*LASTRI 05*
"Lastri...
Lastri.."
Lastri yang sedang
menata belanjaannya menoleh kearah Bayu, yang memanggilnya dengan bertubi-tubi.
"Ada apa mas ?
"Kamu tadi diantar
oleh siapa?"
"O, tadi itu,
namanya mas Timan, penjual buah dipasar."
"Apa biasanya dia juga
mengantar kamu sehabis belanja?"
"Enggak mas, baru
kali ini, karena dia memberi selirang pisang ambon dan saya nggak bisa
membawanya. Itu mas, dimeja."
"Iya Yu, itu
pisangnya, enak, ini.. ibu sudah mengambilnya satu, belum habis , lha besarnya
se lengan ibu sih." kata bu Marsudi menimpali.
Bayu melihat ke arah
meja makan.
"Cobalah Yu, dan
bawakan juga untuk bapak."
"Ah, Bayu nggak
suka pisang ambon," kata Bayu sedikit tak acuh. Ada rasa kurang senang
ketika mengetahui si penjual buah mengantar Lastri, terus memberi selirang buah
pisang pula.
"Masa nggak suka,
biasanya kamu suka pisang ambon kan?"
"Iya, tapi nggak
suka yang besar-besar begitu. Makan satu saja bisa kekenyangan."
"Ya ambil separo,
gitu aja kok repot," omel bu Marsudi.
Bayu mengambil basi
berisi pisang dan dibawanya keteras, diletakkan dimeja dihadapan ayahnya.
"Ini pak.."
"Apa itu?"
"Pisang, bapak suka
kan ?"
"Lastri membelinya?
O.. bukan, ini dikasih si penjual buah itu tadi."
"Iya, ibu bilang
enak, kayaknya matang pohon."
"Besar-besar sekali
pisangnya," kata pak Marsudi lalu mengambil sebuah.
"Aku separo saja,
yang separo lagi buat kamu ya."
"Ternyata
enak," kata Bayu setelah mengunyah satu gigitan pisangnya. Tapi tiba-tiba
diletakkannya sisa pisang itu dimeja ketika teringat bahwa pisang itu pemberian
si tukang buah untuk Lastri. Kenapa aku ini? Cemburu? Ya Tuhan, tidak.. lalu
witing trena itu muncul lagi dibenaknya.
"Lastri itu kan
sudah mau ujian sekolah," tiba-tiba kata pak Marsudi.
"Ada apa? Bapak mau
menyruhnya kuliah?"
"Tidak, tidak..
ibumu pernah bicara so'al itu, tapi aku tidak setuju."
"Bapak keberatan
membiayai kuliahnya?"
"Bukan keberatan,
bapak punya uang tapi bapak kira itu sudah cukup buat Lastri."
"Bagaimana kalau
Bayu saja yang membiayainya?"
"Apa? Tidak Bayu,
bapak tidak setuju, lebih baik carikan jodoh untuk Lastri."
Bayu terkejut.
Dipandanginya ayahnya lekat-lekat.
"Ada apa denganmu
Yu? Kamu tidak setuju ?"
"Ini bukan jamannya
menjodoh-jodohkan orang pak. Kasihan Lastri."
"Kasihan bagaimana
maksudmu?"
"Biarkan dia
memilih apa yang dia suka, siapa yang dia suka, kasihan kalau kita mengatur
hidupnya."
"Bapak kan
memilihkan yang terbaik untuk Lastri? Dia itu umurnya sudah sekitar duapuluhan
lebih, kalau dulu dia datang kemari umurnya sebelasan tahun, sekarang sudah duapuluh
tiga tahun. Didesa, gadis seumur itu sudah disebut perawan tua."
"Ini bukan didesa
pak, mengapa harus ikut-ikutan tradisi desa?"
"Kenapa juga kamu
menentangnya?" pak Marsudi menatap curiga.
Bayu memalingkan
mukanya.
"Tukang buah yang
mengantar Lastri tadi pagi itu cocog untuk Lastri."
"Apa?" Bayu
kembali memandangi ayahnya. Ada rasa kesal mendengar keinginan ayahnya.
"Bapak kok gitu.
Bagaimana kalau tukang buah itu sudah punya isteri?"
"Ya nanti kita
tanya lah, kalau cocog ya bagus, bapak yang akan membiayai pernikahan Lastri
nanti."
"Jangan pak."
"Mengapa kamu
seperti tidak suka?"
"Bukan tidak suka,
Bayu kurang suka kalau kita mengatur hidupnya Lastri, termasuk jodohnya
juga."
"Bapak kan mau
menanyakannya dulu, kalau cocog ya oke lah, kalau nggak ya nggak akan memaksa,
tapi melihat gelagatnya kok cocog."
"Bapak
mengarang."
Tiba-tiba sebuah mobil
memasuki halaman. Bayu mengerutkan keningnya karena tau siapa yang datang.
"Tamu siapa
dia?"
"Teman Bayu
pak," kata Bayu yang kemudian berdiri menyambut.
Tamu itu memang Sapto,
ia turun dari mubil dengan penampilan yang menurut Bayu agak berlebihan. Pakai
celana jean dan kaos lengan pendek yang bergambar-gambar, pakai kacamata hitam
besar, pokoknya semua membuat Bayu kesal.
"Hallo bro. Hari
Minggu kok dirumah saja," katanya begitu sampai dihadapan Bayu. Tapi
matanya nyelonong kedalam rumah, barangkali ada Lastri disana. Tapi yang ada
malah pak Marsudi, yang memandangnya seperti orang tak kenal.
Melihat pak Marsudi,
Sapto mencopot kacamatanya dan mengangguk hormat.
"Selamat siang
om," sapanya sambil mendekat lalu mencium tangan pak Marsudi.
"Aku kok agak
pangling ya.. ini siapa?"
"Saya Sapto om. Om
lupa ya?"
"O.. iya, Sapto
temannya Bayu SMA?"
"Iya, tuh om masih
ingat."
"Iya, sudah lama
nggak main kesini. Ayo silahkan duduk, om mau kebelakang."
"Ya om, ma'af kalau
mengganggu."
"Nggak apa-apa.
Silahkan," kata pak Marsudi sambil melangkah kebelakang, sedangkan Sapto
kemudian duduk dengan santai.
"Kamu ini kayak
remaja saja, pakai kaos kayak begitu." tegur Bayu sambil duduk dihadapan
Sapto.
"Memangnya aku
sudah tua? Eh, mana Lastri?"
"Nggak ada."
"Aduh, jangan gitu
dong Yu, aku mau mengajaknya jalan-jalan, sama kamu sekalian juga nggak
apa-apa."
"Dia harus belajar.
Minggu depan mau ujian."
"Ini hari libur,
jangan dipakai buat mikir terus, nanti bisa stress.."
"Ya enggak.. masa
belajar saja bisa membuat orang stress."
Tiba-tiba pak Marsudi
muncul kembali. Maksudnya mau mengambil pisang yang tadi masih tertinggal.
Ternyata makan separo masih kurang.
"Ada apa nak? Siapa
yang stress?" tanya pak Marsudi.
"Itu om, Lastri,
katanya belajar terus karena mau ujian. Bukankah ada baiknya istirahat sejenak,
menenangkan pikir sambil jalan-jalan?"
"Nak Sapto mau mengajaknya
jalan?"
"Sebenarnya begitu
om, tapi dilarang sama Bayu, katanya lagi belajar."
"Ah, biarin saja
kalau hanya jalan-jalan sebentar. Biar om suruh Lastri bersiap," kata pak
Marsudi sambil mengambil sebuah pisang lalu melangkah ke belakang.
"Tuh, bapak kamu
mengijinkan, mengapa kamu melarang?"
"Dasar kamu yang
pinter ngomng. Oke kalau begitu, aku juga harus ikut," kata Bayu sambil
bangkit lalu meninggalkan Sapto cengar cengir kesenangan.
*
"Bu..bu... mana Lastri?" teriak pak
Marsudi sambil menuju kearah dapur.
"Ini pak, lagi
mbantuin ibu didapur," kata bu Marsudi sambil menggiling bumbu. Dilihat
oleh pak Marsudi Lastri sedang mencuci daging.
"Sudah selesai itu
Tri?" tanya pak Marsudi kepada Lastri..
"Sudah pak, ibu
suruh masukkan ke panci presto."
"Ya sudah, kamu
pergi sana. Cuci tanganmu dan ganti baju yang bagus."
"Ada apa to
pak?" tanya bu Marsudi sambil menumis bumbu.
"Wah, ibu mau
memasak rawon kan? Hm.. harumnya."
"Ini Lastri mau
disuruh kemana to pak?"
"Ada temannya Bayu
mau mengajak Lastri pergi. Biarkan saja, Lastri kan tidak harus terus-terusan
bekerja. Biar dia senang. Lastri, kok masih berdiri disitu? Cepat ganti baju,
ditungguin tuh."
"Tapi saya masih
membantu ibu, biar saya disini saja."
"Tidak Lastri,
jangan membantah, cepat ganti bajumu !!"
Lastri tertegun.
Kata-kata pak Marsudi seperti sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Matanya
tajam menatap Lastri, membuat Lastri surut kebelakang, lalu menuruti apa kata
pak Marsudi.
Sesungguhnya pak Marsudi
kecewa, karena ketika Lastri keluar, dilihatnya Bayu juga sudah ganti pakaian,
siap untuk berangkat bersama Sapto.Tapi tak ada alasan bagi pak Marsudi untuk
melarang Bayu pergi. Lastri yang enggan
pergi, agak lega melihat Bayu ikut.Tapi
ia heran mengapa pak Marsudi memaksanya pergi.
*
"Mengapa sih pak, bapak memaksa Lastri
pergi. Dari beberapa hari yang lalu, nak Sapto itu mencari-cari Lastri terus.
" kata bu Marsudi ketika mereka sudah berpamit untuk pergi. Pak Marsudi
duduk dimeja dapur, menungguin isterinya memasak.
"Sebetulnya bapak
itu khawatir bu."
"Khawatir apa pak?"
"Menurut pengamatan
bapak, Bayu itu kok sepertinya suka sama Lastri. Dan temannya Bayu itu
sepertinya juga suka sama Lastri, lalu bapak dorong saja supaya nak Sapto sama
Lastri bisa dekat dan siapa tau berjodoh. Tapi sebenarnya bapak kecewa kenapa
tadi Bayu ikut-ikutan pergi. Mau bapak larang kok alasannya nggak ada."
"Ah, bapak ada-ada
saja."
"Iya bu, benar itu.
Orang suka itu kan kelihatan."
"Bapak jangan meng
ada-ada."
"Ibu dikasih tau
kok nggak percaya. Dengar, beberapa hari yang lalu, bapak bilang sama Bayu,
supaya segera menikah. Umurnya sudah cukup, tapi dia menolak. Katanya mau cari
sendiri kalau sudah sa'atnya nanti. Tadi bapak bilang mau mencarikan jodoh
untuk Lastri, eh dia juga menolak keras. Bapak benar-benar khawatir."
"Dia menolak itu
alasannya apa, kalau alasannya jelas ya nggak usah difikirkan, anak jaman
sekarang memang nggak mau di jodoh-jodohin, biarkan saja."
"Nanti kalau sudah
kejadian, ada hal-hal yang tidak kita inginkan, ibu jangan salahkan bapak lho
ya."
"Sudah pak, bapak
jangan memikirkan ulah anak-anak muda itu, mereka sudah dewasa, pasti sudah tau
mana yang terbaik bagi diri mereka. Kalau Bayu ikut, ya syukurlah, biar dia
bisa menjagga Lastri, ibu kok nggak percaya sama temannya Bayu itu."
"Kenapa nggak
percaya" Dia itu ganteng, sudah mapan, Beruntung kalau dia suka sama
Lastri."
"Bukan gantengnya
atau mapannya, tapi nggak tau lah, ibu takut salah. Semoga yang terbaik saja
untuk Lastri. Dia itu sejak kecil kan sudah kita anggap sebagai keluarga, jadi
kalau dia mendapatkan kehidupan yang baik, kita harus mensyukurinya. Tapi ada
baiknya kita ikut menjaga, seperti menjaga keluarga kita sendiri."
Bau rawon itu semakin
menyengat, bu Marsudi hampir menyelesaikan masakannya. Ia sudah menggoreng perkedel,
membuat sambal dan menyiapkan segela perlengkapan dimeja dapur. Pak Marsudi
menopang kepalanya dengan kedua tangannya, seperti memikirkaan sebuah
perso'alan yang berat. Dan bau rawon yang biasanya menjadi kesukaannya itu
seakan tidak mengusiknya.
"Bapak mau makan
disini atau dimeja makan, kita nggak usak menunggu mereka, pasti mereka sudah
makan diluar."
"Disini saja lah
bu, sudah terlanjur duduk," katanya tak bersemangat.
*
Setelah mengajaknya
keliling kota, Sapto mengajaknya makan disebuah restoran. Wajah Bayu tampak
kesal, sementara Lastri tak banyak bicara. Ia bersedia pergi karena pak Marsudi
seperti 'memerintahnya'
"Sebenarnya kamu
tuh maunya apa sih Sap? Jalan-jalan nggak jelas," gerutu Bayu setelah
mereka duduk disebuah meja dirumah makan itu.
"Bayu, kamu itu kan
sudah tau apa mauku. Masih tanya lagi," kata Sapto sambil melirik kearah
Lastri.
"Aku sudah bilang
'tidak' !!"
"Itu kan kamu,
bagaimana yang bersangkutan dong, Ayo mau pesan apa Lastri?"
"Terserah mas Bayu
saja," jawab Lastri pelan.
"Tuh kan, dia itu
selalu terserah aku. Semuanya," kata Bayu sambil tersenyum.
"Makan yang
ringan-ringan saja mas, tadi ibu kan masak rawon," kata Lastri
mengingatkan.
"Oh iya, aku
lupa."
"Nanti sampai
dirumah makan lagi, gitu saja kok repot," kata Sapto sambil memanggil
pelayan.
"Aku mau minum jus
mangga. Kamu Yu?"
"Aku es kopyor, dua
sama Lastri, ya kan?" jawab Bayu sambil menatap Lastri. Lastri mengangguk
sambil tersenyum. Bayu sedikit berdebar melihat senyum itu. Alangkah manisnya
'adikku' itu, pikirnya.
"Baiklah, Mau makan
apa? Aku mau steak ah.. sirloin steak.. "
"Aku sama Lastri
gado-gado saja, supaya sampai dirumah nanti sudah lapar lagi dan bisa makan
rawon bikinan ibu," kata Bayu menimpali.
Lagi-lagi Lastri
mengangguk sambil tersenyum. Sapto agak kesal melihat senyuman Lastri yang
ditujukan pada Bayu. Hm, aku yang nraktir, mengapa yang dikasih senyum Bayu?
Pikirnya konyol. Tapi ia melihat senyuman Bayu yang dirasanya sedikit aneh.
Apakah itu senyuman seorang kakak terhadap adiknya?
"Lastri mau ujian
kapan sih?" tanya Sapto mencoba menarik hati Lastri, dan juga mencoba
menarik senyuman Lasri.
"Masih Minggu depan
mas," jawab Lastri. Tapi jawaban itu tanpa senyum. Sapto menghela nafas.
"Tadi ketika aku
kesana Lastri lagi belajar ya?"
"Lagi masak,
bantuin ibu," senyum itu belum nampak.
"Lhoh, kata Bayu
lagi belajar," kata Sapto sambil memandangi Bayu. Bayu tersenyum.
"Belajar lah,
belajar memasak sama ibu, ya kan Tri?"
Dan kali ini Lastri
tersenyum. Tapi senyum itu ditujukan lagi pada Bayu.
Aduuh, susah ya orang
jatuh cinta? Tapi ini kan baru sekali, Sapto berjanji akan lebih bisa menark
hati Lastri pada kali yang lain.
Tiba-tiba...
"Lastri....?"
Sebenarnya itu bukan
panggilan tapi sebuah ucapan terkejut, ketika melihat seseorang yang dikenalnya.
Tapi karena Bayu, Sapto dan Lastri duduknya dimeja depan dan agak ketepi, bisa
mendengar suara itu. Ketiganya menoleh kearah seorang laki-laki yang membawa
kotak buah-buahan, tapi kemudian berhenti disamping rumah makan itu karena
melihat Lastri.
"Mas Timan !!"
pekik Lastri yang kemudian berdiri dan menghampirinya.
Bayu dan Sapto heran,
melihat Lastri begitu perhatian pada laki-laki muda itu.
"Lagi ngapain
mas?" sapa Lastri setelah dekat.
Sapto lebih dulu keluar
dan mendekat.
"Biasa Tri, aku kan
setiap siang mengirim buah-buahan pada beberapa rumah makan," jawab Timan.
"Oh, syukurlah
laris mas."
"Lagi sama majikan
kamu?" tanya Timan, dan itu mengejutkan Sapto yang sudah berada didekat
mereka. Kata 'majikan' itu membuat Sapto bertanya-tanya.
*
Bersambung
*LASTRI 06*
"Ya sudah, sana..
selamat makan ya, senang melihat majikan kamu sangat baik terhadap
pembantunya," kata Timan yang kemudian melangkah kebelakang restoran.
Lastri membalikkan tubuhnya, tapi bertabrakan dengan Sapto yang kemudian
memeluknya tanpa sengaja. Lastri meronta dan menatap kesal pada Sapto, kemudian
ia berjalan kedalam rumah makan itu lagi, lalu duduk dikursi, dihadapan Bayu
yang menatapnya tanpa berkedip.
Sapto mengikutinya. Ia
ingin bertanya tapi diurungkannya. Jadi Bayu itu majikannya? Lastri bukan
adiknya? Apakah karena wajahnya cantik, kemudian diakuinya sebagai adik? Lalu
Sapto teringat cara Bayu memandang Lastri, terasa aneh, dan itu bukan pandangan
seorang kakak. Apakah Bayu juga mencintai Lastri? Itu sebabnya dia selalu
menghalanginya"
"Itu penjual buah
yang tadi mengantar kamu pulang?" tanya Bayu dengan menatap tajam wajah
Lastri.
"Iya mas, dia itu
sering mengirim buah-buahan ke beberapa restoran dikota ini."
"Hm, banyak dong
duitnya."
"Ya nggak tau mas,
banyak atau tidak...Tapi sedikit atau banyak, yang namanya rejeki kan harus
disyukuri. Banyak atau sedikit yang penting bekerja, bukan dari minta-minta. Ya
kan?"
"Benar Lastri,
pintar kamu."
"Lastri memang
hebat."
Pesanan yang sudah
disajikan, disantap ketiganya dengan nikmat. Sapto tak banyak bicara dan itu mengherankan
Bayu.
"Kamu kekenyangan
ya? Kok tiba-tiba jadi pendiam?"
"Bukan pendiam,
lagi menikmati makanan enak, kalau banyak bicara nanti nikmatnya hilang
dong," jawab Sapto sambil mengelap mulutnya. Lalu diteguknya jus yang
dipesannya.
"Mas, habis ini kita
pulang kan?" tanya Lastri tiba-tiba.
"Ya, tapi habiskan
dulu makanan kamu, tuh masih belum habis."
"Iya, pasti nanti
Lastri habiskan."
Bayu terus menatap
Lastri, senang melihat Lastri makan dengan lahap.
"Kamu lapar ya?
Tadi pagi belum sarapan?" tanya Bayu.
"Iya belum, habis
bersih-bersih dapur terus ke pasar, terus mau ngebantuin ibu masak, diajak
pergi."
"Mau nambah
lagi?" Sapto menawarkan.
"Oh, ya enggak.
Terimakasih, sudah kenyang nih," jawab Lastri sambil tersenyum, tapi tanpa
memandang kearah Sapto. Lastri memasukkan suapan terakhir kemulutnya, lalu
meneguk es kopyornya.
"Sapto, setelah ini
aku sama Lastri nggak usah kamu antar pulang." kata Bayu.
"Lho, tadi aku yang
nyamperin, masa nggak boleh ngantar pulang."
"Bukan begitu, aku
sama Lastri mau mampir-mampir, sekalian belanja kebutuhan aku sendiri. Atau
mungkin Lastri juga membutuhkan sesuatu."
"Gitu ya, tapi aku
juga mau ngantar kok. Bagaimana?"
"Nggak usah,
terimakasih, takutnya kami akan lama, kasihan kamu kan?"
"Lalu kalian mau
naik apa?"
"Gampang, banyak
taksi.. dan terimakasih telah diajak
jalan-jalan ya."
"Kebetulan kita
libur, dan lagi nggak ada acara." jawab Sapto datar. Sedikit mengherankan
perubahan sikap Sapto ini, tapi Bayu dan Lastri tak memperdulikannya.
*
"Sebetulnya kita
mau kemana?" tanya Lastri yang sedari tadi diajak jalan dan digandeng
tangannya oleh Bayu.
"Jalan-jalan saja.
Didepan itu ada mal, aku mau beli sabun dan apa ya yang habis dirumah?"
"Shampo mas juga
tinggal sedikit."
"Oh ya, rupanya
kamu juga memperhatikan keperluanku ya?"
"Kan baru pagi tadi
mas berteriak dari kamar mandi, bilang bahwa shamponya hampir habis."
"Iya.. iya, pintar
kamu. Itu benar."
Bayu mengajak Lastri
mengitari mal itu, apa yang dibutuhkannya sudah dibelinya. Dan ketika masuk ke
ruang tempat baju-baju dijual, Bayu menarik Lastri agar mendekat.
"Ada apa?"
"Baju ini bagus ya,
aku suka warnanya. Salem itu teduh untuk dipandang."
"Lho, mas itu
laki-laki, mengapa mau beli gaun?" tanya Lastri sambil menutup mulutnya
karena geli.
"Bukan buat
aku.."
"O, buat pacar mas
Bayu?"
"Hush! Pacar apa...
ini buat kamu."
"Buat aku?"
Lastri terkejut.Baju itu sangat mahal untuk ukurn dia. Harganya ratusan ribu.
Lastri pergi menjauh dari tempat itu, melihat lihat baju-baju lain yang
tergntung disana sini. Tapi tiba-tiba Bayu menariknya kembali ketempat baju
yang tadi ditunjukkannya.
"Lastri... gimana
sih?"
"Apa ta mas?"
"Ini, baju ini
bagus bukan?"
"Ya bagus lah,
harganya juga bagus."
"Kamu suka?"
"Nggak suka."
"Lastri, aku mau
beli baju ini untuk kamu."
"Jangan mas, aku
ini siapa, mana pantas memakai baju seindah itu?" Ayo kita pulang, kita
perginya sudah lama."
"Lastri.. aku
serius."
"Aku juga serius.
Mas jangan begitu,saya jadi nggak enak. Saya tau saya ini siapa. Jadi jangan
berlebihan," kata Lastri sambil menjauh.
"Tidak Lastri, kamu
harus menerimanya. Menolak rejeki itu tidak baik."
"Rejeki yang
berlebihan juga tidak baik."
Tapi Bayu nekat
mengambilnya, dan membawanya ke kasir. Ukuran baju hanya dikira-kira saja,
menurut Bayu pasti pas.
Mereka pulang dengan
naik taksi. Bayu tersenyum-senyum melihat wajah Lastri yang cemberut. Pemberian
itu justru membuat perasaan Lastri sangat tidak enak. Tapi melihat senyuman
Bayu, Lastri jadi teringat ketika bertabrakan dipintu. Bayu memeluknya erat,
tidak sengaja tapi depeluknya lama. Lastri jadi ketakutan akan perasaan
hatinya. Senyuman Bayu kali ini persis seperti senyuman Bayu ketika dia meronta
dari pelukannya, dan itu membuat jantungnya berdebar. Lastri bukan anak kecil.
Ia merasa ini tidak wajar. Tapi bagaimana melepaskan diri dari perasaan aneh
yang menyergapnya?
*
Sore hari itu, ketika
sedang berdua menyiapkan makan malam, Lastri mendekati bu Marsudi dengan
membawa bungkusan besar. Itu bungkusan baju yang dibelikan Bayu siang tadi.
"Bu.."
"Ada apa Tri? Apa
ini?" tanya bu Marsudi karena Lastri mengangsurkan sebuah bungkusan.
"Bu, saya merasa
tidak enak sekali. Siang tadi mas Bayu membelikan saya ini,"
Bu Marsudi membuka
bungkusan itu, dan melihat sebuah gaun indah berwarna salem, dengan
sulaman-sulaman cantik didadanya.
"Indah
sekali."
"Ibu simpan saja,
saya merasa tidak pantas bu.."
"Lho, Bayu
membelikan baju ini untuk kamu, mengapa ibu yang harus menyimpannya? Sudak
disimpan saja sana, bisa kamu pakai kalau kamu pergi kepesta.. " bu
Marsudi memberikan bungkusan itu lagi kepada Lastri.
"Kepesta bu, Lastri
kan tidak pernah ke pesta?"
"Ya siapa tau pada
suatu hari nanti. Sudahlah Tri, simpan saja."
Lastri tak bisa menolak,
ia masuk kekamarnya dan menyimpan gaun itu didalam almari.
Senyuman Bayu kembali
melintas dimatanya. Ya Tuhan, ini tidak boleh, aku ini siapa, tidaak, bisik
batinnya. Kemudian ia kembali ke dapur untuk membantu bu Marsudi.
"Lastri, kamu kan
mau ujian. Mulai besok jangan dulu bantu-bantu pekerjaan. Fokus pada pelajaran
kamu, supaya hasil ujianmu bagus."
"Iya bu, tapi kan
Lastri tidak harus terus-terusan memegangi buku. Kalau hanya ditinggal
bantu-bantu ibu kan tidak apa-apa."
"Lastri, jangan
bandel. Pokoknya mulai besok sampai ujian selesai kamu hanya boleh belajar dan
bukan yang lainnya.
*
Tapi malam itu pak
Marsudi marah sekali. Ketika sedang santai di teras rumah, bu Marsudi
mengatakan bahwa Bayu membelikan baju untuk Lastri.
"Aku bilang apa,
ini sebuah tanda-tanda yang tidak baik," katanya sengit.
"Tidak baik
bagaimana ta pak?"
"Untuk apa Bayu
membelikan baju untuk Lastri coba? Kalau dia tidak punya perasaan apa-apa, mana
mungkin dia melakukannya?"
"Pak, Lastri itu
ikut bersama kita sudah puluhan tahun, dan tak ada perilakunya yang
mengecewakan kita. Apa salahnya Bayu memberikan hadiah?"
"Salah bu. Salah
!!"
"Ya enggak pak, itu
kan ungkapan terimakasih."
"Aku kan sudah
bilang, aku melihat tanda-tanda yang tidak wajar pada Bayu. Dia mnyukai Lastri,
dan itu tidak boleh terjadi."
"Pak, kok bapak
bilang begitu?"
"Kita ini dari
keluarga terpandang bu, masa akan mempunyai menantu seorang pembantu, yang
tidak jelas siapa orang tuanya, asal usulnya.."
"Bapak bicara
terlalu jauh, hanya karena baju, dan bapak memikirnya sudah kemana-mana."
"Seandainya itu
terjadi, dan benar Bayu suka sama dia, apa ibu bisa menerimanya?"
"Kalau Lastri
adalah seorang yatim piatu, berasal dari desa, apakah itu salahnya
Lastri?"
"Apa maksud ibu
?"
"Yang ibu tau
adalah, bahwa Lastri cantik, pintar, jujur, dan kelakuannya baik, tidak ada
cacat celanya."
"Jadi ibu
suka?"
"Jodoh itu bukan
kita yang menentukannya."
"Waduh, ibu ini
sangat keterlaluan. Pokoknya begini bu, kita harus berusaha supaya Bayu jauh
dari dia."
"Bagaimana
caranya?"
"Carikan jodoh
untuk Lastri."
"Apa?"
"Nanti kalau Lastri
sudah lulus, kita sudah harus menyiapkan jodoh untuk dia. Mungkin nak Sapto,
karena bapak lihat dia itu suka, mungkin juga si tukang buah itu."
"Nggak tau lah pak,
ibu nggak mau ikut-ikut.." kata bu Marsudi sambil berdiri, kemudian masuk
kedalam rumah."
Pak Marsudi sangat kesal
karena isternya tidak sependapat dengan dirinya. Ia ingin memarahi Bayu malam
itu juga, tapi diurungkannya. Ia harus menemukan jalan untuk bicara sama Sapto,
atau si tukang buah itu lebih dulu.
*
Hari-hari berjalan
sangat cepat. Tak ada yang mengganggu Lastri sa'at Lastri ujian, sampai
kemudian ada pengumuman tentang kelulusan.
Hari sudah siang tapi
Bayu belum juga berangkat kerja.
"Ini sudah siang,
mengapa kamu belum berangkat kerja Yu, padahal pakaian kerja sudah rapi
begitu."
"Bayu mau mengantar
Lastri dulu bu."
"Mengantar kemana?
Hari ini Lastri akan melihat pengumuman ujian di sekolahnya."
"Iya, Bayu akan
mengantar ke sekolahnya, nanti kalau Lastri lulus dengan nilai bagus, Bayu akan
memberinya hadiah."
"Bayu, ibu hanya
memperingatkan, jaga jarak antara kamu dan Lastri. Tampaknya bapak tidak
suka."
"Ya, Bayu tau, tapi
kan Lastri yang mau melihat pengumuman hasil ujian harus ada yang mendukungnya.
Dia itu sebatang kara bu, Bayu hanya berusaha supaya dia tidak merasa
sendiri."
Bu Marsudi setuju dengan
alasan Bayu, sehingga dia tidak bisa melarangnya. Ketika dilihatnya Lastri
sudah siap mau berangkat, Bayu menahannya.
"Ayo aku mau
mengantar kamu."
"Lho, Lastri cuma
mau ke sekolah, mengapa diantar ?"
"Iya, kamu kan mau
melihat hasil ujian?"
"Iya."
"Itu sebabnya aku
harus mengantar kamu."
"Kayak anak kecil
saja, pake diantar segala. Nggak usah mas, Lastri biasanya juga sendiri
kok."
"Tapi ini kan tidak
biasa, kamu mau melihat pengumuman ujian kamu. Kalau kamu tiba-tiba pingsan
siapa yang akan menolong kamu?"
"Mengapa saya
pingsan?"
"Namanya melihat
pegumuman, bisa saja pengumuman itu hasilnya bagus, kamu lulus. Lha kalau
tidak, lalu kamu tiba-tiba pingsan?"
"Ah mas Bayu meng
ada-ada, sudah, Lastri berangkat sendiri saja," kata Lastri sambil terus
melangkah, tapi Bayu menahannya dengan memegang lengannya erat.
"Jangan begitu
mas."
"Jangan bandel, ayo
ikut aku." kata Bayu sambil menarik tangan Lastri kearah mobil, dan
memaksanya naik. Bu Marsudi yang mengantar sampai ke pintu hanya geleng-geleng
kepala. Sesungguhnya Lastri gadis yang baik. Tidak aneh kalau banyak yang
menyukai dia, termasuk Bayu anaknya. Tapi bu Marsudi ketakutan sendiri. Kalau
hal itu terjadi, maka pasti akan terjadi guncangan dirumah ini.
*
Sorak gemuruh bagi yang
berhasil masih terdengar, sayup semakin jauh, karena Lastri sudah berada
dimobil Bayu dan dibawanya pergi. Pastilah Lastri lulus, karena dia anak
pintar. Sejak SD dia selalu juara. Dan Lastri merasa puas karena tidak
mengecewakan keluarga yang telah membeayainya.
Wajah manisnya berbinar,
senyumnya terus mengembang. Senyum itukah yang membuat Bayu tergila-gila?
Entahlah, tapi mungkin witing tresna jalaran saka kulina itu yang membuatnya.
Ia teringat sikap ayahnya, dan tentulah akan ada penolakan seandainya benar dia
mencintai Lastri.
"Lho mas, kok
kesini? Bukan kearah pulang?" kata Lastri ketika mobilnya berjalan kearah
yang berlawanan dari rumah.
"Sebentar, aku mau
mampir ke suatu tempat."
"Aduh mas, bukankah
mas Bayu sudah harus pergi ke kantor?"
"Aku sudah ijin,
sebentar saja. Hanya mencari tempat yang sepi."
"Apa ?"
Lastri berdebar-debar
tidak karuan. Mencari tempat sepi untuk apa?
Tapi Bayu memang
menghentikan mobilnya disebuah tempat sepi. Agak masuk kesebuah jalan kecil,
yang kiri kanannya adalah persawahan. Bayu membuka kaca mobilnya. Semilir angin
sejuk menerpa wajah-wajah mereka. Benar-benar angin segar, jauh dari polusi
karena hiruk pikuknya kendaraan di jalan raya.
"Mau apa ta
mas.."
"Ini... buat
kamu."
"Ini apa? Aduuh
mas, jangan begitu.. saya sudah cukup mendapat perhatian dari keluarga mas
Bayu, itu lebih dari cukup, dan jangan memberi saya apapun lagi."
"Buka dulu, jangan
cerewet," tegur Bayu sambil memencet hidung Lastri yang mancung ."
Lastri membukanya dengan
gemetar. Bukan karena hadiah yang entah apa isinya, tapi karena sentuhan jari
Bayu diwajahnya.
Bayu membantu membuka
bungkusan itu, karena Lastri melakukannya lama sekali, kecuali itu Bayu ingin
menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Lastri.
"Haa..
ponsel," pekik Lastri.
"Kamu
membutuhkannya. Supaya bisa berkomunikasi dengan siapapun dengan baik. Itu
penting kamu miliki."
"Tt..tapi.. mengapa
ini semua mas Bayu? Lastri benar-benar takut.."
"Jangan
takut," jemari Bayu menyentuh pipi Lastri.
Tapi tiba-tiba
didengarnya mobil berhenti dibelakang mereka, lalu klakson yang bertalu-talu
terdengar memekakkan telinga.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar