Selasa, 28 April 2020

LASTRI (23-24)

*LASTRI  23*

Mardi tercengang.. ternyata ibunya punya impian tentang Lastri. Terbayanglah wajah lama yang dulu begitu kumuh dan kotor, lalu sekarang muncul sebagai sosok yang mempesona. Hati Mardi berdebar kencang. Tiba-tiba saja hatinya tergugah oleh ucapan ibunya.

"Kamu kok senyum-senyum begitu, belum kejadian sudah senang ya?" goda bu lurah.
"Bu, apa Lastri  belum punya suami ?"
"Ibu belum menanyakannya, tapi kayaknya belum. Kalau punya suami mana mungkin dia pulang sendiri kemari?"

"Apa dia akan terus tinggal disini?"
"Ibu sudah menawarkan, tapi dia belum menjawabnya. "

"Lalu apa rencananya kalau dia mau terus disini?"
"Ibu belum bicara banyak, coba nanti kamu yang bicara, siapa tau kita bisa membantu, dan siapa tau dia memang jodoh yang dikirimkan Tuhan untuk kamu. Ibu kurang suka sama Marni yang terlalu genit dan sering mengirimi kamu pipis katul."
Mardi tertawa.

"Nggak apa-apa ta bu, Marni itu juga gadis baik."
"Benar, dia baik, tapi kelihatan kalau suka sama kamu. Ibu nggak seneng kalau seorang gadis kelihatan mengejar-kejar laki-laki.
"Ibu yang enggak-enggak saja. Dulu suka sama Marni, kok tiba-tiba nggak suka?"

"Setelah melihat Lastri, ibu penginnya kamu jadian sama Lastri. Dia itu bisa menjadi isteri yang baik, menantu yang baik."
"Baru mengenal sesore saja, bagaimana bisa ibu mengatakan dia bisa menjadi isteri yang baik?"
"Dari pengamatan sekilas .. kelihatannya memang begitu."

"Mardi senang, dia cantik, tapi Mardi tak ingin terges-gesa. Siapa tau dia sudah punya pacar.. atau apa dia suka sama Mardi. Ah, nanti kalau tiba-tiba Mardi benar jatuh cinta, tapi kemudian ternyata dia tidak cinta, kan sakit bu. Jadi lebih baik tidak ber andai-andai dulu. Siapa sih yang nggak suka perempuan cantik?"

"Baiklah, kamu sudah dewasa sehingga bisa berfikir begitu, tapi seorang ibu kan boleh saja berangan-angan? Ya sudah. ibu mau mandi dan menyiapkan makan malam. Ini brem pesenan kamu." kata bu lurah sambil menyerahkan sebuah bungkusan.

"Terimakasih bu. Tapi kayaknya kamar mandinya masih dipakai Lastri."
"Ibu tunggu sebentar sambil membuat minum untuk Lastri."
"Kok Lastri saja, anaknya dilupakan setelah ada Lastri," canda Mardi.
"Ya enggak, buat kita bersama," jawab bu lurah sambil tersenyum.
*

Sapto mengantarkan bu Marsudi kembali ke rumah sakit. Tak urung pak Marsudi ikut, dan tampak gelisah sepanjang jalan. Begitu turun dari mobil, pak Marsudi langsung nyelonong kedalam.

"Dimana kamarnya? Kok aku malah lari duluan, ibu jalannya pelan amat."omelnya sambil menunggu isterinya.

"Masih di UGD atau sudah dipindahkan ke kamar?" tanyanya lagi.
"Sudah, ayo jalannya sama-sama, ibu kan nggak bisa jalan cepat begitu."

Mereka sampai disebuah ruangan, dan pak Marsudi langsung mendahului masuk. Dilihatnya Bayu tergolek lemah, matanya terpejam. Ditangannya ada selang infus yang digantungkan disebelah kirinya.

"Bayu... Bayu.." bisik pak Marsudi.
Bayu membuka matanya, agak heran melihat ayahnya menatapnya iba.

"Kamu sakit apa? Yang kamu rasakan apa?"
"Bayu nggak sakit apa-apa. Mengapa bapak kemari?"

"Omong apa kamu itu, aku ini bapakmu, mendengar kamu sakit ya sudah semestinya khawatir. Coba lihat keningmu," kata pak Marsudi sambil memegang kening Bayu.

"Lho, masih panas begini. Coba bu, bilang dokternya, anakmu masih panas nih."
"Nggak usah bilang dulu, kan sudah dikasih obat."
"Sudah dikasih obat kok masih panas seperti ini. Apa sambil dikompres .. barangkali bisa membantu."

"Sudah pak, bapak tenang saja, semua sudah ditangani dokternya. "
"Ah.. kelamaan .." gumam pak Marsudi sambil terus memegangi kening anaknya. Bayu hanya terdiam. ia lebih banyak memejamkan mata.

"Rasanya bagaimana Yu? Mana yang sakit?"
Bayu hanya menggeleng. Ia hanya ingin tidur. Barangkali dokter telah memberinya suntikan penenang, entahlah.

"Sudah lama nggak melakukan perjalanan jauh, ya begini ini jadinya."
Bu Marsudi mendekati Bayu.

"Yu, kamu pengin makan apa?"
Tapi Bayu menggeleng, matanya terpejam.

"Apa dibelikan ayam goreng kesukaan dia bu, biar bapak suruhan Darmo.," kata pak Marsudi.
 Bayu masih tetap menggeleng.

"Biar saja bapak suruhan, nanti kita paksa dia makan."  kata pak Marsudi lagi.
"Tadi siang juga dipaksa makan, malah muntah-muntah," ujar bu Marsudi sambil duduk diatas sofa, didekat Sapto yang diam terpaku disana. Agak sebal mendengar omelan-omelan pak Marsudi. Ia menyibukkan diri membuka-buka ponsel.

"Nak, nak Sapto pulang saja, sudah dari pagi nak Sapto menemani kami," kata bu Marsudi.
"Ada yang bisa kami bantu lagi bu, kalau kira-kira masih ada, biar Sapto menunggu disini."

"Sudah nak, sudah ada bapaknya, biarpun ngomel-ngomel terus tapi dia tampak memperhatikan sakitnya Bayu. Nak Sapto kan butuh istirahat."
"Baiklah bu, tapi kalau ada apa-apa jangan segan menelpon Sapto  ya. Nomor kontak saya yang baru sudah saya berikan Bayu tadi."

"Baiklah nak, nanti ibu akan ikut mencatatnya. Terimakasih banyak telah membantu."
"Sama-sama bu," kata Sapto sambil mencium tangan bu Marsudi. Kemudian Sapto mendekati ranjang Bayu, pak Marsudi masih berdiri disana. 

"Pak Marsudi, saya permisi dulu. Bayu.. semangat ya, kamu harus kuat !!" kata Sapto sambil menepuk-nepuk tangan Bayu. Bayu diam, tampaknya dia telah terlelap.
*

Semalaman pak Marsudi menunggui Bayu dirumah sakit. Bu Marsudi lega karena suaminya ternyata juga memperhatikan anak semata wayangnya.
Ketika bangun tidur itu, tiba-tiba pak Darmo datang dengan membawa tiga gekas susu coklat panas, dan beberapa potong roti bakar.

"Lho.. Mo, kok tiba-tiba membawakan sarapan untuk kami?" sapa bu Marsudi.
"Tapi pagi sekali bapak menelpon saya, agar saya membawakan ini bu," jawab Darmo.
"O, bapak To?"

Pak Marsudi membuka dompet dan memberikan uang untuk sopirnya.
"Ini terlalu banyak pak, itu ada notanya."
"Sudah, bawa saja. Hari ini aku nggak ke kantor ya?"
"Terimakasih banyak pak. Permisi pak, permisi bu," kata pak Darmo yang kemudian melangkah keluar.

"Apa Bayu belum bangun ?"
"Sudah, ibu sudah menggantikan bajunya setelah suster memeriksa tekanan darahnya dan mengganti infusnya."
"Sebenarnya Bayu sakit apa, mengapa dokter belum memberikan keterangan?"
"Ini kan masih pagi. Dokternya belum datang."
"Itu karena dia kecapean," gumam pak Marsudi sambil menghirup coklat susunya, dan mengambil sepotong roti.

"Bapak kok nggak merasa. Dia itu patah hati."
"Patah hati bagaimana ?"

"Bayu itu sangat mencintai Lastri. Begitu kemarin nggak ketemu, dia langsung lemas, nggak mau makan, nggak mau minum, lalu Sapto langsung melarikannya ke rumah sakit."
"Ya Tuhan.." keluh pak Marsudi.

"Mengapa hanya karena Lastri jadi seperti ini ?"

"Bayu sangat mencintai dia. Bapak selalu menyakitinya. Dan sekarang dia kehilangannya. Sesungguhnya Lastri itu gadis yang baik. Tak aneh bila Bayu mencintainya. Bukan hanya karena witing trena jalaran saka kulina, tapi kebaikan Lastri disamping kecantikannya,  tak banyak yang memilikinya. Bedanya adalah Lastri hanya gadis dusun, yang tidak memiliki pangkat atau derajat.  Dan bapak harus ingat, Bayu adalah anak kita semata wayang. Mengapa bapak tak ingin membuatnya bahagia? Bukankah sa'at sakit kita juga merasakan sakitnya?" kata bu Marsudi panjang lebar.

Ketika itulah dia bisa menumpahkan seluruh perasaannya kepada suaminya. Dan kali ini pak Marsudi tidak membalas dengan hardikan keras.

Pak Marsudi berdiri mendekati Bayu.
"Le, apa sekarang yang kamu rasakan?" tanyanya lembut, sambil memegangi lagi keningnya. Agak lega karena tidak lagi panas seperti semalam.

Bayu terdiam. Apa yang dia rasakan? Bayu hanya ingin bertemu Lastri, mengajaknya kembali, dan melamarnya menjadi isteri. Kepergian Lastri membuat semangatnya runtuh, hatinya rapuh.

Pak Marsudi mengelus tangan anaknya.
"Kamu marah sama bapak?" tanya pak Marsudi lagi.

Bayu memalingkan muka. Karena bapaknya.. dia kehilangan Lastri. Rasa kesal itu belum hilang. 
"Bayu, apa yang kamu inginkan?"
Bayu tetap tak menjawab. Bapaknya tau apa yang dia inginkan, mengapa masih bertanya juga?

Pak Marsudi menggenggam tangan Bayu, menempelkannya pada pipinya. Sa'at itulah Bayu merasa bahwa sesungguhnya ayahnya sangat mencintainya. Ia memandangi ayahnya yang berlinang air mata.

"Bapak, " bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
"Bapak banyak salah sama kamu. Bapak membuat kamu sedih dan sakit, benarkah?" lalu air mata itu bergulir pada pipi lelaki setengah tua yang dipanggilnya bapak oleh Bayu.

Bayu tersentak oleh keadaan itu. Tiba-tiba ia ingin memeluk ayahnya, tapi tak berdaya karena sebelah tangannya terikat pda selang infus yang meneteskan cairan penyambung nyawa bagi dirinya.

Air mata Bayu pun bergulir.

"Bayu, mulai sa'at ini bapak berjanji, akan selalu menuruti semua kemauan kamu."
Bayu meremas tangan ayahnya. 

"Carilah Lastri, nikahi dia," bisik ayahnya bergetar. Dan air mata kedua lelaki beda usia itu berjatuhan.

Tapi bukankah semuanya sudah terlambat? Kemana perginya Lastri?
*

Pagi sekali Lastri terbangun. Hari masih gelap, tapi suara kokok ayam, dan suara-suara hewan yang siap digembalakan terdengar menghiasi suasana pagi didusun itu. Lastri masih terbaring diranjang.

Malamnya Lastri tak bisa tidur. Seperti mimpi rasanya ketika ia menyadari bahwa dia tidur disebuah kamar yang berbeda lagi dari rumah nenek tua penjual sayur. Kali ini kamar dimana dia menumpang terasa lebih bersih. Walau sederhana tapi ia terbaring diatas kasur yang empuk.

Penerangan yang benderang, dan aroma yang segar. Tampaknya ketika dia mandi, entah bu lurah atau Marsdi telah menyemprotkan wewangian dikamar itu. Agak menyengat sih, wanginya sangat tajam, bukan seperti wangi kamar Bayu yang lembut. Ah, Bayu lagi, sedang apa kecintaannya itu sa'at ini ?

"Mas Bayu, aku ada disini, jauh dari kamu, tapi percayalah  bahwa aku selalu mencintai kamu. Aku harap kamu bahagia, aku harap kamu mendapatkan gadis yang semuanya melebihi Lastri yang perempuan dusun ini. Lupakan Lastri ya mas? Agar perasaan Lastri bisa lebih ringan. Jangan sedih, dan jangan mencari Lastri lagi. Anggaplah Lastri sudah mati," bisik Lastri sambil berlinangan air mata.

Tapi lama kelamaan linangan itu berubah menjadi tangis yang memilukan. Ada sebuah guling disampingnya, yang kemudian dipeluknya erat, agar tangisnya tak terdengar dari luar.

*

Lastri bangkit dari ranjang, dan duduk ditepinya. Didepannya ada almari besar dengan pintu berkaca yang bisa dipergunakan untuk menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, hampir semalaman ia menangisi perjalanan hidupnya. Tidak, ketika nanti matahari menerangi bumi, ia harus bisa menatap kedepan. Kemudian Lastri berdiri dan menyisir rambutnya, menggelungnya lagi dengan rapi, kemudian keluar dari kamar dan pergi kekamar mandi. Tampaknya bu lurah dan Mardi sang lurah muda juga belum terbangun.

Setelah membersihkan tubuhnya, Lastri mencari ceret mengisi airnya dan menjerangnya di kompor. Ia teringat lagi nenek tua penjual sayur, yang harus menyalakan perapian dengan kayu, dan kadang-kadang meniupnya apabila dirasa apinya akan mati. Lastri merasa, ada yang lebih sengsara didunia ini, lalu dia mensyukuri semua yang sudah diterimanya. Lastri menyeduh teh lalu menyiapkannya dimeja. ia harus segera pergi kemakam orang tua dan neneknya. Jadi ia segera mandi dan mengganti pakaiannya.

Ia teringat bu Marsudi. Sehari sebelum kepergiannya, ketika melihat dia menangis, dia mengira dirinya kangen sama simbahnya, lalu berjanji akan mengantarkannya mengunjungi makamnya. Sekarang Lastri akan melakukannya sendiri.

Ketika akan beranjak pergi, bu lurah ternyata sudah bangun. Lastri melihatnya keluar dari dapur. Ia melihat sepoci teh yang belum lama diseduh.

"Kamu menyeduh teh ya Tri, mengapa tidak membuat untuk kamu sendiri?" tegur bu lurah.
"Saya sudah minum air putih bu, ini mau ke makan bapak sama simbok dulu."

"Iya, tapi harus sarapan dulu. Masih ada sayur oblok-oblok sisa semalam dan bandeng goreng, biar aku angetin dulu." kata bu lurah mencegah kepergian Lastri.
"Tapi bu.."
"Sudahlah Tri, sarapan dulu, jangan pergi sebelum sarapan." kata bu lurah sambil kembali ke dapur dan menyiapkan untuk Lastri dan tentu saja Mardi.

Mardi keluar dari kamar mandi. Ia harus ke kelurahan. Tapi melihat Lastri sudah siap mau pergi, ia menghentikan langkahnya.

"Mau kemana Tri?"
"Mau kemakam bapak sama simbok, kang."

"Sarapan dulu, nanti aku antar."
"Jangan kang, aku sendiri saja. Habis dari makam aku mau melihat bekas rumahnya simbah."

"Bekasnya sudah nggak kelihatan Tri, sudah jadi kebun ketela rambat sama kacang panjang."
"Nggak apa-apa kang, aku ingin melihatnya saja, barangkali aku masih bisa mendirikan gubug ditempat simbah dulu."

"Itu memerlukan bicara dulu sama mbah Kliwon, nanti kalau masalah itu aku akan membantu.  Sekarang tunggu sebentar, aku ganti pakaian dulu," kata Mardi langsung masuk kekamarnya untuk berganti pakaian.

Lastri terpaksa menuruti kemauan bu lurah. Kemudian ia ikut ke dapur membantu bu lurah menyiapkan sarapan.

Tapi sehabis sarapan Lastri menolak ke makam orang tuanya diantar Mardi. Ia ingin pergi sendiri. Ia begitu merindukan neneknya yang membesarkannya, dan mengajarinya mencari uang dengan berjualan sayur.

Kuburan itu agak jauh dari rumah bu lurah. Lastri berjalan menyusuri jalanan berbatu, dan melewati galengan sawah yang lumayan panjang. Dijalan ia banyak berpapasan dengan orang-orang dusun, semuanya memandang Lastri dengan heran. Lastri memang tak tampak seperti gaadis dusun lainnya. Dibesarkan dikota membuat penampilannya berbeda. Ia ingin menyapa mereka, tapi ia lupa siapa saja yang berpapasan dengannya. Jadi Lastri hanya mengangguk sambil terus melanjutkan perjalanan.

Makam itu terbuka. Ada pagar dari bambu yang sebagian besar sudah roboh karena lapuk. Lastri mengingat ingat, dimana dulu makam simbahnya. Yang dia ingat, makam mereka berdampingan. Dulu diatasnya ada pohon kersen yang rindang, dimana pohon kersen itu? Semuanya sudah tampak berubah.  Banyak rumput-rumput liar disekitar area makam itu. Lastri terus berjalan, dan mengamati kiri kanan.

"Simbah... ini aku datang... simbah dimana?" bisik Lastri yang mulai berlinang air mata. Ingatan akan simbahnya terbayang kembali dimatanya. Ketika sang nenek  berjalan sambil terbungkuk-bungkuk, menggendong sayur didalam bakul, lalu dia berjalan disampingnya membantunya berjualan, sehingga dia tak pernah sempat sekolah.

"Simbah.. dimana simbah ? Bapak... simboook..." suara Lastri serak, bercampur aroma rindu yang menyesak dadanya.

Dan seperti ada yang mendengar jeritan Lastri, tiba-tiba dari jauh tampaklah pohon kersen iitu. Lastri bergegas mendekati, sambil menyibakkan rumput-rumput setinggi dirinya yang menghalangi. Dibawah pohon kersen itu tak tampak ada gundukan tanah. Tapi ada batu besar yang diingatnya sebagai tanda bahwa itu makam simbahnya, sedangkan disebelahnya adalah bapak simboknya.

Tak jelas yang mana persisnya,  Lastri berjongkok disitu, mencabuti rumput-rumput  disekitar batu itu, sambil berdo'a, dan meneteskan air mata.

"Simbah, bapak, simbok.. Lastri nggak tau yang mana, tapi Lastri percaya bahwa do'a Lastri akan tersampai kepada Yang Maha Kuasa. Simbah tau, setelah simbah pergi, Lastri pernah merasakan hidup enak. Tinggal dirumah yang nyaman, dan keluarga yang baik kepada Lastri.

Tapi... Lastri terjebak oleh perasaan Lastri sendiri mbah, Lastri mencintai majikan Lastri, yang ganteng, yang baik, yang juga mencintai Lastri. Tapi Lastri harus lari mbah, Lastri hanyalah anaknya bapak sama simbok, dan cucu simbah yang orang dusun, tak punya derajat. Lastri sakit mbah.. Lastri menderita karena cinta itu...Katakan bagaimana melupakannya mbah..."

Lalu Lastri kembali terguguk dalam tangis. Hanya simbah yang disebutnya, karena Lastri tak teringat pada bapak simboknya, yang meninggalkannya sa'at dia masih kecil.

Tiba-tiba Lastri merasa seseorang menyentuh bahunya. Lastri terkejut, lalu mengusap matanya.
*

Bersambung

&&&&

*LASTRI  24*

Lastri menoleh dan terkejut sekali. Seorang laki-laki tua berdiri dibelakangnya. Rambutnya putih seperti kapas, kulitnya keriput, tapi mata itu menatapnya tajam. Ia masih tampak kekar dan belum tampak renta.

Lastri berdiri dan menatapnya penuh tanda tanya. Yang membuatnya takut adalah laki-laki tua itu membawa sebilah arit. Mau apa dia?  Apakah dia pernah mengenal laki-laki ini ? Lastri agak mundur kebelakang.

"Kamu Lastri kan ?" tanya laki-laki tua itu.
"Ya.. kakek. Bagaimana kakek tau bahwa saya Lastri ?"
"Kamu sedang berjongkok didepan kuburan yu Surip, pasti kamu Lastri, karena dia tidak punya siapa-siapa kecuali cucunya."
"Oh, ya.. benar. Kakek siapakah? Barangkali saya lupa, karena saya pergi dari sini sejak masih kecil."

"Aku tinggal bersebelahan dengan rumah yu Surip. Kamu lupa ya? Waktu kecil aku sering menggendong kamu. Ketika itu bapak sama mbokmu masih hidup."
"Oh, mbah Kliwon ?"

"Kamu benar Lastri. Sebenarnya aku datang kemari mau membersihkan kuburan mbahmu ini, karena sudah setahun nggak pernah menyambangi. Aku sering melakukannya, karena aku merasa berhutang budi."

Rasa takut Lastri hilang seketika. Rupanya arit yang dibawanya akan diperguunakan untuk membersihkan kuburan neneknya. Dia sudah melakukannya, tapi hanya sebisanya karen dia tidak membawa alat. Tapi ia ingin tau dulu, mengapa mbah Kliwon mengatakan bahwa dirinya berhutang budi sama neneknya.

"Berhutang budi apa mbah?"
"Setelah kamu pergi, rumah mbahmu tidak ada yang merawat. Selang dua atau tiga bulan, ambruk. Akhirnya bekas berdirinya rumah dan sedikit pekarangan punya mbahmu aku gunakan untuk menanam sayuran, daripada nggak terpakai."
"Oh, itu mbah.."
"Itu sebabnya aku sering menyambangi kuburan mbahmu ini."

"Baiklah mbah, mana aritnya, biar Lastri bantu membersihkan."
"Jangan, biar aku yang membabat semua rumput, bahkan dari akar-akarnya, kamu nanti yang membuang rumputnya kearah sana, kalau sudah kering dibakar saja."
"Baiklah mbah, ayo kita mulai."

Keduanya kemudian mulai membersihkan makam mbah Surip dan orang tua Lastri. mBah Kliwon memasang batu-batu agak besar yang dipakainya sebagai tanda, setelah membuat gundukan tanah di ketiga makam itu lebih tinggi. Lastri berjanji akan memasang tulisan pada batu basar itu, agar suatu sa'at dia tidak susah mencarinya.

Udara sangat panas, beruntung ada pohon kersen yang rimbun dan melindungi keduanya yang sedang bekerja. Lastri menyesal tidak membawa air minum untuk bekal. Pasti mbah Kliwon juga haus, atau bahkan lapar.

"Panas sekali ya mbah?" ujar Lastri sambil duduk begitu saja diatas tanah berumput.
"Iya, memang panas, kamu haus?"
"Adakah warung didekat-dekat sini ?"
"Ya ada sih, tapi setelah keluar dari area kuburan ini. Tapi kan ini sudah selesai, kita boleh pulang sekarang. Tapi.. oh ya, kamu kesini hanya karena ingin ziarah ke makam ini, atau ada perlu lain?"
"Saya ingin pulang kemari."

"Oh Ya? Lalu kamu sekarang tinggal dimana? Nanti aku akan membabat kebun yang bekas rumah mbahmu itu, aku akan buat lagi gubug yang barangkali kamu mau tinggal."

Wajah Lastri berseri. Ia tak usah mengurusnya sama Mardi dan mbah Kliwon sudah bersedia mengembalikan gubug dan kebun kecil milik mbahnya.

"Benarkah ?"
"Iya benar. Tapi ya gubug asal-asalan, pokoknya bisa ditinggali. tidak kepanasan dan kehujanan."

"Menyenangkan sekali mbah. Saya akan membelikan apa saja yang diperlukan, berapa harus membayar tenaga yang akan membantu?"
"O, disini tidak ada bayar-bayaran, kami bekerja sama satu kampung. Kamu cukup menyediakan makan dan minum saja."

"Baguslah, apa yang harus saya beli mbah? Tidak usah yang besar, dengan satu bilik, dapur, kamar mandi, itu cukup."
"Ayo kita pulang, dan bicara banyak. Oh ya, kamu kapan datang, baru saja? Tidak membawa barang-barang?"

"Saya datang kemarin sore mbah, kebetulan bertemu bu lurah, lalu menginap disana. Semoga saya bisa segera pindah ke gubug itu ya mbah."
"Oh, baguslah kalau dirumah bu lurah. Tapi kamu harus hati-hati, bu lurah punya seorang anak laki-laki yang sekarang juga jadi lurah," kata mbah Kliwon sambil berjalan.
"Mengapa saya harus berhati-hati?"

"Siapa tau bu lurah mau mengambil kamu sebagai menantu," kata mbah Kliwon sambil tertawa.
"Oh, saya tidak memikirkan itu mbah, saya baru akan membenahi hidup saya," kata Lastri sendu. Ingatannya kepada Bayu kembali menyergapnya.
"Duhai cinta...  mengapa harus begini.." jerit batin Lastri.

"Tapi Mardi itu kan ganteng. Atau kamu sudah punya calon dikota? Tadi aku sudah lama berdiri dibelakangmu, menunggui kamu menangis, mendengarkan semua keluh kesahmu."

Lastri terkejut. Tadi ia tenggelam dalam kesedihan, mengeluhkan apa yang menjadi beban hidupnya dihadapan makan mbah Surip, dan kakek tua itu mendengar semuanya? Aduh, Lastri malu sekali.

"Tapi kamu tidak usah sungkan. Simbah ini sudah tua. Terkadang hidup tidak seperti yang kita inginkan, semuanya ada ditangan Yang Maha Kuasa. Jadi yang harus kita lakukan  adalah berserah dan selalu memohon yang terbaik."

"Lastri mengangguk, mbah Kliwon merengkuh bahunya, membuat Lastri merasa tenang. Seperti ada seseorang yang ikut memikul beban batinnya, menguatkannya. Lastri terharu.

Ketika keluar dari jalanan berbatu itu dilihatnya seseorang sedang menunggu.

"Itu kan lurah Mardi," kata mbah Kliwon.
"Iya,"
"Kayaknya menunggu kamu, sekali lagi hati-hati. Pegang erat cintamu."
Lhoh, mbah Kliwon kok berkata begitu? Apakah karena sudah matang lalu memiliki rasa yang lebih peka? Pegang erat cintamu. Itu kata-kata yang indah. Lastri tersenyum.

"Lastri !!" teriak Mardi.
Lastri dan mbah Kliwon mendekat.

"Lama sekali, ke kuburan. Malah sudah ketemu mbah Kliwon ?"
"Iya nak lurah, kebetulan tadi kami membersihkan kuburan yu Surip dan anak serta menantunya. Sekarang sudah rapi dan bersih," kata mbah Kliwon.

"Oh, syukurlah. Saya menjemput Lastri karen ibu menunggu dirumah, dikiranya nyasar atau apa, so'alnya dia pergi dari pagi."
"Ya nak, silahkan, simbah mau langsung pulang. Ayo Lastri, simbah pulang dulu. Nanti kalau mau bicara datang saja kerumah."
"Terimakasih banyak ya mbah," kata Lastri sambil mengikuti Mardi.

"Ibu khawatir, lalu menyuruh aku menyusul kamu."
"Lastri bukan anak kecil lagi kan?"

"Tapi kan kamu lama sekali nggak ke dusun ini, siapa tau nyasar."
"Enggak, Lastri masih ingat kok.Jadi nggak enak aku, ngerepotin terus."
"Kamu itu kayak lupa aja, kita kan dulu berteman? Sekarang juga berteman kan, jangan sungkan."

"Ya sudah, kang Mardi langsung ke kelurahan saja, aku tak langsung menemui ibu," kata Lastri yang merasa bahwa banyak orang memperhatikan mereka yang tampak berjalan berduaan. Dipanas terik pula.

"Lho aku juga mau pulang dulu, sa'atnya makan, aku lapar nih."
"Oh.. " Lastri tak bisa menolak.
*

Tiga hari lamanya Bayu opname dirumah sakit. Ia diperbolehkan pulang karena tak ditemukan penyakit apapun. Tapi Bayu sekarang menjadi Bayu yang berbeda. Pendiam dan tak bersemangat.

Pak Marsudi sangat prihatin mengetahui keadaan anaknya. Ada sesal yang menggumpal, tapi pak Marsudi sebenarnya merasa bahwa itu demi kebaikan anaknya. Hanya saja ternyata hal itu justru membuat Bayu menderita.

"Bayu anak kita satu-satunya, biarkanlah dia mencari kebahagiaannya sendiri. Lastri gadis yang baik, walau dia adalah gadis desa yang tak sepadan dengan kita. Tapi apalah artinya semua perbedaan itu pak, nyatanya anak kita menderita, dan kita juga ikutan susah melihat keadaannya seperti itu.”

"Ya.. bapak tau.. memang bapak yang salah. Tapi sekarang kan bapak sudah mengijinkan dia kalau ingin menikah sama Lastri."
"Begitu mengijinkan, Lastrinya sudah kabur entah kemana."

"Mengapa nggak dicari ke desanya lagi, siapa tau dia pulangnya tidak langsung."
"Kemungkiannya kecil pak, kan Lastri nggak punya siapa-siapa didesa."

"Bapak kan juga sudah membantu, pasang iklan segara di koran-koran.. Intinya mencari Lastri, tapi kan ya belum ada beritanya."
"Mungkin dia mendapat pekerjaan disuatu rumah, atau toko, atau pabrik apa.. gitu."
"Mudah-mudahan iklan itu terbaca oleh dia, dan dia bersedia kembali. Kan disitu bapak sebutkan juga bahwa bapak minta ma'af, jadi dia pasti bersedia kembali."

"Bagus kalau begitu, mudah-mudahan Lastri membacanya, atau orang lain membacanya kemudian memberitau kepada Lastri."
"Mudah-mudahan bu. Sekarang mana dia ?"
"Tadi pamit keluar sebentar, mungkin kerumah Sapto, atau ke tukang buah itu."
"Ia juga berusaha mencari Lastri."
"Semoga semuanya segera berakhir."
*

Ternyata Bayu ada dirumah Timan. Ia merasa bersalah telah memukulnya, dan sejak dia sakit belum sempat menyambanginya.

"Saya sudah baik kok mas Bayu, mas Bayu nggak usah repot-repot lagi. Besok saya sudah mulai jualan dipasar."
"Aku minta ma'af mas Timan, so'alnya aku juga baru keluar dari rumah sakit."

"Lho, mas Bayu sakit apa? "
"Kecapean barangkali," lalu Bayu tertunduk lesu.

"Bagaimana kabarnya Lastri?"
"Belum ketemu, dia tidak kemari kan?"
"Tidak mas, kalau dia memang berniat pergi, saya kira nggak bakalan datang kemari. So'alnya  Mas Bayu pasti mencarinya kemari."

"Benar, dan aku juga sudah mencari ke desanya."
"Tidak pulang kesana?"
"Benar. Tidak pulang ke desanya. Mungkin dia masih ada dikota ini, entahlah. Tapi aku akan terus berusaha."
"Ya mas, saya juga akan membantu mencoba mencari berita tentang dia. Ponselnya juga nggak pernah aktif."

"Bapak malah sudah memasang iklan segala, dan meminta ma'af di iklan itu. Semoga kalau Lastri membacanya hatinya akan tergugah."
"Oh ya? Saya tidak berlangganan koran, jadi belum baca. Korannya apa mas?"
"Disemua koran mas."

"Hm, Lastri... Lastri.. mengapa juga harus pergi segala."
"Kasihan, dia tidak punya siapa-siapa."

"Jangan sedih mas, saya akan membantu mencarinya."
"Terimakasih mas Timan. Terus sekarang saya mau tanya, apa mas Timan butuh kerumah sakit lagi, tampaknya masih kelihatan tuh, lebam-lebamnya."
"Nggak mas, sudah sekali kerumah sakit, dikasih obat oles dan yang diminum. Saya sudah benar-benar sehat. Besok saya mulai jualan lagi mas, nanti buah-buahnya keburu busuk."

"Banyak rugi ya jadinya?"
"Nggak mas, jangan khawatir. Nggak ada yang rugi, hanya keuntungannya tertunda. Tapi itu tidak apa-apa, rejeki tidak harus mengalir setiap hari."

Bayu kagum pada Timan. Ia memiliki kesabaran dan tidak pernah mengeluh.

"Kalau saya ingin ada teman ngobrol, main-main kesini boleh ya mas Timan?"
"Sangat boleh dong mas, senang ada yang menemani, so'alnya saya hidup sendiri, kedua orang tua sudah meninggal."

"Mengapa mas Timan tidak segera mencari isteri, biar tidak kesepian?"

Timan terdiam. Harapan untuk menjadikan Lastri sebagai teman hidup pernah terlintas dikepalanya. Tapi dia tau bahwa Lastri hanya menganggapnya sebagai kakak. Timan ikhlas, dan merasa bahwa Lastri bukan jodohnya.

"Hayo.. kok diam? Sudah ada calon belum?"
"Belum mas, masih ingin sendiri. Mungkin belum ketemu jodoh saya," jawab Timan sendu.
"Semoga segera ketemu ya mas."

Timan tersenyum. Ada do'a yang selalu dipanjatkannya, yaitu kebahagiaan Lastri dan Bayu. Ia ikhlas melihat gadis yang pernah didambakannya menemukan pria yang dicintainya.
*

Siang itu setelah makan, Lastri pamit mau pergi kerumah mbah Kliwon.

"Memangnya kamu sudah bicara tentang rumah itu sama mbah Kliwon?"
"Sudah kang, dan mbah Kliwon bersedia membantu, bahkan ia mengatakannya sebelum aku menanyakannya. Dia juga akan membantu mendirikan rumah simbah lagi." kata Lastri bersemangat.

"Itu memerlukan banyak uang. Memangnya kamu punya uang? "
"Ada sedikit, tapi aku hanya ingin rumah sederhana saja kok. Atap rumbai, dinding anyaman bambu, itu cukup. Aku kira tidak begitu mahal. Itu sebabnya aku mau kesana sekarang."
"Mau menunggu aku pulang dari kelurahan? Nanti aku antar."
"Nggak usah kang, aku bisa sendiri. Nanti malah mengganggu kang Mardi.

"Nggak apa-apa, hanya barangkali aku bisa membantu."
"Lebih-lebih itu kang, jangan, aku sudah banyak merepotkan. Sudahlah, biar Lastri memikirkannya sendiri. Aku sekarang mau pamit bu lurah dulu, mau berangkat sekarang, pasti mbah Kliwon sudah menunggu."
*

Tapi sampai sore Lastri belum kembali. Pasti banyak yang dibicarakan.

"Lastri hanya akan membuat rumah dengan atap rumbai dan dinding anyaman bambu. Kasihan kan Di?" kata bu lurah ketika sedang duduk didepan rumah menunggu Lastri.
"Iya, tapi Mardi sudah menawarkan bantuan, dia menolak," kata Mardi sambil membaca koran yang baru saja dibawanya dari kelurahan.

"Jangan menawarkan, langsung saja temui mbah Kliwon, bilang kalau kamulah yang akan membangun rumahnya Lastri."
"Ya, nanti Mardi akan menemui mbah Kliwon juga, tanpa sepengetahuan Lastri."
"Kamu itu kalau sudah membaca koran, ibunya ngomong apa juga nggak didengerin," omel bu lurah.

"Ini koran baru, sebentar bu, biarkan Mardi membacanya dulu. Mardi mendengarkan kok."
"Dan ingat, bantuin Lastri, jangan sampai Lastri membangun rumahnya sendiri dengan bangunan seadanya."

"Iya, sebentar bu, ini ada iklan yang menyebut nama Lastri." kata Mardi tiba-tiba.
"Menyebut nama Lastri bagaimana ta Di?"

"Ini, kayaknya majikannya Lastri itu, mencari Lastri, meminta ma'af dan menyuruh Lastri segera kembali. Jadi Lastri pergi karena majikannya melakukan kesalah yang melukai Lastri."
"Waduh le, gwat itu."

"Gawat bagaimana bu, kita harus segera memberitahukannya pada Lastri."
"Tidak le, Lastri tidak boleh tau. Mana koran itu, biar ibu bakar yang ada iklannya Lastri."
*


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar