Selasa, 28 April 2020

LASTRI (21-22)

 *LASTRI  21*

Lastri memandangi punggung si nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk, lalu dikejarnya sambil menggendong tas besar bawaannya, tak lupa beberapa ikat kangkung layu juga dibawanya.

Langkah si nenek tak begitu panjang. Jalannya juga perlahan, karenanya Lastri dengan cepat bisa mengejarnya.

"Nenek.." kata Lastri sambil terengah-engah.
"Lho, neng, ada apa, aduuh.. pelan-pelan dong, nafasmu sampai senen kemis begitu."
"Iya nek, takut ketinggalan nenek."
"Ada apa neng?"
"Nenek, tolong jangan panggil Neng, nama saya Lastri, panggil Lastri saja."

"Oh, nama bagus... ya, ada apakah?"
"Nenek, bolehkah saya numpang menginap dirumah nenek semalam ini saja?" 
"Aduuh, rumah nenek hanyalah gubug, tadi juga mau mempersilahkan mampir, tapi takut tidak pantas.."

"Nggak nek, Lastri juga orang dusun. Bolehkah ?"
"Tentu saja boleh .. ayo.. sudah dekat.. hampir gelap dan nenek belum menyalakan lampu. Habisnya tadi menunggu kalau-kalau sayur nenek laku, ternyata sampai sore nggak habis juga. Untung tadi dibeli oleh .. nak..Lastri ya namamu?”

"Iya nek, nggak apa-apa."
"Dirumah adanya lampu minyak, bukan seperti di kota yang rumahnya terng benderang."
"Nggak apa-apa nek, nanti kita nyalakan bersama sama."
*

Itu benar-benar rumah gubug yang mirip rumah neneknya dulu. Beratap rumbai, berdinding anyaman bambu. Kalau hujan atau hawa lagi dingin, pasti terasa menggigit.

Lastri mengikuti si nenek masuk kerumah, setelah ia membuka pintu yang mengeluarkan bunyi berderit. Gelap. Lalu dengan meraba-raba si nenek menyalakan lampu minyak yang siap dimeja. Sedikit ada penerangan, lalu ia juga menyelakan lampu minyak dibelakang.

Tak ada perabot didalam, kecuali bangku kecil yang sudah miring karena sebelah kakinya surah rapuh, lalu sebuah ranjang atau apalah namanya, yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untk tidur si nenek, terlihat ada sepotong bantal kumal digeletak disana. Oh ya, ada bilik kecil, yang kemudian si nenek masuk kesana. Itu kamar si nenek.

Lastri melongok lagi kedalam, ada dapur yang perapiannya terbuat dari tanah, dan seonggok kayu bakar, lalu ada periuk mungkin untuk menanak nasi, dan ceret untuk menjerang air. Semuanya kehitaman karena jelaga.

"Kalau mau ke kamar mandi ada diluar nak," kata nenek.
Ia juga membawa lampu minyak yang dibawanya keluar. Ada bangku kecil tempat ia meletakkan lampu, berkebat kebit tertiup angin. Didepan itu ada kamar mandi yang bak airnya juga terbuat dari tanah. Air diambil dari pompa yang juga sudah usang.


"Itu pompa air dibuat oleh anaknya nenek, sudah lama, tapi nenek masih sanggup memompa. Silahkan kalau mau ke kamar mandi. Di jambangan masih ada air." kata nenek yang kemudian masuk lagi kedalam.

Lastri memompa air, yang diisikan kedalam jembangan dengan ember yang tersedia disana. Ia mencuci mukanya, mencuci kaki tangannya. Sedikit merasa segar.
Terdengar nenek mengisi air kedalam ceret, lalu Lastri memintanya.

"Untuk menjerang air nek? Buat minum?"
"Iya, ma'af ya nak.. hanya ada gula batu dan sedikit teh."
" Ya nenek..tapi untuk nenek saja, Lastri cukup minum air putih."

Lalu diambilnya ceret dan diisinya dengan air, sementara nenek menyalakan api kayu dengan segumpal tatal. Api menyala, mengiringi asap mengepul yang kemudian memenuhi dapur itu.

Lastri benar-benar merasa seperti pulang ke kampungnya. Ia tak merasa canggung dengan keadaan yang serba memprihatinkan itu, karena dulu pernah mengalaminya.

Malam itu mereka makan dengan ikan asin simpanan nenek, dan sayur kangkung milik Lastri yang tadi dibelinya dari si nenek. Nikmatnya makanan sederhana dimakan dirumah sederhana, dimana lampu penerangan hanya remang-remang, dan suara jangkrik yang berkumandang diluar rumah terdengar seperti nyanyian bidadari sorga.

Lastri tidak berlebihan ketika membayangkan itu, karena suasana yang baru saja dirasakannya mengingatkannya kemasa kecilnya yang walau memprihatinkan tapi terasa indah.

Ketika terbaring diatas lincak yang keras, dan bantal yang sedikit apak, Lastri baru membayangkan betapa akan bingungnya Bayu karena kepergiannya. Tapi  ini harus dilakukan supaya ada damai dirumah itu. Supaya tak ada lagi suara uring-uringan pak Marsudi karena Bayu terlalu mendekati dirinya.

Tapi harus diakuinya, ada rindu dihatinya. Rindu  akan senyuman yang menggetarkan, rindu akan sosok baik yang selalu melagukan kidung-kidung cinta ditelinganya.

"Mas Bayu, aku juga cinta kamu..." bisiknya lirih, lalu dipejamkannya matanya, dan berharap akan bertemu dengannya dalam mimpinya nanti.
*

Ketika pagi tiba, dan si nenek sudah menyiapkan teh hangat dalam gelas untuknya, Lastri baru saja bangun dari tidurnya. Ia bergegas menghampiri nenek yang sedang menanak nasi.

"Nek, mengapa tidak membangunkan Lastri? Biar aku saja."
Si nenek tertawa, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji.

"Memangnya kamu bisa menanak nasi dengan alat-alat seperti punya nenek?"
"Nenek, dulu Lastri juga anak desa, yang kemudian bekerja dikota ikut orang kaya. Tapi Lastri tidak melupakan semua pekerjaan dapur yang alatnya seperti yang nenek punya."

"Oh, begitu, baiklah, kalau begitu nenek mau mandi lalu membeli sayuran kepasar untuk dijual kekota. Kamu biasa sarapan kan? Ada telur ayam kampung yang bisa kamu goreng nanti. Itu ayam nenek sendiri, ada dibelakang sana kalau mau ambil."

"Nenek saja yang sarapan, Lastri tidak biasa makan pagi-pagi."
"Nenek juga nanti sarapan dipasar saja."
"Kalau begitu mengapa nenek menanak nasi sekarang?"
"Supaya kalau pulang dari pasar bisa langsung makan. Seperti semalam, nasi sudah siap kan? Itu dimasak nenek sejak pagi."

"Oh, nenek pintar. Pulang dari pasar, nggak usah capek-capek menanak nasi dulu karena nasi sudah siap sejak pagi."
""Iya benar. Lalu nak Lastri mau kemana hari ini? Melanjutkan perjalanan atau masih suka digubug reyot ini?"

Lastri terdiam, mau kemana dia? Sejak kepergiannnya dia tak tau mau pergi kemana.

"Jangan sungkan nak, kalau masih ingin tinggal disini, nenek suka, boleh-boleh saja. Sudah, nenek mandi dulu, nanti kalau kesiangan dipasar nggak dapat sayur yang segar."

Lastri duduk dibangku bambu yang ada didepan rumah. Pagi masih temaram, Apa yang harus dia lakukan dia belum tau. Mungkin pulang kedesanya, untuk melakukan sesuatu, tapi gubug neneknya pasti sudah ambruk karena ditinggal selama puluhan tahun. 

"Nenek, Lastri mau ikut jualan ke pasar ya?" teriaknya dari luar kamar mandi.
*

Pagi itu sehabis sarapan pak Marsudi menegur isterinya karena pagi-pagi sudah berdandan rapi. 
"Ibu mau belanja pagi-pagi?" tanya pak Marsudi.
"Nggak, nanti juga bapak makan dikantor saja nggak usah pulang karena ibu nggak menyiapkan makan siang hari ini."

"Ibu mau kemana?"
"Mencari Lastri."

"Apa? Mencari kemana? Memangnya sudah tau Lastri pergi kemana?"
"Makanya dicari, soalnya belum tau Lastri ada dimana."

"Lalu kemana ibu akan mencari?"
"Sama Bayu, mau ke desanya Lastri."

"Itu kan jauh, di daerah Sarangan sana, masih masuk lagi kedesa terpencil."
"Memang, karena disini nggak ketemu, kemungkinannya adalah pulang ke desanya."
"Jauh lho itu."
"Nggak apa-apa, Bayu sanggup kok."

"Jadi Bayu itu mau nekat ? Mengejar cinta seorang gadis dusun..?"
"Nggak apa-apa pak, Bayu akan memperjuangkannya,, karena Bayu mencintainya. Bayu mohon bapaak jangan menghalanginya."kata Bayu yang semula diam.
"Bapak peringatkan, pikirkan lagi itu !" kata pak Marsudi yang kemudian keluar dan siap berangkat bekerja.

Bu Marsudi mengantarkan sampai ke depan, tapi begitu mobil pak Marsudi mau keluar dari halaman, sebuah mobil lain mau masuk. Pak Marsudi terkejut karena itu adalah mobilnya Sapto.

"Nak Sapto?" panggilnya sambil membuka kaca mobilnya.
"Ya pak," jawab Sapto.
"Nak Sapto mau ketemu saya, pagi-pagi ini?"
"Nggak pak, mau ketemu Bayu."

"Kayaknya Bayu mau pergi tuh, sama ibunya."
"Sama saya juga kok pak."

Pak Marsudi terbelalak. Jadi Sapto malah mau mengantar Bayu mencari Lastri? Apa Sapto masih berharap akan mendapatkan Lastri? Pikir pak Marsudi yang kemudian menjalankan mobilnya keluar halaman, sementara Sapto memasukinya..

"Bayu, itu sepertinya mobil nak Sapto," teriak bu Marsudi kepada Bayu yang masih ada didalam rumah.
*

Bayu berterimakasih karena Sapto mau mengantar. Sesungguhnya ia butuh teman yang bisa mendukungnya, meringankan beban perasaannya, bukan hanya ibunya.

"Mungkinkah Lastri pulang kedesanya?"
"Kalau dia tak punya tujuan, kemungkinan besar ya. "

"Tapi sudah lama sekali dia meninggalkan desanya. 13 an tahun yang lalu."
"Dia masih punya rumah? Maksudnya rumah orang tuanya?" 

"Dulu ada, tapi entahlah, mungkin sudah roboh, atau apa, nanti kita akan menanyakannya kepada kepala dusun. Kita juga tidak tau itu rumah siapa. Rumah neneknya Lastri atau mereka hanya numpang."

"Waktu itu Lastri kan masih kecil, mana dia tau itu rumah siapa? Ketika ibu membawa Lastri, apakah ibu juga bilang kepada kepala dusun disana?"
"Iya, ibu minta surat-surat juga agar dia bisa pindah menjadi keluarga kita."

"Tentang rumah itu?"
"Ibu tidak mengurusnya, rumah itu hampir roboh dan kecil, seperti hanya mepet dikebun sebelahnya."

"Aku jadi ragu, mungkin Lastri tidak pulang kedesanya."
"Jangan pesimis begitu Yu, bagaimanapun kita kan harus berusaha," kata Sapto menghibur.
"Nak Sapto benar, belum-belum jangan berkecil hati dulu  Bayu." timpal bu Marsudi.

Tapi ketika sampai disana, tak seorangpun tau tentang Lastri. Bekas rumah neneknya Lastri sudah tak kelihatan, sudah menjadi kebun yang ditumbuhi sayuran dan itu kata orang bukan milik neneknya Lastri.

"Lastri yang mana ya? Kok lupa saya bu.." kata seorang perempuan setengah tua yang sedang menggendong cucunya.
"Itu pasti Lastri cucunya mbah Surip.. sudah pergi lama sekali, mana mau pulang kedusun lagi," kata yang lain.

Kepala dusun sudah berganti dan tidak tau apakah Lastri kembali. Dia masih muda, mungkin sepantaran Lastri, atau kalau lebih tua juga tak banyak terpautnya.
"Ma'af bu, Lastri tidak pernah kembali kemari."

Bayu pulang dengan lunglai. . akankah dia kehilangan Lastri selamanya?

"Bayu, kamu tidak usah berkecil hati. Percayalah bahwa jodoh itu ditangan Tuhan. Kalau Lastri memang jodohmu, pasti kalian akan dipertemukan," hibur bu Marsudi dalam perjalanan pulang.

Bayu mengangguk, tapi disepanjang perjalanan hanya Lastri yang dia pikirkan. Ia bahkan tak mau makan dan minum ketika mereka beristirahat disebuah warung.
*

Hari itu nenek penjual sayur pulang agak siang. Dagangannya habis ludes karena Lastri membantunya menjajakan disekitar pasar.

Nenek sangat senang. Siang itu mereka makan digubug nenek  dengan lauk gembrot sembukan. Hm, enaknya, puluhan tahun Lastri tak pernah merasakannya. Ikan asin sisa semalam juga masih ada. Lastri makan dengan lahap. Nenek penjual sayur senang melihatnya.
Tapi setelah makan itu Lastri berpamit pada nenek. 

"Mau kemana nak ? Nggak kerasan kan tinggal digubug peot dan kumuh seperti ini?"
"Bukan nek, sesungguhnya Lastri ingin pulang."
"Memangnya rumah nak Lastri dimana?"
"Didusun nek, didaerah Sarangan sana, Sudah lama Lastri meninggalkan dusun asal, jadi sekarang ingin pulang."

Baiklah nak, berangkat sekarang saja mumpung hari masih siang. Nenek tidak tau bis yang mana yang bisa membawa nak Lastri pulang."
"Lastri sudah tau nek. Terimakasih banyak telah memberi tumpangan dan makanan yang lezat."

"O alah nak, makanan kayak begitu saja lezat. Baiklah, hati-hati ya nak, dan jangan lupa kalau pas lewat sini mampir ya."

Lastri mengangguk, ia meraih tas bungkusannya dan memberikan dua lembar ratusan kepada nenek. Lastri punya sedikit uang, dan beruntung dulu bu Marsudi menyuruhnya memasukkan uangnya ke bank. Pagi sebelum pergi Lastri sempat mengambilnya untuk bekal. Secukupnya saja, untuk keperluan perjalanannya, karena siapa tau pada suatu hari nanti membutuhkannya.

"Nak, ini apa..?" kata nenek yang terkejut menerima pemberian itu.

"Buat nenek, terima saja ya, jangan ditolak," kata Lastri yang kemudian melangkah pergi, menuju jalan besar untuk mencari tumpangan.
Lastri agak bingung ketika berjalan itu, karena belum pernah pulang kedesanya dengan kendaraan umum. 

"Ah, pokoknya kalau ada bis kearah timur aku ngikut saja. Nanti kan bisa bertanya kepada orang-orang." gumam Lastri sambil duduk disebuah batu, dibawah pohon talok yang berdaun rimbun.

Udara sangat panas, Lastri mengipasi tubuhnya dengan selendang yang dibawanya. Pikirannya melayang kembali kepada orang yang dicintainya.

Baru kemarin pagi mereka makan nasi pecel berdua, tertawa-tawa bersama, siapa sangka hari ini dia terlunta-lunta? Tapi ini memang jalan terbaik untuk dirinya, dan untuk Bayu yang dicintainya. Lastri mendekap bungkusan besar yang dipangkunya, lalu membenamkan wajahnya pada bungkusan itu, untuk menumpahkan bulir-bulir air mata yang berjatuhan.

"Ma'afkan aku mas Bayu, aku berharap mas Bayu mendapatkan wanita yang cantik dan baik, dan yang sederajat dengan mas Bayu, pastinya." bisiknya lagi diantara isak. 
*

Sementara itu mobil yang dikemudikan Sapto melaju dengan kencang. Bayu  tak perduli apapun. Kepalanya terasa berdenyut denyut. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, dan memejamkan matanya.

"Kamu pusing ?" tanya Sapto sambil menoleh kearah sahabat yang duduk disampingnya.
"Iya, sedikit.."
"So'alnya tadi kamu nggak mau makan apapun sih Yu. Nanti kalau didepan ada rumah makan atau warung kita berhenti sebentar ya nak," kata bu Marsudi yang khawatir melihat keadaan anaknya.

"Iya bu, Bayu harus dipaksa makan, lalu disuruh minum obat."
"Nggak usah, aku nggak lapar."
"Bayu jangan bandel. Ini bukan dirumah. Sejak pagi kamu hanya makan sepotong roti. Ini hampir sore. Perut kamu kosong."

"Nanti biar Sapto suapin dia bu, kalau tetap nggak mau makan juga," canda Sapto.
"Aku ingin segera sampai dirumah bu."
"Iya, kita sedang menuju pulang, tapi kamu harus makan," kata bu Marsudi.
Mobil Sapto terus melaju, tapi belum menemukan rumah makan atau warung. 

Disebuah area persawahan, dilihatnya seorang perempuan sedang duduk dan membenamkan mukanya pada bungkusan yang dipangkunya.

"Kasihan wanita itu."
"Wanita yang sedang susah barangkali."

"Berhenti sebentar ya bu, untuk memberi dia sedikit uang? Kasihan Sapto melihatnya."
"Ya nak, coba berhenti sebentar. Tapi harus mundur dulu sedikit.."
"Aduuh, nggak usah deh Sap, kelamaan, aku ingin segera pulang.." keluh Bayu.
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar