*LASTRI 03*
Diseberang,
Sapto yang biasanya bicara penuh canda, kali ini tidak. Tak ada tawa.
"Aku
serius bro !!"
"Sudah,
aku mau tidur nih." kata Bayu yang kemudian menutup telephonenya.
Tapi
tak lama kemudian telephone berdering kembali. Dari Sapto lagi, bayu tak mau
mengangkatnya.
"Bayu,
kenapa nggak diangkat?"
"Nggak
apa-apa bapak, dari Sapto, cuma ngajakin bercanda." jawab Bayu sambil
melangkah masuk kedalam.
"Sudah
malam, sebaiknya bapak tidur."
"Ya
baiklah, tapi ingat kata-kata bapak tadi."
"Yang
mana pak? Witing trisna jalaran saka kulina?" lalu Bayu tertawa dan
menghilang dibalik pintu.
"Hm,
anak itu, diajak serius malah bercanda,"gumam pak Marsudi sambil mengikuti
masuk kedalam.
Ditengah
pintu pak Marsudi bertemu Lastri yang membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
"Lho,
kamu kok bawa-bawa kopi?"
"Saya
kira bapak sama mas Bayu masih duduk-duduk diteras, ibu menyuruh membuatkan
kopi."
"Bayu
sudah masuk kekamarnya. Mana yang buat aku saja," kata pak Marsudi sambil
meraih satu cangkir dan duduk diruang tengah sambil menikmati kopinya. Tapi
tiba-tiba Bayu muncul dari dalam kamarnya.
"Aku
mencium aroma kopi.. haa.. itu dia," kata Bayu sambil mengambil cangkir
yang satunya lagi, yang masih dibawa Lastri, lalu duduk dihadapan ayahnya.
Lastri tersenyum.
"Lastri,
kamu nggak mau minum kopi bersama kami?" tanya Bayu sambil menatap Lastri.
Lastri
menggeleng lalu berlalu kedalam. Pak Marsudi memelototi anaknya, tapi Bayu tak
memperhatikannya. Dihirupnya kopi itu sampai habis, kemudian berdiri dan berlalu.
"Bapak
segera tidur ya, sudah malam."
*
Tapi
ternyata Bayu tak bisa segera memejamkan matanya. Karena secawan kopi, atau
karena kata-kata bapaknya tentang 'witing trisna jalaran saka kulina' itu?
Dia
sayang sama Lastri, tapi karena sejak umur belasan tahun Lastri ada dalam
keluarga itu, dan itu membuat adanya sebuah ikatan, yang mungkin juga dirasakan
oleh ayah ibunya. Itu sebabnya Lastri dianggap seperti keluarga.
Tapi
tentang wiiting trisna itu tadi... ah.. bapak pasti meng ada-ada. Kata Bayu
dalam hati, lalu dipejamkannya matanya. Tapi susah benar kantuk
menghinggapinya. Justru wajah Lastri tiba-tiba membayang dibenaknya. Gelung
rambut yang manis, lesung pipit yang menawan. Ya Tuhan, apakah aku sudah gila? Ini
salah bapak, tadinya aku merasa bahwa Lastri adalah keluarga, tapi kemudian ada
kata-kata melarang untuk terlalu dekat, lhah.. mengapa itu justru membuat aku
berfikir untuk....oh.. tidak.. jangan Bayu.. jangan Bayu...Dan kata-kata itu
terus dibisikkannya sampai kemudian matanya terpejam, sa'at hari menjelang
pagi.
"Ini
jam berapa Lastri?" tanya bu Marsudi ketika memasuki dapur, dan dilihatnya
Lastri sudah memasak nasi goreng untuk sarapan.
"Jam
setengah tujuh, bu," jawab Lastri sambil membawa basi berisi nasi goreng
keruang makan. Bu Marsudi mengikutinya.
"Harum
sekali nasi goreng masakanmu, pasti bapak sama Bayu suka sekali."
"Semoga
bu, ini kan ibu yang mengajari juga," jawab Lastri lagi sambil membereskan
meja makan, menata yang belum sempurna, lalu menyiapkan jus jeruk keatas meja
makan itu juga.
"Bapak
sudah selesai mandi, tapi kok Bayu belum kelihatan ya. Coba Tri, kamu
bangunin."
"Baiklah
bu..." jawab Lastri sambil melangkah kearah kamar Bayu. Pelan Lastri
mengetuk pintunya.
"Mas,
mas Bayu... (ketuk pintu) mas Bayu... sudah bangunkah?"
"Hmmm...
masuk..." jawab Bayu.
"Bangun
mas, ditunggu ibu diruang makan,"
Lalu
Lastri kembali ke ruang makan, mengatur kembali tatanan meja yang tadi belum
diselesaikannya.
"Sudah
kamu bangunkan?" tanya bu Marsudi sambil duduk dikursi makan, disusul pak
Marsudi yang sudah rapi dan siap berangkat kerja.
"Saya
sudah ketuk pintunya dan sudah dijawab bu, mungkin sebentar lagi," jawab
Lastri kemudian melangkah kebelakang.
""Kamu
nggak makan sekalian disini Tri?"
"Nggak
bu, nanti saja didapur, saya masih belum selesai beres-beres."
"Sarapan
dulu kan nggak apa-apa ta Tri."
"Ya
sudah ta bu, kalau nggak mau jangan dipaksa, mana nih Bayu?"
"Nggak
tau tuh, kok tumben bangun kesiangan.."
Bu
Marsudi bangkit lalu menuju kekamar Bayu.
Perlahan
diketuknya pintu.
"Masuklah
Tri.."
Bu
Marsudi membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Ini
ibu, bukan Lastri," tegur bu Marsudi yang merasa heran karena dilihatnya
Bayu masih terbaring diranjang.
"Oh,
kirain... Tadi Bayu minta supaya Lastri ngerokin Bayu."
"Kamu
sakit?"
"Nggak
tau bu, lemas rasanya, dan sedikit pusing. Mungkin dengan dikerokin akan terasa
lebih enak."
Bu
Marsudi memegang kening Bayu.
"Baiklah,
kamu berbaring saja dulu. Ibu melayani bapak makan, kemudian baru ngerokin
kamu," kata bu Marsudi sambil melangkah keluar kamar.
Bayu
menarik selimutnya sampai ke dada. Ia merasa sedikit menggigil.
"Mana
Bayu?" tanya pak Marsudi.
"Kayaknya
masuk angin, minta dikerokin," kata bu Marsudi sambil duduk, lalu melayani
pak Marsudi makan pagi.
"Kenapa
nggak minum obat saja, sukanya kok kerokan," gumam pak Marsudi sambil
menyendok nasi gorengnya.
"Hm,
enak nih, ibu yang masak?"
"Bukan,
sekarang ibu tuh jarang masak. Siapa lagi kalau bukan Lastri."
"Pinter
masak dia, boleh nambah?"
"Nambah
aja ta pak, ibu makan nanti saja, kalau sudah selesai ngerokin Bayu. Tadi tuh
minta Lastri yang ngerokin."
"Jangan
bu, nggak pantas itu. Lastri kan sudah remaja, dan seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim itu kan nggak pantes berduaan dikamar. Nanti kalau
ada setan lewat bagaimana?"
"Bapak
ki mikirnya jauh banget, Lastri sama Bayu itu kan sudah seperti saudara,
bergaul sudah ber tahun-tahun.. mBok ya jangan mikir yang aneh-aneh."
"Aku
ini hanya mengingatkan lho bu, biar seperti saudara kan nyatanya bukan saudara
beneran, bukan muhrim?"
"Iya..
iya. ibu tau."
Tapi
tanpa diduga Lastri mendengar pembicaraan itu. Perasaan tak enak segera menyelimuti
perasaannya. Sejak dulu kan aku tau diri, mas Bayu saja yang bersikap seakan
saya ini adiknya. kata Lastri dalam hati.
*
"Aduh
bu, jangan keras-keras.. sakit.." keluh Bayu sambil menggoyangkan
punggungnya yang terasa sakit.
"Memang
orang dikerokin itu sakit, salahnya kamu minta dikerokin," kata bu Marsudi
sambil mengerok lebih pelan.
Bayu
kemudian bersin-bersin.
"Tuh,
kena flu kamu."
"Kalau
Lastri kok nggak sakit?"
"Iya,
Lastri kan takut kalau mau mengerok keras-keras. Tapi kalau nggak keras ya
nggak sembuh. Lagian bapak melarang Lastri ngerokin kamu."
"Memangnya
kenapa?"
"Bukan
muhrim, nggak pantas berduaan dikamar, nanti kalau ada setan lewat
bagaimana?"
Bayu
terbahak. Ia membalikkan tubuhnya.
"Lhoh,
gimana nih, belum selesai kok."
"Sudah
bu, digosok saja sama minyak gosonya."
"Ya
sudah, tengkurap lagi, biar ibu ratain minyaknya. Habis ini kamu harus minum
obat. Biar Lastri mengambilkan obatnya."
"Nah,
agak hangat, dan rasa dinginnya sedikit berkurang," kata Bayu sambil
mengenakan lagi baju kaosnya.
"Lastriii
!" teriak bu Marsudi.
Lastri
muncul dibalik pintu, dan berdiri saja ditengah-tengahnya.
"Tolong
ambilkan obat untuk mas Bayu."
"Obat
apa bu?"
"Obat
pusing atau obat flu saja , paling-paling tidur kemalaman lalu masuk angin,
tadi bersin-bersin juga tuh."
Lastri
menghilang dibalik pintu. Bayu kembali bersin.
Sudah,
tungguin Lastri, dia akan membawakan obat kamu kemari. Tapi bagusnya sarapan
dulu, nasi goreng masih anget tuh."
"Kalau
begitu Bayu keluar saja, mau makan dimeja makan."
"Ya
nggak apa-apa kalau kamu bisa berjalan. Tapi nanti nggak usah mandi. Pokoknya
makan, minum obat dan tidur lagi saja. Istirahat barang sehari atau dua
hari." pesan bu Marsudi sambil keluar dari kamar anaknya.
Bayu
bangkit,membenahi pakaiannya, mencuci mukanya, lalu keluar dari kamar. Tapi
ketika dia keluar, bertepatan dengan masuknya Lastri untuk mengantarkan
obatnya sehingga mereka bertabrakan. Tak ayal Lastri jatuh kepelukan Bayu dan
gelas minum yang dibawanya jatuh pecah, dan obatnya terlempar entah kemana.
"Oh..eh..
ma'af.. ma'af.." Lastri meronta tapi Bayu enggan melepaskannya. Ada rasa
aneh ketika Lastri berada didalam pelukannya dan ada getaran yang membuatnya
berdebar. Ini nikmat, dan memang Bayu menikmatinya.
"Mas,
aduh.. ma'af, lepaskan.. pecahan gelas.. pecah.. mas.." Lastri gugup dan
meronta. Ketika pelukan itu terlepas, Lastri terhuyung kebelakang dan kakinya
menginjak pecahan gelas.
"Auuww..."
Lastri menjerit, kemudian duduk dan memijit kakinya yang berdarah. Bayu
terkejut, ia berjongkok dan memegang kaki Lastri. Ada pecahan gelas masih
tertancap didekat tumitnya. Lastri meringis ketika Bayu mencabut pecahan gelas
itu. Darahpun terburai, bagai perasaan Lastri yang terburai ketika Bayu
memeluknya.
"Ada
apa ini ?" pekik bu Marsudi yang datang lalu melihat darah membasahi
lantai.
"Lastri
menginjak pecahan gelas, sebentar, aku ambilkan kapas dan obat merah."
"Jangan
Yu, kamu disitu saja. Pecahan gelas masih berserakan, ibu saja yang
mengambilkan obat dan kapasnya," kata bu Marsudi ysetengah berlari menuju
almari obat.
"Sakit
?"
"Ya
sakit lah, mas Bayu keluar nggak bilang-bilang," keluh Lastri sambil
tangannya memungut pecahan gelas yang terserak.
"Diamlah,
nanti tanganmu terluka juga. Biar aku saja."
Bu
Marsudi datang membawakan sekotak PPPK yang berisi segala macam obat dan
perlengkapan luka. Bayu menerimanya. Dia mengusap luka Lastri dengan kapas,
membersihkannya dari pecahan kaca, lalu memberinya obat dan menutupnya dengan
plester. Bu Maarsudi membawa sapu dan menyapu pecahan gelas dan
dikumpulkannya dengan pengki.
"Biar
saya saja bu. Ini sudah selesai."
"Ini,
aku sudah kumpulkan, tapi hati-hati barangkali ada pecahan kecil yang bisa
melukai kamu lagi."
Bayu
berdiri mengambil kain pel. Lastri memintanya tapi Bayu melarangnya.
Kamu
duduk saja disitu, biar aku yang membersihkan.
"Tapi
kan mas Bayu lagi sakit, biar saya saja, lukanya kan sudah diobati," kata
Lastri sambil mengambil kain pel yang dibawa Bayu.
"Sudah
Lastri, benar kata Bayu, kamu duduk saja dikursi itu."
Lastri
menyerah, karena bu Marsudi dan Bayu sudah menyelesaikan semuanya.
"Ma'af
bu, saya tidak sengaja," kata Lastri sedih.
"Bayu
yang menabraknya ketika Lastri membawakan obat untuk Bayu."
"Ya
sudah, sekarang kamu makan saja dulu, lalu minum obatnya."
"Itu
bu, obatnya terlempar kebawah meja," kata Lastr yang kemudian dengan
terpincang-pincang memungut obat yang tadi dibawanya, lalu menyerahkannya pada
Bayu.
"Iya,
terimakasih, aku makan nanti setelah sarapan," kata Bayu yang kemudian
berjalan keruang makan.
"Sakitkah
lukanya Tri?" tanya bu Marsudi khawatir.
"Nggak
bu, tadi sedikit perih, tapi sekarang tidak lagi," jawab Lastri yang
dengan terpincang-pincang juga berjalan kearah dapur.
"Mau
kemana kamu Tri?"
"Tadi
Lastri belum selesai mencuci piring bu."
"Aduuh,
biar aku saja."
"Nggak
bu, Lastri kan hanya luka di kaki, tangan Lastri masih bisa mengerjakan apa
saja."
Bu
Marsudi geleng-geleng kepala.
*
Tapi
sore itu bel tamu berdering. Lastri ingin membukanya tapi Bu Marsudi
melarangnya.
"Biar
aku saja," kata bu Marsudi sambil berjalan kedepan. Ia terkejut ketika
membuka pintu, Sapto membungkuk dan mencium tangannya dengan penuh hormat.
"Ini
kan nak Sapto?"
"Iya
bu, syukurlah ibu masih ingat saya."
"Bayu
agak masuk angin, ayo masuk, biar aku panggil dia."
"Tapi
Sapto mau ketemu Lastri bu."
Bu
Marsudi tertegun.
*
Bersambung
&&&&&&
*LASTRI
04*
Bu
Marsudi menatap Sapto dengan penuh tanda tanya...
"Ya
bu, saya mau ketemu Lastri.." Sapto mengulang kata-katanya.
Bu
Marsudi mengangguk, lalu melangkah ke belakang. Tanpa dipersilahkan Sapto duduk
di kursi teras, sambil sebentar-sebentar melongok kearah pintu.
Tapi
didepan kamar Bayu bu Marsudi melihat Bayu keluar.
"Tamu
siapa bu?"
"Itu,
nak Sapto."
"Sapto?"
"Iya,
katanya mau ketemu Lastri, baru mau ibu panggilkan."
"Jangan
bu, nggak usah, biar Bayu keluar menemui dia."
"Baiklah.
Tapi apa kamu sudah baikan?"
"Sudah
bu, kan cuma masuk angin?"
Bu
Marsudi urung melangkahkan kakinya ke belakang, sementara dengan wajah kusut
"Ngapain
kamu siang-siang datang kemari? Nggak kerja?"
"Aduuh...
ini kan sa'atnya istirahat bro. Aku akan mengajak Lastri makan siang."
"Gila
kamu. Nggak. Nggak bisa !!"
"Ya
ampun Yu, jahat bener sih kamu. Kalau kamu mau ayuk, kita makan siang bersama. Nanti
pesen makanan yang anget-anget, biar kamu merasa sehat, kata ibu kamu
sakit?"
"Cuma
kecapekan saja."
"Ya
udah, kalau nggak mau ikut, mana Lastri?"
"Enak
aja, nggak, nggak akan aku ijinin kamu mengajak Lastri."
"Ya
ampun Yu, kita kan masih bersahabat? Jahat banget sih kamu sama sahabat
sendiri."
"Dengar
Sap, aku tuh nggak percaya sama kamu. Sudah berapa kali kamu ganti-ganti pacar,
dan sekarang mau ngedekatin Lastri? O... no...!!" kata Bayu sambil
menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Sumpah
aku kali ini jatuh cinta sama Lastri Yu, sungguh, percayalah aku mau
mengajaknya makan, lalu akan aku lihat apakah dia suka sama aku atau enggak.
Kalau enggak aku juga nggak akan memaksa kok."
"Nggak
Sap, sudahlah, cari yang lainnya saja, jangan Lastri."
"Bayu..
kamu nggak percaya sama aku?"
"Lagian
Lastri lagi sakit."
"Ya
ampun, sakit apa? Biar aku menjenguknya."
"Woii...
nggak usah... dia tuh ketakutan melihat kamu."
"Masa?
Dia bilang begitu?"
"Iya."
Sapto
menyandarkan tubuhnya disandaran kursi.
"Benar
dia sakit ?"
"Silahkan
nak, diminum.." tiba-tiba bu Marsudi keluar dengan membawa dua gelas
sirup.
"Wah,
ibu kok repot-repot sih, Sapto sudah mau pamit nih."
"Diminum
dulu. Udara panas begini kan enaknya minum dingin segar. Tapi ini yang untuk Bayu
nggak boleh dingin, dia lagi masuk angin."
"Terimakasih
bu, tapi Lastri sakit apa?"
"O,
Lastri sakit kakinya, tadi menginjak pecahan gelas," jawab bu Marsudi
sambil berlalu.
"Kasihan
Lastri, sudah dibawa ke dokter?"
"Alaa...
jangan sok perhatian deh. Itu diminum saja dulu."
"Hm,
kamu benar-benar jahat Bayu, aku tuh serius. Sumpah !!" kata Sapto sambil
menenggak habis es sirupnya.
"Dengar
Bayu, lain hari aku akan kemari lagi. Pokoknya aku mau sama adik kamu
itu," kata Sapto sambil berdiri.
Bayu
tertawa.
"Jangan
mengejek aku Yu, sungguh aku serius. Adikmu itu sungguh unik.
Cantik,manis,sederhana,lugu, pokoknya nggak seperti gadis-gadis lain. Aku nih
sudah sa'atnya menikah, aku ingin isteri seperti dia."
"Sudah,
sana kembali ke kantor kamu, semakin ngaco kamu ngomongnya."
Sapto
melangkah keluar setelah menepuk bahu Bayu.
"Aku
akan datang kembali."
Bayu
masih duduk tegak di kursinya, memandangi mobil Sapto yang keluar dari halaman,
sampai menghilang dibalik pagar.
Sapto
benar-benar suka sama Lastri? Baru sekali ketemu? Tapi Sapto kan sesungguhnya
laki-laki baik. Dia tampan sudah mapan, dan banyak di gandrungi gadis-gadis.
Hanya karena dia selalu baik sama mereka maka dikiranya Sapto sering
ganti-ganti pacar. Tapi tidak, Bayu memegang kepalanya yang kembali berdenyut.
Bayu merasa dia tak akan merelakan Lastri pada Sapto. Lalu mengapa? Lastri
sudah hampir lulus SMA. Dia juga sudah cukup dewasa. Tapi Bayu merasa bahwa ada
perasaan lain dihatinya. Witing trisna jalaran saka kulina. Kata-kata ayahnya
kembali berdengung ditelinganya. Celaka, apakah aku jatuh cinta karena bergaul
setiap hari? Pikir Bayu.
Lalu
ia teringat ketika memeluknya pagi tadi. Memeluk yang tidak sengaja tapi
mengapa terasa nikmat? Ini gila.
*
Lastri sudah bisa melepas balutan di kakinya.
Lukanya telah mengering, tapi bu Marsudi masih menyuruhnya menutupinya dengan
plester.
"Nah,
begitu, supaya luka yang masih sedikit menganga tidak kemasukan debu."
"Ya
bu, "
"Kamu
sudah selesai ujian. Kalau kamu lulus, apa kamu ingin melanjutkan kuliah?"
Lastri
terkejut. Ia tau biaya kuliah tidak murah. Disekolahkan sampai SMA saja sudah
merupakan anugerah bagi dirinya.
"Tidak
usah bu, saya sudah menyelesaikan SMA saja sudah sangat berterimakasih. BIarlah
sampai SMA saja, dan biarkan saya terus mengabdi disini tanpa diganggu oleh
jadual sekolah saya."
"Kalau
kamu ingin, ya nggak apa-apa, kan kamu itu pintar. Nilai kamu bagus-bagus.
Nanti aku bilang sama bapak."
Lastri
teringat kata-kata pak Marsudi yang didengarnya pada suatu pagi. Ia merasa pak
Marsudi mulai membatasi ruang geraknya dirumah itu, terutama hubungannya dengan
Bayu. Lastri tetap mengnggap bahwa Bayu juga majikannya, walau Bayu
mengenalkannya dimana-mana sebagai adiknya. Tapi pak Marsudi tampaknya berfikir
lebih jauh. Lastri tak ingin terus menjadi beban. Kalau ia ingin mengabdi
selamanya, adalah karena dia berhutang budi.
"Bagaimana
Tri?"
"Oh,
tidak bu, jangan, Lastri nggak ingin kuliah, ini sudah cukup."
"Ya
sudah, aku nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau."
"Terimakasih
bu."
Hari
itu libur, Lastri meminta agar dia saja yang pergi ke pasar karena dia sudah
bisa berjalan dengan baik, walau masih harus mengangkat sedikit tumitnya setiap
kali melangkah.
"Kakimu
kan masih sakit, biar aku saja yang ke pasar."
"Jangan
bu, biar Lastri saja."
"Baiklah,
biar aku tuliskan dulu catatannya. Hari ini Bayu ingin kita masak rawon."
Lastri
mengangguk, lalu masuk kekamar untuk berganti baju yang lebih pantas. Bu
Marsudi bilang setiap kali keluar harus berpakaian pantas, apalagi Lastri sudah
menginjak dewasa, dan itu dilakukannya. Tak heran apabila banyak orang mengira
bahwa Lastri adalah bagian dari keluarga Marsudi yang terpandang. Ditambah
wajahnya yang cantik manis, benar-benar Lastri selalu tampak menawan.
Ketika
Lastri keluar sambil membawa keranjang belanjaan, Bayu yang sedang duduk berdua
dengan ayahnya diteras tiba-tiba berdiri.
"Biar
aku antar," katanya.
"Bayu,
kamu itu kenapa, cuma mau kepasar dan sangat dekat, kok mau mengantar
segala," tegur ayahnya dengan wajah kurang senang.
Lastri
tak menjawab, terus melangkah keluar rumah.
"Bayu,
bapak kan pernah bilang, batasi kedekatanmu sama Lastri, nggak bagus itu."
"Kenapa
nggak bagus bapak? Lastri kan sudah ber tahun-tahun menjadi keluarga
kita."
"Kalian
itu bukan lagi anak kecil. Dulu Lastri masih kanak-kanak, tapi sekarang dia
sudah dewasa, jadi kalau kalian bergaul terlalu dekat, nanti akan ada rasa-rasa
yang tidak semestinya."
Bayu
terdiam, sebelum bapaknya mengatakan witing tresna jalaran saka kulina, Bayu
berdiri dan berpamit dengan alasan mau mandi.
*
Lastri
baru saja membeli daging, lalu dia pergi ketempat penjual sayur. Banyak yang
harus dibelinya. Ia juga harus memilih kecambah yang belum begitu jadi, yang
bagus untuk pelengkap rawon. Dia sedang me milih-milih ketika bahunya ditepuk
dari belakang.
"Lastri
!!"
"Aduh,
mas Timan pasti membuat aku terkejut deh."
"Gitu
aja terkejut," kata Timan sambil tertawa.
"Iya
lah, habis mas Timan pakai menepuk bahuku keras sekali."
"Ya
sudah, ma'af deh. Sudah selesai belanjanya? Banyak sekali nih, oh ya, ini hari
Minggu, pasti ibumu masak besar."
"Ibuku..
ya ampun mas, majikanku, gitu lhoh."
"Iya,
tapi kan kamu sudah dianggap keluarga?"
"Lha
iya mas, memang aku sudah nggak punya keluarga."
"Sebenarnya
dusun kamu dimana to Tri?"
"Jauh,
kapan-kapan aku kasih tau. Sekarang aku lanjutkan belanja dulu ya, masih kuang
beberapa macam nih."
"Oh
ya, aku punya pisang ambon besar-besar Tri, tunggu, aku bawain satu," kata
Timan yang kemudian menuju ketumpukan barang dagangannya yang tak jauh dari
tempatnya bgertemu Lastri.
"Tadi nggak dipesan tuh mas, berapa nih
harganya?" tanya Lastri begitu Timan menyerahkan selirang pisang ambon.
"Ini
aku kasih, bukan aku suruh beli."
"Nggak
ah mas, terimakasih, jadi nggak enak."
"Jangan
begitu Tri, itu namanya menampik rejeki."
"Lha
aku bawanya yang nggak bisa mas, belanjaanku kan banyak."
"Nanti
aku antarkan saja kalau begitu. Aku kan sudah tau dimana kamu tinggal."
"Mas
Timan nih.. kok nekat lho."
"Sudah,
sana.. lanjutin belanjanya, pisangnya aku yang antar."
"Terimakasih
mas, waduh.. pisangnya bagus sekali, ini matang dipohon ya mas."
"Iya,
kalau nggak bagus nggak akan aku kasihkan ke kamu. Sudah sana, lanjutin
belanjanya."
*
Belanjaan
yang dibawa Lastri memang banyak, ditambah kakinya yang masih sedikit sakit,
membuat jalannya ter tatih-tatih. Ia ingin memanggil becak, tapi merasa sayang
karena rumah keluarga Marsudi tidak begitu jauh. Jadi ia terus saja berjalan,
lalu kadang-kadang berhenti ketika
merasa berat.
Ketika
itu Lastri sedang berhenti sejenak lalu mengusap keringatnya dengan lengan
bajunya. Keranjang belanjaan yang penuh diletakkan ditanah. Ia terkejut ketika
tiba-tiba klakson mobil dibunyikan keras, tepat disampingnya.
"Lastri
!!"
Lastri
menoleh, dan mengenali siapa yang memanggilnya.
Lastri
tersenyum.
Sebuah
mobil pick up dengan bak terbuka berhenti disitu, dan pengemudinya dengan sigap
melompat turun.
"Bawaanmu
benar banyak ayo aku antar."
"Ini
jam segini, sampeyan sudah mau pulang?"
"Aku
tinggal sebentar, karena mau mengantarkan pisangnya tadi."
"Ya
ampun mas Timan, itu kan merepotkan."
"Nggak,
cuma sebentar, dan sudah aku titipkan penjual buah disebelahku. Ayo naik."
"Lho
mas, sudah, itu sudah dekat kok."
"Lha
kamu kelihatan kalau keberatan gitu, sudahlah jangan menolak, sekalian aku bawa
nih pisang ambonnya.
Lastri
tak bisa menolak, dia kemudian duduk disamping kemudi, setelah belanjaannya dinaikkan
ke jok belakang oleh Timan.
Memang
rumah keluarga Marsudi hanya tinggal beberapa meter didepan, tapi Lastri
bersyukur karena bawaannya memang sangat banyak.
Ketika
sampai didepan rumah, Timan turun dan membawakan keranjang belanjaan Lastri,
beserta selirang pisang ambon yang tadi dijanjikannya.
Pak
Marsudi yang masih duduk di teras heran melihat Lastri diantar oleh seorang
laki-laki.
"Permisi
pak, saya mengantar Lastri karena belanjaannya sangat banyak."
"O
kamu siapa?"
"Saya
Timan, penjual buah. Kasihan tadi Lastri membawa belanjaannya tampak
keberatan."
"O,
ya sudah, terimakasih ya." kata pak Marsudi yang menyapa tanpa berdiri
dari tempat duduknya.
"Terimakasih
ya mas," kata Lastri yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Timan,
kemudian berlalu.
Bayu
yang mendengar bapaknya bicara dengan seseorang segera keluar.
"Siapa
tamunya?"
"Bukan
tamu, kata Lastri sambil mengusung belanjaannya ke arah belakang. Pisang ambon
yang diberi Timan diletakkan dimeja makan.
"Kalau
bukan tamu lalu siapa tadi yang bicara sama bapak?" tanya Bayu setelah
sampai di teras depan.
"Itu,
Lastri diantar oleh penjual buah karena bawaannya banyak," jawab Pak
Marsudi.
"Penjual
buah?"
"Sepertinya
bukan sekedar kasihan. Pasti itu pacarnya Lastri."
"Apa?"
Bayu
tiba-tiba merasa hatinya panas, dikejarnya Lastri yang sudah berada didapur.
*
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar