*LASTRI 01*
(Tien Kumalasari)
Dia sangat lugu, wajah
manisnya tertutup oleh kesederhanaan penampilan yang dimilikinya. Ia masih
terhitung bocah. Usianya baru kira-kira sebelasan tahun.
Baru dua hari ini dia
bekerja dikota, sebagai pembantu rumah tangga. Rambut panjang selutut tak
dibiarkannya tergerai, tapi digelungnya dengan apik. Lastri namanya, gadis yatim
piatu yang tak memiliki siapa-siapa didesa. Bapak ibunya sudah meninggal, dan
dia anak tunggal.
Marsudi, keluarga itu
melihatnya ketika sedang ber rekreasi kesebuah tempat wisata. Mereka melihat Lastri berjualan sayuran, dan
tiba-tiba runtuhlah belas kasihannya ktika Lastri bertutur bahwa ia hidup
seorang diri. Ayah ibunya sudah meninggal, lalu dia dirawat neneknya yang sudah
tua, dan baru sebulan lalu neneknya juga meninggal. Keluarga Marsudi menawarkan
apakah Lastri mau ikut bersama mereka, Lastri menyanggupinya.
Keluarga Marsudi
memperlakukan Lastri dengan baik Mereka senang karena walau baru dua hari dia
tampak rajin dan bekerja tanpa mengeluh. Padahal dia sepertinya belum waktunya
untuk mencari nafkah. Bu Marsudi merasa kasihan mendengar kisahnya yang
memilukan.Tapi ia lupa menanyakan, apakah Lastri pernah sekolah.
"Lastri .."
panggil bu Marsudi pada suatu pagi. Dilihatnya Lastri sudah rapi, sudah selesai
bersih-bersih rumah dan sudah berpakaian bersih dan rapi.
"Ya bu.."
jawab Lastri sambil membungkuk hormat.
"Kamu sudah mandi
?"
"Sudah bu,"
jawabnya sambil memandangi bajunya, mungkin karena lusuh lalu dikira dirinya
belum mandi oleh majikannya.
"Bagus, aku suka
kamu rapi dan rajin. Nanti kalau senggang aku mau membelikan baju-baju untuk
kamu, supaya kamu bisa mengganti pakaian kamu dengan yang lebih baik."
Lastri hanya mengangguk
sambil tetap menundukkan kepalanya.
"Kamu kan tau pasar
disebelah timur rumah kita ini?
"Ya bu, saya
tau."
"Pergilah belanja,
semua catatannya sudah aku tuliskan disini," kata bu Marsudi sambil
mengulurkan selembar kertas berisi catatan belanjaan."
"Tapi...."
Lastri menerima dengan ragu-ragu.
"Ini uangnya, hati-hati
membawanya ya Nanti kalau beli sayur, pilih yang segar ."
"Ttapi..."
"Kalau sudah
aku tulis begini, tak akan ada yang
terlupa, beda kalau aku berpesan secara lisan, ya kan? Ya sudah,
berangkatlah."
Bu Marsudi langsung
masuk kekamarnya. Ia memang ingin mencoba, apakah Lasti bisa berbelanja dengan
baik.
Lastri memandangi kertas
catatan dan uangnya dengan bingung.
"Aku mana bisa
membaca?" bisik Lastri pelan, tadi ia ingin mengatakannya pada bu Marsudi,
tapi sepertinya sang majikan tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ya
sudahlah. Lalu diambilnya keranjang
belanjaan didapur, masih dengan benak penuh pertanyaan. "Ya sudah, nanti
aku berikan saja catatannya pada penjualnya, jadi aku nggak perlu
membacanya," gumamnya pelan, sambil melangkah keluar rumah.
Pasar itu tak jauh dari
rumah keluarga Marsudi, kira-kira hanya berjarak duaratusan meter. Lastri
melangkah sambil memegang erat kertas catatan yang diberikan majikannya. Hari
sudah agak siang, pasar itu bukan alang kepalang ramainya. Iyalah, namanya juga
pasar. Lastri masuk sambil menoleh kekanan dan kekiri. Tadi bu Marsudi bilang
harus memilih sayur yang segar, berarti dia harus menuju ke penjual sayur.
Ada ibu-ibu tua yang
dihadapannya bertumpuk sayur segar. Sayur apa ya, aduh.. mana mengerti dia
sayur yang dimaksud sedangkan membaca tulisannya saja tidak bisa?
"Mau beli apa
nduk?" tanya penjual sayur itu.
"Ini.."
bukannya menjawab tapi Lastri malah mengulurkan kertas catatan yang dibawanya.
"Ini apa?"
tanya penjual sayur dengan heran.
"Catatan belanjaan
ada disitu mbah, kasih aja semuanya, saya tinggal membayarnya," kata
Lastri.
"Lhah, gimana ta
nduk, simbah ini orang nggak ngerti tulisan.. kok suruh baca tulisan,"
katanya sambil mengembalikan catatan itu kepada Lastri.
"Wadhuh..."
"Coba sampeyan baca
satu persatu, butuhnya apa, biar simbah tinggal mengambilkan."
"Tapi.. saya juga
nggak bisa baca.."
"Owalah, jaman
sekarang kok ada bocah nggak bisa mbaca. Lha kok nggak pernah sekolah ta
kamu?"
Lastri menggeleng. Ia
tak heran kalau neneknya tak pernah
menyuruhnya sekolah. Sejak kecil ia hanya ikut neneknya ke pasar untuk
berjualan sayuran yang dicarinya dikebun sendiri. Ada keinginan untuk
bersekolah seperti teman sebayanya, tapi neneknya sudah tua
dan sakit-sakitan dan harus dibantu mencari uang,
Sekarang Lastri merasa
sedih, ia harus membaca catatan itu, tapi tak bisa, kalau ia menyodorkannya
lagi kepada penjual sayur yang lain, bagaimana kalau mendapat jawaban yang
sama? Tapi ia akan mencobanya. Ia melangkah ke penjual yang lain, kertas itu
diamatinya terus menerus, tapi apa yang bisa terbaca? Berlinang air mata
Lastri. Ia berdiri didepan seorang
penjual buah.
"Ada apa dik?
Uangmu hilang?" tanya penjual buah yang seorang laki-laki muda.
Lastri menggeleng. Ia
mengulurkan kertas catatan itu tanpa ber-kata-kata.
"Apa ini ?"
"Catatan
belanjaan.."
"Ya, lalu..
bagaimana ?"
"Saya nggak bisa
membaca.." jawabnya lirih, sambil mengusap air matanya.
"Oh, ya ampun.. mari
saya bacakan," kata pemuda itu yang kemudian mendekati Lastri.
"Tomat, satu kilo,
yang besar dan merah, sawi putih, dua ikat, wortel setengah kilo..."
"Sebentar mase,
saya ingat=ingat...tomat, sawi putih, wortel.. "
"Terus.. seledri..
..."
Dan dengan bantuan
pemuda tukang buah itu Lastri akhirnya akan berhasil membawa belanjaannya
pulang.
Ia mengucapkan
terimakasih kepada pemuda penjual buah itu, yang memandanginya tanpa berkedip.
Barangkali agak heran bertemu gadis kecil yang tak bisa membaca.
Bu Marsudi senang semua
catatan tak ada yang kelewatan, dan Lastri bisa mmilih sayuran dengan tak
mengecewakan.
"Pintar kamu Lastr,
tapi aku maklum, kan kamu juga sering menjual sayuran ketika didesa?"
Lastri tersipu. Ia
menyerahkan uang kembalian lalu menata barang belanjaannya dimeja dapur.
"Aduh Lastri,
ternyata ada satu yang terlewat," kata bu Marsudi.
"Ya bu, ada yang
terlewat?"
"Ini, dibawah
sendiri ada tulisan telur satu kilo," tegur bu Marsudi.
"Oh, ma'af bu, biar
saya kembali."
"Nggak usah, besok
lagi saja, dirumah masih ada kok. Tulisannya kecil dan paling bawah, kamu nggak
membacanya ya?"
"Ss..saya..
sesungguhnya tidak bisa membaca bu." kata Lastri tersipu.
"Apa? Kamu nggak
bisa membaca? Kamu belum pernah sekolah?"
Lastri tertunduk malu.
"Lalu bagaimana
kamu bisa belanja sesuai dengan catatan tadi?"
"Ada orang yang
membacakan bu."
"Aduh Lastri. Ya
sudah, mulai besok kamu harus belajar membaca. Tahun ajaran depan kamu harus
sekolah ya."
"Tapi bu.."
"Saya akan
menyekolahkan kamu, tapi sebelumnya aku akan mengajari kamu membaca dan
menulis. Ala kadarnya.
*
Pak Marsudi setuju
isterinya mau menyekolahkan Lastri.
"Sayang kalau
sampai dia keterusan buta huruf. Jaman sekarang kok masih ada yang nggak bisa
membaca dan menulis."
"Iya pak, nanti menunggu
ajaran baru. Didekat situ kan ada sekolah SD, nggak usah yang jauh-jauh."
"Betul, yang
dekat-dekat saja, supaya dia bisa pergi pulang dengan jalan kaki. Aku kenal
kepala sekolahnya, barangkali bisa membantu."
"Nanti pasti diejek
oleh teman-temannya ya pak, sudah sebelasan tahun baru mau masuk sekolah."
"Nggak apa-apa bu,
awalnya mungkin ya, tapi nanti kalau sudah kenal pasti enggak lagi."
"Ini mau ibu ajari
dulu untuk mengenal huruf-huruf pak, supaya nantinya nggak terlalu sulit
menerimanya."
"Bagus bu, nanti
bapak belikan buku-buku huruf dan angka."
Begitu besar perhatian
pak Marsudi dan isterinya.
*
Setelah hari itu begitu
selesai memasak, bu Marsudi mengajak Lastri untuk belajar menulis. Pak Marsudi
membelikannya buku tulis dan gambar huruf-huruf serta angka untuk dihafalkan.
Ternyata Lastri sangat
cerdas. Ia sudah hafal huruf-huruf dari a sampai z hanya dalam waktu seminggu.
Hari itu ketika sedang
menunggui Lastri belajar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan.
"Ibuuu... "
Bu Marsudi terkejut,
langsung berdiri dan memeluk siapa yang datang.
"Bayu.... mengapa
pulang tiba-tiba? Biasanya ibu diberi kabar lebih dulu.."
"Memang Bayu ingin
buat kejutan untuk ibu."
"Dasar anak nakal.
Ayu duduk dulu disini, biar ibu buatkan minum.."
"Itu siapa
bu?"tanya Bayu ketika melihat seorang gadis kecil duduk didepan meja
dapur. Gadis kecil itu kemudian berdiri menghampiri bu Marsudi.
"Biar saya buatkan
bu."
"Nggak usah, biar
aku saja, sana lanjutkan membaca," kata bu Marsudi sambil menuang segelas
jus lemon dari dalam almari es.
"Ini, minumlah
dulu, hei.. duduklah, mengapa kamu memandangi Lastri tanpa berkedip?"
"Oh, namanya
Lastri?"
"Iya, belum ada
sebulan disini, sekarang lagi belajar membaca dan menulis."
"Haaa... buta
huruf?" kata Bayu sambil mendekati Lastri.
"Ini minumnya
Bayu.."
"Coba baca... yang
ini apa?"
"Ba..." jawab
Lastri tangkas.
"Ini ?"
"Bi...."
"Kalu digandeng
bacanya apa? Ini... begini nih..."
"Babi..."
"Hei... ngomong
babi jangan sambil ngliatin aku dong, lihat itu tulisannya," canda Bayu
sambil tertawa.
Lastri tertunduk malu. I
tau putera sang majikan sedang mengganggunya.
"Bayu, kamu tuh
ada-ada saja, sudah jangan mengganggu yang lagi belajar."
Bayu mengikuti ibunya ke
ruang tengah, meninggalkan Lastri melanjutkan belajarnya.
"Huh, nakal,"
gumamnya sambil tersenyum, ketika Bayu menyuruhnya membaca tulisan babi.
*
Bayu adalah satu-satunya
putera keluarga Marsudi. Ia kuliah di Jakarta, dan hari itu pulang tiba-tiba.
"Tapi ibu senang
kamu pulang, ibu sudah kangen berat sama kamu."
"Bayu juga
kangen," katanya sambil menghirup jus lemonnyq sampai habis.
"Kapan kamu selesai
kuliahnya? Ibu harap setelah lulus kamu bekerja disini saja, jangan pergi
jauh-jauh lagi."
"Masih kira-kira
tahun depan bu, sabarlah."
"Oh ya, kamu mau
dimasakin apa, tadi ibu cuma masak sayur asem sama bacem tahu tempe sama goreng
lele."
"Wah, itu ena
sekali, apakah Lastri yang masak?"
"Kok Lastri, ibu
dong yang masak, dia baru membantu bantu saja, mungkin lama-lama dia juga akan
pintar memasak. Anak itu rajin dan pintar, juga cerdas, sayang dulu orang
tuanya tidak sempat menyekolahkannya."
"Dimana ibu
mendapatkan dia?"
"Ketika ibu sama
bapak main ke Sarangan."
"Wah, ibu sama
bapak jalan-jalan terus."
"Ada acara di
kantornya bapak, disana, terus ibu ngikut saja."
"Lalu ibu ketemu
Lastri?"
"Iya, dia sedang
menjual sayuran. Hidup sebatang kara, lalu ibu ajak kemari dan dia mau."
"Ibu akan
menyekolahkannya?"
"Iya, begiu maksud
ibu. Ini dia sedang ibu suruh mengenali huruf-huruf dan angka. Cerdas dia,
cepat sekali menghafalnya.
"Besok Bayu akan
membantu mengajarinya."
"Memangnya kamu
libur lama ?"
"Dua mingguan bu,
lumayan kan?"
"Syukurlah,
sekarang telephone bapak di kantornya, pasti bapak senang mendengar kamu
pulang."
"Iya bu, akan saya
minta bapak pulang supaya kita bisa sama-sama makan masakan ibu."
*
"Lastri.."
"Ya bu, coba lihat,
aku sudah buat catatan dengan tulisan yang besar-besar, bisakah kamu
membacanya? Maksudku, aku akan menyuruh kamu belanja dengan membaca tulisan
ini."
"Baiklah bu,"
jawab Lastri sambil menerima kertas catatan yang dibuat oleh bu Marsudi.
"Sini biar Bayu bacakan," kata Bayu tiba-tiba.
"Eeeit, nggak Bayu,
biar Lastri belajar.."
Lastri membaca tulisan
itu dan berucap dengan terbata-bata.
"Ca..ca...sabe...
Mm.. baya.. baya..mm.. "
Dan walau terbata-bata
Lastri bisa membacanya.
"Bagus Lastri, ini
uangnya dan pergilah kepasar."
Lastri mengangguk,
sambil berjalan diaa menghafal apa-apa yang ditulis majikannya. Senang hatinya karena ia tak perlu meminta
tolong agar orang lain membacana. Tapi tiba-tiba ditepuknya pundaknya dari
belakang oleh seseorang.
"Dik..."
Lastri menoleh dan
tersenyum. Pemuda penjual buah itu rupanya.
"Belanja apa lagi?
Mari saya bacakan"
*
Bersambung
&&&&&&&
*LASTRI
02*
Senyum Lastri melebar,
menampakkan gigi putih yang berderet rapi.
"Mana saya bacakan
dik, ada catatannya kan?"
"Ada, ini, tapi
saya bisa membacanya kok," kata Lastri senang.
"Haaa, masa ?
Begitu cepat?"
"Sudah sebulan saya
belajarnya. Sebentar.. ini.. cabe.. ya kan?"
"Hm.. pinter....
Bawahnya?
"Ba...ya...m...
trus... da..di..n..g..eh.. daging kan?"
"Oh ya,
benar.."
"Ken..ta...."
"He, tolong minggir
dong, kalau ngomong-ngomong jangan ditengah jalan.." tiba-tiba.. seseorang
yang membawa karung berisi sayuran mau lewat, dan sedikit kesal melihat Lastri
dan penjual buah itu ngobrol seenaknya.
"Eeh.. iya kang,
ma'af," katanya sambil menarik tangan Lastri agak ketepi.
"Sudah, aku mau ke
tukang sayur itu dulu, nanti kalau ada yang susah aku mau tanya sama
sampeyan," kata Lastri sambil beranjak pergi.
"Nanti dulu, eh..
namamu siapa?"
"Lastri !!"
teriak Lastri sambil menjauh.
Laki-laki muda
penjual buah itu kembali ketempat dagangannya digelar. Ada seorang ibu yang
menunggu disitu, lalu mengomel.
"Mas Timan,
jualan jangan di tinggal-tinggal dong, "
"Oh ya bu, ma'af.
Ibu mau yang mana? Jeruk? Salak ? Apel ?"
"Jeruk yang ini
berapa?"
"Dualima bu.."
"Mahal amat ta
Timan, aku ini kan langganan, duapuluh saja ya?"
"Mas... tolong mas,
yang ini tulisannya apa, tadi ingat kok sekarang lupa," tiba-tiba Lastri
muncul lagi sambil mengacungkan kertas catatannya.
"Yang mana?"
"Nomer empat itu
lho mas."
"Itu ketumbar
bubuk, yang jual bukan di tukang sayur, tapi di toko yang diujung itu."
"Ou ya, terimakasih
ya mas Timan,.. lha aku sekarang tau, namamu Timan kan? " gumamnya sambil
berlalu.
"Iya, namaku
Timan," kata Timan yang terus mengawasi kepergian Lastri.
"Bu, eh... mana
ibu-ibu yang tadi menawar jeruk? Adhuh, menunggu sebentar saja kok nggak
mau," katanya sambil melongok kesana kemari, tapi ibu-ibu yang dicarinya
sudah tak tampak lagi.
*
"Pinter kamu
Tri.. sudah bisa membaca tulisanku.."
"Masih terbata-bata
bu.." kata Lastri terus terang.
"Tapi nyatanya
bisa, dan kali ini nggak ada yang kelewatan," kata bu Marsudi sambil me
milah-milah belanjaan.
"Tadi juga sambil ber
tanya-tanya bu."
"Oh ya?"
"Ada penjual buah
yang sangat baik, membantu saya membaca."
"Oh ya, syukurlah.
Nggak apa-apa, kan kamu baru belajar, dan nyatanya kamu cepat mengerti.
Sebentar lagi kamu harus sekolah lho Tri."
"Wong bisa belajar
dirumah, mengapa harus sekolah?"
"Oang itu
kebutuhannya bukan hanya membaca dan menulis. Banyak pengetahuan yang akan
diajarkan. Seperti berhitung, mengenal hewan, tumbuh-tumbuhan, alam... pokoknya
banyak. Kamu harus mengerti itu."
"Baiklah bu."
"Lastri, sini.. ayo
belajar nulis lagi," kata Bayu yang tiba-tiba sudah ada didapur.
"Nanti dulu Bayu,
Lastri baru mau bantuin ibu memasak. Katanya kamu mau dibuatin selat
Solo?"
"Oh, ada jam
belajar untuk Lastri rupanya," kata Bayu sambil tertawa.
"Sudah, kamu jangan
nungguin disini, mengganggu saja."
"Bayu bantuin aja
bu, biar cepet masaknya."
"Baiklah, ayo kupas
kenthangnya saja kalau begitu."
Bayu begitu senang.
Mungkin karena dia tak mempunyai adik, sehingga kehadiran Lastri yang pintar
membuatnya seperti menemukan adik baru.
*
Tahun demi tahun
berlalu, dan Lastri sudah menjadi gadis remaja. Bu Marsudi yang selalu
membelikan pakaian-pakaian pantas untuk Lastri, membuat penampilan gadis lugu
itu tak seperti pembantu. Namun hal itu tak membuat Lastri besar kepala. Ia tau
keluarga Marsudi sangat menyayanginya, tapi ia selalu merasa hanyalah seorang
gadis desa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Bayu yang sudah bekerja
disebuah perusahaan besar di Solo selalu menganggap Lastri sebagai adiknya.Ia
tak perduli walau berkali-kali Lastri memprotesnya. Lastri selain cerdas juga
rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah, karena ia tau siapa sebenarnya
dirinya.
Terkadang ia diajak Bayu
berbelanja, tapi Lastri tak pernah bersikap sebagai teman atau saudara. Ia
tetap hormat kepada Bayu, dan selalu menegur setiap kali Bayu ditanya temannya
tentang siapa dirinya dan mengatakan bahwa Lastri adalah adiknya.
"Jangan begitu mas,
saya jadi nggak enak," kata Lastri yang semula menolak diajak makan semeja
bersama Bayu.
"Apanya yang nggak
enak?"
"Mengapa mas Bayu
selalu bilang bahwa saya adiknya mas Bayu? Masa mas Bayu pantas punya adik
seperti saya."
"Memangnya kenapa
kalau kamu aku anggap sebagai adikku? Apa menurut kamu aku tidak pantas jadi
kakakmu karena umur kita terpaut sangat banyak?"
"Bukan itu.. mas
Bayu kan tau saya ini siapa?"
"Ya tau lah, kamu
kan Lastri," canda Bayu.
"Bukan itu, saya
hanya gadis gunung yang tak memiliki derajat, jadi nggak enak kalau mas Bayu
menganggap saya sebagai adik."
"Sudah, kamu itu
nggak usah protes. Itu bukan hal yang penting. Ayo sekarang kamu mau pesan apa,
sudah duduk disini dari tadi belum pesan apa-apa."
"Nggak mas, mas
Bayu saja yang pesan, saya kan hanya mengantarkan mas Bayu belanja, dan yang
lapar kan mas Bayu, bukan saya."
"Gimana kamu ini,
tadi aku minta kamu menemani aku makan, jadi kamu juga harus makan," kata
Bayu yang kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan serta minuman
kesukaannya."
"Mas Bayu..."
protes Lastri
"Diam dan patuhlah
sama kakakmu!" kata Bayu lalu menaruh jari telunjuknya dimulut, sebagai
isyarat agar Lastri tak boleh mengatakan apapun lagi.
Lastri terpaksa diam.
Terkadang ada perasaan tak enak ketika Bayu bersikap seperti itu. Tapi sekilas
tak ada yang aneh seandainya Lastri menjadi adiknya Bayu.
Dia gadis remaja yang
manis, berpenampilan apik walau bukan pakaian mahal yang dikenakannya. Rambut
panjangnya selalu digelung manis, seperti ketika dia masih menjadi gadis kecil
dari gunung. Dan itu membuat penampilannya tampak seperti remaja berwajah
keibuan.
"Heiii...! Bos Bayu
rupanya ! Apa kabar?"
Bayu terkejut,
didepannya berdiri seorang pemuda ganteng berkumis tipis, menepuk bahunya
dengan keras.
"Ya ampun Sapto,
sakit tau !!" Keluh Bayu sambil meringis.
Laki-laki muda yang dipanggil
Sapto terbahak. Lalu duduk dengan santai dibangku didekat Bayu.
"Ini siapa?"
tanya Sapto curiga, tapi ia menatap Lastri dengan kagum.
"Itu adikku,
hentikan menatapnya, jangan buat dia ketakutan," tegur Bayu sambil
memelototi Sapto.
"Oh, adik kamu.
Hallo cantik, boleh kenalan dong, namaku Sapto. Sapto Wardoyo."
Lastri diam menunduk,
mempermainkan jemari lentiknya.
"Lhah.. adik kamu
ini pemalu. Hallo, apa kamu takut sama aku? Aku ini orang baik lho, menggigit
sih kadang-kadang."
Bayu menendang kaki
Sapto dari bawah meja.
"Auuw... Bayu!
Sakit tau!!"
"Bicaramu norak,
dia jadi takut tuh!"
"Ma'af, aku nih
memang suka bercanda, kamu nggak takut kan? "
Lastri mengangkat
kepalanya dan tersenyum tipis.
"Katakan dong nama
kamu."
"Namanya Lastri,
dengar baik-baik, Sulastri."
"Yaaah.. kok kamu
yang jawab sih, tapi nggak apa-apa, yang penting aku sudah tau siama nama kamu.
Masih kuliah?"
"Diam Sapto, kamu
seperti reserse saja."
Sementara itu minuman
dan makanan pesanan Bayu sudah diletakkan dimeja.
"Kamu mau pesan
apa, pesan aja sendiri," kata Bayu sambil meneguk minumannya.
"Oke, aku mau minum
es kopyor dan makan nasi rawon."
Pelayan yang masih
berdiri menunggu kemudian mencatat pesanan itu dan pergi.
"Aku nggak tau
kalau kamu punya adik yang cantik manis," kata Sapto sambil terus menatap
Lastri.
"Memang nggak aku
kasih tau, soalnya kamu nggak bisa dipercaya."
"Enak aja !! Jangan
buat aku mati pasaran dong !"
Sapto adalah sahabat
Bayu ketika masih SMA. Karena memilih kuliah difakultas yang berbeda maka kemudian
mereka berpiah. Hanya kadang-kadang kalau lagi sama-sama pulang kampung saja
mereka bertemu.
Keduanya berbincang
kesana kemari, kadang disertai gurauan, tapi Lastri diam saja. Ia benar-benar
merasa cangggung dan tak sanggup mengikuti pembicaraan dintara kedua sahabat
itu.
"Saya pamit mau
ketoilet dulu," kata Lastri sambil berdiri.
"Saya antar?"
kata Sapto nakal.
Lagi-lagi Bayu menendang
kaki Sapto dari bawah meja, dan Sapto pun meringis kesakitan.
"Adduh.. sejak
kapan kamu jadi pemain sepak kaki?"
"Habis kamu usil
sih."
Lastri tak memperdulikan
kedua sahabat itu, ia terus melangkah menuju toilet. Ketika keluar dari toilet
itu, Lastri merasa ingin ber lama-lama meninggalkan majikannya yang asyik
bercanda bersama sahabatnya tadi. Habisnya mata Sapto terkadang nakal, dan itu
membuat Lastri merasa risih. Ia berjalan sangat pelan, ketika tiba-tiba
seseorang menepuk bahunya.
"Lastrii!! "
Lastri menoleh dan
mengenal siapa yang menyapanya. Si penjual buah yang sering ditemuinya setiap
kali dia belanja ke pasar.
"Mas Timan...
ngapain disini?"
"Barusan nganter
buah-buahan pesanan restoran ini. Kamu juga ngapain disini?"
"Nganter majikan
aku mas, lagi makan didepan."
"Oh, ya sudah. Kamu
sekarang jarang ke pasar ya Tri?"
"Iya, aku kan
sekolah, jadi cuma kalau Minggu aku kepasar."
"Baguslah, punya
majikan baik, aku ikut senang."
"Aku sungguh
beruntung mas. Ya sudah, aku kesana dulu."
"Baiklah,
sebenarnya aku kangen sama kamu," kata penjual buah itu lirih, sambil
memandangi punggung Lastri yang kemudian menghilang dibalik pintu.
*
Malam itu Bayu sedang
melihat acara film di televisi ketika pak Marsudi yang duduk sendiri diteras
depan memanggilnya.
"Ada apa
bapak?" tanya Bayu sambil mendekat. Mereka duduk hanya berdua saja.
"Dengar Bayu, kamu
ini kan sudah dewasa, sudah sa'atnya mencari isteri."
"Ah, bapak kok
tiba-tiba bicara tentang isteri."
"Lha kamu itu apa
lupa sama umur kamu? Masa harus membujang terus menerus?"
"Iya, nanti Bayu
fikirkan, tapi sekarang rasanya belum ingin."
"Kemarin ibumu
bilang, ada anak saudara misannya yang punya anak gadis, cantik, pintar,
katanya mau dikenalin sama kamu."
"Nggak bapak, Bayu
nggak mau dijodoh-jodohin. Nanti Bayu akan mencari sendiri," sergah Bayu
sambil berdiri.
"Tunggu Bayu, satu
lagi, bapak ingatkan kamu, jangan terlalu dekat sama Lastri."
Bayu kembai duduk.
Perkataan bapaknya ini membuatnya berdebar.
"Apa maksud
bapak?"
"Bapak lihat
pergaulan kamu sama Lastri itu tampak berlebihan."
"Berlebihan?
Bukankah bapak sendiri bilang bahwa Lastri sudah dianggap seperti keluarga
kita? Apa salahnya pergaulan saya sama Lastri?"
"Dengar le, ada
pepatah jawa yang mengatakan bahwa witing trisna jalaran saka kulina, kamu
faham artinya kan?"
"Ya, tapi apa
maksud bapak?"
"Kalau kamu keseringan
dekat-dekat sama Lastri, bapak khawatir akan tumbuh perasaan yang tidak terduga
dihati kamu."
"Maksud bapak rasa
cinta?"
Pak Marsudi mengangguk,
tapi tiba-tiba Bayu mulai menilai perasaan hatinya terhadap Lastri. Apakah
benar karena terlalu dekat kemudian tumbuh rasa cinta? Ah tidak, Bayu hanya
menganggapnya sebagai adik, tak lebih. Tapi Bayu tak berani membatah kata
bapaknya.
Tiba-tiba ponsel Bayu
berdering. Dari Sapto. Ada apa Sapto malam-malam begini menelpon?
"Ada apa nih, aku
sudah mau tidur."sapa Bayu
"Iya, sama, aku
juga sudah mau tidur,"jawab Sapto dari seberang.
"Trus kenapa mau
tidur pake nelpon segala?"
"Bayu, kali ini aku
serius,"
"Serius apa?"
"Bolehkah aku
mendekati adik kamu?"
"Apaa?" kata
Bayu hampir berteriak.
"Aku jatuh cinta
sama Lastri."
"Wong
eddann!!"
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar