Sabtu, 25 April 2020

LASTRI (01-02)

*LASTRI  01*
(Tien Kumalasari)

Dia sangat lugu, wajah manisnya tertutup oleh kesederhanaan penampilan yang dimilikinya. Ia masih terhitung bocah. Usianya baru kira-kira sebelasan tahun. 

Baru dua hari ini dia bekerja dikota, sebagai pembantu rumah tangga. Rambut panjang selutut tak dibiarkannya tergerai, tapi digelungnya dengan apik. Lastri namanya, gadis yatim piatu yang tak memiliki siapa-siapa didesa. Bapak ibunya sudah meninggal, dan dia anak tunggal. 

Marsudi, keluarga itu melihatnya ketika sedang ber rekreasi kesebuah tempat wisata.  Mereka melihat Lastri berjualan sayuran, dan tiba-tiba runtuhlah belas kasihannya ktika Lastri bertutur bahwa ia hidup seorang diri. Ayah ibunya sudah meninggal, lalu dia dirawat neneknya yang sudah tua, dan baru sebulan lalu neneknya juga meninggal. Keluarga Marsudi menawarkan apakah Lastri mau ikut bersama mereka, Lastri menyanggupinya.

Keluarga Marsudi memperlakukan Lastri dengan baik Mereka senang karena walau baru dua hari dia tampak rajin dan bekerja tanpa mengeluh. Padahal dia sepertinya belum waktunya untuk mencari nafkah. Bu Marsudi merasa kasihan mendengar kisahnya yang memilukan.Tapi ia lupa menanyakan, apakah Lastri pernah sekolah.

"Lastri .." panggil bu Marsudi pada suatu pagi. Dilihatnya Lastri sudah rapi, sudah selesai bersih-bersih rumah dan sudah berpakaian bersih dan rapi.
"Ya bu.." jawab Lastri sambil membungkuk hormat.
"Kamu sudah mandi ?"
"Sudah bu," jawabnya sambil memandangi bajunya, mungkin karena lusuh lalu dikira dirinya belum mandi oleh majikannya.
"Bagus, aku suka kamu rapi dan rajin. Nanti kalau senggang aku mau membelikan baju-baju untuk kamu, supaya kamu bisa mengganti pakaian kamu dengan yang lebih baik."

Lastri hanya mengangguk sambil tetap menundukkan kepalanya.
"Kamu kan tau pasar disebelah timur rumah kita ini?
"Ya bu, saya tau."
"Pergilah belanja, semua catatannya sudah aku tuliskan disini," kata bu Marsudi sambil mengulurkan selembar kertas berisi catatan belanjaan."
"Tapi...." Lastri menerima dengan ragu-ragu.

"Ini uangnya, hati-hati membawanya ya Nanti kalau beli sayur, pilih yang segar ."
"Ttapi..."
"Kalau sudah aku  tulis begini, tak akan ada yang terlupa, beda kalau aku berpesan secara lisan, ya kan? Ya sudah, berangkatlah."
Bu Marsudi langsung masuk kekamarnya. Ia memang ingin mencoba, apakah Lasti bisa berbelanja dengan baik.

Lastri memandangi kertas catatan dan uangnya dengan bingung.
"Aku mana bisa membaca?" bisik Lastri pelan, tadi ia ingin mengatakannya pada bu Marsudi, tapi sepertinya sang majikan tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ya sudahlah.  Lalu diambilnya keranjang belanjaan didapur, masih dengan benak penuh pertanyaan. "Ya sudah, nanti aku berikan saja catatannya pada penjualnya, jadi aku nggak perlu membacanya," gumamnya pelan, sambil melangkah keluar rumah.

Pasar itu tak jauh dari rumah keluarga Marsudi, kira-kira hanya berjarak duaratusan meter. Lastri melangkah sambil memegang erat kertas catatan yang diberikan majikannya. Hari sudah agak siang, pasar itu bukan alang kepalang ramainya. Iyalah, namanya juga pasar. Lastri masuk sambil menoleh kekanan dan kekiri. Tadi bu Marsudi bilang harus memilih sayur yang segar, berarti dia harus menuju ke penjual sayur.

Ada ibu-ibu tua yang dihadapannya bertumpuk sayur segar. Sayur apa ya, aduh.. mana mengerti dia sayur yang dimaksud sedangkan membaca tulisannya saja tidak bisa?

"Mau beli apa nduk?" tanya penjual sayur itu.
"Ini.." bukannya menjawab tapi Lastri malah mengulurkan kertas catatan yang dibawanya.
"Ini apa?" tanya penjual sayur dengan heran.
"Catatan belanjaan ada disitu mbah, kasih aja semuanya, saya tinggal membayarnya," kata Lastri.
"Lhah, gimana ta nduk, simbah ini orang nggak ngerti tulisan.. kok suruh baca tulisan," katanya sambil mengembalikan catatan itu kepada Lastri.

"Wadhuh..."
"Coba sampeyan baca satu persatu, butuhnya apa, biar simbah tinggal mengambilkan."
"Tapi.. saya juga nggak bisa baca.."
"Owalah, jaman sekarang kok ada bocah nggak bisa mbaca. Lha kok nggak pernah sekolah ta kamu?"
Lastri menggeleng. Ia tak heran kalau neneknya  tak pernah menyuruhnya sekolah. Sejak kecil ia hanya ikut neneknya ke pasar untuk berjualan sayuran yang dicarinya dikebun sendiri. Ada keinginan untuk bersekolah seperti teman sebayanya, tapi neneknya  sudah tua  dan sakit-sakitan dan harus dibantu mencari uang,

Sekarang Lastri merasa sedih, ia harus membaca catatan itu, tapi tak bisa, kalau ia menyodorkannya lagi kepada penjual sayur yang lain, bagaimana kalau mendapat jawaban yang sama? Tapi ia akan mencobanya. Ia melangkah ke penjual yang lain, kertas itu diamatinya terus menerus, tapi apa yang bisa terbaca? Berlinang air mata Lastri. Ia berdiri  didepan seorang penjual buah.

"Ada apa dik? Uangmu hilang?" tanya penjual buah yang seorang laki-laki muda.
Lastri menggeleng. Ia mengulurkan kertas catatan itu tanpa ber-kata-kata.
"Apa ini ?"
"Catatan belanjaan.."
"Ya, lalu.. bagaimana ?"
"Saya nggak bisa membaca.." jawabnya lirih, sambil mengusap air matanya.
"Oh, ya ampun.. mari saya bacakan," kata pemuda itu yang kemudian mendekati Lastri.
"Tomat, satu kilo, yang besar dan merah, sawi putih, dua ikat, wortel setengah kilo..."
"Sebentar mase, saya ingat=ingat...tomat, sawi putih, wortel.. "
"Terus.. seledri.. ..."

Dan dengan bantuan pemuda tukang buah itu Lastri akhirnya akan berhasil membawa belanjaannya pulang.
Ia mengucapkan terimakasih kepada pemuda penjual buah itu, yang memandanginya tanpa berkedip. Barangkali agak heran bertemu gadis kecil yang tak bisa membaca.


Bu Marsudi senang semua catatan tak ada yang kelewatan, dan Lastri bisa mmilih sayuran dengan tak mengecewakan.
"Pintar kamu Lastr, tapi aku maklum, kan kamu juga sering menjual sayuran ketika didesa?"
Lastri tersipu. Ia menyerahkan uang kembalian lalu menata barang belanjaannya dimeja dapur.
"Aduh Lastri, ternyata ada satu yang terlewat," kata bu Marsudi.
"Ya bu, ada yang terlewat?"

"Ini, dibawah sendiri ada tulisan telur satu kilo," tegur bu Marsudi.
"Oh, ma'af bu, biar saya kembali."
"Nggak usah, besok lagi saja, dirumah masih ada kok. Tulisannya kecil dan paling bawah, kamu nggak membacanya ya?"
"Ss..saya.. sesungguhnya tidak bisa membaca bu." kata Lastri tersipu.
"Apa? Kamu nggak bisa membaca? Kamu belum pernah sekolah?"
Lastri tertunduk malu.

"Lalu bagaimana kamu bisa belanja sesuai dengan catatan tadi?"
"Ada orang yang membacakan bu."
"Aduh Lastri. Ya sudah, mulai besok kamu harus belajar membaca. Tahun ajaran depan kamu harus sekolah ya."
"Tapi bu.."
"Saya akan menyekolahkan kamu, tapi sebelumnya aku akan mengajari kamu membaca dan menulis. Ala kadarnya.
*

Pak Marsudi setuju isterinya mau menyekolahkan Lastri.
"Sayang kalau sampai dia keterusan buta huruf. Jaman sekarang kok masih ada yang nggak bisa membaca dan menulis."
"Iya pak, nanti menunggu ajaran baru. Didekat situ kan ada sekolah SD, nggak usah yang jauh-jauh."

"Betul, yang dekat-dekat saja, supaya dia bisa pergi pulang dengan jalan kaki. Aku kenal kepala sekolahnya, barangkali bisa membantu."
"Nanti pasti diejek oleh teman-temannya ya pak, sudah sebelasan tahun baru mau masuk sekolah."
"Nggak apa-apa bu, awalnya mungkin ya, tapi nanti kalau sudah kenal pasti enggak lagi."

"Ini mau ibu ajari dulu untuk mengenal huruf-huruf pak, supaya nantinya nggak terlalu sulit menerimanya."
"Bagus bu, nanti bapak belikan buku-buku huruf dan angka."
Begitu besar perhatian pak Marsudi dan isterinya.
*

Setelah hari itu begitu selesai memasak, bu Marsudi mengajak Lastri untuk belajar menulis. Pak Marsudi membelikannya buku tulis dan gambar huruf-huruf serta angka untuk dihafalkan.
Ternyata Lastri sangat cerdas. Ia sudah hafal huruf-huruf dari a sampai z  hanya dalam waktu seminggu.

Hari itu ketika sedang menunggui Lastri belajar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan.
"Ibuuu... "
Bu Marsudi terkejut, langsung berdiri dan memeluk siapa yang datang.

"Bayu.... mengapa pulang tiba-tiba? Biasanya ibu diberi kabar lebih dulu.."
"Memang Bayu ingin buat kejutan untuk ibu."
"Dasar anak nakal. Ayu duduk dulu disini, biar ibu buatkan minum.."
"Itu siapa bu?"tanya Bayu ketika melihat seorang gadis kecil duduk didepan meja dapur. Gadis kecil itu kemudian berdiri menghampiri bu Marsudi.

"Biar saya buatkan bu."
"Nggak usah, biar aku saja, sana lanjutkan membaca," kata bu Marsudi sambil menuang segelas jus lemon dari dalam almari es.
"Ini, minumlah dulu, hei.. duduklah, mengapa kamu memandangi Lastri tanpa berkedip?"
"Oh, namanya Lastri?"
"Iya, belum ada sebulan disini, sekarang lagi belajar membaca dan menulis."
"Haaa... buta huruf?" kata Bayu sambil mendekati Lastri.

"Ini minumnya Bayu.."
"Coba baca... yang ini apa?"
"Ba..." jawab Lastri tangkas.
"Ini ?"
"Bi...."
"Kalu digandeng bacanya apa? Ini... begini nih..."
"Babi..."
"Hei... ngomong babi jangan sambil ngliatin aku dong, lihat itu tulisannya," canda Bayu sambil tertawa.
Lastri tertunduk malu. I tau putera sang majikan sedang mengganggunya.
"Bayu, kamu tuh ada-ada saja, sudah jangan mengganggu yang lagi belajar."
Bayu mengikuti ibunya ke ruang tengah, meninggalkan Lastri melanjutkan belajarnya.
"Huh, nakal," gumamnya sambil tersenyum, ketika Bayu menyuruhnya membaca tulisan babi.
*

Bayu adalah satu-satunya putera keluarga Marsudi. Ia kuliah di Jakarta, dan hari itu pulang tiba-tiba.
"Tapi ibu senang kamu pulang, ibu sudah kangen berat sama kamu."
"Bayu juga kangen," katanya sambil menghirup jus lemonnyq sampai habis.
"Kapan kamu selesai kuliahnya? Ibu harap setelah lulus kamu bekerja disini saja, jangan pergi jauh-jauh lagi."
"Masih kira-kira tahun depan bu, sabarlah."

"Oh ya, kamu mau dimasakin apa, tadi ibu cuma masak sayur asem sama bacem tahu tempe sama goreng lele."
"Wah, itu ena sekali, apakah Lastri yang masak?"
"Kok Lastri, ibu dong yang masak, dia baru membantu bantu saja, mungkin lama-lama dia juga akan pintar memasak. Anak itu rajin dan pintar, juga cerdas, sayang dulu orang tuanya tidak sempat menyekolahkannya."
"Dimana ibu mendapatkan dia?"
"Ketika ibu sama bapak main ke Sarangan."

"Wah, ibu sama bapak jalan-jalan terus."
"Ada acara di kantornya bapak, disana, terus ibu ngikut saja."
"Lalu ibu ketemu Lastri?"
"Iya, dia sedang menjual sayuran. Hidup sebatang kara, lalu ibu ajak kemari dan dia mau."

"Ibu akan menyekolahkannya?"
"Iya, begiu maksud ibu. Ini dia sedang ibu suruh mengenali huruf-huruf dan angka. Cerdas dia, cepat sekali menghafalnya.

"Besok Bayu akan membantu mengajarinya."
"Memangnya kamu libur lama ?"
"Dua mingguan bu, lumayan kan?"
"Syukurlah, sekarang telephone bapak di kantornya, pasti bapak senang mendengar kamu pulang."
"Iya bu, akan saya minta bapak pulang supaya kita bisa sama-sama makan masakan ibu."
*

"Lastri.."
"Ya bu, coba lihat, aku sudah buat catatan dengan tulisan yang besar-besar, bisakah kamu membacanya? Maksudku, aku akan menyuruh kamu belanja dengan membaca tulisan ini."
"Baiklah bu," jawab Lastri sambil menerima kertas catatan yang dibuat oleh bu Marsudi.
"Sini biar  Bayu bacakan," kata Bayu tiba-tiba.
"Eeeit, nggak Bayu, biar Lastri belajar.."

Lastri membaca tulisan itu dan berucap dengan terbata-bata.
"Ca..ca...sabe... Mm.. baya.. baya..mm.. "
Dan walau terbata-bata Lastri bisa membacanya.
"Bagus Lastri, ini uangnya dan pergilah kepasar."
Lastri mengangguk, sambil berjalan diaa menghafal apa-apa yang ditulis majikannya.  Senang hatinya karena ia tak perlu meminta tolong agar orang lain membacana. Tapi tiba-tiba ditepuknya pundaknya dari belakang oleh seseorang.
"Dik..."
Lastri menoleh dan tersenyum. Pemuda penjual buah itu rupanya.
"Belanja apa lagi? Mari saya bacakan"
*
Bersambung


&&&&&&&

*LASTRI  02*

Senyum Lastri melebar, menampakkan gigi putih yang berderet rapi.
"Mana saya bacakan dik, ada catatannya kan?"
"Ada, ini, tapi saya bisa membacanya kok," kata Lastri senang.
"Haaa, masa ? Begitu cepat?"
"Sudah sebulan saya belajarnya. Sebentar.. ini.. cabe.. ya kan?"

"Hm.. pinter.... Bawahnya?
"Ba...ya...m... trus... da..di..n..g..eh.. daging kan?"
"Oh ya, benar.."
"Ken..ta...."

"He, tolong minggir dong, kalau ngomong-ngomong jangan ditengah jalan.." tiba-tiba.. seseorang yang membawa karung berisi sayuran mau lewat, dan sedikit kesal melihat Lastri dan penjual buah itu ngobrol seenaknya.

"Eeh.. iya kang, ma'af," katanya sambil menarik tangan Lastri agak ketepi.

"Sudah, aku mau ke tukang sayur itu dulu, nanti kalau ada yang susah aku mau tanya sama sampeyan," kata Lastri sambil beranjak pergi.

"Nanti dulu, eh.. namamu siapa?"
"Lastri !!" teriak Lastri sambil menjauh. 

Laki-laki  muda penjual buah itu kembali ketempat dagangannya digelar. Ada seorang ibu yang menunggu disitu, lalu mengomel.
"Mas  Timan, jualan jangan di tinggal-tinggal dong, "
"Oh ya bu, ma'af. Ibu mau yang mana? Jeruk? Salak ? Apel ?"
"Jeruk yang ini berapa?"
"Dualima bu.."
"Mahal amat ta Timan, aku ini kan langganan, duapuluh saja ya?"

"Mas... tolong mas, yang ini tulisannya apa, tadi ingat kok sekarang lupa," tiba-tiba Lastri muncul lagi sambil mengacungkan kertas catatannya.
"Yang mana?"
"Nomer empat itu lho mas."
"Itu ketumbar bubuk, yang jual bukan di tukang sayur, tapi di toko yang diujung itu."
"Ou ya, terimakasih ya mas Timan,.. lha aku sekarang tau, namamu Timan kan? " gumamnya sambil berlalu.
"Iya, namaku Timan," kata Timan yang terus mengawasi kepergian Lastri.

"Bu, eh... mana ibu-ibu yang tadi menawar jeruk? Adhuh, menunggu sebentar saja kok nggak mau," katanya sambil melongok kesana kemari, tapi ibu-ibu yang dicarinya sudah tak tampak lagi. 

*

"Pinter kamu Tri..  sudah bisa membaca tulisanku.."
"Masih terbata-bata bu.." kata Lastri terus terang.
"Tapi nyatanya bisa, dan kali ini nggak ada yang kelewatan," kata bu Marsudi sambil me milah-milah belanjaan.
"Tadi juga sambil ber tanya-tanya bu."
"Oh ya?"
"Ada penjual buah yang sangat baik, membantu saya membaca."

"Oh ya, syukurlah. Nggak apa-apa, kan kamu baru belajar, dan nyatanya kamu cepat mengerti. Sebentar lagi kamu harus sekolah lho Tri."
"Wong bisa belajar dirumah, mengapa harus sekolah?"

"Oang itu kebutuhannya bukan hanya membaca dan menulis. Banyak pengetahuan yang akan diajarkan. Seperti berhitung, mengenal hewan, tumbuh-tumbuhan, alam... pokoknya banyak. Kamu harus mengerti itu."
"Baiklah bu."

"Lastri, sini.. ayo belajar nulis lagi," kata Bayu yang tiba-tiba sudah ada didapur.
"Nanti dulu Bayu, Lastri baru mau bantuin ibu memasak. Katanya kamu mau dibuatin selat Solo?"
"Oh, ada jam belajar untuk Lastri rupanya," kata Bayu sambil tertawa.

"Sudah, kamu jangan nungguin disini, mengganggu saja."
"Bayu bantuin aja bu, biar cepet masaknya."
"Baiklah, ayo kupas kenthangnya saja kalau begitu."

Bayu begitu senang. Mungkin karena dia tak mempunyai adik, sehingga kehadiran Lastri yang pintar membuatnya seperti menemukan adik baru.

*

Tahun demi tahun berlalu, dan Lastri sudah menjadi gadis remaja. Bu Marsudi yang selalu membelikan pakaian-pakaian pantas untuk Lastri, membuat penampilan gadis lugu itu tak seperti pembantu. Namun hal itu tak membuat Lastri besar kepala. Ia tau keluarga Marsudi sangat menyayanginya, tapi ia selalu merasa hanyalah seorang gadis desa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Bayu yang sudah bekerja disebuah perusahaan besar di Solo selalu menganggap Lastri sebagai adiknya.Ia tak perduli walau berkali-kali Lastri memprotesnya. Lastri selain cerdas juga rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena ia tau siapa sebenarnya dirinya. 

Terkadang ia diajak Bayu berbelanja, tapi Lastri tak pernah bersikap sebagai teman atau saudara. Ia tetap hormat kepada Bayu, dan selalu menegur setiap kali Bayu ditanya temannya tentang siapa dirinya dan mengatakan bahwa Lastri adalah adiknya.

"Jangan begitu mas, saya jadi nggak enak," kata Lastri yang semula menolak diajak makan semeja bersama Bayu.

"Apanya yang nggak enak?"

"Mengapa mas Bayu selalu bilang bahwa saya adiknya mas Bayu? Masa mas Bayu pantas punya adik seperti saya."

"Memangnya kenapa kalau kamu aku anggap sebagai adikku? Apa menurut kamu aku tidak pantas jadi kakakmu karena umur kita terpaut sangat banyak?"

"Bukan itu.. mas Bayu kan tau saya ini siapa?"
"Ya tau lah, kamu kan Lastri," canda Bayu.

"Bukan itu, saya hanya gadis gunung yang tak memiliki derajat, jadi nggak enak kalau mas Bayu menganggap saya sebagai adik."

"Sudah, kamu itu nggak usah protes. Itu bukan hal yang penting. Ayo sekarang kamu mau pesan apa, sudah duduk disini dari tadi belum pesan apa-apa."

"Nggak mas, mas Bayu saja yang pesan, saya kan hanya mengantarkan mas Bayu belanja, dan yang lapar kan mas Bayu, bukan saya."

"Gimana kamu ini, tadi aku minta kamu menemani aku makan, jadi kamu juga harus makan," kata Bayu yang kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman kesukaannya."

"Mas Bayu..." protes Lastri

"Diam dan patuhlah sama kakakmu!" kata Bayu lalu menaruh jari telunjuknya dimulut, sebagai isyarat agar Lastri tak boleh mengatakan apapun lagi.

Lastri terpaksa diam. Terkadang ada perasaan tak enak ketika Bayu bersikap seperti itu. Tapi sekilas tak ada yang aneh seandainya Lastri menjadi adiknya Bayu.

Dia gadis remaja yang manis, berpenampilan apik walau bukan pakaian mahal yang dikenakannya. Rambut panjangnya selalu digelung manis, seperti ketika dia masih menjadi gadis kecil dari gunung. Dan itu membuat penampilannya tampak seperti remaja berwajah keibuan. 

"Heiii...! Bos Bayu rupanya ! Apa kabar?"

Bayu terkejut, didepannya berdiri seorang pemuda ganteng berkumis tipis, menepuk bahunya dengan keras.
"Ya ampun Sapto, sakit tau !!" Keluh Bayu sambil meringis.

Laki-laki muda yang dipanggil Sapto terbahak. Lalu duduk dengan santai dibangku didekat Bayu.
"Ini siapa?" tanya Sapto curiga, tapi ia menatap Lastri dengan kagum.

"Itu adikku, hentikan menatapnya, jangan buat dia ketakutan," tegur Bayu sambil memelototi Sapto.
"Oh, adik kamu. Hallo cantik, boleh kenalan dong, namaku Sapto. Sapto Wardoyo."

Lastri diam menunduk, mempermainkan jemari lentiknya.
"Lhah.. adik kamu ini pemalu. Hallo, apa kamu takut sama aku? Aku ini orang baik lho, menggigit sih kadang-kadang."

Bayu menendang kaki Sapto dari bawah meja.
"Auuw... Bayu! Sakit tau!!"
"Bicaramu norak, dia jadi takut tuh!"
"Ma'af, aku nih memang suka bercanda, kamu nggak takut kan? "
Lastri mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis.

"Katakan dong nama kamu."
"Namanya Lastri, dengar baik-baik,  Sulastri."
"Yaaah.. kok kamu yang jawab sih, tapi nggak apa-apa, yang penting aku sudah tau siama nama kamu. Masih kuliah?"
"Diam Sapto, kamu seperti reserse saja."

Sementara itu minuman dan makanan pesanan Bayu sudah diletakkan dimeja.
"Kamu mau pesan apa, pesan aja sendiri," kata Bayu sambil meneguk minumannya.
"Oke, aku mau minum es kopyor dan makan nasi rawon."

Pelayan yang masih berdiri menunggu kemudian mencatat pesanan itu dan pergi.
"Aku nggak tau kalau kamu punya adik yang cantik manis," kata Sapto sambil terus menatap Lastri.
"Memang nggak aku kasih tau, soalnya kamu nggak bisa dipercaya."
"Enak aja !! Jangan buat aku mati pasaran dong !"

Sapto adalah sahabat Bayu ketika masih SMA. Karena memilih kuliah difakultas yang berbeda maka kemudian mereka berpiah. Hanya kadang-kadang kalau lagi sama-sama pulang kampung saja mereka bertemu.

Keduanya berbincang kesana kemari, kadang disertai gurauan, tapi Lastri diam saja. Ia benar-benar merasa cangggung dan tak sanggup mengikuti pembicaraan dintara kedua sahabat itu. 

"Saya pamit mau ketoilet dulu," kata Lastri sambil berdiri.
"Saya antar?" kata Sapto nakal.
Lagi-lagi Bayu menendang kaki Sapto dari bawah meja, dan Sapto pun meringis kesakitan.
"Adduh.. sejak kapan kamu jadi pemain sepak kaki?"
"Habis kamu usil sih."

Lastri tak memperdulikan kedua sahabat itu, ia terus melangkah menuju toilet. Ketika keluar dari toilet itu, Lastri merasa ingin ber lama-lama meninggalkan majikannya yang asyik bercanda bersama sahabatnya tadi. Habisnya mata Sapto terkadang nakal, dan itu membuat Lastri merasa risih. Ia berjalan sangat pelan, ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.

"Lastrii!! "

Lastri menoleh dan mengenal siapa yang menyapanya. Si penjual buah yang sering ditemuinya setiap kali dia belanja ke pasar. 

"Mas Timan... ngapain disini?"
"Barusan nganter buah-buahan pesanan restoran ini. Kamu juga ngapain disini?"

"Nganter majikan aku mas, lagi makan didepan."
"Oh, ya sudah. Kamu sekarang jarang ke pasar ya Tri?"

"Iya, aku kan sekolah, jadi cuma kalau Minggu aku kepasar."
"Baguslah, punya majikan baik, aku ikut senang."
"Aku sungguh beruntung mas. Ya sudah, aku kesana dulu."
"Baiklah, sebenarnya aku kangen sama kamu," kata penjual buah itu lirih, sambil memandangi punggung Lastri yang kemudian menghilang dibalik pintu.

*

Malam itu Bayu sedang melihat acara film di televisi ketika pak Marsudi yang duduk sendiri diteras depan memanggilnya.

"Ada apa bapak?" tanya Bayu sambil mendekat. Mereka duduk hanya berdua saja. 
"Dengar Bayu, kamu ini kan sudah dewasa, sudah sa'atnya mencari isteri."
"Ah, bapak kok tiba-tiba bicara tentang isteri."
"Lha kamu itu apa lupa sama umur kamu? Masa harus membujang terus menerus?"
"Iya, nanti Bayu fikirkan, tapi sekarang rasanya belum ingin."

"Kemarin ibumu bilang, ada anak saudara misannya yang punya anak gadis, cantik, pintar, katanya mau dikenalin sama kamu."

"Nggak bapak, Bayu nggak mau dijodoh-jodohin. Nanti Bayu akan mencari sendiri," sergah Bayu sambil berdiri.
"Tunggu Bayu, satu lagi, bapak ingatkan kamu, jangan terlalu dekat sama Lastri."

Bayu kembai duduk. Perkataan bapaknya ini membuatnya berdebar. 

"Apa maksud bapak?"
"Bapak lihat pergaulan kamu sama Lastri itu tampak berlebihan."

"Berlebihan? Bukankah bapak sendiri bilang bahwa Lastri sudah dianggap seperti keluarga kita? Apa salahnya pergaulan saya sama Lastri?"

"Dengar le, ada pepatah jawa yang mengatakan bahwa witing trisna jalaran saka kulina, kamu faham artinya kan?"
"Ya, tapi apa maksud bapak?"

"Kalau kamu keseringan dekat-dekat sama Lastri, bapak khawatir akan tumbuh perasaan yang tidak terduga dihati kamu."
"Maksud bapak rasa cinta?"

Pak Marsudi mengangguk, tapi tiba-tiba Bayu mulai menilai perasaan hatinya terhadap Lastri. Apakah benar karena terlalu dekat kemudian tumbuh rasa cinta? Ah tidak, Bayu hanya menganggapnya sebagai adik, tak lebih. Tapi Bayu tak berani membatah kata bapaknya.

Tiba-tiba ponsel Bayu berdering. Dari Sapto. Ada apa Sapto malam-malam begini menelpon?

"Ada apa nih, aku sudah mau tidur."sapa Bayu
"Iya, sama, aku juga sudah mau tidur,"jawab Sapto dari seberang.
"Trus kenapa mau tidur pake nelpon segala?"

"Bayu, kali ini aku serius,"
"Serius apa?"
"Bolehkah aku mendekati adik kamu?"
"Apaa?" kata Bayu hampir berteriak.
"Aku jatuh cinta sama Lastri."
"Wong eddann!!"
*

Bersambung









Tidak ada komentar:

Posting Komentar