*LASTRI 21*
Lastri
memandangi punggung si nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk, lalu dikejarnya
sambil menggendong tas besar bawaannya, tak lupa beberapa ikat kangkung layu
juga dibawanya.
Langkah si
nenek tak begitu panjang. Jalannya juga perlahan, karenanya Lastri dengan cepat
bisa mengejarnya.
"Nenek.."
kata Lastri sambil terengah-engah.
"Lho,
neng, ada apa, aduuh.. pelan-pelan dong, nafasmu sampai senen kemis
begitu."
"Iya nek,
takut ketinggalan nenek."
"Ada apa
neng?"
"Nenek,
tolong jangan panggil Neng, nama saya Lastri, panggil Lastri saja."
"Oh, nama
bagus... ya, ada apakah?"
"Nenek,
bolehkah saya numpang menginap dirumah nenek semalam ini saja?"
"Aduuh,
rumah nenek hanyalah gubug, tadi juga mau mempersilahkan mampir, tapi takut
tidak pantas.."
"Nggak
nek, Lastri juga orang dusun. Bolehkah ?"
"Tentu
saja boleh .. ayo.. sudah dekat.. hampir gelap dan nenek belum menyalakan
lampu. Habisnya tadi menunggu kalau-kalau sayur nenek laku, ternyata sampai
sore nggak habis juga. Untung tadi dibeli oleh .. nak..Lastri ya namamu?”
"Iya nek,
nggak apa-apa."
"Dirumah
adanya lampu minyak, bukan seperti di kota yang rumahnya terng benderang."
"Nggak
apa-apa nek, nanti kita nyalakan bersama sama."
*
Itu benar-benar
rumah gubug yang mirip rumah neneknya dulu. Beratap rumbai, berdinding anyaman
bambu. Kalau hujan atau hawa lagi dingin, pasti terasa menggigit.
Lastri
mengikuti si nenek masuk kerumah, setelah ia membuka pintu yang mengeluarkan
bunyi berderit. Gelap. Lalu dengan meraba-raba si nenek menyalakan lampu minyak
yang siap dimeja. Sedikit ada penerangan, lalu ia juga menyelakan lampu minyak
dibelakang.
Tak ada perabot
didalam, kecuali bangku kecil yang sudah miring karena sebelah kakinya surah
rapuh, lalu sebuah ranjang atau apalah namanya, yang terbuat dari bambu dan
dipergunakan untk tidur si nenek, terlihat ada sepotong bantal kumal digeletak
disana. Oh ya, ada bilik kecil, yang kemudian si nenek masuk kesana. Itu kamar
si nenek.
Lastri melongok
lagi kedalam, ada dapur yang perapiannya terbuat dari tanah, dan seonggok kayu
bakar, lalu ada periuk mungkin untuk menanak nasi, dan ceret untuk menjerang air.
Semuanya kehitaman karena jelaga.
"Kalau mau
ke kamar mandi ada diluar nak," kata nenek.
Ia juga membawa
lampu minyak yang dibawanya keluar. Ada bangku kecil tempat ia meletakkan
lampu, berkebat kebit tertiup angin. Didepan itu ada kamar mandi yang bak
airnya juga terbuat dari tanah. Air diambil dari pompa yang juga sudah usang.
"Itu pompa
air dibuat oleh anaknya nenek, sudah lama, tapi nenek masih sanggup memompa. Silahkan
kalau mau ke kamar mandi. Di jambangan masih ada air." kata nenek yang
kemudian masuk lagi kedalam.
Lastri memompa
air, yang diisikan kedalam jembangan dengan ember yang tersedia disana. Ia
mencuci mukanya, mencuci kaki tangannya. Sedikit merasa segar.
Terdengar nenek
mengisi air kedalam ceret, lalu Lastri memintanya.
"Untuk
menjerang air nek? Buat minum?"
"Iya,
ma'af ya nak.. hanya ada gula batu dan sedikit teh."
" Ya
nenek..tapi untuk nenek saja, Lastri cukup minum air putih."
Lalu diambilnya
ceret dan diisinya dengan air, sementara nenek menyalakan api kayu dengan
segumpal tatal. Api menyala, mengiringi asap mengepul yang kemudian memenuhi
dapur itu.
Lastri
benar-benar merasa seperti pulang ke kampungnya. Ia tak merasa canggung dengan
keadaan yang serba memprihatinkan itu, karena dulu pernah mengalaminya.
Malam itu
mereka makan dengan ikan asin simpanan nenek, dan sayur kangkung milik Lastri
yang tadi dibelinya dari si nenek. Nikmatnya makanan sederhana dimakan dirumah
sederhana, dimana lampu penerangan hanya remang-remang, dan suara jangkrik yang
berkumandang diluar rumah terdengar seperti nyanyian bidadari sorga.
Lastri tidak
berlebihan ketika membayangkan itu, karena suasana yang baru saja dirasakannya
mengingatkannya kemasa kecilnya yang walau memprihatinkan tapi terasa indah.
Ketika
terbaring diatas lincak yang keras, dan bantal yang sedikit apak, Lastri baru
membayangkan betapa akan bingungnya Bayu karena kepergiannya. Tapi ini
harus dilakukan supaya ada damai dirumah itu. Supaya tak ada lagi suara
uring-uringan pak Marsudi karena Bayu terlalu mendekati dirinya.
Tapi harus
diakuinya, ada rindu dihatinya. Rindu akan senyuman yang menggetarkan,
rindu akan sosok baik yang selalu melagukan kidung-kidung cinta ditelinganya.
"Mas Bayu,
aku juga cinta kamu..." bisiknya lirih, lalu dipejamkannya matanya, dan
berharap akan bertemu dengannya dalam mimpinya nanti.
*
Ketika pagi
tiba, dan si nenek sudah menyiapkan teh hangat dalam gelas untuknya, Lastri
baru saja bangun dari tidurnya. Ia bergegas menghampiri nenek yang sedang
menanak nasi.
"Nek,
mengapa tidak membangunkan Lastri? Biar aku saja."
Si nenek
tertawa, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji.
"Memangnya
kamu bisa menanak nasi dengan alat-alat seperti punya nenek?"
"Nenek,
dulu Lastri juga anak desa, yang kemudian bekerja dikota ikut orang kaya. Tapi
Lastri tidak melupakan semua pekerjaan dapur yang alatnya seperti yang nenek
punya."
"Oh,
begitu, baiklah, kalau begitu nenek mau mandi lalu membeli sayuran kepasar
untuk dijual kekota. Kamu biasa sarapan kan? Ada telur ayam kampung yang bisa
kamu goreng nanti. Itu ayam nenek sendiri, ada dibelakang sana kalau mau
ambil."
"Nenek
saja yang sarapan, Lastri tidak biasa makan pagi-pagi."
"Nenek
juga nanti sarapan dipasar saja."
"Kalau
begitu mengapa nenek menanak nasi sekarang?"
"Supaya
kalau pulang dari pasar bisa langsung makan. Seperti semalam, nasi sudah siap
kan? Itu dimasak nenek sejak pagi."
"Oh, nenek
pintar. Pulang dari pasar, nggak usah capek-capek menanak nasi dulu karena nasi
sudah siap sejak pagi."
""Iya
benar. Lalu nak Lastri mau kemana hari ini? Melanjutkan perjalanan atau masih
suka digubug reyot ini?"
Lastri terdiam,
mau kemana dia? Sejak kepergiannnya dia tak tau mau pergi kemana.
"Jangan
sungkan nak, kalau masih ingin tinggal disini, nenek suka, boleh-boleh saja.
Sudah, nenek mandi dulu, nanti kalau kesiangan dipasar nggak dapat sayur yang
segar."
Lastri duduk
dibangku bambu yang ada didepan rumah. Pagi masih temaram, Apa yang harus dia
lakukan dia belum tau. Mungkin pulang kedesanya, untuk melakukan sesuatu, tapi
gubug neneknya pasti sudah ambruk karena ditinggal selama puluhan tahun.
"Nenek,
Lastri mau ikut jualan ke pasar ya?" teriaknya dari luar kamar mandi.
*
Pagi itu sehabis
sarapan pak Marsudi menegur isterinya karena pagi-pagi sudah berdandan
rapi.
"Ibu mau
belanja pagi-pagi?" tanya pak Marsudi.
"Nggak,
nanti juga bapak makan dikantor saja nggak usah pulang karena ibu nggak
menyiapkan makan siang hari ini."
"Ibu mau
kemana?"
"Mencari
Lastri."
"Apa?
Mencari kemana? Memangnya sudah tau Lastri pergi kemana?"
"Makanya
dicari, soalnya belum tau Lastri ada dimana."
"Lalu
kemana ibu akan mencari?"
"Sama
Bayu, mau ke desanya Lastri."
"Itu kan
jauh, di daerah Sarangan sana, masih masuk lagi kedesa terpencil."
"Memang,
karena disini nggak ketemu, kemungkinannya adalah pulang ke desanya."
"Jauh lho
itu."
"Nggak
apa-apa, Bayu sanggup kok."
"Jadi Bayu
itu mau nekat ? Mengejar cinta seorang gadis dusun..?"
"Nggak
apa-apa pak, Bayu akan memperjuangkannya,, karena Bayu mencintainya. Bayu mohon
bapaak jangan menghalanginya."kata Bayu yang semula diam.
"Bapak
peringatkan, pikirkan lagi itu !" kata pak Marsudi yang kemudian keluar
dan siap berangkat bekerja.
Bu Marsudi
mengantarkan sampai ke depan, tapi begitu mobil pak Marsudi mau keluar dari
halaman, sebuah mobil lain mau masuk. Pak Marsudi terkejut karena itu adalah
mobilnya Sapto.
"Nak
Sapto?" panggilnya sambil membuka kaca mobilnya.
"Ya
pak," jawab Sapto.
"Nak Sapto
mau ketemu saya, pagi-pagi ini?"
"Nggak
pak, mau ketemu Bayu."
"Kayaknya
Bayu mau pergi tuh, sama ibunya."
"Sama saya
juga kok pak."
Pak Marsudi
terbelalak. Jadi Sapto malah mau mengantar Bayu mencari Lastri? Apa Sapto masih
berharap akan mendapatkan Lastri? Pikir pak Marsudi yang kemudian menjalankan
mobilnya keluar halaman, sementara Sapto memasukinya..
"Bayu, itu
sepertinya mobil nak Sapto," teriak bu Marsudi kepada Bayu yang masih ada
didalam rumah.
*
Bayu
berterimakasih karena Sapto mau mengantar. Sesungguhnya ia butuh teman yang
bisa mendukungnya, meringankan beban perasaannya, bukan hanya ibunya.
"Mungkinkah
Lastri pulang kedesanya?"
"Kalau dia
tak punya tujuan, kemungkinan besar ya. "
"Tapi
sudah lama sekali dia meninggalkan desanya. 13 an tahun yang lalu."
"Dia masih
punya rumah? Maksudnya rumah orang tuanya?"
"Dulu ada,
tapi entahlah, mungkin sudah roboh, atau apa, nanti kita akan menanyakannya
kepada kepala dusun. Kita juga tidak tau itu rumah siapa. Rumah neneknya Lastri
atau mereka hanya numpang."
"Waktu itu
Lastri kan masih kecil, mana dia tau itu rumah siapa? Ketika ibu membawa
Lastri, apakah ibu juga bilang kepada kepala dusun disana?"
"Iya, ibu
minta surat-surat juga agar dia bisa pindah menjadi keluarga kita."
"Tentang
rumah itu?"
"Ibu tidak
mengurusnya, rumah itu hampir roboh dan kecil, seperti hanya mepet dikebun
sebelahnya."
"Aku jadi
ragu, mungkin Lastri tidak pulang kedesanya."
"Jangan
pesimis begitu Yu, bagaimanapun kita kan harus berusaha," kata Sapto
menghibur.
"Nak Sapto
benar, belum-belum jangan berkecil hati dulu Bayu." timpal bu
Marsudi.
Tapi ketika
sampai disana, tak seorangpun tau tentang Lastri. Bekas rumah neneknya Lastri
sudah tak kelihatan, sudah menjadi kebun yang ditumbuhi sayuran dan itu kata
orang bukan milik neneknya Lastri.
"Lastri
yang mana ya? Kok lupa saya bu.." kata seorang perempuan setengah tua yang
sedang menggendong cucunya.
"Itu pasti
Lastri cucunya mbah Surip.. sudah pergi lama sekali, mana mau pulang kedusun
lagi," kata yang lain.
Kepala dusun
sudah berganti dan tidak tau apakah Lastri kembali. Dia masih muda, mungkin
sepantaran Lastri, atau kalau lebih tua juga tak banyak terpautnya.
"Ma'af bu,
Lastri tidak pernah kembali kemari."
Bayu pulang
dengan lunglai. . akankah dia kehilangan Lastri selamanya?
"Bayu,
kamu tidak usah berkecil hati. Percayalah bahwa jodoh itu ditangan Tuhan. Kalau
Lastri memang jodohmu, pasti kalian akan dipertemukan," hibur bu Marsudi
dalam perjalanan pulang.
Bayu
mengangguk, tapi disepanjang perjalanan hanya Lastri yang dia pikirkan. Ia bahkan
tak mau makan dan minum ketika mereka beristirahat disebuah warung.
*
Hari itu nenek
penjual sayur pulang agak siang. Dagangannya habis ludes karena Lastri
membantunya menjajakan disekitar pasar.
Nenek sangat
senang. Siang itu mereka makan digubug nenek dengan lauk gembrot
sembukan. Hm, enaknya, puluhan tahun Lastri tak pernah merasakannya. Ikan asin
sisa semalam juga masih ada. Lastri makan dengan lahap. Nenek penjual sayur
senang melihatnya.
Tapi setelah
makan itu Lastri berpamit pada nenek.
"Mau
kemana nak ? Nggak kerasan kan tinggal digubug peot dan kumuh seperti
ini?"
"Bukan
nek, sesungguhnya Lastri ingin pulang."
"Memangnya
rumah nak Lastri dimana?"
"Didusun
nek, didaerah Sarangan sana, Sudah lama Lastri meninggalkan dusun asal, jadi
sekarang ingin pulang."
Baiklah nak,
berangkat sekarang saja mumpung hari masih siang. Nenek tidak tau bis yang mana
yang bisa membawa nak Lastri pulang."
"Lastri
sudah tau nek. Terimakasih banyak telah memberi tumpangan dan makanan yang
lezat."
"O alah
nak, makanan kayak begitu saja lezat. Baiklah, hati-hati ya nak, dan jangan
lupa kalau pas lewat sini mampir ya."
Lastri
mengangguk, ia meraih tas bungkusannya dan memberikan dua lembar ratusan kepada
nenek. Lastri punya sedikit uang, dan beruntung dulu bu Marsudi menyuruhnya
memasukkan uangnya ke bank. Pagi sebelum pergi Lastri sempat mengambilnya untuk
bekal. Secukupnya saja, untuk keperluan perjalanannya, karena siapa tau pada
suatu hari nanti membutuhkannya.
"Nak, ini
apa..?" kata nenek yang terkejut menerima pemberian itu.
"Buat
nenek, terima saja ya, jangan ditolak," kata Lastri yang kemudian
melangkah pergi, menuju jalan besar untuk mencari tumpangan.
Lastri agak
bingung ketika berjalan itu, karena belum pernah pulang kedesanya dengan
kendaraan umum.
"Ah,
pokoknya kalau ada bis kearah timur aku ngikut saja. Nanti kan bisa bertanya
kepada orang-orang." gumam Lastri sambil duduk disebuah batu, dibawah
pohon talok yang berdaun rimbun.
Udara sangat
panas, Lastri mengipasi tubuhnya dengan selendang yang dibawanya. Pikirannya
melayang kembali kepada orang yang dicintainya.
Baru kemarin
pagi mereka makan nasi pecel berdua, tertawa-tawa bersama, siapa sangka hari
ini dia terlunta-lunta? Tapi ini memang jalan terbaik untuk dirinya, dan untuk
Bayu yang dicintainya. Lastri mendekap bungkusan besar yang dipangkunya, lalu
membenamkan wajahnya pada bungkusan itu, untuk menumpahkan bulir-bulir air mata
yang berjatuhan.
"Ma'afkan
aku mas Bayu, aku berharap mas Bayu mendapatkan wanita yang cantik dan baik,
dan yang sederajat dengan mas Bayu, pastinya." bisiknya lagi diantara
isak.
*
Sementara itu
mobil yang dikemudikan Sapto melaju dengan kencang. Bayu tak perduli
apapun. Kepalanya terasa berdenyut denyut. Ia menyandarkan kepalanya pada
sandaran jok, dan memejamkan matanya.
"Kamu
pusing ?" tanya Sapto sambil menoleh kearah sahabat yang duduk
disampingnya.
"Iya,
sedikit.."
"So'alnya
tadi kamu nggak mau makan apapun sih Yu. Nanti kalau didepan ada rumah makan
atau warung kita berhenti sebentar ya nak," kata bu Marsudi yang khawatir
melihat keadaan anaknya.
"Iya bu,
Bayu harus dipaksa makan, lalu disuruh minum obat."
"Nggak
usah, aku nggak lapar."
"Bayu
jangan bandel. Ini bukan dirumah. Sejak pagi kamu hanya makan sepotong roti.
Ini hampir sore. Perut kamu kosong."
"Nanti
biar Sapto suapin dia bu, kalau tetap nggak mau makan juga," canda Sapto.
"Aku ingin
segera sampai dirumah bu."
"Iya, kita
sedang menuju pulang, tapi kamu harus makan," kata bu Marsudi.
Mobil Sapto
terus melaju, tapi belum menemukan rumah makan atau warung.
Disebuah area
persawahan, dilihatnya seorang perempuan sedang duduk dan membenamkan mukanya
pada bungkusan yang dipangkunya.
"Kasihan
wanita itu."
"Wanita
yang sedang susah barangkali."
"Berhenti
sebentar ya bu, untuk memberi dia sedikit uang? Kasihan Sapto melihatnya."
"Ya nak,
coba berhenti sebentar. Tapi harus mundur dulu sedikit.."
"Aduuh,
nggak usah deh Sap, kelamaan, aku ingin segera pulang.." keluh Bayu.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar