Rabu, 29 April 2020

LASTRI (31-32)

*LASTRI  31*

Hati Lastri terasa teriris, sudah lebih setengah tahun lalu ada iklan ini. Pasti Bayu yang memasangnya. Ia tak pernah membaca koran, tentu saja tak membaca iklan ini. Lagipula kalau Bayu memintanya pulang, apakah dia juga akan menurutinya? Tidak, ayahnya membenci dia, merendahkan dia, kalau dia kembali pasti akan menjadi bahan umpatan pak Marsudi. Toh dia mendengar sendiri bahwa pak Marsudi ingin agar dia pergi.

"Ma'af mas Bayu, ma'af ya...,Walau tak bisa memiliki, aku akan tetap mencintai kamu, kamu tak tergantikan mas, aku cinta kamu," isaknya perlahan. Bergulir air matanya, tak mampu ditahannya.

Itu sudah lama sekali. Barangkali sekarang Bayu sudah menemukan gadis lain yang lebih cantik, berpendidikan, berkedudukan dan tentu saja kaya.Hal-hal yang juga dimiliki keluarga Marsudi.

Lastri mengusap air matanya dan kembali menyapu wajahnya dengan bedak. Marni tak boleh melihat dia menangis. Bekas tangis itu harus sudah lenyap.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Lastri melihat wajahnya sekali lagi di cermin. Mata merah sudah tak tampak, tapi sedikit sembab, tak apa. Lastri kemudian bergegas keluar. Dilihatnya lurah Mardi berdiri didepan pintu.

"Haa, Lastri, cantik benar kamu," seru Mardi sambil terus menatap wajah Lastri.
"Kenapa kemari kang? Bukankah kamu mau melamar yu Marni?"

"Iya, tapi aku minta kamu menjadi bagian dari keluargaku, jadi aku samperin kamu. Tuh, ada ibu dan beberapa saudara di mobil."

"Aduh kang, nggak enak aku, biar aku berangkat sendiri saja."
"Jangan Tri, kamu kan bagian dari keluargaku, jadi harus berangkat bersamaku."

Lastri tak bisa menolak, ia pakai sepatunya dan mengambil tas kecil yang kemudian diikatkan dibahunya.

"Kamu habis menangis?" tiba-tiba kata Mardi.
"Enggak.. eh.. keliatan seperti itu ya?"
"Kelihatan dong."

"Tapi aku tadi mengantuk sekali, tak heran mataku merah."
"Benarkah? Biasanya kalau lagi rindu kamu pasti menangis," goda Mardi.
"Bisa aja sih," jawab Lastri tersipu.

Lastri berjalan mengikuti Mardi ke mobil yang berhenti didepan rumahnya.
"Kamu didepan sama aku Lastri," kata Mardi sambil membukakan pintu depan.

Lastri masuk kedalam, lalu mengangguk kepada beberapa saudara Mardi yang duduk dibelakang.
"Ibu, ma'af saya didepan ya," sapa Lastri.
"Lastri, kamu cantik sekali,"puji bu lurah.

"Ah, ibu bisa aja, nanti calon menantu ibu pasti juga jauh lebih cantik lho."
"Benarkah ?"

"Benar bu. Ya kan kang?"
"Iya benar bu," jawab Mardi yang kemudian disambut ketawa oleh saudara-saudaranya dibelakang.

Mardi memacu mobilnya, karena Marni sudah mengontak bahwa mereka sedang ditunggu.
Acara lamaran itu berjalan lancar. Lastri merasa lega karena akhirnya Marni akan segera menjadi isteri lurah Mardi. Marni lega karena Mardi memenuhi janjinya. Tiga bulan lagi mereka menikah.
Begitu membahagiakan.
*

Hari itu Marni dan Lastri tetap mengantarkan dagangannya kekota. Kemarin salah seorang pelanggannya di pasar menanyakan, apakah Lastri mau mengirim dagangannya ke Solo?

"Gimana Tri, harus bisa ya, namanya cari uang, biar keujung dunia juga harus kita kejar."
Mendengar nama kota itu hati Lastri bergetar. Kekasih hatinya ada disana.

"Mengapa kamu tampak ragu ? Kamu takut ketemu kekasihmu? Kalau aku sih malah kebetulan, bisa melepas rindu dong !"

"Ah, kamu yu, kamu itu nggak tau ya, kalau aku melarikan diri dari dia?  Ya pastilah aku enggan ketemu. Apalagi aku juga belum tau keadaannya seperti apa. Siapa tau dia sudah punya isteri. .Aku sudah lama meninggalkannya, hampir setahun yu."

"Tapi kamu ya nggak usah ketakutan begitu lah, Solo itu kan luas, penduduknya juga banyak, apa kalau ke Solo lalu pasti bisa ketemu?"
"Nggak juga, lagian alamat yang diberikan itu jauh dari rumahnya."

"Ya sudah, aku jawab pesannya bahwa kita bersedia ya? Ini kesempatan untuk mengembangkan sayap. Lebih banyak pelanggan kan lebih banyak peluang untuk menjual lebih banyak. Kita untung, saudara-saudara kita di desa juga senang."

"Ya sudah yu, terserah kamu saja, aku kan hanya kenek," canda Lastri.
"Oke kenek, siap ya, nggak tau apa yang dipesannya, mudah-mudahan kita siap. Kalau begitu tolong tulis nih, Ada di nomor bu Sinah."

Lastri menerima ponsel Marni dan mencari nomor yang dimaksud. Intinya adalah mereka siap merambah kota Solo.

Siang itu Marni tidak langsung pulang. Ia duduk sebentar dirumah  Lastri karena tadi membeli dawet dijalanan. Mereka asyik meminum dawet tadi setelah memberikannya sebungkus untuk mbah Kliwon.

"Minum dawet jadi kebayang kalau kamu nikah nanti yu,"kata Lastri .
"Lho, apa hubungannya dawet sama pernikahanku?"

"Kalau pengantin di Solo, ada yang namanya upacara siraman. Siraman itu penganten dimandikan, lalu ibunya pengantin perempuan  menjual dawet untuk tamu-tamunya, tapi uangnya bukan uang beneran lho yu."

"Uang palsu?"
"Uangnya pake wingka, wingka itu pecahan genting, tau kan?"

"Oh ya? Aduuh, tinggal dua bulanan lagi aku nikah, rasanya kok deg-degan ya Tri?"
"Ya nggak tau lah aku, orang aku belum pernah nikah."

"Iya bener, deg-degan aku Tri, membayangkan bagaimanaaa gitu."
"Pokoknya nanti kamu akan bahagia yu, aku juga akan ikut bahagia," kta Lastri sendu.

Tak terbayang dibenaknya dia akan menikah. Tidak, menikah dengan siapa? Mimpinya tersangkut di awang sana. Jauh untuk dijangkau. Ketika hati rindu maka ia  hanya bisa melambaikan tangan kepada bintang, agar sang bintang menyampaikannya pada kekasih hati. Dan pasti ada air mata berderai, ada perih merebak didada.  Hm, romantis yang memilukan.
*

Bu Marsudi kesal melihat penampilan Bayu. Sudah berbulan bulan dibiarkannya wajahnya bercambang. Menurut bu Marsudi, itu buruk sekali, kelihatan dekil dan tak terawat. Rambutnya juga jarang dicukur. Ia melakukannya kalau ibunya menegur, tapi hanya rambutnya, cambangnya dibiarkan lebat, hampir menutupi seluruh wajahnya.

"Nggak apa-apa bu,  Bayu masih ganteng kok."
"Ganteng apanya. Lebih ganteng kalau wajah kamu itu bersih. Terkadang ibu pangling melihat wajah kamu. Benarkah kamu anakku, atau anak orang lain?"

Bayu tertawa. Ia memang malas mengurus rambutnya, wajahnya. Baginya semangat untuk melakukan apapun itu sudah tak ada. Dunia begitu suram, hatinya selalu muram.

"Nanti kalau tiba-tiba ketemu Lastri, pasti dia tak mau kamu dekati," goda bu Marsudi.
"Nggak mungkin bu, kan baunya lain?"

"Baunya kamu itu juga asem, so'alnya kamu juga jarang mandi. Kalau bukan mau berangkat kerja, malas mandi. Benar lho Yu, Lastri tak akan mau kenal sama kamu."
Bayu menghela nafas berat.

"Kapankah Bayu bisa ketemu Lastri? Hampir setahun dia menghilang, dan tak perduli lagi sama Bayu," kata Bayu sendu.

"Jangan putus asa, biar sepuluh tahun, kalau memang dia jodohmu, pasti akan ketemu," hibur ibunya.
"Kalau sepuluh tahun lagi, bukankah aku sudah tua bu?"

"Teruslah berharap Yu, dan berdo'a, ibu akan membantumu."
"Terimakasih bu, ibu selalu mendukung Bayu."

"Kalau kamu sedih ibu juga sedih. Jadi jangan patah semangat, ya."
Bayu memeluk ibunya erat.

"Bayu rindu sekali bu," rintihnya dibahu ibunya.
"Sabar Yu, Lastrimu pasti akan kembali."
*

Sudah hampir sebulan Timan mendengar hal yang mengherankannya. Para penjual sayur bilang bahwa sekarang lebih suka mengambil sayur dari seorang pengusaha bernama Lastri.  Tapi ketka Timan melihat seorang wanita yang mengirim sayuran itu, ternyata bukan Lastri yang dikenalnya. Memangnya cuma satu nama Lastri didunia ini? Kemudian Timan tak perduli.

Lastri sebenarnya segan, karena bukan hanya kerabat yu Sinah yang minta dikirim, tapi juga temannya lagi yang berjualan di Pasar Gede. Ia sangat mengenal pasar itu karena ada mas Timan yang sangat dikenalnya. Kalau dia tau bahwa pengirim sayur itu dirinya, maka pasti dia akan mengatakannya pada Bayu. Hal yang sangat ditakutinya.

Tapi karena Marni bersedia, maka Lastri menyerah, dengan janji, Lastri tak mau turun kepasar itu.
Sudah sebulan dilakoninya mengirim ke Pasar Gede, dan tak pernah sekalipun Lastri turun untuk mengurusnya.
*

"Hm, curang kamu Tri." kata Marni pada suatu siang dirumah Lastri.
"Aku kan sudah bilang bahwa aku tak mau kesitu."

"Penjual sayur mana sih yang namanya Timan?"
"Dia nggak jualan sayur, tapi buah. Tapi jangan sekali-sekali kamu menawari dia. Bisa kacau semuanya."

"Baiklah, baiklah. Tapi sekarang aku mau ngomong. Kalau begini caranya, tidak akan terkejar semua langganan kita. Semua minta pagi, jangkauannya jauh semua, mana mungkin?"

"Aku jua sedang memikirkan itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Hentikan saja pengiriman ke Solo."
"Jangan Tri, sayang kalau dihentikan."

"Lalu bagaimana? Kita sudah berkali-kali ditegur langganan karena mengirim kesiangan."
"Harus ada satu mobil lagi, Dan kamu yang harus membawanya."

"Apa? Aku menyetir ?Tidak yu, aku tidak berani."
"Kamu harus belajar, masa sih, aku bisa kok kamu tidak bisa?"
"Ngeri aku, jalanan begitu ramai."
"Mulai besok sepulang dari bekerja aku akan mengajari kamu."

"Tunggu dulu, mengenai tambahan mobil itu kan harus segera, mana bisa menunggu aku bisa menyetir? Ayo cari mobil lagi, nggak usah baru, yang penting bagus, dan terjangkau oleh kita. Lalu kita cari sopir."

"Nanti aku bicara sama mas Mardi."
"Nanti kita hitung uang kita, kalau perlu kredit mobil."
"Jangan berhutang lagi, kalau mau berhutang, sama aku saja atau mas Mardi."

"Aduh, aku sungkan. Kalau begitu cari mobil seharga uang kita. "
" Kamu itu diamlah, biar aku yang mengurusnya."
*

Waktu terus berjalan. Lastri benar-benar menjadi pengusaha yang berhasil. Marni sudah menikah, dan berbahagia. Ada dua  mobil pengirim buah dan sayur dengan warna yang sama, dan tulisan yang sama dikedua pintunya. LASTRI.

Lastri sudah menolaknya, tapi Mardi dan Marni tak menggubrisnya. Katanya nama Lastri ternyata membawa berkah. Aduhai, Lastri merasa lucu mendengar alasan mereka. Tapi sekarang pengemudi mobil itu adalah benar-benar sopir, bukan Lastri ataupun Marni.

Lastri dan Marni hanya duduk manis dirumah dan ada orang kepercayaan yang bisa menyelesaikan semuanya.Tapi Lastri tidak berdiam diri. Ia berbincang dengan Mardi mengenai dusun mereka yang tertinggal.  Beberapa orang dusun yang semula meganggur, harus dipekerjakan.. Anak-anak yang tidak sekolah, dipaksanya agar sekolah. Dusun itu harus maju, bukan karena terpencil lalu menjadi  terbelakang, Mardi berterimakasih karena usulan-usulan  Lastri sangat membantu.

Dan ternyata kemajuan dusun itu juga menjadi perhatian pemerintah. Jalan mulai diperbaiki, pendidikan diperhatikan dengan didirikannya sekolah-sekolah. Tapi Lastri enggan kalau itu dikaitkan dengan dirinya. Lastri hanya memberi masukan dan Mardi yang melaksanakannya. Kalau ada lurah teladan yang berhasil membangkitkan desanya menjadi desa yang bermartabat, maka dia adalah  lurah Sumardi.

"Jangan ada nama Lastri, kalau kang Mardi melakukannya maka aku akan pergi dari sini," ancam Lastri.

Tak perlu ada sanjungan, tak perlu ada ukiran nama tertulis disana, karena pengabdian adalah perbuatan mulia yang tak berharap balas. Kepuasan batin lebih berharga daripada kepuasan lahiriah karena dipuja dimana-mana.

Lastri adalah Lastri, gadis dusun sederhana, yang tak punya pangkat dan derajat, yang tersingkir karena merasa dihujat. Tapi Lastri memiliki sejagat minat, sejagat hasrat dan memiliki sejagat berkat, dengan menyaksikan mimpinya menjadi nyata.
*

Sore itu Timan baru saja mengambil dagangan di Tawangmangu. Ia singgah disebuah Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar.

Antrian sangat panjang dan panas terasa menyengat hari itu. Timan membuka kaca mobilnya dan melihat kesekeliling. Ia ingin membeli sebotol air mineral karena bekal minum yang tadi dibawanya telah habis diperjalanan.

Tiba-tiba kira-kira tiga atau empat mobil dibelakangnya dilihatnya sebuah mobil colt terbuka yang menurutnya menarik. Warna mobil itu kuning telur, pintunya ada lukisan bunga-bunga dan ada tulisan besar, LASTRI.

Timan melongok kebelakang, benarkah apa yang dibacanya? Walau banyak nama Lastri didunia ini, tapi entah mengapa Timan tertarik untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu.

Begitu selesai mengisi bahan bakar. Timan menunggu sampai mobil bertulisan LASTRI itu lewat disampingnya. Timan memarkir mobilnya agak ketemu dan terus mengawasinya.
*

&&&&

*LASTRI 32*

Timan terus menunggu, satu mobil lagi, dan pick up bertuliskan LASTRI itu akan mendapat gilirannya.  Timan terus mengawasinya dari kaca spion.

"Penasaran sekali aku. Dipasar orang berbicara Lastri, pick up lucu, tulisannya Lastri. Apakah mereka mengejek aku karena tau aku sedang mencari Lastri untuk sahabatku?" gumam Timan.

Haa... pick up kuning telur itu sudah selesai, dan berjalan hampir sampai didekatnya. Timan melongokkan kepalanya dijendela.

"Mas, mas... tunggu mas," teriaknya.

Pengemudi pick up itu menoleh sejenak, tapi tak mau berhenti. Ia langsung keluar dari arena pengisian bahan bakar itu, dan memacu mobilnya. Rupanya dia sedang tergesa-gesa dan mengira Timan salah memanggil orang, karena dia sama sekali tak mengenal Timan.

"O, wong eddan !!" Timan mengumpat karena kesal. Dia menstarter mobilnya dan mengejar pick up kuning itu.

"Mana dia? Kok tiba-tiba menghilang? Siluman barangkali," gerutu Timan sambil matanya melongok kesana kemari.
"Mungkinkah dia masuk ke gang disana tadi?"

Karena perkiraan itulah maka Timan memutar mobilnya, lalu memasuki gang  masuk sepuluhan meter setelah pom itu.

Tapi mobil itu tak diketemukannya, barangkali sudah sampai dijalan besar didepan sana lalu belok entah kemana, nyatanya ketika Timan sampai dijalan besar itu, pick up kuning itu tak kelihatan lagi buntutnya. Dengan mengomel panjang pendek Timan memacu mobilnya, pulang.
*

Sore itu bu Marsudi kembali mengomel karena rambut dan cambang Bayu sudah kelewatan panjangnya. Bayu sedang duduk bersandar disofa, tampak lesu dan tak bertenaga.

"Bayu, ayo ibu antar, rambut dan cambang itu harus dirapikan."
"Males bu, biarin begini saja."
"Kamu tuh jelek, tau ?!"
"Nggak apa-apa jelek, Memangnya kalau ganteng mau ngapain?"

"Bayu, jangan gittu dong Yu, kamu bekerja, apa nggak ditegur sama atasan kamu?"

"Bayu ganti penampilan bu, biarlah begini saja. Bayu juga nggak minat bekerja lagi, jadi kalau dikeluarin gara-gara penampilan ini ya nggak apa-apa." kata Bayu yang bicaranya semakin melemah.
"Bicaramu ngelantur."
"Bayu sudah patah semangat. Semangat untuk apapun sudah tak ada lagi." tiba-tiba tubuh Bayu lunglai.

Bu Marsudi memeluk Bayu dengan sedih. Ia tak tau harus melakukan apa. Hiburan apapun untuk Bayu tak bisa membuatnya senang, apalagi bahagia.

"Kalau begini terus kamu bisa sakit Yu, kasihanilah dirimu."
"Bayu sudah lama sakit bu."

"Jangan begitu. Ibu tidak punya siapa-siapa Yu, anak ibu hanya kamu. Kamu jangan begini ya nak." bu Marssudi sedikit cemas menyaksikan anaknya tampak lemas.

"Aku ingin pergi mencari Lastri bu."
"Kemana lagi kamu akan mencarinya?"
"Kemana saja bu, asalkan Bayu bisa menemukan Lastri."

Bayu terkulai dalam pelukan ibunya. Pak Marsudi belum pulang dari kantornya. Kalaupun pulang Bayu tak begitu dekat dengan bapaknya. Bayu masih belum bisa mema'afkan perbuatan ayahnya yang membuat Lastri pergi. Sesal yang dikemukakan pak Marsudi tak bisa mengubah semuanya. Lastri sudah pergi.

"Cara Lastri pergi itu sungguh membuat Bayu sedih. Dia pergi dengan hati terluka bu, " rintih Bayu.

Ponsel Bayu berdering, tapi Bayu tak ingin mengangkatnya. Bu Marsudi meraihnya.
"Ini dari nak Sapto. Angkatlah."
Bayu menggeleng. Bu Marsudi mengalah, mengangkat panggilan itu.

"Hallo Yu, kemana saja kamu?"
"Nak Sapto, ini ibu. Bayu lagi tidur. Ada apa ya?"

"Ini bu, Sapto mau mengundang Bayu di pesta pernikahan Sapto."
"Oh, nak Sapto mau menikah ?"

“Masih bulan depan sih bu, tapi Sapto mau minta Bayu untuk ikut bantu-bantu, gitu,  saya mengundang Bayu sore ini dirumah. Kami sedang berbicara dengan keluarga."

"Oh, tapi sa'at ini kayaknya Bayu lagi kurang enak badan. Bagaimana kalau besok saja biar dia menemui nak Sapto?"

"Oh, sakit dia? Masih memikirkan Lastri?"
"Ah, ya itulah nak. Oh ya, nak Sapto jadi menikah dengan Reni?"

"Benar bu, Sapto sudah capek melajang. Sudah sa'atnya memikirkan rumah tangga."
"Itu benar nak, ibu ikut senang akhirnya nak Sapto sudah menemukan jodohnya. Tapi kok bapaknya Bayu belum cerita ya? Ayahya Reni kan rekan kerja pak Marsudi dikantornya.”

"Mungkin belum bu."
"Baiklah nak, ma'af ya, sore ini Bayu belum bisa kemana mana, jadi biar besok saja dia menemui nak Sapto ya?"

"Nggak apa-apa bu, kalau perlu besok Sapto saja yang datang kemari."

Bayu bisa menangkap percakapan ibunya dan Sapto, tapi dia tak berreaksi. Ia tiduran di sofa dengan meletakkan kepalanya dipangkuan ibunya.

"Nak Sapto mau menikah Yu, sore ini sebenarnya kamu ditunggu dirumahnya."

"Hm..." hanya dengusan yang terdengar dari mulutnya. Bayu memejamkan matanya.
Bu Marsudi mengelus kepala Bayu dengan lembut.

Pak Marsudi tiba-tiba datang dan langsung duduk di depan isterinya, memandangi Bayu yang terbaring disana.

"Kenapa dia?"
"Nggak apa-apa, hanya ingin bermanja sama ibunya."
"Akhirnya Reni akan menikah dengan Sapto."
"Iya, ibu sudah tau, barusan nak Sapto menelpon."

"Harusnya dia menjadi isteri Bayu," kata pak Marsudi.
"Sssssh...!" Bu Marsudi meletakkan jari telunjuknya di bibir, pertanda melarang suaminya melanjutkn kata-katanya.

Pak Marsudi berdiri dan pergi kebelakang dengan bersungut-sungut.

"Teh hangat sudah ada dimeja pak," kata bu Marsudi agak keras tanpa beranjak dari tempat duduknya, karena Bayu masih terbaring dipangkuannya dan enggan ditinggalkannya.
*

Malam baru saja turun, temaram senja telah hilang, meninggalkan kegelapan yang senyap. Timan duduk diteras rumhahnya. Didepannya tampak gelas kosong bekas wedang jahe yang habis diminumnya. Rengginang setoples juga tinggal separo. Demikianlah malam demi malam dilalui Timan dengan sepi yang terkadang menyengat, sejak kedua orang tuanya meninggal tuga tahun silam.

Timan menyesal tak bisa memenuhi keinginan mereka untuk memberikan seorang cucupun ketika mereka masih bersamanya. Tapi bagaimana lagi, jodoh itu belum juga ditemukan. Ketika cinta hampir kuncup, tiba-tiba disadarinya bahwa mimpinya terbatas hanyalah mimpi, karena gadis yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain. Tapi Timan tak pernah merasa sakit hati.

Kedewasaan membuatnya lebih bisa mengendapkan rasa dan gejolak yang terkadang memprakpandakan hatinya. Timan bahagia ketika Lastri mencintai laki-laki yang baik, yang mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.

Timan teringat ketika pada suatu hari bertemu Bayu,  didepan sebuah toko. Entah belanja apa, Bayu tampak letih dan tak bersemangat. Timan hampir tak mengenalinya kalau Bayu tidak menyapanya. Rambutnya sedikit gondrong, cambang hampir memenuhi seluruh wajahnya.

"Mas Bayu, apa-apaan mas Bayu ini?"
"Apa kabar mas Timan?" sapa Bayu tanpa memperdulikan reaksi Timan ketika memandangi wajahnya.

"Baik mas Bayu, tapi.. saya hampir tak mengenali mas Bayu. Mengapa berpenampilan seperti ini?"
"Bukankah saya ganteng?" canda Bayu sambil tertawa.

"Iya sih, gantengnya tetap, tapi...."
"Tapi apa mas ?"
"Sedikit serem."
Lalu keduanya terbahak bahak.

Sekarang Timan melamun sendirian didepan rumah. Akhir-akhir ini Bayu jarang datang. Barangkali karena dirumah ini tak juga ditemukannya berita tentang Lastri.

Tiba-tiba Timan teringat pick up kuning itu.
"Mengapa aku tertarik pada colt kuning itu? Apa karena ada tulisan Lastri dipintunya? Tapi pengemudi pick up itu sungguh keterlaluan. Aku  memintanya berhenti,mengapa tidak mau, malah menghilang entah kemana,” gumam Timan kesal.

Tiba-tiba juga Timan ingin menelpon Bayu, dan ingin berbincang tentang colt kuning itu. Mungkinkah Bayu akan tertarik? Diputarnya nomor Bayu.
 *

Ketika ponselnya berdering itu, Bayu masih berbaring dipangkuan ibunya, barangkali juga ketiduraan karena sudah lama dia berbaring dan posisinya tidak juga berubah.  Bu Marsudi mengambil ponsel itu dan membaca pengirimnya.

"Dari nak Timan .. Bayu, apa kamu mau menerimanya?"
Bayu menggeleng lemah. Bu Marsudi terpaksa menerimanya.

"Hallo,"
"Lho, ini ibu? Mas Bayu ada bu?"
"Ada sih nak, tapi sepertinya agak kurang enak badan. Dari tadi maunya tidur melulu."

"Sakit bu? Kalau begitu biar saya kesitu ya bu."
"Bayu, nak Timan  mau kesini. Kamu tidur dikamar saja yuk, biar lebih enak. Ibu mau melayani bapak dulu.”

Bayu tak mnjawab. Bu Marsudi mengambil bantal sofa dan meletakkan kepala Bayu disitu.
Bu Marsudi mendekati suaminya yang sudah menghabiskan tehnya dan makan beberapa cemilan yang dihidangkannya.

"Pak, ibu kok khawatir pada keadaan Bayu."
"Memangnya dia kenapa?"
"Sejak pulang dari bekerja tadi kok langsung tiduran disana dan kelihatannya badannya lemas. Ibu suruh pindah kekamarnya dia menggeleng."

"Apa dia sakit? Badannya panas?"
"Nggak panas pak, keringatan malah. Tapi kok kayak lemas begitu."
"Dibawa kerumah sakit saja apa gimana?" tanya pak Marsudi khawatir.
"Coba bapak tanya, apa yang dirasakannya."

Pak Marsudi mendekati Bayu yang masih berbaring dan memejamkan mata. Ia memegang kening anaknya.

"Bayu, kamu sakit?"
Bayu tak menjawab.

"Sudah makan kamu?"
"Tadi siang malah nggak makan dirumah, jangan-jangan dikantor juga nggak makan dia," ujar bu Marsudi.

"Makan ya le?"
Bayu menggeleng.

"Panggil Darmo bu, supaya dia bisa membantu membawa Bayu kerumah sakit," kata pak Marsudi.

Bu Marsudi mengambil ponselnya. Tapi tiba-tiba didengarnya ketukan di pintu.
"Itu pasti nak Timan," kata bu Marsudi yang langsung melangkah kedepan.
"Selamat malam bu," sapa tamu itu yang memang Timan adanya.

"Malam nak. Itu Bayu tiduran disitu. Badannya kok lemas begitu, seperti tak bertenaga," kata bu Marsudi sambil mengajak Timan masuk.

Timan mengikuti bu Marsudi, dan meletakkan sebuah bungkusan berisi jeruk segar dimeja didekat Bayu berbaring.

"Mas Bayu, sakit apa ?"
"Kita mau membawanya ke rumah sakit saja. Baru mau memanggil Darmo untuk membantu. Badan segede itu mana bapak sama ibunya kuat menggendong, orang dianya lemas begitu," kata pak Marsudi.

"Biar saya saja yang menggendong pak," kata Timan mendekati Bayu.

Pak Marsudi kedepan mempersiapkan mobil, sedangkan bu Marsudi kekamar untuk berganti baju.
"Mas Bayu, kita kerumah sakit ya?" bisik Timan.

Bayu membuka matanya begitu mendengar suara Timan.
"Kerumah sakit ya, mari saya bantu."

Tapi Bayu menggelengkan kepalanya.
"Jangan, biar begini saja," kata Bayu lemah.

"Jangan begitu mas Bayu, bapak dan ibu sangat khawatir. Ayo semangat mas, nanti kalau Lastri kembali pasti sedih melihat mas Bayu seperti ini," bujuk Timan.

"Lastri.. tak akan kembali.." lemah Bayu berujar.
"Jangan patah semangat, Oh ya, dengar mas, tadi saya melihat sebuah colt kuning, yang pintunya bertuliskan LASTRI."

Bayu membuka matanya.
"Mana Lastri?"

"Saya belum berhasil bertemu pemilik mobil ibu.  Tapi besok saya akan memburunya. Siapa tau ada hubungannya dengan Lastri."
"Benarkah?"

"Nggak tau mas, saya kok merasa bahwa Lastri sudah dekat dengan kita," kata Timan memberi semangat.

Bu Marsudi sudah selesai berganti pakaian.

"Bagaimana Yu, ayo kerumah sakit, bapak sudah menunggu didepan," kata bu Marsudi.
"Aku hanya mau Lastri," bisiknya pelan sambil bangkit.

"Aku berjanji akan memburu Lastri. Tapi mas Bayu harus tetap semangat dan sembuh," kata Timan lagi.
"Saya gendong?" kata Timan sambil membungkuk.

Bayu menggeleng. Ia mencoba berdiri tapi badannya terhuyung. Timan menangkapnya kemudian memapahnya ke mobil.

Disepanjang perjalanan kerumah sakit itu Timan berfikir, bagaimana kalau Lastri si pemilik pick up itu bukan Lastri yang dicarinya? Timan menghela nafas, yang penting Bayu mau dibawa kerumah sakit.
*

Pagi itu Timan berdiri didepan pasar. Ia tau bahwa pemasok sayur dan buah itu akan datang setiap hari. Ia harus bertanya, siapakah Lastri sang pengirim sayur, adakah hubungannya dengan pick up kuning telur yang dilihatnya?

Bayu terbaring dirumah sakit, dokter mengatakan bahwa penyakitnya lumayan parah. Tekanan darah rendah sekali, hb nya juga sangat rendah.

Timan tak memperdulikan dagangan buahnya. LASTRI yang terkenal dipasar itu siapa, dan pemilik pick up kuning telur itu juga siapa. Keterangannya ditunggu Bayu, dan itu adalah janjinya. Bagaimana kalau itu Lastri yang lain?

Timan tak beranjak dari depan pasar, berdiri diantara lalu lalang pedagang yang baru datang dan para pembelanja yang mulai berdatangan.

Mana pengirim sayur itu? Apakah perempuan yang pernah dilihatnya sedikit gemuk tapi manis? Apakah dia bernama Lastri ? Dari tak perduli akan nama itu, kemudian Timan menjadi sangat bersemangat untuk bertanya-tanya. Mudah-mudahan perempuan itu datang.

Tapi tiba-tiba...
"Haa.. itu pick up yang kemarin !!" seru Timan sambil berjalan mendekat.Pick up kuning itu berhenti, seorang laki-laki menurunlkan keranjang keranjang berisi kubis dan bayam.

Laki-laki itu segera mengusung keranjang kedalam. Timan mencari sopirnya. Sopir, mana sopir? Aduh, baru saja datang sudah menghilang? Ya ampun, ternyata sang pengemudi pick up itu sedang duduk didepan penjual wedang.

Timan mendekat.

"Mas, kemarin kita ketemu di POM kan ?"
Pengemudi itu menatap Timan, seperti meng ingat-ingat.

"Saya panggil sampeyan, tapi nggak mau berhenti."
"Oh, itu ? Iya ma'af mas, kemarin saya mendapat tugas menagih, orang itu bilang harus segera datang karena keburu mau pergi. Jadi saya terburu-buru,"

"Oh, gitu ya?"
"Ada apa ya mas ?"

"Mau tanya mas, pengusaha sayur ini siapa ya?"
"Ini? Pak lurah mas."

"Pak lurah ?"
"Iya, tapi yang mengatur semuanya mbak Lastri."
Timan berdebar-debar.

"Lastri itu yang suka mengirim kemari ya?"
 "Iya mas, dulu, waktu mobilnya masih satu, dan saya belum bekerja disana."
 "Orangnya hitam manis, sedikit gemuk tapi manis?"

"Oh, bukan mas, itu sekarang menjadi isteri pak lurah. Lastri itu orangnya cantik, kulitnya putih, tinggi semampai, baik hati. Pokoknya gini mas," katanya sambil mengacungkan jempolnya.

"Dari mana sayur ini dikirim?"
"Dari Sarangan mas."
Timan hampir melonjak kegirangan.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar