Minggu, 26 April 2020

Lastri (05-06)

*LASTRI  05*

"Lastri... Lastri.."
Lastri yang sedang menata belanjaannya menoleh kearah Bayu, yang memanggilnya dengan bertubi-tubi.
"Ada apa mas ?
"Kamu tadi diantar oleh siapa?"
"O, tadi itu, namanya mas Timan, penjual buah dipasar."
"Apa biasanya dia juga mengantar kamu sehabis belanja?"
"Enggak mas, baru kali ini, karena dia memberi selirang pisang ambon dan saya nggak bisa membawanya. Itu mas, dimeja."

"Iya Yu, itu pisangnya, enak, ini.. ibu sudah mengambilnya satu, belum habis , lha besarnya se lengan ibu sih." kata bu Marsudi menimpali.
Bayu melihat ke arah meja makan.
"Cobalah Yu, dan bawakan juga untuk bapak."
"Ah, Bayu nggak suka pisang ambon," kata Bayu sedikit tak acuh. Ada rasa kurang senang ketika mengetahui si penjual buah mengantar Lastri, terus memberi selirang buah pisang pula.

"Masa nggak suka, biasanya kamu suka pisang ambon kan?"
"Iya, tapi nggak suka yang besar-besar begitu. Makan satu saja bisa kekenyangan."
"Ya ambil separo, gitu aja kok repot," omel bu Marsudi.

Bayu mengambil basi berisi pisang dan dibawanya keteras, diletakkan dimeja dihadapan ayahnya.
"Ini pak.."
"Apa itu?"
"Pisang, bapak suka kan ?"
"Lastri membelinya? O.. bukan, ini dikasih si penjual buah itu tadi."
"Iya, ibu bilang enak, kayaknya matang pohon."
"Besar-besar sekali pisangnya," kata pak Marsudi lalu mengambil sebuah.
"Aku separo saja, yang separo lagi buat kamu ya."

"Ternyata enak," kata Bayu setelah mengunyah satu gigitan pisangnya. Tapi tiba-tiba diletakkannya sisa pisang itu dimeja ketika teringat bahwa pisang itu pemberian si tukang buah untuk Lastri. Kenapa aku ini? Cemburu? Ya Tuhan, tidak.. lalu witing trena itu muncul lagi dibenaknya.

"Lastri itu kan sudah mau ujian sekolah," tiba-tiba kata pak Marsudi.
"Ada apa? Bapak mau menyruhnya kuliah?"
"Tidak, tidak.. ibumu pernah bicara so'al itu, tapi aku tidak setuju."

"Bapak keberatan membiayai kuliahnya?"
"Bukan keberatan, bapak punya uang tapi bapak kira itu sudah cukup buat Lastri."
"Bagaimana kalau Bayu saja yang membiayainya?"
"Apa? Tidak Bayu, bapak tidak setuju, lebih baik carikan jodoh untuk Lastri."
Bayu terkejut. Dipandanginya ayahnya lekat-lekat.

"Ada apa denganmu Yu? Kamu tidak setuju ?"
"Ini bukan jamannya menjodoh-jodohkan orang pak. Kasihan Lastri."
"Kasihan bagaimana maksudmu?"
"Biarkan dia memilih apa yang dia suka, siapa yang dia suka, kasihan kalau kita mengatur hidupnya."

"Bapak kan memilihkan yang terbaik untuk Lastri? Dia itu umurnya sudah sekitar duapuluhan lebih, kalau dulu dia datang kemari umurnya sebelasan tahun, sekarang sudah duapuluh tiga tahun. Didesa, gadis seumur itu sudah disebut perawan tua."
"Ini bukan didesa pak, mengapa harus ikut-ikutan tradisi desa?"
"Kenapa juga kamu menentangnya?" pak Marsudi menatap curiga.
Bayu memalingkan mukanya.

"Tukang buah yang mengantar Lastri tadi pagi itu cocog untuk Lastri."
"Apa?" Bayu kembali memandangi ayahnya. Ada rasa kesal mendengar keinginan ayahnya.
"Bapak kok gitu. Bagaimana kalau tukang buah itu sudah punya isteri?"
"Ya nanti kita tanya lah, kalau cocog ya bagus, bapak yang akan membiayai pernikahan Lastri nanti."
"Jangan pak."

"Mengapa kamu seperti tidak suka?"
"Bukan tidak suka, Bayu kurang suka kalau kita mengatur hidupnya Lastri, termasuk jodohnya juga."
"Bapak kan mau menanyakannya dulu, kalau cocog ya oke lah, kalau nggak ya nggak akan memaksa, tapi melihat gelagatnya kok cocog."
"Bapak mengarang."

Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Bayu mengerutkan keningnya karena tau siapa yang datang.
"Tamu siapa dia?"
"Teman Bayu pak," kata Bayu yang kemudian berdiri menyambut.

Tamu itu memang Sapto, ia turun dari mubil dengan penampilan yang menurut Bayu agak berlebihan. Pakai celana jean dan kaos lengan pendek yang bergambar-gambar, pakai kacamata hitam besar, pokoknya semua membuat Bayu kesal.

"Hallo bro. Hari Minggu kok dirumah saja," katanya begitu sampai dihadapan Bayu. Tapi matanya nyelonong kedalam rumah, barangkali ada Lastri disana. Tapi yang ada malah pak Marsudi, yang memandangnya seperti orang tak kenal.
Melihat pak Marsudi, Sapto mencopot kacamatanya dan mengangguk hormat.

"Selamat siang om," sapanya sambil mendekat lalu mencium tangan pak Marsudi.
"Aku kok agak pangling ya.. ini siapa?"
"Saya Sapto om. Om lupa ya?"
"O.. iya, Sapto temannya Bayu SMA?"
"Iya, tuh om masih ingat."
"Iya, sudah lama nggak main kesini. Ayo silahkan duduk, om mau kebelakang."
"Ya om, ma'af kalau mengganggu."
"Nggak apa-apa. Silahkan," kata pak Marsudi sambil melangkah kebelakang, sedangkan Sapto kemudian duduk dengan santai.

"Kamu ini kayak remaja saja, pakai kaos kayak begitu." tegur Bayu sambil duduk dihadapan Sapto.
"Memangnya aku sudah tua? Eh, mana Lastri?"
"Nggak ada."
"Aduh, jangan gitu dong Yu, aku mau mengajaknya jalan-jalan, sama kamu sekalian juga nggak apa-apa."
"Dia harus belajar. Minggu depan mau ujian."
"Ini hari libur, jangan dipakai buat mikir terus, nanti bisa stress.."
"Ya enggak.. masa belajar saja bisa membuat orang stress."

Tiba-tiba pak Marsudi muncul kembali. Maksudnya mau mengambil pisang yang tadi masih tertinggal. Ternyata makan separo masih kurang.
"Ada apa nak? Siapa yang stress?" tanya pak Marsudi.
"Itu om, Lastri, katanya belajar terus karena mau ujian. Bukankah ada baiknya istirahat sejenak, menenangkan pikir sambil jalan-jalan?"
"Nak Sapto mau mengajaknya jalan?"

"Sebenarnya begitu om, tapi dilarang sama Bayu, katanya lagi belajar."
"Ah, biarin saja kalau hanya jalan-jalan sebentar. Biar om suruh Lastri bersiap," kata pak Marsudi sambil mengambil sebuah pisang lalu melangkah ke belakang.

"Tuh, bapak kamu mengijinkan, mengapa kamu melarang?"
"Dasar kamu yang pinter ngomng. Oke kalau begitu, aku juga harus ikut," kata Bayu sambil bangkit lalu meninggalkan Sapto cengar cengir kesenangan.
*

 "Bu..bu... mana Lastri?" teriak pak Marsudi sambil menuju kearah dapur.
"Ini pak, lagi mbantuin ibu didapur," kata bu Marsudi sambil menggiling bumbu. Dilihat oleh pak Marsudi Lastri sedang mencuci daging.
"Sudah selesai itu Tri?" tanya pak Marsudi kepada Lastri..
"Sudah pak, ibu suruh masukkan ke panci presto."

"Ya sudah, kamu pergi sana. Cuci tanganmu dan ganti baju yang bagus."
"Ada apa to pak?" tanya bu Marsudi sambil menumis bumbu. 
"Wah, ibu mau memasak rawon kan? Hm.. harumnya."
"Ini Lastri mau disuruh kemana to pak?"
"Ada temannya Bayu mau mengajak Lastri pergi. Biarkan saja, Lastri kan tidak harus terus-terusan bekerja. Biar dia senang. Lastri, kok masih berdiri disitu? Cepat ganti baju, ditungguin tuh."

"Tapi saya masih membantu ibu, biar saya disini saja."
"Tidak Lastri, jangan membantah, cepat ganti bajumu !!"
Lastri tertegun. Kata-kata pak Marsudi seperti sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Matanya tajam menatap Lastri, membuat Lastri surut kebelakang, lalu menuruti apa kata pak Marsudi.

Sesungguhnya pak Marsudi kecewa, karena ketika Lastri keluar, dilihatnya Bayu juga sudah ganti pakaian, siap untuk berangkat bersama Sapto.Tapi tak ada alasan bagi pak Marsudi untuk melarang Bayu pergi.  Lastri yang enggan pergi,  agak lega melihat Bayu ikut.Tapi ia heran mengapa pak Marsudi memaksanya pergi.
*

 "Mengapa sih pak, bapak memaksa Lastri pergi. Dari beberapa hari yang lalu, nak Sapto itu mencari-cari Lastri terus. " kata bu Marsudi ketika mereka sudah berpamit untuk pergi. Pak Marsudi duduk dimeja dapur, menungguin isterinya memasak.

"Sebetulnya bapak itu khawatir bu."
"Khawatir apa  pak?"
"Menurut pengamatan bapak, Bayu itu kok sepertinya suka sama Lastri. Dan temannya Bayu itu sepertinya juga suka sama Lastri, lalu bapak dorong saja supaya nak Sapto sama Lastri bisa dekat dan siapa tau berjodoh. Tapi sebenarnya bapak kecewa kenapa tadi Bayu ikut-ikutan pergi. Mau bapak larang kok alasannya nggak ada."

"Ah, bapak ada-ada saja."
"Iya bu, benar itu. Orang suka itu kan kelihatan."
"Bapak jangan meng ada-ada."
"Ibu dikasih tau kok nggak percaya. Dengar, beberapa hari yang lalu, bapak bilang sama Bayu, supaya segera menikah. Umurnya sudah cukup, tapi dia menolak. Katanya mau cari sendiri kalau sudah sa'atnya nanti. Tadi bapak bilang mau mencarikan jodoh untuk Lastri, eh dia juga menolak keras. Bapak benar-benar khawatir."

"Dia menolak itu alasannya apa, kalau alasannya jelas ya nggak usah difikirkan, anak jaman sekarang memang nggak mau di jodoh-jodohin, biarkan saja."
"Nanti kalau sudah kejadian, ada hal-hal yang tidak kita inginkan, ibu jangan salahkan bapak lho ya."

"Sudah pak, bapak jangan memikirkan ulah anak-anak muda itu, mereka sudah dewasa, pasti sudah tau mana yang terbaik bagi diri mereka. Kalau Bayu ikut, ya syukurlah, biar dia bisa menjagga Lastri, ibu kok nggak percaya sama temannya Bayu itu."

"Kenapa nggak percaya" Dia itu ganteng, sudah mapan, Beruntung kalau dia suka sama Lastri."
"Bukan gantengnya atau mapannya, tapi nggak tau lah, ibu takut salah. Semoga yang terbaik saja untuk Lastri. Dia itu sejak kecil kan sudah kita anggap sebagai keluarga, jadi kalau dia mendapatkan kehidupan yang baik, kita harus mensyukurinya. Tapi ada baiknya kita ikut menjaga, seperti menjaga keluarga kita sendiri."

Bau rawon itu semakin menyengat, bu Marsudi hampir menyelesaikan masakannya. Ia sudah menggoreng perkedel, membuat sambal dan menyiapkan segela perlengkapan dimeja dapur. Pak Marsudi menopang kepalanya dengan kedua tangannya, seperti memikirkaan sebuah perso'alan yang berat. Dan bau rawon yang biasanya menjadi kesukaannya itu seakan tidak mengusiknya.

"Bapak mau makan disini atau dimeja makan, kita nggak usak menunggu mereka, pasti mereka sudah makan diluar."
"Disini saja lah bu, sudah terlanjur duduk," katanya tak bersemangat.
*

Setelah mengajaknya keliling kota, Sapto mengajaknya makan disebuah restoran. Wajah Bayu tampak kesal, sementara Lastri tak banyak bicara. Ia bersedia pergi karena pak Marsudi seperti 'memerintahnya'

"Sebenarnya kamu tuh maunya apa sih Sap? Jalan-jalan nggak jelas," gerutu Bayu setelah mereka duduk disebuah meja dirumah makan itu.
"Bayu, kamu itu kan sudah tau apa mauku. Masih tanya lagi," kata Sapto sambil melirik kearah Lastri.
"Aku sudah bilang 'tidak' !!"
"Itu kan kamu, bagaimana yang bersangkutan dong, Ayo mau pesan apa Lastri?"
"Terserah mas Bayu saja," jawab Lastri pelan.
"Tuh kan, dia itu selalu terserah aku. Semuanya," kata Bayu sambil tersenyum.
"Makan yang ringan-ringan saja mas, tadi ibu kan masak rawon," kata Lastri mengingatkan.
"Oh iya, aku lupa."

"Nanti sampai dirumah makan lagi, gitu saja kok repot," kata Sapto sambil memanggil pelayan.
"Aku mau minum jus mangga. Kamu Yu?"
"Aku es kopyor, dua sama Lastri, ya kan?" jawab Bayu sambil menatap Lastri. Lastri mengangguk sambil tersenyum. Bayu sedikit berdebar melihat senyum itu. Alangkah manisnya 'adikku' itu, pikirnya.

"Baiklah, Mau makan apa? Aku mau steak ah.. sirloin steak.. "
"Aku sama Lastri gado-gado saja, supaya sampai dirumah nanti sudah lapar lagi dan bisa makan rawon bikinan ibu," kata Bayu menimpali.

Lagi-lagi Lastri mengangguk sambil tersenyum. Sapto agak kesal melihat senyuman Lastri yang ditujukan pada Bayu. Hm, aku yang nraktir, mengapa yang dikasih senyum Bayu? Pikirnya konyol. Tapi ia melihat senyuman Bayu yang dirasanya sedikit aneh. Apakah itu senyuman seorang kakak terhadap adiknya?
"Lastri mau ujian kapan sih?" tanya Sapto mencoba menarik hati Lastri, dan juga mencoba menarik senyuman Lasri.
"Masih Minggu depan mas," jawab Lastri. Tapi jawaban itu tanpa senyum. Sapto menghela nafas.

"Tadi ketika aku kesana Lastri lagi belajar ya?"
"Lagi masak, bantuin ibu," senyum itu belum nampak.
"Lhoh, kata Bayu lagi belajar," kata Sapto sambil memandangi Bayu. Bayu tersenyum.
"Belajar lah, belajar memasak sama ibu, ya kan Tri?"
Dan kali ini Lastri tersenyum. Tapi senyum itu ditujukan lagi pada Bayu.
Aduuh, susah ya orang jatuh cinta? Tapi ini kan baru sekali, Sapto berjanji akan lebih bisa menark hati Lastri pada kali yang lain.

Tiba-tiba...
"Lastri....?"
Sebenarnya itu bukan panggilan tapi sebuah ucapan terkejut, ketika melihat seseorang yang dikenalnya. Tapi karena Bayu, Sapto dan Lastri duduknya dimeja depan dan agak ketepi, bisa mendengar suara itu. Ketiganya menoleh kearah seorang laki-laki yang membawa kotak buah-buahan, tapi kemudian berhenti disamping rumah makan itu karena melihat Lastri.
"Mas Timan !!" pekik Lastri yang kemudian berdiri dan menghampirinya.

Bayu dan Sapto heran, melihat Lastri begitu perhatian pada laki-laki muda itu.
"Lagi ngapain mas?" sapa Lastri setelah dekat.
Sapto lebih dulu keluar dan mendekat.
"Biasa Tri, aku kan setiap siang mengirim buah-buahan pada beberapa rumah makan," jawab Timan.
"Oh, syukurlah laris mas."
"Lagi sama majikan kamu?" tanya Timan, dan itu mengejutkan Sapto yang sudah berada didekat mereka. Kata 'majikan' itu membuat Sapto bertanya-tanya.
*
Bersambung

*LASTRI  06*

"Ya sudah, sana.. selamat makan ya, senang melihat majikan kamu sangat baik terhadap pembantunya," kata Timan yang kemudian melangkah kebelakang restoran. Lastri membalikkan tubuhnya, tapi bertabrakan dengan Sapto yang kemudian memeluknya tanpa sengaja. Lastri meronta dan menatap kesal pada Sapto, kemudian ia berjalan kedalam rumah makan itu lagi, lalu duduk dikursi, dihadapan Bayu yang menatapnya tanpa berkedip.

Sapto mengikutinya. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Jadi Bayu itu majikannya? Lastri bukan adiknya? Apakah karena wajahnya cantik, kemudian diakuinya sebagai adik? Lalu Sapto teringat cara Bayu memandang Lastri, terasa aneh, dan itu bukan pandangan seorang kakak. Apakah Bayu juga mencintai Lastri? Itu sebabnya dia selalu menghalanginya"
"Itu penjual buah yang tadi mengantar kamu pulang?" tanya Bayu dengan menatap tajam wajah Lastri.

"Iya mas, dia itu sering mengirim buah-buahan ke beberapa restoran dikota ini."
"Hm, banyak dong duitnya."
"Ya nggak tau mas, banyak atau tidak...Tapi sedikit atau banyak, yang namanya rejeki kan harus disyukuri. Banyak atau sedikit yang penting bekerja, bukan dari minta-minta. Ya kan?"
"Benar Lastri, pintar kamu."
"Lastri memang hebat."

Pesanan yang sudah disajikan, disantap ketiganya dengan nikmat. Sapto tak banyak bicara dan itu mengherankan Bayu.
"Kamu kekenyangan ya? Kok tiba-tiba jadi pendiam?"
"Bukan pendiam, lagi menikmati makanan enak, kalau banyak bicara nanti nikmatnya hilang dong," jawab Sapto sambil mengelap mulutnya. Lalu diteguknya jus yang dipesannya.
"Mas, habis ini kita pulang kan?" tanya Lastri tiba-tiba.
"Ya, tapi habiskan dulu makanan kamu, tuh masih belum habis."
"Iya, pasti nanti Lastri habiskan."

Bayu terus menatap Lastri, senang melihat Lastri makan dengan lahap.
"Kamu lapar ya? Tadi pagi belum sarapan?" tanya Bayu.
"Iya belum, habis bersih-bersih dapur terus ke pasar, terus mau ngebantuin ibu masak, diajak pergi."
"Mau nambah lagi?" Sapto menawarkan.
"Oh, ya enggak. Terimakasih, sudah kenyang nih," jawab Lastri sambil tersenyum, tapi tanpa memandang kearah Sapto. Lastri memasukkan suapan terakhir kemulutnya, lalu meneguk es kopyornya.
"Sapto, setelah ini aku sama Lastri nggak usah kamu antar pulang." kata Bayu.

"Lho, tadi aku yang nyamperin, masa nggak boleh ngantar pulang."
"Bukan begitu, aku sama Lastri mau mampir-mampir, sekalian belanja kebutuhan aku sendiri. Atau mungkin Lastri juga membutuhkan sesuatu."
"Gitu ya, tapi aku juga mau ngantar kok. Bagaimana?"
"Nggak usah, terimakasih, takutnya kami akan lama, kasihan kamu kan?"
"Lalu kalian mau naik apa?"
"Gampang, banyak taksi..  dan terimakasih telah diajak jalan-jalan ya."
"Kebetulan kita libur, dan lagi nggak ada acara." jawab Sapto datar. Sedikit mengherankan perubahan sikap Sapto ini, tapi Bayu dan Lastri tak memperdulikannya.
*

"Sebetulnya kita mau kemana?" tanya Lastri yang sedari tadi diajak jalan dan digandeng tangannya oleh Bayu.
"Jalan-jalan saja. Didepan itu ada mal, aku mau beli sabun dan apa ya yang habis dirumah?"
"Shampo mas juga tinggal sedikit."
"Oh ya, rupanya kamu juga memperhatikan keperluanku ya?"
"Kan baru pagi tadi mas berteriak dari kamar mandi, bilang bahwa shamponya hampir habis."
"Iya.. iya, pintar kamu. Itu benar."

Bayu mengajak Lastri mengitari mal itu, apa yang dibutuhkannya sudah dibelinya. Dan ketika masuk ke ruang tempat baju-baju dijual, Bayu menarik Lastri agar mendekat.
"Ada apa?"
"Baju ini bagus ya, aku suka warnanya. Salem itu teduh untuk dipandang."
"Lho, mas itu laki-laki, mengapa mau beli gaun?" tanya Lastri sambil menutup mulutnya karena geli.
"Bukan buat aku.."
"O, buat pacar mas Bayu?"
"Hush! Pacar apa... ini buat kamu."
"Buat aku?" Lastri terkejut.Baju itu sangat mahal untuk ukurn dia. Harganya ratusan ribu. Lastri pergi menjauh dari tempat itu, melihat lihat baju-baju lain yang tergntung disana sini. Tapi tiba-tiba Bayu menariknya kembali ketempat baju yang tadi ditunjukkannya.

"Lastri... gimana sih?"
"Apa ta mas?"
"Ini, baju ini bagus bukan?"
"Ya bagus lah, harganya juga bagus."
"Kamu suka?"
"Nggak suka."

"Lastri, aku mau beli baju ini untuk kamu."
"Jangan mas, aku ini siapa, mana pantas memakai baju seindah itu?" Ayo kita pulang, kita perginya sudah lama."
"Lastri.. aku serius."
"Aku juga serius. Mas jangan begitu,saya jadi nggak enak. Saya tau saya ini siapa. Jadi jangan berlebihan," kata Lastri sambil menjauh.

"Tidak Lastri, kamu harus menerimanya. Menolak rejeki itu tidak baik."
"Rejeki yang berlebihan juga tidak baik."
Tapi Bayu nekat mengambilnya, dan membawanya ke kasir. Ukuran baju hanya dikira-kira saja, menurut Bayu pasti pas.

Mereka pulang dengan naik taksi. Bayu tersenyum-senyum melihat wajah Lastri yang cemberut. Pemberian itu justru membuat perasaan Lastri sangat tidak enak. Tapi melihat senyuman Bayu, Lastri jadi teringat ketika bertabrakan dipintu. Bayu memeluknya erat, tidak sengaja tapi depeluknya lama. Lastri jadi ketakutan akan perasaan hatinya. Senyuman Bayu kali ini persis seperti senyuman Bayu ketika dia meronta dari pelukannya, dan itu membuat jantungnya berdebar. Lastri bukan anak kecil. Ia merasa ini tidak wajar. Tapi bagaimana melepaskan diri dari perasaan aneh yang menyergapnya?
*

Sore hari itu, ketika sedang berdua menyiapkan makan malam, Lastri mendekati bu Marsudi dengan membawa bungkusan besar. Itu bungkusan baju yang dibelikan Bayu siang tadi.
"Bu.."
"Ada apa Tri? Apa ini?" tanya bu Marsudi karena Lastri mengangsurkan sebuah bungkusan.
"Bu, saya merasa tidak enak sekali. Siang tadi mas Bayu membelikan saya ini,"


Bu Marsudi membuka bungkusan itu, dan melihat sebuah gaun indah berwarna salem, dengan sulaman-sulaman cantik didadanya.
"Indah sekali."
"Ibu simpan saja, saya merasa tidak pantas bu.."
"Lho, Bayu membelikan baju ini untuk kamu, mengapa ibu yang harus menyimpannya? Sudak disimpan saja sana, bisa kamu pakai kalau kamu pergi kepesta.. " bu Marsudi memberikan bungkusan itu lagi kepada Lastri.

"Kepesta bu, Lastri kan tidak pernah ke pesta?"
"Ya siapa tau pada suatu hari nanti. Sudahlah Tri, simpan saja."
Lastri tak bisa menolak, ia masuk kekamarnya dan menyimpan gaun itu didalam almari.

Senyuman Bayu kembali melintas dimatanya. Ya Tuhan, ini tidak boleh, aku ini siapa, tidaak, bisik batinnya. Kemudian ia kembali ke dapur untuk membantu bu Marsudi.
"Lastri, kamu kan mau ujian. Mulai besok jangan dulu bantu-bantu pekerjaan. Fokus pada pelajaran kamu, supaya hasil ujianmu bagus."

"Iya bu, tapi kan Lastri tidak harus terus-terusan memegangi buku. Kalau hanya ditinggal bantu-bantu ibu kan tidak apa-apa."
"Lastri, jangan bandel. Pokoknya mulai besok sampai ujian selesai kamu hanya boleh belajar dan bukan yang lainnya.
*

Tapi malam itu pak Marsudi marah sekali. Ketika sedang santai di teras rumah, bu Marsudi mengatakan bahwa Bayu membelikan baju untuk Lastri.
"Aku bilang apa, ini sebuah tanda-tanda yang tidak baik," katanya sengit.
"Tidak baik bagaimana ta pak?"
"Untuk apa Bayu membelikan baju untuk Lastri coba? Kalau dia tidak punya perasaan apa-apa, mana mungkin dia melakukannya?"

"Pak, Lastri itu ikut bersama kita sudah puluhan tahun, dan tak ada perilakunya yang mengecewakan kita. Apa salahnya Bayu memberikan hadiah?"
"Salah bu. Salah !!"
"Ya enggak pak, itu kan ungkapan terimakasih."

"Aku kan sudah bilang, aku melihat tanda-tanda yang tidak wajar pada Bayu. Dia mnyukai Lastri, dan itu tidak boleh terjadi."
"Pak, kok bapak bilang begitu?"
"Kita ini dari keluarga terpandang bu, masa akan mempunyai menantu seorang pembantu, yang tidak jelas siapa orang tuanya, asal usulnya.."

"Bapak bicara terlalu jauh, hanya karena baju, dan bapak memikirnya sudah kemana-mana."
"Seandainya itu terjadi, dan benar Bayu suka sama dia, apa ibu bisa menerimanya?"
"Kalau Lastri adalah seorang yatim piatu, berasal dari desa, apakah itu salahnya Lastri?"
"Apa maksud ibu ?"
"Yang ibu tau adalah, bahwa Lastri cantik, pintar, jujur, dan kelakuannya baik, tidak ada cacat celanya."
"Jadi ibu suka?"
"Jodoh itu bukan kita yang menentukannya."

"Waduh, ibu ini sangat keterlaluan. Pokoknya begini bu, kita harus berusaha supaya Bayu jauh dari dia."
"Bagaimana caranya?"
"Carikan jodoh untuk Lastri."

"Apa?"
"Nanti kalau Lastri sudah lulus, kita sudah harus menyiapkan jodoh untuk dia. Mungkin nak Sapto, karena bapak lihat dia itu suka, mungkin juga si tukang buah itu."
"Nggak tau lah pak, ibu nggak mau ikut-ikut.." kata bu Marsudi sambil berdiri, kemudian masuk kedalam rumah."

Pak Marsudi sangat kesal karena isternya tidak sependapat dengan dirinya. Ia ingin memarahi Bayu malam itu juga, tapi diurungkannya. Ia harus menemukan jalan untuk bicara sama Sapto, atau si tukang buah itu lebih dulu.
*

Hari-hari berjalan sangat cepat. Tak ada yang mengganggu Lastri sa'at Lastri ujian, sampai kemudian ada pengumuman tentang kelulusan.
Hari sudah siang tapi Bayu belum juga berangkat kerja.
"Ini sudah siang, mengapa kamu belum berangkat kerja Yu, padahal pakaian kerja sudah rapi begitu."

"Bayu mau mengantar Lastri dulu bu."
"Mengantar kemana? Hari ini Lastri akan melihat pengumuman ujian di sekolahnya."
"Iya, Bayu akan mengantar ke sekolahnya, nanti kalau Lastri lulus dengan nilai bagus, Bayu akan memberinya hadiah."
"Bayu, ibu hanya memperingatkan, jaga jarak antara kamu dan Lastri. Tampaknya bapak tidak suka."
"Ya, Bayu tau, tapi kan Lastri yang mau melihat pengumuman hasil ujian harus ada yang mendukungnya. Dia itu sebatang kara bu, Bayu hanya berusaha supaya dia tidak merasa sendiri."

Bu Marsudi setuju dengan alasan Bayu, sehingga dia tidak bisa melarangnya. Ketika dilihatnya Lastri sudah siap mau berangkat, Bayu menahannya.
"Ayo aku mau mengantar kamu."
"Lho, Lastri cuma mau ke sekolah, mengapa diantar ?"
"Iya, kamu kan mau melihat hasil ujian?"
"Iya."
"Itu sebabnya aku harus mengantar kamu."
"Kayak anak kecil saja, pake diantar segala. Nggak usah mas, Lastri biasanya juga sendiri kok."
"Tapi ini kan tidak biasa, kamu mau melihat pengumuman ujian kamu. Kalau kamu tiba-tiba pingsan siapa yang akan menolong kamu?"
"Mengapa saya pingsan?"

"Namanya melihat pegumuman, bisa saja pengumuman itu hasilnya bagus, kamu lulus. Lha kalau tidak, lalu kamu tiba-tiba pingsan?"
"Ah mas Bayu meng ada-ada, sudah, Lastri berangkat sendiri saja," kata Lastri sambil terus melangkah, tapi Bayu menahannya dengan memegang lengannya erat.

"Jangan begitu mas."
"Jangan bandel, ayo ikut aku." kata Bayu sambil menarik tangan Lastri kearah mobil, dan memaksanya naik. Bu Marsudi yang mengantar sampai ke pintu hanya geleng-geleng kepala. Sesungguhnya Lastri gadis yang baik. Tidak aneh kalau banyak yang menyukai dia, termasuk Bayu anaknya. Tapi bu Marsudi ketakutan sendiri. Kalau hal itu terjadi, maka pasti akan terjadi guncangan dirumah ini.
*

Sorak gemuruh bagi yang berhasil masih terdengar, sayup semakin jauh, karena Lastri sudah berada dimobil Bayu dan dibawanya pergi. Pastilah Lastri lulus, karena dia anak pintar. Sejak SD dia selalu juara. Dan Lastri merasa puas karena tidak mengecewakan keluarga yang telah membeayainya.

Wajah manisnya berbinar, senyumnya terus mengembang. Senyum itukah yang membuat Bayu tergila-gila? Entahlah, tapi mungkin witing tresna jalaran saka kulina itu yang membuatnya. Ia teringat sikap ayahnya, dan tentulah akan ada penolakan seandainya benar dia mencintai Lastri.

"Lho mas, kok kesini? Bukan kearah pulang?" kata Lastri ketika mobilnya berjalan kearah yang berlawanan dari rumah.
"Sebentar, aku mau mampir ke suatu tempat."
"Aduh mas, bukankah mas Bayu sudah harus pergi ke kantor?"
"Aku sudah ijin, sebentar saja. Hanya mencari tempat yang sepi."
"Apa ?"

Lastri berdebar-debar tidak karuan. Mencari tempat sepi untuk apa?
Tapi Bayu memang menghentikan mobilnya disebuah tempat sepi. Agak masuk kesebuah jalan kecil, yang kiri kanannya adalah persawahan. Bayu membuka kaca mobilnya. Semilir angin sejuk menerpa wajah-wajah mereka. Benar-benar angin segar, jauh dari polusi karena hiruk pikuknya kendaraan di jalan raya.

"Mau apa ta mas.."
"Ini... buat kamu."
"Ini apa? Aduuh mas, jangan begitu.. saya sudah cukup mendapat perhatian dari keluarga mas Bayu, itu lebih dari cukup, dan jangan memberi saya apapun lagi."
"Buka dulu, jangan cerewet," tegur Bayu sambil memencet hidung Lastri yang mancung ."

Lastri membukanya dengan gemetar. Bukan karena hadiah yang entah apa isinya, tapi karena sentuhan jari Bayu diwajahnya.
Bayu membantu membuka bungkusan itu, karena Lastri melakukannya lama sekali, kecuali itu Bayu ingin menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Lastri.
"Haa.. ponsel," pekik Lastri.
"Kamu membutuhkannya. Supaya bisa berkomunikasi dengan siapapun dengan baik. Itu penting kamu miliki."
"Tt..tapi.. mengapa ini semua mas Bayu? Lastri benar-benar takut.."
"Jangan takut," jemari Bayu menyentuh pipi Lastri.

Tapi tiba-tiba didengarnya mobil berhenti dibelakang mereka, lalu klakson yang bertalu-talu terdengar memekakkan telinga.
*

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar