karena ada pamrih?"

Mardi mencium tangan ibunya dan turun ke halaman, meninggalkan ibunya yang menatapnya dengan kesal. Masa sih, nggak suka sama Lastri? Gadis secantik dan sepintar itu? Malah dia menuduh aku ada pamrih segala. Pikir bu lurah. Tapi bahwa itu benar, bu lurah segan mengakuinya.
*

Malam itu pak Marsudi hanya duduk berdua dengan isterinya. Baru saja Bayu pergi keluar, katanya hanya ingin jalan-jalan saja.

"Bu, aku kesal sama anakmu," keluh pak Marsudi.
"Lha kesal kenapa lagi pak? mBok ya jangan cari-cari masalah lagi."

"Bukan cari masalah. Anakmu itu, aku kenalkan sama Reni, bukannya kemudian Reni dekat sama dia, malah dekat sama Sapto. Bagaimana ini?"
"Bapak itu juga aneh. Sudah tau kalau Bayu nggak suka dijodoh-jodohin, masih saja berusaha untuk itu."

"Reni itu kan cantik. Siapa sing yang nggak suka gadis cantik?"
"Jadi bapak juga suka sama Reni?"

"Lho, ibu kok terus cemburu begitu."
"Idiih.. bapak.. kayak anak muda saja menuduh ibu cemburu. Habisnya bapak bilang semua orang pasti suka gadis cantik."

"Suka itu kan macam-macam bu, kalau bapak, suka menjadikannya menantu, bukan untuk bapak sendiri."
"Sudah pak, jangan bapak mencari-carikan gadis cantik lagi untuk Bayu, nanti dia malah marah lho."

"Bagaimana kalau Lastri tidak bisa ditemukan? Apa dia akan terus begitu ?"
"Entahlah pak, ibu  hanya bisa berdo'a saja, semoga yang terbaiklah untuk anak kita."
"Bapak bingung pada selera anak kita, mengapa Lastri.. dan bukan lainnya?"

"Namanya juga cintanya sama Lastri, mau bagaimana lagi?"
"Keburu tua kita ini ya bu."
"Sabar pak, nanti juga Bayu pasti akan ketemu jodohnya. Ayo kita makan malam saja, Bayu nggak mungkin makan dirumah. Paling dia kerumah nak Sapto, atau nak Timan."
*

"Kalau aku main  kesini mengganggu mas Timan nggak?" kata Bayu ketika ada dirumah Timan malam itu.
"Ya enggak, malah seneng lho mas ada yang nemenin ngobrol." jawab Timan sambil menghidangkan wedang jahe anget dimeja tamunya.

"Saya sering bingung mau main kemana. Kalau dirumah gelisah terus rasanya."
"Kalau mas Bayu sedang ingin mencari teman berbincang, datang saja kemari. Saya kan cuma sendirian, jadi kalau ada yang menemani malah senang. Itu wedang jahenya mas, mumpung  masih  anget."

"Terimakasih ya. Tadi sedianya mau kerumah Sapto, tapi ternyata Sapto nggak ada dirumah. Sekarang dia sibuk dengan pacar barunya."

"Oo, biar saya tebak, pacarnya pasti itu, yang ketemu ketika bu Marsudi ulang tahun itu kan?"
"Benar, tampaknya semakin dekat dia, semoga dia serius kali ini."

"Memangnya dulu sering nggak serius mas?"
"Dulu dia sering ganti-ganti pacar, nyebelin ."
"Orangnya ganteng sih pasti banyak yang suka."

"Benar mas, dia itu ganteng, royal.. tapi aku berharap kali ini dia serius. Kasihan kalau hanya untuk main-main juga."
"Semoga ya mas."

"Dia sudah berjanji akan kapok bermain-main, semoga ini adalah jodohnya."
"Aamin. Omong-omong belum ada berita tentang Lastri?"
"Belum mas, bapak sudah pasang iklan terus. Masa dia nggak membaca ya mas?"

"Mungkin tidak berlangganan koran, atau sekitarnya nggak ada yang suka baca-baca koran."
"Mungkinkah aku tak akan bisa menemukan Lastri?" kata Bayu sedih.

"Jangan patah semangat mas, kita harus tetap berharap, percayalah kalau memang Lastri itu jodohnya mas Bayu, pasti suatu hari akan ketemu."
"Aku akan terus berharap."

"Dan saya akan terus mendo'akan agar Lastri dan mas Bayu bisa bersatu."
"Terimakasih ya mas."
*

"Kang, aku mau bicara," kata Lastri sepulang kerja.

Ia sengaja duduk dipelataran yang agak jauh dari rumah supaya bu lurah tak mendengar pembicaraannya. Ada sebuah pohon sawo yang dibawahnya ada lincak tempat bersantai, dekat jalanan., disitulah mereka duduk.

"Ada apa ya, penting sekali?"
"Sangat penting."

"Baiklah, ada apa? Tapi begini, biar aku dulu yang ngomong, keeburu lupa. Aku sebenarnya sedang memikirkan sebuah usaha untuk kamu. Aku akan membantu."
"Usaha apa?" Lastri menghentikan keinginannya bicara tentang Marni, karena kata-kata Mardi lebih menarik hatinya.

"Sebenarnya sudah lama aku memikirkannya, jauh sebelum kamu datang."
"Katakan apa itu kang."

"Dusun kita ini kan kaya akan sayur dan buah, tapi masih banyak petani miskin karena mereka hanya menjual kesekitar dusun ini. Kebanyakan mereka membawa pulang sisa sayur yang sudah layu dan akhirnya dibuang begitu saja."

"Iya benar kang , ketahuilah, aku juga memikirkannya."

"Jadi harus ada yang mau memborong lalu menjualnya kekota. Artinya kita akan membeli sayuran atau buah-buahan itu, lalu kita menjualnya kekota yang agak jauh dari sini."

"Ada semacam wadah untuk mengumpulkan hasil panen mereka ya kang."
"Nah, itu benar Tri."
"Tapi harus ada modal untuk membelinya."

"Kita akan punya."
"Aku punya uang sedikit."
"Ayo kita kumpulkan, uang kamu berapa, uangku berapa."

"Bagaimana kita membawanya kekota?"
"Pasti aku tidak akan menyuruh kamu menggendongnya Lastri,  Nanti akan ada sebuah colt terbuka yang akan bisa dipakai untuk mengangkut harta karun dusun ini."

Wajah Lastri berseri-seri. Sebuah usaha, yang semoga menguntungkan sehingga dia bisa segera mengembalikan uang bu lurah. Sa'at ini hanya itu yang Lastri pikirkan.

"Hei, kok malah melamun?"
"Iya mas, aku melamunkan sesuatu, karena aku punya hutang banyak."

"Hutang apa sih?"

"Mas, aku sudah bilang akan mengembalikan uang bu lurah yang dipakai untuk membangun rumah itu. Karenanya aku bersemangat untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan.

Usaha kita ini akan meringankan beban para pemilik kebun, karena mereka tidak akan susah susah menggendongnya sendiri kekota. Nanti dirumahku saja ngumpulinnya ya kang, mudah-mudahan segera jadi."

"Bagus Tri. Ya sudah, ini sebuah gagasan yang mudah-mudahan akan berhasil."
"Ya mas, aku tertarik, nanti kita akan memikirkan kelanjutannya. Aduh, aku bersemangat sekali  kang."

"Baiklah, sekarang katakan, kamu tadi mau mengatakan sesuatu kan?"
 "Oh, iya kang, ini tentang yu Marni."
"Lho,. kok tentang Marni?"

"Memang iya, tadi pagi yu Marni merasa sedih sekali kang, kasihan aku melihatnya."
"Kenapa dengan dia?"

Lalu Lastri menceritakan kedatangan Marni kerumah dengan membawa oleh-oleh, tapi malah disakiti hatinya oleh bu lurah.

"Masa kang, bu lurah bilang bahwa aku ini adalah bakal menantunya, ya sakit dong hatinya yu Marni."

Mardi menghela nafas. Dia sudah tau bahwa itu keinginan ibunya, tapi Mardi tak mengira ibunya akan mengatakan itu pada Marni.

"Apa Marni marah sama kamu?"
"Tadinya iya kang, menuduh aku menusuk dari belakang segala. Tapi kemudian aku mengatakan bahwa aku tidak cinta sama kang Mardi."

"Karena sudah ada seseorang kan?" goda Mardi.
Lastri yang tersipu kemudian mencubit lengan Mardi, yang kemudian membuat Mardi berteriak kesakitan.
"Auuww... sakit tau !"

Tapi pada sa'at itu sepasang mata memperhatikan keduanya dengan darah mendidih.  Serta merta dia masuk kehalaman rumah bu lurah, langsung menuju kearah lincak yang ada dibawah pohon sawo, dan menuding Lastri dengan penuh amarah.

"Penghianat kamu Lastri !!" teriaknya.
*

&&&&&&


*LASTRI  28*

Lastri dan Mardi terkejut setengah mati. Didepannya berdiri seorang gadis dengan amarah yang meluap luap. Jari telunjuknya mengarah kewajah Lastri yang kemudian mundur beberapa langkah kebelakang.

"Yu, sabar yu... sabar.." kata Lastri sambul berusaha menurunkan tangan Marni.
"Sabar.. sabar ! Kamu itu manusia berbulu domba, tau. Kelihatannya baik, ternyata kamu culas. Kamu membohongi aku!!" ucapan Marni masih disertai darah yang mendidih.

Mardi maju, menghalangi Marni menghujat Lastri dengan kata-kata pedas.
"Sabar Marni, sabar dulu.. Lastri tidak punya salah apa-apa."

"Iya mas, aku tau, pasti kamu akan membela dia. Sikap manismu hanya pura-pura. Setelah kedatangan perempuan ini semuanya jadi berubah. Kamu, ibumu, semua tidak seperti dulu."

"Kamu salah Marni, Dengar dulu penjelasanku. Sini, duduklah dulu aku mau bicara."

Marni mengibaskan tangan Mardi yang menggamit lengannya dan mengajaknya duduk. Ia tetap berdiri dan menuding-nuding wajah Lastri. Lastri menjauh, dalam keadaan seperti itu sangat susah mengajaknya bicara.

"Baiklah, kalau nggak mau duduk dan biccara, ayo aku antar pulang. Nanti sambil jalan aku akan jelaskan."
"Tidak ada penjelasan apapun. Sikap kaliyan tadi sudah jelas bagiku, sudah jelas sejekas-jelasnya."

"Ada apa ribut-ribut ini?"
Tiba-tiba bu lurah turun kehalaman dan mendekati mereka. Melihat kedatangan bu lurah, Marni kemudian membalikkan tubuhnya dan keluar dari halaman, sambil menangis terisak-isak.

"Kang, kejar dia kang !!" kata Lastri.
Mardi segera berlari mengejar.

"Ada apa ini? tanya bu lurah setelah dekat dengan Lastri.yang masih terbengong-bengong.
"Itu... tadi..." sesungguhnya Lastri ragu untuk bicara.

"Itu tadi Marni bukan ? Kenapa dia? Seperti marah-marah, begitu?"
"Anu bu, dia.. mungkin.. salah faham.."

"O, aku tau, dia marah karena kamu duduk berduaan dengan Mardi bukan?"
"Itu... tadi.. hanya.. salah faham, nggak apa-apa kok bu."

"Terus kenapa Mardi mengejar dia?"
"Mung.. mungkin untuk menjelaskan, tapi nggak apa-apa kok bu," jawab Lastri seakan menutupi kejadian yang sesungguhnya.Tapi dia bingung akan berkata apa, karena ia tau bu lurah melihat sekilas adegan itu. Harapannya adalah agar bu lurah tidak marah pada Lastri. Tapi...

"Memang Marni itu begitu. Kalau ngomong suka seenaknya. Dia itu mengejar-kejar Mardi terus, padahal Mardi tidak suka sama dia," omelnya.

Lastri tak menjawab, dia kemudian melangkah masuk kedalam rumah, diikuti bu lurah dari belakang.

"Mengapa juga tadi Mardi mengejarnya? Gadis yang tak tau malu dia itu," omel bu lurah.
Lastri tak menjawab. Kalau dia menjawab pasti omelannya akan bertambah panjang.
*

"Marni, tunggu Marni. Kamu terburu nafsu. Kamu salah sangka."
"Mengapa kamu mengikuti aku mas? Aku kira kamu tak usah lagi memperdulikan aku, toh aku bukan gadis cantik yang pintar.. Marni gadis desa, tidak punya pendidikan seperti layaknya gadis kota. Lastri itu berbeda."

"Kamu ngomongnya ngelantur Marni."
Mereka sudah sampai didepan rumah Marni. Mardi memaksa masuk karena belum bisa berbicara dengan Marni.

"Mau apa kamu ini mas?"
"Marni, tadi itu Lastri baru membicarakan kamu. Kamu dan aku. Jangan mengira kami sedang pacaran."
"Oh ya? Baik hati benar dia?" katanya sinis.

"Dia memprihatinkan hubungan kita, dia juga mengatakan bahwa tadi pagi ibu menyakiti kamu. Aku terkejut. Sedianya besok pagi aku akan menemui kamu dan menjelaskan semuanya.Tapi keburu kamu marah-marah."

"Oh ya, kalau memang bicara tentang hubungan kita, mengapa pake cubit-cubitan segala?"
"Ya ampun, itu tadi karena aku menggodanya tentang pacar yang ditinggalkannya dikota. Dia kesal karena aku meledeknya."
"Benarkah ?"

Marni terdiam. Mardi merasa lega karena nada suara Marni mulai menurun.

"Besok kita akan bicara banyak. Intinya hatiku tak akan berubah. Sekarang sudah malam, nggak enak dilihat orang kita berduaan disini."

Marni mengangguk. Pak lurah muda tak boleh tercemar gara-gara menyambangi rumah seorang gadis. Dia lega karena Mardi mengatakan bahwa hatinya tak berubah. Senyum yang tersungging dihatinya tak terbaca dibibirnya karena malu dan sungkan. Masa tadi marah-marah lalu tiba-tiba tersenyum? Tapi ketika Mardi pulang, Marni bersenandungkan lagu cinta sambil masuk kedalam kamarnya.
*

Malam itu bu lurah duduk menunggu kembalinya Mardi. Kemarahannya memuncak melihat Mardi mengejar Marni. Bu lurah harus mengatakan bahwa dia tak rela bermenantukan Marni.
Mardi naik kerumah dari halaman, dan dilihatnya ibunya masih menunggu di lincak diteras rumah.

"Ibu kok belum tidur?" sapanya pelan. Ia sudah tau bahwa ibunya pasti akan menegurnya, dan kali ini lebih keras.
"Dari mana kamu?" tegur bu lurah dengan nada kaku.
"Dari...."

"Dari rumah Marni kan?" tanya bu lurah memotong jawaban Mardi yang belum tersampaikan.
"Iya bu."

"Apa sebenarnya maksudmu ?"
"Ibu, Mardi mengantarkan Marni pulang."

"Dia datang sendiri kemari, mencari keributan, mengapa kamu harus mengantarnya?"
"Ada yang harus Mardi katakan. Mengapa ibu seakan benci saama dia? Dia tidak bersalah, hanya salah faham."

"Dengar Mardi, walau kamu membelanya ibu tetap saja tidak suka.. Ada yang lebih baik, maka pilihlah yang lebih baik itu." tajam kata bu lurah.

Mardi terdiam beberapa sa'at.
"Kamu sudah dekat sama Lastri, lanjutkan saja, dia itu yang terbaik untuk kamu kok."
"Ibu, biarkan Mardi bicara. sebuah hubungan itu akan baik, apabila disertai rasa saling suka. Kalau ibu suka, Mardi suka tapi Lastri tidak suka, bagaimana? Bisakah terjadi?"

"Tentu saja bisa, habisnya kamu tidak berusaha, kamu sudah tergila-gila sama Marni."
"Tidak bu, ada sebuah cerita yang disembunyikan Lastri.Yaitu tentang kisah cintanya dengan seseorang dikota sana."

"Iya, ibu sudah menduga, dia cinta sama juragan kaya, atau pejabat tinggi, dan ditolak tentu saja, memangnya dia itu siapa?"

"Ibu jangan begitu.Lastri justru menghindari kekasihnya karena merasa dirinya rendah.  Dia sangat menderita bu, dia tak bisa melupakan kekasihnya, dia tak akan berpaling, walau ibu memberikan banyak iming-iming."
"Mardi, kamu tidak mau berusaha?"

"Lastri seorang gadis yang keras. Mardi maupun ibu tak akan bisa meluluhkannya, apalagi tentang cintanya."
"Ibu sudah habis berpuluh-puluh juta.." kata bu lurah agak keras.
"Ibu, pelankan suara ibu," kata Mardi khawatir.

"Itu benar kan?"
"Itu kemauan ibu, dan membuat Lastri tersinggung kan?"
Bu lurah mendengus kesal.

"Tolong mengertilah ibu, Mardi suka sama Marni, dia gadis yang baik," pinta Mardi.
Bu lurah tidak menjawab, ia langsung berdiri, masuk kedalam dan langsung kekamarnya.
Mardi menghela nafas, sedikit lega karena sudah mengutarakan semuanya. Ia berharap, ibunya akan menyadari kesalahannya.
*

Sa'at istirahat siang Mardi kerumah Marni untuk memenuhi janjinya. Kemarahan Marni sudah mereda, hanya karena ucapan 'hatiku masih seperti dulu'. Lalu disambutnya Mardi dengan suguhan makan siang yang katanya dimasaknya sendiri.

Dipandanginya Marni yang sibuk melayani dia makan. Marni sendirian karena bapak ibunya berjualan dipasar. Mereka berangkat pagi dan pulang ketika sore harinya. Benar kata bu lurah bahwa Marni memang anak orang kaya. Orang tuanya adalah satu-satunya penjual barang-barang kelontong, semua kebutuhan rumah tangga.

"Kok memandangi Marni terus sih mas, ada angus di wajah Marni?"
"Tidak, kamu manis."

Marni tersipu. Ia hanya tersenyum malu sambil mengemasi sisa-sisa makan setelah acara makan siang itu selesai.

Selama kedekatan mereka memang tak pernah ada kata cinta. Sikap mereka sudah mengatakan semuanya. Bukankah cinta adalah rasa yang tak perlu didengar dari sebuah lisan? Bagi Mardi dan Marni semua itu sudah cukup. Tapi sekarang ini Marni ragu-ragu karena bu lurah lebih memilih Lastri sebagai menantunya.

Keduanya kemudian duduk diteras depan. Pohon mangga yang sedang berbuah tampak mengundang selera. Sayang mangga itu belum masak.

"Itu mangga muda, kok dipandangi terus? Mas Mardi pengin? Tapi itu belum sa'atnya, mungkin sebulan lagi."
"Nggak, cuma seneng aja, buahnya sangat lebat. Besok kalau kamu ngidam pasti suka mangga muda. Tak usah membeli kalau berbarengan pohon itu berbuah kan?"

Marni tertawa. Ia merasa lucu karena tiba-tiba Mardi bicara so'al ngidam.
"Kok tertawa sih?"
"Kamu itu lho mas, Marni ini dilamar saja belum kok sudah bicara so'al ngidam." kata Marni yang tiba-tiba wajahnya menjadi muram.
"Marni, suatu hari nanti kamu pasti aku lamar."

Marni hampir melonjak kegirangan, tapi ingatannya akan sikap bu lurah membuat kegembiraan itu surut.

"Kapan mas? Bu lurah nggak suka sama aku.. mana bisa kesampaian? Padahal bapak sama simbok sudah bertanya terus tentang kita. Bagi orang-orang dusun, aku ini sudah dibilang perawan tua."

"Iya aku tau, nanti aku pasti bicara sama ibu."
"Semoga bu lurah bisa mengerti."

"Oh ya, kemarin aku sama Lastri juga bicara tentang sebuah usaha."
"Usaha apa mas ?"

Kemudian Mardi menceriterakan tentang rencananya bersama Lasti tadi malam. Marni mendengarnya dengan penuh perhatian.

"Wah, aku tertarik mas. Biar Marni akan bantu. Apa yang bisa Marni lakukan?"
"Kita menunggu rumah Lastri jadi, rumah itu akan digunakan sebagai tempat pengumpulan sayur dan buah dari para petani. Tapi kita butuh mobil untuk mengangkut barang-barang itu kekota."

"Haa.. mobil, itu aku punya mas, pakai mobilku saja, mobil colt terbuka yang biasanya dipakai bapak mengusung barang dagangannya."
"Ya jangan mengganggu bapak, nggak enak dong."

"Bapak masih punya satu lagi mobil. Itu gampang, nanti aku bicara sama bapak, pasti diijinkan."
"Terimakasih banyak Marni, ya sudah, sudah sa'atnya aku kembali ke kantor, terimakasih atas makan siangnya. Masakanmu enak," puji Mardi sambil tersenyum.

"Datanglah setiap hari kemari mas, aku akan masak apa saja yang menjadi kesukaan kamu."
"Bukan sekarang, nanti akan tiba waktunya. Kalau aku nggak pernah pulang makan, nanti ibu marah."

"Baiklah, semoga waktu itu akan tiba. Sebentar mas, aku juga mau kerumah mbah Kliwon, aku harus ketemu Lastri dan minta ma'af, aku merasa bersalah tadi malam."
*

Lastri gembira menerima kedatangan Marni. Gadis yang suka ceplas ceplos itu juga terang-terangan minta ma'af. Begitu gampang dia marah, tapi begitu ikhlas dia meminta ma'af. Kata-kata sederhana yang terkadang sulit diucapkan. Seperti sulitnya mengakui kesalahan.
Lastri juga gembira mendengar Marni bersedia membantu menyediakan mobil untuk mengangkut barang kekota.

"Dengar Lastri, aku nanti yang akan membawa mobil itu."
"Kamu? Berani membawa mobil kekota?"
"Lho, aku sering mengambil dagangan bapak kekota, aku sendiri yang membawa mobilnya lho."
"Wah, hebat kamu yu. Baiklah, nanti aku yang menjadi keneknya."

Kedua gadis cantik dan manis itu tertawa-tawa gembira, sambil mengemasi sisa makan para pekerja bangunan.

"Kapan ya kira-kira rumah kamu ini jadi?"
"Kata mbah Kliwon kira-kira sebulan. Cuma rumah sederhana saja. Sebenarnya aku sungkan menerima pemberian bu lurah ini, tapi aku berjanji akan mengembalikannya. Padahal kan bukan uang yang sedikit ya yu."

"Kita akan punya usaha, aku akan bantu kamu mengembalikannya."
"Terimakasih banyak ya yu, aku jadi merasa lebih kuat karena disekitarku banyak orang-orang yang mau membantu."

"Pasti kita akan berhasil. Rencana kamu dan mas Mardi itu benar-benar hebat, bisa aku bayangkan para petani akan merasa lebih senang dengan penjualan hasil kebun mereka."
"Kang Mardi lurah yang hebat ya yu."
"Aku juga merasa begitu."
"Bahagianya kamu besok kalau sudah menjadi isterinya."

Marni tersenyum, ada pilu yang masih disimpannya, karena bukankah bu lurah tidak suka padanya?
"Kamu jangan berkecil hati yu, kang Mardi akan berbicara sama ibunya. Aku do'akan kamu akan bahagia bersamanya."

"Terimakasih Lastri. Pada suatu hari nanti aku akan minta agar kamu menceriterakan kekasih kamu yang kamu tinggalkan itu. Seperti apa dia? Lebih ganteng mana dia sama mas Mardi?"

Lastri tersenyum tapi ia merasa ada rasa teriris dihatinya. Marni menangkap kesedihan itu. Ia merangkul Lastri erat.

"Aku juga akan mendo'akan agar kamu bertemu lagi sama sang arjunamu itu."
"Nggak mungkin yu, itu hanyalah mimpiku."

"Mengapa kamu berkecil hati?"
"Karena aku memang kecil yu, tak sepadan dengan dia."
"Lastri.." Marni kembali memeluk sahabatnya.
*

Sore hari ketika Mardi pulang, Bu lurah menegur Mardi karena tidak pulang makan siang.
"Mardi agak kurang enak badan, tadi hanya makan cemilan yang dihidangkan bu carik."
"Ibu sudah masak enak, kamu malah nggak makan."
"Nanti malam Mardi habiskan bu."

"Baiklah, tapi nanti ibu akan bicara dulu sama Lastri. Sebentar lagi pasti dia pulang."
"Bicara so'al apa lagi bu?"
"So'al perjodohan itu."
"Aduh bu, sudahlah, Mardi justru merasa sungkan, sudah jelas Lastri tidak mau, Mardi sudah bicara sama dia."

"Kamu pernah melamarnya?"
"Bukan melamarnya bu, berbicara tentang masa lalunya, keinginannya. Pokoknya tidak ada ruang untuk Mardi dan Mardi sudah menerima itu."

Bu lurah menghela nafas.

"Ibu aku mohon, lamarlah Marni untuk Mardi."
"Apa?"
"Itu pilihan Mardi, Marni gadis yang baik."

Bu lurah terdiam, tampaknya memikirkan sesuatu, tapi seperti yang sudah-ssudah, bu lurah belum juga mengatakan 'ya'.
*

Waktu terus berjalan, rumah itu hampir selesai, tinggal memasang pintu-pintu, dan mengecat disana sini. Lastri senang karena dia sudah siap melakukan usahanya bersama lurah Mardi dan tentu saja Marni. Sayang rumah itu bukan dari uang yang disediakannya. Tapi Lastri berjanji akan mengembalikannya.

Lastri agak heran karena hari itu Marni tidak membantunya. Tapi tak apa, karena bukankah Lastri sudah biasa melakukannya sendiri?

Ia sedang meletakkan porong berisi air dimeja depan, barangkali para pekerja masih membutuhkan minum, ketika tiba-tiba didengarnya suara mobil mendekat.

Lastri keluar, dan melihat sebuah colt terbuka berwarna kuning telur, berdiri didepan rumah yang sedang dibangun.
Seseorang turun dari balik kemudi.

"Yu Marni !! Ya ampuun.. kamu nih!" teriak Lastri gembira.
"Ini mobil untuk kita nanti. Lihat dipintu itu !" Kata Marni sambil menutup pintunya.

Lastri terpana. Lalu Marni menarik Lastri kepintu yang sebelah kiri. Lastri tak mampu berkata-kata. Di masing-masing pintu itu ada sebuah lukisan indah, bertuliskan hurup besar LASTRI.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar