Selasa, 28 April 2020

LASTRI (19-20)

*LASTRI  19*

"Bapak, ibu..." sapanya sambil mendekat, lalu mencium tangan ibunya. Tapi ketika giliran mau mencium tangan ayahnya, pak Marsudi menarik tangannya dan memalingkan muka.
Bayu tercekat hatinya. Sudah jelas bapaknya marah.

"Ibu.. kok masih sore sudah sampai rumah?"
"Iya, begitu resepsi selesai lalu kami pamit pulang," jawab bu Marsudi.
"Oh.. pasti pak Darmo ngebut."

"Kamu dari mana ?" tanya bu Marsudi lagi, sementara pak Marsudi duduk tegak tanpa memandangi anaknya, wajahnya muram bagai langit tertutup mendung.

Lastri yang sudah tau apa yang terjadi, kemudian masuk kedalam. Ia menyalami bu Marsudi, tapi seperti kepada Bayu, pak Marsudi tidak mau mengulurkan tangannya. Lastri merasa bakal ada huru hara dirumah ini.
Tapi dia langsung kebelakang, bermaksud membuat minuman untuk para majikan.

"Bapak, ibu, saya minta ma'af , kemarin pulang tanpa pamit. Saya menghawatirkan keadaan rumah. Ada yang punya kunci duplikat dan masuk tanpa permisi," kata Bayu meminta ma'af, tapi secara tidak langsung menyerang ayahnya yang telah memberikan kunci duplikat kepada Sapto.

"Kunci duplikat apa?" tanya bu Marsudi tak mengerti.
Pak Marssudi melotot memandangi Bayu. Kemarahannya memuncak.

"Bagus ya perbuatan kamu. Bisa membuat malu orang tua, pergi begitu saja seperti orang liar!!" kata pak Marsudi tanpa memperdulikan kalimat kunci duplikat yang dilontarkan anaknya, dan juga isterinya.

"Ma'af bapak, itu karena..."
"Itu karena Lastri kan? Lastri itu siapa? Bukan siapa-siapa kamu, bukan kerabat kita, dia hanya seorang pembantu yang dipungut ibumu dari limbah kemiskinan! Dijadikan perempuan kota yang berpendidikan !! Tapi tetap saja dia adalah seorang pembantu, Bayu!!" kata pak Marsudi memotong kata-kata Bayu.

"Pak, jangan begitu," tegur bu Marsudi pelan.
"Jangan begitu apanya? Kata-kata bapak itu benar kan?"

"Maksud ibu, jangan merendahkan orang lain. Itu nggak bagus."
"Ibu, kamu tau bagaimana cara menunjukkan seorang anak kepada jalan yang benar? Kalau dia nekat melangkah, maka kita harus menunjukkan dimana salahnya. Yang bapak katakan itu adalah jalan salah yang ditempuh anakmu."

"Ma'af bapak, memberikan duplikat kunci kepada orang dengan harapan orang ibu bisa merusak sesuatu, apakah itu benar?"

Pak Marsudi langsung berdiri dan menuding kearah wajah Bayu dengan mata garang.
"Kamu berani mencela ayahmu? Berani  melawan ayahmu dan menyerang dengan tuduhan ngawur?"

"Bukan ngawur bapak, ini kuncinya sekarang Bayu bawa," kata Bayu sambil mengulurkan kunci duplikat yang kemarin dikembalikan Sapto kepada Lastri. Sejenak pak Marsudi tak bisa berkata-kata,  Tapi kemarahan rupanya sudah tiba diubun-ubunnya.

"Bayu, kamu memang benar-benar kurangajar!! Sekarang yang penting adalah bapak larang kamu mendekati Lastri, atau bapak usir Lastri dari sini !!" hardiknya keras.

Bukan karena Lastri menguping, tapi karena pembicaraan itu keras, maka Lastri bisa mendengarnya. Dia letakkan nampan berisi minuman yang telah dibuatnya itu diatas meja dapur, langsung lari kekamarnya dan tak ingin mendengarnya lagi.

Bu Marsudi menarik tangan suaminya, memintanya duduk kembali.
"Pak, sabar pak, jangan begitu. Mari kita bicara dengan baik-baik," kata bu Marsudi yang mulai khawatir.

"Tidak bisa bu, kalau Bayu tidak menurut maka bapak harus mengusir Lastri dari sini."
"Bapak, Bayu mohon ma'af, Bayu sangat mencintai Lastri, apapun yang terjadi Bayu harus menikahi Lastri."

"Apa?" Kamu berani menentang ayahmu gara-gara perempuan dusun itu ?"

"Ma'af pak, Bayu akan memperjuangkan cinta Bayu, apapun yang terjadi." kata Bayu yang kemudian berdiri dan melangkah menuju kamarnya.

Pak Marsudi menggebrak meja dengan keras.
"Pak, sabar pak, mari kita bicara baik-baik, jangan kasar begitu."
"Nggak bisa bu, Bayu sudah berani menentang orang tuanya.!!" Ini pasti karena bujukan perempuan desa itu! Atau mungkin dia kena pelet!!!"

"Astaghfirullah bapak, jangan begitu, sabarlah."

Tapi pak Marsudi justru berdiri dan melangkah keluar.

"Mau kemana pak, mobil bapak kan dibawa Darmo karena bapak menyuruhnya menserviskan besok ?"

"Ambilkan kunci kontak mobil Bayu !"
*

Bu Marsudi mengetuk pintu kamar Lastri. Ia khawatir Lastri mendengar kegaduhan yang lumayan membuat miris bagi semua orang. Bu Marsudi berharap Lastri tak mendengarnya.

"Lastri.." panggilnya perlahan. Lastri yang masih berlinangan air mata segera mengusap matanya, mengeringkannya agar bu Marsudi tak melihat bekas tangisnya.

"Lastri..." panggil bu Marsudi lagi.
"Ya bu.." jawab Lastri yang kemudian membuka pintu kamarnya.

"Lastri, kamu menangis?" tak urung bu Marsudi melihat mata memerah yang diyakininya bekas menangis.
"Oh, tidak bu, Lastri tertidur tadi. Ma'af, ibu mau menyuruh apa?"

"Nggak, biarkan aku masuk ya?" kata bu Marsudi yang langsung masuk kekamar Lastri, lalu duduk di satu-satunya kursi yang ada disitu. Lastri duduk ditepi ranjang.
"Ada apa bu?"

"Kamu mendengar tadi bapak bicara?"
Lastri menggeleng. Lebih baik mengatakan tidak mendengar daripada nanti pembicaraan jadi panjang. Tapi bu Marsudi yakin kalau Lastri berbohong.

"Lastri, kamu tau kalau Bayu mencintai kamu ?"
Lastri terkejut. Tiba-tiba saja bu Marsudi menembaknya dengan sasaran yang mematikan.

Lastri tak menjawab apapun, ia justru menundukkan kepala. Tapi sikap itu sudah merupakan jawaban bagi bu Marsudi.

"Apa kamu juga mencintai Bayu?" Ini tembakan kedua kalinya. Lastri bingung menjawabnya. Kalau dia jujur, nanti dikatakan tak tau diri. Kalau mengatakan tidak, bu Marsudi itu orang tua, yang pasti sudah bisa membaca apa yang dirasakannya.

"Lastri, jujurlah dan katakan , aku tidak akan marah kok."

Ada sedikit rasa lega mendengar kata-kata bu Marsudi yang lembut, dan mengatakan bahwa dia tidak akan marah.

"Benarkah ?"

"Kalau itu benar, pantaskah Lastri mengatakannya? Lastri tau diri bu, berkali-kali Lastri mengatakan pada mas Bayu, bahwa Lastri tidak pantas. Mana mungkin orang rendahan seperti Lastri mencintai putera pak Marsudi yang kaya dan terpandang?" Sedikit jawaban Lastri itu menyiratkan bahwa dia mendengar apa yang dikatakan suaminya barusan.

"Bukan masalah Lastri siapa dan Bayu siapa, tapi masalah perasaan kamu itu yang aku ingin tau."

"Tidak bu," itu jawaban bohong Lastri, memang itu yang harus dikatakannya.

Bu Marsudi berdiri dan duduk disamping Lastri, mengelus kepalanya lembut. Gadis ini sangat baik, cantik, santun, dan tau dimana ia harus berdiri, dimana ia harus duduk. Satu saja kekurangannya ialah bahwa dia hanya seorang dusun dan sebatangkara, tak punya derajat dan apalagi harta.

Mendapat elusan tangan majikannya, air mata Lastri berjatuhan. Ada haru yang mengaduk-aduk hatinya karena merasa bahwa bu Marsudi juga sangat mengasihinya. 

"Lastri, memohonlah kepada Tuhan, agar segala cinta akan berlabuh didermaga yang dikehendakinya."
Air mata Lastri semakin deras berderai.
*

Pak Marsudi pernah diberi tau alamat Sapto, tapi persisnya mana, pak Marsudi bingung. Ia sudah sampai dijalan yang dikatakannya. Brig,Jend, Sudiarto, tapi nomornya lupa, sementara jalan itu kan panjang sekali. Juga nggak jelas di barat jalan atau timur jalan. Pak Marsudi memarkir mobilnya ketepi, lalu memutar nomor kontak Sapto. Tapi tidak tersambung. 

"Dimana anak itu, aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa kacau semua rencanaku. Kalau berhasil, aku bisa punya alasan untuk mengusir Lastri, karena dia telah melayani laki-laki didalam rumahku. Tapi mana Sapto, aduuh.. bodoh ternyata dia." gumam pak Marsudi sambil berkali-kali mencoba memutar nomor tilpunnya.

"Tidak nyambung, dan operator mengatakan bahwa nomor yang saya putar salah? Gila, dari kemarin masih bisa mengapa sekarang dibilang salah?" omel pak Marsudi yang masih saja mencoba memutar walau berulang kali tidak berhasil. Pasti tidak bisa dong, kan Sapto sudah mengganti nomor kontaknya?

Pak Marsudi kemudian menjalankan mobilnya pelan, banyak warung-warung makan berderet disepanjang jalan itu, dimana rumah anak bodoh itu?

Lalu pak Marsudi memutar balik mobilnya, mengamati disebelah kiri jalan karena tadi dia mengamati rumah-rumah diseberangnya. Tapi dia juga bingung, karena Sapto juga tak pernah bilang ancar-ancer rumahnya. Hanya keajaiban yang bisa membuatnya menemukan rumah itu.
Hari semakin sore dan remang senja mulai menyapu alam sekitar.

Pak Marsudi yang putus asa hampir memacu mobilnya untuk pulang dan berjanji akan menemuinya dikantor, ketika tiba-tiba dari arah depan sebuah mobil nyelonong masuk kesebuah halaman. Pak Marsudi membelalakkan matanya, apa itu mobilnya Sapto? Sepertinya iya.

Pak Marsudi menghentikan mobilnya, lalu turun dan melongok kehalaman itu. Ditungguinya seseorang turun dari kemudi. Dan senja itu memang keberuntungan pak Marsudi, karena itu benar-benar Sapto.

"Nak Sapto !!!!"
Sapto menoleh, tercekat hatinya ketika melihat siapa yang datang. Sapto sesungguhnya segan menemui, tapi pak Marsudi sudah semakin dekat.

"Disini rupanya rumah nak Sapto?"
"Ada apa pak ?" tanya Sapto tanpa ingin mempersilahkan pak Marsudi duduk terlebih dulu."

"Nak Sapto bagaimana, rencana kita jadi buyar. Bagaimana mungkin nak Sapto tidak bisa menjalankan siasat kita dengan baik?"
"Ma'af pak, saya tidak berani."

"Tidak berani bagaimana ? Nak Sapto kan jagonya menundukkan hati setiap perempuan?"
"Kali ini saya tidak berani pak, saya minta ma'af."

"Aduuh... nak Sapto ini bagaimana, sudah susah-susah saya ambilkan kunci, tinggal masuk dan selesai semuanya. Bagaimana bisa gagal?"
"Saya sudah bilang, saya tidak berani."

"Apa nak Sapto ketemu Bayu lalu dia menghalanginya?"
"Tidak pak, saya tidak ketemu Bayu. Saya hanya bertemu Lastri."

"Nah, gampang kan ?"
"Tidak pak, Lastri bukan perempuan biasa. Saya takluk oleh sikapnya. Saya merasa bersalah, saya merasa bahwa jalan hidup saya salah."

"Apa maksud nak Sapto?"
"Justru ketika ketemu Lastri, menyaksikan sikapnya, kata-katanya, membuat saya sadar akan jalan hidup saya, membuat saya harus memperbaikinya, dan..."

"Bodoh !! Bodoh !!" kata pak Marsudi memotong kata-kata Sapto, lalu membalikkan tubuhnya dengan lunglai.

"Saya sudah menyerahkan kunci duplikat itu pada Lastri !!" kata Sapto agak berteriak karena pak Marsudi sudah berjalan semakin jauh.
 
Sapto menghela nafas, lega setelah menyelesaikan masalahnya dengan pak Marsudi. Dia tak akan kembali lagi karena Sapto tak akan sanggup melakukannya.
*

'Mana mobil Bayu bu?"
"Dipakai bapak, nggak tau mau pergi kemana," kata bu Marsudi menjawab pertanyaan Bayu.

Hari sudah malam, Bayu keluar dari kamar dan ingin pergi entah kemana. Tapi ternyata mobilnya tidak ada.

"Mobil bapak dimana ?"
"Tadi disuruh membawa pak Darmo, besok mau diservis"

"Lastri mana ?"
"Ada dibelakang. Sedang menyiapkan makan malam untuk kita.

"Apa dia mendengar pembicaraan bapak sore tadi?"
"Ya mendengar lah, masa enggak, tapi dia mengatakan bahwa tak mendengar apapun."

"Bapak sungguh keterlaluan. Pasti Lastri merasa sakit hati."
"Ibu sudah menemui dia setelah itu."

"Apa katanya ?"
"Dia merasa tak pantas mencintai kamu. Apa kamu tak ingin mundur ?"

"Cinta Bayu hanya kepada Lastri. Apapun yang terjadi dia akan menjadi isteri Bayu."
"Jalan yang akan kamu tempuh tidak mudah, karena bapak menghalanginya."

"Ibu, saya akan membawa pergi Lastri."
Bu Marsudi terkejut.

"Jangan le, jangan lakukan itu. Itu tidak baik."
"Lalu bagaimana bu, bapak tidak mengijinkan, malah akan mengusir Lastri."

"Pelan-pelan ibu akan bicara, kamu harus bersabar Bayu."

Bayu tidak menjawab, ia langsung kebelakang menemui Lastri yang sedang memasak sayur.
"Lastri.."

Lastri menghentikan kegiatannya mengaduk sayur, dipandanginya Bayu yang sedang mendekat kearahnya. Lastri menghindar, meninggalkan panci berisi sayur yang sudah mulai mendidih.

"Lastri, mengapa menjauh dari aku?"
"Itu harus Lastri lakukan mas, supaya saya tidak dituduh membujuk mas Bayu agar mencintai Lastri."

"Tidak Lastri, kamu tak usah mendengar suara apapun, kamu tutup telinga kamu, tapi terus buka hati kamu untuk aku," kata Bayu setengah bercanda.
Tapi itu tidak lucu menurut Lastri.

Hatinya sudah terkoyak oleh kata-kata seorang priyayi yang merasa tinggi dan tak sebanding dengan dirinya yang tanpa pangkat tanpa derajat.

"Lastri, aku akan membawa kamu pergi dari sini."
"Tidak mas, Lastri tak akan mau. Lastri akan mendapat cacat daan cela kalau itu mas Bayu lakukan. Sudahlah mas, lupakan Lastri. Toh Lastri sudah bilang bahwa Lastri tidak mencintai mas Bayu ?"

"Itu kan kata-kata bibir kamu, tapi tidak demikian dengan hatimu bukan?"
"Mas Bayu jangan nekat, itu membuat saya tersiksa," Lastri mulai terisak.

Bayu mendekat, ingin memeluknya, tapi Lastri menghindar.

"Jangan lakukan mas, Lastri mohon, betapa besarnya cinta Lastri, tak akan bisa meraih bintang gemerlap diatas sana. Lastri menerima apa yang terjadi, jangan sampai semua ternodai oleh kenekatan mas Bayu."

"Lastri.."
"Percayalah bahwa dalam hal ini Lastrilah yang bersalah, Lastrilah yang telah membujuk mas Bayu.Lastri bukan perempuan semacam itu. Lastri tau diri mas, Lastri tak akan menjangkau bulan dengan lengan sependek ini."

Bayu terpaku ditempatnya. Lastri memang bukan perempuan biasa. Ia harus memperjuangkan cintanya. 

Pagi hari itu teh hangat, roti panggang, sudah tersedia diruang tengah. Pak Marsudi,bu Marsudi dan Bayu duduk diam sambil menikmati teh dan roti panggang mereka. Tak sepatah katapun keluar dari bibir mereka.

Pak Marsudi dengan wajah muram segera menelpon pak Darmo.

"Hallo, Darmo, kamu jemput aku saja dulu baru kamu kebengkel ya. Nggak, aku menunggu kamu saja, baiklah, jangan lama-lama." pak Marsudi menutup telephone nya.

"Bapak nggak bareng sama Bayu saja?"
"Nggak, maunya tadinya begitu, tapi lebih baik dijemput Darmo saja," jawabnya kaku.

"Bayu mau berangkat sekarang saja,"kata Bayu sambil berdiri.
"Baiklah,"

Tapi Bayu melangkah kebelakang, ia ingin melihat Lastri, tak perduli wajah ayahnya bertambah muram.

"Lastri... "
Tak ada jawaban. Apa dia ada dikamar mandi?

"Lastri...."
Tapi kamar mandi itu terbuka. Bayu mengetuk pintu kamar Lastri, tapi pintu itu tidak terkunci. Bayu menguakkan pintu itu, Ranjangnya rapi. 

"Lastri..!"
Bayu nekat masuk kedalam, tapi ia tak melihat Lastri. Ia keluar dan berteriak sekerasnya.

"Lastriiiiii !!!"

Bersambung

&&&&&


*LASTRI 20*

Bu Marsudi dan pak Marsudi berdiri, semua menuju kebelakang. Bayu keluar masuk kamar Lastri, melongok kesetiap sudut dan kamar yang ada disana, dengan wajah pucat pasi.

Rupanya Lastri pergi setelah menyiapkan teh hangat dan sarapan bagi majikan-majikannya.

Bayu panik, bu Marsudi berlinangan air mata.

Bagaimanapun setelah berpuluh tahun berkumpul, ada ikatan batin yang mengikat jiwa mereka erat-erat. Kepergiannya membuat pilu dan nyeri.

"Bapak mengusirnya?" tuduh bu Marsudi sambil memandang suaminya dengan mata marah.

"Nggaaaak, kok aku dituduh.. kemarin aku ngomong mau mengusirnya, tapi aku tidak melakukannya. Sumpah !!" kata pak Marsudi meyakinkan.

"Bapak yang membuat ini semua!!" teriak Bayu penuh kesal. 
"Coba cari atau telepon teman-temannya yang kamu tau Yu," kata Bu Marsudi sambil mengusap air matanya.

"Ada satu sahabatnya, tapi Bayu nggak tau nomor kontaknya. Aku mau ke rumah Timan dulu saja. Mungkin dia kesana."

"Baiklah Yu, cari sampai ketemu, bujuk dia supaya mau kembali," kata bu Marsudi.

Sementara itu diluar pak Darmo sudah menunggu. 

"Aku ke kantor dulu, suruh Bayu mencari sampai ketemu," kata pak Marsudi. Entah itu kata hatinya, atau hanya dibibir saja, Bayu tak perduli.

"Aku pergi dulu bu," kata Bayu.
"Kamu sudah menghubungi ponselnya?"
"Tidak aktif. Pastilah dimatikan karena ia ingin pergi."

"Ya, kamu benar."
"Ya sudah bu, Bayu pergi dulu."

Bu Marsudi mengangguk sambil mengusap lagi air matanya. Ia memasuki kamar Lastri, membuka almari, semuanya bersih. Dibawa serta. Kapan dia pergi, tak seorangpun tau. Tapi pastinya belum lama sebelum mereka keluar dan menikmati sarapan pagi buatannya. Bu Marsudi terharu.

Ketika mau pergi juga, Lastri masih ingat untuk membuatkan sarapan pagi buat mereka. Untuk Bayu, roti lapis selai kacang, untuk bu Marsudi, lapis coklat, dan untuk pak Marsudi lapis daging panggang.

Air mata kembali menetes dipipi bu Marsudi. Sesungguhnyalah Lastri akan bisa menjadi isteri yang baik bagi Bayu, tapi mengapa perbedaan derajat harus memisahkannya? 

"Lastri..." bisik bu Marsudi sambil duduk di pembaringan Lastri. 
Ia teringat ketika Lastri masih berpakaian kumuh, menggendong keranjang berisi sayuran, ditawarkan pada dirinya.

"Ibu mau beli ini?" katanya menawarkan.
"Ini sayur dari kebun kamu?"
Lastri kecil mengangguk.

"Berapa harga semuanya?"
"Terserah ibu saja."

"Lho, kok terserah aku, kamu yang jual, kasih harga dong."
Lastri kecil menggeleng.

"Lima ribu?"
Lastri mengangguk.

"Lima ribu untuk beli apa?"
"Beli beras," jawabnya lugu.

"Kamu tinggal dimana ?"
"Disana," Lastri kecil menunjuk kesebuah gubug, tak jauh dari situ.

"Kamu tinggal sama siapa?"
"Sendiri."

Dan bu Marsudi terbelalak. Anak kecil sepuluhan tahun atau lebih itu tinggal sendiri, alangkah menyedihkan.

"Dimana orang tua kamu?"
"Sudah meninggal waktu saya masih kecil,"

"Lalu kamu sendirian?"
"Ikut nenek, tapi nenek juga sudah meninggal sebulan yang lalu."
Trenyuh hati bu Marsudi ketika itu.

"Kamu mau ikut ibu kekota?"
Lastri kecil menatap bingung.

"Ikut aku, nanti sekolah disana..  aku kasih kamu baju bagus. kamar tidur yang bagus.."
Lastri menunduk, memandangi baju kumuhnya. Lalu mengangguk.

Sejak itulah Lastri kecil tumbuh menjadi dewasa bersama keluarganya.
"Dimana kamu Lastri? Akan tinggal bersama siapa kamu nduk?" isak bu Marsudi.
*

Bayu tidak pergi ke kantor, dia kerumah teman Lastri yang dikenalnya, tapi dia tidak tau. Jadi Bayu langsung pergi kerumah Timan. Pasti Timan belum berjualan karena masih sakit.

Tetapi kedatangannya disambut bingung oleh Timan.

"Mas Bayu tidak ke kantor? Mas Bayu tidak usah memikirkan luka saya."
"Mas Timan, Lastri kemari?" tanya Bayu tanpa memperhatikan kata-kata Timan.
Timan justru kaget.

"Mas Bayu mencari Lastri? Apa dia pergi?"
"Dia pergi,... apa dia nggak datang kemari?"
"Nggak tuh, bagaimana ta ini ceritanya. Kemarin kan baik-baik saja? Ayo, duduklah dulu dan ceritakan mas," 

Bayu melangkah masuk dengan wajah lesu.
"Ada apa mas? Apa yang terjadi?"

Bayu kemudian menceritakan semuanya. Bahwa dia mencintai Lastri tapi ditentang oleh ayahnya, lalu ayahnya mengata-ngatai Lastri dan mungkin Lastri mendengarnya.

"Pagi tadi masih membuatkan minum dan sarapan pagi untuk kami. Ketika kami duduk bersama dan sarapan itu ternyata Lastri sudah pergi."

"Jadi dia pergi setelah membuatkan sarapan?"
"Ya, tampaknya belum lama sebelum kami sarapan. Entah kemana dia."

"Mas Bayu mengira Lastri datang kemari?"
"Ya, karena kalian kan sudah bersahabat dekat. Saya pikir Lastri kemari. Saya tadi sudah mencari kerumah temannya, tapi dia tidak tau juga."

"Aduh, mengapa Lastri berbuat senekat itu. Jangan-jangan pulang kedesanya.."
"Ada pikiran kearah sana, tapi kan dia tidak punya siapa-siapa disana?"

"Begini saja mas, mas sabar dulu, nanti barangkali Lastri kemari, saya akan menghubungi mas Bayu. Tinggalkan nomor kontak mas Bayu, saya kan belum punya."

Bayu mengangguk. Diberikannya nomor kontaknya, dan juga dicatatnya nomor Timan, kemudian ditinggalkannya rumah Timan dengan tubuh lunglai.

Timan memandanginya dengan iba. Ia bisa mengerti kalau Lastri pergi, mungkin kata-kata majikannya sangat menyakiti hatinya, lalu dia memilih pergi. Tapi pergi kemana? Ia membuka ponsel dan mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. Timan menghela nafas. Ia berharap Lastri akan datang kepadanya. Bayu sangat baik, dan tampak sangat mencintai Lastri. Timan berharap keduanya bisa bersatu lagi nanti.
*

Bayu terus menyusuri jalanan, terkadang dia berhenti disuatu tempat yang ramai, lalu turun, dan mencari-cari, barangkali ditemukannya sosok yang dicarinya. 

"Lastri, tega sekali kamu meninggalkan aku.." bisiknya, yang kemudian orang yang bersimpangan dengannya menatapnya dengan heran, atau dengan perasaan kasian. Wajah Bayu tampak kuyu. Ketampanan yang dimilikinya pudar oleh duka yang melilitnya.

"Ya Tuhan, aku sangat mencintainya. Jangan jauhkan aku darinya, pertemukan aku dengan dia Tuhan." keluhnya sambil mendongak keatas.

Ia tak perduli kalau beberapa orang menatapnya dan menganggapnya kurang waras.

Siang itu sangat terik, sa'atnya makan siang. Tapi Bayu tak ingin mekan. Ia sedang berjalan menyusuri sebuah gang kecil.. siapa tau dia bisa menemukannya disitu.

Tapi tak ada sosok yang dicarinya. Ia keluar lagi ke jalan besar, bermaksud mengambil mobilnya, ia merasa letih, lapar dan terutama haus.

Ia masuk ke mobilnya, ada sebotol Aqua disana, lalu ditenggaknya untuk membasahi kerongkangannya. Ketika itulah tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Bayu !!"

Bayu menoleh, mencari dari mana datangnya suara itu.
"Ngapain kamu disini? Nggak ada rumah makan enak didaerah ini." sapanya. Ia mengira Bayu sedang mencari rumah makan karena memang sa'atnya makan siang.

"Sapto.."
"Ada apa kamu ini? Wajahmu kucel seperi itu, kamu sakit?"

"Tidak, aku sedang mencari Lastri." jawab Bayu lesu.
"Mencari Lastri? Memangnya dia pergi kemana?"
Bayu menggeleng.

"Apa yang terjadi Bayu ?"
"Lastri pergi dari rumah. Sejak pagi tadi."
"Minggat?"

Bayu memelototi Sapto, kurang suka dengan sebutan "minggat" yang dilontarkan Sapto.

"Ma'af, maksudku.. dia pergi tanpa pamit?"
"Ya,"

"Aku sudah menduga, ini ulah ayahmu."
"Apa? Ulah ayahku?"

"Bukankah sejak lama ayahmu ingin mengusir dia? Ketika ia menyuruh aku  mengganggu dia, maksudnya agar dia bisa mengusir Lastri dari rumah. Dia takut kamu cinta sama Lastri dan kemudian dia  mencari cara untuk menghalanginya."

Bayu menghela nafas. Disandarkannya keningnya pada pintu mobil bertumpu pada kedua tangannya.

"Tadi aku sudah bertanya pada bapak, apakah dia mengusirnya, tapi katanya tidak. Dia bersumpah."

"Kamu percaya kata "sumpah" itu ?"
"Entahlah, tapi tampaknya Lastri pergi tanpa diusir. Dia mendengar ayahku marah-marah, dan kata-kata ayahku pasti menyakiti dia."

"Bayu, aku minta ma'af karena pernah berusaha mengganggu Lastri, tapi sekarang aku sadar. Itulah sebabnya aku mengganti nomor kontak aku. Aku ingin hidup bersih dan melakukan hal-hal baik."

"Aku senang mendengarnya."
"Bagaimana aku bisa membantumu?"
"Entahlah."

"Ayo kita makan dulu, kita cari rumah makan yang enak, lalu kita berbincang supaya hatimu sedikit lapang."
"Tapi aku tidak lapar."

"Biasanya orang yang lagi susah selalu tak punya selera makan. Tapi kamu harus makan, karena kalau tidak, kamu akan jatuh sakit. Ayolah, naik ke mobil aku saja.Siapa tahu dengan berbincang kita bisa menemukan jalan untuk menemukan Lastri."

Bayu menurut. Tubuhnya memang lemah, panas yang menyengatnya, pikiran yang membuat hatinya kusut, membuat ia tak berdaya.

Tapi sampai makan siang itu selesai, Bayu belum menemukan jalan agar bisa ketemu Lastri.
Bayu sudah berdiri dan berniat meninggalkan rumah makan itu ketika tiba-tiba Sapto berteriak.

"Bayu, tunggu. Aku akan mengantar kamu ketempat mobilmu diparkir, jangan jalan sendiri.  Bagaimana kalau kita cari Lastri ke dusun asalnya?"
"Tapi dia tak punya sanak saudara disana."

"Mungkin dia tak akan menemui sanak saudranya. Mungkin hanya ingin pulang ke kampung halamannya. Dia punya rumah disana?"
"Itu ibuku yang tau, dan ibu juga yang tau desa asal Lastri."

"Apa ibumu juga membenci Lastri?"
"Tidak, ibu sangat menyayangi Lastri."

"Kalau begitu besok kita ajak ibumu ke desa asal Lastri. Aku akan mengantar kalian."
"Jangan Sap, kamu kan harus bekerja."

"Tapi kamu kan dalam keadaan kalut seperti itu, bagaimana kalau kamu nggak kuat menyetirnya lalu pingsan dijalan.. lalu...."

"Tapi kamu kan harus bekerja?"
"Aku bisa ijin sehari atau dua hari, nggak masalah. Ayo.. semangat Bayu, kalau dia memang jodohmu pasti kamu bisa menemukan dia."

Semangat Bayu timbul tiba-tiba. Ia bersyukur Sapto telah berubah. 
"Ayo aku antarkan kamu kembali ke mobilmu."
*

Bayu pulang masih dengan wajah kusut. Bu Marsudi yang menunggu diteras sudah bisa menangkap apa yang terjadi. Bayu gagal menemukan Lastri.

"Nggak ketemu Yu?"
Bayu menggeleng.

"Kamu sudah mencari ke tukang buah itu ?"
"Sudah bu, Lastri nggak kesana. Tapi coba Bayu telephone dulu mas Timan, barangkali Lastri kesana siang ini."

Bayu mencoba menelphone Timan, tapi Lastri tidak kerumah Timan.

"Nggak kesana bu. Mungkin pulang ke desa."
"Pulang kedesa?"

"Maukan besok ibu mengantarkan Bayu kedesa Lastri? Bayu belum tau tempatnya, hanya ibu dan bapak yang tau kan?"

"Iya, ibu ingat. Besok kita kesana? Kamu dalam keadaan bingung begitu, nanti kamu nggak kuat, jalannya susah lho, naik turun dan masuk ke desa yang agak terpencil."

"Besok Sapto mau mengantarkan bu."
"Sapto? Bukankah katamu Sapto itu sekongkol dengan ayahmu untuk mengganggu Lastri?"

"Nggak bu, Sapto sudah sadar. Bapak yang belum sadar."
"Baiklah Yu, ibu mau, semoga kita bisa menemukan Lastri disana.
*

Hari sudah sore ketika Lastri duduk disebuah langgar dipinggiran kota. Sebentar lagi matahari akan sembunyi, dan kegelapan akan menyelimuti alam sekitar. Lastri belum tau mau kemana. Ia bingung. Ke rumah Timan, pasti diterima dengan senang hati, tapi tak enak kalau dia kesana.

Timan seorang bujang yang hidup sendiri, dan dia seorang gadis. Mana pantas tinggal serumah? Lagi pula kalau dia kesana, akan mudah bagi Bayu untuk menemukannya. Lalu diajaknya pulang kerumah keluarga Marsudi, lalu akan banyak hal-hal atau suara yang menyakitkan hatinya.

Tidak, lebih baik Lastri pergi, meninggalkan kecintaannya yang sangat dicintai dalam dasar hatnya. Tak pernah ia bermimpi akan bisa menjadi isteri Bayu. Tidak. Mereka bagai bumi dan langit. Lastri sangat tau diri.

Dalam keremangan senja itu tiba-tiba seorang nenek melintas dihadapannya. Ia membawa bakul yang masih berisi sedikit sayuran yang telah layu. Tiba-tiba Lastri teringat pada neneknya. Dulu neneknya juga begitu, menggendong bakul berisi sayuran, dia membantunya menenteng sayuran yang tak muat masuk kedalam bakulnya. Lastri merasa iba, ia ingin membeli sisa syuran itu.

"Nenek," panggil Lastri.
"Neng, memanggil saya?"

"Iya, sayuran itu dijual?"
"Ini sisa sayuran yang tadi nenek jual, sudah layu, jadi nggak laku. "

"Boleh saya beli sisa sayuran itu?"
"Tapi ini sudah layu."

"Nggak apa-apa nenek,  berapa haganya? "
"Terserah neng mau beli berapa, cuma sisa sayur yang nggak laku."

"Segini boleh?" Lastri mengulurkan uang duapuluhan ribu, sementara nenek itu menurunkan bakulnya dan mengeluarkan kangkung tiga atau empat ikat, yang memang sudah layu.
"Kok banyak sekali neng, limaribu juga sudah banyak."

"Nggak apa-apa nek. Rumah nenek dimana?"
"Sudah dekat, setelah sawah ini, nenek sudah sampai dirumah."

"Nenek tinggal sama siapa?"
"Sendiri neng, anak-anak nenek bekerja jauuh dikota. Neng membawa tas besar, memangnya mau pergi kemana?"
"Entahlah nek."

"Lhoh, kok nggak tau mau pergi kemana?"
"Iya, mm.. lagi.. nungguin teman..."

"Oh, ya sudah neng, nenek pulang dulu. Terimakasih banyak sudah dikasih uang."
"Itu kan uang pembelian sayur nek."
"Terlalu banyak, tapi terimakasih ya nak." kata si nenek sambil mengangkat bakulnya yang sudah kosong, ditalikannya lagi ditubuhnya dengan selendang yang dibawanya.

Lastri memandanginya dengan iba. Sudah sangat tua, masih bekerja mencari uang. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Lastri, bagaimana kalau dia menumpang inap dirumah si nenek?'
*


Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar