Minggu, 26 April 2020

Lastri (09-10)


*LASTRI  09*

Timan mengangsurkan gelas minum pak Marsudi.
"Pelan-pelan pak, silahkan diminum dulu."
"Oh, ah.. baiklah, bagaimana aku ini.. " lalu pak Marsudi terbatuk-batuk.

Timan menunggu sampai pak Marsudi kembali tenang, dan menenggak lagi sisa teh hangatnya.
"Pak, sore ini saya akan  mengambil barang dagangan di Tawangmangu, jadi kalau sudah tidak ada lagi yang akan bapak katakan, saya mohon pamit. Saya akan membayar harga makan dan minum kita ini.
"Oh, jangan, biar aku saja, karena aku yang mengundang kamu," kata pak Marsudi sambil melambaikan tangannya kearah pelayan.

Timan mengangguk, lalu berdiri. Semangkuk nasi timlo masih utuh belum tersentuh. Ada rasa enggan menyantapnya, entah karena memang dia tidak merasa lapar, atau karena merasa kurang nyaman mendengar permintaan aneh pak Marsudi.

Ia melangkah cepat kearah mobil yang masih berisi beberapa macam buah, yang baru saja diambilnya pada seorang tengkulak, setelah mengirim beberapa pesanan tadi.
Pak Marsudi duduk termangu. Uang kembalian setelah diaa membayarnya masih tergeletak dimeja. Ia merasa seperti jatuh daari sebuah ketinggian. Seorang Timan, hanya tukang buah, menolak tawarannya untuk dinikahkan dengan Lastri, pembantunya yang cantik. pintar dan membuat anaknya tergila-gila.

Sungguh menyakitkan. Ini tak pernah diduganya. Ketika ia berdiri lalu melangkah pergi, uang kembalian itu tak diambilnya. Ia tak perduli uang yang tak seberapa baginya, ia butuh sesuatu yang bisa mengobati sakit hatinya.
*

Dalam perjalanan pulang itu Timan merasa tak enak. Mengapa sampai pak Marsudi seakan 'melamar' dirinya agak mau menikahi Lastri. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Lastri? Tapi bukankah Lastri belum lama menelpone dirinya dan seperti tak ada apa-apa yang terjadi? Timan mencoba menelpone Lastri .

"Hallo mas, ada apa?"
"Kamu lagi sibuk ? Apakah aku mengganggu?"
"Nggak, aku baru mau bersih-bersih rumah. Ada apa mas?"
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, memangnya ada apa sih, pertanyaanmu kok aneh."
"Sungguh?"
"Ya sungguh lah mas. Gimana sih..?"
"Ya sudah, cuma mau nanya itu."

"Kenapa tiba-tiba mas bertanya seperti itu?"
Nggak apa-apa, nggak tau nih, perasaanku kok jadi kurang enak, mungin karena aku mimpi buruk semalam," jawab Timan sekenanya, habisnya nggak bisa menemukan alasan mengapa tiba-tiba dia mempertanyakan keadaan Lastri.
"Wah, mimpi apa mas?" tanya Lastri penasaran.
Waduh.. Timan terlanjur nyeritain mimpi, padahal dia sama sekali tidak pernah bermimpi buruk tentang Lastri.
"Mimpi apa mas? Jadi pengin tau aku?"  tanya Lastri mendesak.

"Nggak apa-apa sih, cuma...itu.. mendengar suara kamu memanggil-manggil," Timan menjawab ngawur.
"Cuma gitu aja, bukan mimpi buruk lah," kata Lastri tertawa.
"Ya sudah, aku sudah sampai rumah nih, capeknya bukan alang kepalang."
"Ya sudah mas, istirahat saja dulu, aku mau bersih-bersih nih."
Timan merasa lega karena Lastri baik-baik saja. Tapi ia tetap merasa aneh atas sikap pak Marsudi tadi.
*

Pak Marsudi langsung pulang kerumah, tidak kembali lagi kekantornya. Hatinya merasa sakit karena seorang tukang buah berani menolak tawarannya. Ketika memasuki rumah itu dilihatnya Lastri sedang mengelap meja dan kursi tamu.
"Mengapa jam segini baru bersih-bersih?" tegur pak Marsudi dengan wajah kusut.
Lastri terkejut. Ia merasa tak ada yang salah dngan pekerjaannya. Biasanya sebelum jam empat dia memang baru bersih-bersih.

"Ma'af pak, saya nggak tau kalau bapak pulang lebih awal." jawab Lastri sambil meneruskan pekerjaannya. Tinggal satu meja disudut itu, lalu ia akan segera kebelakang untuk menyiapkan teh panas bagi majikannya.
"Bukan masalah kepulangan aku. Harusnya kamu bekerja lebih awal, dan jam segini semuanya harus sudah bersih."

"Baik pak, mulai besok saya akan melakukannya lebih awal," kata Lastri dengan hati kecut. Ia tak tau mengapa tiba-tiba pak Marsudi marah-marah seperti tanpa alasan.
Pak Marsudi sudah langsung berjalan kebelakang, ketika didengarnya sesuatu pecah. Rupanya karena gugup, Lastri kurang hati-hati dan membuat vas bunga kesayangan bu Marsudi pecah berantakan.
"Ya Tuhan.." Keluh Lastri cemas. Dilihatnya pak Marsudi kembali kearahnya, dan bu Marsudipun muncul dari arah belakang.

"Ya ampun, apa kamu bekerja tanpa memakai mata?" hardik pak Marsudi.
Bukan hanya Lastri yang terkejut mendengar kata kasar pak Marsudi. Bu Marsudi juga terkejut. Tak pernah selama ini pak Marsudi berkata sekasar itu.
"Ma'af pak, ma'af bu..." Lastri terisak sambil memungut pecahan vas kristal yang terburai dilantai.
"Itu vas yang mahal. Mengapa kamu tidak berhati-hati?"
Lastri tak menjawab, bunyi gemericik pecahan kaca terasa bagai menyayat hatinya.

"Sudah pak, namanya juga nggak sengaja," kata bu Marsudi pelan. Walau ada rasa sayang karena vas itu termasuk benda kesayangannya, tapi ia tak sampai hati menghardik Lastri. Ia bahkan ikut berjongkok membantu Lastri mengumpulkan pecahan itu.
"Bekerja sembarangan, bikin rugi saja," omel pak Marsudi sambil menjauh.
"Bu, saya minta ma'af, karena melihat bapak sudah pulang, saya lalu terburu-buru ingin segera menyelesaikan pekerjaan saya bersih-bersih meja. Saya kurang hati-hati."
"Ya sudah, nggak apa-apa."

"Apakah vas ini sangat mahal? Bagaimana saya bisa menggantinya?"
"Jangan pikirkan itu, sudahlah, nanti kalau ada rejeki aku akan membelinya lagi."


"Saya punya sedikit tabungan, dari uang saku yang selalu ibu berikan, nanti akan saya hitung, kalau masih kurang saya akan mengumpulkannya lagi." kata Lastr masih dengan terisak.
"Sudah, nanti gampang, jangan pikirkan. Ini kaca yang besar-besar sudah terkumpul. Kamu harus mengambil sapu untuk membersihkannya. Juga lap basah, kaca kecil-kecil terkadng tidak bisa kita lihat jadi harus dengan lap basah untuk membersihkannya."
"Baik bu,"

"Lastri.. mana minumku?" tiba-tiba terdengar teriakan pak Marsudi dari ruang tengah. Lastri terkejut, bingung mana yang harus dikerjakan lebih dulu.
"Biar kamu yang membuat teh untuk bapak, kalau enggak nanti marah lagi dia. Biar aku lanjutkan membersihkan ini ya Tri," kata bu Marsudi.
"Baik bu."

Lastri bergegas kebelakang, langsung ke dapur untuk membuatkan teh untuk pak Marsudi. Untunglah tadi dia sudah menyeduhnya, sehingga tinggal menuang kedalam cangkir dan menyiapkan gula diwadah yang sudah disediakannya.
Lastri membawa nampan dan melangkah dengan hati-hati mendekat kearah meja dimana pak Marsudi duduk didepannya.

"Silahkan pak," katanya pelan.
"Akhir-akhir ini kerjamu kurang bagus. Aku kecewa."
"Saya minta ma'af." kata Lastri kemudian berlalu.

Ia melanjutkan membersihkan pecahan kaca bersama bu Marsudi. Dalam hati ia bertanya, mengapa akhir-akhir ini pak Marsudi kelihatan sangat membencinya? Kesalahan sedikit saja wajahnya sudah nggak enak dipandang, apalagi tadi dia memecahkan vas kristal yang pasti mahal harganya. Tapi bu Marsudi selalu baik padanya. Hanya dia yang membuatnya nyaman. Dan mas Bayu tentunya. Lastri tiba-tiba teringat Bayu yang belum pulang dari kantor. Berdebar membayangkan kembali sikap dan senyuman yang dianggapnya sangat manis dan selalu membuat hatinya bergetar.

Ketika Lastri membuang sampah pecahan vas itu kedepan, dilihatnya mobil Bayu memasuki halaman. Klakson berbunyi, menurutnya bunyi klakson itu sangat merdu, membuatnya tersenyum lebar, sejenak menghilangkan rasa pedih karena hentakan kata-kata kasar pak Marsudi.
"Lastri," sapa Bayu setelah turun dari mobil.
"Baru pulang mas?"
"Iya, tumben sore-sore begini kamu membuang sampah?"
"Iya mas, tadi saya memecahkan vas kesayangan ibu," kata Lastri sendu. Senyumnya mendadak hilang entah kemana.

"Kamu?"
"Saya kurang hati-hati mas."
"Apa ibu marah?"
"Nggak, ibu nggak marah. Tapi saya sedih, mengapa bisa memecahkannya."
"Itu namnya kecelakaan, masa sih kamu akan sengaja melakukannya?"

"Tapi saya sedih," keluh Lastri tanpa ingin mengatakan bahwa pak Marsudilah yang marah besar.
"Jangan sedih. Besok atau kapan-kapan kita akan belanja dan beli vas baru untuk ibu," kata Bayu sambil masuk kedalam.  Bayu ingin mengelus kepala Lastri untuk menghiburnya, tapi diurungkannya. Ia khawatir orang tuanya, terutama bapaknya melihatnya, lalu menegurnya dengan marah. Ia hanya memberikan senyuman yang sangat disukai Lastri, dan membuatnya selalu bergetar, lalu terus masuk kedalam rumah. Lastri membawakan tas kerjanya dan melangkah dibelakangnya.
*

"Bu, ini kan hari Minggu, apa ibu akan menyuruh Lastri memasak?" tanya Bayu kepada ibunya.
"Ibu tak pernah menyuruh Lastri memasak, dia sendiri yang selalu ingin melakukannya. Memangnya ada apa?"
"Bayu akan mengajaknya belanja."
"Ya sudah terserah kamu saja, hari ini ibu hanya memasak sayur bening dan menggoreng nila. Sebentar juga selesai. Dan bapakmu tadi bilang akan keluar, ada perlu, paling nggak akan makan dirumah."
"Kalau begitu hari ini nggak usah masak saja, nanti Bayu sama Lastri juga akan makan diluar."
"Apa? Siapa yang akan makan diluar?" Tiba-tiba pak Marsudi sudah ada didekat mereka, dan mendengar pembicaraan mereka.

"Saya akan mengajak Lastri belanja, dan melarang ibu memasak. Bukankah bapak juga mau pergi?"
"Mengapa kamu belanja pake mengajak Lastri segala? Apa tidak bisa belanja sendiri? Lastri kan punya banyak pekerjaan dirumah."
"Pak, Lastri sudah menyelesaikan semua tugasnya kok," sela bu Marsudi.
"Jadi ibu mengijinkannya?"
"Ibu akan ikut belanja, karena banyak keperluan dapur yang habis," kata bu Marsudi mengejutkan Bayu. Tadi ibunya tidak bilang kalau mau ikut. Diliriknya ibunya, yang kemudian mengedipkan sebelah matanya padanya. Bayu tersenyum lalu meninggalkan keduanya.
"Bu, saya ingatkan lagi, jangan memberi kesempatan bagi mereka untuk berdua," kata pak Marsudi pelan, setelah Bayu tak ada lagi diantara mereka.
"Apa maksud bapak?" bu Marsudi pura-pura tak tau.

"Ibu ini bagaimana sih, ibu kan tau kalau bapak nggak suka kalau Bayu dekat-dekat sama Lastri? Itu bahaya bu."
Bu Marsudi tak menjawab. Ia menyimpan belanjaan yang tadi dibeli kedalam kulkas, karena hari ini ia tak akan memasak. Mungkin nanti sore. Yang jelas ia terpaksa pergi bersama Bayu dan Lastri untuk meredam kemarahan suaminya. Kemudian ia menghampiri Lastri dikamarnya.
"Lastri,"
"Ya bu," jawab Lastri yang kemudian mendekati bu Marsudi. Ia siap membantu memasak.
"Ganti bajumu, ikut kami belanja."
"Sekarang?" tanya Lastri heran.
"Ya, kita nggak usah masak pagi ini.Bayu mengajak kita belanja."
Lastri hampir menyunggingkan senyumnya mendengar Bagyu yang mengajaknya, tapi ditahannya karena ia tak ingin bu Marsudi melihat perubahan diwajahnya.

"Ayo cepatlah, kok malah bengong."
"Oh, baik bu."
Bu Marsudi meninggalkan Lastri, yang kemudian melepaskan senyuman bahagianya karena akan pergi bersama Bayu. Kemarin Bayu sudah bilang akan mengajaknya belanja untuk membelikan vas ibunya yang dipecahkannya. Lastri kemudian membuka kotak kecil berisi tabungannya dari dalam almari. Ia harus memberikan uang itu karena ia yang telah memecahkan vasnya, Setelah menyimpan semua uang di tas kecilnya, barulah ia berganti pakaian.
Ketika mau berangkat itu, dilihatnya pak Marsudi juga sudah bersiap untuk bepergian entah kemana.
"Bawa saja kuncinya, barangkali aku akan lama," kata pak Marsudi dengan wajah masam.
*

Ditoko yang dituju, Bayu selalu ingin berjalan dekat-dekat dengan Lastri, tapi Lastri selalu menjauh. Bagaimanapun besar rasa cintanya... ia tau diri. Ia tau siapa dirinya dan siapa Bayu. Biarlah cinta itu mengendap didasar hati, Tak mungkin bisa bersatu, itu hanyalah mimpi. Apakah itu cinta? Lastri meralat kata hatinya.  Bukan, hanya senang didekati, senang diberi senyuman, senang melayani, masa cinta sih? Entah itu namanya, tapi didekatnya selalu membuat hatinya bahagia.

Lastri selalu berada disamping bu Marsudi, membawa roli dan mengambil barang-barang yang dipilih majikannya yang baik hati.
"Kamu butuh apa Lastri?"
"Nggak bu, semua sudah cukup."
"Lastri, ayo kita cari vas yang disukai ibu," kata Bayu sambil menggandeng tangan Lastri, tapi dengan halus Lastri melepaskannya. Bayu tersenyum, melihat Lastri mengalihkan pandangannya pada bu Marssudi.

"O, jadi kalian akan membelikan vas itu?" kata bu Marsudi sambil tersenyum.
"Sebetulnya nggak usah." lanjut bu Marsudi.
"Ya nggak bisa bu, meja itu jadi kosong, dan Lastri akan selalu membayangkan kesalahannya setiap membersihkan ruangan itu."
"Baiklah, terserah kamu saja. Tapi itu harganya mahal lho. Itu hadiah dari sepupu ibu, waktu ulang tahun perkawinan kami."


"Nggak ada yang mahal untuk ibu, nanti ibu tinggal memilih, Bayu yang membayarnya."
"Jangan, Lastr yang membayarnya." kata Lastri sambil mengacungkan dompetnya.
"Lastri, apa maksudmu?"
"Saya punya tabungan, sungguh, ini sudah saya bawa. Apakah harganya lebih dari sejuta?"
"Lastri, tidak. Simpan uang kamu. Besok aku antar kamu ke bank, dan simpan saja uang itu di bank. Siapa tau baeangkali pada suatu hari kamu memerlukannya untuk kamu senndiri," kata Bayu sambil menatap tajam Lastri. Lagi-lagi Lastri kelimpungan. Darimana mas Bayu punya mata dan senyuman semenarik itu?

"Lastri, sini, ibu saja yang menyimpan uang kamu, besok uang ini harus kamu simpan di bank, Bayu atau aku bisa mengantar kamu," timpal bu Marsudi.
Lastri tak bisa berkutik. Sampai vas yang dipilih bu Marsudi itu dibeli, Lastri masih terbayang bagaimana Bayu dan bu Marsudi menjaganya dengan kata-kata yang sangat membuatnya terharu. Ya Tuhan, hanya karena kedua orang ini aku bertahan, aku sudah ingin lari ketika pak Marsudi menampakkan pandangan benci kepadaku. Mengeluarkan kata-kata pedas untukku. Bisik batin Lastri.
  *

Pak Marsudi kesal sekali, kemarin tidak menyuruh sopir kantor untuk mengisi bensin. Jadi sebelum pergi ia harus ke POM dulu untuk mengisinya. Antriannya cukup panjang, mungkin karena hari libur dan banyak yang akan pergi ber rekreasi.

Pak Marsudi menghela nafas. Ia itu tak sabaran, dan antrian panjang membuatnya mengeluh tak habis-habisnya. Pikirannya sedang kacau, dilihatnya Bayu semakin lengket dengan Lastri, ia harus cepat bertindak. Mencarikan jodoh untuk Lastri atau mencari alasan untuk mengusirnya. Alasan itu belum ditemukannya. Ia akan mencari tempat yang nyaman untuk berfikir. Harus segera ada jalan keluar. Tak sudi dia bermenantukan Lastri, yang nggak jelas asal usulnya.

Mobilnya maju selangkah, tapi masih banyak yang didepannya. Pak Marsudi membuka jendela kaca mobilnya, lalu menyandarkan kepalanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Bapak..!!"
*
Bersambung


&&&&&


*LASTRI  10*

Pak Marsudi melongok keluar jendela, mencari siapa yang memanggilnya. Benarkah dirinya yang dipanggil? Suara itu seperti pernah dikenalnya. Selang tiga mobil dibelakangnya, seseorang melambaikan tangannya. Pak Marsudi mengingat-ingat, siapa dia, seorang laki-laki memakai kacamata besar, hampir selebar wajahnya. Ketika ia  membuka kacamatanya,  pak Marsudi langsung mengenalinya.
"Nak Sapto ?" Teriaknya. Yang dipanggil melambaikan tangannya.

Pak Marsudi ingin menghampiri. Ia seperti mendapat ide cemerlang. Tapi mobilnya masih berada dalam antrian. Baiklah, baru maju lagi selangkah. Pak Marsudi akan lebih dulu  keluar dari antrian itu.
"Aku mau bicara, disitu !!" kata pak Marsudi sambil menunjuk kearah jalan, agak ketepi, setelah keluar dari antrian pastinya.
Dilihatnya Sapto mengangguk. Pak Marsudi tampak berseri. Ia berfikir akan menemukan jalan yang dicarinya. Harapannya adalah, agar Sapto mau menerima sarannya. Mudah-mudahan, pikirnya.

Tapi bagaimana kalau Sapto menolak seperti Timan? Harus ada tawaran yang menarik. Tapi apa ya. Pak Marsudi masih terus berfikir sampai ketika tiba gilirannya mengisi bahan bakar.
Pak Marsudi mencari tempat agak ke pinggir, menunggu Sapto keluar dari antrian. Ia belum menemukan kata-kata yang pas supaya Sapto tertarik pada tawarannya.
Tak lama kemudian mobil Sapto sudah ada dibelakang pak Marsudi. Sapto keluar, lalu berjalan mendekati.

"Mau kemana pak, mengapa mengisi bahan bakar sendiri?" sapa Sapto setelah dekat.
"Iya nak, kemarin lupa menyuruh sopir kantor untuk mengisi. Tunggu nak, masuklah, bapak mau bicara," kata pak Marsudi sambil mempersilahkan Sapto masuk ke mobilnya. Sapto duduk disebelah kemudi, agak heran melihat pak Marsudi tampak ingin sekali berbicara dengannya.
"Bapak mau kemana?"
"Cuma mau jalan-jalan saja, habisnya dirumah sendirian, semua pada pergi belanja. Nak Sapto mau kemana?"
"Saya juga cuma mau jalan-jalan pak."
"Kok lama nggak main kerumah? Ada yang nyari tuh," pancing pak Marsudi.
"Siapa ya pak?"
"Siapa lagi, Lastri ..."
Sapto tertawa.

"Masa sih pak?"
"Iya bener, kapan itu nak Sapto kan kerumah, ngajakin Lastri jalan, mengapa nggak pernah lagi kerumah?"
"Nggak pak, lagi sibuk."
"Oh ya, dulu bapak mengira nak Sapto tertarik sama Lastri."
Sapto tertawa.
"Iya kan?"

"Sebentar pak, saya boleh bertanya? Lastri itu bukan anak bapak kan?"
"O, bukan, dia hanya pembantu yang kami sekolahkan sampai lulus SMA, kami tawarkan kuliah dia nggak mau."
"Oh, kirain dulu itu dia adiknya Bayu."
"Ah, bukan nak. Anak bapak cuma satu, ya Bayu itu."
"Iya, Bayu kalau ditanya selalu bilang bahwa Lastri itu adiknya. Kemudian saya kebetulan mendengar dia bicara dengan seseorang, ternyata dia hanya seorang pembantu."


"Bayu memang begitu, saya khawatir dia suka sama Lastri."
"Masa dia suka sama pembantu? Tadinya saya sih suka, dia tuh kelihatannya kan cantik, sederhana, dan itu gadis seperti yang saya impikan. Tapi setelah tau bahwa dia pembantu, saya memilih mundur pak."
"Jadi nak Sapto nggak suka karena dia pembantu?"
"Ma'af pak, bukan karena saya merendahkan derajat seorang pembantu, tapi rasanya saya harus mencari isteri yang sepadan dengan kedudukan saya."

Pak Marsudi mengangguk-angguk. Rupanya Sapto nggak pernah lagi datang karena tau bahwa Lastri hanya seorang pembantu. Sama dengan dirinya yang tak ingin puteranya menyukai seorang pembantu.
"Iya sih, apa nanti kata orang kalau nak Sapto punya isteri seorang gadis yang tak punya derajat."
"Kalau untuk main-main sih, boleh saja," kata Sapto yang kemudian diikuti dengan tawa ngakak berkepanjangan.

"Ma'af pak, ma'af, saya kan masih muda, jadi saya merasa bahwa masa muda saya harus saya habiskan dengan memenuhi semua kesenangan saya."
"Betul, harusnya memang begitu. Jadi besok kalau punya isteri, tinggal baik-baiknya saja ya nak."
"Iya pak. Tapi ngomong-ngomong, mengapa bapak memanggil saya hanya untuk membicarakan Lastri?"
"Nggak apa-apa nak, Lastri itu kan sudah dewasa, bapak  ingin menikahkan dia, lalu bapak teringat dulu kayaknya nak Sapto suka, tapi ya nggak apa-apa kalau ternyata nggak cocog sama nak Sapto."
Pak Marsudi kehabisan akal untuk mencarikan jodoh bagi Lastri, karena ternyata Sapto juga menolaknya.

"Ya sudah nak, bapak minta ma'af, bukan maksud bapak merendahkan nak Sapto lho, saya pikir.. Lastri itu kan cantik. Sekali lagi ma'af."
"Nggak apa-apa pak, cuma kurang pas saja, tapi kalau Lastri mau diajak ber senang-senang saja ya nggak apa-apa," kata Sapto lalu tertawa lagi.
"Ma'af pak, ma'af, saya cuma bercanda," lanjut Sapto.
"Nggak apa-apa nak," kata pak Marssudi karena kehabisan kata-kata.
"Baiklah pak, kalau nggak ada lagi yang ingin bapak katakan, saya mohon diri.,"kata Sapto sambil bersiap untuk keluar.

"Silahkan nak, tapi sering-seringlah kerumah ya."
Pak Marsudi membiarkan  Sapto pergi dengan perasaan kecewa. Ia merasa salah sasaran lagi. Kemudian distarternya mobilnya untuk pergi, tapi tiba-tiba terpateri kata-kata Sapto... kalau untuk main-main ya nggak apa-apa...  Dan tiba-tiba juga kalimat itu menumbuhkan sebuah ide dihati pak Marsudi.
*

"Lastri kok makan cuma sedikit ?" tanya bu Marsudi ketika dirumah makan itu dilihatnya Lastri tidak menghabiskan makanannya.
"Sudah kenyang bu, porsinya sangat banyak."
"Bukan bu, Lastri takut gemuk.Padahal biar gemuk, Lastri itu kan tetap cantik ya bu?"sambung Bayu.
Lastri tertunduk malu.
"Cantik itu, cantik lahirnya, juga cantik batinnya," jawab bu Marsudi.
"Kalau menurut ibu, Lastri itu cantik luar dalam nggak?"


"Lastri itu begini," jawab bu Marsudi sambil mengacungkan jempolnya.
"Ibu, bisa saja," Lastri melirik kearah Bayu, majikan tampan itu tersenyum, dan senyum itu selalu membuat darah ditubuh Lastri semakin cepat mengalir. Wajahnya kemerahan, lalu ditundukkannya lagi . Ya Tuhan, anugerah ini janganlah berlalu, walau aku hanya pembantu, aku akan tetap mengabdi dan mencintai dalam hati. Bisik batin Lastri, karena memiliki hanyalah mimpi.

"Oh ya Yu, besok biar ibu saja yang mengantar Lastri ke bank."
"Nggak apa-apa, yang penting uang Lastri aman. Bukan begitu Lastri?"
"Saya berterimakasih karena mendapat perhatian begitu besar dari keluarga ini. Tapi sebenarnya saya kecewa. Yang memecahkan vas kan saya, mengapa mas Bayu yang harus mengganti?"
"Lastri, kamu itu jangan bawel ya, kamu memecahkan kan tidak sengaja, kalau sengaja ya kamu yang aku minta untuk mengganti."
"Mana mungkin saya sengaja,"
"Itulah, jangan diulang -ulang lagi.kata-kata itu. Pokoknya uang kamu harus kamu simpan dengan aman."
"Iya, besok ibu juga punya keperluan ke bank, jadi sekalian saja."

Setelah makan itu mereka langsung pulang kerumah. Dilihatnya pak Marsudi belum ada. Bayu segera memasang vas yang dibelinya ditempatnya semula. Vas itu mirip sekali dengan yang pecah, bahkan lebih bagus dan artistik. Bu Marsudi senang barang kesayangannya mendapat ganti. Memang sih, yang pecah adalah kenang-kenangan yang tak mungkin tergantikan, tapi apa mau dikata, keadaan mengharuskannya demikian.

"Bu, Bayu mau bicara."
Bu Marsudi yang sedang mengamati vas barunya terkejut karena Bayu menariknya duduk dikursi tamu, lalu Bayu duduk disampingnya sambil memegangi tangannya.
"Ada apa?"
"Salahkah kalau Bayu suka sama Lastri?"
Bu Marsudi terkejut. Ia menoleh kebelakang, takutnya Lastri mendengar perkataan Bayu. Ternyata tidak, mereka hanya berdua.

"Bayu serius bu."
Bu Marsudi memelototi anaknya.
"Apa kamu tau bapakmu tak akan suka ini?"
"Bayu tau bu, bantulah meluluhkan hati bapak. Lastri itu juga manusia. Kalau terjadi perbedaan derajad diantara Bayu dan dia, itu hanya penilaian manusia, sesungguhnya kita ini sama dimata Tuhan, bukan?"
 "Kamu betul, tapi itu kan katamu. Mungkin ibu sependapat, tapi tidak dengan bapakmu. Yakinlah akan terjadi huru hara kalau kamu melanjutkan keinginanmu."

Bayu menghela nafas, wajahnya tampak sedih. Bu Marsudi memegang tangannya dan menepuknya lembut.
"Kamu kan punya teman banyak, cantik-cantik.. atau.. bapak katanya pernah menawarkan anaknya teman ibu, apa kamu tak sedikitpun tertarik?"


"Cinta itu beda bu. Biar cantik kalaau Bayu ntak cinta?"
"Tapi itu sulit Bayu. Lastri belum tentu bersedia, dan bapakmu sudah jelas akan menentangnya."
"Lastri nggak mau? Aku melihat sorot matanya, dia tidak menolak, tapi dia takut. Lastri tau diri, Bayu mengerti itu."
"Bagaimana dengan bapak?"
"Bantulah Bayu bu," kata Bayu sambil menjatuhkan kepalanya dipangkuan ibunya, seperti anak kecil merengek untuk dibelikan balon warna warni.

Bu Marsudi mengelus kepala anaknya, lembut. Trenyuh merasakan derita cinta yang kemungkinan besar akan kandas.
"Kamu kan tau bapakmu itu seperti apa?"
"Bantulah Bayu, ibu pasti bisa."
"Ibu nggak janji... sepertinya sulit Yu, kamu harus bersiap untuk itu."
"Bayu tak akan sanggup bu."
"Jangan begitu Yu, kamu laki-laki, harus tegar."
"Ini masalah  hidup Bayu, tolong bu..."
Bu Marsudi semakin trenyuh, ini bukan rengekan untuk minta dibelikan mainan. Uang tak akan bisa menghapus kesedihannya.

Bayu masih tetap menenggelamkan kepalanya dipangkuan ibunya, sampai kemudian pak Marsudi datang, dan melihat aadegan mengherankan itu.
"Ada apa ini?" tanyanya.
Bu Marsudi masih tetap duduk.
"Nggak apa-apa, sepertinya agak pusing."
Lalu bu Marsudi memijit-mijit kepala Bayu.

"Mengapa tidak tiduran dikamar saja?"
"Iya, mau aku suruh tiduran dikamar, supaya Lastri mengerokinya," kata bu Marsudi memancing.
"Apa? Jangan melakukan hal-hal yang tak pantas !" hardik pak Marsudi sambil terus berjalan kekamarnya.
"Tuh, kamu dengar kan, ibu baru memancing, tapi teriakannya sudah terdengar sampai ke  langit," bu Marsudi berbisik ditelinga Bayu.
Bayu melingkarkan kedua tangannya dipinggang sang ibu.
*

"Mas Timan, aku beli jeruknya sekilo, pilihkan yang bagus ya," kata Lastri ketika berada dipasar pagi itu.
"Waduh, sudah selesai belanjanya?"
"Iya, tinggal beli buah. Tapi aku nggak mau kalau dikasih, nanti aku dimarahi sama ibu ," kata Lastri.
"Sekali-sekali gratis kan nggak apa-apa?"
"Sekali-sekali apa, sudah berkali-kali, tau?! Sudah,  pilihkan yang bagus dan manis, nggak mau gratis," kata Lastri tandas.
Timan tertawa, lalu memilih-milih buah jeruk yang dianggapnya bagus, lalu dimasukkan kedalam kantong plastik.

"Ini.."
"Kok nggak ditimbang sih? Sekilo saja, kok segini banyak?"
"Iya itu sekilo, sudahlah."
"Jangan bohong kamu mas, ini lebih dari sekilo, mana timbangannya, biar aku timbang sendiri."
"Nggak boleh, mana ada pebeli menimbang sendiri."
"Mas Timan gitu ya," kata Lastri cemberut, lalu menyerahkan uang ratusan ribu, setelah itu Lastri berlalu.

"Eeeh, tunggu.. kembaliannya belum."
Tapi Lastri tetap berlalu. Timan mengejarnya.
"Lastri jangan begitu, ini kebanyakan, sekilo cuma duapuluh lima ribu."
"Tapi ini lebih dari sekilo. Kalau begini caranya naanti aku dimarahi ibu, dikira aku ngerayu tukang buah."
"Ya sudah, tapi tetap ada kembaliannya nih, kata Timan sambil menyerahkan uang limapuluhan ribu.
"Ogah, ini ada kalau empat kilo, banyaknya segini, besar-besar lagi."
Lastri tetap melangkah sambil cemberut. 

"Nggak ada empat kilo Lastri, ini terima saja."
Keduanya terlihat seperti kejar-kejaran dipasar itu. Orang-orang yang mengenal Timan memandangi mereka sambil berbisik-bisik.
"Itu pacarnya Timan."
"Masa? "
"Iya, perjaka tua yang ganteng, rupanya sudah menemukan gadis yang cocog."

Tapi keduanya tak mendengar gunjingan itu.
Lastri sudah sampai dijalan, dan Timan terus mengikutinya.
"Lastri, kalau kamu tak mau menerimanya, aku akan mengantarkan kembalian ini kerumah," ancam Timan.


Lastri langsung berhenti, dan melotot marah kearah Timan. Timan tertawa melihat mata bulat cantik itu  memelototi dirinya
"Kamu kalau marah bertambah cantik lho Tri," canda Timan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didekat Lastri. Lastri terkejut.
*

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar