Minggu, 12 April 2020

Hakikat Anak Yatim dan Batasan Usianya



Kata yatim berasal dari bahasa Arab yaitu yatama” (fi’il madli) - “yaitamu” (mudlori’) - ”yatmu” (masdar), yang berarti: sendiri atau sedih.
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah sebutan untuk seorang anak yang telah ditinggal mati oleh ayahnya saat ia masih anak-anak hingga mencapai usia baligh.
Dengan begitu maka status yatim bagi seorang anak akan selesai lantaran ia telah baligh. Sebuah riwayat menyebut bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada keyatiman setelah baligh”. (HR. Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib).
Tanda balighnya seorang anak menurut jumhur ulama adalah: telah mengalami mimpi basah, atau sudah tumbuh bulu-bulu halus disekitar kemaluan (baik laki/perempuan), atau ia sudah berusia sekitar 15 tahun.
Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa status yatim tidak selesai karena baligh semata, tetapi telah mencapai sebuah kedewasaan dalam beragama maupun kematangan dalam mengelola harta.
Ketika seorang anak yatim sudah baligh tetapi masih belum sempurna akalnya (belum bisa mengatur harta dengan benar), ia tidak diperbolehkan mengatur hartanya. Ini didasarkan pada firman Allah Swt. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisa ayat 5)
Mengasihi anak yatim, menyantuni, dan memberikan kebutuhan-kebutuhan mereka merupakan suatu amal kebaikan yang akan mendapatkan tempat istimewa di akhirat yaitu sangat dekat dengan Rasulullah. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga kelak seperti ini,” seraya beliau mengisyaratkan jari tengah dan telunjuknya lalu merenggangkan keduanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Namun bila seseorang tidak mempedulikan nasib anak yatim, maka ia termasuk kedalam golongan orang yang mendustakan agama. Allah SWT berfirman, "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim." (QS. Al-Maun ayat 1-2).
Sejumlah kasus memberi gambaran, seorang anak yang ditinggal pergi dan tak pernah dipedulikan lagi oleh ayahnya yang tak bertanggung jawab membuatnya sedih dan menderita hidup hanya bersama seorang ibu yang lemah. Meski ia tidak ditinggal mati ayahnya namun pada hakikatnya adalah sama, ayahnya telah tiada.
Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa seorang anak dikategorikan sebagai yatim yang wajib mendapatkan santunan dan perhatian oleh umat Islam adalah bila ia telah ditinggal (tidak dipedulikan) oleh ayahnya saat ia masih usia anak-anak hingga dewasa (berusia sekitar 15 tahun).
Dengan demikian maka, hakikat anak yatim (yang wajib disantuni) adalah seorang anak yang telah ditinggalkan ayahnya (baik ditinggal mati ataupun ditinggal pergi dan tak pernah dipedulikan lagi),  hingga ia mencapai usia baligh (sekitar 15 tahun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar