*LASTRI 37*
Lastri mengangkat kepalanya, terpana, dilihatnya Bayu masih memegangi
kepalanya, dan lirih memanggil namanya.
Lastri mengucek kedua matanya, menatap tubuh yang semula diam itu
membuka matanya, dan sedang mengelus kepalanya.
"Mas Bayu.." kata Lastri pelan, bergetar penuh keharuan.
Bayu melepas alat penyalur oksigen yang menutupi mulutnya sehingga
membuat suaranya tidak jelas.
"Kamu Lastri bukan?"
"Aku Lastri mas, aku Lastri..." kata Lastri sambil
menggoyang-goyangkan tangan Bayu.
"Lastri… " rona bahagia itu menghiasi wajah bercambang yang
semula membuat Lastri ragu-ragu.
"Kamu jelek sekali mas, wajahmu serem," goda Lastri sambil
menatap bahagia kekasihnya dan mengelus cambang lebat diwajahnya. Bercambangpun tidak buruk kok, pikir Lastri.
Bibir tipis itu tersenyum. Senyum yang seperti dulu, yang selalu
menggetarkan hatinya. Lastri memeluknya dan menangis didada bidang itu.
Bayu mengelus kepalanya.
"Aku dimana ?"
"Mas, kamu itu sakit, membuat semua orang sedih, membuat aku
menangis tak henti-hentinya."
"Kamu Lastri bukan?" kembali Bayu mengulang pertanyaannya.
"Mas Bayu, tatap mataku, pandangi wajahku, dari tadi kamu belum
yakin kalau aku Lastri?" kata Lastri sambil mengangkat kepalanya.
Bayu menatap wajah yang tak jauh dari wajahnya sendiri. Menatapnya
lekat, lalu dielusnya pipi Lastri dengan
sebelah tangannya. Hal yang belum pernah dilakukannya sejak dia jatuh cinta
kepada perempuan dusun nan rupawan ini.
Mana mau Lastri disentuhnya? Mengapa sekarang menyerah? Takut aku mati?
Atau benar-benar ingin menyerahkan cintanya untukku? Pikir Bayu.
Namun Bayu tak butuh jawaban. Apa yang dilakukan Lastri ini sudah
mengatakan semuanya.
"Lastri, jangan pergi... " bisik Bayu sambil terus menatap
Lastri. Ada kekhawatiran kalau Lastri akan meninggalkannya lagi.
"Aku tidak akan pergi, aku akan selalu ada disisimu."
"Itu benar Bayu, Lastri akan selalu ada didekatmu.."
Tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Seorang laki-laki setengah tua
sudah berdiri disamping Lastri. Lastri menoleh dan tersipu. Ia berdiri dan
mempersilahkan pak Marsudi duduk.
"Bapak.."
"Anakku, bapak tak ingin kehilangan kamu. Kamu anakku
satu-satunya. Bapak hanya ingin kamu bahagia. Kalau bahagiaanmu bersama Lastri,
bapak akan merestuinya," dan mata tua itu berkaca-kaca, kemudian
dipeluknya Bayu.
Dokter yang kemudian datang, memeriksa kembali keadaan Bayu.
"Bapak, kalau keadaan ini stabil, mas Bayu boleh dipindahkan
keruang inap, tapi kami akan terus memantau kesehatannya."
"Terimakasih dokter, terimakasih banyak," kata pak Marsudi
terharu.
*
Pak Marsudi yang baru saja menemui dokter dengan bersemangat memilihkan
kamar terbaik bagi Bayu.
"Kata dokter, kalau sehari ini normal, Bayu akan segera
dipindahkan ke kamar inap. Kamu harus pulang dan mengambil baju-baju untuk
Bayu. Biar aku menunggu disini dulu." kata pak Marsudi dengan kegembiraan
yang meluap.
Bu Marsudi bersiap untuk pulang, Timan bersedia mengantarkannya.
Tapi sebelum pulang pak Marsudi menghampirinya.
"Bu, jangan lupa mampir ke toko, belikan baju ganti untuk Lastri,
dan semua keperluannya selama disini. Dia kan tidak membawa apapun ketika
datang dari desa."
Bu Marsudi mengangguk. Bahagia mendengar suaminya mulai perhatian
kepada Lastri.
"Kalau keadaan mas Bayu sudah baik, saya juga akan mengambil mobil
saya yang saya tinggalkan dirumah pak lurah. Nanti saya juga akan mengambil
baju-baju Lastri dan barang-barang yang masih tertinggal disana," kata
Timan.
"Lastri bagaimana aku bisa mengambil
barang-barangmu?" tanya Timan kepada Lastri yang kebetulan ada diluar
karena Bayu masih diperiksa dokter.
"Barang-barang Lastri apa saja sih? Nanti baju dan sebagainya beli
saja lagi disini. Nanti kalau Bayu sudah sembuh biar diambilnya sendiri,"
kata pak Marsudi.
"Jadi merepotkan pak, " kata Lastri.
"Tidak, mengapa kamu bilang begitu? Kamu itu kan calon menantuku,
yang juga akan menjadi anakku. Mana ada orang tua merasa repot meenuhi
kebutuhan anaknya?"
"Tapi dompet saya hilang entah kemana. Semua surat-surat ATM dan
uang tak seberapa..."
"Sudah, nanti diurus, gampang, sekarang rawatlah calon suamimu.
Begitu Bayu sembuh, kalian akan menikah." kata pak Marsudi
bersungguh-sungguh.
Latri tertunduk, terharu. Badai di keluarga Marsudi telah berlalu. Bu
Marsudi menatap Lastri dan tersenyum bahagia.
"Terimakasih bapak,"
bisik Lastri sambil terisak.
Duuh, mengapa Lastri gampang sekali menangis sih? Tapi sungguh Lastri
tak bisa menahannya, ketika sedih, ketika bahagia, air matanya tak mau berhenti
mengalir.. Cengengkah Lastri? Tidak, Lastri adalah seorang perempuan perkasa
yang tak takut menghadapi apapun. Rela berkorban untuk siapapun, manis budi dan
karenanya disukai banyak orang.
*
Malam itu mBah Kliwon sedang menitipkan semua uang penjualan sayur
kepada bu lurah Marni, ketika Timan datang.
Melihar wajah yang berseri, mereka yakin bahwa Timan pasti membawa
kabar baik.
"Bagaimana Lastri dan kekasihnya mas?" tanya Marni tak sabar
lagi.
"Baik, bu lurah, mas Bayu juga sudah sadar walau belum banyak
bicara."
Semua yang hadir menarik nafas lega.
"Benar-benar luar biasa Lastri itu, dia juga bisa menyembuhkan seorang kekasih
yang sakit parah. " kata Marni sambil tersenyum senang.
"Bilang sama Lastri, rumahnya mbah Kliwon yang ngurusin, jangan
memikirkan apapun. Semuanya beres," kata mbah Kliwon bersemangat.
"Baiklah pak, nanti saya sampaikan, yang jelas Lastri tampak
bahagia, nungguin Bayu tanpa mau beranjak dari sampingnya," ujar Timan
lagi.
"Itu kan cinta yang dipendam selama setahun, tapi kami bersyukur,
Semoga bapaknya mas Bayu bisa menerima Lastri.
"Syukurlah bapaknya mas Bayu menerima Lastri dengan sangat baik.
Ketika saya ingin mengambilkan baju-baju Lastri, beliau bilang bahwa tak usah
diambil, beli disana saja berikut semua kebutuhan Lastri."
"Ah, syukurlah mas, senang mendengarnya."
"Oh ya mas, bukankah ada yang menemukan dompet Lastri? Sampai lupa
aku, sebentar," Marni bergegas masuk kedalam dan menyerahkan dompet Lastri
kepada Timan.
"Tadi sebelum pergi Lastri juga bilang kalau dompetnya hilang.
Nanti saya kabari dia supaya tidak memikirkannya lagi." kata Timan.
"Mas Timan mau menginap lagi dirumah Lastri?" tanya mbah
Kliwon.
"Saya kira tidak pak, terimakasih banyak, saya harus kembali,
karena saya juga punya pekerjaan disana."
"Baiklah mas, yang penting semuanya sudah baik, kami hanya ikut berdo'a
semoga mas Bayu segera pulih."
"Aamiin, pak lurah."
Pak Kliwon yang juga berpamit, ditegur oleh Timan.
"Pak, kalau mau pulang mari saya antar sekaliyan."
"Nggak usah nak, saya sama cucu saya kok."
Ketika sampai diluar, Timan melihat seorang gadis sedang duduk disebuah
bangku yang kemudian berdiri begitu melihat mbah Kliwon keluar.
"Ini nak, ini cucu saya, si Sri, saya suruh ikut karena dialah
yang mencatat semua barang yang datang dan uang yang keluar masuk sejak
kemarin. Lha saya kan buta hurup nak."
katanya sambil terus melangkah sambil menggandeng si Sri.
"Nggak apa-apa pak, mobil saya cukup untuk duduk bertiga kok.
Nggak mungkin bapak saya suruh duduk di belakang," kata Timan sambil
membukakan pintu mobil.
"Nak Timan, berjalan sebetulnya nggak apa-apa.."
"Sudahlah, kan saya sekalian pulang. Ayo dik, masuklah."
Pak Kliwon menyuruh si Sri masuk lebih dulu, baru dirinya, kemudian
Timan duduk dibelakang kemudi. Pak lurah dan Marni melambaikan tangan ketika
mobil Timan keluar dari halaman.
"Untung ada bapak yang bisa mengurus semuanya ketika Lastri tak
ada."
"Iya nak, sudah biasa membantu. Kalau kerepotan ya si Sri ini saya
suruh bantu.
Gadis bernama si Sri, entah siapa lanjutannya, tampak diam dan sedikit
kikuk. Sebentar sebentar tangannya tersenggol tangan Timan yang mengoper
kopling. Ia menggeser duduknya agak kekiri karena sungkan seakan mengganggu
Timan.
"Nggak apa-apa dik," kata Timan sambil melirik kearah gadis
disampingnya.
Suasana remang membuat Timan tak bisa menatap gadis itu. Tapi sekilas
didepan rumah pak lurah tadi, Timan
sempat meliriknya, dan dalam hati mengatakan, manis. Kulitnya sedikit hitam,
rambutnya dikucir kebelakang, panjangnya sepinggang. Timan memaki dirinya
sendiri karena membayangkan gadis itu lagi..
Ketika sampai dirumah Lastri, Timan menghentikan mobilnya. mBah Kliwon
dan si Sri turun. Tapi Timan ikutan turun. Lampu diteras rumah Lastri sudah
menyala. Disitu Timan menatapnya lagi. Gadis itu tersipu. Ketika berpamit,
Timan sempat menyalaminya dengan erat.
"Kita belum kenalan kan? Namaku Timan."
Si Sri hanya tertunduk malu. Ia tak perlu mengucapkan namanya karena
kakeknya tadi sudah berkali-kali menyebut namanya.
"Pak, lain kali saya boleh kan main kesini lagi?" tanya Timan
yang kemudian menyesali ucapannya karena kelihatan sekali dia ingin datang, dan
pastinya karena si Sri.
"Pasti nak, silahkan setiap sa'at datang, nanti saya akan
merebuskan lagi ketela buat nak Timan," canda mbah Kliwon sambil tertawa.
"Bukankah dik Sri selalu membantu disini?" nah, pertanyaan
itu juga disesalinya. Jangan-jangan mbah
Kliwon merasa kalau dirinya tertarik pada cucunya karena ucapan-ucapannya itu.
"Ya nak, dia selalu ada disini, nak Timan belum melihatnya karena
waktu itu sudah sore dan si Sri sudah pulang kerumahnya."
"Oh.."
Dan sepanjang perjalanan pulang itu Timan senyum-senyum sendiri.
"Aku sudah gila, apakah aku tertarik pada si Sri? Nanti aku harus
minta tolong Lastri agar mengenalkan aku dan dia lebih dekat," gumamnya.
*
Bayu sudah dipindahkan ke ruang inap. Keadaannya semakin membaik.
Lastri selalu mendampingi, menyuapkan makan dan melayaninya setiap kali dia
membutuhkan sesuatu.
Pagi harinya Timan datang, membawa dompet Lastri yang ditemukan warga
dan diserahkan kepada lurah Mardi.
"Syukurlah mas, terimakasih banyak telah membawakan
dompetku,"kata Lastri senang.
"Periksa saja isinya, barangkali ada yang tercecer." kata
Timan.
"Nggak ada mas, masih lengkap, dan uangnya juga masih utuh,"
kata Lastri ketika selesai membuka dompetnya.
"Siapa yang menemukannya mas?"
"Karena tadi pak lurah ingatnya tentang dompet ini ketika aku
sudah hampir pulang, jadi aku lupa menanyakan siapa yang menemukannya."
"Nanti kalau aku pulang kesana, aku akan menanyakannya dan
mengucapkan terimakasih."
"Apa kamu mau pulang ke desa?" tiba-tiba Bayu bertanya,
khawatir.
"Iya mas, tapi nanti, kalau mas Bayu sudah sembuh."
"Tapi kembali lagi kemari kan?"
"Iya mas, aku pasti akan kembali. Sudah, jangan difikirkan, aku
kan cuma berangan-angan."
"Iya, mas Bayu khawatir amat. Atau besok kalau Lastri pulang, mas
Bayu bisa ikut kan?"
"Iya benar," kata Bayu pelan.
Timan segera berpamit karena sudah dua hari meninggalkan rumah.
"Terimakasih, mas Timan, kalau bukan karena mas Timan, saya tak
bisa ketemu Lastri lagi," kata Bayu lirih.
"Kalau Tuhan sudah menjodohkan seseorang, biar keujung dunia
sekalipun, pasti bisa ketemu. Dan jalan itu pasti ada. Cepatlah sembuh ya mas,
lalu main kerumah saya lagi." Kata Timan sambil menyalami Bayu.
Ketika Lastri mengantarnya sampai keluar, Timan ingat akan menanyakan
sesuatu.
"Tri, kamu kenal si Sri?" tanyanya pelan.
"Haa, si Sri itu yang suka membantu aku, cucunya mbah Kliwon.
Memangnya kenapa? Mas Timan ketemu dia?"
“Semalam dari rumah pak lurah aku mengantar mbah Kliwon sama cucunya
itu."
"O.. mas Timan tertarik ya?" goda Lastri.
"Baru ditanya saja langsung menuduh," sungut Timan.
"Bukan menuduh, pertanyaan itu kan menunjukkan bahwa kamu tertarik
Tapi si Sri gadis yang baik, aku suka kalau mas Timan mau mendekati dia."
"Pokoknya nanti kalau kamu pulang harus mengabari aku. Aku mau
ikut."
Lastri tertawa. Ia melambaikan tangan ketika Timan melangkah keluar
dari rumah sakit itu.
*
Seminggu lamanya Bayu dirawat, tapi tekanan darahnya belum normal
benar. Cuma saja Bayu sudah mulai bosan.
"Aku ingin pulang,"
"Sabar dulu mas, kalau dokternya sudah mengijinkan, baru mas Bayu
boleh pulang."
"Tapi aku sudah sehat, sudah makan banyak, sudah tidak pusing, aku
capek,Bolehkah aku duduk?"
"Sebentar,. Tunggu dokternya dulu lah mas."
Ketika sa'atnya dokter visite,
Lastri merasa lega karena Bayu boleh rawat jalan.
"Cuma makan harus diatur. Selalu yang bergizzi tinggi, dan jangan
terlalu capai," pesan dokter.
Hari itu juga Bayu pulang, dijemput bapak dan ibunya dengan suka cita.
Walau masih terasa lemas, tapi Bayu selalu bersemangat karena Lastri
selalu ada disampingnya.
Pagi itu Bayu sudah makan sendiri. Kesehatannya semakin membaik, bukan hanya karena obat yang harus diminumnya,
tapi karena bahagia bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya.
Setelah makan Bayu minta agar Lastri menemaninya duduk diteras depan.
"Aku kan sudah sembuh ya?"
"Iya, mas Bayu sudah sembuh. Tapi belum pulih benar. Kalau obatnya
habis harus kontrol lagi ke dokter."
"Aku terkadang mikir, kamu itu aneh."
"Aneh bagaimana mas?"
"Kamu mau kembali kemari, mengakui bahwa kamu mencintai aku, tapi
syaratnya aku harus sakit dulu. Ya kan?"
"Bukan begitu mas, itu bukan syarat, tapi jalan yang harus kita lalui
memang begini ini. Mas Bayu bahagia sekarang?"
"Aku ingin kesehatanku segera pulih, lalu kita akan menikah."
Lastri tertunduk malu. Semua ini seperti mimpi baginya.
"Kok diam, apa kamu tidak suka?"
"Aku tidak akan mengatakannya, karena kalau aku mengatakannya
nanti pasti aku akan menangis. Menangis bahagia."
"Lastri, tapi aku ingin kamu mengatakannya bahwa kamu mencintai
aku."
"Apakah cinta harus diucapkan? Bukankah ini cukup menjadi
jawaban?"
"Katakan, aku ingin mendengarnya."
Lastri menghela nafas. Kalau memang cinta, haruskah malu mengatakannya?
"Aku sangat mencintai kamu mas."
Bayu memeluknya, tapi Lastri segera mendorongnya pelan.
"Jangan dulu mas."
"Kamu curang. Waktu aku sakit kamu memeluk-meluk aku seenaknya,
mengapa sekarang aku tidak boleh memeluk kamu?"
"Aku tidak sadar waktu itu, aku takut kehilangan kamu."
"Sekarang aku juga takut kehilangan kamu."
"Iih, jangan cari alasan. Tunggulah nanti kalau sudah sa'atnya.
Tapi apakah mas Bayu akan terus bercambang seperti itu?"
"Aku jelek ya kalau bercambang begini?"
"Nggak jelek sih, masih tetap ganteng kok."
"Kalau begitu biarlah begini."
"Tapi aku tidak suka rambut gondrong ini."
"Nanti aku potong saja, tapi biar brewok begini ya?"
"Iiih, serem deh."
"Serem atau seneng? Kan kamu bilang aku tetep ganteng."
"Baru sehat sedikit saja sudah genit deh."
Tiba-tiba terdengar mobil berhenti dihalaman. Seseorang turun dari
mobil itu, bersama seorang gadis cantik. Begitu dekat, Sapto langsung
berteriak.
"Lastri, kamu sudah kembali?" katanya sambil berusaha memeluk
Lastri. Tapi belum sampai menyentuhnya, Bayu menghardiknya.
"Eeiit.. jangan main peluk ya, aku saja belum pernah, enak
aja."
Tapi Sapto hanya tertawa, digandengnya gadis cantik yang datang
bersamanya. Bayu tersenyum. Itu Reni
yang dulu mau dikenalkan dengan dirinya oleh ayahnya.
"Ini Reni, kamu masih ingat kan, Hei, apa yang terjadi dengan
wajahmu? Jelek amat, apa ini mode wajah yang dipesan oleh Lastri?" ledek
Sapto sambil menarik calon isterinya untuk duduk. Bayu melotot marah, tapi Sapto
tak perduli.
"Bayu menyalami Reni.
"Lastri, ini Reni, calon isteriku. Bulan depan kami akan
menikah," kata Sapto.
Lastri menyalami Reni dengan ramah. Dalam hati ia berkata, bahwa gadis
ini sangat cantik. Inikah yang dulu mau dijodohkan dengan Bayu? Hm, Lastri
merasa dirinya kalah jauh dibandingkan dengan Reni. Reni yang modis, dengan
rambut ikal sebahu, bibir tipis dan
hidung mancung, mata bening, hm.. apalagi kekurangannya? Toh Bayu menolaknya.
"Kamu nggak bilang kalau kamu sakit. O aku tau, sakit rindu kan,
dan ketika Lastri datang lalu kamu sembuh, hmh, akal-akalan kamu ini kan?"
Ledek Sapto seenaknya. Sayang Sapto
tidak duduk didepannya, kalau ya, pasti dia sudah menyepak kakinya keras-keras.
*
Dipesta pernikahan Sapto itu, Bayu datang berdua dengan Lastri. Lastri
yang sederhana, dengan rambut digelung seperti biasanya, gaun pesta berwarna
hijau lumut, dan sepatu dengan hak yang tidak begitu tinggi, justru menarik
sebagian tamu yang hadir.
Lastri melingkarkan tangannya dilengan Bayu, dan berjalan dengan
langkah-langkah manis, seperti mengikuti alunan musik romantis yang menggema
dipesta itu. Mereka seperti melihat seorang pangeran yang sedikit bercambang,
gagah, ganteng, dan disampingnya adalah puteri dari kerajaan antah berantah
yang cantik dan anggun.
Sebagian besar adalah teman-teman sekolahnya juga, tapi kebanyakan dari
mereka tidak mengenali Bayu karena penampilannya yang berbeda. Baru ketika Bayu
menyapa mereka, barulah mereka berteriak-teriak heboh sambil menyalaminya.
Didepan mempelai, Bayu berbisik pelan kepada sahabatnya.
"AKU AKAN SEGERA MENYUSUL KAMU"
***** S E K I A N ******
*LASTRI 38*
Timan
menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh
yang datang, bersama rombongan pak lurah Mardi.
Ini
pestanya Bayu dan Lastri. Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang
melalui liku peristiwa yang sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani.
Tapi bahagia itu akhirnya datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap
pesta yang digelar oleh keluarga Marsudi.
Timan
terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu
lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan
Lastri. Lalu mBah Kliwon.
Timan
mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya, atau belakangnya,
namun yang dicari tak juga ditemukan.
"Nak
Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak
segera menyapanya.
"Eh,
pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu,
banyak sekali yang datang bersama."
Timan
menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud
saya, dik Sri ?"
"Oh...
si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."
Ada yang
tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu mempersilahkan
tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.
Rasa kecewa
menyelimuti hatinya, karena yang diharapkan datang ternyata tak ada.
Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang
nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini.
Dst ….
----- -----
------ -----
Itulah sepenggal cerita
lanjutan serial Cerber “Lastri.”
Cerita sambungan
berikutnya tidak lagi mengisahkan perjalanan hidup Lastri yang sudah mencapai
kebahagiaan bersama Bayu, namun mengisahkan perjalanan hidup seorang sahabat
Lastri.
Meski tokoh dalam cerita
lanjutan ini sama, namun temanya berbeda.
Kelanjutan Cerber berikut
ini mengangkat tema tentang ‘status’ hidup seseorang dalam tradisi kampong.
Karenanya Tien Kumalasari, penulis Cerber ini memberi judul *KEMBANG TITIPAN*.
Silahkan mengikuti
Cerber ‘KEMBANG TITIPAN’ berikut
ini …..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar