*LASTRI 31*
Hati Lastri terasa
teriris, sudah lebih setengah tahun lalu ada iklan ini. Pasti Bayu yang
memasangnya. Ia tak pernah membaca koran, tentu saja tak membaca iklan ini.
Lagipula kalau Bayu memintanya pulang, apakah dia juga akan menurutinya? Tidak,
ayahnya membenci dia, merendahkan dia, kalau dia kembali pasti akan menjadi
bahan umpatan pak Marsudi. Toh dia mendengar sendiri bahwa pak Marsudi ingin
agar dia pergi.
"Ma'af mas Bayu,
ma'af ya...,Walau tak bisa memiliki, aku akan tetap mencintai kamu, kamu tak
tergantikan mas, aku cinta kamu," isaknya perlahan. Bergulir air matanya,
tak mampu ditahannya.
Itu sudah lama sekali.
Barangkali sekarang Bayu sudah menemukan gadis lain yang lebih cantik,
berpendidikan, berkedudukan dan tentu saja kaya.Hal-hal yang juga dimiliki
keluarga Marsudi.
Lastri mengusap air
matanya dan kembali menyapu wajahnya dengan bedak. Marni tak boleh melihat dia
menangis. Bekas tangis itu harus sudah lenyap.
Tiba-tiba terdengar
ketukan di pintu.
Lastri melihat wajahnya
sekali lagi di cermin. Mata merah sudah tak tampak, tapi sedikit sembab, tak
apa. Lastri kemudian bergegas keluar. Dilihatnya lurah Mardi berdiri didepan
pintu.
"Haa, Lastri,
cantik benar kamu," seru Mardi sambil terus menatap wajah Lastri.
"Kenapa kemari
kang? Bukankah kamu mau melamar yu Marni?"
"Iya, tapi aku
minta kamu menjadi bagian dari keluargaku, jadi aku samperin kamu. Tuh, ada ibu
dan beberapa saudara di mobil."
"Aduh kang, nggak
enak aku, biar aku berangkat sendiri saja."
"Jangan Tri, kamu
kan bagian dari keluargaku, jadi harus berangkat bersamaku."
Lastri tak bisa menolak,
ia pakai sepatunya dan mengambil tas kecil yang kemudian diikatkan dibahunya.
"Kamu habis
menangis?" tiba-tiba kata Mardi.
"Enggak.. eh..
keliatan seperti itu ya?"
"Kelihatan
dong."
"Tapi aku tadi
mengantuk sekali, tak heran mataku merah."
"Benarkah? Biasanya
kalau lagi rindu kamu pasti menangis," goda Mardi.
"Bisa aja
sih," jawab Lastri tersipu.
Lastri berjalan
mengikuti Mardi ke mobil yang berhenti didepan rumahnya.
"Kamu didepan sama
aku Lastri," kata Mardi sambil membukakan pintu depan.
Lastri masuk kedalam,
lalu mengangguk kepada beberapa saudara Mardi yang duduk dibelakang.
"Ibu, ma'af saya
didepan ya," sapa Lastri.
"Lastri, kamu
cantik sekali,"puji bu lurah.
"Ah, ibu bisa aja,
nanti calon menantu ibu pasti juga jauh lebih cantik lho."
"Benarkah ?"
"Benar bu. Ya kan
kang?"
"Iya benar
bu," jawab Mardi yang kemudian disambut ketawa oleh saudara-saudaranya
dibelakang.
Mardi memacu mobilnya,
karena Marni sudah mengontak bahwa mereka sedang ditunggu.
Acara lamaran itu
berjalan lancar. Lastri merasa lega karena akhirnya Marni akan segera menjadi
isteri lurah Mardi. Marni lega karena Mardi memenuhi janjinya. Tiga bulan lagi
mereka menikah.
Begitu membahagiakan.
*
Hari itu Marni dan
Lastri tetap mengantarkan dagangannya kekota. Kemarin salah seorang
pelanggannya di pasar menanyakan, apakah Lastri mau mengirim dagangannya ke
Solo?
"Gimana Tri, harus
bisa ya, namanya cari uang, biar keujung dunia juga harus kita kejar."
Mendengar nama kota itu
hati Lastri bergetar. Kekasih hatinya ada disana.
"Mengapa kamu
tampak ragu ? Kamu takut ketemu kekasihmu? Kalau aku sih malah kebetulan, bisa
melepas rindu dong !"
"Ah, kamu yu, kamu
itu nggak tau ya, kalau aku melarikan diri dari dia? Ya pastilah aku enggan ketemu. Apalagi aku
juga belum tau keadaannya seperti apa. Siapa tau dia sudah punya isteri. .Aku
sudah lama meninggalkannya, hampir setahun yu."
"Tapi kamu ya nggak
usah ketakutan begitu lah, Solo itu kan luas, penduduknya juga banyak, apa
kalau ke Solo lalu pasti bisa ketemu?"
"Nggak juga, lagian
alamat yang diberikan itu jauh dari rumahnya."
"Ya sudah, aku
jawab pesannya bahwa kita bersedia ya? Ini kesempatan untuk mengembangkan
sayap. Lebih banyak pelanggan kan lebih banyak peluang untuk menjual lebih
banyak. Kita untung, saudara-saudara kita di desa juga senang."
"Ya sudah yu,
terserah kamu saja, aku kan hanya kenek," canda Lastri.
"Oke kenek, siap
ya, nggak tau apa yang dipesannya, mudah-mudahan kita siap. Kalau begitu tolong
tulis nih, Ada di nomor bu Sinah."
Lastri menerima ponsel
Marni dan mencari nomor yang dimaksud. Intinya adalah mereka siap merambah kota
Solo.
Siang itu Marni tidak
langsung pulang. Ia duduk sebentar dirumah
Lastri karena tadi membeli dawet dijalanan. Mereka asyik meminum dawet
tadi setelah memberikannya sebungkus untuk mbah Kliwon.
"Minum dawet jadi
kebayang kalau kamu nikah nanti yu,"kata Lastri .
"Lho, apa
hubungannya dawet sama pernikahanku?"
"Kalau pengantin di
Solo, ada yang namanya upacara siraman. Siraman itu penganten dimandikan, lalu
ibunya pengantin perempuan menjual dawet
untuk tamu-tamunya, tapi uangnya bukan uang beneran lho yu."
"Uang palsu?"
"Uangnya pake
wingka, wingka itu pecahan genting, tau kan?"
"Oh ya? Aduuh,
tinggal dua bulanan lagi aku nikah, rasanya kok deg-degan ya Tri?"
"Ya nggak tau lah
aku, orang aku belum pernah nikah."
"Iya bener,
deg-degan aku Tri, membayangkan bagaimanaaa gitu."
"Pokoknya nanti
kamu akan bahagia yu, aku juga akan ikut bahagia," kta Lastri sendu.
Tak terbayang dibenaknya
dia akan menikah. Tidak, menikah dengan siapa? Mimpinya tersangkut di awang
sana. Jauh untuk dijangkau. Ketika hati rindu maka ia hanya bisa melambaikan tangan kepada bintang,
agar sang bintang menyampaikannya pada kekasih hati. Dan pasti ada air mata
berderai, ada perih merebak didada. Hm,
romantis yang memilukan.
*
Bu Marsudi kesal melihat
penampilan Bayu. Sudah berbulan bulan dibiarkannya wajahnya bercambang. Menurut
bu Marsudi, itu buruk sekali, kelihatan dekil dan tak terawat. Rambutnya juga
jarang dicukur. Ia melakukannya kalau ibunya menegur, tapi hanya rambutnya,
cambangnya dibiarkan lebat, hampir menutupi seluruh wajahnya.
"Nggak apa-apa
bu, Bayu masih ganteng kok."
"Ganteng apanya.
Lebih ganteng kalau wajah kamu itu bersih. Terkadang ibu pangling melihat wajah
kamu. Benarkah kamu anakku, atau anak orang lain?"
Bayu tertawa. Ia memang
malas mengurus rambutnya, wajahnya. Baginya semangat untuk melakukan apapun itu
sudah tak ada. Dunia begitu suram, hatinya selalu muram.
"Nanti kalau
tiba-tiba ketemu Lastri, pasti dia tak mau kamu dekati," goda bu Marsudi.
"Nggak mungkin bu,
kan baunya lain?"
"Baunya kamu itu
juga asem, so'alnya kamu juga jarang mandi. Kalau bukan mau berangkat kerja,
malas mandi. Benar lho Yu, Lastri tak akan mau kenal sama kamu."
Bayu menghela nafas
berat.
"Kapankah Bayu bisa
ketemu Lastri? Hampir setahun dia menghilang, dan tak perduli lagi sama
Bayu," kata Bayu sendu.
"Jangan putus asa,
biar sepuluh tahun, kalau memang dia jodohmu, pasti akan ketemu," hibur
ibunya.
"Kalau sepuluh
tahun lagi, bukankah aku sudah tua bu?"
"Teruslah berharap
Yu, dan berdo'a, ibu akan membantumu."
"Terimakasih bu,
ibu selalu mendukung Bayu."
"Kalau kamu sedih
ibu juga sedih. Jadi jangan patah semangat, ya."
Bayu memeluk ibunya
erat.
"Bayu rindu sekali
bu," rintihnya dibahu ibunya.
"Sabar Yu, Lastrimu
pasti akan kembali."
*
Sudah hampir sebulan
Timan mendengar hal yang mengherankannya. Para penjual sayur bilang bahwa
sekarang lebih suka mengambil sayur dari seorang pengusaha bernama Lastri. Tapi ketka Timan melihat seorang wanita yang
mengirim sayuran itu, ternyata bukan Lastri yang dikenalnya. Memangnya cuma
satu nama Lastri didunia ini? Kemudian Timan tak perduli.
Lastri sebenarnya segan,
karena bukan hanya kerabat yu Sinah yang minta dikirim, tapi juga temannya lagi
yang berjualan di Pasar Gede. Ia sangat mengenal pasar itu karena ada mas Timan
yang sangat dikenalnya. Kalau dia tau bahwa pengirim sayur itu dirinya, maka
pasti dia akan mengatakannya pada Bayu. Hal yang sangat ditakutinya.
Tapi karena Marni
bersedia, maka Lastri menyerah, dengan janji, Lastri tak mau turun kepasar itu.
Sudah sebulan
dilakoninya mengirim ke Pasar Gede, dan tak pernah sekalipun Lastri turun untuk
mengurusnya.
*
"Hm, curang kamu
Tri." kata Marni pada suatu siang dirumah Lastri.
"Aku kan sudah
bilang bahwa aku tak mau kesitu."
"Penjual sayur mana
sih yang namanya Timan?"
"Dia nggak jualan
sayur, tapi buah. Tapi jangan sekali-sekali kamu menawari dia. Bisa kacau semuanya."
"Baiklah, baiklah.
Tapi sekarang aku mau ngomong. Kalau begini caranya, tidak akan terkejar semua
langganan kita. Semua minta pagi, jangkauannya jauh semua, mana mungkin?"
"Aku jua sedang
memikirkan itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Hentikan saja pengiriman ke
Solo."
"Jangan Tri, sayang
kalau dihentikan."
"Lalu bagaimana?
Kita sudah berkali-kali ditegur langganan karena mengirim kesiangan."
"Harus ada satu
mobil lagi, Dan kamu yang harus membawanya."
"Apa? Aku menyetir
?Tidak yu, aku tidak berani."
"Kamu harus
belajar, masa sih, aku bisa kok kamu tidak bisa?"
"Ngeri aku, jalanan
begitu ramai."
"Mulai besok
sepulang dari bekerja aku akan mengajari kamu."
"Tunggu dulu,
mengenai tambahan mobil itu kan harus segera, mana bisa menunggu aku bisa menyetir?
Ayo cari mobil lagi, nggak usah baru, yang penting bagus, dan terjangkau oleh
kita. Lalu kita cari sopir."
"Nanti aku bicara
sama mas Mardi."
"Nanti kita hitung
uang kita, kalau perlu kredit mobil."
"Jangan berhutang
lagi, kalau mau berhutang, sama aku saja atau mas Mardi."
"Aduh, aku sungkan.
Kalau begitu cari mobil seharga uang kita. "
" Kamu itu diamlah,
biar aku yang mengurusnya."
*
Waktu terus berjalan.
Lastri benar-benar menjadi pengusaha yang berhasil. Marni sudah menikah, dan
berbahagia. Ada dua mobil pengirim buah
dan sayur dengan warna yang sama, dan tulisan yang sama dikedua pintunya.
LASTRI.
Lastri sudah menolaknya,
tapi Mardi dan Marni tak menggubrisnya. Katanya nama Lastri ternyata membawa
berkah. Aduhai, Lastri merasa lucu mendengar alasan mereka. Tapi sekarang
pengemudi mobil itu adalah benar-benar sopir, bukan Lastri ataupun Marni.
Lastri dan Marni hanya
duduk manis dirumah dan ada orang kepercayaan yang bisa menyelesaikan
semuanya.Tapi Lastri tidak berdiam diri. Ia berbincang dengan Mardi mengenai
dusun mereka yang tertinggal. Beberapa
orang dusun yang semula meganggur, harus dipekerjakan.. Anak-anak yang tidak
sekolah, dipaksanya agar sekolah. Dusun itu harus maju, bukan karena terpencil
lalu menjadi terbelakang, Mardi berterimakasih
karena usulan-usulan Lastri sangat
membantu.
Dan ternyata kemajuan
dusun itu juga menjadi perhatian pemerintah. Jalan mulai diperbaiki, pendidikan
diperhatikan dengan didirikannya sekolah-sekolah. Tapi Lastri enggan kalau itu
dikaitkan dengan dirinya. Lastri hanya memberi masukan dan Mardi yang
melaksanakannya. Kalau ada lurah teladan yang berhasil membangkitkan desanya
menjadi desa yang bermartabat, maka dia adalah
lurah Sumardi.
"Jangan ada nama
Lastri, kalau kang Mardi melakukannya maka aku akan pergi dari sini,"
ancam Lastri.
Tak perlu ada sanjungan,
tak perlu ada ukiran nama tertulis disana, karena pengabdian adalah perbuatan
mulia yang tak berharap balas. Kepuasan batin lebih berharga daripada kepuasan
lahiriah karena dipuja dimana-mana.
Lastri adalah Lastri,
gadis dusun sederhana, yang tak punya pangkat dan derajat, yang tersingkir
karena merasa dihujat. Tapi Lastri memiliki sejagat minat, sejagat hasrat dan
memiliki sejagat berkat, dengan menyaksikan mimpinya menjadi nyata.
*
Sore itu Timan baru saja
mengambil dagangan di Tawangmangu. Ia singgah disebuah Pom Bensin untuk mengisi
bahan bakar.
Antrian sangat panjang
dan panas terasa menyengat hari itu. Timan membuka kaca mobilnya dan melihat
kesekeliling. Ia ingin membeli sebotol air mineral karena bekal minum yang tadi
dibawanya telah habis diperjalanan.
Tiba-tiba kira-kira tiga
atau empat mobil dibelakangnya dilihatnya sebuah mobil colt terbuka yang
menurutnya menarik. Warna mobil itu kuning telur, pintunya ada lukisan
bunga-bunga dan ada tulisan besar, LASTRI.
Timan melongok
kebelakang, benarkah apa yang dibacanya? Walau banyak nama Lastri didunia ini,
tapi entah mengapa Timan tertarik untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu.
Begitu selesai mengisi
bahan bakar. Timan menunggu sampai mobil bertulisan LASTRI itu lewat
disampingnya. Timan memarkir mobilnya agak ketemu dan terus mengawasinya.
*
&&&&
*LASTRI 32*
Timan terus menunggu,
satu mobil lagi, dan pick up bertuliskan LASTRI itu akan mendapat
gilirannya. Timan terus mengawasinya
dari kaca spion.
"Penasaran sekali
aku. Dipasar orang berbicara Lastri, pick up lucu, tulisannya Lastri. Apakah
mereka mengejek aku karena tau aku sedang mencari Lastri untuk sahabatku?"
gumam Timan.
Haa... pick up kuning
telur itu sudah selesai, dan berjalan hampir sampai didekatnya. Timan
melongokkan kepalanya dijendela.
"Mas, mas... tunggu
mas," teriaknya.
Pengemudi pick up itu
menoleh sejenak, tapi tak mau berhenti. Ia langsung keluar dari arena pengisian
bahan bakar itu, dan memacu mobilnya. Rupanya dia sedang tergesa-gesa dan
mengira Timan salah memanggil orang, karena dia sama sekali tak mengenal Timan.
"O, wong eddan
!!" Timan mengumpat karena kesal. Dia menstarter mobilnya dan mengejar
pick up kuning itu.
"Mana dia? Kok
tiba-tiba menghilang? Siluman barangkali," gerutu Timan sambil matanya
melongok kesana kemari.
"Mungkinkah dia
masuk ke gang disana tadi?"
Karena perkiraan itulah
maka Timan memutar mobilnya, lalu memasuki gang
masuk sepuluhan meter setelah pom itu.
Tapi mobil itu tak
diketemukannya, barangkali sudah sampai dijalan besar didepan sana lalu belok
entah kemana, nyatanya ketika Timan sampai dijalan besar itu, pick up kuning
itu tak kelihatan lagi buntutnya. Dengan mengomel panjang pendek Timan memacu
mobilnya, pulang.
*
Sore itu bu Marsudi
kembali mengomel karena rambut dan cambang Bayu sudah kelewatan panjangnya.
Bayu sedang duduk bersandar disofa, tampak lesu dan tak bertenaga.
"Bayu, ayo ibu
antar, rambut dan cambang itu harus dirapikan."
"Males bu, biarin
begini saja."
"Kamu tuh jelek,
tau ?!"
"Nggak apa-apa
jelek, Memangnya kalau ganteng mau ngapain?"
"Bayu, jangan gittu
dong Yu, kamu bekerja, apa nggak ditegur sama atasan kamu?"
"Bayu ganti
penampilan bu, biarlah begini saja. Bayu juga nggak minat bekerja lagi, jadi
kalau dikeluarin gara-gara penampilan ini ya nggak apa-apa." kata Bayu
yang bicaranya semakin melemah.
"Bicaramu ngelantur."
"Bayu sudah patah
semangat. Semangat untuk apapun sudah tak ada lagi." tiba-tiba tubuh Bayu lunglai.
Bu Marsudi memeluk Bayu
dengan sedih. Ia tak tau harus melakukan apa. Hiburan apapun untuk Bayu tak
bisa membuatnya senang, apalagi bahagia.
"Kalau begini terus
kamu bisa sakit Yu, kasihanilah dirimu."
"Bayu sudah lama
sakit bu."
"Jangan begitu. Ibu
tidak punya siapa-siapa Yu, anak ibu hanya kamu. Kamu jangan begini ya
nak." bu Marssudi sedikit cemas menyaksikan anaknya tampak lemas.
"Aku ingin pergi
mencari Lastri bu."
"Kemana lagi kamu
akan mencarinya?"
"Kemana saja bu,
asalkan Bayu bisa menemukan Lastri."
Bayu terkulai dalam
pelukan ibunya. Pak Marsudi belum pulang dari kantornya. Kalaupun pulang Bayu
tak begitu dekat dengan bapaknya. Bayu masih belum bisa mema'afkan perbuatan
ayahnya yang membuat Lastri pergi. Sesal yang dikemukakan pak Marsudi tak bisa
mengubah semuanya. Lastri sudah pergi.
"Cara Lastri pergi
itu sungguh membuat Bayu sedih. Dia pergi dengan hati terluka bu, " rintih
Bayu.
Ponsel Bayu berdering,
tapi Bayu tak ingin mengangkatnya. Bu Marsudi meraihnya.
"Ini dari nak
Sapto. Angkatlah."
Bayu menggeleng. Bu
Marsudi mengalah, mengangkat panggilan itu.
"Hallo Yu, kemana
saja kamu?"
"Nak Sapto, ini
ibu. Bayu lagi tidur. Ada apa ya?"
"Ini bu, Sapto mau
mengundang Bayu di pesta pernikahan Sapto."
"Oh, nak Sapto mau
menikah ?"
“Masih bulan depan sih
bu, tapi Sapto mau minta Bayu untuk ikut bantu-bantu, gitu, saya mengundang Bayu sore ini dirumah. Kami
sedang berbicara dengan keluarga."
"Oh, tapi sa'at ini
kayaknya Bayu lagi kurang enak badan. Bagaimana kalau besok saja biar dia
menemui nak Sapto?"
"Oh, sakit dia?
Masih memikirkan Lastri?"
"Ah, ya itulah nak.
Oh ya, nak Sapto jadi menikah dengan Reni?"
"Benar bu, Sapto
sudah capek melajang. Sudah sa'atnya memikirkan rumah tangga."
"Itu benar nak, ibu
ikut senang akhirnya nak Sapto sudah menemukan jodohnya. Tapi kok bapaknya Bayu
belum cerita ya? Ayahya Reni kan rekan kerja pak Marsudi dikantornya.”
"Mungkin belum
bu."
"Baiklah nak, ma'af
ya, sore ini Bayu belum bisa kemana mana, jadi biar besok saja dia menemui nak
Sapto ya?"
"Nggak apa-apa bu,
kalau perlu besok Sapto saja yang datang kemari."
Bayu bisa menangkap
percakapan ibunya dan Sapto, tapi dia tak berreaksi. Ia tiduran di sofa dengan
meletakkan kepalanya dipangkuan ibunya.
"Nak Sapto mau
menikah Yu, sore ini sebenarnya kamu ditunggu dirumahnya."
"Hm..." hanya
dengusan yang terdengar dari mulutnya. Bayu memejamkan matanya.
Bu Marsudi mengelus
kepala Bayu dengan lembut.
Pak Marsudi tiba-tiba
datang dan langsung duduk di depan isterinya, memandangi Bayu yang terbaring
disana.
"Kenapa dia?"
"Nggak apa-apa,
hanya ingin bermanja sama ibunya."
"Akhirnya Reni akan
menikah dengan Sapto."
"Iya, ibu sudah
tau, barusan nak Sapto menelpon."
"Harusnya dia
menjadi isteri Bayu," kata pak Marsudi.
"Sssssh...!"
Bu Marsudi meletakkan jari telunjuknya di bibir, pertanda melarang suaminya
melanjutkn kata-katanya.
Pak Marsudi berdiri dan
pergi kebelakang dengan bersungut-sungut.
"Teh hangat sudah
ada dimeja pak," kata bu Marsudi agak keras tanpa beranjak dari tempat
duduknya, karena Bayu masih terbaring dipangkuannya dan enggan ditinggalkannya.
*
Malam baru saja turun,
temaram senja telah hilang, meninggalkan kegelapan yang senyap. Timan duduk
diteras rumhahnya. Didepannya tampak gelas kosong bekas wedang jahe yang habis
diminumnya. Rengginang setoples juga tinggal separo. Demikianlah malam demi
malam dilalui Timan dengan sepi yang terkadang menyengat, sejak kedua orang
tuanya meninggal tuga tahun silam.
Timan menyesal tak bisa
memenuhi keinginan mereka untuk memberikan seorang cucupun ketika mereka masih
bersamanya. Tapi bagaimana lagi, jodoh itu belum juga ditemukan. Ketika cinta
hampir kuncup, tiba-tiba disadarinya bahwa mimpinya terbatas hanyalah mimpi,
karena gadis yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain. Tapi Timan tak
pernah merasa sakit hati.
Kedewasaan membuatnya
lebih bisa mengendapkan rasa dan gejolak yang terkadang memprakpandakan
hatinya. Timan bahagia ketika Lastri mencintai laki-laki yang baik, yang
mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.
Timan teringat ketika
pada suatu hari bertemu Bayu, didepan
sebuah toko. Entah belanja apa, Bayu tampak letih dan tak bersemangat. Timan
hampir tak mengenalinya kalau Bayu tidak menyapanya. Rambutnya sedikit
gondrong, cambang hampir memenuhi seluruh wajahnya.
"Mas Bayu,
apa-apaan mas Bayu ini?"
"Apa kabar mas
Timan?" sapa Bayu tanpa memperdulikan reaksi Timan ketika memandangi
wajahnya.
"Baik mas Bayu,
tapi.. saya hampir tak mengenali mas Bayu. Mengapa berpenampilan seperti
ini?"
"Bukankah saya
ganteng?" canda Bayu sambil tertawa.
"Iya sih, gantengnya
tetap, tapi...."
"Tapi apa mas
?"
"Sedikit
serem."
Lalu keduanya terbahak
bahak.
Sekarang Timan melamun
sendirian didepan rumah. Akhir-akhir ini Bayu jarang datang. Barangkali karena
dirumah ini tak juga ditemukannya berita tentang Lastri.
Tiba-tiba Timan teringat
pick up kuning itu.
"Mengapa aku
tertarik pada colt kuning itu? Apa karena ada tulisan Lastri dipintunya? Tapi
pengemudi pick up itu sungguh keterlaluan. Aku
memintanya berhenti,mengapa tidak mau, malah menghilang entah kemana,”
gumam Timan kesal.
Tiba-tiba juga Timan
ingin menelpon Bayu, dan ingin berbincang tentang colt kuning itu. Mungkinkah
Bayu akan tertarik? Diputarnya nomor Bayu.
*
Ketika ponselnya
berdering itu, Bayu masih berbaring dipangkuan ibunya, barangkali juga ketiduraan
karena sudah lama dia berbaring dan posisinya tidak juga berubah. Bu Marsudi mengambil ponsel itu dan membaca
pengirimnya.
"Dari nak Timan ..
Bayu, apa kamu mau menerimanya?"
Bayu menggeleng lemah.
Bu Marsudi terpaksa menerimanya.
"Hallo,"
"Lho, ini ibu? Mas
Bayu ada bu?"
"Ada sih nak, tapi
sepertinya agak kurang enak badan. Dari tadi maunya tidur melulu."
"Sakit bu? Kalau
begitu biar saya kesitu ya bu."
"Bayu, nak
Timan mau kesini. Kamu tidur dikamar
saja yuk, biar lebih enak. Ibu mau melayani bapak dulu.”
Bayu tak mnjawab. Bu
Marsudi mengambil bantal sofa dan meletakkan kepala Bayu disitu.
Bu Marsudi mendekati
suaminya yang sudah menghabiskan tehnya dan makan beberapa cemilan yang
dihidangkannya.
"Pak, ibu kok
khawatir pada keadaan Bayu."
"Memangnya dia
kenapa?"
"Sejak pulang dari
bekerja tadi kok langsung tiduran disana dan kelihatannya badannya lemas. Ibu
suruh pindah kekamarnya dia menggeleng."
"Apa dia sakit?
Badannya panas?"
"Nggak panas pak,
keringatan malah. Tapi kok kayak lemas begitu."
"Dibawa kerumah
sakit saja apa gimana?" tanya pak Marsudi khawatir.
"Coba bapak tanya,
apa yang dirasakannya."
Pak Marsudi mendekati
Bayu yang masih berbaring dan memejamkan mata. Ia memegang kening anaknya.
"Bayu, kamu
sakit?"
Bayu tak menjawab.
"Sudah makan
kamu?"
"Tadi siang malah
nggak makan dirumah, jangan-jangan dikantor juga nggak makan dia," ujar bu
Marsudi.
"Makan ya le?"
Bayu menggeleng.
"Panggil Darmo bu,
supaya dia bisa membantu membawa Bayu kerumah sakit," kata pak Marsudi.
Bu Marsudi mengambil
ponselnya. Tapi tiba-tiba didengarnya ketukan di pintu.
"Itu pasti nak
Timan," kata bu Marsudi yang langsung melangkah kedepan.
"Selamat malam
bu," sapa tamu itu yang memang Timan adanya.
"Malam nak. Itu
Bayu tiduran disitu. Badannya kok lemas begitu, seperti tak bertenaga,"
kata bu Marsudi sambil mengajak Timan masuk.
Timan mengikuti bu
Marsudi, dan meletakkan sebuah bungkusan berisi jeruk segar dimeja didekat Bayu
berbaring.
"Mas Bayu, sakit
apa ?"
"Kita mau
membawanya ke rumah sakit saja. Baru mau memanggil Darmo untuk membantu. Badan
segede itu mana bapak sama ibunya kuat menggendong, orang dianya lemas
begitu," kata pak Marsudi.
"Biar saya saja
yang menggendong pak," kata Timan mendekati Bayu.
Pak Marsudi kedepan
mempersiapkan mobil, sedangkan bu Marsudi kekamar untuk berganti baju.
"Mas Bayu, kita
kerumah sakit ya?" bisik Timan.
Bayu membuka matanya
begitu mendengar suara Timan.
"Kerumah sakit ya,
mari saya bantu."
Tapi Bayu menggelengkan
kepalanya.
"Jangan, biar
begini saja," kata Bayu lemah.
"Jangan begitu mas
Bayu, bapak dan ibu sangat khawatir. Ayo semangat mas, nanti kalau Lastri
kembali pasti sedih melihat mas Bayu seperti ini," bujuk Timan.
"Lastri.. tak akan
kembali.." lemah Bayu berujar.
"Jangan patah
semangat, Oh ya, dengar mas, tadi saya melihat sebuah colt kuning, yang
pintunya bertuliskan LASTRI."
Bayu membuka matanya.
"Mana Lastri?"
"Saya belum
berhasil bertemu pemilik mobil ibu. Tapi
besok saya akan memburunya. Siapa tau ada hubungannya dengan Lastri."
"Benarkah?"
"Nggak tau mas, saya
kok merasa bahwa Lastri sudah dekat dengan kita," kata Timan memberi
semangat.
Bu Marsudi sudah selesai
berganti pakaian.
"Bagaimana Yu, ayo
kerumah sakit, bapak sudah menunggu didepan," kata bu Marsudi.
"Aku hanya mau
Lastri," bisiknya pelan sambil bangkit.
"Aku berjanji akan
memburu Lastri. Tapi mas Bayu harus tetap semangat dan sembuh," kata Timan
lagi.
"Saya
gendong?" kata Timan sambil membungkuk.
Bayu menggeleng. Ia
mencoba berdiri tapi badannya terhuyung. Timan menangkapnya kemudian memapahnya
ke mobil.
Disepanjang perjalanan
kerumah sakit itu Timan berfikir, bagaimana kalau Lastri si pemilik pick up itu
bukan Lastri yang dicarinya? Timan menghela nafas, yang penting Bayu mau dibawa
kerumah sakit.
*
Pagi itu Timan berdiri
didepan pasar. Ia tau bahwa pemasok sayur dan buah itu akan datang setiap hari.
Ia harus bertanya, siapakah Lastri sang pengirim sayur, adakah hubungannya
dengan pick up kuning telur yang dilihatnya?
Bayu terbaring dirumah
sakit, dokter mengatakan bahwa penyakitnya lumayan parah. Tekanan darah rendah
sekali, hb nya juga sangat rendah.
Timan tak memperdulikan
dagangan buahnya. LASTRI yang terkenal dipasar itu siapa, dan pemilik pick up
kuning telur itu juga siapa. Keterangannya ditunggu Bayu, dan itu adalah
janjinya. Bagaimana kalau itu Lastri yang lain?
Timan tak beranjak dari
depan pasar, berdiri diantara lalu lalang pedagang yang baru datang dan para
pembelanja yang mulai berdatangan.
Mana pengirim sayur itu?
Apakah perempuan yang pernah dilihatnya sedikit gemuk tapi manis? Apakah dia
bernama Lastri ? Dari tak perduli akan nama itu, kemudian Timan menjadi sangat
bersemangat untuk bertanya-tanya. Mudah-mudahan perempuan itu datang.
Tapi tiba-tiba...
"Haa.. itu pick up
yang kemarin !!" seru Timan sambil berjalan mendekat.Pick up kuning itu
berhenti, seorang laki-laki menurunlkan keranjang keranjang berisi kubis dan
bayam.
Laki-laki itu segera
mengusung keranjang kedalam. Timan mencari sopirnya. Sopir, mana sopir? Aduh,
baru saja datang sudah menghilang? Ya ampun, ternyata sang pengemudi pick up
itu sedang duduk didepan penjual wedang.
Timan mendekat.
"Mas, kemarin kita
ketemu di POM kan ?"
Pengemudi itu menatap
Timan, seperti meng ingat-ingat.
"Saya panggil
sampeyan, tapi nggak mau berhenti."
"Oh, itu ? Iya
ma'af mas, kemarin saya mendapat tugas menagih, orang itu bilang harus segera
datang karena keburu mau pergi. Jadi saya terburu-buru,"
"Oh, gitu ya?"
"Ada apa ya mas
?"
"Mau tanya mas,
pengusaha sayur ini siapa ya?"
"Ini? Pak lurah
mas."
"Pak lurah ?"
"Iya, tapi yang mengatur
semuanya mbak Lastri."
Timan berdebar-debar.
"Lastri itu yang
suka mengirim kemari ya?"
"Iya mas, dulu, waktu mobilnya masih
satu, dan saya belum bekerja disana."
"Orangnya hitam manis, sedikit gemuk tapi
manis?"
"Oh, bukan mas, itu
sekarang menjadi isteri pak lurah. Lastri itu orangnya cantik, kulitnya putih,
tinggi semampai, baik hati. Pokoknya gini mas," katanya sambil
mengacungkan jempolnya.
"Dari mana sayur
ini dikirim?"
"Dari Sarangan
mas."
Timan hampir melonjak
kegirangan.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar