*LASTRI
19*
"Bapak,
ibu..." sapanya sambil mendekat, lalu mencium tangan ibunya. Tapi ketika
giliran mau mencium tangan ayahnya, pak Marsudi menarik tangannya dan
memalingkan muka.
Bayu tercekat hatinya.
Sudah jelas bapaknya marah.
"Ibu.. kok masih
sore sudah sampai rumah?"
"Iya, begitu
resepsi selesai lalu kami pamit pulang," jawab bu Marsudi.
"Oh.. pasti pak
Darmo ngebut."
"Kamu dari mana
?" tanya bu Marsudi lagi, sementara pak Marsudi duduk tegak tanpa
memandangi anaknya, wajahnya muram bagai langit tertutup mendung.
Lastri yang sudah tau
apa yang terjadi, kemudian masuk kedalam. Ia menyalami bu Marsudi, tapi seperti
kepada Bayu, pak Marsudi tidak mau mengulurkan tangannya. Lastri merasa bakal
ada huru hara dirumah ini.
Tapi dia langsung kebelakang,
bermaksud membuat minuman untuk para majikan.
"Bapak, ibu, saya
minta ma'af , kemarin pulang tanpa pamit. Saya menghawatirkan keadaan rumah.
Ada yang punya kunci duplikat dan masuk tanpa permisi," kata Bayu meminta
ma'af, tapi secara tidak langsung menyerang ayahnya yang telah memberikan kunci
duplikat kepada Sapto.
"Kunci duplikat
apa?" tanya bu Marsudi tak mengerti.
Pak Marssudi melotot
memandangi Bayu. Kemarahannya memuncak.
"Bagus ya perbuatan
kamu. Bisa membuat malu orang tua, pergi begitu saja seperti orang liar!!"
kata pak Marsudi tanpa memperdulikan kalimat kunci duplikat yang dilontarkan
anaknya, dan juga isterinya.
"Ma'af bapak, itu
karena..."
"Itu karena Lastri
kan? Lastri itu siapa? Bukan siapa-siapa kamu, bukan kerabat kita, dia hanya
seorang pembantu yang dipungut ibumu dari limbah kemiskinan! Dijadikan
perempuan kota yang berpendidikan !! Tapi tetap saja dia adalah seorang
pembantu, Bayu!!" kata pak Marsudi memotong kata-kata Bayu.
"Pak, jangan
begitu," tegur bu Marsudi pelan.
"Jangan begitu
apanya? Kata-kata bapak itu benar kan?"
"Maksud ibu, jangan
merendahkan orang lain. Itu nggak bagus."
"Ibu, kamu tau
bagaimana cara menunjukkan seorang anak kepada jalan yang benar? Kalau dia
nekat melangkah, maka kita harus menunjukkan dimana salahnya. Yang bapak
katakan itu adalah jalan salah yang ditempuh anakmu."
"Ma'af bapak,
memberikan duplikat kunci kepada orang dengan harapan orang ibu bisa merusak
sesuatu, apakah itu benar?"
Pak Marsudi langsung
berdiri dan menuding kearah wajah Bayu dengan mata garang.
"Kamu berani
mencela ayahmu? Berani melawan ayahmu dan menyerang dengan tuduhan
ngawur?"
"Bukan ngawur
bapak, ini kuncinya sekarang Bayu bawa," kata Bayu sambil mengulurkan
kunci duplikat yang kemarin dikembalikan Sapto kepada Lastri. Sejenak pak
Marsudi tak bisa berkata-kata, Tapi kemarahan rupanya sudah tiba
diubun-ubunnya.
"Bayu, kamu memang
benar-benar kurangajar!! Sekarang yang penting adalah bapak larang kamu
mendekati Lastri, atau bapak usir Lastri dari sini !!" hardiknya keras.
Bukan karena Lastri
menguping, tapi karena pembicaraan itu keras, maka Lastri bisa mendengarnya.
Dia letakkan nampan berisi minuman yang telah dibuatnya itu diatas meja dapur,
langsung lari kekamarnya dan tak ingin mendengarnya lagi.
Bu Marsudi menarik
tangan suaminya, memintanya duduk kembali.
"Pak, sabar pak,
jangan begitu. Mari kita bicara dengan baik-baik," kata bu Marsudi yang
mulai khawatir.
"Tidak bisa bu,
kalau Bayu tidak menurut maka bapak harus mengusir Lastri dari sini."
"Bapak, Bayu mohon
ma'af, Bayu sangat mencintai Lastri, apapun yang terjadi Bayu harus menikahi
Lastri."
"Apa?" Kamu
berani menentang ayahmu gara-gara perempuan dusun itu ?"
"Ma'af pak, Bayu
akan memperjuangkan cinta Bayu, apapun yang terjadi." kata Bayu yang
kemudian berdiri dan melangkah menuju kamarnya.
Pak Marsudi menggebrak
meja dengan keras.
"Pak, sabar pak, mari
kita bicara baik-baik, jangan kasar begitu."
"Nggak bisa bu,
Bayu sudah berani menentang orang tuanya.!!" Ini pasti karena bujukan
perempuan desa itu! Atau mungkin dia kena pelet!!!"
"Astaghfirullah
bapak, jangan begitu, sabarlah."
Tapi pak Marsudi justru
berdiri dan melangkah keluar.
"Mau kemana pak,
mobil bapak kan dibawa Darmo karena bapak menyuruhnya menserviskan besok
?"
"Ambilkan kunci
kontak mobil Bayu !"
*
Bu Marsudi mengetuk
pintu kamar Lastri. Ia khawatir Lastri mendengar kegaduhan yang lumayan membuat
miris bagi semua orang. Bu Marsudi berharap Lastri tak mendengarnya.
"Lastri.."
panggilnya perlahan. Lastri yang masih berlinangan air mata segera mengusap
matanya, mengeringkannya agar bu Marsudi tak melihat bekas tangisnya.
"Lastri..." panggil
bu Marsudi lagi.
"Ya bu.."
jawab Lastri yang kemudian membuka pintu kamarnya.
"Lastri, kamu
menangis?" tak urung bu Marsudi melihat mata memerah yang diyakininya
bekas menangis.
"Oh, tidak bu,
Lastri tertidur tadi. Ma'af, ibu mau menyuruh apa?"
"Nggak, biarkan aku
masuk ya?" kata bu Marsudi yang langsung masuk kekamar Lastri, lalu duduk
di satu-satunya kursi yang ada disitu. Lastri duduk ditepi ranjang.
"Ada apa bu?"
"Kamu mendengar
tadi bapak bicara?"
Lastri menggeleng. Lebih
baik mengatakan tidak mendengar daripada nanti pembicaraan jadi panjang. Tapi
bu Marsudi yakin kalau Lastri berbohong.
"Lastri, kamu tau
kalau Bayu mencintai kamu ?"
Lastri terkejut.
Tiba-tiba saja bu Marsudi menembaknya dengan sasaran yang mematikan.
Lastri tak menjawab
apapun, ia justru menundukkan kepala. Tapi sikap itu sudah merupakan jawaban
bagi bu Marsudi.
"Apa kamu juga
mencintai Bayu?" Ini tembakan kedua kalinya. Lastri bingung menjawabnya.
Kalau dia jujur, nanti dikatakan tak tau diri. Kalau mengatakan tidak, bu
Marsudi itu orang tua, yang pasti sudah bisa membaca apa yang dirasakannya.
"Lastri, jujurlah
dan katakan , aku tidak akan marah kok."
Ada sedikit rasa lega
mendengar kata-kata bu Marsudi yang lembut, dan mengatakan bahwa dia tidak akan
marah.
"Benarkah ?"
"Kalau itu benar,
pantaskah Lastri mengatakannya? Lastri tau diri bu, berkali-kali Lastri
mengatakan pada mas Bayu, bahwa Lastri tidak pantas. Mana mungkin orang
rendahan seperti Lastri mencintai putera pak Marsudi yang kaya dan
terpandang?" Sedikit jawaban Lastri itu menyiratkan bahwa dia mendengar
apa yang dikatakan suaminya barusan.
"Bukan masalah
Lastri siapa dan Bayu siapa, tapi masalah perasaan kamu itu yang aku ingin
tau."
"Tidak bu,"
itu jawaban bohong Lastri, memang itu yang harus dikatakannya.
Bu Marsudi berdiri dan
duduk disamping Lastri, mengelus kepalanya lembut. Gadis ini sangat baik,
cantik, santun, dan tau dimana ia harus berdiri, dimana ia harus duduk. Satu
saja kekurangannya ialah bahwa dia hanya seorang dusun dan sebatangkara, tak
punya derajat dan apalagi harta.
Mendapat elusan tangan
majikannya, air mata Lastri berjatuhan. Ada haru yang mengaduk-aduk hatinya
karena merasa bahwa bu Marsudi juga sangat mengasihinya.
"Lastri, memohonlah
kepada Tuhan, agar segala cinta akan berlabuh didermaga yang
dikehendakinya."
Air mata Lastri semakin
deras berderai.
*
Pak Marsudi pernah
diberi tau alamat Sapto, tapi persisnya mana, pak Marsudi bingung. Ia sudah
sampai dijalan yang dikatakannya. Brig,Jend, Sudiarto, tapi nomornya lupa, sementara
jalan itu kan panjang sekali. Juga nggak jelas di barat jalan atau timur jalan.
Pak Marsudi memarkir mobilnya ketepi, lalu memutar nomor kontak Sapto. Tapi
tidak tersambung.
"Dimana anak itu,
aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa kacau semua
rencanaku. Kalau berhasil, aku bisa punya alasan untuk mengusir Lastri, karena
dia telah melayani laki-laki didalam rumahku. Tapi mana Sapto, aduuh.. bodoh
ternyata dia." gumam pak Marsudi sambil berkali-kali mencoba memutar nomor
tilpunnya.
"Tidak nyambung,
dan operator mengatakan bahwa nomor yang saya putar salah? Gila, dari kemarin
masih bisa mengapa sekarang dibilang salah?" omel pak Marsudi yang masih
saja mencoba memutar walau berulang kali tidak berhasil. Pasti tidak bisa dong,
kan Sapto sudah mengganti nomor kontaknya?
Pak Marsudi kemudian
menjalankan mobilnya pelan, banyak warung-warung makan berderet disepanjang
jalan itu, dimana rumah anak bodoh itu?
Lalu pak Marsudi memutar
balik mobilnya, mengamati disebelah kiri jalan karena tadi dia mengamati
rumah-rumah diseberangnya. Tapi dia juga bingung, karena Sapto juga tak pernah
bilang ancar-ancer rumahnya. Hanya keajaiban yang bisa membuatnya menemukan
rumah itu.
Hari semakin sore dan
remang senja mulai menyapu alam sekitar.
Pak Marsudi yang putus
asa hampir memacu mobilnya untuk pulang dan berjanji akan menemuinya dikantor,
ketika tiba-tiba dari arah depan sebuah mobil nyelonong masuk kesebuah halaman.
Pak Marsudi membelalakkan matanya, apa itu mobilnya Sapto? Sepertinya iya.
Pak Marsudi menghentikan
mobilnya, lalu turun dan melongok kehalaman itu. Ditungguinya seseorang turun
dari kemudi. Dan senja itu memang keberuntungan pak Marsudi, karena itu
benar-benar Sapto.
"Nak Sapto
!!!!"
Sapto menoleh, tercekat
hatinya ketika melihat siapa yang datang. Sapto sesungguhnya segan menemui,
tapi pak Marsudi sudah semakin dekat.
"Disini rupanya
rumah nak Sapto?"
"Ada apa pak
?" tanya Sapto tanpa ingin mempersilahkan pak Marsudi duduk terlebih
dulu."
"Nak Sapto
bagaimana, rencana kita jadi buyar. Bagaimana mungkin nak Sapto tidak bisa
menjalankan siasat kita dengan baik?"
"Ma'af pak, saya
tidak berani."
"Tidak berani
bagaimana ? Nak Sapto kan jagonya menundukkan hati setiap perempuan?"
"Kali ini saya
tidak berani pak, saya minta ma'af."
"Aduuh... nak Sapto
ini bagaimana, sudah susah-susah saya ambilkan kunci, tinggal masuk dan selesai
semuanya. Bagaimana bisa gagal?"
"Saya sudah bilang,
saya tidak berani."
"Apa nak Sapto
ketemu Bayu lalu dia menghalanginya?"
"Tidak pak, saya
tidak ketemu Bayu. Saya hanya bertemu Lastri."
"Nah, gampang kan
?"
"Tidak pak, Lastri
bukan perempuan biasa. Saya takluk oleh sikapnya. Saya merasa bersalah, saya
merasa bahwa jalan hidup saya salah."
"Apa maksud nak
Sapto?"
"Justru ketika
ketemu Lastri, menyaksikan sikapnya, kata-katanya, membuat saya sadar akan
jalan hidup saya, membuat saya harus memperbaikinya, dan..."
"Bodoh !! Bodoh
!!" kata pak Marsudi memotong kata-kata Sapto, lalu membalikkan tubuhnya
dengan lunglai.
"Saya sudah
menyerahkan kunci duplikat itu pada Lastri !!" kata Sapto agak berteriak
karena pak Marsudi sudah berjalan semakin jauh.
Sapto menghela nafas,
lega setelah menyelesaikan masalahnya dengan pak Marsudi. Dia tak akan kembali
lagi karena Sapto tak akan sanggup melakukannya.
*
'Mana mobil Bayu
bu?"
"Dipakai bapak,
nggak tau mau pergi kemana," kata bu Marsudi menjawab pertanyaan Bayu.
Hari sudah malam, Bayu
keluar dari kamar dan ingin pergi entah kemana. Tapi ternyata mobilnya tidak
ada.
"Mobil bapak dimana
?"
"Tadi disuruh membawa
pak Darmo, besok mau diservis"
"Lastri mana
?"
"Ada dibelakang.
Sedang menyiapkan makan malam untuk kita.
"Apa dia mendengar
pembicaraan bapak sore tadi?"
"Ya mendengar lah,
masa enggak, tapi dia mengatakan bahwa tak mendengar apapun."
"Bapak sungguh
keterlaluan. Pasti Lastri merasa sakit hati."
"Ibu sudah menemui
dia setelah itu."
"Apa katanya
?"
"Dia merasa tak
pantas mencintai kamu. Apa kamu tak ingin mundur ?"
"Cinta Bayu hanya
kepada Lastri. Apapun yang terjadi dia akan menjadi isteri Bayu."
"Jalan yang akan
kamu tempuh tidak mudah, karena bapak menghalanginya."
"Ibu, saya akan
membawa pergi Lastri."
Bu Marsudi terkejut.
"Jangan le, jangan
lakukan itu. Itu tidak baik."
"Lalu bagaimana bu,
bapak tidak mengijinkan, malah akan mengusir Lastri."
"Pelan-pelan ibu
akan bicara, kamu harus bersabar Bayu."
Bayu tidak menjawab, ia
langsung kebelakang menemui Lastri yang sedang memasak sayur.
"Lastri.."
Lastri menghentikan
kegiatannya mengaduk sayur, dipandanginya Bayu yang sedang mendekat kearahnya. Lastri
menghindar, meninggalkan panci berisi sayur yang sudah mulai mendidih.
"Lastri, mengapa
menjauh dari aku?"
"Itu harus Lastri
lakukan mas, supaya saya tidak dituduh membujuk mas Bayu agar mencintai
Lastri."
"Tidak Lastri, kamu
tak usah mendengar suara apapun, kamu tutup telinga kamu, tapi terus buka hati
kamu untuk aku," kata Bayu setengah bercanda.
Tapi itu tidak lucu
menurut Lastri.
Hatinya sudah terkoyak
oleh kata-kata seorang priyayi yang merasa tinggi dan tak sebanding dengan
dirinya yang tanpa pangkat tanpa derajat.
"Lastri, aku akan
membawa kamu pergi dari sini."
"Tidak mas, Lastri
tak akan mau. Lastri akan mendapat cacat daan cela kalau itu mas Bayu lakukan.
Sudahlah mas, lupakan Lastri. Toh Lastri sudah bilang bahwa Lastri tidak
mencintai mas Bayu ?"
"Itu kan kata-kata
bibir kamu, tapi tidak demikian dengan hatimu bukan?"
"Mas Bayu jangan
nekat, itu membuat saya tersiksa," Lastri mulai terisak.
Bayu mendekat, ingin
memeluknya, tapi Lastri menghindar.
"Jangan lakukan
mas, Lastri mohon, betapa besarnya cinta Lastri, tak akan bisa meraih bintang
gemerlap diatas sana. Lastri menerima apa yang terjadi, jangan sampai semua
ternodai oleh kenekatan mas Bayu."
"Lastri.."
"Percayalah bahwa
dalam hal ini Lastrilah yang bersalah, Lastrilah yang telah membujuk mas
Bayu.Lastri bukan perempuan semacam itu. Lastri tau diri mas, Lastri tak akan
menjangkau bulan dengan lengan sependek ini."
Bayu terpaku
ditempatnya. Lastri memang bukan perempuan biasa. Ia harus memperjuangkan
cintanya.
*
Pagi hari itu teh
hangat, roti panggang, sudah tersedia diruang tengah. Pak Marsudi,bu Marsudi
dan Bayu duduk diam sambil menikmati teh dan roti panggang mereka. Tak sepatah
katapun keluar dari bibir mereka.
Pak Marsudi dengan wajah
muram segera menelpon pak Darmo.
"Hallo, Darmo, kamu
jemput aku saja dulu baru kamu kebengkel ya. Nggak, aku menunggu kamu saja,
baiklah, jangan lama-lama." pak Marsudi menutup telephone nya.
"Bapak nggak bareng
sama Bayu saja?"
"Nggak, maunya
tadinya begitu, tapi lebih baik dijemput Darmo saja," jawabnya kaku.
"Bayu mau berangkat
sekarang saja,"kata Bayu sambil berdiri.
"Baiklah,"
Tapi Bayu melangkah
kebelakang, ia ingin melihat Lastri, tak perduli wajah ayahnya bertambah muram.
"Lastri... "
Tak ada jawaban. Apa dia
ada dikamar mandi?
"Lastri...."
Tapi kamar mandi itu
terbuka. Bayu mengetuk pintu kamar Lastri, tapi pintu itu tidak terkunci. Bayu
menguakkan pintu itu, Ranjangnya rapi.
"Lastri..!"
Bayu nekat masuk
kedalam, tapi ia tak melihat Lastri. Ia keluar dan berteriak sekerasnya.
"Lastriiiiii
!!!"
*
Bersambung
&&&&&
*LASTRI
20*
Bu Marsudi dan pak
Marsudi berdiri, semua menuju kebelakang. Bayu keluar masuk kamar Lastri,
melongok kesetiap sudut dan kamar yang ada disana, dengan wajah pucat pasi.
Rupanya Lastri pergi
setelah menyiapkan teh hangat dan sarapan bagi majikan-majikannya.
Bayu panik, bu Marsudi
berlinangan air mata.
Bagaimanapun setelah
berpuluh tahun berkumpul, ada ikatan batin yang mengikat jiwa mereka erat-erat.
Kepergiannya membuat pilu dan nyeri.
"Bapak
mengusirnya?" tuduh bu Marsudi sambil memandang suaminya dengan mata
marah.
"Nggaaaak, kok aku
dituduh.. kemarin aku ngomong mau mengusirnya, tapi aku tidak melakukannya.
Sumpah !!" kata pak Marsudi meyakinkan.
"Bapak yang membuat
ini semua!!" teriak Bayu penuh kesal.
"Coba cari atau
telepon teman-temannya yang kamu tau Yu," kata Bu Marsudi sambil mengusap
air matanya.
"Ada satu
sahabatnya, tapi Bayu nggak tau nomor kontaknya. Aku mau ke rumah Timan dulu
saja. Mungkin dia kesana."
"Baiklah Yu, cari
sampai ketemu, bujuk dia supaya mau kembali," kata bu Marsudi.
Sementara itu diluar pak
Darmo sudah menunggu.
"Aku ke kantor
dulu, suruh Bayu mencari sampai ketemu," kata pak Marsudi. Entah itu kata
hatinya, atau hanya dibibir saja, Bayu tak perduli.
"Aku pergi dulu bu,"
kata Bayu.
"Kamu sudah
menghubungi ponselnya?"
"Tidak aktif.
Pastilah dimatikan karena ia ingin pergi."
"Ya, kamu
benar."
"Ya sudah bu, Bayu
pergi dulu."
Bu Marsudi mengangguk
sambil mengusap lagi air matanya. Ia memasuki kamar Lastri, membuka almari,
semuanya bersih. Dibawa serta. Kapan dia pergi, tak seorangpun tau. Tapi
pastinya belum lama sebelum mereka keluar dan menikmati sarapan pagi buatannya.
Bu Marsudi terharu.
Ketika mau pergi juga,
Lastri masih ingat untuk membuatkan sarapan pagi buat mereka. Untuk Bayu, roti
lapis selai kacang, untuk bu Marsudi, lapis coklat, dan untuk pak Marsudi lapis
daging panggang.
Air mata kembali menetes
dipipi bu Marsudi. Sesungguhnyalah Lastri akan bisa menjadi isteri yang baik
bagi Bayu, tapi mengapa perbedaan derajat harus memisahkannya?
"Lastri..."
bisik bu Marsudi sambil duduk di pembaringan Lastri.
Ia teringat ketika
Lastri masih berpakaian kumuh, menggendong keranjang berisi sayuran, ditawarkan
pada dirinya.
"Ibu mau beli
ini?" katanya menawarkan.
"Ini sayur dari
kebun kamu?"
Lastri kecil mengangguk.
"Berapa harga
semuanya?"
"Terserah ibu
saja."
"Lho, kok terserah
aku, kamu yang jual, kasih harga dong."
Lastri kecil menggeleng.
"Lima ribu?"
Lastri mengangguk.
"Lima ribu untuk
beli apa?"
"Beli beras,"
jawabnya lugu.
"Kamu tinggal
dimana ?"
"Disana," Lastri
kecil menunjuk kesebuah gubug, tak jauh dari situ.
"Kamu tinggal sama
siapa?"
"Sendiri."
Dan bu Marsudi
terbelalak. Anak kecil sepuluhan tahun atau lebih itu tinggal sendiri, alangkah
menyedihkan.
"Dimana orang tua
kamu?"
"Sudah meninggal
waktu saya masih kecil,"
"Lalu kamu
sendirian?"
"Ikut nenek, tapi
nenek juga sudah meninggal sebulan yang lalu."
Trenyuh hati bu Marsudi
ketika itu.
"Kamu mau ikut ibu kekota?"
Lastri kecil menatap
bingung.
"Ikut aku, nanti
sekolah disana.. aku kasih kamu baju bagus. kamar tidur yang
bagus.."
Lastri menunduk, memandangi
baju kumuhnya. Lalu mengangguk.
Sejak itulah Lastri
kecil tumbuh menjadi dewasa bersama keluarganya.
"Dimana kamu
Lastri? Akan tinggal bersama siapa kamu nduk?" isak bu Marsudi.
*
Bayu tidak pergi ke
kantor, dia kerumah teman Lastri yang dikenalnya, tapi dia tidak tau. Jadi Bayu
langsung pergi kerumah Timan. Pasti Timan belum berjualan karena masih sakit.
Tetapi kedatangannya
disambut bingung oleh Timan.
"Mas Bayu tidak ke
kantor? Mas Bayu tidak usah memikirkan luka saya."
"Mas Timan, Lastri kemari?"
tanya Bayu tanpa memperhatikan kata-kata Timan.
Timan justru kaget.
"Mas Bayu mencari
Lastri? Apa dia pergi?"
"Dia pergi,... apa
dia nggak datang kemari?"
"Nggak tuh,
bagaimana ta ini ceritanya. Kemarin kan baik-baik saja? Ayo, duduklah dulu dan ceritakan
mas,"
Bayu melangkah masuk
dengan wajah lesu.
"Ada apa mas? Apa
yang terjadi?"
Bayu kemudian
menceritakan semuanya. Bahwa dia mencintai Lastri tapi ditentang oleh ayahnya,
lalu ayahnya mengata-ngatai Lastri dan mungkin Lastri mendengarnya.
"Pagi tadi masih
membuatkan minum dan sarapan pagi untuk kami. Ketika kami duduk bersama dan
sarapan itu ternyata Lastri sudah pergi."
"Jadi dia pergi
setelah membuatkan sarapan?"
"Ya, tampaknya
belum lama sebelum kami sarapan. Entah kemana dia."
"Mas Bayu mengira
Lastri datang kemari?"
"Ya, karena kalian
kan sudah bersahabat dekat. Saya pikir Lastri kemari. Saya tadi sudah mencari
kerumah temannya, tapi dia tidak tau juga."
"Aduh, mengapa
Lastri berbuat senekat itu. Jangan-jangan pulang kedesanya.."
"Ada pikiran kearah
sana, tapi kan dia tidak punya siapa-siapa disana?"
"Begini saja mas,
mas sabar dulu, nanti barangkali Lastri kemari, saya akan menghubungi mas Bayu.
Tinggalkan nomor kontak mas Bayu, saya kan belum punya."
Bayu mengangguk.
Diberikannya nomor kontaknya, dan juga dicatatnya nomor Timan, kemudian
ditinggalkannya rumah Timan dengan tubuh lunglai.
Timan memandanginya
dengan iba. Ia bisa mengerti kalau Lastri pergi, mungkin kata-kata majikannya
sangat menyakiti hatinya, lalu dia memilih pergi. Tapi pergi kemana? Ia membuka
ponsel dan mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif. Timan menghela
nafas. Ia berharap Lastri akan datang kepadanya. Bayu sangat baik, dan tampak
sangat mencintai Lastri. Timan berharap keduanya bisa bersatu lagi nanti.
*
Bayu terus menyusuri
jalanan, terkadang dia berhenti disuatu tempat yang ramai, lalu turun, dan
mencari-cari, barangkali ditemukannya sosok yang dicarinya.
"Lastri, tega
sekali kamu meninggalkan aku.." bisiknya, yang kemudian orang yang
bersimpangan dengannya menatapnya dengan heran, atau dengan perasaan kasian.
Wajah Bayu tampak kuyu. Ketampanan yang dimilikinya pudar oleh duka yang
melilitnya.
"Ya Tuhan, aku
sangat mencintainya. Jangan jauhkan aku darinya, pertemukan aku dengan dia
Tuhan." keluhnya sambil mendongak keatas.
Ia tak perduli kalau
beberapa orang menatapnya dan menganggapnya kurang waras.
Siang itu sangat terik,
sa'atnya makan siang. Tapi Bayu tak ingin mekan. Ia sedang berjalan menyusuri
sebuah gang kecil.. siapa tau dia bisa menemukannya disitu.
Tapi tak ada sosok yang
dicarinya. Ia keluar lagi ke jalan besar, bermaksud mengambil mobilnya, ia
merasa letih, lapar dan terutama haus.
Ia masuk ke mobilnya,
ada sebotol Aqua disana, lalu ditenggaknya untuk membasahi kerongkangannya.
Ketika itulah tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Bayu !!"
Bayu menoleh, mencari
dari mana datangnya suara itu.
"Ngapain kamu
disini? Nggak ada rumah makan enak didaerah ini." sapanya. Ia mengira Bayu
sedang mencari rumah makan karena memang sa'atnya makan siang.
"Sapto.."
"Ada apa kamu ini?
Wajahmu kucel seperi itu, kamu sakit?"
"Tidak, aku sedang
mencari Lastri." jawab Bayu lesu.
"Mencari Lastri?
Memangnya dia pergi kemana?"
Bayu menggeleng.
"Apa yang terjadi
Bayu ?"
"Lastri pergi dari
rumah. Sejak pagi tadi."
"Minggat?"
Bayu memelototi Sapto,
kurang suka dengan sebutan "minggat" yang dilontarkan Sapto.
"Ma'af, maksudku..
dia pergi tanpa pamit?"
"Ya,"
"Aku sudah menduga,
ini ulah ayahmu."
"Apa? Ulah
ayahku?"
"Bukankah sejak
lama ayahmu ingin mengusir dia? Ketika ia menyuruh aku mengganggu dia,
maksudnya agar dia bisa mengusir Lastri dari rumah. Dia takut kamu cinta sama
Lastri dan kemudian dia mencari cara untuk menghalanginya."
Bayu menghela nafas.
Disandarkannya keningnya pada pintu mobil bertumpu pada kedua tangannya.
"Tadi aku sudah
bertanya pada bapak, apakah dia mengusirnya, tapi katanya tidak. Dia
bersumpah."
"Kamu percaya kata
"sumpah" itu ?"
"Entahlah, tapi
tampaknya Lastri pergi tanpa diusir. Dia mendengar ayahku marah-marah, dan
kata-kata ayahku pasti menyakiti dia."
"Bayu, aku minta
ma'af karena pernah berusaha mengganggu Lastri, tapi sekarang aku sadar. Itulah
sebabnya aku mengganti nomor kontak aku. Aku ingin hidup bersih dan melakukan
hal-hal baik."
"Aku senang
mendengarnya."
"Bagaimana aku bisa
membantumu?"
"Entahlah."
"Ayo kita makan
dulu, kita cari rumah makan yang enak, lalu kita berbincang supaya hatimu
sedikit lapang."
"Tapi aku tidak
lapar."
"Biasanya orang
yang lagi susah selalu tak punya selera makan. Tapi kamu harus makan, karena
kalau tidak, kamu akan jatuh sakit. Ayolah, naik ke mobil aku saja.Siapa tahu
dengan berbincang kita bisa menemukan jalan untuk menemukan Lastri."
Bayu menurut. Tubuhnya
memang lemah, panas yang menyengatnya, pikiran yang membuat hatinya kusut,
membuat ia tak berdaya.
Tapi sampai makan siang
itu selesai, Bayu belum menemukan jalan agar bisa ketemu Lastri.
Bayu sudah berdiri dan
berniat meninggalkan rumah makan itu ketika tiba-tiba Sapto berteriak.
"Bayu, tunggu. Aku
akan mengantar kamu ketempat mobilmu diparkir, jangan jalan sendiri.
Bagaimana kalau kita cari Lastri ke dusun asalnya?"
"Tapi dia tak punya
sanak saudara disana."
"Mungkin dia tak
akan menemui sanak saudranya. Mungkin hanya ingin pulang ke kampung halamannya.
Dia punya rumah disana?"
"Itu ibuku yang
tau, dan ibu juga yang tau desa asal Lastri."
"Apa ibumu juga
membenci Lastri?"
"Tidak, ibu sangat
menyayangi Lastri."
"Kalau begitu besok
kita ajak ibumu ke desa asal Lastri. Aku akan mengantar kalian."
"Jangan Sap, kamu
kan harus bekerja."
"Tapi kamu kan
dalam keadaan kalut seperti itu, bagaimana kalau kamu nggak kuat menyetirnya
lalu pingsan dijalan.. lalu...."
"Tapi kamu kan
harus bekerja?"
"Aku bisa ijin sehari
atau dua hari, nggak masalah. Ayo.. semangat Bayu, kalau dia memang jodohmu
pasti kamu bisa menemukan dia."
Semangat Bayu timbul
tiba-tiba. Ia bersyukur Sapto telah berubah.
"Ayo aku antarkan
kamu kembali ke mobilmu."
*
Bayu pulang masih dengan
wajah kusut. Bu Marsudi yang menunggu diteras sudah bisa menangkap apa yang
terjadi. Bayu gagal menemukan Lastri.
"Nggak ketemu
Yu?"
Bayu menggeleng.
"Kamu sudah mencari
ke tukang buah itu ?"
"Sudah bu, Lastri
nggak kesana. Tapi coba Bayu telephone dulu mas Timan, barangkali Lastri kesana
siang ini."
Bayu mencoba menelphone
Timan, tapi Lastri tidak kerumah Timan.
"Nggak kesana bu.
Mungkin pulang ke desa."
"Pulang
kedesa?"
"Maukan besok ibu
mengantarkan Bayu kedesa Lastri? Bayu belum tau tempatnya, hanya ibu dan bapak
yang tau kan?"
"Iya, ibu ingat.
Besok kita kesana? Kamu dalam keadaan bingung begitu, nanti kamu nggak kuat,
jalannya susah lho, naik turun dan masuk ke desa yang agak terpencil."
"Besok Sapto mau
mengantarkan bu."
"Sapto? Bukankah
katamu Sapto itu sekongkol dengan ayahmu untuk mengganggu Lastri?"
"Nggak bu, Sapto
sudah sadar. Bapak yang belum sadar."
"Baiklah Yu, ibu
mau, semoga kita bisa menemukan Lastri disana.
*
Hari sudah sore ketika
Lastri duduk disebuah langgar dipinggiran kota. Sebentar lagi matahari akan
sembunyi, dan kegelapan akan menyelimuti alam sekitar. Lastri belum tau mau
kemana. Ia bingung. Ke rumah Timan, pasti diterima dengan senang hati, tapi tak
enak kalau dia kesana.
Timan seorang bujang
yang hidup sendiri, dan dia seorang gadis. Mana pantas tinggal serumah? Lagi
pula kalau dia kesana, akan mudah bagi Bayu untuk menemukannya. Lalu diajaknya
pulang kerumah keluarga Marsudi, lalu akan banyak hal-hal atau suara yang
menyakitkan hatinya.
Tidak, lebih baik Lastri
pergi, meninggalkan kecintaannya yang sangat dicintai dalam dasar hatnya. Tak
pernah ia bermimpi akan bisa menjadi isteri Bayu. Tidak. Mereka bagai bumi dan
langit. Lastri sangat tau diri.
Dalam keremangan senja
itu tiba-tiba seorang nenek melintas dihadapannya. Ia membawa bakul yang masih
berisi sedikit sayuran yang telah layu. Tiba-tiba Lastri teringat pada
neneknya. Dulu neneknya juga begitu, menggendong bakul berisi sayuran, dia
membantunya menenteng sayuran yang tak muat masuk kedalam bakulnya. Lastri merasa
iba, ia ingin membeli sisa syuran itu.
"Nenek,"
panggil Lastri.
"Neng, memanggil
saya?"
"Iya, sayuran itu
dijual?"
"Ini sisa sayuran
yang tadi nenek jual, sudah layu, jadi nggak laku. "
"Boleh saya beli
sisa sayuran itu?"
"Tapi ini sudah
layu."
"Nggak apa-apa
nenek, berapa haganya? "
"Terserah neng mau
beli berapa, cuma sisa sayur yang nggak laku."
"Segini
boleh?" Lastri mengulurkan uang duapuluhan ribu, sementara nenek itu
menurunkan bakulnya dan mengeluarkan kangkung tiga atau empat ikat, yang memang
sudah layu.
"Kok banyak sekali
neng, limaribu juga sudah banyak."
"Nggak apa-apa nek.
Rumah nenek dimana?"
"Sudah dekat,
setelah sawah ini, nenek sudah sampai dirumah."
"Nenek tinggal sama
siapa?"
"Sendiri neng,
anak-anak nenek bekerja jauuh dikota. Neng membawa tas besar, memangnya mau
pergi kemana?"
"Entahlah
nek."
"Lhoh, kok nggak
tau mau pergi kemana?"
"Iya, mm.. lagi..
nungguin teman..."
"Oh, ya sudah neng,
nenek pulang dulu. Terimakasih banyak sudah dikasih uang."
"Itu kan uang
pembelian sayur nek."
"Terlalu banyak,
tapi terimakasih ya nak." kata si nenek sambil mengangkat bakulnya yang
sudah kosong, ditalikannya lagi ditubuhnya dengan selendang yang dibawanya.
Lastri memandanginya
dengan iba. Sudah sangat tua, masih bekerja mencari uang. Tiba-tiba terlintas
dalam pikiran Lastri, bagaimana kalau dia menumpang inap dirumah si nenek?'
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar