*LASTRI 23*
Mardi tercengang..
ternyata ibunya punya impian tentang Lastri. Terbayanglah wajah lama yang dulu
begitu kumuh dan kotor, lalu sekarang muncul sebagai sosok yang mempesona. Hati
Mardi berdebar kencang. Tiba-tiba saja hatinya tergugah oleh ucapan ibunya.
"Kamu kok
senyum-senyum begitu, belum kejadian sudah senang ya?" goda bu lurah.
"Bu, apa
Lastri belum punya suami ?"
"Ibu belum
menanyakannya, tapi kayaknya belum. Kalau punya suami mana mungkin dia pulang
sendiri kemari?"
"Apa dia akan terus
tinggal disini?"
"Ibu sudah
menawarkan, tapi dia belum menjawabnya. "
"Lalu apa
rencananya kalau dia mau terus disini?"
"Ibu belum bicara
banyak, coba nanti kamu yang bicara, siapa tau kita bisa membantu, dan siapa
tau dia memang jodoh yang dikirimkan Tuhan untuk kamu. Ibu kurang suka sama
Marni yang terlalu genit dan sering mengirimi kamu pipis katul."
Mardi tertawa.
"Nggak apa-apa ta
bu, Marni itu juga gadis baik."
"Benar, dia baik,
tapi kelihatan kalau suka sama kamu. Ibu nggak seneng kalau seorang gadis
kelihatan mengejar-kejar laki-laki.
"Ibu yang
enggak-enggak saja. Dulu suka sama Marni, kok tiba-tiba nggak suka?"
"Setelah melihat
Lastri, ibu penginnya kamu jadian sama Lastri. Dia itu bisa menjadi isteri yang
baik, menantu yang baik."
"Baru mengenal
sesore saja, bagaimana bisa ibu mengatakan dia bisa menjadi isteri yang
baik?"
"Dari pengamatan
sekilas .. kelihatannya memang begitu."
"Mardi senang, dia
cantik, tapi Mardi tak ingin terges-gesa. Siapa tau dia sudah punya pacar..
atau apa dia suka sama Mardi. Ah, nanti kalau tiba-tiba Mardi benar jatuh
cinta, tapi kemudian ternyata dia tidak cinta, kan sakit bu. Jadi lebih baik
tidak ber andai-andai dulu. Siapa sih yang nggak suka perempuan cantik?"
"Baiklah, kamu
sudah dewasa sehingga bisa berfikir begitu, tapi seorang ibu kan boleh saja berangan-angan?
Ya sudah. ibu mau mandi dan menyiapkan makan malam. Ini brem pesenan
kamu." kata bu lurah sambil menyerahkan sebuah bungkusan.
"Terimakasih bu.
Tapi kayaknya kamar mandinya masih dipakai Lastri."
"Ibu tunggu
sebentar sambil membuat minum untuk Lastri."
"Kok Lastri saja,
anaknya dilupakan setelah ada Lastri," canda Mardi.
"Ya enggak, buat
kita bersama," jawab bu lurah sambil tersenyum.
*
Sapto mengantarkan bu
Marsudi kembali ke rumah sakit. Tak urung pak Marsudi ikut, dan tampak gelisah sepanjang
jalan. Begitu turun dari mobil, pak Marsudi langsung nyelonong kedalam.
"Dimana kamarnya?
Kok aku malah lari duluan, ibu jalannya pelan amat."omelnya sambil
menunggu isterinya.
"Masih di UGD atau
sudah dipindahkan ke kamar?" tanyanya lagi.
"Sudah, ayo
jalannya sama-sama, ibu kan nggak bisa jalan cepat begitu."
Mereka sampai disebuah
ruangan, dan pak Marsudi langsung mendahului masuk. Dilihatnya Bayu tergolek
lemah, matanya terpejam. Ditangannya ada selang infus yang digantungkan
disebelah kirinya.
"Bayu...
Bayu.." bisik pak Marsudi.
Bayu membuka matanya,
agak heran melihat ayahnya menatapnya iba.
"Kamu sakit apa?
Yang kamu rasakan apa?"
"Bayu nggak sakit
apa-apa. Mengapa bapak kemari?"
"Omong apa kamu
itu, aku ini bapakmu, mendengar kamu sakit ya sudah semestinya khawatir. Coba
lihat keningmu," kata pak Marsudi sambil memegang kening Bayu.
"Lho, masih panas
begini. Coba bu, bilang dokternya, anakmu masih panas nih."
"Nggak usah bilang
dulu, kan sudah dikasih obat."
"Sudah dikasih obat
kok masih panas seperti ini. Apa sambil dikompres .. barangkali bisa
membantu."
"Sudah pak, bapak
tenang saja, semua sudah ditangani dokternya. "
"Ah.. kelamaan
.." gumam pak Marsudi sambil terus memegangi kening anaknya. Bayu hanya
terdiam. ia lebih banyak memejamkan mata.
"Rasanya bagaimana
Yu? Mana yang sakit?"
Bayu hanya menggeleng.
Ia hanya ingin tidur. Barangkali dokter telah memberinya suntikan penenang,
entahlah.
"Sudah lama nggak
melakukan perjalanan jauh, ya begini ini jadinya."
Bu Marsudi mendekati Bayu.
"Yu, kamu pengin
makan apa?"
Tapi Bayu menggeleng,
matanya terpejam.
"Apa dibelikan ayam
goreng kesukaan dia bu, biar bapak suruhan Darmo.," kata pak Marsudi.
Bayu masih tetap menggeleng.
"Biar saja bapak
suruhan, nanti kita paksa dia makan."
kata pak Marsudi lagi.
"Tadi siang juga
dipaksa makan, malah muntah-muntah," ujar bu Marsudi sambil duduk diatas
sofa, didekat Sapto yang diam terpaku disana. Agak sebal mendengar
omelan-omelan pak Marsudi. Ia menyibukkan diri membuka-buka ponsel.
"Nak, nak Sapto
pulang saja, sudah dari pagi nak Sapto menemani kami," kata bu Marsudi.
"Ada yang bisa kami
bantu lagi bu, kalau kira-kira masih ada, biar Sapto menunggu disini."
"Sudah nak, sudah
ada bapaknya, biarpun ngomel-ngomel terus tapi dia tampak memperhatikan
sakitnya Bayu. Nak Sapto kan butuh istirahat."
"Baiklah bu, tapi
kalau ada apa-apa jangan segan menelpon Sapto
ya. Nomor kontak saya yang baru sudah saya berikan Bayu tadi."
"Baiklah nak, nanti
ibu akan ikut mencatatnya. Terimakasih banyak telah membantu."
"Sama-sama
bu," kata Sapto sambil mencium tangan bu Marsudi. Kemudian Sapto mendekati
ranjang Bayu, pak Marsudi masih berdiri disana.
"Pak Marsudi, saya
permisi dulu. Bayu.. semangat ya, kamu harus kuat !!" kata Sapto sambil
menepuk-nepuk tangan Bayu. Bayu diam, tampaknya dia telah terlelap.
*
Semalaman pak Marsudi
menunggui Bayu dirumah sakit. Bu Marsudi lega karena suaminya ternyata juga
memperhatikan anak semata wayangnya.
Ketika bangun tidur itu,
tiba-tiba pak Darmo datang dengan membawa tiga gekas susu coklat panas, dan
beberapa potong roti bakar.
"Lho.. Mo, kok
tiba-tiba membawakan sarapan untuk kami?" sapa bu Marsudi.
"Tapi pagi sekali
bapak menelpon saya, agar saya membawakan ini bu," jawab Darmo.
"O, bapak To?"
Pak Marsudi membuka
dompet dan memberikan uang untuk sopirnya.
"Ini terlalu banyak
pak, itu ada notanya."
"Sudah, bawa saja.
Hari ini aku nggak ke kantor ya?"
"Terimakasih banyak
pak. Permisi pak, permisi bu," kata pak Darmo yang kemudian melangkah
keluar.
"Apa Bayu belum
bangun ?"
"Sudah, ibu sudah
menggantikan bajunya setelah suster memeriksa tekanan darahnya dan mengganti
infusnya."
"Sebenarnya Bayu
sakit apa, mengapa dokter belum memberikan keterangan?"
"Ini kan masih
pagi. Dokternya belum datang."
"Itu karena dia
kecapean," gumam pak Marsudi sambil menghirup coklat susunya, dan
mengambil sepotong roti.
"Bapak kok nggak
merasa. Dia itu patah hati."
"Patah hati
bagaimana ?"
"Bayu itu sangat
mencintai Lastri. Begitu kemarin nggak ketemu, dia langsung lemas, nggak mau
makan, nggak mau minum, lalu Sapto langsung melarikannya ke rumah sakit."
"Ya Tuhan.."
keluh pak Marsudi.
"Mengapa hanya
karena Lastri jadi seperti ini ?"
"Bayu sangat
mencintai dia. Bapak selalu menyakitinya. Dan sekarang dia kehilangannya.
Sesungguhnya Lastri itu gadis yang baik. Tak aneh bila Bayu mencintainya. Bukan
hanya karena witing trena jalaran saka kulina, tapi kebaikan Lastri disamping
kecantikannya, tak banyak yang
memilikinya. Bedanya adalah Lastri hanya gadis dusun, yang tidak memiliki pangkat
atau derajat. Dan bapak harus ingat,
Bayu adalah anak kita semata wayang. Mengapa bapak tak ingin membuatnya
bahagia? Bukankah sa'at sakit kita juga merasakan sakitnya?" kata bu
Marsudi panjang lebar.
Ketika itulah dia bisa
menumpahkan seluruh perasaannya kepada suaminya. Dan kali ini pak Marsudi tidak
membalas dengan hardikan keras.
Pak Marsudi berdiri
mendekati Bayu.
"Le, apa sekarang
yang kamu rasakan?" tanyanya lembut, sambil memegangi lagi keningnya. Agak
lega karena tidak lagi panas seperti semalam.
Bayu terdiam. Apa yang
dia rasakan? Bayu hanya ingin bertemu Lastri, mengajaknya kembali, dan
melamarnya menjadi isteri. Kepergian Lastri membuat semangatnya runtuh, hatinya
rapuh.
Pak Marsudi mengelus
tangan anaknya.
"Kamu marah sama
bapak?" tanya pak Marsudi lagi.
Bayu memalingkan muka.
Karena bapaknya.. dia kehilangan Lastri. Rasa kesal itu belum hilang.
"Bayu, apa yang
kamu inginkan?"
Bayu tetap tak menjawab.
Bapaknya tau apa yang dia inginkan, mengapa masih bertanya juga?
Pak Marsudi menggenggam
tangan Bayu, menempelkannya pada pipinya. Sa'at itulah Bayu merasa bahwa
sesungguhnya ayahnya sangat mencintainya. Ia memandangi ayahnya yang berlinang
air mata.
"Bapak, "
bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
"Bapak banyak salah
sama kamu. Bapak membuat kamu sedih dan sakit, benarkah?" lalu air mata
itu bergulir pada pipi lelaki setengah tua yang dipanggilnya bapak oleh Bayu.
Bayu tersentak oleh
keadaan itu. Tiba-tiba ia ingin memeluk ayahnya, tapi tak berdaya karena
sebelah tangannya terikat pda selang infus yang meneteskan cairan penyambung
nyawa bagi dirinya.
Air mata Bayu pun
bergulir.
"Bayu, mulai sa'at
ini bapak berjanji, akan selalu menuruti semua kemauan kamu."
Bayu meremas tangan
ayahnya.
"Carilah Lastri,
nikahi dia," bisik ayahnya bergetar. Dan air mata kedua lelaki beda usia
itu berjatuhan.
Tapi bukankah semuanya
sudah terlambat? Kemana perginya Lastri?
*
Pagi sekali Lastri
terbangun. Hari masih gelap, tapi suara kokok ayam, dan suara-suara hewan yang
siap digembalakan terdengar menghiasi suasana pagi didusun itu. Lastri masih
terbaring diranjang.
Malamnya Lastri tak bisa
tidur. Seperti mimpi rasanya ketika ia menyadari bahwa dia tidur disebuah kamar
yang berbeda lagi dari rumah nenek tua penjual sayur. Kali ini kamar dimana dia
menumpang terasa lebih bersih. Walau sederhana tapi ia terbaring diatas kasur
yang empuk.
Penerangan yang
benderang, dan aroma yang segar. Tampaknya ketika dia mandi, entah bu lurah
atau Marsdi telah menyemprotkan wewangian dikamar itu. Agak menyengat sih,
wanginya sangat tajam, bukan seperti wangi kamar Bayu yang lembut. Ah, Bayu
lagi, sedang apa kecintaannya itu sa'at ini ?
"Mas Bayu, aku ada
disini, jauh dari kamu, tapi percayalah
bahwa aku selalu mencintai kamu. Aku harap kamu bahagia, aku harap kamu
mendapatkan gadis yang semuanya melebihi Lastri yang perempuan dusun ini.
Lupakan Lastri ya mas? Agar perasaan Lastri bisa lebih ringan. Jangan sedih,
dan jangan mencari Lastri lagi. Anggaplah Lastri sudah mati," bisik Lastri
sambil berlinangan air mata.
Tapi lama kelamaan
linangan itu berubah menjadi tangis yang memilukan. Ada sebuah guling
disampingnya, yang kemudian dipeluknya erat, agar tangisnya tak terdengar dari
luar.
*
Lastri bangkit dari
ranjang, dan duduk ditepinya. Didepannya ada almari besar dengan pintu berkaca
yang bisa dipergunakan untuk menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, hampir
semalaman ia menangisi perjalanan hidupnya. Tidak, ketika nanti matahari menerangi
bumi, ia harus bisa menatap kedepan. Kemudian Lastri berdiri dan menyisir
rambutnya, menggelungnya lagi dengan rapi, kemudian keluar dari kamar dan pergi
kekamar mandi. Tampaknya bu lurah dan Mardi sang lurah muda juga belum
terbangun.
Setelah membersihkan
tubuhnya, Lastri mencari ceret mengisi airnya dan menjerangnya di kompor. Ia
teringat lagi nenek tua penjual sayur, yang harus menyalakan perapian dengan
kayu, dan kadang-kadang meniupnya apabila dirasa apinya akan mati. Lastri
merasa, ada yang lebih sengsara didunia ini, lalu dia mensyukuri semua yang
sudah diterimanya. Lastri menyeduh teh lalu menyiapkannya dimeja. ia harus
segera pergi kemakam orang tua dan neneknya. Jadi ia segera mandi dan mengganti
pakaiannya.
Ia teringat bu Marsudi.
Sehari sebelum kepergiannya, ketika melihat dia menangis, dia mengira dirinya
kangen sama simbahnya, lalu berjanji akan mengantarkannya mengunjungi makamnya.
Sekarang Lastri akan melakukannya sendiri.
Ketika akan beranjak
pergi, bu lurah ternyata sudah bangun. Lastri melihatnya keluar dari dapur. Ia
melihat sepoci teh yang belum lama diseduh.
"Kamu menyeduh teh
ya Tri, mengapa tidak membuat untuk kamu sendiri?" tegur bu lurah.
"Saya sudah minum
air putih bu, ini mau ke makan bapak sama simbok dulu."
"Iya, tapi harus
sarapan dulu. Masih ada sayur oblok-oblok sisa semalam dan bandeng goreng, biar
aku angetin dulu." kata bu lurah mencegah kepergian Lastri.
"Tapi bu.."
"Sudahlah Tri,
sarapan dulu, jangan pergi sebelum sarapan." kata bu lurah sambil kembali
ke dapur dan menyiapkan untuk Lastri dan tentu saja Mardi.
Mardi keluar dari kamar
mandi. Ia harus ke kelurahan. Tapi melihat Lastri sudah siap mau pergi, ia
menghentikan langkahnya.
"Mau kemana
Tri?"
"Mau kemakam bapak
sama simbok, kang."
"Sarapan dulu,
nanti aku antar."
"Jangan kang, aku
sendiri saja. Habis dari makam aku mau melihat bekas rumahnya simbah."
"Bekasnya sudah
nggak kelihatan Tri, sudah jadi kebun ketela rambat sama kacang panjang."
"Nggak apa-apa
kang, aku ingin melihatnya saja, barangkali aku masih bisa mendirikan gubug
ditempat simbah dulu."
"Itu memerlukan
bicara dulu sama mbah Kliwon, nanti kalau masalah itu aku akan membantu. Sekarang tunggu sebentar, aku ganti pakaian
dulu," kata Mardi langsung masuk kekamarnya untuk berganti pakaian.
Lastri terpaksa menuruti
kemauan bu lurah. Kemudian ia ikut ke dapur membantu bu lurah menyiapkan
sarapan.
Tapi sehabis sarapan
Lastri menolak ke makam orang tuanya diantar Mardi. Ia ingin pergi sendiri. Ia
begitu merindukan neneknya yang membesarkannya, dan mengajarinya mencari uang
dengan berjualan sayur.
Kuburan itu agak jauh
dari rumah bu lurah. Lastri berjalan menyusuri jalanan berbatu, dan melewati
galengan sawah yang lumayan panjang. Dijalan ia banyak berpapasan dengan
orang-orang dusun, semuanya memandang Lastri dengan heran. Lastri memang tak
tampak seperti gaadis dusun lainnya. Dibesarkan dikota membuat penampilannya
berbeda. Ia ingin menyapa mereka, tapi ia lupa siapa saja yang berpapasan
dengannya. Jadi Lastri hanya mengangguk sambil terus melanjutkan perjalanan.
Makam itu terbuka. Ada
pagar dari bambu yang sebagian besar sudah roboh karena lapuk. Lastri mengingat
ingat, dimana dulu makam simbahnya. Yang dia ingat, makam mereka berdampingan.
Dulu diatasnya ada pohon kersen yang rindang, dimana pohon kersen itu? Semuanya
sudah tampak berubah. Banyak
rumput-rumput liar disekitar area makam itu. Lastri terus berjalan, dan
mengamati kiri kanan.
"Simbah... ini aku
datang... simbah dimana?" bisik Lastri yang mulai berlinang air mata.
Ingatan akan simbahnya terbayang kembali dimatanya. Ketika sang nenek berjalan sambil terbungkuk-bungkuk,
menggendong sayur didalam bakul, lalu dia berjalan disampingnya membantunya
berjualan, sehingga dia tak pernah sempat sekolah.
"Simbah.. dimana
simbah ? Bapak... simboook..." suara Lastri serak, bercampur aroma rindu
yang menyesak dadanya.
Dan seperti ada yang
mendengar jeritan Lastri, tiba-tiba dari jauh tampaklah pohon kersen iitu.
Lastri bergegas mendekati, sambil menyibakkan rumput-rumput setinggi dirinya yang
menghalangi. Dibawah pohon kersen itu tak tampak ada gundukan tanah. Tapi ada
batu besar yang diingatnya sebagai tanda bahwa itu makam simbahnya, sedangkan
disebelahnya adalah bapak simboknya.
Tak jelas yang mana
persisnya, Lastri berjongkok disitu, mencabuti
rumput-rumput disekitar batu itu, sambil
berdo'a, dan meneteskan air mata.
"Simbah, bapak,
simbok.. Lastri nggak tau yang mana, tapi Lastri percaya bahwa do'a Lastri akan
tersampai kepada Yang Maha Kuasa. Simbah tau, setelah simbah pergi, Lastri
pernah merasakan hidup enak. Tinggal dirumah yang nyaman, dan keluarga yang
baik kepada Lastri.
Tapi... Lastri terjebak
oleh perasaan Lastri sendiri mbah, Lastri mencintai majikan Lastri, yang
ganteng, yang baik, yang juga mencintai Lastri. Tapi Lastri harus lari mbah,
Lastri hanyalah anaknya bapak sama simbok, dan cucu simbah yang orang dusun,
tak punya derajat. Lastri sakit mbah.. Lastri menderita karena cinta
itu...Katakan bagaimana melupakannya mbah..."
Lalu Lastri kembali
terguguk dalam tangis. Hanya simbah yang disebutnya, karena Lastri tak teringat
pada bapak simboknya, yang meninggalkannya sa'at dia masih kecil.
Tiba-tiba Lastri merasa
seseorang menyentuh bahunya. Lastri terkejut, lalu mengusap matanya.
*
Bersambung
&&&&
*LASTRI 24*
Lastri menoleh dan
terkejut sekali. Seorang laki-laki tua berdiri dibelakangnya. Rambutnya putih
seperti kapas, kulitnya keriput, tapi mata itu menatapnya tajam. Ia masih
tampak kekar dan belum tampak renta.
Lastri berdiri dan
menatapnya penuh tanda tanya. Yang membuatnya takut adalah laki-laki tua itu
membawa sebilah arit. Mau apa dia?
Apakah dia pernah mengenal laki-laki ini ? Lastri agak mundur
kebelakang.
"Kamu Lastri kan
?" tanya laki-laki tua itu.
"Ya.. kakek.
Bagaimana kakek tau bahwa saya Lastri ?"
"Kamu sedang
berjongkok didepan kuburan yu Surip, pasti kamu Lastri, karena dia tidak punya
siapa-siapa kecuali cucunya."
"Oh, ya.. benar.
Kakek siapakah? Barangkali saya lupa, karena saya pergi dari sini sejak masih
kecil."
"Aku tinggal
bersebelahan dengan rumah yu Surip. Kamu lupa ya? Waktu kecil aku sering
menggendong kamu. Ketika itu bapak sama mbokmu masih hidup."
"Oh, mbah Kliwon
?"
"Kamu benar Lastri.
Sebenarnya aku datang kemari mau membersihkan kuburan mbahmu ini, karena sudah
setahun nggak pernah menyambangi. Aku sering melakukannya, karena aku merasa
berhutang budi."
Rasa takut Lastri hilang
seketika. Rupanya arit yang dibawanya akan diperguunakan untuk membersihkan
kuburan neneknya. Dia sudah melakukannya, tapi hanya sebisanya karen dia tidak
membawa alat. Tapi ia ingin tau dulu, mengapa mbah Kliwon mengatakan bahwa
dirinya berhutang budi sama neneknya.
"Berhutang budi apa
mbah?"
"Setelah kamu
pergi, rumah mbahmu tidak ada yang merawat. Selang dua atau tiga bulan, ambruk.
Akhirnya bekas berdirinya rumah dan sedikit pekarangan punya mbahmu aku gunakan
untuk menanam sayuran, daripada nggak terpakai."
"Oh, itu
mbah.."
"Itu sebabnya aku
sering menyambangi kuburan mbahmu ini."
"Baiklah mbah, mana
aritnya, biar Lastri bantu membersihkan."
"Jangan, biar aku
yang membabat semua rumput, bahkan dari akar-akarnya, kamu nanti yang membuang
rumputnya kearah sana, kalau sudah kering dibakar saja."
"Baiklah mbah, ayo
kita mulai."
Keduanya kemudian mulai
membersihkan makam mbah Surip dan orang tua Lastri. mBah Kliwon memasang
batu-batu agak besar yang dipakainya sebagai tanda, setelah membuat gundukan
tanah di ketiga makam itu lebih tinggi. Lastri berjanji akan memasang tulisan
pada batu basar itu, agar suatu sa'at dia tidak susah mencarinya.
Udara sangat panas,
beruntung ada pohon kersen yang rimbun dan melindungi keduanya yang sedang
bekerja. Lastri menyesal tidak membawa air minum untuk bekal. Pasti mbah Kliwon
juga haus, atau bahkan lapar.
"Panas sekali ya
mbah?" ujar Lastri sambil duduk begitu saja diatas tanah berumput.
"Iya, memang panas,
kamu haus?"
"Adakah warung
didekat-dekat sini ?"
"Ya ada sih, tapi
setelah keluar dari area kuburan ini. Tapi kan ini sudah selesai, kita boleh
pulang sekarang. Tapi.. oh ya, kamu kesini hanya karena ingin ziarah ke makam
ini, atau ada perlu lain?"
"Saya ingin pulang
kemari."
"Oh Ya? Lalu kamu
sekarang tinggal dimana? Nanti aku akan membabat kebun yang bekas rumah mbahmu
itu, aku akan buat lagi gubug yang barangkali kamu mau tinggal."
Wajah Lastri berseri. Ia
tak usah mengurusnya sama Mardi dan mbah Kliwon sudah bersedia mengembalikan
gubug dan kebun kecil milik mbahnya.
"Benarkah ?"
"Iya benar. Tapi ya
gubug asal-asalan, pokoknya bisa ditinggali. tidak kepanasan dan
kehujanan."
"Menyenangkan
sekali mbah. Saya akan membelikan apa saja yang diperlukan, berapa harus
membayar tenaga yang akan membantu?"
"O, disini tidak
ada bayar-bayaran, kami bekerja sama satu kampung. Kamu cukup menyediakan makan
dan minum saja."
"Baguslah, apa yang
harus saya beli mbah? Tidak usah yang besar, dengan satu bilik, dapur, kamar
mandi, itu cukup."
"Ayo kita pulang,
dan bicara banyak. Oh ya, kamu kapan datang, baru saja? Tidak membawa
barang-barang?"
"Saya datang
kemarin sore mbah, kebetulan bertemu bu lurah, lalu menginap disana. Semoga saya
bisa segera pindah ke gubug itu ya mbah."
"Oh, baguslah kalau
dirumah bu lurah. Tapi kamu harus hati-hati, bu lurah punya seorang anak
laki-laki yang sekarang juga jadi lurah," kata mbah Kliwon sambil
berjalan.
"Mengapa saya harus
berhati-hati?"
"Siapa tau bu lurah
mau mengambil kamu sebagai menantu," kata mbah Kliwon sambil tertawa.
"Oh, saya tidak
memikirkan itu mbah, saya baru akan membenahi hidup saya," kata Lastri
sendu. Ingatannya kepada Bayu kembali menyergapnya.
"Duhai
cinta... mengapa harus begini.."
jerit batin Lastri.
"Tapi Mardi itu kan
ganteng. Atau kamu sudah punya calon dikota? Tadi aku sudah lama berdiri
dibelakangmu, menunggui kamu menangis, mendengarkan semua keluh kesahmu."
Lastri terkejut. Tadi ia
tenggelam dalam kesedihan, mengeluhkan apa yang menjadi beban hidupnya
dihadapan makan mbah Surip, dan kakek tua itu mendengar semuanya? Aduh, Lastri
malu sekali.
"Tapi kamu tidak
usah sungkan. Simbah ini sudah tua. Terkadang hidup tidak seperti yang kita
inginkan, semuanya ada ditangan Yang Maha Kuasa. Jadi yang harus kita
lakukan adalah berserah dan selalu
memohon yang terbaik."
"Lastri mengangguk,
mbah Kliwon merengkuh bahunya, membuat Lastri merasa tenang. Seperti ada
seseorang yang ikut memikul beban batinnya, menguatkannya. Lastri terharu.
Ketika keluar dari
jalanan berbatu itu dilihatnya seseorang sedang menunggu.
"Itu kan lurah
Mardi," kata mbah Kliwon.
"Iya,"
"Kayaknya menunggu
kamu, sekali lagi hati-hati. Pegang erat cintamu."
Lhoh, mbah Kliwon kok
berkata begitu? Apakah karena sudah matang lalu memiliki rasa yang lebih peka?
Pegang erat cintamu. Itu kata-kata yang indah. Lastri tersenyum.
"Lastri !!"
teriak Mardi.
Lastri dan mbah Kliwon
mendekat.
"Lama sekali, ke
kuburan. Malah sudah ketemu mbah Kliwon ?"
"Iya nak lurah,
kebetulan tadi kami membersihkan kuburan yu Surip dan anak serta menantunya.
Sekarang sudah rapi dan bersih," kata mbah Kliwon.
"Oh, syukurlah.
Saya menjemput Lastri karen ibu menunggu dirumah, dikiranya nyasar atau apa,
so'alnya dia pergi dari pagi."
"Ya nak, silahkan,
simbah mau langsung pulang. Ayo Lastri, simbah pulang dulu. Nanti kalau mau
bicara datang saja kerumah."
"Terimakasih banyak
ya mbah," kata Lastri sambil mengikuti Mardi.
"Ibu khawatir, lalu
menyuruh aku menyusul kamu."
"Lastri bukan anak
kecil lagi kan?"
"Tapi kan kamu lama
sekali nggak ke dusun ini, siapa tau nyasar."
"Enggak, Lastri
masih ingat kok.Jadi nggak enak aku, ngerepotin terus."
"Kamu itu kayak
lupa aja, kita kan dulu berteman? Sekarang juga berteman kan, jangan
sungkan."
"Ya sudah, kang
Mardi langsung ke kelurahan saja, aku tak langsung menemui ibu," kata
Lastri yang merasa bahwa banyak orang memperhatikan mereka yang tampak berjalan
berduaan. Dipanas terik pula.
"Lho aku juga mau
pulang dulu, sa'atnya makan, aku lapar nih."
"Oh.. " Lastri
tak bisa menolak.
*
Tiga hari lamanya Bayu
opname dirumah sakit. Ia diperbolehkan pulang karena tak ditemukan penyakit
apapun. Tapi Bayu sekarang menjadi Bayu yang berbeda. Pendiam dan tak
bersemangat.
Pak Marsudi sangat
prihatin mengetahui keadaan anaknya. Ada sesal yang menggumpal, tapi pak
Marsudi sebenarnya merasa bahwa itu demi kebaikan anaknya. Hanya saja ternyata
hal itu justru membuat Bayu menderita.
"Bayu anak kita
satu-satunya, biarkanlah dia mencari kebahagiaannya sendiri. Lastri gadis yang
baik, walau dia adalah gadis desa yang tak sepadan dengan kita. Tapi apalah
artinya semua perbedaan itu pak, nyatanya anak kita menderita, dan kita juga
ikutan susah melihat keadaannya seperti itu.”
"Ya.. bapak tau..
memang bapak yang salah. Tapi sekarang kan bapak sudah mengijinkan dia kalau
ingin menikah sama Lastri."
"Begitu
mengijinkan, Lastrinya sudah kabur entah kemana."
"Mengapa nggak
dicari ke desanya lagi, siapa tau dia pulangnya tidak langsung."
"Kemungkiannya
kecil pak, kan Lastri nggak punya siapa-siapa didesa."
"Bapak kan juga
sudah membantu, pasang iklan segara di koran-koran.. Intinya mencari Lastri,
tapi kan ya belum ada beritanya."
"Mungkin dia
mendapat pekerjaan disuatu rumah, atau toko, atau pabrik apa.. gitu."
"Mudah-mudahan
iklan itu terbaca oleh dia, dan dia bersedia kembali. Kan disitu bapak sebutkan
juga bahwa bapak minta ma'af, jadi dia pasti bersedia kembali."
"Bagus kalau
begitu, mudah-mudahan Lastri membacanya, atau orang lain membacanya kemudian
memberitau kepada Lastri."
"Mudah-mudahan bu.
Sekarang mana dia ?"
"Tadi pamit keluar
sebentar, mungkin kerumah Sapto, atau ke tukang buah itu."
"Ia juga berusaha
mencari Lastri."
"Semoga semuanya
segera berakhir."
*
Ternyata Bayu ada
dirumah Timan. Ia merasa bersalah telah memukulnya, dan sejak dia sakit belum
sempat menyambanginya.
"Saya sudah baik
kok mas Bayu, mas Bayu nggak usah repot-repot lagi. Besok saya sudah mulai
jualan dipasar."
"Aku minta ma'af
mas Timan, so'alnya aku juga baru keluar dari rumah sakit."
"Lho, mas Bayu
sakit apa? "
"Kecapean
barangkali," lalu Bayu tertunduk lesu.
"Bagaimana kabarnya
Lastri?"
"Belum ketemu, dia
tidak kemari kan?"
"Tidak mas, kalau
dia memang berniat pergi, saya kira nggak bakalan datang kemari. So'alnya Mas Bayu pasti mencarinya kemari."
"Benar, dan aku
juga sudah mencari ke desanya."
"Tidak pulang
kesana?"
"Benar. Tidak
pulang ke desanya. Mungkin dia masih ada dikota ini, entahlah. Tapi aku akan
terus berusaha."
"Ya mas, saya juga
akan membantu mencoba mencari berita tentang dia. Ponselnya juga nggak pernah
aktif."
"Bapak malah sudah
memasang iklan segala, dan meminta ma'af di iklan itu. Semoga kalau Lastri
membacanya hatinya akan tergugah."
"Oh ya? Saya tidak
berlangganan koran, jadi belum baca. Korannya apa mas?"
"Disemua koran
mas."
"Hm, Lastri...
Lastri.. mengapa juga harus pergi segala."
"Kasihan, dia tidak
punya siapa-siapa."
"Jangan sedih mas,
saya akan membantu mencarinya."
"Terimakasih mas
Timan. Terus sekarang saya mau tanya, apa mas Timan butuh kerumah sakit lagi,
tampaknya masih kelihatan tuh, lebam-lebamnya."
"Nggak mas, sudah
sekali kerumah sakit, dikasih obat oles dan yang diminum. Saya sudah
benar-benar sehat. Besok saya mulai jualan lagi mas, nanti buah-buahnya keburu
busuk."
"Banyak rugi ya
jadinya?"
"Nggak mas, jangan
khawatir. Nggak ada yang rugi, hanya keuntungannya tertunda. Tapi itu tidak
apa-apa, rejeki tidak harus mengalir setiap hari."
Bayu kagum pada Timan.
Ia memiliki kesabaran dan tidak pernah mengeluh.
"Kalau saya ingin
ada teman ngobrol, main-main kesini boleh ya mas Timan?"
"Sangat boleh dong
mas, senang ada yang menemani, so'alnya saya hidup sendiri, kedua orang tua
sudah meninggal."
"Mengapa mas Timan
tidak segera mencari isteri, biar tidak kesepian?"
Timan terdiam. Harapan
untuk menjadikan Lastri sebagai teman hidup pernah terlintas dikepalanya. Tapi
dia tau bahwa Lastri hanya menganggapnya sebagai kakak. Timan ikhlas, dan
merasa bahwa Lastri bukan jodohnya.
"Hayo.. kok diam?
Sudah ada calon belum?"
"Belum mas, masih
ingin sendiri. Mungkin belum ketemu jodoh saya," jawab Timan sendu.
"Semoga segera
ketemu ya mas."
Timan tersenyum. Ada
do'a yang selalu dipanjatkannya, yaitu kebahagiaan Lastri dan Bayu. Ia ikhlas
melihat gadis yang pernah didambakannya menemukan pria yang dicintainya.
*
Siang itu setelah makan,
Lastri pamit mau pergi kerumah mbah Kliwon.
"Memangnya kamu
sudah bicara tentang rumah itu sama mbah Kliwon?"
"Sudah kang, dan
mbah Kliwon bersedia membantu, bahkan ia mengatakannya sebelum aku menanyakannya.
Dia juga akan membantu mendirikan rumah simbah lagi." kata Lastri
bersemangat.
"Itu memerlukan
banyak uang. Memangnya kamu punya uang? "
"Ada sedikit, tapi
aku hanya ingin rumah sederhana saja kok. Atap rumbai, dinding anyaman bambu,
itu cukup. Aku kira tidak begitu mahal. Itu sebabnya aku mau kesana
sekarang."
"Mau menunggu aku
pulang dari kelurahan? Nanti aku antar."
"Nggak usah kang,
aku bisa sendiri. Nanti malah mengganggu kang Mardi.
"Nggak apa-apa,
hanya barangkali aku bisa membantu."
"Lebih-lebih itu
kang, jangan, aku sudah banyak merepotkan. Sudahlah, biar Lastri memikirkannya
sendiri. Aku sekarang mau pamit bu lurah dulu, mau berangkat sekarang, pasti
mbah Kliwon sudah menunggu."
*
Tapi sampai sore Lastri
belum kembali. Pasti banyak yang dibicarakan.
"Lastri hanya akan
membuat rumah dengan atap rumbai dan dinding anyaman bambu. Kasihan kan
Di?" kata bu lurah ketika sedang duduk didepan rumah menunggu Lastri.
"Iya, tapi Mardi
sudah menawarkan bantuan, dia menolak," kata Mardi sambil membaca koran
yang baru saja dibawanya dari kelurahan.
"Jangan menawarkan,
langsung saja temui mbah Kliwon, bilang kalau kamulah yang akan membangun
rumahnya Lastri."
"Ya, nanti Mardi
akan menemui mbah Kliwon juga, tanpa sepengetahuan Lastri."
"Kamu itu kalau
sudah membaca koran, ibunya ngomong apa juga nggak didengerin," omel bu
lurah.
"Ini koran baru,
sebentar bu, biarkan Mardi membacanya dulu. Mardi mendengarkan kok."
"Dan ingat, bantuin
Lastri, jangan sampai Lastri membangun rumahnya sendiri dengan bangunan
seadanya."
"Iya, sebentar bu,
ini ada iklan yang menyebut nama Lastri." kata Mardi tiba-tiba.
"Menyebut nama
Lastri bagaimana ta Di?"
"Ini, kayaknya
majikannya Lastri itu, mencari Lastri, meminta ma'af dan menyuruh Lastri segera
kembali. Jadi Lastri pergi karena majikannya melakukan kesalah yang melukai
Lastri."
"Waduh le, gwat
itu."
"Gawat bagaimana
bu, kita harus segera memberitahukannya pada Lastri."
"Tidak le, Lastri
tidak boleh tau. Mana koran itu, biar ibu bakar yang ada iklannya Lastri."
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar