Sabtu, 25 April 2020

LASTRI (03-04)

*LASTRI  03*

Diseberang, Sapto yang biasanya bicara penuh canda, kali ini tidak. Tak ada tawa.
"Aku serius bro !!"
"Sudah, aku mau tidur nih." kata Bayu yang kemudian menutup telephonenya.
Tapi tak lama kemudian telephone berdering kembali. Dari Sapto lagi, bayu tak mau mengangkatnya.
"Bayu, kenapa nggak diangkat?"
"Nggak apa-apa bapak, dari Sapto, cuma ngajakin bercanda." jawab Bayu sambil melangkah masuk kedalam.

"Sudah malam, sebaiknya bapak tidur."
"Ya baiklah, tapi ingat kata-kata bapak tadi."
"Yang mana pak? Witing trisna jalaran saka kulina?" lalu Bayu tertawa dan menghilang dibalik pintu.
"Hm, anak itu, diajak serius malah bercanda,"gumam pak Marsudi sambil mengikuti masuk kedalam.

Ditengah pintu pak Marsudi bertemu Lastri yang membawa nampan berisi dua cangkir kopi.
"Lho, kamu kok bawa-bawa kopi?"
"Saya kira bapak sama mas Bayu masih duduk-duduk diteras, ibu menyuruh membuatkan kopi."

"Bayu sudah masuk kekamarnya. Mana yang buat aku saja," kata pak Marsudi sambil meraih satu cangkir dan duduk diruang tengah sambil menikmati kopinya. Tapi tiba-tiba Bayu muncul dari dalam kamarnya.

"Aku mencium aroma kopi.. haa.. itu dia," kata Bayu sambil mengambil cangkir  yang satunya lagi, yang masih dibawa Lastri, lalu duduk dihadapan ayahnya. Lastri tersenyum.

"Lastri, kamu nggak mau minum kopi bersama kami?" tanya Bayu sambil menatap Lastri.
Lastri menggeleng lalu berlalu kedalam. Pak Marsudi memelototi anaknya, tapi Bayu tak memperhatikannya. Dihirupnya kopi itu sampai habis, kemudian berdiri dan berlalu.
"Bapak segera tidur ya, sudah malam."

*

Tapi ternyata Bayu tak bisa segera memejamkan matanya. Karena secawan kopi, atau karena kata-kata bapaknya tentang 'witing trisna jalaran saka kulina' itu?
Dia sayang sama Lastri, tapi karena sejak umur belasan tahun Lastri ada dalam keluarga itu, dan itu membuat adanya sebuah ikatan, yang mungkin juga dirasakan oleh ayah ibunya. Itu sebabnya Lastri dianggap seperti keluarga.

Tapi tentang wiiting trisna itu tadi... ah.. bapak pasti meng ada-ada. Kata Bayu dalam hati, lalu dipejamkannya matanya. Tapi susah benar kantuk menghinggapinya. Justru wajah Lastri tiba-tiba membayang dibenaknya. Gelung rambut yang manis, lesung pipit yang menawan. Ya Tuhan, apakah aku sudah gila? Ini salah bapak, tadinya aku merasa bahwa Lastri adalah keluarga, tapi kemudian ada kata-kata melarang untuk terlalu dekat, lhah.. mengapa itu justru membuat aku berfikir untuk....oh.. tidak.. jangan Bayu.. jangan Bayu...Dan kata-kata itu terus dibisikkannya sampai kemudian matanya terpejam, sa'at hari menjelang pagi.

"Ini jam berapa Lastri?" tanya bu Marsudi ketika memasuki dapur, dan dilihatnya Lastri sudah memasak nasi goreng untuk sarapan.

"Jam setengah tujuh, bu," jawab Lastri sambil membawa basi berisi nasi goreng keruang makan. Bu Marsudi mengikutinya.

"Harum sekali nasi goreng masakanmu, pasti bapak sama Bayu suka sekali."
"Semoga bu, ini kan ibu yang mengajari juga," jawab Lastri lagi sambil membereskan meja makan, menata yang belum sempurna, lalu menyiapkan jus jeruk keatas meja makan itu juga.

"Bapak sudah selesai mandi,  tapi kok Bayu belum kelihatan ya. Coba Tri, kamu bangunin."
"Baiklah bu..." jawab Lastri sambil melangkah kearah kamar Bayu. Pelan Lastri mengetuk pintunya.

"Mas, mas Bayu... (ketuk pintu) mas Bayu... sudah bangunkah?"
"Hmmm... masuk..." jawab Bayu.

"Bangun mas, ditunggu ibu diruang makan,"
Lalu Lastri kembali ke ruang makan, mengatur kembali tatanan meja yang tadi belum diselesaikannya.

"Sudah kamu bangunkan?" tanya bu Marsudi sambil duduk dikursi makan, disusul pak Marsudi yang sudah rapi dan siap berangkat kerja.
"Saya sudah ketuk pintunya dan sudah dijawab bu, mungkin sebentar lagi," jawab Lastri kemudian melangkah kebelakang.

""Kamu nggak makan sekalian disini Tri?"
"Nggak bu, nanti saja didapur, saya masih belum selesai beres-beres."

"Sarapan dulu kan nggak apa-apa ta Tri."
"Ya sudah ta bu, kalau nggak mau jangan dipaksa, mana nih Bayu?"
"Nggak tau tuh, kok tumben bangun kesiangan.."

Bu Marsudi bangkit lalu menuju kekamar Bayu. 
Perlahan diketuknya pintu.
"Masuklah Tri.."

Bu Marsudi membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Ini ibu, bukan Lastri," tegur bu Marsudi yang merasa heran karena dilihatnya Bayu masih terbaring diranjang.

"Oh, kirain... Tadi Bayu minta supaya Lastri ngerokin Bayu."
"Kamu sakit?"

"Nggak tau bu, lemas rasanya, dan sedikit pusing. Mungkin dengan dikerokin akan terasa lebih enak."
Bu Marsudi memegang kening Bayu.

"Baiklah, kamu berbaring saja dulu. Ibu melayani bapak makan, kemudian baru ngerokin kamu," kata bu Marsudi sambil melangkah keluar kamar.

Bayu menarik selimutnya sampai ke dada. Ia merasa sedikit menggigil.

"Mana Bayu?" tanya pak Marsudi.
"Kayaknya masuk angin, minta dikerokin," kata bu Marsudi sambil duduk, lalu melayani pak Marsudi makan pagi.

"Kenapa nggak minum obat saja, sukanya kok kerokan," gumam pak Marsudi sambil menyendok nasi gorengnya.
"Hm, enak nih, ibu yang masak?"

"Bukan, sekarang ibu tuh jarang masak. Siapa lagi kalau bukan Lastri."
"Pinter masak dia, boleh nambah?"

"Nambah aja ta pak, ibu makan nanti saja, kalau sudah selesai ngerokin Bayu. Tadi tuh minta Lastri yang ngerokin."
"Jangan bu, nggak pantas itu. Lastri kan sudah remaja, dan seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim itu kan nggak pantes berduaan dikamar. Nanti kalau ada setan lewat bagaimana?"

"Bapak ki mikirnya jauh banget, Lastri sama Bayu itu kan sudah seperti saudara, bergaul sudah ber tahun-tahun.. mBok ya jangan mikir yang aneh-aneh."

"Aku ini hanya mengingatkan lho bu, biar seperti saudara kan nyatanya bukan saudara beneran, bukan muhrim?"

 "Iya.. iya. ibu tau."

Tapi tanpa diduga Lastri mendengar pembicaraan itu. Perasaan tak enak segera menyelimuti perasaannya. Sejak dulu kan aku tau diri, mas Bayu saja yang bersikap seakan saya ini adiknya. kata Lastri dalam hati. 

*

"Aduh bu, jangan keras-keras.. sakit.." keluh Bayu sambil menggoyangkan punggungnya yang terasa sakit.
"Memang orang dikerokin itu sakit, salahnya kamu minta dikerokin," kata bu Marsudi sambil mengerok lebih pelan.

Bayu kemudian bersin-bersin.
"Tuh, kena flu kamu."
"Kalau Lastri kok nggak sakit?"

"Iya, Lastri kan takut kalau mau mengerok keras-keras. Tapi kalau nggak keras ya nggak sembuh. Lagian bapak melarang Lastri ngerokin kamu."

"Memangnya kenapa?"
"Bukan muhrim, nggak pantas berduaan dikamar, nanti kalau ada setan lewat bagaimana?"

Bayu terbahak. Ia membalikkan tubuhnya.
"Lhoh, gimana nih, belum selesai kok."
"Sudah bu, digosok saja sama minyak gosonya."

"Ya sudah, tengkurap lagi, biar ibu ratain minyaknya. Habis ini kamu harus minum obat. Biar Lastri mengambilkan obatnya."
"Nah, agak hangat, dan rasa dinginnya sedikit berkurang," kata Bayu sambil mengenakan lagi baju kaosnya.

"Lastriii !" teriak bu Marsudi. 
Lastri muncul dibalik pintu, dan berdiri saja ditengah-tengahnya.

"Tolong ambilkan obat untuk mas Bayu."
"Obat apa bu?"
"Obat pusing atau obat flu saja , paling-paling tidur kemalaman lalu masuk angin, tadi bersin-bersin juga tuh."
Lastri menghilang dibalik pintu. Bayu kembali bersin.

Sudah, tungguin Lastri, dia akan membawakan obat kamu kemari. Tapi bagusnya sarapan dulu, nasi goreng masih anget tuh."
"Kalau begitu Bayu keluar saja, mau makan dimeja makan."

"Ya nggak apa-apa kalau kamu bisa berjalan. Tapi nanti nggak usah mandi. Pokoknya makan, minum obat dan tidur lagi saja. Istirahat barang sehari atau dua hari." pesan bu Marsudi sambil keluar dari kamar anaknya.

Bayu bangkit,membenahi pakaiannya, mencuci mukanya, lalu keluar dari kamar. Tapi ketika dia keluar, bertepatan dengan masuknya Lastri  untuk mengantarkan obatnya sehingga mereka bertabrakan. Tak ayal Lastri jatuh kepelukan Bayu dan gelas minum yang dibawanya jatuh pecah, dan obatnya terlempar entah kemana.

"Oh..eh.. ma'af.. ma'af.." Lastri meronta tapi Bayu enggan melepaskannya. Ada rasa aneh ketika Lastri berada didalam pelukannya dan ada getaran yang membuatnya berdebar. Ini nikmat, dan memang Bayu menikmatinya.

"Mas, aduh.. ma'af, lepaskan.. pecahan gelas.. pecah.. mas.." Lastri gugup dan meronta. Ketika pelukan itu terlepas, Lastri terhuyung kebelakang dan kakinya menginjak pecahan gelas.

"Auuww..." Lastri menjerit, kemudian duduk dan memijit kakinya yang berdarah. Bayu terkejut, ia berjongkok dan memegang kaki Lastri. Ada pecahan gelas masih tertancap didekat tumitnya. Lastri meringis ketika Bayu mencabut pecahan gelas itu. Darahpun terburai, bagai perasaan Lastri yang terburai ketika Bayu memeluknya. 

"Ada apa ini ?" pekik bu Marsudi yang datang lalu melihat darah membasahi lantai.

"Lastri menginjak pecahan gelas, sebentar, aku ambilkan kapas dan obat merah."

"Jangan Yu, kamu disitu saja. Pecahan gelas masih berserakan, ibu saja yang mengambilkan obat dan kapasnya," kata bu Marsudi ysetengah berlari menuju almari obat.

"Sakit ?"

"Ya sakit lah, mas Bayu keluar nggak bilang-bilang," keluh Lastri sambil tangannya memungut pecahan gelas yang terserak.

"Diamlah, nanti tanganmu terluka juga. Biar aku saja."

Bu Marsudi  datang membawakan sekotak PPPK yang berisi segala macam obat dan perlengkapan luka. Bayu menerimanya. Dia mengusap luka Lastri dengan kapas, membersihkannya dari pecahan kaca, lalu memberinya obat dan menutupnya dengan plester. Bu Maarsudi membawa sapu dan menyapu pecahan gelas dan  dikumpulkannya dengan pengki.

"Biar saya saja bu. Ini sudah selesai."
"Ini, aku sudah kumpulkan, tapi hati-hati barangkali ada pecahan kecil yang bisa melukai kamu lagi."

 Bayu berdiri mengambil kain pel. Lastri memintanya tapi Bayu melarangnya.
Kamu duduk saja disitu, biar aku yang membersihkan.

"Tapi kan mas Bayu lagi sakit, biar saya saja, lukanya kan sudah diobati," kata Lastri sambil mengambil kain pel yang dibawa Bayu.

"Sudah Lastri, benar kata Bayu, kamu duduk saja dikursi itu."
Lastri menyerah, karena bu Marsudi dan Bayu sudah menyelesaikan semuanya. 

"Ma'af bu, saya tidak sengaja," kata Lastri sedih.

"Bayu yang menabraknya ketika Lastri membawakan obat untuk Bayu."
"Ya sudah, sekarang kamu makan saja dulu, lalu minum obatnya."

"Itu bu, obatnya terlempar kebawah meja," kata Lastr yang kemudian dengan terpincang-pincang memungut obat yang tadi dibawanya, lalu menyerahkannya pada Bayu.

"Iya, terimakasih, aku makan nanti setelah sarapan," kata Bayu yang kemudian berjalan keruang makan.

"Sakitkah lukanya Tri?" tanya bu Marsudi khawatir.
"Nggak bu, tadi sedikit perih, tapi sekarang tidak lagi," jawab Lastri yang dengan terpincang-pincang juga berjalan kearah dapur.

"Mau kemana kamu Tri?"
"Tadi Lastri belum selesai mencuci piring bu."
"Aduuh, biar aku saja."

"Nggak bu, Lastri kan hanya luka di kaki, tangan Lastri masih bisa mengerjakan apa saja."
Bu Marsudi geleng-geleng kepala.

*

Tapi sore itu bel tamu berdering. Lastri ingin membukanya tapi Bu Marsudi melarangnya.

"Biar aku saja," kata bu Marsudi sambil berjalan kedepan. Ia terkejut ketika membuka pintu, Sapto membungkuk dan mencium tangannya dengan penuh hormat.

"Ini kan nak Sapto?"
"Iya bu, syukurlah ibu masih ingat saya."
"Bayu agak masuk angin, ayo masuk, biar aku panggil dia."

"Tapi Sapto mau ketemu Lastri bu."
Bu Marsudi tertegun.

*

Bersambung

&&&&&&



*LASTRI  04*

Bu Marsudi menatap Sapto dengan penuh tanda tanya...
"Ya bu, saya mau ketemu Lastri.." Sapto mengulang kata-katanya.
Bu Marsudi mengangguk, lalu melangkah ke belakang. Tanpa dipersilahkan Sapto duduk di kursi teras, sambil sebentar-sebentar melongok kearah pintu.

Tapi didepan kamar Bayu bu Marsudi melihat Bayu keluar.
"Tamu siapa bu?"
"Itu, nak Sapto."
"Sapto?"
"Iya, katanya mau ketemu Lastri, baru mau ibu panggilkan."
"Jangan bu, nggak usah, biar Bayu keluar menemui dia."
"Baiklah. Tapi apa kamu sudah baikan?"
"Sudah bu, kan cuma masuk angin?"
Bu Marsudi urung melangkahkan kakinya ke belakang, sementara dengan wajah kusut
"Ngapain kamu siang-siang datang kemari? Nggak kerja?"

"Aduuh... ini kan sa'atnya istirahat bro. Aku akan mengajak Lastri makan siang."
"Gila kamu. Nggak. Nggak bisa !!"
"Ya ampun Yu, jahat bener sih kamu. Kalau kamu mau ayuk, kita makan siang bersama. Nanti pesen makanan yang anget-anget, biar kamu merasa sehat, kata ibu kamu sakit?"
"Cuma kecapekan saja."
"Ya udah, kalau nggak mau ikut, mana Lastri?"
"Enak aja, nggak, nggak akan aku ijinin kamu mengajak Lastri."
"Ya ampun Yu, kita kan masih bersahabat? Jahat banget sih kamu sama sahabat sendiri."

"Dengar Sap, aku tuh nggak percaya sama kamu. Sudah berapa kali kamu ganti-ganti pacar, dan sekarang mau ngedekatin Lastri? O... no...!!" kata Bayu sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Sumpah aku kali ini jatuh cinta sama Lastri Yu, sungguh, percayalah aku mau mengajaknya makan, lalu akan aku lihat apakah dia suka sama aku atau enggak. Kalau enggak aku juga nggak akan memaksa kok."
"Nggak Sap, sudahlah, cari yang lainnya saja, jangan Lastri."

"Bayu.. kamu nggak percaya sama aku?"
"Lagian Lastri lagi sakit."
"Ya ampun, sakit apa? Biar aku menjenguknya."
"Woii... nggak usah... dia tuh ketakutan melihat kamu."
"Masa? Dia bilang begitu?"
"Iya."
Sapto menyandarkan tubuhnya disandaran kursi.
"Benar dia sakit ?"
"Silahkan nak, diminum.." tiba-tiba bu Marsudi keluar dengan membawa dua gelas sirup.
"Wah, ibu kok repot-repot sih, Sapto sudah mau pamit nih."

"Diminum dulu. Udara panas begini kan enaknya minum dingin segar. Tapi ini yang untuk Bayu nggak boleh dingin, dia lagi masuk angin."
"Terimakasih bu, tapi Lastri sakit apa?"
"O, Lastri sakit kakinya, tadi menginjak pecahan gelas," jawab bu Marsudi sambil berlalu.
"Kasihan Lastri, sudah dibawa ke dokter?"
"Alaa... jangan sok perhatian deh. Itu diminum saja dulu."
"Hm, kamu benar-benar jahat Bayu, aku tuh serius. Sumpah !!" kata Sapto sambil menenggak habis es sirupnya.
"Dengar Bayu, lain hari aku akan kemari lagi. Pokoknya aku mau sama adik kamu itu," kata Sapto sambil berdiri.

Bayu tertawa.
"Jangan mengejek aku Yu, sungguh aku serius. Adikmu itu sungguh unik. Cantik,manis,sederhana,lugu, pokoknya nggak seperti gadis-gadis lain. Aku nih sudah sa'atnya menikah, aku ingin isteri seperti dia."
"Sudah, sana kembali ke kantor kamu, semakin ngaco kamu ngomongnya."
Sapto melangkah keluar setelah menepuk bahu Bayu.
"Aku akan datang kembali."
Bayu masih duduk tegak di kursinya, memandangi mobil Sapto yang keluar dari halaman, sampai menghilang dibalik pagar.

Sapto benar-benar suka sama Lastri? Baru sekali ketemu? Tapi Sapto kan sesungguhnya laki-laki baik. Dia tampan sudah mapan, dan banyak di gandrungi gadis-gadis. Hanya karena dia selalu baik sama mereka maka dikiranya Sapto sering ganti-ganti pacar. Tapi tidak, Bayu memegang kepalanya yang kembali berdenyut. Bayu merasa dia tak akan merelakan Lastri pada Sapto. Lalu mengapa? Lastri sudah hampir lulus SMA. Dia juga sudah cukup dewasa. Tapi Bayu merasa bahwa ada perasaan lain dihatinya. Witing trisna jalaran saka kulina. Kata-kata ayahnya kembali berdengung ditelinganya. Celaka, apakah aku jatuh cinta karena bergaul setiap hari? Pikir Bayu.
Lalu ia teringat ketika memeluknya pagi tadi. Memeluk yang tidak sengaja tapi mengapa terasa nikmat? Ini gila.
*
 Lastri sudah bisa melepas balutan di kakinya. Lukanya telah mengering, tapi bu Marsudi masih menyuruhnya menutupinya dengan plester.
"Nah, begitu, supaya luka yang masih sedikit menganga tidak kemasukan debu."
"Ya bu, "
"Kamu sudah selesai ujian. Kalau kamu lulus, apa kamu ingin melanjutkan kuliah?"
Lastri terkejut. Ia tau biaya kuliah tidak murah. Disekolahkan sampai SMA saja sudah merupakan anugerah bagi dirinya.
"Tidak usah bu, saya sudah menyelesaikan SMA saja sudah sangat berterimakasih. BIarlah sampai SMA saja, dan biarkan saya terus mengabdi disini tanpa diganggu oleh jadual sekolah saya."


"Kalau kamu ingin, ya nggak apa-apa, kan kamu itu pintar. Nilai kamu bagus-bagus. Nanti aku bilang sama bapak."
Lastri teringat kata-kata pak Marsudi yang didengarnya pada suatu pagi. Ia merasa pak Marsudi mulai membatasi ruang geraknya dirumah itu, terutama hubungannya dengan Bayu. Lastri tetap mengnggap bahwa Bayu juga majikannya, walau Bayu mengenalkannya dimana-mana sebagai adiknya. Tapi pak Marsudi tampaknya berfikir lebih jauh. Lastri tak ingin terus menjadi beban. Kalau ia ingin mengabdi selamanya, adalah karena dia berhutang budi.

"Bagaimana Tri?"
"Oh, tidak bu, jangan, Lastri nggak ingin kuliah, ini sudah cukup."
"Ya sudah, aku nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau."
"Terimakasih bu."
Hari itu libur, Lastri meminta agar dia saja yang pergi ke pasar karena dia sudah bisa berjalan dengan baik, walau masih harus mengangkat sedikit tumitnya setiap kali melangkah.
"Kakimu kan masih sakit, biar aku saja yang ke pasar."
"Jangan bu, biar Lastri saja."
"Baiklah, biar aku tuliskan dulu catatannya. Hari ini Bayu ingin kita masak rawon."

Lastri mengangguk, lalu masuk kekamar untuk berganti baju yang lebih pantas. Bu Marsudi bilang setiap kali keluar harus berpakaian pantas, apalagi Lastri sudah menginjak dewasa, dan itu dilakukannya. Tak heran apabila banyak orang mengira bahwa Lastri adalah bagian dari keluarga Marsudi yang terpandang. Ditambah wajahnya yang cantik manis, benar-benar Lastri selalu tampak menawan.

Ketika Lastri keluar sambil membawa keranjang belanjaan, Bayu yang sedang duduk berdua dengan ayahnya diteras tiba-tiba berdiri.
"Biar aku antar," katanya.
"Bayu, kamu itu kenapa, cuma mau kepasar dan sangat dekat, kok mau mengantar segala," tegur ayahnya dengan wajah kurang senang.
Lastri tak menjawab, terus melangkah keluar rumah.

"Bayu, bapak kan pernah bilang, batasi kedekatanmu sama Lastri, nggak bagus itu."
"Kenapa nggak bagus bapak? Lastri kan sudah ber tahun-tahun menjadi keluarga kita." 
"Kalian itu bukan lagi anak kecil. Dulu Lastri masih kanak-kanak, tapi sekarang dia sudah dewasa, jadi kalau kalian bergaul terlalu dekat, nanti akan ada rasa-rasa yang tidak semestinya."
Bayu terdiam, sebelum bapaknya mengatakan witing tresna jalaran saka kulina, Bayu berdiri dan berpamit dengan alasan mau mandi.
*
Lastri baru saja membeli daging, lalu dia pergi ketempat penjual sayur. Banyak yang harus dibelinya. Ia juga harus memilih kecambah yang belum begitu jadi, yang bagus untuk pelengkap rawon. Dia sedang me milih-milih ketika bahunya ditepuk dari belakang.

"Lastri !!"
"Aduh, mas Timan pasti membuat aku terkejut deh."
"Gitu aja terkejut," kata Timan sambil tertawa.
"Iya lah, habis mas Timan pakai menepuk bahuku keras sekali."
"Ya sudah, ma'af deh. Sudah selesai belanjanya? Banyak sekali nih, oh ya, ini hari Minggu, pasti ibumu masak besar."
"Ibuku.. ya ampun mas, majikanku, gitu lhoh."
"Iya, tapi kan kamu sudah dianggap keluarga?"
"Lha iya mas, memang aku sudah nggak punya keluarga."
"Sebenarnya dusun kamu dimana to Tri?"
"Jauh, kapan-kapan aku kasih tau. Sekarang aku lanjutkan belanja dulu ya, masih kuang beberapa macam nih."
"Oh ya, aku punya pisang ambon besar-besar Tri, tunggu, aku bawain satu," kata Timan yang kemudian menuju ketumpukan barang dagangannya yang tak jauh dari tempatnya bgertemu Lastri.

 "Tadi nggak dipesan tuh mas, berapa nih harganya?" tanya Lastri begitu Timan menyerahkan selirang pisang ambon.
"Ini aku kasih, bukan aku suruh beli."
"Nggak ah mas, terimakasih, jadi nggak enak."
"Jangan begitu Tri, itu namanya menampik rejeki."
"Lha aku bawanya yang nggak bisa mas, belanjaanku kan banyak."
"Nanti aku antarkan saja kalau begitu. Aku kan sudah tau dimana kamu tinggal."
"Mas Timan nih.. kok nekat lho."
"Sudah, sana.. lanjutin belanjanya, pisangnya aku yang antar."
"Terimakasih mas, waduh.. pisangnya bagus sekali, ini matang dipohon ya mas."
"Iya, kalau nggak bagus nggak akan aku kasihkan ke kamu. Sudah sana, lanjutin belanjanya."
 *
Belanjaan yang dibawa Lastri memang banyak, ditambah kakinya yang masih sedikit sakit, membuat jalannya ter tatih-tatih. Ia ingin memanggil becak, tapi merasa sayang karena rumah keluarga Marsudi tidak begitu jauh. Jadi ia terus saja berjalan, lalu kadang-kadang  berhenti ketika merasa berat.

Ketika itu Lastri sedang berhenti sejenak lalu mengusap keringatnya dengan lengan bajunya. Keranjang belanjaan yang penuh diletakkan ditanah. Ia terkejut ketika tiba-tiba klakson mobil dibunyikan keras, tepat disampingnya.
"Lastri !!"
Lastri menoleh, dan mengenali siapa yang memanggilnya.
Lastri tersenyum.
Sebuah mobil pick up dengan bak terbuka berhenti disitu, dan pengemudinya dengan sigap melompat turun.
"Bawaanmu benar banyak ayo aku antar."
"Ini jam segini, sampeyan sudah mau pulang?"
"Aku tinggal sebentar, karena mau mengantarkan pisangnya tadi."
"Ya ampun mas Timan, itu kan merepotkan."
"Nggak, cuma sebentar, dan sudah aku titipkan penjual buah disebelahku. Ayo naik."

"Lho mas, sudah, itu sudah dekat kok."
"Lha kamu kelihatan kalau keberatan gitu, sudahlah jangan menolak, sekalian aku bawa nih pisang ambonnya.
Lastri tak bisa menolak, dia kemudian duduk disamping kemudi, setelah belanjaannya dinaikkan ke jok belakang oleh Timan.
Memang rumah keluarga Marsudi hanya tinggal beberapa meter didepan, tapi Lastri bersyukur karena bawaannya memang sangat banyak.

Ketika sampai didepan rumah, Timan turun dan membawakan keranjang belanjaan Lastri, beserta selirang pisang ambon yang tadi dijanjikannya.
Pak Marsudi yang masih duduk di teras heran melihat Lastri diantar oleh seorang laki-laki.
"Permisi pak, saya mengantar Lastri karena belanjaannya sangat banyak."
"O kamu siapa?"
"Saya Timan, penjual buah. Kasihan tadi Lastri membawa belanjaannya tampak keberatan."
"O, ya sudah, terimakasih ya." kata pak Marsudi yang menyapa tanpa berdiri dari tempat duduknya.
"Terimakasih ya mas," kata Lastri yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Timan, kemudian berlalu.

Bayu yang mendengar bapaknya bicara dengan seseorang segera keluar.
"Siapa tamunya?"
"Bukan tamu, kata Lastri sambil mengusung belanjaannya ke arah belakang. Pisang ambon yang diberi Timan diletakkan dimeja makan.
"Kalau bukan tamu lalu siapa tadi yang bicara sama bapak?" tanya Bayu setelah sampai di teras depan.
"Itu, Lastri diantar oleh penjual buah karena bawaannya banyak," jawab Pak Marsudi.
"Penjual buah?"
"Sepertinya bukan sekedar kasihan. Pasti itu pacarnya Lastri."
"Apa?"
Bayu tiba-tiba merasa hatinya panas, dikejarnya Lastri yang sudah berada didapur.
*
Bersambung



Tidak ada komentar:

Posting Komentar