Kamis, 30 April 2020

LASTRI (37-38)

*LASTRI  37*

Lastri mengangkat kepalanya, terpana, dilihatnya Bayu masih memegangi kepalanya, dan lirih memanggil namanya.

Lastri mengucek kedua matanya, menatap tubuh yang semula diam itu membuka matanya, dan sedang mengelus kepalanya.
"Mas Bayu.." kata Lastri pelan, bergetar penuh keharuan.

Bayu melepas alat penyalur oksigen yang menutupi mulutnya sehingga membuat suaranya tidak jelas.

"Kamu Lastri bukan?"
"Aku Lastri mas, aku Lastri..." kata Lastri sambil menggoyang-goyangkan tangan Bayu.

"Lastri… " rona bahagia itu menghiasi wajah bercambang yang semula membuat Lastri ragu-ragu.

"Kamu jelek sekali mas, wajahmu serem," goda Lastri sambil menatap bahagia kekasihnya dan mengelus cambang lebat diwajahnya.  Bercambangpun tidak buruk kok, pikir Lastri.

Bibir tipis itu tersenyum. Senyum yang seperti dulu, yang selalu menggetarkan hatinya. Lastri memeluknya dan menangis didada bidang itu.

Bayu mengelus kepalanya.
"Aku dimana ?"
"Mas, kamu itu sakit, membuat semua orang sedih, membuat aku menangis tak henti-hentinya."

"Kamu Lastri bukan?" kembali Bayu mengulang pertanyaannya.
"Mas Bayu, tatap mataku, pandangi wajahku, dari tadi kamu belum yakin kalau aku Lastri?" kata Lastri sambil mengangkat kepalanya.

Bayu menatap wajah yang tak jauh dari wajahnya sendiri. Menatapnya lekat,  lalu dielusnya pipi Lastri dengan sebelah tangannya. Hal yang belum pernah dilakukannya sejak dia jatuh cinta kepada perempuan dusun nan rupawan ini.

Mana mau Lastri disentuhnya? Mengapa sekarang menyerah? Takut aku mati? Atau benar-benar ingin menyerahkan cintanya untukku? Pikir Bayu.
Namun Bayu tak butuh jawaban. Apa yang dilakukan Lastri ini sudah mengatakan semuanya.

"Lastri, jangan pergi... " bisik Bayu sambil terus menatap Lastri. Ada kekhawatiran kalau Lastri akan meninggalkannya lagi.
"Aku tidak akan pergi, aku akan selalu ada disisimu."

"Itu benar Bayu, Lastri akan selalu ada didekatmu.."
Tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Seorang laki-laki setengah tua sudah berdiri disamping Lastri. Lastri menoleh dan tersipu. Ia berdiri dan mempersilahkan pak Marsudi duduk.

"Bapak.."
"Anakku, bapak tak ingin kehilangan kamu. Kamu anakku satu-satunya. Bapak hanya ingin kamu bahagia. Kalau bahagiaanmu bersama Lastri, bapak akan merestuinya," dan mata tua itu berkaca-kaca, kemudian dipeluknya Bayu.

Dokter yang kemudian datang, memeriksa kembali keadaan Bayu.

"Bapak, kalau keadaan ini stabil, mas Bayu boleh dipindahkan keruang inap, tapi kami akan terus memantau kesehatannya."
"Terimakasih dokter, terimakasih banyak," kata pak Marsudi terharu.
 *

Pak Marsudi yang baru saja menemui dokter dengan bersemangat memilihkan kamar terbaik bagi Bayu.
"Kata dokter, kalau sehari ini normal, Bayu akan segera dipindahkan ke kamar inap. Kamu harus pulang dan mengambil baju-baju untuk Bayu. Biar aku menunggu disini dulu." kata pak Marsudi dengan kegembiraan yang meluap.

Bu Marsudi bersiap untuk pulang, Timan bersedia  mengantarkannya.
Tapi sebelum pulang pak Marsudi menghampirinya.

"Bu, jangan lupa mampir ke toko, belikan baju ganti untuk Lastri, dan semua keperluannya selama disini. Dia kan tidak membawa apapun ketika datang dari desa."
Bu Marsudi mengangguk. Bahagia mendengar suaminya mulai perhatian kepada Lastri.

"Kalau keadaan mas Bayu sudah baik, saya juga akan mengambil mobil saya yang saya tinggalkan dirumah pak lurah. Nanti saya juga akan mengambil baju-baju Lastri dan barang-barang yang masih tertinggal disana," kata Timan.

 "Lastri  bagaimana aku bisa mengambil barang-barangmu?" tanya Timan kepada Lastri yang kebetulan ada diluar karena Bayu masih diperiksa dokter.

"Barang-barang Lastri apa saja sih? Nanti baju dan sebagainya beli saja lagi disini. Nanti kalau Bayu sudah sembuh biar diambilnya sendiri," kata pak Marsudi.

"Jadi merepotkan pak, " kata Lastri.
"Tidak, mengapa kamu bilang begitu? Kamu itu kan calon menantuku, yang juga akan menjadi anakku. Mana ada orang tua merasa repot meenuhi kebutuhan anaknya?"

"Tapi dompet saya hilang entah kemana. Semua surat-surat ATM dan uang tak seberapa..."
"Sudah, nanti diurus, gampang, sekarang rawatlah calon suamimu. Begitu Bayu sembuh, kalian akan menikah." kata pak Marsudi bersungguh-sungguh.

Latri tertunduk, terharu. Badai di keluarga Marsudi telah berlalu. Bu Marsudi menatap Lastri dan tersenyum bahagia.

 "Terimakasih bapak," bisik Lastri sambil terisak.

Duuh, mengapa Lastri gampang sekali menangis sih? Tapi sungguh Lastri tak bisa menahannya, ketika sedih, ketika bahagia, air matanya tak mau berhenti mengalir.. Cengengkah Lastri? Tidak, Lastri adalah seorang perempuan perkasa yang tak takut menghadapi apapun. Rela berkorban untuk siapapun, manis budi dan karenanya disukai banyak orang.
*

Malam itu mBah Kliwon sedang menitipkan semua uang penjualan sayur kepada bu lurah Marni, ketika Timan datang.
Melihar wajah yang berseri, mereka yakin bahwa Timan pasti membawa kabar baik.

"Bagaimana Lastri dan kekasihnya mas?" tanya Marni tak sabar lagi.
"Baik, bu lurah, mas Bayu juga sudah sadar walau belum banyak bicara."
Semua yang hadir menarik nafas lega.

"Benar-benar luar biasa Lastri itu,  dia juga bisa menyembuhkan seorang kekasih yang sakit parah. " kata Marni sambil tersenyum senang.

"Bilang sama Lastri, rumahnya mbah Kliwon yang ngurusin, jangan memikirkan apapun. Semuanya beres," kata mbah Kliwon bersemangat.

"Baiklah pak, nanti saya sampaikan, yang jelas Lastri tampak bahagia, nungguin Bayu tanpa mau beranjak dari sampingnya," ujar Timan lagi.

"Itu kan cinta yang dipendam selama setahun, tapi kami bersyukur, Semoga bapaknya mas Bayu bisa menerima Lastri.

"Syukurlah bapaknya mas Bayu menerima Lastri dengan sangat baik. Ketika saya ingin mengambilkan baju-baju Lastri, beliau bilang bahwa tak usah diambil, beli disana saja berikut semua kebutuhan Lastri."
"Ah, syukurlah mas, senang mendengarnya."

"Oh ya mas, bukankah ada yang menemukan dompet Lastri? Sampai lupa aku, sebentar," Marni bergegas masuk kedalam dan menyerahkan dompet Lastri kepada Timan.

"Tadi sebelum pergi Lastri juga bilang kalau dompetnya hilang. Nanti saya kabari dia supaya tidak memikirkannya lagi." kata Timan.

"Mas Timan mau menginap lagi dirumah Lastri?" tanya mbah Kliwon.
"Saya kira tidak pak, terimakasih banyak, saya harus kembali, karena saya juga punya pekerjaan disana."

"Baiklah mas, yang penting semuanya sudah baik, kami hanya ikut berdo'a semoga mas Bayu segera pulih."
"Aamiin, pak lurah."

Pak Kliwon yang juga berpamit, ditegur oleh Timan.
"Pak, kalau mau pulang mari saya antar sekaliyan."
"Nggak usah nak, saya sama cucu saya kok."

Ketika sampai diluar, Timan melihat seorang gadis sedang duduk disebuah bangku yang kemudian berdiri begitu melihat mbah Kliwon keluar.

"Ini nak, ini cucu saya, si Sri, saya suruh ikut karena dialah yang mencatat semua barang yang datang dan uang yang keluar masuk sejak kemarin. Lha saya kan buta hurup nak."  katanya sambil terus melangkah sambil menggandeng si Sri.

"Nggak apa-apa pak, mobil saya cukup untuk duduk bertiga kok. Nggak mungkin bapak saya suruh duduk di belakang," kata Timan sambil membukakan pintu mobil.

"Nak Timan, berjalan sebetulnya nggak apa-apa.."
"Sudahlah, kan saya sekalian pulang. Ayo dik, masuklah."

Pak Kliwon menyuruh si Sri masuk lebih dulu, baru dirinya, kemudian Timan duduk dibelakang kemudi. Pak lurah dan Marni melambaikan tangan ketika mobil Timan keluar dari halaman.

"Untung ada bapak yang bisa mengurus semuanya ketika Lastri tak ada."
"Iya nak, sudah biasa membantu. Kalau kerepotan ya si Sri ini saya suruh bantu.

Gadis bernama si Sri, entah siapa lanjutannya, tampak diam dan sedikit kikuk. Sebentar sebentar tangannya tersenggol tangan Timan yang mengoper kopling. Ia menggeser duduknya agak kekiri karena sungkan seakan mengganggu Timan.

"Nggak apa-apa dik," kata Timan sambil melirik kearah gadis disampingnya.

Suasana remang membuat Timan tak bisa menatap gadis itu. Tapi sekilas didepan rumah pak lurah tadi,  Timan sempat meliriknya, dan dalam hati mengatakan, manis. Kulitnya sedikit hitam, rambutnya dikucir kebelakang, panjangnya sepinggang. Timan memaki dirinya sendiri karena membayangkan gadis itu lagi..

Ketika sampai dirumah Lastri, Timan menghentikan mobilnya. mBah Kliwon dan si Sri turun. Tapi Timan ikutan turun. Lampu diteras rumah Lastri sudah menyala. Disitu Timan menatapnya lagi. Gadis itu tersipu. Ketika berpamit, Timan sempat menyalaminya dengan erat.

"Kita belum kenalan kan? Namaku Timan."
Si Sri hanya tertunduk malu. Ia tak perlu mengucapkan namanya karena kakeknya tadi sudah berkali-kali menyebut namanya.

"Pak, lain kali saya boleh kan main kesini lagi?" tanya Timan yang kemudian menyesali ucapannya karena kelihatan sekali dia ingin datang, dan pastinya karena si Sri.

"Pasti nak, silahkan setiap sa'at datang, nanti saya akan merebuskan lagi ketela buat nak Timan," canda mbah Kliwon sambil tertawa.

"Bukankah dik Sri selalu membantu disini?" nah, pertanyaan itu juga disesalinya.  Jangan-jangan mbah Kliwon merasa kalau dirinya tertarik pada cucunya karena ucapan-ucapannya itu.

"Ya nak, dia selalu ada disini, nak Timan belum melihatnya karena waktu itu sudah sore dan si Sri sudah pulang kerumahnya."
"Oh.."

Dan sepanjang perjalanan pulang itu Timan senyum-senyum sendiri.

"Aku sudah gila, apakah aku tertarik pada si Sri? Nanti aku harus minta tolong Lastri agar mengenalkan aku dan dia lebih dekat," gumamnya.
*

Bayu sudah dipindahkan ke ruang inap. Keadaannya semakin membaik. Lastri selalu mendampingi, menyuapkan makan dan melayaninya setiap kali dia membutuhkan sesuatu.

Pagi harinya Timan datang, membawa dompet Lastri yang ditemukan warga dan diserahkan kepada lurah Mardi.

"Syukurlah mas, terimakasih banyak telah membawakan dompetku,"kata Lastri senang.
"Periksa saja isinya, barangkali ada yang tercecer." kata Timan.
"Nggak ada mas, masih lengkap, dan uangnya juga masih utuh," kata Lastri ketika selesai membuka dompetnya.

"Siapa yang menemukannya mas?"
"Karena tadi pak lurah ingatnya tentang dompet ini ketika aku sudah hampir pulang, jadi aku lupa menanyakan siapa yang menemukannya."

"Nanti kalau aku pulang kesana, aku akan menanyakannya dan mengucapkan terimakasih."
"Apa kamu mau pulang ke desa?" tiba-tiba Bayu bertanya, khawatir.
"Iya mas, tapi nanti, kalau mas Bayu sudah sembuh."

"Tapi kembali lagi kemari kan?"
"Iya mas, aku pasti akan kembali. Sudah, jangan difikirkan, aku kan cuma berangan-angan."
"Iya, mas Bayu khawatir amat. Atau besok kalau Lastri pulang, mas Bayu bisa ikut kan?"
"Iya benar," kata Bayu pelan.

Timan segera berpamit karena sudah dua hari meninggalkan rumah.
"Terimakasih, mas Timan, kalau bukan karena mas Timan, saya tak bisa ketemu Lastri lagi," kata Bayu lirih.

"Kalau Tuhan sudah menjodohkan seseorang, biar keujung dunia sekalipun, pasti bisa ketemu. Dan jalan itu pasti ada. Cepatlah sembuh ya mas, lalu main kerumah saya lagi." Kata Timan sambil menyalami Bayu.

Ketika Lastri mengantarnya sampai keluar, Timan ingat akan menanyakan sesuatu.

"Tri, kamu kenal si Sri?" tanyanya pelan.
"Haa, si Sri itu yang suka membantu aku, cucunya mbah Kliwon. Memangnya kenapa? Mas Timan ketemu dia?"

“Semalam dari rumah pak lurah aku mengantar mbah Kliwon sama cucunya itu."
"O.. mas Timan tertarik ya?" goda Lastri.

"Baru ditanya saja langsung menuduh," sungut Timan.
"Bukan menuduh, pertanyaan itu kan menunjukkan bahwa kamu tertarik Tapi si Sri gadis yang baik, aku suka kalau mas Timan mau mendekati dia."

"Pokoknya nanti kalau kamu pulang harus mengabari aku. Aku mau ikut."

Lastri tertawa. Ia melambaikan tangan ketika Timan melangkah keluar dari rumah sakit itu.
*

Seminggu lamanya Bayu dirawat, tapi tekanan darahnya belum normal benar. Cuma saja Bayu sudah mulai bosan.

"Aku ingin pulang," 
"Sabar dulu mas, kalau dokternya sudah mengijinkan, baru mas Bayu boleh pulang."

"Tapi aku sudah sehat, sudah makan banyak, sudah tidak pusing, aku capek,Bolehkah aku duduk?"
"Sebentar,. Tunggu dokternya dulu lah mas."

Ketika sa'atnya dokter visite,  Lastri merasa lega karena Bayu boleh rawat jalan.
"Cuma makan harus diatur. Selalu yang bergizzi tinggi, dan jangan terlalu capai," pesan dokter.

Hari itu juga Bayu pulang, dijemput bapak dan ibunya dengan suka cita.
Walau masih terasa lemas, tapi Bayu selalu bersemangat karena Lastri selalu ada disampingnya.

Pagi itu Bayu sudah makan sendiri. Kesehatannya semakin membaik,  bukan hanya karena obat yang harus diminumnya, tapi karena bahagia bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya.
Setelah makan Bayu minta agar Lastri menemaninya duduk diteras depan.

"Aku kan sudah sembuh ya?"
"Iya, mas Bayu sudah sembuh. Tapi belum pulih benar. Kalau obatnya habis harus kontrol lagi ke dokter."

"Aku terkadang mikir, kamu itu aneh."
"Aneh bagaimana mas?"

"Kamu mau kembali kemari, mengakui bahwa kamu mencintai aku, tapi syaratnya aku harus sakit dulu. Ya kan?"
"Bukan begitu mas, itu bukan syarat, tapi jalan yang harus kita lalui memang begini ini. Mas Bayu bahagia sekarang?"

"Aku ingin kesehatanku segera pulih, lalu kita akan menikah."
Lastri tertunduk malu. Semua ini seperti mimpi baginya.

"Kok diam, apa kamu tidak suka?"
"Aku tidak akan mengatakannya, karena kalau aku mengatakannya nanti pasti aku akan menangis. Menangis bahagia."

"Lastri, tapi aku ingin kamu mengatakannya bahwa kamu mencintai aku."
"Apakah cinta harus diucapkan? Bukankah ini cukup menjadi jawaban?"
"Katakan, aku ingin mendengarnya."

Lastri menghela nafas. Kalau memang cinta, haruskah malu mengatakannya?
"Aku sangat mencintai kamu mas."

Bayu memeluknya, tapi Lastri segera mendorongnya pelan.
"Jangan dulu mas."

"Kamu curang. Waktu aku sakit kamu memeluk-meluk aku seenaknya, mengapa sekarang aku tidak boleh memeluk kamu?"
"Aku tidak sadar waktu itu, aku takut kehilangan kamu."

"Sekarang aku juga takut kehilangan kamu."
"Iih, jangan cari alasan. Tunggulah nanti kalau sudah sa'atnya. Tapi apakah mas Bayu akan terus bercambang seperti itu?"

"Aku jelek ya kalau bercambang begini?"
"Nggak jelek sih, masih tetap ganteng kok."
"Kalau begitu biarlah begini."

"Tapi aku tidak suka rambut gondrong ini."
"Nanti aku potong saja, tapi biar brewok begini ya?"
"Iiih, serem deh."
"Serem atau seneng? Kan kamu bilang aku tetep ganteng."
"Baru sehat sedikit saja sudah genit deh."

Tiba-tiba terdengar mobil berhenti dihalaman. Seseorang turun dari mobil itu, bersama seorang gadis cantik. Begitu dekat, Sapto langsung berteriak.

"Lastri, kamu sudah kembali?" katanya sambil berusaha memeluk Lastri. Tapi belum sampai menyentuhnya, Bayu menghardiknya.

"Eeiit.. jangan main peluk ya, aku saja belum pernah, enak aja."

Tapi Sapto hanya tertawa, digandengnya gadis cantik yang datang bersamanya. Bayu tersenyum. Itu Reni  yang dulu mau dikenalkan dengan dirinya oleh ayahnya.

"Ini Reni, kamu masih ingat kan, Hei, apa yang terjadi dengan wajahmu? Jelek amat, apa ini mode wajah yang dipesan oleh Lastri?" ledek Sapto sambil menarik calon isterinya untuk duduk. Bayu melotot marah, tapi Sapto tak perduli.

"Bayu menyalami Reni.
"Lastri, ini Reni, calon isteriku. Bulan depan kami akan menikah," kata Sapto.

Lastri menyalami Reni dengan ramah. Dalam hati ia berkata, bahwa gadis ini sangat cantik. Inikah yang dulu mau dijodohkan dengan Bayu? Hm, Lastri merasa dirinya kalah jauh dibandingkan dengan Reni. Reni yang modis, dengan rambut ikal sebahu,  bibir tipis dan hidung mancung, mata bening, hm.. apalagi kekurangannya? Toh Bayu menolaknya.

"Kamu nggak bilang kalau kamu sakit. O aku tau, sakit rindu kan, dan ketika Lastri datang lalu kamu sembuh, hmh, akal-akalan kamu ini kan?" Ledek Sapto seenaknya.    Sayang Sapto tidak duduk didepannya, kalau ya, pasti dia sudah menyepak kakinya keras-keras.
*

Dipesta pernikahan Sapto itu, Bayu datang berdua dengan Lastri. Lastri yang sederhana, dengan rambut digelung seperti biasanya, gaun pesta berwarna hijau lumut, dan sepatu dengan hak yang tidak begitu tinggi, justru menarik sebagian tamu yang hadir.

Lastri melingkarkan tangannya dilengan Bayu, dan berjalan dengan langkah-langkah manis, seperti mengikuti alunan musik romantis yang menggema dipesta itu. Mereka seperti melihat seorang pangeran yang sedikit bercambang, gagah, ganteng, dan disampingnya adalah puteri dari kerajaan antah berantah yang cantik dan anggun.

Sebagian besar adalah teman-teman sekolahnya juga, tapi kebanyakan dari mereka tidak mengenali Bayu karena penampilannya yang berbeda. Baru ketika Bayu menyapa mereka, barulah mereka berteriak-teriak heboh sambil menyalaminya.

Didepan mempelai, Bayu berbisik pelan kepada sahabatnya.
"AKU AKAN SEGERA MENYUSUL KAMU"

***** S E K I A N  ******

Sudah tamatkah … ????




*LASTRI  38*

Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada satu bis penuh yang  datang, bersama rombongan pak lurah Mardi.

Ini pestanya Bayu dan Lastri. Pernikahan yang diwarnai oleh gempita bahagia, yang melalui liku peristiwa yang sangat rumit dan panjang dan semula susah dijalani. Tapi bahagia itu akhirnya datang, bagai bintang terburai diantara gemerlap pesta yang digelar oleh keluarga Marsudi.

Timan terus mencari-cari. Ia sudah menyalami pak lurah Mardi dan isterinya, juga bu lurah sepuh yang ikut bersama, lalu beberapa kerabat desa yang dekat dengan Lastri. Lalu mBah Kliwon.

Timan mengamati mbah Kliwon, ada yang dicarinya, dikiri kanannya, atau belakangnya, namun yang dicari tak juga ditemukan.

"Nak Timan..." sapaan mbak Kliwon jurstru membuatnya terkejut, karena dia tak segera menyapanya.

"Eh, pak.. ma'af, selamat datang. Sendiri ?"
"Itu, banyak sekali yang datang bersama."

Timan menebarkan pandangan kesekelilingnya.
"Maksud saya, dik Sri ?"
"Oh... si Sri .. tidak ikut nak, nggak dibolehin sama bapaknya."

Ada yang tiba-tiba hilang dari hatinya. Jadi dia nggak datang. Timan lalu mempersilahkan tamu-tamu duduk ditempat yang sudah disediakan.

Rasa kecewa menyelimuti hatinya, karena yang diharapkan datang ternyata tak  ada. Dilarang oleh bapaknya? Mengapa? Ini kan sebuah pesta, dan anak muda mana yang nggak suka datang kesebuah pesta? Apalagi pesta seapik ini. 

Dst ….
----- ----- ------ -----

Itulah sepenggal cerita lanjutan serial Cerber “Lastri.” 

Cerita sambungan berikutnya tidak lagi mengisahkan perjalanan hidup Lastri yang sudah mencapai kebahagiaan bersama Bayu, namun mengisahkan perjalanan hidup seorang sahabat Lastri.

Meski tokoh dalam cerita lanjutan ini sama, namun temanya berbeda.

Kelanjutan Cerber berikut ini mengangkat tema tentang ‘status’ hidup seseorang dalam tradisi kampong. Karenanya Tien Kumalasari, penulis Cerber ini memberi judul *KEMBANG TITIPAN*.

Silahkan mengikuti Cerber ‘KEMBANG TITIPAN’ berikut ini …..







Tidak ada komentar:

Posting Komentar