Minggu, 26 April 2020

Lastri (11-12)


*LASTRI  11*

Lastri memandangi mobil yang berhenti persis disampingnya. Lalu ketika kaca mobil dibuka, terlihatlah wajah seorang laki-laki yang dikenalnya. Teman Bayu, Sapto. Karena gugup Lastri lalu menerima uang kembalian yang diberikan Timan , kemudian melanjutkan langkahnya untuk pulang.

"Oh ya mas, terimakasih ya," teriaknya sambil berlalu  kepada Timan yang bengong seperti sapi ompong.
Sapto yang penasaran karena Lastri pergi begitu saja, langsung turun dari mobil dan mengejarnya.
"Lastri...  Lastri," teriak Sapto mengejarnya.
Aduuh, Lastri kesal sekali, tapi kalau dia tidak berhenti maka pasti dia akan menjadi tontonan banyak orang, jadi akhirnya dia memilih untuk berhenti.

"Lastri, aduuh, hampir putus nafasku karena mengejar kamu," kata Sapto sedikit terengah engah.
"Ada apa sih mas, saya lagi tergesa-gesa," jawab Lastri dengan wajah masam.
"Jangan begitu Lastri, aku kebetulan ada tugas keluar, lalu tiba-tiba melihat kamu dikejar laki-laki itu, jadi aku berhenti, takutnya ada yang gangguin kamu."
"Nggak, itu penjual buah mau memberikan kembalian,"
"Kayak maksa, gitu.."
"Nggak kok, saya yang lupa, dan sedang tergesa-gesa. Ma'af mas," kata Lastri kemudian meneruskan langkahnya.

"Eit, Lastri, tunggu dulu, bawaanmu berat amat, kelihatannya kamu harus dibantu, sini, aku antar sampai kerumah."
"Ngak usah, terimakasih," dan Lastri terus melangkah.
"Lastri...gimana sih, dibantuin kok Nah, ini biar aku yang bawa, ayo.. " tiba-tiba saja Sapo sudah merebut tas berisi jeruk yang tampak berat ditangan Lastri, kemudian sebelah tangannya menarik Lastri, diajaknya masuk kemobil. Lastri tak bisa menolak. Walau kesal dia mengikuti Sapto yang kemudian membukakan pintu mobil untuknya.

Lastri duduk terpaku, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
"Cemberut gitu kok masih tetap cantik ya," goda Sapto.
Lastri memalingkan wajahnya, melihat keluar jendela, memandangi lalu lalang kendaraan yang hiruk pikuk pada jam-jam sibuk seperti sa'at itu, sementara mobil Sapto terus melaju kearah rumah keluarga Marsudi. 

Tadinya Sapto tidak tertarik lagi pada Lastri setelah mengetahui dia itu siapa. Tapi melihat penolakan-penolakan Lastri dan sikap menjauh yang diperlihatkan Lastri, Sapto merasa penasaran. Tiba-tiba ia merasa tertantang untuk bisa menaklukkan Lastri. Cuma pembantu saja, jual mahal amat sih, batin Sapto penasaran. Masa pria ganteng seperti dirinya, mapan, memiliki mobil mewah, sama sekali tidak membuatnya tertarik? Awas kamu Lastri, aku akan terus mengejarmu,.
Lastri turun dari mobil Sapto begitu sampai didepan  gerbang rumah keluarga Marsudi. Ia mengambil semua belanjaannya.

"Terimakasih banyak sudah memberikan tumpangan," kata Lastri yang kemudian melangkah memasuki halaman.
Sapto memukul setir mobilnya.
"Sombong amat Lastri !!" Umpatnya sambil menstarter mobilnya lalu memacunya kencang. Rasa penasaran itu membakar hatinya.
*

"Lastri, beli jeruknya banyak sekali? Tapi bagus-bagus.. " kata bu Marsudi ketika  Lastri menata belanjaannya dimeja dapur. Ia tak akan mengatakan bahwa tadi menumpang mobil Sapto karena dipaksa. Lastri sungguh kurang suka pada teman Bayu yang satu itu. Matanya kelewat nakal, dan ia membencinya.

"Hm, tapi manis nih, seger, pinter kamu milihnya.." lanjut bu Marsudi sambil mencicipi jeruknya.
"Bu, itu tadi mas Timan, saya bilang beli sekilo, dikasih begitu banyak. Udah gitu saya kasih uang seratus ribu, dikembalikan yang limapuluh ribu, maksa-maksa lagi, saya jadi bingung bu."
"Walaah, dikasih murah terus sama dia, jadi nggak enak."
"Saya sudah melarangnya bu, dia nekat.. sudah saya tinggalkan dia supaya mau mnerima pembayaran saya, tapi dia nekat. Dibayar mau, tapi dikasihnya barang sebanyak itu."
"Jangan-jangan dia suka sama kamu Tri." 
Lastri meletakkan panci yang disiapkannya untuk merebus sayur..

"Ibu ada-ada saja. Kami kan berteman sejak saya masih buta hurup bu. Ini persahabatan, nggak ada itu cinta."
"Siapa tau Tri."
"Ah, ibu..."
"Kalau benar dia suka sama kamu, apa kamu mau menolaknya?"
"Iya lah.. "
"Dia itu kan ganteng, juragan buah yang sukses."
"Nggak bu, Lastri cuma menganggap mas Timan itu sahabat, atau kakak. Nggak lebih dari itu."
"Apa kamu sudah punya seseorang yang kamu cintai?"
"Ibu pertanyaannya aneh-aneh saja."

"Kamu kan juga punya teman-teman, mungkin waktu kamu sekolah..."
"Nggak ada bu..Lastri nggak punya cinta," jawab Lastri sambil memotong-motong kacang panjang."
"Masa sih, orang nggak punya cinta?"
"Maksud Lastri, nggak ada yang Lastri cintai."
"Kamu itu sudah dewasa lho Tri.. kalau ada yang melamar kamu, nanti aku yang akan menikahkan kamu."
"Lastri itu siapa bu, hanya orang dusun yang semula buta hurup. Mana ada yang suka sama Lastri."
"Jangan begitu Tri..apakah orang dusun itu hina? Kamu itu cantik, pintar, banyak yang akan suka sama kamu."

Lastri tersenyum. Tiba-tiba terbayang wajah majikan ganteng yang selalu memberinya senyuman manis. Senyuman yang selalu mengetarkan hatinya, dan membuat dia jatuh cinta. Tapi cinta itu akan dipendamnya dalam2 didasar lubuk hatinya. Cinta yang tak mungkin terbalas. Cinta yang tak akan bisa membuatnya bersatu. Tapi dia ikhlas. Sudah cukup baginya walau hanya mengabdi. Lalu senyum itu membayang kembali, dan.
"Aauuww..." Lastri tiba-tiba menjerit kecil, Tangannya teriris pisau, dan darah mengucur mmenodai bajunya.

Bu Marsudi terkejut.
"Lastri, mengapa kamu itu? Mengiris kacang kok jadi mengiris jarimu sendiri."
Lastri berlari ke almari obat.
"Pasti melamun anak itu," gumam bu Marsudi pelan.
  *

Siang itu setelah ketika sa'at istirahat .. Lastri ingin merebahkan tubuhnya sejenak; Tiba-tiba ponselnya berdering. Lastri melirik ponselnya, barangkali dari Bayu, karena sehari ini Bayu tidak menelpone. Bahkan dia tidak makan siang dirumah dan tanpa memberi kabar seperti biasanya. Ternyata bukan Bayu yang menelpone, tapi Timan.

"Hallo.." sapa Lastri.
"Masih sibuk Tri?" tanya Tman dari seberang sana.
Timan selalu mengerti, kapan sa'at Lastri tidak sedang mengerjakan sesuatu. Maklum hanya pembantu pasti banyak yang harus dikerjakan. Takutnya mengganggu.
"Nggak mas, baru selesai mencuci piring didapur."
"Aku nggak mengganggu kan?"
"Nggak, ini lagi istirahat. Ada apa mas?"

"Cuma mau nanya, tadi pagi itu, yang ketemu kamu pas kamu keluar dari pasar, siapa?"
"O, itu mas Sapto, temannya mas Bayu."
"O, jadi kamu sudah kenal?"
"Sudah mas. Ada apa ya?"
"Nggak apa-apa, aku khawatir saja , kelihatannya kamu nggak suka, takutnya dia mengganggu kamu."
"Iya, aku kurang suka, tapi nggak apa-apa, aku diemin saja. Dia memaksa mengantar aku sampai kerumah."
"Oh, gitu, tapi kamu nggak di apa-apain kan?"
"Ya enggak mas, mana berani dia" kata Lastri sambil tertawa.

"Ya sudah Tri, istirahat saja, aku mau ke kebun dulu, besok aku panen jambu."
"Kebunnnya didekat rumah itu kan?"
"Ya, lumayan nggak usah beli, tapi besok harus ditungguin, mungkin aku kepasar agak siang. Ini baru mau nyari orang yang mau bantuin memanen."
"Wah, seger ya mas, udara panas begini makan jambu. Jambu apa tuh mas?"
"Jambu air, memang seger, besok aku bawain."
"Nggak lagi mas, aku nggak mau gratis."
"Ini bukan dari beli, tapi dari kebun sendiri, jadi nggak apa-apa kalau gratis."
"Huh, nggak apa-apa terus.." gerutu Lastri. Tapi dia senang Timan memperhatikannya. Bahkan ketika Sapto mengejarnya pagi tadi, Timan juga melihatnya dan menghawatirkannya.

"Ya udah selamat istirahat Lastri," kata Timan sebelum menutup ponselnya.
Lastri menaruh ponsel disampingnya, lalu dipejamkannya matanya. Ada sesuatu yang diharapkannya hari itu, mengapa Bayu tidak menelponnya, bahkan tidak memberi tau kalau tidak bisa makan siang dirumah. Diraihnya ponselnya, dan didekapnya didadanya. Ada rindu yang menghentak dadanya. Aduuh, baru tidak ditelpon sesiang saja mengapa rasa rindu menyelimuti hatinya? Padahal pagi tadi masih melayaninya, mengantrnya ke mobil dan mendapatkan senyum manisnya. Didekapnya ponsel itu seperti memeluk kekasih hatinya.

Tiba-tiba ponsel itu berdering, menggetarkan dada dan bahkan seluruh isi jantungnya, begitu mengetahui siapa yang menelpone. Lastri mengangkatnya, segera, secepat kilat.
"Hallo mas," jawabnya lembut.
"Lastri, kamu tidur ya?"
"Nggak tuh.."
"Kok suaranya seperti orang bangun tidur?"
"Nggak mas, hanya tiduran, menunggu tipun dari mas Bayu," kata Lastri yang kemudian terkejut oleh kata-katanya sendiri, yang seperti telah lama mengharapkan tilpunnya.

"Jadi kamu menunggu telepone dari aku?"
"Maksudnya mengabari mengapa tadi tidak pulang makan siang dirumah," kata Lastri memberi alasan. Tapi Bayu sudah terlanjur menangkap kerinduan dari kata-katanya. Mungkin Bayu hanya mengarang. Tapi tak apa, yang penting sekarang sudah mendengar suaranya. Masa sih aku salah mengira? Kata batin Bayu.

"Ada apa mas?"
"Cuma mau bilang, tadi ada tamu sampai sa'at ini baru saja pulag, jadi aku nggak bisa pulang."
"Oh, nggak apa-apa kok mas, pasti mas Bayu sibuk, tadi ibu juga bertanya begitu."
"Aku mau menyelesaikan pekerjaan dulu, baru bisa pulang."
"Ya mas, selamat bertugas, " kata Lastri menyembunyikan rasa bahagianya karena ternyata Bayu masih mengingatnya.

Itu benar, semua harus disembunyikan. Cintanya, bahagianya,kerinduannya. Bukankah dia tak berhak menerima semuanya karena dia hanya seorang pembantu? Apa kata dunia kalau ada pembantu mengharapkan cinta majikannya. Ahaii... tapi salahnya si cinta, dia menghinggapi siapa saja tanpa pandang bulu. Dan salahnya juga salah satu dari pemilik bulu itu adalah dirinya. Si miskin yang tak memiliki derajat maupun pangkat. Sedihkah? Tidak bagi Lastri. Manis dan pahitnya kehidupan telah dirasakannya sejak dia masih kanak-kanak. Tak mengenal siapa orang tuanya, hidup bersama neneknya yang renta bernama mbah Surip, yang bisa makan hanya apabila sayur yang tumbuh diladangnya laku untuk dijual, yang kemudian ketika neneknya itu meninggal, dia terlunta-lunta sebatang kara.

Untunglah keluarga Marsudi segera mengangkatnya dari lembah penuh derita itu, lalu menjadikannya seorang Lastri yang elok dipandang, terpelajar dan pintar. Tapi kini ia harus menahan derita yang lain, derita cinta. Derita karena cinta yang hanya bisa dipendamnya. Tapi Lastri akan terus bertahan dan yakin akan bisa.
*


 "Bu, kemarin kan belum jadi ke bank, hari ini Bayu akan pulang siang untuk mengantar Lastri dan ibu," kata Bayu sebelum berangkat ke kantor. Pak Marsudi selalu berangkat lebih dulu karena kantornya sangat jauh dipinggiran kota.
"Apa tidak mengganggu kamu Yu, ibu kan bisa naik taksi," jawab bu Marsudi.
 "Nggak apa-apa bu, hari ini banyak waktu luang."
"Baiklah, nanti setelah masak kami akan ber siap-siap. Bukankah kamu pulangnya sekalian makan siang dirumah?"
"Nggak bu, setelah dari bank saja Bayu makan dirumah."
"Kalau begitu biar Lastri berangkat ke pasar pagi-pagi, jadi selesainya tidak kesiangan."
"Biar Lastri berangkat kepasar sekalian saja bersama Bayu."

"Nggak tau Lastri sudah siap atau belum, kayaknya masih sibuk didapur. Nanti ke kantornya kamu bisa kesiangan.
"Coba Bayu lihat kebelakang dulu," kata Bayu yang segera berjalan ke belakang.Sebeetulnya Bayu hanya mencari alasan untuk bertemu dengan Lastri. Ia kan tau kalau Lastri pasti belum selesai dengan pekerjaannya.

"Lastri."
"Eh .. ya mas?" jawab Lastri terkejut karena tak mengira Bayu akan masuk lagi ke dapur.
"Kamu kepasar sekarang? Bareng aku saja yuk."
"Wah, nggak bisa mas, saya belum selesai cuci piring, dan juga belum mandi.Nanti mas Bayu kesiangan. Biar nanti Lastri jalan kaki saja, kan pasarnya nggak begitu jauh."
"Baiklah kalau begitu, nanti setelah masak aku akan pulang untuk mengantar kamu ke bank, sama ibu."
Lastri hanya mengangguk.  Bayu meninggalkan dapur setelah meninggalkan senyuman yeng membuat Lastri ingin bersenandung. Lagu cinta barangkali. Ia melanjutkan mencuci piring dan benar-benar bersenandung. 
*

Lastri pulang dari pasar dengan membawa oleh-oleh jambu air yang segar. 
"Pasti pemberian Timan? Atau beli?" tanya bu Marsudi.
" Dari mas Timan bu, katanya memanen kebun sendiri."
"Hm, kelihatannya segar dan manis. Aku cobain ya?"
Lastri tersenyum. Bu Marsudi mengambil sebuah jambu yang sudh dicucinya dan diletakkannya di pinggan wadah buah.

"Hm, manis Tri.. cobalah.."
"Nanti saja bu, ini Lastri tangannya sudah terlanjur memegang bumbu."
"Ya sudah, selesaikan saja dulu. Oh ya, kemarin kamu kayaknya beli cabe ya Tri?"
"Iya bu, sudah saya masukkan kulkas, tapi masih ada didalam plastik bu, belum saya tempatkan di wadahnya."
"Baiklah, aku mau buat sambel, pesanan Bayu tadi."
Bu Marsudi membuka kulkas, dan mengambil sebuah bungkusan plastik. 
"Cabe lagi mahal ya Tri?"
"Mahal bu, kemarin beli seperempat kilo limabelas ribu rupiah."
"Mau bagaimana lagi Tri, kita yang butuh, jadi ya harus menurut apa kata penjualnya."

Bu Marsudi membuka bungkusan plastik itu, tapi betapa terkejutnya ketika ia menemukan sesuatu disana.
"Lho, didalam kresek cabe ini Tri, lihat.. kok ada kaca mata hitam ini punya siapa?" kata bu Marsudi sambil mengacungkan sebuah kaca mata.
Lastri terkejut. Itu bukan miliknya. 
"Apa punya mas Sapto ya?"
"Sapto? Kok bisa kacamata Sapto masuk kedalam bungkusan cabe?"
*
Bersambung


&&&&&



*LASTRI  12*

 Bu Marsudi mengamati kacamata hitam itu dengan seksama.
"Ini kacamata mahal. Bagaimana kacamata nak Sapto bisa berada dalam tas belanjaan kamu?"
Lastri tidak menceritakan tentang Sapto yang memaksa mengantarnya kemarin, jadi agak sungkan dia menjawabnya.

"Ma'af bu, kemarin ketika keluar dari pasar, kebetulan mas Sapto mungkin melihat saya, lalu menghentikan mobilnya. Saya ingin berjalan kaki pulang, tapi dia memaksa mengantar bu. Ma'af kemarin Lastri nggak cerita so'al mas Sapto."
"O, mengkin tanpa sengaja kacamata yang dilepas ditaruh disampingnya, dan kebetulan ada bungkusan cabe disana."

"Mungkin bu, Lastri juga kurang memperhatikan."
"Baiklah, nanti biar Bayu yang mengabarinya, atau mengantarkannya ke nak Sapto."
"Ma'af kemarin saya lupa bilang bu."kata Lastri takut-takut.
"Nggak apa-apa Tri, kan cuma gara-gara kamu ketemu nak Sapto terus diantar. Sudah, ayo lanjutin masaknya," kata bu Marsudi yang kemudian meletakkan kacamata itu dimeja dapur, lalu melanjutkan kegiatan memsak mereka.

Tapi sebelum mereka selesai, tiba-tiba Bayu sudah muncul dan langsung menuju dapur.
"Belum selesai ya? "
"Sebentar lagi Yu, kamu datangnya kepagian, kan ibu bilang mau memasak dulu."
"Ya sudah, Bayu tungguin disini, biar semangat memasaknya," kata Bayu sambil diduk didepan meja dapur.  Tiba-tiba dilihatnya kacamata itu, lalu diamatinya.

"Ini kacamata siapa? Ibu beli? Atau Lastri?" tanyanya sambil tersenyum lucu.
"O, iya.. belum sempat ngomong. Itu kacamatanya nak Sapto."
"Sapto? Memangnya dia kemari?" tanya Bayu dengan wajah masam.
"Bukan, kemarin dia mengantar Lastri dari pasar. Mungkin kacamatanya masuk kedalam belanjaan Lastri dan dia maupun Lastri tidak merasa. Baru ketika ibu membuka bungkusan cabe, kacamata itu ada didalam tas kreseknya."
Wajah ganteng itu tiba-tiba keruh.

"Sapto mengantar Lastri pulang dari pasar? Bagaimana mungkin?" Apa Lastri nggak bisa cari becak?"
"Nanti dulu, ceritanya belum selesai. Kemarin Lastri lupa bilang. Ayo Tri, ceritakan sambil menumis bumbunya itu."

Lastri memasukkan bumbu kedalam wajan dan menumisnya. Harum bumbu tercium sedap, memenuhi ruangan dapur. Tapi Bayu yang biasanya berkomentar tak mengatakan apapun. Ia menunggu Lastri bicara, seperti seorang hakim menunggu alasan terdakwa ketika telah melakukan kejahatan.Lastri sedikit kecut melihat sorot mata tak bersahabat itu, tapi diberanikannya untuk bicara.

"Kemarin ketika saya keluar dari pasar, tiba-tiba mas Sapto lewat dan melihat saya membawa belanjaan yang agak berat. Sebetulnya bukan apa-apa, kan rumah kita tidak jauh, tapi mas Sapto tiba-tiba turun dan menarik salah satu tas belanjaan saya, dibawanya ke mobil, jadi saya terpaksa ngikut."

Bayu menatap Lastri tajam, ia tak melihat sesuatu yang harus membuatnya marah.Dia justru kasihan melihat Lastri bicara dengan suara agak takut.  Tapi dia kesal pada Sapto. Ia seperti memaksa Lastri untuk ikut bersamanya. Dalam hati dia berjanji akan menegurnya. Oh ya, kacamata ini akan menjadi alasan untuk memaki-makinya nanti.

"Sapto itu terkadang menjengkelkan, kamu harus hati-hati sama dia."
Lastri hanya mengangguk.
"Baunya harus sekali, masak apa bu?" Nah, Bayu baru berkomentar. Bu Marsudi tersenyum.
"Itu pesanan bapak tadi, sambel goreng ati."
"Jadi lapar bu."
"Mau makan dulu?  Ya harus menunggu, baru saja ditumis," kata bu Marsudi.
"Nggak, nanti aja sepulang dari bank.Masih lama kah?"
"Ya lumayan lah, setengah jaman lagi kurang lebih. Habisnya kamu pakai meninggalkan kantor segala. Ibu sama Lastri kan bisa sendiri."
"Nggak apa-apa, hari ini banyak waktu luang."

Dan Bayu bersandar di kursi itu, matanya terus menatapLastri yang sedang sibuk menyelesaikan masakannya. Lastri bukannya tak tau, agak gemetaran tangannya karena merasa terus diperhatikan.
"Kamu nungguinnya diruang tengah saja, kalau ditungguin malah nggak selesai-selesai jadinya."
"Nggak bu, disini juga nggak apa-apa, lebih dekat bau masakan kan lebih enak."
Tapi bu Marsudi tau Bayu terus memperhatikan Lastri. Bu Marsudi menghela nafas panjang, gundah  mengetahui kenekatan anaknya.
*

Sore itu juga sebelum selesai jam kantor Bayu sudah ada di kantor Sapto. Sapto sedang berkemas untuk pulang, tapi Bayu menahannya.
"Jangan pulang dulu, aku ingin bicara." kata Bayu.
"Serius amat, ada apa ?" 
"Ini, aku mau mengembalikan punya kamu. Ini punya kamu bukan?"Bayu meletakkan kacamata hitam didepan Sapto.

Sapto melihatnya dan terkejut.
"Lhah, kamu menemukannya dimana? Aku kehilangan sejak kemarin," kata Sapto sambil mengambil kacamata itu dan mengamatinya.
"Ya ampun, baru siang tadi aku beli lagi. Dimana kamu menemukannya Yu?"lanjutnya.
"Di tas belanjaan Lastri."
"Haa, di tas belanjaan Lastri? Aduuh... aku sama sekali lupa, bagaimana bisa masuk kesana?"
"Aku ingatkan kamu, jangan sekali-sekali kamu mengganggu adikku."
"Bayu..." dan Sapto tertawa keras.

"Aku tidak berjanda !!"
"Tunggu dulu. Kemarin itu aku mau ke bank, trus kebetulan lewat pasar dimana sa'at itu Lastri kebetulan juga baru keluar dari pasar itu. Karena kasihan dia membawa belanjaan berat, aku tawarkan untuk mengantarnya. Cuma itu kok."
"Sapto, sekali lagi aku ingatkan, jangan mengganggu adikku."
"Bayu, berkali-kali kamu bilang Lastri itu adik kamu, tapi kan sebetulnya bukan adikmu? Dia hanya seorang pembantu. Ya kan?"
Bayu marah sekali. Kata-kata Sapto membuat darahnya mendidih. Hanya pembantu, dan itu merendahkan Lastri, Bayu tak bisa terima.

"Lastri bukan hanya pembantu, Lastri sudah menjadi keluarga dirumahku Sapto, jangan merendahkan dia." tajam kata-kata Bayu, sambil berdiri dari hadapan Sapto.
"Baiklah, aku minta ma'af. Aku cuma bercanda. Aku tadinya mengira dia benar-benar adik kamu."
"Darimana kamu mengira dia itu pembantu?"
"Ayah kamu mengatakannya, dan aku juga pernah mendengar dari orang lain kok."
"Dari bapak? Kapan ketemu bapak?"
"Hanya kebetulan, ketika sama-sama mengisi bahan bakar. Kami ngobrol sebentar saja."
"Mengapa tiba-tiba membicarakan Lastri?" tanya Bayu masih dengan berdiri.
"Oh, itu, pak Marsudi mengira aku menyukai Lastri, aku bilang tidak, aku tidak selera dengan pembantu."

Bayu menggebrak meja Sapto kemudian pergi meninggalkan ruangan sahabatnya.
Sapto hanya tersenyum kecut.
"Jangan-jangan Bayu sendiri yang suka sama Lastri, lalu pak Marsudi ingin mencegahnya dengan mencarikan jodoh untuk Lastri," gumam Sapto sambil melanjutkan mengemasi alat-alat kerjanya.
"Hm, perempuan sombong, kemayu, cuma pembantu saja sok alim. Sok suci. Awas kamu ya.. pasti ada kesempatan untuk menghancurkan kesombongan kamu, dan aku hampir yakin pak Marsudi pasti akan membantu," gumamnya lagi dengan mata berkilat-kilat.
*

"Sudah kamu kembalikan kacamatanya Yu?" tanya bu Marsudi.
"Sudah tadi sepulang dari kantor."
"Memang punya dia kan?"
"Iya, dia malah nggak tau kalau kacamatanya hilang."
"Kacamata siapa?" tanya pak Marsudi yang kebetulan duduk bersama malam itu.
"Kacamatanya nak Sapto."
"Apa dia kemari?"
"Tidak, Kacamatanya tersangkut di tas belanjaan Lastri." kata bu Marsudi.
"Kok bisa?"

Bu Marsudi menceritakan dengan singkat tentang kacamata itu,tapi tiba-tiba ada harapan terbersit dikepala pak Marsudi. Tampaknya Sapto mau mendekati Lastri. Tak perduli untuk main-main, atau serius, pak Marsudi merasa bahwa keinginannya akan tercapai. Matanya menatap kearah televisi, tapi pikirannya melayang kemana-mana.
"Aku ingin kita liburan untuk beberapa hari," tiba-tiba kata pak Marsudi.

"Liburan kemana pak?" tanya bu Marsudi.
"Kita kan lama nggak rekreasi, mengendapkan pikiran, mencari ketenangan dan kesenangan. Mungkin ke pantai, atau ketempat yang sejuk, yang indah pemandangannya."
"Kelihatannya menyenangkan."
"Mana bisa pergi beberapa hari? Apa nggak kerja?"
"Ambil cuti lah, beberapa hari, gitu. Ayo Yu, kapan kamu bisa, aku ngikut aja waktunya."
"Kita ajak Lastri sekalian kan?" tanya Bayu.
"Lhah, mengapa mengajak Lastri segala? Biar Lastri jaga rumah, masa rumah dibiarkan kosong?"
Bayu terdiam. Jawaban ayahnya sudah diduganya. 

"Ikut ya nggak apa-apa ta pak, biar Lastri juga merasakan senang."sambung bu Marsudi.
"Nggak bisa bu, kita akan tidur di hotel, masa kita harus menyewakan hotel untuk Lastri. Lagi pula dia kan harus jaga rumah. Cuma satu dua hari saja, nanti Lastri kita bawakan oleh-oleh yang dia suka."
Tak ada yang meng iyakan diantara Bayu dan ibunya. Keduanya tidak setuju kalau Lastri dttinggal dirumah sendirian. 

"Aku tunggu kabar kamu Yu, kapan kamu bisa cuti sehari atau dua hari."
"Belum bisa pastikan pak, kepentingannya hanya rekreasi sih."
"Rekreasi kok hanya, itu penting tau.Masa sehari-hari hanya memikirkan pekerjaan saja."
"Ya coba nanti, tapi sa'at ini baru banyak pekerjaan dikantor."
"Makanya bapak tunggu, kapan kamu bisa. Bukan harus sekarang."
"Lha kalau bapak ingin, ya berdua saja sama ibu kan lebih bagus."
"Apa? Terus kamu dirumah hanya berdua saja sama Lastri, begitu? Ya mana pantas itu," kata pak Marsudi sengit.

"Bapak memikirnya yang enggak-enggak sih."
"Bukan yang enggak-enggak. Kita itu orang timur, jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak pantas. Apa kata orang kalau kamu hanya berduaan sama pembantu. Pokoknya bapak tunggu kabar dari kamu, kapan kamu bisa cuti. Titik."

"Bu, bapak itu aneh bukan? Ingin mengajak rekreasi tapi kesannya maksa begitu. Kayak Bayu ini anak kecil saja,"keluh Bayu ketika hanya berdua dengan ibunya.
"Maksudnya supaya kamu juga bisa bersantai sejenak, nggak mikir pekerjaan terus," kata  bu Marsudi. 
"Tapi kan Bayu ini juga harus bertanggung jawab pada pekerjaan bu. Lagian mengapa kalau rekreasi kita dilarang mengajak Lastri?"
"Itu bisa dimengerti. Kan bapak nggak mau kamu dekat-dekat sama Lastri. Ketika kamu bilang nggak mau ikut saja bapak sudah  marah-marah. Nggak mungkin bapak mengijinkan."
"Bayu tidak suka itu. Lebih baik tidak usah rekreasi."

"Kalau itu kemauan bapakmu, apa bisa kita menolak."
"Bayu kan punya alasan tepat, nggak bisa meninggalkan p-ekerjaan. Itu cukup kan? Apa ibu ingin? Ibu saja pergi sama bapak."
"Lhah, kamu kan sudah bilang begitu, dan kamu juga sudah mendengar bagaimana jawaban bapak?"
"Bapak ketakutan kalau Bayu berduaan sama Lastri."
"Tuh kamu tau."
"Bu, sekerang so'al Lastri. Kalau Bayu tetap nggak diijinkan menikah sama Lastri, lalu bagaimana hidup Bayu ini?"

"Kamu sudah berfikir tentang nikah, mendekati saja dilarang."
"Kalau begitu Bayu akan membawa Lastri pergi dari sini."
"Bayu..." kata bu Marsudi khawatir.
"Bapak harus mengerti, cinta itu tak bisa dihalangi. Bayu akan memperjuangkan cinta itu bu. Kalau bisa bantulah Bayu."
Bu Marsudi mengelus kepala Bayu dengan penuh kasih sayang. 
*

Siang itu, setelah beberapa hari kemudian, dan pak Marsudi sedang makan bersama dirumah, pak Marsudi kembali bertanya pada Bayu tentang kapan bisanya cuti.
"Belum bisa pak, pekerjaan masih banyak," jawab Bayu singkat.
"Kalau cuma memikir pekerjaan saja kapan selesainya," gerutu pak Marsudi.
"Nanti pak, Bayu cari waktu yang baik." jawab Bayu, tapi Bayu akan terus mencari alasan agar tak bisa berangkat rekreasi bersama bapak ibunya.

Tiba-tiba dering bel tamu terdengar.
"Lastri, tolong lihat siapa yang datang," kata bu Marsudi agak keras. Lastri yang berada didapur segera lari keluar.
"Siapa tamunya, siang-siang begini." gumam pak Marsudi.
Tiba-tiba Lastri sudah kembali dengan membawa sepucuk surat.
"Apa itu?" tanya bu Marsudi.
"Cuma tukang pos mengantarkan ini," jawab Lastri yang kemudian segera berlalu kembali ke dapur. Bu Marsudi mengulurkan surat itu kepada pak Marsudi yang kemudian membukanya.
*
Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar