*LASTRI 11*
Lastri memandangi mobil yang berhenti persis disampingnya. Lalu ketika
kaca mobil dibuka, terlihatlah wajah seorang laki-laki yang dikenalnya. Teman
Bayu, Sapto. Karena gugup Lastri lalu menerima uang kembalian yang diberikan Timan
, kemudian melanjutkan langkahnya untuk pulang.
"Oh ya mas, terimakasih ya," teriaknya sambil berlalu
kepada Timan yang bengong seperti sapi ompong.
Sapto yang penasaran karena Lastri pergi begitu saja, langsung turun
dari mobil dan mengejarnya.
"Lastri... Lastri," teriak Sapto mengejarnya.
Aduuh, Lastri kesal sekali, tapi kalau dia tidak berhenti maka pasti
dia akan menjadi tontonan banyak orang, jadi akhirnya dia memilih untuk
berhenti.
"Lastri, aduuh, hampir putus nafasku karena mengejar kamu," kata
Sapto sedikit terengah engah.
"Ada apa sih mas, saya lagi tergesa-gesa," jawab Lastri
dengan wajah masam.
"Jangan begitu Lastri, aku kebetulan ada tugas keluar, lalu
tiba-tiba melihat kamu dikejar laki-laki itu, jadi aku berhenti, takutnya ada
yang gangguin kamu."
"Nggak, itu penjual buah mau memberikan kembalian,"
"Kayak maksa, gitu.."
"Nggak kok, saya yang lupa, dan sedang tergesa-gesa. Ma'af
mas," kata Lastri kemudian meneruskan langkahnya.
"Eit, Lastri, tunggu dulu, bawaanmu berat amat, kelihatannya kamu
harus dibantu, sini, aku antar sampai kerumah."
"Ngak usah, terimakasih," dan Lastri terus melangkah.
"Lastri...gimana sih, dibantuin kok Nah, ini biar aku yang bawa,
ayo.. " tiba-tiba saja Sapo sudah merebut tas berisi jeruk yang tampak
berat ditangan Lastri, kemudian sebelah tangannya menarik Lastri, diajaknya
masuk kemobil. Lastri tak bisa menolak. Walau kesal dia mengikuti Sapto yang
kemudian membukakan pintu mobil untuknya.
Lastri duduk terpaku, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Cemberut gitu kok masih tetap cantik ya," goda Sapto.
Lastri memalingkan wajahnya, melihat keluar jendela, memandangi lalu
lalang kendaraan yang hiruk pikuk pada jam-jam sibuk seperti sa'at itu,
sementara mobil Sapto terus melaju kearah rumah keluarga Marsudi.
Tadinya Sapto tidak tertarik lagi pada Lastri setelah mengetahui dia
itu siapa. Tapi melihat penolakan-penolakan Lastri dan sikap menjauh yang
diperlihatkan Lastri, Sapto merasa penasaran. Tiba-tiba ia merasa tertantang
untuk bisa menaklukkan Lastri. Cuma pembantu saja, jual mahal amat sih, batin
Sapto penasaran. Masa pria ganteng seperti dirinya, mapan, memiliki mobil
mewah, sama sekali tidak membuatnya tertarik? Awas kamu Lastri, aku akan terus
mengejarmu,.
Lastri turun dari mobil Sapto begitu sampai didepan gerbang rumah
keluarga Marsudi. Ia mengambil semua belanjaannya.
"Terimakasih banyak sudah memberikan tumpangan," kata Lastri
yang kemudian melangkah memasuki halaman.
Sapto memukul setir mobilnya.
"Sombong amat Lastri !!" Umpatnya sambil menstarter mobilnya
lalu memacunya kencang. Rasa penasaran itu membakar hatinya.
*
"Lastri, beli jeruknya banyak sekali? Tapi bagus-bagus.. "
kata bu Marsudi ketika Lastri menata belanjaannya dimeja dapur. Ia tak
akan mengatakan bahwa tadi menumpang mobil Sapto karena dipaksa. Lastri sungguh
kurang suka pada teman Bayu yang satu itu. Matanya kelewat nakal, dan ia
membencinya.
"Hm, tapi manis nih, seger, pinter kamu milihnya.." lanjut bu
Marsudi sambil mencicipi jeruknya.
"Bu, itu tadi mas Timan, saya bilang beli sekilo, dikasih begitu
banyak. Udah gitu saya kasih uang seratus ribu, dikembalikan yang limapuluh
ribu, maksa-maksa lagi, saya jadi bingung bu."
"Walaah, dikasih murah terus sama dia, jadi nggak enak."
"Saya sudah melarangnya bu, dia nekat.. sudah saya tinggalkan dia
supaya mau mnerima pembayaran saya, tapi dia nekat. Dibayar mau, tapi
dikasihnya barang sebanyak itu."
"Jangan-jangan dia suka sama kamu Tri."
Lastri meletakkan panci yang disiapkannya untuk merebus sayur..
"Ibu ada-ada saja. Kami kan berteman sejak saya masih buta hurup
bu. Ini persahabatan, nggak ada itu cinta."
"Siapa tau Tri."
"Ah, ibu..."
"Kalau benar dia suka sama kamu, apa kamu mau menolaknya?"
"Iya lah.. "
"Dia itu kan ganteng, juragan buah yang sukses."
"Nggak bu, Lastri cuma menganggap mas Timan itu sahabat, atau
kakak. Nggak lebih dari itu."
"Apa kamu sudah punya seseorang yang kamu cintai?"
"Ibu pertanyaannya aneh-aneh saja."
"Kamu kan juga punya teman-teman, mungkin waktu kamu
sekolah..."
"Nggak ada bu..Lastri nggak punya cinta," jawab Lastri sambil
memotong-motong kacang panjang."
"Masa sih, orang nggak punya cinta?"
"Maksud Lastri, nggak ada yang Lastri cintai."
"Kamu itu sudah dewasa lho Tri.. kalau ada yang melamar kamu,
nanti aku yang akan menikahkan kamu."
"Lastri itu siapa bu, hanya orang dusun yang semula buta hurup.
Mana ada yang suka sama Lastri."
"Jangan begitu Tri..apakah orang dusun itu hina? Kamu itu cantik,
pintar, banyak yang akan suka sama kamu."
Lastri tersenyum. Tiba-tiba terbayang wajah majikan ganteng yang selalu
memberinya senyuman manis. Senyuman yang selalu mengetarkan hatinya, dan
membuat dia jatuh cinta. Tapi cinta itu akan dipendamnya dalam2 didasar lubuk
hatinya. Cinta yang tak mungkin terbalas. Cinta yang tak akan bisa membuatnya
bersatu. Tapi dia ikhlas. Sudah cukup baginya walau hanya mengabdi. Lalu senyum
itu membayang kembali, dan.
"Aauuww..." Lastri tiba-tiba menjerit kecil, Tangannya
teriris pisau, dan darah mengucur mmenodai bajunya.
Bu Marsudi terkejut.
"Lastri, mengapa kamu itu? Mengiris kacang kok jadi mengiris
jarimu sendiri."
Lastri berlari ke almari obat.
"Pasti melamun anak itu," gumam bu Marsudi pelan.
*
Siang itu setelah ketika sa'at istirahat .. Lastri ingin merebahkan
tubuhnya sejenak; Tiba-tiba ponselnya berdering. Lastri melirik ponselnya,
barangkali dari Bayu, karena sehari ini Bayu tidak menelpone. Bahkan dia tidak
makan siang dirumah dan tanpa memberi kabar seperti biasanya. Ternyata bukan
Bayu yang menelpone, tapi Timan.
"Hallo.." sapa Lastri.
"Masih sibuk Tri?" tanya Tman dari seberang sana.
Timan selalu mengerti, kapan sa'at Lastri tidak sedang mengerjakan
sesuatu. Maklum hanya pembantu pasti banyak yang harus dikerjakan. Takutnya
mengganggu.
"Nggak mas, baru selesai mencuci piring didapur."
"Aku nggak mengganggu kan?"
"Nggak, ini lagi istirahat. Ada apa mas?"
"Cuma mau nanya, tadi pagi itu, yang ketemu kamu pas kamu keluar
dari pasar, siapa?"
"O, itu mas Sapto, temannya mas Bayu."
"O, jadi kamu sudah kenal?"
"Sudah mas. Ada apa ya?"
"Nggak apa-apa, aku khawatir saja , kelihatannya kamu nggak suka,
takutnya dia mengganggu kamu."
"Iya, aku kurang suka, tapi nggak apa-apa, aku diemin saja. Dia
memaksa mengantar aku sampai kerumah."
"Oh, gitu, tapi kamu nggak di apa-apain kan?"
"Ya enggak mas, mana berani dia" kata Lastri sambil tertawa.
"Ya sudah Tri, istirahat saja, aku mau ke kebun dulu, besok aku
panen jambu."
"Kebunnnya didekat rumah itu kan?"
"Ya, lumayan nggak usah beli, tapi besok harus ditungguin, mungkin
aku kepasar agak siang. Ini baru mau nyari orang yang mau bantuin
memanen."
"Wah, seger ya mas, udara panas begini makan jambu. Jambu apa tuh
mas?"
"Jambu air, memang seger, besok aku bawain."
"Nggak lagi mas, aku nggak mau gratis."
"Ini bukan dari beli, tapi dari kebun sendiri, jadi nggak apa-apa
kalau gratis."
"Huh, nggak apa-apa terus.." gerutu Lastri. Tapi dia senang
Timan memperhatikannya. Bahkan ketika Sapto mengejarnya pagi tadi, Timan juga
melihatnya dan menghawatirkannya.
"Ya udah selamat istirahat Lastri," kata Timan sebelum
menutup ponselnya.
Lastri menaruh ponsel disampingnya, lalu dipejamkannya matanya. Ada
sesuatu yang diharapkannya hari itu, mengapa Bayu tidak menelponnya, bahkan
tidak memberi tau kalau tidak bisa makan siang dirumah. Diraihnya ponselnya,
dan didekapnya didadanya. Ada rindu yang menghentak dadanya. Aduuh, baru tidak
ditelpon sesiang saja mengapa rasa rindu menyelimuti hatinya? Padahal pagi tadi
masih melayaninya, mengantrnya ke mobil dan mendapatkan senyum manisnya.
Didekapnya ponsel itu seperti memeluk kekasih hatinya.
Tiba-tiba ponsel itu berdering, menggetarkan dada dan bahkan seluruh
isi jantungnya, begitu mengetahui siapa yang menelpone. Lastri mengangkatnya,
segera, secepat kilat.
"Hallo mas," jawabnya lembut.
"Lastri, kamu tidur ya?"
"Nggak tuh.."
"Kok suaranya seperti orang bangun tidur?"
"Nggak mas, hanya tiduran, menunggu tipun dari mas Bayu,"
kata Lastri yang kemudian terkejut oleh kata-katanya sendiri, yang seperti
telah lama mengharapkan tilpunnya.
"Jadi kamu menunggu telepone dari aku?"
"Maksudnya mengabari mengapa tadi tidak pulang makan siang
dirumah," kata Lastri memberi alasan. Tapi Bayu sudah terlanjur menangkap
kerinduan dari kata-katanya. Mungkin Bayu hanya mengarang. Tapi tak apa, yang
penting sekarang sudah mendengar suaranya. Masa sih aku salah mengira? Kata
batin Bayu.
"Ada apa mas?"
"Cuma mau bilang, tadi ada tamu sampai sa'at ini baru saja pulag,
jadi aku nggak bisa pulang."
"Oh, nggak apa-apa kok mas, pasti mas Bayu sibuk, tadi ibu juga
bertanya begitu."
"Aku mau menyelesaikan pekerjaan dulu, baru bisa pulang."
"Ya mas, selamat bertugas, " kata Lastri menyembunyikan rasa
bahagianya karena ternyata Bayu masih mengingatnya.
Itu benar, semua harus disembunyikan. Cintanya,
bahagianya,kerinduannya. Bukankah dia tak berhak menerima semuanya karena dia
hanya seorang pembantu? Apa kata dunia kalau ada pembantu mengharapkan cinta
majikannya. Ahaii... tapi salahnya si cinta, dia menghinggapi siapa saja tanpa
pandang bulu. Dan salahnya juga salah satu dari pemilik bulu itu adalah dirinya.
Si miskin yang tak memiliki derajat maupun pangkat. Sedihkah? Tidak bagi
Lastri. Manis dan pahitnya kehidupan telah dirasakannya sejak dia masih
kanak-kanak. Tak mengenal siapa orang tuanya, hidup bersama neneknya yang renta
bernama mbah Surip, yang bisa makan hanya apabila sayur yang tumbuh diladangnya
laku untuk dijual, yang kemudian ketika neneknya itu meninggal, dia
terlunta-lunta sebatang kara.
Untunglah keluarga Marsudi segera mengangkatnya dari lembah penuh
derita itu, lalu menjadikannya seorang Lastri yang elok dipandang, terpelajar
dan pintar. Tapi kini ia harus menahan derita yang lain, derita cinta. Derita
karena cinta yang hanya bisa dipendamnya. Tapi Lastri akan terus bertahan dan
yakin akan bisa.
*
"Bu, kemarin kan belum jadi ke bank, hari ini Bayu akan
pulang siang untuk mengantar Lastri dan ibu," kata Bayu sebelum berangkat
ke kantor. Pak Marsudi selalu berangkat lebih dulu karena kantornya sangat jauh
dipinggiran kota.
"Apa tidak mengganggu kamu Yu, ibu kan bisa naik taksi,"
jawab bu Marsudi.
"Nggak apa-apa bu, hari ini banyak waktu luang."
"Baiklah, nanti setelah masak kami akan ber siap-siap. Bukankah
kamu pulangnya sekalian makan siang dirumah?"
"Nggak bu, setelah dari bank saja Bayu makan dirumah."
"Kalau begitu biar Lastri berangkat ke pasar pagi-pagi, jadi
selesainya tidak kesiangan."
"Biar Lastri berangkat kepasar sekalian saja bersama Bayu."
"Nggak tau Lastri sudah siap atau belum, kayaknya masih sibuk
didapur. Nanti ke kantornya kamu bisa kesiangan.
"Coba Bayu lihat kebelakang dulu," kata Bayu yang segera
berjalan ke belakang.Sebeetulnya Bayu hanya mencari alasan untuk bertemu dengan
Lastri. Ia kan tau kalau Lastri pasti belum selesai dengan pekerjaannya.
"Lastri."
"Eh .. ya mas?" jawab Lastri terkejut karena tak mengira Bayu
akan masuk lagi ke dapur.
"Kamu kepasar sekarang? Bareng aku saja yuk."
"Wah, nggak bisa mas, saya belum selesai cuci piring, dan juga
belum mandi.Nanti mas Bayu kesiangan. Biar nanti Lastri jalan kaki saja, kan
pasarnya nggak begitu jauh."
"Baiklah kalau begitu, nanti setelah masak aku akan pulang untuk
mengantar kamu ke bank, sama ibu."
Lastri hanya mengangguk. Bayu meninggalkan dapur setelah
meninggalkan senyuman yeng membuat Lastri ingin bersenandung. Lagu cinta
barangkali. Ia melanjutkan mencuci piring dan benar-benar bersenandung.
*
Lastri pulang dari pasar dengan membawa oleh-oleh jambu air yang
segar.
"Pasti pemberian Timan? Atau beli?" tanya bu Marsudi.
" Dari mas Timan bu, katanya memanen kebun sendiri."
"Hm, kelihatannya segar dan manis. Aku cobain ya?"
Lastri tersenyum. Bu Marsudi mengambil sebuah jambu yang sudh dicucinya
dan diletakkannya di pinggan wadah buah.
"Hm, manis Tri.. cobalah.."
"Nanti saja bu, ini Lastri tangannya sudah terlanjur memegang
bumbu."
"Ya sudah, selesaikan saja dulu. Oh ya, kemarin kamu kayaknya beli
cabe ya Tri?"
"Iya bu, sudah saya masukkan kulkas, tapi masih ada didalam
plastik bu, belum saya tempatkan di wadahnya."
"Baiklah, aku mau buat sambel, pesanan Bayu tadi."
Bu Marsudi membuka kulkas, dan mengambil sebuah bungkusan
plastik.
"Cabe lagi mahal ya Tri?"
"Mahal bu, kemarin beli seperempat kilo limabelas ribu
rupiah."
"Mau bagaimana lagi Tri, kita yang butuh, jadi ya harus menurut
apa kata penjualnya."
Bu Marsudi membuka bungkusan plastik itu, tapi betapa terkejutnya ketika
ia menemukan sesuatu disana.
"Lho, didalam kresek cabe ini Tri, lihat.. kok ada kaca mata hitam
ini punya siapa?" kata bu Marsudi sambil mengacungkan sebuah kaca mata.
Lastri terkejut. Itu bukan miliknya.
"Apa punya mas Sapto ya?"
"Sapto? Kok bisa kacamata Sapto masuk kedalam bungkusan
cabe?"
*
Bersambung
&&&&&
*LASTRI 12*
Bu Marsudi mengamati kacamata hitam itu dengan seksama.
"Ini kacamata mahal. Bagaimana kacamata nak Sapto bisa berada
dalam tas belanjaan kamu?"
Lastri tidak menceritakan tentang Sapto yang memaksa mengantarnya
kemarin, jadi agak sungkan dia menjawabnya.
"Ma'af bu, kemarin ketika keluar dari pasar, kebetulan mas Sapto
mungkin melihat saya, lalu menghentikan mobilnya. Saya ingin berjalan kaki
pulang, tapi dia memaksa mengantar bu. Ma'af kemarin Lastri nggak cerita so'al
mas Sapto."
"O, mengkin tanpa sengaja kacamata yang dilepas ditaruh
disampingnya, dan kebetulan ada bungkusan cabe disana."
"Mungkin bu, Lastri juga kurang memperhatikan."
"Baiklah, nanti biar Bayu yang mengabarinya, atau mengantarkannya
ke nak Sapto."
"Ma'af kemarin saya lupa bilang bu."kata Lastri takut-takut.
"Nggak apa-apa Tri, kan cuma gara-gara kamu ketemu nak Sapto terus
diantar. Sudah, ayo lanjutin masaknya," kata bu Marsudi yang kemudian
meletakkan kacamata itu dimeja dapur, lalu melanjutkan kegiatan memsak mereka.
Tapi sebelum mereka selesai, tiba-tiba Bayu sudah muncul dan langsung
menuju dapur.
"Belum selesai ya? "
"Sebentar lagi Yu, kamu datangnya kepagian, kan ibu bilang mau
memasak dulu."
"Ya sudah, Bayu tungguin disini, biar semangat memasaknya,"
kata Bayu sambil diduk didepan meja dapur. Tiba-tiba dilihatnya kacamata
itu, lalu diamatinya.
"Ini kacamata siapa? Ibu beli? Atau Lastri?" tanyanya sambil
tersenyum lucu.
"O, iya.. belum sempat ngomong. Itu kacamatanya nak Sapto."
"Sapto? Memangnya dia kemari?" tanya Bayu dengan wajah masam.
"Bukan, kemarin dia mengantar Lastri dari pasar. Mungkin
kacamatanya masuk kedalam belanjaan Lastri dan dia maupun Lastri tidak merasa.
Baru ketika ibu membuka bungkusan cabe, kacamata itu ada didalam tas
kreseknya."
Wajah ganteng itu tiba-tiba keruh.
"Sapto mengantar Lastri pulang dari pasar? Bagaimana
mungkin?" Apa Lastri nggak bisa cari becak?"
"Nanti dulu, ceritanya belum selesai. Kemarin Lastri lupa bilang.
Ayo Tri, ceritakan sambil menumis bumbunya itu."
Lastri memasukkan bumbu kedalam wajan dan menumisnya. Harum bumbu
tercium sedap, memenuhi ruangan dapur. Tapi Bayu yang biasanya berkomentar tak
mengatakan apapun. Ia menunggu Lastri bicara, seperti seorang hakim menunggu
alasan terdakwa ketika telah melakukan kejahatan.Lastri sedikit kecut melihat
sorot mata tak bersahabat itu, tapi diberanikannya untuk bicara.
"Kemarin ketika saya keluar dari pasar, tiba-tiba mas Sapto lewat
dan melihat saya membawa belanjaan yang agak berat. Sebetulnya bukan apa-apa,
kan rumah kita tidak jauh, tapi mas Sapto tiba-tiba turun dan menarik salah
satu tas belanjaan saya, dibawanya ke mobil, jadi saya terpaksa ngikut."
Bayu menatap Lastri tajam, ia tak melihat sesuatu yang harus membuatnya
marah.Dia justru kasihan melihat Lastri bicara dengan suara agak takut.
Tapi dia kesal pada Sapto. Ia seperti memaksa Lastri untuk ikut bersamanya.
Dalam hati dia berjanji akan menegurnya. Oh ya, kacamata ini akan menjadi alasan
untuk memaki-makinya nanti.
"Sapto itu terkadang menjengkelkan, kamu harus hati-hati sama
dia."
Lastri hanya mengangguk.
"Baunya harus sekali, masak apa bu?" Nah, Bayu baru
berkomentar. Bu Marsudi tersenyum.
"Itu pesanan bapak tadi, sambel goreng ati."
"Jadi lapar bu."
"Mau makan dulu? Ya harus menunggu, baru saja ditumis,"
kata bu Marsudi.
"Nggak, nanti aja sepulang dari bank.Masih lama kah?"
"Ya lumayan lah, setengah jaman lagi kurang lebih. Habisnya kamu
pakai meninggalkan kantor segala. Ibu sama Lastri kan bisa sendiri."
"Nggak apa-apa, hari ini banyak waktu luang."
Dan Bayu bersandar di kursi itu, matanya terus menatapLastri yang
sedang sibuk menyelesaikan masakannya. Lastri bukannya tak tau, agak gemetaran
tangannya karena merasa terus diperhatikan.
"Kamu nungguinnya diruang tengah saja, kalau ditungguin malah
nggak selesai-selesai jadinya."
"Nggak bu, disini juga nggak apa-apa, lebih dekat bau masakan kan
lebih enak."
Tapi bu Marsudi tau Bayu terus memperhatikan Lastri. Bu Marsudi
menghela nafas panjang, gundah mengetahui kenekatan anaknya.
*
Sore itu juga sebelum selesai jam kantor Bayu sudah ada di kantor
Sapto. Sapto sedang berkemas untuk pulang, tapi Bayu menahannya.
"Jangan pulang dulu, aku ingin bicara." kata Bayu.
"Serius amat, ada apa ?"
"Ini, aku mau mengembalikan punya kamu. Ini punya kamu
bukan?"Bayu meletakkan kacamata hitam didepan Sapto.
Sapto melihatnya dan terkejut.
"Lhah, kamu menemukannya dimana? Aku kehilangan sejak
kemarin," kata Sapto sambil mengambil kacamata itu dan mengamatinya.
"Ya ampun, baru siang tadi aku beli lagi. Dimana kamu menemukannya
Yu?"lanjutnya.
"Di tas belanjaan Lastri."
"Haa, di tas belanjaan Lastri? Aduuh... aku sama sekali lupa,
bagaimana bisa masuk kesana?"
"Aku ingatkan kamu, jangan sekali-sekali kamu mengganggu adikku."
"Bayu..." dan Sapto tertawa keras.
"Aku tidak berjanda !!"
"Tunggu dulu. Kemarin itu aku mau ke bank, trus kebetulan lewat
pasar dimana sa'at itu Lastri kebetulan juga baru keluar dari pasar itu. Karena
kasihan dia membawa belanjaan berat, aku tawarkan untuk mengantarnya. Cuma itu
kok."
"Sapto, sekali lagi aku ingatkan, jangan mengganggu adikku."
"Bayu, berkali-kali kamu bilang Lastri itu adik kamu, tapi kan
sebetulnya bukan adikmu? Dia hanya seorang pembantu. Ya kan?"
Bayu marah sekali. Kata-kata Sapto membuat darahnya mendidih. Hanya
pembantu, dan itu merendahkan Lastri, Bayu tak bisa terima.
"Lastri bukan hanya pembantu, Lastri sudah menjadi keluarga
dirumahku Sapto, jangan merendahkan dia." tajam kata-kata Bayu, sambil
berdiri dari hadapan Sapto.
"Baiklah, aku minta ma'af. Aku cuma bercanda. Aku tadinya mengira
dia benar-benar adik kamu."
"Darimana kamu mengira dia itu pembantu?"
"Ayah kamu mengatakannya, dan aku juga pernah mendengar dari orang
lain kok."
"Dari bapak? Kapan ketemu bapak?"
"Hanya kebetulan, ketika sama-sama mengisi bahan bakar. Kami
ngobrol sebentar saja."
"Mengapa tiba-tiba membicarakan Lastri?" tanya Bayu masih
dengan berdiri.
"Oh, itu, pak Marsudi mengira aku menyukai Lastri, aku bilang
tidak, aku tidak selera dengan pembantu."
Bayu menggebrak meja Sapto kemudian pergi meninggalkan ruangan
sahabatnya.
Sapto hanya tersenyum kecut.
"Jangan-jangan Bayu sendiri yang suka sama Lastri, lalu pak
Marsudi ingin mencegahnya dengan mencarikan jodoh untuk Lastri," gumam
Sapto sambil melanjutkan mengemasi alat-alat kerjanya.
"Hm, perempuan sombong, kemayu, cuma pembantu saja sok alim. Sok
suci. Awas kamu ya.. pasti ada kesempatan untuk menghancurkan kesombongan kamu,
dan aku hampir yakin pak Marsudi pasti akan membantu," gumamnya lagi
dengan mata berkilat-kilat.
*
"Sudah kamu kembalikan kacamatanya Yu?" tanya bu Marsudi.
"Sudah tadi sepulang dari kantor."
"Memang punya dia kan?"
"Iya, dia malah nggak tau kalau kacamatanya hilang."
"Kacamata siapa?" tanya pak Marsudi yang kebetulan duduk
bersama malam itu.
"Kacamatanya nak Sapto."
"Apa dia kemari?"
"Tidak, Kacamatanya tersangkut di tas belanjaan Lastri." kata
bu Marsudi.
"Kok bisa?"
Bu Marsudi menceritakan dengan singkat tentang kacamata itu,tapi
tiba-tiba ada harapan terbersit dikepala pak Marsudi. Tampaknya Sapto mau
mendekati Lastri. Tak perduli untuk main-main, atau serius, pak Marsudi merasa
bahwa keinginannya akan tercapai. Matanya menatap kearah televisi, tapi
pikirannya melayang kemana-mana.
"Aku ingin kita liburan untuk beberapa hari," tiba-tiba kata
pak Marsudi.
"Liburan kemana pak?" tanya bu Marsudi.
"Kita kan lama nggak rekreasi, mengendapkan pikiran, mencari
ketenangan dan kesenangan. Mungkin ke pantai, atau ketempat yang sejuk, yang
indah pemandangannya."
"Kelihatannya menyenangkan."
"Mana bisa pergi beberapa hari? Apa nggak kerja?"
"Ambil cuti lah, beberapa hari, gitu. Ayo Yu, kapan kamu bisa, aku
ngikut aja waktunya."
"Kita ajak Lastri sekalian kan?" tanya Bayu.
"Lhah, mengapa mengajak Lastri segala? Biar Lastri jaga rumah,
masa rumah dibiarkan kosong?"
Bayu terdiam. Jawaban ayahnya sudah diduganya.
"Ikut ya nggak apa-apa ta pak, biar Lastri juga merasakan
senang."sambung bu Marsudi.
"Nggak bisa bu, kita akan tidur di hotel, masa kita harus
menyewakan hotel untuk Lastri. Lagi pula dia kan harus jaga rumah. Cuma satu
dua hari saja, nanti Lastri kita bawakan oleh-oleh yang dia suka."
Tak ada yang meng iyakan diantara Bayu dan ibunya. Keduanya tidak
setuju kalau Lastri dttinggal dirumah sendirian.
"Aku tunggu kabar kamu Yu, kapan kamu bisa cuti sehari atau dua
hari."
"Belum bisa pastikan pak, kepentingannya hanya rekreasi sih."
"Rekreasi kok hanya, itu penting tau.Masa sehari-hari hanya
memikirkan pekerjaan saja."
"Ya coba nanti, tapi sa'at ini baru banyak pekerjaan
dikantor."
"Makanya bapak tunggu, kapan kamu bisa. Bukan harus
sekarang."
"Lha kalau bapak ingin, ya berdua saja sama ibu kan lebih
bagus."
"Apa? Terus kamu dirumah hanya berdua saja sama Lastri, begitu? Ya
mana pantas itu," kata pak Marsudi sengit.
"Bapak memikirnya yang enggak-enggak sih."
"Bukan yang enggak-enggak. Kita itu orang timur, jangan sampai
melakukan hal-hal yang tidak pantas. Apa kata orang kalau kamu hanya berduaan
sama pembantu. Pokoknya bapak tunggu kabar dari kamu, kapan kamu bisa cuti.
Titik."
*
"Bu, bapak itu aneh bukan? Ingin mengajak rekreasi tapi kesannya
maksa begitu. Kayak Bayu ini anak kecil saja,"keluh Bayu ketika hanya
berdua dengan ibunya.
"Maksudnya supaya kamu juga bisa bersantai sejenak, nggak mikir
pekerjaan terus," kata bu Marsudi.
"Tapi kan Bayu ini juga harus bertanggung jawab pada pekerjaan bu.
Lagian mengapa kalau rekreasi kita dilarang mengajak Lastri?"
"Itu bisa dimengerti. Kan bapak nggak mau kamu dekat-dekat sama
Lastri. Ketika kamu bilang nggak mau ikut saja bapak sudah marah-marah.
Nggak mungkin bapak mengijinkan."
"Bayu tidak suka itu. Lebih baik tidak usah rekreasi."
"Kalau itu kemauan bapakmu, apa bisa kita menolak."
"Bayu kan punya alasan tepat, nggak bisa meninggalkan p-ekerjaan.
Itu cukup kan? Apa ibu ingin? Ibu saja pergi sama bapak."
"Lhah, kamu kan sudah bilang begitu, dan kamu juga sudah mendengar
bagaimana jawaban bapak?"
"Bapak ketakutan kalau Bayu berduaan sama Lastri."
"Tuh kamu tau."
"Bu, sekerang so'al Lastri. Kalau Bayu tetap nggak diijinkan
menikah sama Lastri, lalu bagaimana hidup Bayu ini?"
"Kamu sudah berfikir tentang nikah, mendekati saja dilarang."
"Kalau begitu Bayu akan membawa Lastri pergi dari sini."
"Bayu..." kata bu Marsudi khawatir.
"Bapak harus mengerti, cinta itu tak bisa dihalangi. Bayu akan
memperjuangkan cinta itu bu. Kalau bisa bantulah Bayu."
Bu Marsudi mengelus kepala Bayu dengan penuh kasih sayang.
*
Siang itu, setelah beberapa hari kemudian, dan pak Marsudi sedang makan
bersama dirumah, pak Marsudi kembali bertanya pada Bayu tentang kapan bisanya
cuti.
"Belum bisa pak, pekerjaan masih banyak," jawab Bayu singkat.
"Kalau cuma memikir pekerjaan saja kapan selesainya," gerutu
pak Marsudi.
"Nanti pak, Bayu cari waktu yang baik." jawab Bayu, tapi Bayu
akan terus mencari alasan agar tak bisa berangkat rekreasi bersama bapak
ibunya.
Tiba-tiba dering bel tamu terdengar.
"Lastri, tolong lihat siapa yang datang," kata bu Marsudi
agak keras. Lastri yang berada didapur segera lari keluar.
"Siapa tamunya, siang-siang begini." gumam pak Marsudi.
Tiba-tiba Lastri sudah kembali dengan membawa sepucuk surat.
"Apa itu?" tanya bu Marsudi.
"Cuma tukang pos mengantarkan ini," jawab Lastri yang
kemudian segera berlalu kembali ke dapur. Bu Marsudi mengulurkan surat itu
kepada pak Marsudi yang kemudian membukanya.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar