Kata yatim berasal dari bahasa Arab yaitu “yatama” (fi’il madli) - “yaitamu” (mudlori’) - ”yatmu” (masdar), yang berarti: sendiri
atau sedih.
Adapun
menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah sebutan untuk seorang
anak yang telah ditinggal mati oleh ayahnya saat ia masih anak-anak hingga mencapai
usia baligh.
Dengan begitu maka status
yatim bagi seorang anak akan selesai lantaran ia telah baligh. Sebuah riwayat
menyebut bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak
ada keyatiman setelah baligh”. (HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib).
Tanda
balighnya seorang anak menurut jumhur ulama adalah: telah mengalami mimpi
basah, atau sudah tumbuh bulu-bulu halus disekitar kemaluan (baik laki/perempuan),
atau ia sudah berusia sekitar 15 tahun.
Imam Syafi’I dan Imam
Malik berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena baligh semata, tetapi
telah mencapai sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam
mengelola harta.
Ketika seorang anak
yatim sudah baligh tetapi masih belum sempurna akalnya (belum bisa mengatur
harta dengan benar), ia tidak diperbolehkan mengatur hartanya. Ini didasarkan
pada firman Allah Swt. “Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka
(yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(QS. An-Nisa ayat 5)
Mengasihi anak yatim, menyantuni, dan
memberikan kebutuhan-kebutuhan mereka merupakan suatu amal kebaikan yang akan
mendapatkan tempat istimewa di akhirat yaitu sangat dekat dengan Rasulullah. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Aku
dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga kelak seperti
ini,” seraya beliau mengisyaratkan jari tengah dan telunjuknya lalu
merenggangkan keduanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Namun bila seseorang tidak
mempedulikan nasib anak yatim, maka ia termasuk kedalam golongan orang yang
mendustakan agama. Allah SWT berfirman, "Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim." (QS. Al-Maun
ayat 1-2).
Sejumlah
kasus memberi gambaran, seorang anak yang ditinggal pergi dan tak pernah
dipedulikan lagi oleh ayahnya yang tak bertanggung jawab membuatnya sedih dan
menderita hidup hanya bersama seorang ibu yang lemah. Meski ia tidak ditinggal
mati ayahnya namun pada hakikatnya adalah sama, ayahnya telah tiada.
Beberapa ulama
kontemporer berpendapat bahwa seorang anak dikategorikan sebagai yatim yang wajib
mendapatkan santunan dan perhatian oleh umat Islam adalah bila ia telah
ditinggal (tidak dipedulikan) oleh ayahnya saat ia masih usia anak-anak hingga
dewasa (berusia sekitar 15 tahun).
Dengan demikian maka,
hakikat anak yatim (yang
wajib disantuni) adalah seorang anak yang telah ditinggalkan ayahnya
(baik ditinggal mati ataupun ditinggal pergi dan tak pernah dipedulikan lagi), hingga ia mencapai usia baligh (sekitar 15
tahun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar